Gelang Kemala Jilid 05

Cerita Silat Mandarin serial Gelang Kemala Jilid 05 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Gelang Kemala Jilid 05

Melihat ini, tiba-tiba timbul rasa hormat dalam hati Thian Lee terhadap kerangka itu dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kerangka itu. Karena merasa dirinya terancam dan tak ada yang dapat menolongnya dari tangan Yeti itu maka dia timbul niatnya minta tolong kepada kerangka itu yang jelas dihormati makhluk itu.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Locianpwe, mohon pertolongan locianpwe dan teecu suka menjadi murid locianpwe. Katanya sambil membentur-benturkan dahinya ke atas lantai di depan kaki kerangka itu. Dan terjadilah keanehan. Ketika dia membenturkan dahinya sebanyak delapan kali untuk menghormati kerangka itu sebagai gurunya, mendadak lantai yang terbentur kepalanya itu bergerak dan runtuh ke bawah sehingga tubuhnya ikut pula terjatuh ke sebuah lubang.

Cepat Thian Lee mengerahkan tenaganya untuk melindungi tubuhnya dengan sinkang dan untung dia telah memiliki tenaga singkang yang cukup sehingga dia tidak terbanting keras dan tidak terluka. Ternyata disitu muncul lubang dan terdapat anak tangga turun ke bawah dimana terdapat ruangan lain yang besar sama dengan besar gua diatas.

Dan sambil mengeluarkan suara menguik-nguik aneh makhluk itu pun menuruni tangga dan berdiri didekat Thian Lee. Kini Thian Lee merasa yakin bahwa makhluk itu tidak bermaksud jahat. Dia pun menoleh kepada makhluk itu dan bertanya. "Saudara yang baik, apa artinya semua ini?"

Makhluk itu mengulurkan tangannya dan mendorong-dorong tubuh Thian Lee pada punggungnya, menyuruh pemuda remaja itu untuk maju. Thian Lee mengangkat muka memandang. Ketika matanya sudah dapat menembus cuaca yang remeng-remang dalam ruangan bawah gua itu dan dia melihat sebuah meja berdiri di sudut ruangan.

Dan diatas meja itu terdapat sebatang pedang dan dua buah kitab diatas meja. Jantungnya berdebar tegang. Agaknya makhluk itu mendorongnya kearah meja agar dia mengambil pedang dan kitab-kitab itu. Akan tetapi, sejak kecil Thian Lee sudah diajar sopan santun oleh ibunya dan kemudian oleh Tan Jeng Kun dan Kim Sim Yok Sian dia pun diajar bagaimana menjadi seorang pemuda yang baik dan bersusila.

Maka dia pun tidak berani lancang mengambil benda-benda bukan miliknya begitu saja dengan lancang. Setelah berpikir sejenak, diapun menjatuhkan diri berlutut di depan meja itu untuk memberi hormat. Ketika berlutut itulah dia melihat tulisan kecil-kecil terukir di lantai batu. Kalau dia tidak berlutut, tidak mungkin tulisan itu dapat nampak dalam keadaan berdiri. Dia lalu membacanya.

Aku menerimamu menjadi murid. Engkau boleh mengambil kitab dan pedang, akan tetapi lebih dahulu tekan tombol ini sebanyak sembilan kali.

Tulisan ini tidak menyebutkan siapa penulisnya dan dibawah tulisan itu terdapat sebuah tombol besi. Setelah menghaturkan terima kasihnya, Thian Lee menekan tombol besi itu. Ditekan sekali tidak terjadi apa-apa. Dua kali, tiga kali, tetap tidak terjadi sesuatu. Akan tetapi ketika tekanan sampai ke sembilan kalinya, terdengar suara keras dan dari meja itu meluncur banyak sekali paku dan jarum yang menyerang ke berbagai penjuru, lalu menancap pada dinding batu.

Thian Lee terkejut dan ketika dia menengok, diapun melihat makhluk itu sudah pula berlutut seperti dia. Untung makhluk itu melakukan itu, kalau tidak tentu sudah menjadi korban senjata rahasia yang berhamburan tadi.

Kini mengertilah Thian Lee. Hanya orang yang berlutut didepan meja itu yang akan dapat mengambil pedang dan kitab. Siapa yang lancang mengambilnya begitu saja, tak dapat dihindarkan lagi tentu akan tewas terkena senjata rahasia.

Dia bergidik ngeri kalau membayangkan itu. Untung dia selalu ingat nasehat-nasehat ibunya dan kedua orang gurunya yang terakhir. Kalau menurutkan watak dua orang gurunya yang pertama, Liok te Lo-mo atau Jeng-ciang-kwi, tentu mereka itu akan langsung saja mengambil pedang dan kitab.

Setelah kembali memberi hormat untuk menghaturkan terima kasih, dia pun berkata, “Locianpwe, harap maafkan teecu kalau teecu berani lancang mengambil pedang dan dua buah kitab itu.”

Barulah dia bangkit berdiri dan ternyata makhluk itu pun sudah berdiri di belakangnya. Makhluk itu mengeluarkan suara seperti orang kegirangan atau tertawa yang aneh ketika dia menjulurkan tangan mengambil sebuah kitab, lalu dibukanya kulit kitab itu.

Sebuah kitab yang kuno sekali dan di lembar pertama tertulis judulnya : THIAN-TE SINKANG (Tenaga Sakti Langit Bumi) dan ketika dia membuka lembar berikutnya, ternyata banyak diantara huruf dalam kitab itu yang tidak diketahuinya. Tanpa bantuan orang pandai, agaknya akan sulit sekali baginya mempelajari isi kitab itu.

Kitab kedua diambil dan dibukanya, ternyata merupakan kitab pelajaran ilmu pedang yang tertulis judulnya : JIT GOAT KIAM-SUT (Ilmu Pedang Matahari dan Bulan). Seperti halnya dengan kitab pertama, kitab kedua inipun mengandung banyak huruf yang tidak diketahui, semacam huruf kuno.

Dia girang sekali dan dia lalu mengambil pedang itu. Dicabutnya pedang itu dari sarungnya dan segera dimasukkanya kembali saking kagetnya karena begitu dicabut, nampak sinar seperti kilat menyambar. Dia mencabut lagi perlahan-lahan dan ternyata pedang itu mengkilat, berkilauan padahal di ruangan itu hanya masuk sedikit saja sinar dari luar. Dan dipangkal pedang itu terdapat ukiran huruf JIT-GOAT SIN KIAM (Pedang Pusaka Matahari dan Bulan).

Setelah melihat ketiga benda pusaka itu, Thian Lee kembali menjatuhkan diri berlutut kepada meja itu untuk menghaturkan terima kasihnya. Kemudian dia berkata kepada Yeti yang masih berdiri disampingnya, "Saudara yang baik, semua ini adalah atas kebaikan budimu yang membawa aku ke tempat ini, maka aku menghaturkan terima kasih kepadamu!"

Dia mengangkat kedua tangan memberi hormat, akan tetapi tiba-tiba Yeti itu menjatuhkan diri berlutut kepadanya, memberi hormat seorang manusia memberi hormat kepada gurunya atau kepada majikannya. Thian Lee terkejut dan bingung sekali. Akan tetapi dia memegang kedua pundak Yeti itu dan membangunkannya.

"Saudara tidak semestinya engkau berlutut kepadaku, akan tetapi akulah yang seharusnya berlutut kepadamu."

Dia mengajak makhluk itu keluar, kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di depan kerangka, agak jauh di luar lubang. Dan sungguh aneh sekali, begitu dia berlutut, agaknya terguncang ketika lubang itu runtuh, tiba-tiba saja kerangka itupun runtuh terlepas dan menjadi setumpuk tulang dan tengkoraknya jatuh diatas tumpukan tulang!

Melihat makhluk itu kembali menjatuhkan diri berlutut dan mengeluarkan suara nguik-nguik seperti orang menangis kemudian dia memunguti tulang itu satu demi satu dengan hormat sekali dan membawanya turun ke bawah. Melihat ini Thian Lee tidak tinggal diam diapun memunguti sisa tulang dan tengkorak, dan membawanya masuk ke dalam ruangan di bawah gua.

Mereka berdua menaruh tulang-tulang dan tengkorak itu diatas meja dimana kitab dan pedang tadi berada, kemudian setelah kembali memberi hormat, Thian Lee mengajak Yeti itu keluar. Setiba di luar gua, diatas ruangan itu, Yeti lalu mengambil batu besar. Sungguh hebat sekali tenaga Yeti itu. Batu besar yang belum tentu dapat digerakkan oleh sepuluh orang itu dapat digulingkan oleh Yeti memasuki gua dan menutup lubang itu.

