Gelang Kemala Jilid 06

Cerita Silat Mandarin Serial Gelang Kemala Jilid 06 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Gelang Kemala Jilid 06

Pek I Lokai mengangkat tangan ke atas, "Tenanglah, kami datang dengan maksud baik. Cepat panggilkan ketua kalian, kami ingin bicara dengan ketua kalian!" kata Pek I Lokai dengan suara tenang dan sabar.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Sementara itu Cin Lan memandangi mereka mencari-cari pengemis muda yang kemarin merampas gelangnya. Akan tetapi ia tidak melihat orang itu di antara mereka. Seorang di antara para anggauta Hek-tung Kai-pang sudah lari ke dalam untuk melaporkan kepada ketua mereka.

Hek-tung Kai-ong tentu saja tidak pernah dilapori tentang perkelahian kemarin, maka dia merasa heran ketika mendengar bahwa di luar ada seorang gadis dan seorang kakek pengemis berpakaian putih hendak menemuinya.

"Persilakan mereka mernasuki ruangan samping!" katanya singkat. Hek-tung Kai-ong adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang tinggi besar dan pada saat itu dia sedang melatih seorang pemuda berusia delapan belas tahun yang tampan dan berpakaian indah. Pemuda ini adalah Bian Hok, putera Pangeran Bian Kun yang menjadi murid ketua pengemis itu.

"Suhu, bolehkah aku ikut mendengarkan pertemuan itu?" tanya Bian Hok yang merasa tertarik juga mendengar bahwa ada seorang gadis dan seorang kakek hendak menemui gurunya.

"Tentu saja boleh, Bian-kongCu. Mari kita ke ruangan samping."

Ruangan samping itu merupakan ruangan tamu yang luas dan biasa juga suka dipakai untuk mengadakan perternuan besar dengan para anggauta. Mereka berdua tiba lebih dulu di ruangan itu dan duduk menanti. Setelah menanti sebentar, masuklah Cin Lan dan Pek I Lokai diiringkan beberapa orang anggauta Hek-tung Kai-pang.

Dan ketika Cin Lan melihat Bian Hok, ia mengerutkan alisnya diam-diam terkejut. la sudah mengenal pemuda itu dan beberapa kali pernah bertemu karena ayah mereka keduanya adalah pangeran.

Sebaliknya, Bian Hok juga heran dan kaget melihat bahwa gadis itu bukan lain adalah Tang Cin Lan, gadis remaja yang sudah lama digandrunginya. "Hai, Adik Tang Cin Lan! Kiranya engkau yang datang?" serunya dengan girang.

Cin Lan menanggapi sambutan gembira itu dengan dingin. saja. "Aku pun tidak mengira bahwa engkau akan berada di sini, Bian-kongcu!"

la sengaja menyebut kongcu, sebutan yang menunjukkan bahwa ia tidak bersedia bersikap akrab dengan pemuda itu. Memang, ayahnya dahulu pernah menganjurkan agar ia menyebut twako, akan tetapi karena menemukan pemuda ini di sarang pengemis-pengemis yang kurang ajar itu, hatinya tidak senang dia sengaja menyebut kongcu.

Akan tetapi, agaknya Bian Hok tidak merasakan ini dan dia berkata girang kepada gurunya, "Suhu, nona ini adalah Tang Cin Lan-siocia, puteri dari Paman Pangeran Tang Gi Su!"

Mendengar ucapan ini, Hek-tung Kai-ong lalu memberi hormat kepada Cin Lan dan berkata, "Maafkan karena tidak tahu akan kunjungan Siocia, kami terlambat menyambut. Silakan duduk Siocia."

Dengan sikap yang angkuh Cin Lan mengangguk, lalu duduk dan menarik tangan Pek I Lokai sambil berkata, "Duduklah, Suhu."

Kini tiba giliran Bian Hok yang memandang heran. Dia tahu bahwa Cin Lan adalah seorang gadis yang gagah, yang diajar silat oleh para jagoan dar istana. Akan tetapi dia tidak mengira bahwa gadis itu kini mempunyai guru seorang kakek pengemis pula.

Pek I Lokai duduk pula walaupun belum dipersilakan tuan rumah. Melihat sikap sederhana dari kakek berpakaian putih itu, Hek-tung Kai-ong tidak berani memandang rendah. Sambil duduk dia pun memberi hormat dan berkata, "Tidak tahu siapakah saudara tua ini? Dari golongan mana dan siapakah namanya? Ada keperluan apa datang berkunjung ke gubuk kami?"

Pek I Lokai tersenyum dan memandang ke sekeliling. Lucu juga rumah sebesar ini disebut gubuk! "Aku bukan dari golongan mana-mana dan orang menyebutku Pek I Lokai."

Hek-tung Kai-ong nampak terkejut. Dia pun pernah mendengar nama besar Pek I Lokai di selatan dan baru sekarang dia bertemu dengan orangnya. "Ah, kiranya Pek I Lokai yang nama-nya terkenal di sepanjang Sungai Kuning? Selamat datang di tempat kami. Dan ada urusan penting apakah yang membawa Lokai datang berkunjung?"

Pek I Lokai memandang tajam. "Engkau tentu Ketua Hek-tung Kai-pang, bukan?"

"Benar, orang menyebutku Hek-tung Kai-ong," kata ketua itu dengan suara merendah, tanpa merasa bangga atau sombong. Agaknya dia seorang yang jujur.

"Pantas, seorang kai-ong (raja pengemis) menempati istana seperti ini! Begini, Kai-ong, kedatanganku ini untuk memberi teguran kepadamu atas tindakan anak buahmu yang sungguh di luar kepantasan!"

Sepasang mata yang besar itu terbelalak, wajah yang keren itu menjadi kemerahan dan hidung yang besar itu kembang-kempis. Tentu saja Hek-tung Kai-ong marah sekali mendengar ucapan itu. "Pek I Lokai, engkau hendak mengatakan bahwa aku telah mengajar kepada anak buahku untuk bertindak tidak pantas, begitu?"