“Saudara yang baik, sekarang aku harus kembali ke rumah guruku. Mereka tentu akan cemas sekali menanti aku pulang¡. Mendengar ini, Yeti itu lalu menjatuhkan diri lagi di depan kaki Thian Liong. Thian Liong merasa terharu. Kini dia mengerti mengapa makhluk itu begitu menghormatinya.

“Ah, saudaraku yang baik. Mendiang suhu tentu orang yang luar biasa bijaksananya sehingga engkau yang menjadi temannya begitu setia kepadanya. Tentu engkau menganggap aku sebagai murid atau ahli warisnya maka engkau begitu menghormatiku, mengingat akan mendiang suhu.

"Arwah suhu yang entah siapa namanya itu tentu akan tersenyum di alam baka melihat kesetianmu. Engkau bukan manusia, akan tetapi jarang sekali ada manusia yang memiliki kesetian seperti engkau!" Thian Lee lalu merangkul leher makhluk itu dengan kasih sayang sepenuh hatinya. Dia merasa sayang sekali kepada makhluk itu dan merasa terharu melihat kesetiaan yang demikian besarnya.

"Nah, saudaraku, sekarang aku harus pergi. Atau maukah engkau ikut dengan aku? Kedua orang guruku tentu akan senang sekali menerimamu!"

Akan tetapi makhluk itu sekali ini menggelengkan kepala dan duduk diatas batu besar seolah dia hendak menjaga tempat itu selamanya. Thian Lee maklum akan hal ini karena telah melihat kesetiaan makhluk itu yang demikian luar biasa.

Ketika Thian Liong hendak pergi, tiba-tiba makhluk itu melompat turun, memegang tangan Thian Lee dan diajaknya pergi kesamping gua. Disitu banyak tumbuh jamur yang belang-belang, dan makhluk itu lalu mencabut beberapa batang jamur, lalu memakannya begitu saja dan dia menawarkan kepada Thian Liong untuk ikut makan jamur itu.

Thian Lee sudah mempelajari ilmu pengobatan, maka dia mencium jamur itu. Tidak ada tanda beracun, akan tetapi dari baunya yang keras dia tahu bahwa jamur itu mengandung obat yang keras sekali, entah untuk menyembuhkan penyakit apa, hal ini perlu diselidiki. Akan tetapi karena dia melihat makhluk itu juga makan, untuk tidak membuat hati makhluk itu kecewa, diapun makan sebatang jamur.

Eh, rasanya manis dan gurih. Karena perutnya memang lapar, dia lalu mencabut agak banyak dan makan dengan enaknya. Anehnya melihat Thian Lee makan banyak jamur, makhluk itu berjingkrak-jingkrak seperti merasa kegirangan sekali. Perut Thian Liong menjadi kenyang setelah menghabiskan banyak jamur.

Akan tetapi tiba-tiba ada rasa panas luar biasa pada perutnya. Ada hawa panas yang berputar di perutnya. Dia merasa dadanya sesak, terhimpit hawa dari perut itu dan cepat dia meletakkan kitab dan pedang diatas lantai dan dia menekan perutnya yang rasanya hendak meledak.

Makhluk itu lalu membimbing tangannya dan kemudian makhluk itu bersila. Thian Lee maklum bahwa makhluk itu mgajarkan dia duduk bersila, maka diapun duduk bersila lalu melatih pernapasan seperti kalau dia melatih ilmu menghimpun tenaga dalam dari gurunya, Tan Jeng Kun.

Dan perlahan-lahan dia dapat menguasai gejolak dalam perutnya itu, dapat menguasai hawa yang amat kuat dan yang hendak mecuat ke sana sini, kemudian menekan ke bawah perut untuk mengumpulkan hawa itu pada tan-tian (titik empat cm dibawah pusar). Akhirnya, setelah duduk bersila selam tiga jam, dapat juga dia menenangkan hawa panas yang amat kuat itu ke dalam tan-tian.

Akhirnya dia dapat bangkit berdiri dan dia segera mencabut banyak jamur untk dibawa pulang. Dibungkusnya jamur itu ke dalam bajunya dan dia sendiri bertelanjang baju karena tubuhnya masih terasa panas sekali yang timbul dari bawah perutnya. Kemudian dia melambaikan tangan kepada Yeti dan sekali ini Yeti balas melambaikan tangan.

“Sekali lagi terima kasih, saudara yang baik. Lain kali aku pasti akan datang menjengukmu ke sini.”

Setelah berkata demikian, pergilah dia. Aneh sekali, ketika melangkah dia merasa tubuhnya demikian ringan seolah-olah tubuhnya terisi hawa yang membuat dia seperti hendak mengudara. Setelah hari menjadi malam, akhirnya tibalah dia di pondok gurunya dan ternyata dua orang gurunya telah menanti di depan pondok dengan wajah agak gelisah.

“Thian Lee, kemana saja engkau seharian ini?” tegur Tan Jeng Kun, dengan suara yang agak keren, dia merasa tidak senang muridnya telah membuat mereka berdua kawatir.

“Eh, apa yang terjadi dengan dirimu, Thian Lee?" Tanya Kim Sim Yok Sian yang melihat muridnya itu bertelanjang dada, membawa sesuatu yang dibuntal dengan pakaian, juga membawa dua buah kitab dan sebatang pedang.

“Suhu dan Susiok, teecu mengalami hal yang luar biasa sekali. Suhu dan Susiok mungkin tidak percaya akan apa yang teecu alami di puncak dimana tinggal makhluk manusia salju itu.”

“Engkau kesana? Sudah kularang engkau kesana?” Tegur Tan Jeng Kun.

“Apa yang telah terjadi? Cepat ceritakan. Mari kita semua masuk ke dalam” kata Kim Sim Yok Sian yang lebih sabar daripada gurunya.

Mereka semua masuk dan Thian Lee meletakkan pedang dan dua buah kitab keatas meja, juga buntalan pakaian yang terisi jamur ajaib. Dengan jelas dia menceritakan semua pengalamannya di puncak bukit itu, didengarkan oleh Tan Jeng Kun dan Kim Sim Yok Sian dengan mata terbelalak saking herannya.

Setelah Thian Lee selesai bercerita dengan jelasnya, dua orang itu segera sibuk memeriksa. Tan Jeng Kun memeriksa pedang dan kitab, sedangkan Kim Sim Yok Sian memeriksa jamur belang dan keduanya mengeluarkan seruan kaget dan juga gembira.

“Ya Tuhan, engkau memang berjodoh menjadi ahli waris perguruan kami, Thian Lee!” Tan Jeng Kun berseru girang setelah melihat pedang dan kedua buah kitab.

“Siancai…! Jamur ini adalah jamur ular belang yang langka. Nampaknya tidak beracun, akan tetapi mengandung racun yang halus sekali. Dan engkau telah memakannya Thian Lee?"

“Benar, Susiok. Teecu makan banyak sekali. Rasanya manis dan gurih. Makhluk manusia salju itu yang menyuruhku makan dan teecu lalu mengalami gejolak hawa panas di perut teecu yang menyiksa. Akan tetapi manusia salju itu mengajarkan agar teecu bersila dan lalu teecu melakukan latihan seperti yang diajarkan Suhu dan akhirnya teecu dapat menyimpan hawa itu ke dalam tan tian.”

“Siancai…! Ini luar biasa sekali. Engkau telah memperoleh kekuatan yang luar biasa, Thian Lee. Untung sekali ada manusia salju yang mengajarimu. Andaikata ketika engkau diserang hawa panas bergejolak itu engkau tidak berdiam diri menghimpun tenaga dalam, dan kau pakai untuk lari atau menggunakan tenaga, mungkin engkau telah roboh dan tewas kalau hawa itu menyerang ke dalam kepalamu. Sebaliknya, dengan menyimpannya ke dalam tan tian, engkau akan memperoleh kemajuan pesat dalam hal tenaga sin kang.” Kata Kim Sim Yok Sian setelah dia memegang pergelangan tangan pemuda remaja itu untuk memeriksa keadaan kesehatannya.

"Dan kitab itu. Sute, coba kau lihat kitab dan pedang ini." Kata Tan Jeng Kun kepada sutenya.

Kim Sim Yok Siam membuka-buka kitab itu. Wajahnya tampak tegang dan ketika dia mencabut pedang Jit-goat Sin-kiam, matanya terbelalak. “Siancai…. Bagaimana bisa terjadi suatu kebetulan seperti ini? Tentu sudah dikehendaki oleh Thian. Tahukah engkau siapa kerangka itu, Thian Lee?"