"Beberapa orang murid dan anak buahmu memang bertindak tidak pantas sekali, habis Suhu harus berkata bagaimana?" Tiba-tiba Cin Lan yang sejak tadi menahan kemarahannya berseru.

Hek-tung Kai-ong kini nnemandang kepadanya. "Siocia, perbuatan tidak pantas yang manakah dilakukan anak buahku? Pekerjaan mereka hanya minta sedekah dari orang-orang yang murah hati, apakah perbuatan itu dapat disebut tidak pantas?"

Cin Lan mendahului suhunya, "Kalau hanya minta sedekah, hal itu adalah hal biasa dan kami tidak akan mempersoalkan lagi. Akan tetapi kemarin ketika aku bersama ibuku pergi ke Kuil Kwan-im-bio, tiga orang anak buahmu yang masih muda-muda bersikap kurang ajar kepadaku. Mereka bukan hanya minta sedekah, bahkan berani mereka merampas gelang kemala yang kupakai, kemudian bahkan berani mengeroyok aku. Apakah perbuatan ini pantas, Hek-tung Kai-pangcu? Hayo jawab, apakah ini pantas?"

Menghadapi serangan kata-kata dari Cin Lan, Hek-tung Kai-ong tertegun. "Benarkah kejadian seperti itu?" tanyanya perlahan dan dengan nada suara khawatir kalau-kalau berita itu benar adanya.

"Apa kau kira aku berbohong kepadamu? Tiga orang anak buahmu itu mengeroyokku, dan dapat kuhajar mereka lari tunggang-langgang, membawa lari gelang kemala ku. Akan tetapi lalu datang Si Pendek Gendut yang menyerangku dengan tongkatnya!"

"Ahh....!" Hek-tung Kai-ong berseru kaget.

"Untung ada Tiong Hwi Nikouw yang membantuku. Kemudian datang lagi seorang muridmu yang tinggi besar mengeroyok Tiong Hwi Nikouw. Kalau saja Suhu tidak cepat datang dan mengusir mereka, tentu aku dan Tiong Hwi Ni-kouw telah celaka. Nah, Pangcu, katakan apakah perbuatan anak buahmu ini pantas? Merampas gelang dan menyerang wanita, juga nikouw?"

Melihat gurunya nampak bingung, Bian Hok lalu berkata, "Siauw-moi, harap tenang dulu. Urusan ini harus diselidiki dulu kebenarannya, baru Suhu dapat mengambil keputusan."

Hek-tung Kai-ong sudah begitu marahnya sehingga dia mengeluarkan teriakan keras sekali memanggil anak buahnya yang berada di luar. Dua orang anak buah tergopoh-gopoh lari berdatangan ke dalam ruangan itu.

"Tahu kalian siapa diantara dua orang muridku yahg berkelahi di depan Kuil Kwan-im-bio?" bentaknya.

Dua orang anak buah itu ketakutan, dan seorang di antara mereka menjawab dengan suara gemetar, "Saya... saya hanya mendengar saja, Pangcu. Kabarnya Ciu-twako dan Thio-twako yang berkelahi."

"Cepat cari mereka dan panggil ke sini menghadap, sekarang juga."

"Baik... baik... Pangcu....!" Dua orang itu lalu berlari keluar.

Setelah mereka berdua keluar, Cin Lan berkata kepada Hek-tung Kai-ong, "Pangcu, aku pun menuntut agar gelang kemalaku dikembalikan. Awas, kalau tidak dikembalikan, aku akan minta kepada Ayah agar mengerahkan pasukan untuk membasmi Hek-tung Kai-pang yang berkedok pengemis akan tetapi melakukan perbuatan seperti perampok!" Pedas sekali ucapan gadis itu dan Hek-tung Kai-ong menjadi semakin gelagapan.

Bian Hok lalu tersenyum dan sambil berkata, "Aih, Siauw-moi, harap bersabar dulu. Apa yang dilakukan anak buah itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Suhu, yaitu Ketua Hek-tung Kai-pang. Dan kalau benar mereka berbuat kesalahan, percayalah, Suhu tentu akan, menghukum mereka. Urusan sekecil ini perlu apa harus memusingkan ayahmu, Paman Pangeran Tang? Bisa menjadi buah tertawaan orang banyak. Kalau benar gelangmu dirampas, tentu akan dapat kau terima kembali."

"Kalau benar, kalau benar! Engkau beberapa kali mengatakan kalau benar. Memangnya kau anggap omonganku semua itu bohong belaka?" bentak Cin Lan sambil melototkan matanya kepada Bian Hok.

"Cin Lan-siocia, bersabarlah. Urusan ini dapat diurus dengan sabar, bukan dengan kemarahan," kata Pek I Lokai, menyebut siocia karena berada di depan orang lain. "Biarlah kita melihat bagaimana Hek-tung Kai-pangcu menangani urusan ini. Dan kepadamu, Hektung Kai-ong, ini merupakan pelajaran yang amat berharga.

"Agaknya engkau kurang ketat mengamati kelakuan para muridmu hingga engkau tidak tahu apa yang mereka lakukan di luar. Para pengemis hidup dari belas kasihan orang, belas kasihan masyarakat. Karena itu, sudah menjadi kewajiban setiap orang pengemis untuk membalas budi kebaikan masyarakat itu.

"Dengan cara apa? Dengan menjaga agar kehidupan masyarakat tenteram, membantu dengan menjaga agar jangan ada kejahatan terjadi di masyarakat. Kalau ada pengemis membuat kejahatan di masyarakat, itu namanya tidak tahu diri, sudah ditolong malah membalas dengan kejahatan."

Bian Hok mengerutkan alisnya dan memandang kepada Pek I Lokai, lalu berkata angkuh, "Pek I Lokai, sudah kukatakan tadi, perlu diselidiki lebih dulu duduknya perkara. Jangan terlalu mendesak Suhu yang sebetulnya tidak tahu apa-apa. Kalau memang ada anak buah Hek-tung Kai-pang yang bersalah, Suhu tentu akan menghukum mereka dan meminta maaf kepada Adik Tang Cin Lan."

Terdengar langkah-langkah kaki di luar lalu muncullah dua orang pengemis. Cin Lan mengenal mereka sebagai Si Pendek Gendut dan Si Tinggi Besar yang lihai, yang kemarin mengeroyok Tiong Hwi Nikouw dan kemudian dikalahkan oleh Pek I Lokai. Dua orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan ketua mereka yang juga guru mereka dengan sikap takut.

Mata Hek-tung Kai-ong melotot ketika melihat dua orang murid ini berlutut di depannya. Dengan suara mengguntur dia berkata, "Apa yang kalian lakukan di depan Kuil Kwan-im-bio kemarin? Hayo ceritakan yang sebenarnya, kalau oerbo-hong akan kuhancurkan kepala kalian!" Ketua itu menggebrak meja dengan marah.

Si Pendek Gendut dengan suara gemetar lalu berkata, "Harap Suhu mengampuni teecu. Teecu tidak berani berbohong. Kemarin, selagi teecu berjalan melakukan tugas, datang tiga orang murid teecu yang melapor bahwa mereka dihajar oleh seorang nona di depan Kuil Kwan-imbio. Melihat tiga orang murid teecu luka-luka, teecu menjadi marah dan cepat teecu pergi ke depan kuil itu. Teecu melihat nona itu...."

"Akulah nona itu!" teriak Cin Lan.

Pengemis itu menoleh dan kembali menundukkan mukanya. "Nona ini berada di depan kuil dan teecu segera menantangnya, untuk membalaskan tiga orang murid teecu yang dipukuli. Nona ini menerima tantangan teecu dan kami berkelahi. Lalu nikouw dari kuil itu maju melawan teecu dan ketika teecu terdesak, lalu datang Thio-suheng membantu... hanya itulah kejadian yang sesungguhnya, Suhu."

"Hayo kau ceritakan hal yang sebenarnya bagaimana!" kata ketua itu kepada pengemis yang tinggi besar.

Pengemis itu lalu menunduk dan bercerita, suaranya tidaklah takut seperti sutenya karena dia merasa tidak bersalah. "Teecu kebetulan lewat di depan kuil dan melihat Ciu-sute sedang bertanding dan terdesak hebat oleh nikouw tua itu. Lalu teecu membantu Sute. Setelah kami berdua hampir mengalahkannya, muncul seorang kakek berpakaian putih...."

"Suhuku inilah orangnya!" kemball Cin Lan membentak.

Si Tinggi Besar melirik ke arah Pek I Lokai lalu dia menunduk lagi. "Teecu berdua lalu bertanding melawan kakek berpakaian putih itu dan kami mengalami kekalahan. Hanya itulah yang terjadi, Suhu. Teecu berani bersumpah."

"Hemm, tahukah kalian mengapa tiga orang anggauta itu dihajar oleh Tang-siocia? Dan tahukah kalian siapa Tang-siocia ini? la adalah puteri dari Pangeran Tang Gi Su. Engkau, Cui Sek, berani engkau menyerang puteri pangeran?"

Si Gendut itu menjadi pucat wajahnya, "Sungguh mati... teecu tidak tahu, teecu hanya tahu bahwa tiga orang murid teecu dipukuli seorang nona..." Suaranya seperti meratap.

"Dan engkau tahu mengapa rnurid-muridmu dipukuli?"

"Teecu tidak tahu...."

"Tidak kau tanyakan kepada murid-muridmu?"

"Teecu keburu marah... eh, maaf teecu tidak sempat...."

"Keparat! Cepat panggil murid-muridmu itu ke sini. Cepat! Ketiganya harus dihadapkan ke sini sekarang juga!"

"Baik, Suhu!" Si Gendut Pendek lalu menggelinding dari tempat itu. Demikian cepat larinya seolah dia menggelinding saking gendutnya.

"Hemm, baru sekarang ketahuan ya. Ingin aku melihat, bagaimana caranya Ketua Hek-tung Kai-pang menghukum murid-muridnya yang brengsek!" kata Cin Lan dengan suara mengejek.

Tak lama kemudian terdengar suara bergedebukan dan tiga orang anggauta Hek-tung Kaipang itu berjatuhan ke dalam didorong oleh guru mereka sendiri. Cin Lan segera mengenal mereka sebagai tiga orang yang kemarin dihajarnya. Bekas tangannya masih nampak, ada yang benjol kepalanya ada yang bengkak biru pipinya.

Ingin ia menghardik mereka, akan tetapi tangannya dipegang dengan halus oleh gurunya dan ia pun berdiam diri karena suhunya berkedip kepadanya. Diam-diam Pek I Lokai merasa suka kepada Ketua Hek-tung Kai-pang itu yang agaknya dapat bersikap jujur dan adil.

"Hei, kalian bertiga. Apa yang kalian lakukan kemarin di depan Kuil Kwan-im-bio terhadap seorang nona?"

Tiga orang itu saling pandang dan mereka tidak berani mengeluarkan kata-kata! Karena mereka tahu telah berbuat suatu pelanggaran besar, maka mereka kini hanya menundukkan kepalanya.

"Ampunilah hamba, Pangcu”, terdengar suara mereka lirih. Karena mereka tidak menjawab.

Hek-tung Kai-ong menjadi semakin marah. Dia lalu memandang kepada Cin Lan. ”Siocia, harap suka katakan tuduhan Siocia kepada mereka," katanya.

Dengan suara lantang Cih Lan berkata, "Ketika aku dan ibuku berada di luar kuil, tiga orang jembel busuk ini minta sedekah. Ibu telah memberinya, akan tetapi secara kurang ajar mereka minta supaya aku juga memberi sedekah. Aku tidak mau karena ibu sudah memberi. Lalu yang kurus berbibir tebal berhidung pesek seperti monyet itu, tiba-tiba merenggut gelang kemalaku dan mengantonginya. Aku menjadi marah dan kami berkelahi. Kuhajar mereka dan akhirnya mereka melarikan diri."