“Teecu, tidak tahu Susiok.”

“Itu... adalah kerangka sucouw mu (buyut gurumu)!"

“Ahhh…!” Thian Lee berseru kaget sekali. Tentu saja dia sama sekali tidak menduga bahwa kerangka itu adalah kerangka buyut gurunya! “Susiok dan Suhu, apa yang terjadi dengan sucouw?"

“Su-kong (kakek guru) kami berjuluk Thian-te Seng-jin (Orang Sakti Langit Bumi), dan ketika guru kami masih hidup, sukong kami itu menghilang dari dunia kang-ouw. Tidak ada seorang pun yang mengetahui dimana sukong kami berada, bahwa suhu kami juga tidak mengetahui. Dia dianggap lenyap dari permukaan bumi.

"Siapa kira, dia tidak berada jauh dari sini, bahkan berada di puncak yang dianggap menjadi tempat tinggal manusia salju dimana tidak ada orang berani datang. Dan lebih tidak terduga lagi, kiranya engkau yang menjadi ahli warisnya! Dan betapa berbahayanya ketika engkau hendak mengambil kitab dan pedang itu.

"Pinto yakin, setiap jarum dan paku itu mengandung racun yang akan mencabut nyawa siapa saja yang terkena olehnya. Ini menunjukkan bahwa sudah ditakdirkan engkau yang berhak mempelajari ilmu baru yang ditinggalkannya itu dan memiliki pedang pusakanya.”

“Akan tetapi susiok. Bagaimana teecu dapat mempelajari kitab itu? Ketika teecu memeriksanya, terdapat banyak huruf yang tidak teecu kenal.”

“Ha ha ha, apa percuma saja gurumu seorang sastrawan? Memang tulisan itu memakai huruf kuno, akan tetapi suhumu tentu dapat membantumu. Dan lebih beruntung lagi, engkau juga telah makan jamur ular belang sehingga engkau akan mendapatkan kekuatan yang hebat. Dan masih ada sebanyak ini. Engkau harus memakannya sedikit demi sedikit agar tidak membahayakan kesehatanmu.”

“Suhu dan Susiok, teecu telah makan banyak jamur. Maka biarlah jamur ini untuk suhu dan susiok saja.”

“Heh heh heh, pinto ini tukang mengobati, untuk apa jamur yang mendatangkan tenaga sinkang? Tidak, pinto tidak memerlukannya.” kata si Tabib Dewa.

“Kalau begitu, biar dimakan oleh suhu!” Kata Thian Lee.

Suhunya mengerutkan keningnya, “Aku sudah tua, untuk apa segala macam obat kuat? Biarlah engkau yang memakannya sampai habis, akan tetapi benar seperti kata susiok mu, harus dimakan sedikit demi sedikit. Dan kitab pelajaran ilmu sin-kang Thian te Sin-kang ini tentu cocok dengan orang yang memakan jamur itu sehingga engkau akan dapat menguasai tenaga sakti itu dengan baik.

"Tentang ilmu pedang Jit-goat Kiam-sut ini, dan isi kitab, jangan kawatir, aku akan menerangkan dan menjelaskan isi dan artinya. Akan tetapi engkau harus berlatih sendiri karena aku tidak berhak mempelajarinya, juga aku sudah tua, tidak ingin mempelajari ilmu silat apapun lagi.”

Demikianlah, mulai hari itu, selain menerima pelajaran ilmu silat tangan kosong dari gurunya, Thian Lee mulai berlatih sin-kang dari kitab Thian-te Sin-kang dan mempelajari ilmu pedang dari kitab Jit-goat Kiam-sut, mempergunakan pedang Jit-goat Sin-Kiam.

Memang pada dasarnya dia memiliki bakat yang amat baik, darah bersih dan tulang yang kuat, apalagi ditambah khasiat luar biasa dari jamur ular belang, maka Thian Lee mendapat kemajuan pesat sekali.

Kim Sim Yok Sian hanya tinggal setahun disitu, kemudian dia meninggalkan tempat itu untuk merantau dan melanjutkan tugasnya, yaitu melawan wabah penyakit dan mengobati orang-orang sakit. Dalam waktu setahun itu, dia sudah mengajarkan ilmu pengobatan yang lumayan bagi Thian Lee.


Kita tinggalkan dulu Thian Lee yang dengan tekun digembleng oleh Tan Jeng Kun di sebuah puncak dari Pegunungan Himalaya dan marilah tengok keadaan? Tang Cin Lan dan ibunya, Lu Bwe Si. Hidup sebagai selir pangeran yang tercinta, Lu Bwe Si merasa cukup bahagia.

Demikian pula Cin Lan yang dengan sendirinya mendapat nama marga Tang, yaitu marga pangeran yang menjadi ayahnya, anak itu hidup serba kecukupan dan terhormat. Karena ibunya dan juga ayahnya, memanggilkan guru-guru silat untuk puteri ini, maka Cin Lan menjadi seorang gadis remaja yang memiliki ilmu silat yang cukup tangguh.

Dara ini yang kini telah berusia lima belas tahun pandai menunggang kuda, menggunakan anak panah dan bersilat memainkan delapan belas macam senjata dengan baik!

Memang Lu Bwe Si yang diuruk kemewahan dan kesenangan oleh suaminya, telah dapat melupakan suaminya yang dahulu. Akan tetapi, jika melihat puterinya yang memiliki mata dan mulut mirip ayah kandungnya, ia teringat kembali dan setiap kali teringat akan suaminya, melihat bayangkan kematian suaminya.

Ia merasa kasihan dan untuk menebus rasa bersalahnya terhadap suami itu, sedikitnya tiga bulan sekali Lu Bwe Si mengajak anaknya untuk bersembahyang ke kuil terbesar, di kota raja yang dipimpin oleh Tiong Hwi Nikouw, karena kuil itu memang kuil wanita.

Di kuil inilah nyonya selir pangeran itu bersembahyang, menyembahyangi arwah mendiang Bu Cian suaminya yang pertama, atau ayah kandung Cin Lan. Tentu saja Cin Lan tidak tahu bahwa ibunya menyembahyangi ayah kandungnya, karena ibunya tidak pernah bicara tentang ini. Juga kepada para nikouw, Lu Bwe Si berkata bahwa ia hendak menyembahyangi orang tua dan para leluhurnya.

Setelah berusia lima belas tahun, Ci Lan menjadi seorang gadis remaja yang cantik jelita. Apalagi sebagai puteri pangeran, kesehatannya terawat sekali, pakaiannya serba indah, maka ia nampak makin menarik. Setiap orang pria tentu akan menengok untuk memandang lagi kalau kebetulan melihat dara jelita inl.

Pada suatu pagi Cin Lan dan ibunya menunggang kereta pergi ke kuil. Ketika naik kereta, tidak ada orang yang dapat melihat mereka. Akan tetapi ketika turun dari kereta hendak memasuki kull banyak mata memandang dara semua orang merasa kagum bukan main.

Dara remaja itu mengenakan pakaian serba merah muda, rambutnya yang hitam panjang itu digelung seperti para puteri bangsawan, melingkar-lingkar tinggi di atas kepala, dihias tusuk rambut dari emas permata. Anak rambut yang melingkar-lingkar di dahi dan pelipis itu sungguh amat manis. Anting-anting emas bermata Intan menghias telinganya. Alisnya hitam kecil melengkung tanpa dicukur dan tan-pa ditambah penghitam alis.

Sepasang matanya amat tajam dan memandang berani, tidak malu-malu seperti mata gadis kebanyakan, bahkan mata itu kadang mencorong. Hidungnya kecil mancung, dan di bawah hidungnya terdapat mulut yang menjadi bagian paling menari dari mukanya. Bibirnya merah membasah tanpa gincu, dengan lekukan-lekukan manis di sekitar mulut dan kalau ia tersenyum nampak lesung pipit di pipi kirinya.

Kulitnya demikian putih mulus. Tubuhnya masih belum matang benar, masih agak kekanakan, akan tetapi sudah kelihatan betapa pinggangnya amat ramping dan lehernya juga panjang. Pangeran Tang Gi Su sendiri merasa amat bangga kepada puteri ini karena kecantikannya dan kepandaiannya bersilat, walaupun hanya puteri tiri.

Akan tetapi, karena Lu Bwe Si mem-bawa anak ketika untuk pertama kali ia dibawa masuk ke istana pangeran, tentu saja bukan merupakan rahasia lagi bahwa Cin Lan bukan puteri kandung Pangeran Tang Gi Su, melainkan anak tiri. Dan hal ini tidak mungkin dapat ditutup-tutupi.

Akan tetapi sampai berusia lima belas tahun Cin Lan belum mendengar akan rahasia itu, dan Sang Pangeran memperingatkan para pelayannya agar jangan membocorkan rahasia itu kepada Cin Lan dengan ancaman hukuman berat, Bwe Si sendiri juga tidak ingin membuka rahasia itu kepada puterinya.

Akan tetapi ia menyuruh Bwe Si memakai gelang kemala yang menjadi tanda ikatan perjodohan puterinya dengan putera Song Tek Kwi sebagai apa yang dipesankan mendiang suaminya. Akan tetapi ia tidak menceritakan hal itu kepada Cin Lan, hanya mengatakan bahwa Cin Lan harus menjaga baik-baik gelang kemala itu karena walaupun harganya tidak terlalu mahal bagi keluarga pangeran, namun gelang itu adalah peninggalan ibunya.

"Ibuku atau nenekku juga menerima gelang ini dari ibunya, maka gelang yang sudah turun-temurun ini harus kau jaga baik-baik dan dapat dijadikan jimat penolak bencana," demikian ia memberitahu anaknya dan Cin Lan selalu menjaga gelang yang melingkari lengan kirinya itu.

Ketika anak dan ibu ini turun dari kereta, terdapat dua orang pengemis muda yang berada di depan kuil dan mereka memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga menyaksikan kecantikan gadis remaja itu dan mereka lalu berbisik-bisik.

Memang di halaman kuil itu biasanya terdapat beberapa orang pengemis yang mengharapkan sedekah dari para pengunjung kuil. Biasanya, orang-orang yang berkunjung ke kuil, suka lepas tangan dan murah hati dalam memberi sumbangan kepada para fakir miskin.

Demikianlah memang watak manusia. Ketika memasuki kuil atau tempat pemujaan lainnya, manusia selalu mengajukan permohonan kepada Tuhan atau kepada kekuasaan lain agar mencapai apa yang dikehendaki. Dan untuk memperkuat permohonan mereka itu, mereka suka "berbuat baik" dengan memberi sedekah agar permohonannya terkabul.

Betapa palsunya perbuatan baik semacam ini. Bukan berbuat baik namanya, melainkan menyalah-gunakan apa yang dinamakan perbuatan baik dengan menjadikannya sebagai cara untuk memperoleh apa yang diharapkan, seolah merupakan penyuapan atau penyogokan!

Demikianlah, keinginan untuk memperoleh sesuatu biasanya menggelapkan pikiran, meniadakan pertirnbangan, membuat orang buta terhadap yang benar dan yang salah, dan meng-gunakan segala daya upaya demi tercapainya apa yang diinginkan itu. Kalau perlu, manusia tidak segan menghalalkan segala cara yang busuk demi memperoleh keinginannya itu.

Namun, kita sudah lupa akan kenyataan ini dan kita pun terbawa oleh kebiasaan umum, yaitu suka menderma sehabis keluar dari tempat-tempat pemujaan dan dengan pemberian sedekah itu kita mera-sa diri bersih, suci dan baik hati! Tanpa merasa kita sudah terseret ke dalam kebiasaan yang salah namun dibenarkan oleh umum ini.

Dan para pengemis tahu akan hal ini, maka berderetlah mereka di tempat-tempat seperti itu, memancing ikan di air yang keruh atau lebih tepat mencari hasil selagi pikiran manusia dalam kekeruhan!

Lu Bwe Si bersembahyang dan Cin Lan juga ikut, bersembahyang. Mereka merupakan tamu agung, karena menjadi keluarga pangeran, maka dilayani sendiri oleh Tiong Hwi Nikouw, kepala nikouw di kuil itu. Ini pun merupakan suatu kebiasaan yang sudah lajim. Mungkin sekali Tiong Hwi Nikouw bukan seorang yang mata duitan.

Akan tetapi sudah menjadi kebiasaan bahwa tamu-tamu terhormat biasanya meninggalkan dermaan yang besar jumlahnya kepada kuil, maka mereka juga disambut dan dilayani secara istimewa? Kembali contoh dan kepalsuan manusia yang sudah menjadi kebiasaan!

Cin Lan bersembahyang untuk arwah ieluhur ibunya, tidak tahu bahwa ia bersembahyang pula untuk arwah ayah kandungnya! Setelah selesai sembahyang dan bercakap-cakap sebentar dengan Tione Hwi Nikouw, seorang nikouw tua berusia enam puluh tahun yang masih bertubuh sehat dan kuat, minum air teh yang di suguhkan.

Lu Bwe Si berpamit setelah memberi uang sedekah kepada kuil itu bersama Cin Lan mereka melangkah keluar, diiringkan oleh Tiong Hwi Nikouw. Baru saja mereka menuruni anak tangga, mereka dihadang oleh tiga orang pengemis muda yang tersenyum-senyum menjulurkan tangan minta sedekah.

Lu Bwe Si mengerutkan alisnya melihat sikap menyeringai mereka dan ia pun memberi beberapa keping uang kepada mereka. Akan tetapi tiga orang pengemis itu tidak mau pergi.

"Nona belum memberi," kata mereka dan kini mereka menjulurkan tangan kepada Cin Lan sambil mendekati nona itu.

Cin Lan merasa tidak senang. "Pergi kalian! Bukankah Ibu sudah memberi kepada kalian?" bentaknya.

Seorang di antara mereka berkata, "Aih, jangan galak-galak, Nona. Berilah kami sedikit sedekah dari tangan Nona yang indah itu."

"Kurang ajar kalian! Tidak tahukah dengan siapa kalian berhadapan? Aku adalah puteri Pangeran Tang Gi Su!" bentak pula Cin Lan.

<ĺlll Akan tetapi tiga orang pengemis itu tertawa. "Dengar, kawan-kawan. la bilang puteri Pangeran Tang Gi Su! Ha-ha-ha, sungguh lucu. Engkau hanya anak tiri pangeran itu, jangan berpura-pura menjual lagak, Nona!"

Pengemis itu lalu tiba-tiba menangkap lengan kiri Cin Lan dan sebelum Cin Lan sempat mengelak dia sudah merenggut gelang kemala dari lengan kiri itu. Gelang itu memang agak terlalu besar untuk lengan Cin Lan yang kecil, maka dengan mudah dapat dirampas, dan telah dimasukkan saku oleh pengemis muka bopeng itu.

"Jahanam, kembalikan gelangku!" Cin Lan kini melompat dan memukul.

Pengemis itu ternyata dapat bersilat juga. Dia menangkis dan balas memukul. Akan tetapi Cin Lan mengelak dan sekali kakinya mencuat, pengemis itu telah tertendang perutnya dan jatuh terjengkang. Dua orang pengemis yang lain lalu mengeroyok. Mereka berani karena tahu bahwa gadis itu bukanlah puteri pangeran, melainkan hanya anak tiri.

Akan tetapi Cin Lan mengamuk. la menggunakan semua ilmu silat yang selama ini la pelajari dan dalam beberapa gebrakan saja tiga orang pengemis itu telah menjadi bulan-bulan tamparan dan tendangan kakinya. Tiga orang pengemis itu terkejut dan heran, akhirnya menjadi ketakutan dan melarikan diri sambll membawa gelang kemala. Cin Lan hendak mengejar, akan tetapi tiga orang pengemis itu lari cerai-berai dan ibunya melarang ia mengejar.

"Sudahlah, jangan dikejar, Cin Lan," kata Lu Bwe Si dengan suara mengandung kegelisahan. Ia gelisah karena mendengar perngemis itu tadi membuka rahasia anaknya.

"Benar, Siocia (Nona). Tidak perlu ditanggapi pengemis-pengemis kurang ajar itu. Kalau mereka berani datang lagi ke sini akan pinni (aku) usir mereka," kata Tiong Hwi Nikouw.

"Marilah kita pularrg, Cin Lan," kata ibunya sambil menggandeng tangan anaknya menghampiri kereta.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras, "Perlahan dulu!"

Dan muncullah seorang pengemis berusia lima puluh tahunan. Orangnya pendek gendut dan dia memegang sebatang tongkat hitam. Karena jelas bahwa dia menegur Lu Bwe Si, maka nyonya ini memandang dengan alis berkerut.

"Engkau mau apa?" bentaknya.

"Ha-ha-ha, perlahan dulu, Toanio. Tadi tiga orang muridku telah dihajar oleh nona ini, maka aku datang untuk membalaskan mereka. Hayo Nona, kalau memang engkau seorang yang berkepandaian, lawanlah tongkat hitamku!" Dan dia memutar-mutar tongkatnya yang terbuat dari baja itu sehingga terdengar suara berngiukan.