Setelah Cin Lan berhenti bercerita, ketua itu membentak, "Kalian sudah mendengar semua itu? Benarkah apa yang dituduhkan nona itu kepada kalian?"

Tiga orang itu lalu menelungkup di atas lantai. "Ampunkan kami, Pangcu...., kami tidak berani berbuat demikian lagi...."

Hek-tung Kai-ong melotot dan memandang kepada Ciu Sek yang menjadi pucat sekali wajahnya mendengar apa yang telah dilakukan oleh tiga orang murid rnereka, Merampas gelang, dari seorang puteri pangeran lagi!

"Ciu Sek, engkau mendengar sendiri kelakuan tiga orang muridmu! Hayo kau laksanakan hukumannya agar semua orang melihat bahwa Hek-tung Kai-pang bukan perkumpulan perampok dan penjahat."

"Baik, Suhu" kata Si Gendut dan dia lalu memanggil tiga orang muridnya itu, "Kalian ke sini, merangkak cepat!"

Dengan tubuh gemetaran tiga orang itu merangkak menghampiri guru mereka. Si Gendut itu memandang kepada murid yang kurus dan berhidung pesek yang merampas gelang kemala milik Cin Lan. "Engkau yang merampas gelang kemala?"

"Be... benar, Suhu... ampun, Suhu." kata Si Kurus.

"Di mana sekarang gelang itu? Kembalikan!"

"Tidak... tidak mungkin, Suhu... sudah dirampas orang lain."

"Bangsat! Julurkan tanganmu! Si Gendut mengambil sebatang golok dari punggungnya dan siap untuk membabat putus lengan tangan perampas gelang kemala itu. Akan tetapi sebelum golok yang terayun itu mengenai pergelangan lengan tangan, nampak sinar hitam berkelebat.

"Tranggg...!" Golok itu terpental. Ternyata yang menangkis golok itu adalah tongkat bambu dl tangan Pek I Lo-kai.

"Nanti dulu....!" kata Pek I Lokai. "Aku melihat sesuatu yang tidak wajar pada wajah orang ini."

Semua orang memandang kepada perampas gelang itu dan tiba-tiba saja orang itu terkulai dan wajahnya berubah menghitam dan ketika diperlksa, ternyata dia telah tewas!

Tentu saja sennua orang merasa heran dan Hek-tung Kai-ong bertanya kepada dua orang anggauta yang lain, "Kemarin setelah dia merampas gelang kemala, lalu apa yang terjadi dengan dia?"

"Pangcu, dia lari ke pasar untuk menjual gelang itu, akan tetapi dia bertemu dengan seorang siluman betina... yang, merampas gelang kemala itu...."

"Hayo cerita yang jelas. Siluman betina yang bagaimana dan apa yang telah terjadi?" bentak Sang Ketua yang tidak sabar. Dia heran dan juga penasaran sekali melihat bahwa pundak anggauta yang tewas itu terdapat sebuah titik merah dan agaknya itulah yang membuatnya tewas seperti yang keracunan.

Dua orang itu, bantu-membantu, lalu bercerita. Ketika mereka melarikan diri karena kalah oleh Cin Lan, mereka bertemu guru mereka, Ciu Sek dan mereka melapor bahwa mereka dipukuli seorang nona di depan Kuil Kwan-im-bio. Setelah melapor dan guru mereka lari ke arah kuil.

Mereka bertiga lalu pergi ke pasar dengan maksud menjual gelang kemala dan membagi uang penjualannya. Ketika mereka tiba di pasar dan sedang menawarkan gelang kemala kepada seorang saudagar di tempat terbuka, tiba-tiba terdengar suara wanita dari atas!

"Ha-ha-ha, gelang curian, jangan dibeli. Pembelinya bisa masuk penjara sebagai tukang tadah!" demikian suara itu.

Tiga orang pengemis itu terkejut sekali dan saudagar itu pun pergi, tidak jadi membeli. Ketika mereka melihat ke atas pohon di dekat situ, mereka melihat seorang gadis cantik duduk nongkrong di dahan pohon, mereka tadinya mengira gadis itu Cin Lan yang tadi menghajar mereka. Mereka hendak lari dan gadis itu berseru,

"Heii, pencuri busuk, hendak lari ke mana engkau?"

Tiga orang itu berhenti dan karena mendengar suara gadis itu berbeda, seperti nada suara orang selatan, mereka segera mengenal bahwa gadis itu sama sekali bukan Cin Lan, biarpun gadis itu juga cantik jelita. Marahlah mereka, terutama sekali Si Perampas Gelang. Mereka baru saja dihajar seorang gadis, maka kini melihat ada gadis lain berani mempermainkan mereka, tentu saja kemarahan mereka ditumpahkan kepada gadis di atas pohon itu.

"Hei, siluman busuk, turun kau kalau berani!" bentak Si Pencuri Gelang.

"Baik, aku turun, hendak kulihat engkau mau apa?" gadis itu melompat dengan ringan sekali ke depan Si Pencuri Gelang dan sekali ia menggerakkan tangannya, ia telah dapat merampas gelang kemala itu dari tangan Si Hidung Pesek.

Pengemis ini marah, lalu menubruk dan berhasil merangkul pinggang Si Gadis, akan tetapi tiba-tiba dia berteriak dan roboh terpelanting. Gadis itu tertawa dan mengambil seekor ular merah dari kalungan lehernya. Ternyata ular itu telah menggigit pundak Si Hidung Pesek dan melihat gadis itu memegang ular, Si Hidung Pesek yang merasa kesakitan lalu rneloncat bangun dan melarikan dirl, dikejar oleh dua orang kawannya.

"Demikianlah, Pangcu, apa yang kami alami kemarin. Tadinya A-siong hanya merasa gatal-gatal di pundaknya saja dan sama sekali kami tidak menyangka akan begini hebat racun itu."