"Siapa takut padamu?" bentak Cin Lan sambil melompat maju. "Murid-muridmu pencuri kurang ajar, gurunya tentu lebih brengsek lagi! Majulah kalau engkau minta dihajar!" Cin Lan memasang kuda-kuda, siap untuk bertanding melawan pengemis pendek gendut yang memegang tongkat hitam itu.

"Nah, rasakan kehebatan tongkatku!" bentak pengemis itu dan dia pun mulai menyerang dengan ganas.

Diam-diam Cin Lan terkejut. Serangan orang ini tidak dapat disamakan dengan tiga orang pengemis tadi. Serangan tongkatnya itu cepat dan mengandung tenaga yang kuat sekali. Ia menggunakan kelincahannya untuk mengelak sambil membalas dengan tendangan, akan tetapi terpaksa ia menarik kembali kakinya karena tongkat itu menangkis dengan kuat sekali.

Dan pengemis itu pun tidak mau memberi hati, langsung menghujankan serangannya. Untung bagi Cin Lan bahwa ia memiliki gerakan yang amat gesit sehingga ia dapat mengelak ke sana sini. Akan tetapi segera ia terdesak hebat karena permainan tongkat pengemis itu memang sudah tinggi tingkatnya.

Suara angin berdesir menyambar-nyambar dan biarpun sampai belasan jurus Cin Lan mampu mengelak dan tubuhnya berkelebatan di antara sambaran tongkat, namun ia sudah terdesak mundur dan kalau pertandingan itu dilanjutkan bukan tidak mungkin ia akan terkena pukulan tongkat.

Ketika tongkat itu dengan dahsysatnya menyambar ke arah kepala Cin Lan dan gadis ini mengelak, terdengar bunyi keras dan tongkat itu ternyata telah ditangkis oleh sebatang tongkat lain, yaitu tongkat yang berada di tangan Tiong Hwi Ni-kouw! Nikouw ini ketika melihat betapa Cin Lan terdesak, sudah mengambil tongkatnya dan kini ia maju menangkis tongkat pengemis itu.

"Tang-siocia, mundurlah, biarkan pinni yang menghajar pengemis tak tahu diri ini. katanya dan Cin Lan yang merasa kewalahan segera mundur mendekati ibunya yang kelihatan khawatir sekali.

Kini terjadi pertandingan antara Tiong Hwi Nikouw dan pengemis pendek gendut itu. Keduanya mempergunakan tongkat dan ternyata tongkat di tangan Tiong Hwi Nikouw itu lihai sekali gerakannya. Nikouw ini pernah menjadi murid Siauw-lim-pai, maka tentu saja permainan tongkatnya juga tangguh sekali.

Dan perlahan-lahan ia mulai merndesak pengemis pendek itu dengan tongkatnya sehingga Si Pengemis kini hanya mampu menangkis tidak mampu balas menyerang. Melihat ini, Cin Lan kagum dan girang sekali. Akan tetapi pada saat itu, muncul seorang pengemis tinggi besar yang juga memegang sebatang tongkat hitam dan begitu tiba di situ, pengemis tinggi besar itu membentak,

"Siapa berani menentang Hek-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam)?" Dan tanpa banyak cakap lagi dia segera terjun ke dalam perkelahian itu, mengeroyok Tiong Hwi Nikouw! Dan ilmu tongkat Si Tinggi Besar ini ternyata lebih hebat danpada ilmu tongkat Si Pendek Gendut.

Begitu Si Tinggi Besar ini menggerakkan tongkatnya menyerang, berbalik nenek itu yang terdesak hebat dan karena ia dikeroyok dua, maka kini Tiong Hwi Nikouw hanya mampu menangkis sambil berloncatan mundur. Cin Lan merasa khawatir sekali karena dara ini maklum bahwa nikouw itu tentu akan kalah dalam waktu singkat.

"Beginikah kelakuan orang-orang Hek-tung Kai-pang?" Tiba-tiba terdengar seruan dan muncullah seorang pengemis lain. Pengemis ini sudah tua, usianya tentu sudah mendekati tujuh puluh tahun, pakaiannya serba putih walaupun penuh tambalan namun nampak bersih. Pengemis ini pun memegang sebatang tongkat bambu yang butut, akan tetapi begitu dia menggerakkan tongkat bambunya menangkis, dua orang pengemis itu terhuyung ke belakang.

Pengemis yang berbaju putih itu lalu memberi hormat kepada Tiong Hwi Ni-kouw, "Maafkan dua orang pengemis yang tidak tahu diri ini dan biarkan aku yang tua memberi hajaran kepada mereka!"

Adapun dua orang pengemis tongkat hitam menjadi marah sekali melihat munculnya pengemis baju putih yang sama sekali tidak mereka kenal. Si Tinggi Besar maju dan menudingkan telunjuk kirinya. "Engkau ini pengemis macam apa? Tidak setia kawan membantu sesama pengemis malah menentang kami? Apakah tidak tahu bahwa kami dari Hek-tung Kai-pang di kota raja dan sekitarnya menjadi pimpinan para pengemis?"

Pengemis tua itu tersenyum. "Ingin aku melihat bagaimana sikap ketua kalian kalau melihat sikap dan mendengar suara kalian ini. Sebagai pengemis yang pekerjaannya meminta belas kasihan orang lain, kenapa kalian menggunakan kekerasan? Kalau pengemis menggunakan kekerasan, apa bedanya dengan perampok? Ketahuilah, hai pengemis yang tidak tahu diri. Penggunaan kekerasan tidak menguntungkan, bahkan akan mencelakakan diri kalian sendiri. Hayo cepat berlutut minta maaf kepada nikouw ini dan juga kepada Toanio dan Siocia itu!"

"Pengemis tua busuk! Kau tidak tahu siapa kami, ya? Kau pantas dihajar!" Bentak Si Tinggi Besar dan bersama Si Pendek Gendut dia lalu menyerang kalang-kabut kepada pengemis baju putih.

Akan tetapi pengemis baju putih ini berdiri tegak saja dan ketika dua orang penyerangnya sudah menerjang dekat, perlahan pula dia menggerakkan tongkatnya akan tetapi sungguh aneh, tongkatnya itu dapat mendorong kedua orang itu sehingga terjengkang!

Dua orang itu meloncat bangun dan menyerang lagi, akan tetapi kembali mereka terjengkang karena dari tongkat bambu itu keluar hawa yang amat kuat mendorong mereka. Untuk ke tiga kalinya mereka bangkit dan menyerang, akan tetapi makin hebat serangan mereka, makin hebat pula mereka terlempar.

Dan akhirnya mereka tidak berani lagi menyerang, maklum bahwa mereka berhadapan dengan orang pandai. Mereka hendak melarikan diri, akan tetapi kakek berpakaian putih itu menggerakkan tangan seperti menggapai dan mereka jatuh tergulingan lagi.

"Sebelum minta ampun kepada Ni-kouw, pinto dan Siocia, jangan harap kalian akan dapat meninggalkan tempat ini," kata pengemis tua itu.

Akhirnya dua orang pengemis Hek-tung Kai-pang itu berlutut dan minta ampun kepada Tiong Hwi Nikouw, Lu Bwe Si dan Tang Cin Lan, mengangguk-anggukkan kepala seperti dua ekor ayam mematuk gabah padi.

"Nah, kalian berdua ingat baik-baik. Jangan membiarkan anak buah kalian melakukan perbuatan jahat, terutama sekali jangan menggunakan kekerasan. Lain hari aku akan bertemu dengan ketua kalian untuk menegurnya. Apakah kalian ingin dibasmi oleh pasukan pemerintah? Atau setidaknya dibasmi oleh para pendekar? Nah, pergilah dan jangan ulangi perbuatan kalian!"

Dua orang pengemis itu memberi hormat dan segera pergi tanpa banyak cakap lagi. Orang-orang yang menonton pertandingan itu menjadi gembira dan kagum. Para pengemis Hek-tung Kai-pang memang suka mengganggu orang, terutama para wanita. Dan mereka itu agaknya tidak takut terhadap para petugas penjaga keamanan, karena mereka itu merupakan orang-orang kepercayaan dari Pangeran Bian Kun.

Karena adanya Pangeran Bian Kun yang selalu membela mereka, maka para anggauta Hek-tung kai-pang menjadi besar kepala dan setiap kali para petugas keamanan bertindak keras kepada mereka, tentu petugas keamanan ditegur keras oleh Pangeran Bian Kun.