"Ciu Sek, A-siong sudah mendapatkan hukumannya sendiri atas perbuatannya yang jahat. Tinggal dua orang mundmu belum kauhukum," kata Ketua Hek-tung Kai-pang dengan suara bengis. Agaknya ketua ini belum merasa puas kalau semua yang bersalah belum dihukum.

Ciu Sek yang sudah kehilangan seorang muridnya yang tewas secara mengerikan itu, lalu berkata kepada dua orang muridnya. "Kalian tidak merampok, akan tetapi juga membantu perbuatan A-siong yang tidak baik, maka harus dihukum pula. Ulurkan tangan kiri kalian!"

Dua orang murid itu dengan takut-takut mengulur tangan kiri mereka dan tiba-tiba Ciu Sek menggerakkan tangannya membuat gerakan membacok dua kali. Terdengar suara krek-krek dua kali dan tulang lengan kiri kedua orang murid itu patah!

"Bagus, dan sekarang kalian dua orang muridku yang lancang menyerang puteri pangeran, membela murid-murid yang bersalah, tidak lepas dari hukuman pula. Ulurkan tanganmu, aku sendiri yang akan mematahkan lenganmu!"

Pada saat itu, Bian Hok bangkit berdiri dan berkata kepada gurunya, "Suhu, kesalahan Ciu-suheng dan Thio-suheng tidaklah seberat itu. Mereka tidak berbuat jahat, hanya kurang teliti saja. Maka, harap Suhu suka melihat mukaku dan memberi ampun kepada mereka. Asalkan mereka sudah menampar muka sendiri tiga kali lalu minta maaf kepada Tang-siocia, kiranya sudah cukup untuk memberi peringatan kepada mereka."

Hek-tung Kai-ong menghela napas. "Masih untung kalian ada Bian-kongcu yang mintakan maaf. Cepat laksanakan hukuman itu. Tampar muka kalian tiga kali dan minta maaf kepada Tang-siocia!"

Si Gendut dan Si Tinggi Besar itu diam-diam merasa lega karena hukuman mereka ringan saja. Mereka lalu menampari muka sendiri sampai biru, lalu keduanya menjura ke depan Cin Lan,

"Tang-siocia, mohon maaf sebanyaknya atas kesalahan kami," kata mereka.

Cin Lan merasa puas dengan cara hukuman itu, "Nah, dengan begini barulah aku dapat mengatakan bahwa Hek-tung Kai-pang bukan perkumpulan perampok!" Akan tetapi lalu dilanjutkan, "Cuma sayang sekali gelang kemalaku lenyap dirampas orang lain yang tidak kita ketahui siapa yang membawanya."

"Maaf, Siocia. Kami berjanji akan melakukan penyelidikan dan kalau kami berhasil merampas kembali gelang kemala itu, pasti akan kami haturkan kepada Siocia."

"Baik, mari kita pergi, Suhu."

"Harap Pek I Lokai tunggu sebentar!" kata Ketua Hek-tung Kai-pang itu dan dla menyuruh para muridnya pergi sambil membawa mayat A-siong. Setelah mereka semua pergi, tinggal mereka berempat yang berada di situ.

Cin Lan menegur, "Pangcu, ada apa lagi? Kenapa Pang-cu menahan Suhu?" tanyanya penasaran.

Hek-tung Kai-ong tersenyum melihat kegalakan puteri pangeran itu. "Nona, urusan dengan Nona sudah selesai, bukan? Sekarang saya hendak bicara sebentar dengan Pek I Lokai."

"Hemm, kalau begitu silakan!" kata Cin Lan.

Pek I Lokai tersenyum. "Agaknya engkau masih merasa penasaran kepadaku yang telah mengalahkan dua orang muridmu itu. Benarkah demikian, Hek-tung Kai-ong?"

Wajah ketua itu menjadi kemerahan. "Sungguh aku merupakan seorang yang tidak tahu diri. Kita berdua sama-sama golongan pengemis, dan sudah lama sekali aku mendengar nama Pek I Lokai yang terkenal lihai sekali. Maka, setelah kebetulan Lokai berada di sini, tentu aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mohon sedikit petunjuk dalam ilmu silat. Terutama sekali ilmu tongkat, yaitu ilmu yang di agungkan oleh kita golongan pengemis. Bagaimana, Lokai? Sukakah engkau bermurah hati untuk memberi petunjuk kepadaku dalam hal ilmu tongkat?"

Ketua itu sungguh seorang yang jujur akan tetapi juga cerdik. Sudah terang bahwa dia menantang, akan tetapi kata tantangan itu disembunyikan di balik kata-kata "mohon petunjuk". Kalau Pek I Lokai menolak, hal itu dapat dimaksudkan bahwa dia takut atau memandang rendah, keduanya merupakan hal yang tidak enak baginya. Maka, dia pun lalu tertawa.

"Tang-siocia, tuan rumah mengajak aku untuk menguji kepandaian, bagaimana menurut pendapat Siocia?"

Cin Lan yang mengetahui akan kehebatan ilmu kepandaian gurunya, dengan bangga menjawab, "Kalau orang sudah menantang, maka tidak baik kalau ditolak, Suhu. Kadang-kadang perasaan paling kuat mendorong orang untuk bersikap sewenang-wenang, maka perlu dibuka matanya bahwa ada orang-orang lain yang lebih kuat darinya."

"Ha-ha-ha, pandangan Siocia memang tepat sekali. Akan tetapi seorang seperti aku ini yang sudah tua dan lemah, bagaimana akan mampu menandingi seorang seperti Hek-tung Kaiong?"

Mendengar ucapan gadis itu, Hek-tung Kai-ong menjadi merah mukanya. Biarpun dia sendiri tidak pernah menggunakan kepandaiannya, akan tetapi jelas murid-murid dan para anggautanya telah memamerkan kekuasaan dengan perbuatan yang sewenang-wenang maka dia pun tidak dapat menjawab apa-apa.