Kini, melihat dua orang tokoh Hek-tung Kai-pang dihajar oleh seorang pengemis tua yang menasihati agar mereka tidak menggunakan kekerasan melakukan kejahatan, tentu saja para penonton itu menjadi gembira sekali.

Cin Lan juga kagum sekali melihat kesaktian pengemis tua baju putih itu. Ia mendekati Tiong Hwi Nikouw yang sudah dikenalnya dengan baik. "Su-kouw," bisiknya. "Aku ingin sekali belajar ilmu silat dari Locianpwe itu. Tanyakanlah kepadanya, Su-kouw, tolonglah...."

Nikouw itu tersenyum dan mengangguk, lalu ia menghampiri pengemis itu dain memberi hormat. "Terima kasih banyak atas bantuan Locianpwe. Mohon tanya, siapakah Locianpwe dan datang dari mana?"

Pengemis itu tersenyum. "Orang menyebutku Pek I Lokai (Pengemis Tua Baju Putih). Aku sudah lupa akan namaku, maaf...."

"Locianpwe, karena Locianpwe sudah menyelamatkan pinni dan juga Toanio dan Siocia ini, maka pinni persilakan Lo-cianpwe untuk singgah sebentar dan bercakap-cakap di dalam."

Pengemis itu menoleh dan memandang kepada Lu Bwe Si dan Cin Lan, kemudian dia mengangguk dan berjalan perlahan mengikuti nikouw itu memasuki Kuil Kwan-im-bio. Lu Bwe Si hendak mengajak puterinya pulang, akan tetapi dara itu malah menarik tangan ibunya diajak masuk kembali ke kuil.

Mereka duduk menghadapi meja dengan hidangan tanpa daging dan tanpa arak. Pengemis itu tanpa malu-malu lagi menyantap hidangan yang disuguhkan kepadanya. Setelah selesai makan, dia mengangguk-angguk dan tersenyum.

Pada saat itu, Lu Bwe Si dan Cin Lan memasuki ruangan itu. Tiong Hwi Nikouw lalu bangkit berdiri dan berkata kepada pengemis itu, "Locianpwe, toanio ini adalah isteri dari Pangeran Tang Gi Su dan nona ini adalah Tang-siocia. Nah, Tang-siocia tadi melihat kelihaian Locianpwe dan ingin sekali belajar Ilmu silat dari Locianpwe."

Pengemis itu tersenyum dan memandang kepada Cin Lan, memandang dari kepala sampai ke kaki dan diam-diam dia kagum. Gadis remaja inl memang berbakat baik sekali. "Nona sudah pernah mempelajari ilmu silat sampai cukup baik, untuk apa ingin belajar lagi?"

"Locianpwe, biarpun sejak kecil aku sudah mempelajari ilmu silat, akan tetapi buktinya tadi ketika menghadapi pengemis pendek gendut, aku tidak mampu mengalahkannya. Karena itu melihat kesaktian Locianpwe, aku ingin sekali menjadi murid Locianpwe. Harap engkau orang tua tidak menolak!"

Setelah berkata demikian, membuat kaget hati ibunya, gadis itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek pengemis itu! Tentu saja Lu Bwe Si terkejut sekali, akan tetapi ia pun tidak dapat berbuat sesuatu. Melihat puterinya, puteri pangeran, berlutut di depan kaki seorang kakek pengemis!

Bagaimana kalau hal seperti ini dilihat orang lain? Untung di situ hanya ada ia dan Tiong Hwi Nikouw! Pengemis itu mengangkat mukanya dan tertawa bergelak, kemudian dengan tongkat bambunya dia menusuk bawah ketiak kiri Cin Lan lalu mengangkatnya.

Cin Lan merasa ada tenaga raksasa tongkat itu yang mengangkatnya. la hendak menguji dan mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawannya akan tetapi tetap saja ia terangkat dalam keadaan masih berlutut!

Kakek itu tertawa, "Ha-ha-ha, sin-kangmu boleh juga, Nona. Cin Lan lalu menurunkan kakinya dan ia bertanya, "Bagaimana, Locianpwe sudikah engkau menerimaku sebagai murid?"

"Aku seorang kakek pengemis perantau, bagaimana dapat menjadi gurumu, Nona? Dan aku pun tidak suka tinggal di rumah pangeran yang seperti istana, terlalu mewah bagiku."

Tiba-tiba Tiong Hwi Nikouw berkata, "Kalau Locianpwe menghendaki, dapat saja melatih Tang-slocia di kuil ini."

"Bagus, kalau begitu baru bagus dan aku setuju!" kata kakek itu gemblra.

"Terima kasih, Suhu!" kata Cin lan gembira.

"Eh, nanti dulu, Nona. Engkau harus memperoleh ijin dari Ibumu'" kata kakek itu.

Lu Bwe Si segera berkata, "Kami memang tahu akan kesukaan puteri kami dan kami tidak berkeberatan kalau Lo-cianpwe suka menjadi guru Cin Lan."

"Wah, semua beres kalau begitu. Nah, seminggu sekali Nona boleh datang ke sini. Selama sehari Nona akan kuajar ilmu silat, kemudian melatihnya di rumah Nona sendiri selama seminggu. Setiap seminggu sekali kita bertemu di sini dan dimulai dengan besok pagi-pagi sekali," kata Pek I Lokai kepada Cin Lan.

"Baik Suhu. Besok pagi-pagi sekali teecu akan datang ke kuil ini," kata Cin Lan. Kemudian ia mengikuti ibunya naik kembali ke dalam kereta dan kembali ke rumah mereka Cin Lan dan ibunya tidak menceritakan tentang peristiwa tadi kepada Pangeran Tang Gi Su.

Akan tetapi begitu berada bedua saja di dalam kamarnya, Cin Lan berkata kepada ibunya dengan suara menuntut, "Ibu, sejak tadi perasaan ini kutahan-tahan saja. Sekarang harap Ibu suka menceritakan tentang ucapan pengemis kurang ajar tadi. Apa artinya ucapannya itu, Ibu?"

"Ucapan yang bagaimana, Ariakku?" tanya ibu itu dengan hati gelisah, karena tentu saja ucapan pengemis muda tadi tak pernah ia lupakan.

"Pengemis tadi mengatakan bahwa aku hanyalah anak tiri dari Ayah Pangeran. Apa artinya ini, Ibu? Kalau Ibu tidak mau berterus terang, aku akan melakukan penyelidikan sendiri dengan bertanya-tanya kepada orang luaran."

Sang Ibu menundukkan mukanya. Rahasia itu bagaimanapun juga tidak mungkin disimpan terus. Orang luar semua tahu belaka bahwa ketika menjadi selir pangeran, ia sudah membawa seorang anak. Semua orang tahu belaka bahwa Cin Lan adalah puteri tiri Sang Pangeran.

"Baiklah, Cin Lan. Engkau sekarang sudah menjelang dewasa dan engkau perlu mengetahuinya. Lebih baik engkau mendengar dari mulutku sendiri daripada engkau mendengar dari mulut orang lain. Memang sebenarnyalah engkau bukan puteri kandung ayahmu Pangeran. Engkau adalah anak tirinya."

Cin Lan menekan perasaannya. la sudah siap menghadapi kenyataan ini, dan hanya wajahnya saja yang nampak agak pucat.

"Akan tetapi, Anakku, apakah engkau merasa di anaktirikan? Tidak, bukan? Ayahmu amat mencintamu, tidak berbeda dengan anak-anaknya sendiri. Juga saudara-saudaramu menyayangimu, tidak menganggapmu sebagai saudara tiri."

"Akan tetapi mengapa Ibu selama ini merahasiakannya?"

"Belum waktunya, Cin Lan. Kalau engkau masih kecil dan mendengar kenyataan ini tentu amat tidak baik bagimu. Sekarang engkau sudah dewasa, maka tidak ada halangannya untuk kau dengar rahasia ini."

"Ibu, di mana ayah kandungku?"

"Ayah kandungmu sudah meninggal dunia sejak engkau masih kecil sekali, baru berusia beberapa bulan, Cin Lan. Kalau ayah kandungmu tidak meninggal dunia, tentu aku tidak akan menjadi isteri Pangeran Tang Gi Su. Setelah ayahmu meninggal dunia, aku bertemu dengan Pangeran Tang Gi Su dan dia melamarku. Demikianlah, aku menjadi isterinya dan engkau menjadi puterinya. Dan kita harus mengakui bahwa dia baik sekali, Cin Lan. Engkau juga dianggapnya sebagai puterinya sendiri."

Cin Lan berdiam diri sampai lama, termenung. Memang ia tidak perlu merasa penasaran. Pangeran Tang amat menyayangnya dan ia tidak pernah merasa di anaktirikan. "Siapa nama ayah kandungku, Ibu?"

"Namanya Cian, she Bu."

"Hemm, Bu Cin Lan...” gumam dara itu.

"Cin Lan, demi kebaikanmu sendiri dan kehormatan ayahmu pangeran, sebaiknya kalau engkau tetap memakai nama marga Tang. Tidak perlu orang lain tahu bahwa engkau anak seorang she Bu. Pula, apa yang dapat kita lakukan untuk membalas kebaikan keluarga Tang, kecuali kalau engkau menggunakan nama marga mereka? Penuhilah pesan ibumu ini, Anakku. Jangan memakai nama marga Bu, melainkan pakailah terus she Tang. Kalau tidak, maka hubungan antara ibumu dan ayahmu pangeran tentu akan menjadi retak dan kita akan dianggap tidak mengenal budi."

"Baiklah, Ibu."

"Masih ada sebuah rahasia lagi yang perlu sekarang juga kuceritakan kepadamu."

"Rahasia tentang apa, Ibu?"

"Tentang gelang kemala itu."

"Gelang kemala? Ah, yang dirampas oleh pengemis itu?" tanya Cin Lan terkejut dan juga menyesal mengingat bahwa gelang itu telah hilang. "Bukankah itu gelang pemberian Nenek? Ada rahasia apakah dengan gelang itu?"

"Gelang itu bukan peninggalan nenekmu. Gelang itu adalah... tanda ikatan perjodohanmu!"

Sepasang mata yang tajam indah itu terbelalak memandang wajah ibunya penuh selidik, "Ikatan perjodohan? Apa artinya ini, Ibu?"

"Dahulu, ketika ayahmu masih hidup, bahkan pada hari ayahmu akan meninggal dunia, kami kedatangan seorang sahabat baik ayahmu bernama Song Tek Kwi. Song Tek Kwi mempunyai seorang anak laki-laki yang baru berusia satu tahun dan ayahmu menyetujui usul Song Tek Kwi untuk menjodohkan anak masing-masing. Song Tek Kwi lalu mengeluarkan sepasang gelang kemala yang serupa benar, tiada bedanya sedikitpun juga. Dia menyerahkan sebuah gelang kemala kepada kami untukmu sebagai tanda ikatan perjodohan."

"Ah, baru berusia beberapa bulan sudah dijodohkan?" seru Cin Lan penasaran.

"Antara ayahmu dan Song Tek Kwi terjalin persahabatan yang erat sekali, Cin Lan. Mereka berdua adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Karena mengingat bahwa ayah kandungmu seorang pendekar yang mencita-citakan bahwa engkau juga harus menjadi seorang ahii silat yang pandai, maka aku sengaja memanggil guru-guru silat untuk mengajarmu dan ayahmu pangeran juga menyetujui. Nah, karena hubungan yang erat itulah maka ikatan perjodohanmu dibuat."

"Hemmm, jadi... laki-laki yang dijodohkan denganku itu pun memiliki sebuah gelang kemala presis kepunyaanku itu?"

"Benar, Cin Lan. Akan tetapi aku sudah lupa lagi siapa nama anak itu. Setelah berpisah, ayahmu meninggal dunia dan aku mengalami banyak penderitaan batin sehingga nama yang baru satu kali kudengar dari Song Tek Kwi itu kulupakan lagi."

"Tidak mengapa kau lupakan, Ibu. Bagaimanapun juga, tidak seharusnya aku menjadi jodohnya! Aku tidak mau dijodohkan dengan orang yang selamanya belum pernah kulihat atau kukenal. Bagaimana kalau dia menjadi seorang yang jahat dan bagaimana kalau melihatnya aku merasa tidak suka kepadanya? Pula, gelang kemala milikku itu sudah hilang, tidak perlu dipikirkan lagi perjodohan kanak-kanak itu."

"Cin Lan, jangan bicara begitu Arwah ayah kandungmu akan merasa penasaran mendengar ucapanmu."

"Hemm, bagaimanapun juga, pernikahan adalah urusan orang yang menikah, harus ada persetujuan kedua pihak yang akan berjodoh barulah benar dan baik. Sudahlah, Ibu. Aku ingin tahu, bagaimana Ayah yang masih muda dan juga seorang pendekar yang tentu kuat tubuhnya itu sampai meninggal dunia? Di mana kuburannya? Aku ingin menengok dan bersembahyang di kuburannya... ah, sekarang aku mengerti mengapa Ibu sering bersembahyang di kuil. Tentu menyembahyangi arwah ayah kandungku, bukan?"

Dengan mata basah ibunya mengangguk. Diam-diam ibu ini menjadi bingung. Kalau ia berbohong dan anaknya pergi bersembahyang ke dusunnya, tentu anak itu akan mendengar tentang kematian ayahnya. Ah, Cin Lan sudah dewasa, menjadi seorang gadis yang gagah, tidak perlu menyimpan rahasia lagi.

"Dengarlah Anakku. Ibumu akan menceritakan segalanya. Tadi sudah kuceritakan bahwa Song Tek Kwi datang berkunjung, menyerahkan gelang kemala sebagai tanda ikatan perjodohan antara engkau dan puteranya. Selagi kami bercakap-cakap, terdengar suara ribut-ribut dan datang laporan bahwa ada gadis dipaksa oleh seorang pangeran untuk menjadi isterinya.

"Ayahmu adalah seorang pendekar, mendengar ini dia lalu berlari keluar diikuti Song Tek Kwi yang juga seorang pendekar yang gagah perkasa. Setelah tiba di luar mereka melihat seorang gadis dipaksa naik kereta untuk dijadikan selir seorang pangeran. Ayahmu dan Song Tek Kwi menjadi marah dan mengamuk, merobohkan tukang-tukang pukul pangeran itu bahkan memberi hajaran kepada pangeran mata keranjang yang suka memaksa anak gadis orang."

"Wah, Ayah seorang pemberani yang gagah perkasa!" kata Cin Lan gembira.

"Akan tetapi peristiwa itu berekor panjang, Anakku. Pada lain harinya, datang pasukan untuk menangkap kami karena ayahmu yang berani memukul seorang pangeran itu dianggap pemberontak. Ayahmu tidak mau menyerah dan terjadi perkelahian. Ayahmu dikeroyok banyak orang dan akhirnya ayahmu tewas. Aku yang sedang menggendongmu juga menjadi tawanan."

"Ahhh....! Mereka kejam sekali!" bentak Cin Lan sambil mengepal tinju.

"Sebetulnya ayahmu terlalu keras hati, Cin Lan. Tentu saja menghajar seorang pangeran dianggap sebagai pemberontak. Dan sudah menjadi peraturannya bahwa keluarga seorang pemberontak harus ditangkap semua. Maka, aku pun ditangkap. Dan pada saat itu muncul Pangeran Tang Gi Su yang menolong kita. Berkat kekuasaan Pangeran Tang Gi Su maka aku dibebaskan dan diajak ke rumahnya. Kemudian dia... dia melamarku.

"Aku tidak melihat jalan lain. Kalau aku menolak dan aku berada di luar, tentu aku akan ditangkap sebagai keluarga pemberontak. Kalau aku menjadi selirnya, maka aku dan engkau akan selamat dan terlindung. Sungguh mati, pada waktu itu aku hanya ingat akan keselamatanmu, Cin Lan. Maka aku... aku rnenerima pinangannya. Begitulah ceritanya, Cin Lan."

"Hemm, siapakah pangeran yang suka memaksa gadis itu, Ibu?"

Bwe Si merasa lebih baik tidak menceritakan nama pangeran itu agar puterinya tidak melakukan tindakan yang gegabah. "Aku tidak tahu namanya, Cin Lan. Akan tetapi gadis-gadis yang dipilih itu kebanyakan adalah gadis dusun dan orang tua si gadis malah bangga menyerahkan anak gadisnya untuk diajak pergi seorang pangeran dan menjadi selirnya."

"Dan di mana Ayah dikubur, Ibu?"

"Kami dulu tinggal di dusun Teng-sia-bun tak jauh dari kota raja dan tentu ayahmu dikubur di sana pula oleh penduduk dusun. Aku sendiri tidak mengetahui karena aku terus ditangkap bersamamu."

"Dan Ibu tidak pernah berkunjung ke kuburan itu?"

"Bagaimana mungkin, Anakku? Tentu semua orang akan mengetahui. Tidak, ibu hanya bersembahyang di kuil untuk ayah kandungmu."

"Kalau begitu aku yang akan berkunjung ke sana, Ibu!"