Melihat ini, Bian Hok segera tersenyum dan berkata, "Suhu, Pek I Lokai sudah siap untuk rnenandingi ilmu tongkat Suhu. Kalau kalian dua orang tua mau memperlihatkan ilmu tongkat masing-masing, hal itu akan membuka mata kami yang muda-muda bukankah demikian, Tang-siauw-moi?"

Hek-tung Kai-ong lalu bangkit berdiri dan menjura kepada Pek I Lokai. "Marilah, Lokai, hitung-hitung kita memberi petunjuk kepada murid-murid kita bagai-mana seharusnya bermain tongkat."

Pek I Lokai juga bangkit dan menyeret tongkatnya menghampiri tuan rumah yang sudah berada di tengah ruangan yang luas itu. "Baiklah, Kai-ong. Ingat bahwa engkaulah yang mengajak menguji ilmu tongkat, bukan aku. Aku hanya melayanimu saja."

Hek-tung Kai-ong melintangkan tongkatnya di depan dada dan berkata dengan suara lantang, "Lokai, bersiaplah!"

Pek I Lokai berdiri dengan santai dan menjawab, "Majulah, Kai-ong." Hek-tung Kai-ong memutar tongkatnya dan berseru, "Lokai, lihat seranganku!" Dan dia pun menggerakkan tongkatnya menyerang dengan dahsyat sekali.

Akan tetapi dengan sikap masih tenang Pek I Lokai menangkis serangan itu dan membalas. Kedua orang kakek itu segera saling serang dengan tongkat mereka. Mula-mula kedua orang murid yang hadir di situ, yaitu Bian Hok dan Cin Lan, dapat mengikuti semua gerakan tongkat dengan baik dan dapat melihat bahwa kedua orang tua itu memiliki kepandaian yang setingkat.

Akan tetapi setelah lewat tiga puluh jurus, mereka berdua tidak lagi dapat mengikuti gerakan tongkat mereka. Gerakan itu demikian cepatnya sehingga bentuk tongkat lenyap berubah menjadi gulungan sinar yang lebar.

Mereka hanya melihat sinar hitam bergulung-gulung dengan sinar kehijauan, dan dapat menduga bahwa sinar hitam tentulah tongkat hitam di tangan Hek-tung Kai-ong sedangkan sinar hijau adalah sinar tongkat bambu di tangan Pek I Lokai.

Bahkan bayangan dua orang itu tidak dapat dilihat jelas karena mereka berkelebatan dan tertutup sinar tongkat. Akan tetapi mereka dapat melihat betapa gulungan sinar hitam kini terdesak mundur dan semakin sempit.

Tiba-tiba sinar hitam itu meluncur keluar dari pertandingan dan nampak Hek-tung Kai-ong memegang tongkat hitamnya dengan muka agak pucat dan wajah serta lehernya penuh keringat. Pek I Lokai juga nampak dan kakek itu masih kelihatan biasa saja, tenang dan santai, tidak terengah-engah seperti lawannya.

Hek-tung Kai-ong memberi hormat kepada Pek I Lokai. "Nama besar Pek I Lokai bukanlah nama kosong belaka. Aku Hek-tung Kai-ong mengakui keunggulanmu, Lokai!"

"Aih, Hek-tung Kai-ong terlalu merendah. Ilmu tongkatmu yang hebat!" kata Pek I Lokai sambil tersenyum. "Nah, sekarang kami minta diri, dan semoga mulai sekarang engkau lebih mengawasi sepak terjang para murid dan anggauta perkumpulanmu."

"Jangan khawatir, Lokai. Urusan seperti yang terjadi kemarin tidak akan terulang kembali."

"Selamat tinggal."

"Selamat jalan!"

Pek I Lokai lalu pergi bersama Lan yang merasa bangga karena gurunya mendapat kemenangan. Setelah tiba di luar, gadis itu berkata, "Suhu, tadi Suhu telah mendapatkan kemenangan, mengapa tidak menghajar ketua sombong itu dengan satu dua kali gebukan?"

Pek I Lokai tersenyum. "Cin Lan, tidak boleh bersikap kejam kepada seorang yang telah mengakui kesalahannya. Dan ilmu tongkat dari Hek-tung Kai-ong bukanlah rendah. Dia jujur dan tahu diri, sebelum terkena gebukan dia sudah keluar dari pertempuran tadi dan mengakui kekalahannya. Maka engkau harus berhati-hati kalau kelak bertemu dengan ilmu tongkatnya itu. Mari, kita pulang dan mulai hari ini akan kuajarkan engkau ilmu tongkatku."

"Sayang gelang kemalaku tidak kudapatkan kembali, Suhu."

"Amat berhargakah gelang itu?"

"Bukan harganya, Suhu. Akan tetapi gelang itu pemberian ibuku dan harus kusimpan baik-baik. Heran, siapakah yang telah mengambil gelangku itu?"

"Aku pun curiga sekali mendengar cerita mereka tadi. Seorang gadis yang membawa ular merah? Ular merah yang gigitannya dapat membunuh orang seperti itu amat langka. Ah, apakah itu Ang-hoa-coa (Ular Bunga Merah)? Kalau Ang-hoa-coa... ah, tidak mungkin ia...." Kakek itu mengerutkan alisnya dan menggeleng-geleng kepalanya.

"Siapa yang Suhu maksudkan?"

"Teringat akan Ang-hoa-coa, aku jadi ingat kepada seorang tokoh wanita yangi memiliki ular merah seperti itu. Akan tetapi tidak mungkin. la bukanlah seorang gadis remaja, melainkan seorang wanita setengah tua. Bukan, tentu bukan ia. Tak mungkin seorang tokoh besar seperti ia itu akan merampas sebuah gelang kemala dan melukai seorang anggauta Hek-tung Kaipang rendahan."

"Siapa yang Suhu maksudkan dengan orang itu?"