"Cin Lan, ingat pesanku. Jangan sekali-kali engkau mengaku bukan putera Pangeran Tang Gi Su kalau engkau tidak ingin melihat hubungan antara ibumu dan ayahmu pangeran menjadi retak."

"Tidak, Ibu. Dan lagi, apa gunanya kalau aku mengaku she Bu. Lain halnya, kalau Ayah kandungku masih hidup."

Akan tetapi semenjak membuka rahasia itu kepada puterinya, Lu Bwe Si sering kali merasa gelisah dan khawatir sekali. Mengenai ikatan perjodohan puterinya itulah yang amat menggelisahkan hatinya. Di dalam lubuk hatinya, ingin ia memenuhi kehendak mendiang suaminya untuk menjodohkan puterinya dengan putera Song Tek Kwi. Akan tetapi bagaimana caranya?

Bahkan kepada suaminya yang sekarang pun ia tldak berani bicara tentang hal itu. Dan sekarang, gelang kemala puterinya telah hilang, dan bahkan puterinya sendiri tidak setuju dengan ikatan perjodohan itu! la hanya dapat menangis seorang diri dan mengeluh kepada mendiang suaminya yang pertama.

Duka timbul dari kenangan masa lalu, dan rasa khawatir atau takut timbul dari bayangan masa depan. Kalau kita hanya menghadapi masa kini, saat ini dengan penuh penerimaan, kepasrahan, kesabaran dan ketawakalan kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih, maka segala macam kedukaan dan kegelisahan pasti dapat dilenyapkan oleh kekuasaan Tuhan. Segala kehendak Tuhan pun jadilah!

Tidak ada kekuasaan lain yang mampu mengubahnya. Kalau sudah pasrah seperti itu, maka kejadian apa pun yang menimpa diri kita, akan kita hadapi tanpa mengeluh karena kita tahu bahwa kejadian itu sudahlah wajar dan semestinya. Bukan berarti bahwa kita menerima saja segala sesuatu dengan tidak berusaha, sama sekali bukan. Kita berusaha sekuat tenaga namun dengan landasan kepasrahan kepada kekuasaan Tuhan.

Dengan iman yang kokoh kuat, mudah saja bagi, kita untuk melandasi semua daya upaya kita dengan kepasrahan yang mutlak dan lengkap. Dan Tuhan Maha Bijaksana, Maha Murah. Tuhan lebih dari mengerti apa yang terbaik untuk kita, walaupun bagi pikiran kita yang tidak sempurna akan nampak tidak baikl Dan Tuhan mengasihi orang yang pasrah dengan sepenuh jiwa raganya kepada kekuasaanNya.


Pada keesokan harinya, pagi-pagl sekali, Cin Lan sudah meninggalkan gedung tempat tinggalnya. la mengenakan pakaian yang ringkas dan menunggang seekor kuda yang bagus. Sudah sering kali ia menunggang kuda dan pergi berbun binatang.

Maka orang-orang yang melihatnya di jalan tidak merasa heran, hanya memandang dengan kagum. Dara remaja yang berusia lima belas tahun itu pandai sekali menunggang kuda. Tubuhnya tegak dan demikian santainya ia menunggang kuda menuju ke Kwan-im-bio.

Setelah ia tiba di pekarangan kuil, ia menambatkan kudanya di batang pohon dan meloncat turun, Tiong Hwi Nikouw, yang sepagi itu sudah bangun dan habis sembahyang membaca doa, lalu keluar menyambutnya, "Selamat pagi, Tang-siocia."

"Selamat pagi, Sukouw. Apakah Suhu sudah datang?"

"Sudah, dia sudah menanti di ruangan belakang. Mari engkau langsung saja menemuinya di sana," kata nikouw itu dan Cin Lan segera memasuki kuil dan langsung menuju ke ruangan belakang.

Pek I Lokai menyambutnya dengan senyum. "Bagus, engkau datang pagi sekali, Nona."

"Suhu, harap jangan sebut teecu dengan sebutan nona. Nama teecu Tang Cin Lan dan sebagai guruku, Suhu sebaiknya menyebut nama teecu saja.” kata Cin Lan dengan akrab.

Pek I Lokai tertawa. "Sebagai seorang puteri pangeran, sikapmu sungguh rendah hati, Cin Lan. Baiklah, kalau sedang berdua, aku akan menyebutmu Cin Lan saja. Akan tetapi pagi ini aku belum akan melatih ilmu silat kepadamu, karena aku harus pergi dulu menemui Ketua Hek tung Kai-pang, untuk menegurnya agar dia dapat mengatur anak buahnya agar jangan melakukan kejahatan."

"Kebetulan sekali kalau begitu, Suhu Teecu juga ingin mencari pengemis rnuda yang kemarin telah merampas gelang kemala teecu. Teecu harus mendapatkannya kembali karena gelang itu penting sekali bagi teecu."

Cin Lan sudah mengambil keputusan untuk mendapatkan gelang itu kembali, dan kelak kalau ia dapat bertemu dengan orang yang dicalonkan menjadi suaminya, gelang itu akart dikembalikannya sebagai pembatalan ikatan perjodohan itu.

"Baik sekali kalau begitu, mari kita pergi bersama." Pengemis tua itu bangkit berdiri dan membawa tongkat bambunya.

"Suhu, teecu membawa seekor kuda. Suhu pakailah kuda teecu itu."

"Tidak, kita berjalan kaki saja, Cin Lan. Bukankah tempat perkumpulan Hek-tung Kai-pang itu tidak terlalu jaun dari sini?"

“Tidak, Suhu. Tempatnya berada di sudut kota."

"Nah, kita berjalan kaki saja. Marilah."

Mereka berdua keluar dari kuil dan ketika bertemu dengan Tiong Hwi Nikouw, mereka berdua berpamit kepada nikouw itu. Cin Lan tidak mempedulikan pandang mata orang-orang yang ditujukan kepadanya dengan heran melihat ia puteri seorang pangeran, berjalan bersama seorang kakek pengemis yang bertongkat bambu butut!

Rumah perkumpulan Hek-tung Kai-pang itu cukup besar, merupakan sebuah gedung yang besar. Hal ini tidaklah mengherankan karena perkumpulan pengemis ini akhir-akhir ini berpengaruh dan terutama sekali semenjak Pangeran Bian Kun berhubungan dekat dengan ketuanya, maka pangeran itulah yang memperkuat perbendaharaannya sehingga perkumpulan itu dapat membangun sebuah rumah yang cukup besar.

Apakah sebenarnya hubungan antara Hek-tung Koai-ong (Raja Pengemis Tongkat Hitam), ketua dari perkumpulan itu dengan Pangeran Bian Kun yang besar kekuasaannya?

Sebetulnya, hubungan itu dimulai ketika Pangeran Bian Kun beberapa tahun yang lalu terancam bahaya ketika serombongan pendekar hendak membunuhnya karena pangeran ini merebut puteri seorang pendekar sehingga puteri itu kemudian membunuh diri, memilih mati daripada ternoda oleh pangeran itu.

Ketika pangeran itu terancam bahaya maut, Hek-tung Kai-ong muncul dan menolongnya. Karena pertolongan ini, Pangeran Bian Kun menghargainya, bahkan menganggap ketua itu sebagai seorang jagoannya. Dan bukan hanya itu, dia juga menyerahkan puteranya yang bernama Bian Hok untuk menjadi murid Hek-tung Kai-ong.

Sebetulnya, Hek-tung Kai-ong bukanlah seorang jahat, walaupun wataknya kasar dan pemarah. Kalaupun anak buahnya kini bertindak sewenang-wenang, itu terjadi di luar tahunya. Para anak buahnya merasa sombong karena perkumpulan mereka seolah dilindungi oleh Pangeran Bian Kun.

Maka mereka bertindak sewenang-wenang. Kalau ketua mereka mengetahui akan hal itu, tentu dia akan marah sekali karena Hek-tung Kai-ong adalah seorang yang tergolong datuk dan tidak perhah melakukan perbuatan sesat.

Ketika Cin Lan dan Pek I Lokai tiba di depan rumah gedung perkumpulan Hek-tung Kaipang, yang berjaga di depan segera mengenalnya. Berita tentang dihajarnya tiga orang anggauta Hek-tung Kai-pang, bahkan kemudian dihajarnya dua orang pimpinan mereka, yaitu murid-murid dari ketua mereka, sudah mereka dengar.

Dan kini mereka dapat menduga siapa adanya gadis cantik dan kakek pengemis berpakaian putih itu. Maka, mereka mengambil sikap bermusuhan dan sudah siap dengan tongkat mereka mengepung. Jumlah mereka ada belasan orang...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.