Sebelum menjawab, kakek itu memandang ke kanan kiri seperti seorang yang merasa jerih. "la... Ang-tok Moli (Iblis Betina Racun Merah)." Lalu dilanjutkan dengan cepat, "Sudahlah, tidak baik membicarakan orang dan aku tidak percaya bahwa ia yang mengambil gelangmu. Biar para pengemis itu yang mencarinya. Mereka yang bertanggung jawab untuk mengembalikan gelangmu itu. Mari kita pulang!"

Guru dan murid itu lalu berjalan cepat menuju ke Kuil Kwan-im-bio. Sementara itu, Bian Hok yang merasa penasaran bertanya kepada gurunya, "Suhu, bagaimana pendapat Suhu dengan ilmu tongkat kakek berbaju putih tadi?"

Hek-tung Kai-ong menghela napas panjang lalu menjatuhkan dirinya duduk di atas kursinya. "Ahhh, memang bukan nama kosong belaka. Ilmu tongkatnya luar biasa sekali. Terus terang saja, selamanya baru ini hari aku melihat ilmu tongkat yang mampu menandingi ilmu tongkatku. Engkau harus berlatih dengan tekun dan rajin, Kongcu. Di dunia ini banyak sekali terdapat orang yang lihai. Tergantung kepada kita sendiri untuk memperoleh ilmu yang tangguh."

Akan tetapi Bian Hok nampak termenung. Dia memang sudah lama menaruh hati kepada Tang Cin Lan dan kini agaknya gadis itu telah menemukan seorang guru yang pandai. Bagaimanapun juga, dia tidak boleh kalah oleh gadis itu. Bagaimana mungkin seorang calon suami kalah oleh calon isterinya? Dia mengharapkan kelak menjadi suami gadis yang amat menarik hatinya itu.


Gadis itu berusia kurang lebih enam belas tahun, cantik jelita dan nampak wajahnya selalu riang gembira dengan sinar mata yang berkilat penuh gairah hidup dan mulutnya yang selalu tersungging senyuman di bibirnya. Pakaiannya berkembang-kembang ramai dan cerah. Di pinggangnya melingkar sebuah sabuk hitam.

Rambutnya yang hitam panjang itu dikuncir dua dan ditekuk menjadi sanggul yang rapi di belakang kepalanya, diikat dengan pita merah. Hidungnya yang mancung agak menjungat ke atas itu menambah kemanisan wajahnya dan nampak lucu dan menarik. Kalau ia tersenyum, hidung itu berkembang-kempis dan bagaikan menjungat lebih ke atas lagi, seperti yang menantang! Manis sekali.

Dara remaja itu bersenandung sarnbil melangkah mendaki lereng bukit itu. Tangannya mengenakan sebuah gelang kemala dan kedua tangannya memegang beberapa tangkai kembang mawar yang tadi dipetiknya di tepi jalan. la berada di lereng bukit di luar kota raja, nampak bergembira sekali walaupun berjalan seorang diri di jalan yang sunyi itu.

Tiba-tiba dara itu berhenti di bawah sebatang pohon dan menundukkan mukanya. Sejenak ia memperhatikan suara di sekelilingnya, lalu ia tersenyum sambil mengangkat mukanya dan terdengar ia berseru riang, "Wah, di sini agaknya banyak anjing srigalanya!"

Baru saja dia berkata demikian, dari empat penjuru menyambar senjata-senjata rahasia yang banyak sekali, seperti jarum, paku dan piauw (semacam senjata rahasia runcing bentuk kerucut). Senjata-senjata itu meluncur ke arah tubuh dara itu dan tiba-tiba saja tubuh itu menghilang!

Kini bermunculan banyak sekali pengemis Hek-tung Kai-pang di tempat itu. Jumlah mereka ada tiga puluh orang, mengepung pohon itu. Dan mereka dipimpin oleh Ciu Sek dan suhengnya, Thio Seng, pengemis yang pendek gendut dan tinggi besar itu. Tadinya ada anggauta pengemis yang melihat gadis itu berjalan seorang diri keluar dari pintu gerbang kota raja.

Dia cepat lari melapor dan mendengar ini, Ciu Sek dan Thio Seng cepat mengerahkan tiga puluh orang anak buah dan melakukan pengejaran dan tadi mereka menyerang gadis itu dengar senjata rahasia. Ketika gadis itu tiba-tiba lenyap, mereka terkejut sekali dan cepat mengurung tempat itu.

Kiranya gadis itu sudah berada di atas dahan pohon dengan kedua kaki terjulur ke bawah dan digoyang-goyang seperti seorang anak kecil sedang menonton keramaian di bawah pohon.

Tadi Thio Seng dan Cia Sek menyuruh anak buah mereka menyerang dengan senjata rahasia karena mereka sudah mendengar akan kelihaian gadis itu. Apalagi gadis ini telah membunuh seorang anggauta perkumpulan, maka membunuh gadis ini pun tidak halangan bagi mereka!

Ketika Thio Seng melihat gadis itu duduk di atas dahan pohon, dia segera menyuruh orang-orangnya mengepung pohon itu dengan ketat dan dia sendiri lalu memandang ke atas dan berseru keras, "Hei, kamu nona yang berada di pohon. Engkau telah mencuri gelang kemala kami. Cepat kembalikan kepada kami dan mari ikut kami menghadap ketua kami, baru kami dapat memberi ampun kepadamu!"

"Hi-hik, anjing-anjing srigala memang pandai menyalak dan menggonggong. Jembel-jembel pencuri dan perampok, kalau aku tidak mau menyerahkan gelang dan tidak mau turut dengan kalian, habis kalian mau apa?"

"Engkau tidak akan dapat terlepas dari tangan kami. Kau telah dikepung ketat. Turunlah dan menyerahlah. Engkau sudah membunuh seorang anggauta kami dan hanya ketua kami yang akan memutuskan hukuman apa yang harus dijatuhkan kepadamu."

"Aaaah, itukah? Anggauta kalian itu kurang ajar, berani memeluk pinggangku. Karena kekurang-ajarannya maka dia tergigit oleh ular peliharaanku. Bukankah dia mati karena kesalahannya sendiri? Mengapa menyalahkan aku? Dan gelang ini, aku tahu bahwa seorang pengennis seperti dia tidak mungkin memiliki gelang seindah ini. Tentu dia telah mencuri, mencopet, atau merampok.

"Dan aku mengambil darinya karena benda itu bukan haknya. Mengapa kalian ribut-ribut? Dia tadinya hendak menjual gelang ini. Nah, biarlah aku yang membelinya dan kalian boleh membagi-bagikan uang ini!" Gadis itu mengambil segenggam beberapa keping uang receh dan melemparkan uang receh itu ke bawah.

Melihat lagak dara itu, Ciu Sek dan Thio Seng menjadi semakin marah. Gadis itu amat menghina mereka. Biarpun mereka itu golongan pengemis, akan tetapi bukan pengemis biasa, melainkan anggauta-anggauta dari Hek-tung Kai-pang.

"Nona, kalau engkau tidak segera turun dan menyerah, kami akan menyeretmu turun dan menggunakan kekerasan untuk menangkapmu!" bentak Ciu Seng si pendek gendut dengan marah.

"Hi-hi-hik! Engkau yang gendut seperti itu mana bisa memanjat pohon?" Dara itu tertawa, kemudian mengeluarkan sebatang suling perak dan mulailah ia meniup suling. Suling itu mengeluarkan suara melengking tinggi dan menyanyikan sebuah lagu yang aneh namun merdu.

Thio Seng tak dapat menahan kesabarannya lagi. Dia memberi isarat kepada anak buahnya dan empat orang lalu berebutan memanjat pohon itu untuk menyeret Si Gadis yang bengal. Akan tetapi sebelum mereka tiba di dahan yang diduduki gadis itu, yang berada agak tinggi, tiba-tiba mereka berteriak ketakutan dan berjatuhan dari atas pohon, berdebuk dan tanah mengebulkan debu. Mereka berempat mengaduh-aduh dan ada kaki tangan yang salah urat karena terjatuh dari tempat setinggi itu.

"Ular hitam besar... Hhiiiiihh!" Mereka bergidik.

Ternyata ketika mereka tadi sudah dekat dengan Si Gadis, dari pinggang gadis itu merayap seekor ular hitam yang panjang. Kiranya sabuk hitam gadis itu adalah seekor ular hidup! Dan di lehernya melingkar pula ular merah yang telah membunuh anggauta pengemis yang berani memeluk pinggangnya, yaitu A-siong yang telah tewas. Setelah empat orang itu terjatuh, ular hitam lalu merayap kembali dan melingkar di pinggang yang ramping itu.

Melihat empat orang anak buahnya jatuh dari pohon, Thio Seng menjadi semakin marah. Dia dan Ciu Sek saja yang memiliki kepandaian untuk ineloncat ke atas. Dia memberi isarat kepada sutenya dan mereka berdua dengan tongkat di tangan lalu meloncat ke atas, ke arah dahan di mana dara itu duduk dengan kaki tergantung.

Mereka meloncat dan menggerakkan tongkat untuk menyerang. Akan tetapi tiba-tiba gadis itu menggerakkan tangannya dan ular hitam itu telah dipegangnya dan dipergunakan untuk menangkis dua batang tongkat itu.

Ekor ular itu menangkap kedua tongkat dan sekali renggut kedua tongkat itu terlepas dari tangan kedua orang pengemis itu yang dengan terkejut sekali terpaksa melayang lagi ke bawah tanpa tongkat! Gadis itu tertawa dan sekali dia menggerakkan tangan, kedua tongkat itu meluncur turun dan menancap di atas tanah.

Thio Seng marah sekali. "Hayo tebang pohon ini!" perintahnya dan semua pengemis beramai-ramai menghampiri batang pohon untuk menebangnya.

Akan tetapi kini suara suling itu itu lengking-lengking dan segera terdengar teriakan para pengemis, "Hiiihhh, ular-ular, ular banyak sekall....!"

Benar saja, dari empat penjuru berdatangan banyak sekali ular yang menuju ke arah pohon itu. Itulah ular-ular yang datang terpanggil oleh suara suling! Melihat baunya yang amis, dapat diduga bahwa di antara rombongan ular itu terdapat banyak ular berbisa. Maka berserabutanlah para pengemis itu melarikan diri. Bahkan Thio Seng juga terpaksa menjauhkan diri karena ngeri. Sekali saja digigit uiar berbisa berarti nyawa melayang.

Dara itu terdengar tertawa lagi. Kemudian nampak ia meloncat turun melayang ke bawah, kemudian melanjutkan perjalanannya pergi sambil meniup suling dan ular-ular itu mengikutinya seperti serombongan domba yang jinak!

Tiga puluh orang pengemis yang dipimpin Thio Seng dan Ciu Sek itu hanya memandang dan sama sekali tidak berani mengejar. Malah mereka segera pulang untuk melaporkan peristiwa yang mengerikan itu kepada ketua mereka. Mendengar laporan anak buahnya Hek-tung Kai-ong mengerutkan alisnya.

"Dara itu bersenjatakan ular dan dapat memanggil banyak ular dengan sulingnya? Aneh sekali! Sepanjang pendengaranku, yang memiliki ilmu kepandaian memanggil ular seperti itu hanyalah Ang-tok Mo-li. Akan tetapi ia bukan seorang gadis remaja, melainkan seorang wanita setengah tua."

Dia menjadi bingung. Kembalinya gelang kemala itu merupakan tanggung jawabnya. Kalau gelang kemala itu terjatuh ke tangan seorang dara yang demikian tangguhnya, dan yang mungkin sekali ada hubungannya dengan Ang-tok Mo-li, bagaimana mungkin dia dapat merampasnya kembali?

Dia tahu orang macam apa Ang-tok Mo-li itu, seorang datuk wanita yang berilmu tinggi dan ditakuti orang. Mungkin dia dapat meng-hadap dan minta dengan baik-baik, akan tetapi bagaimana kalau wanita iblis itu menolaknya? Apalagi dia belum pasti bahwa yang mengambil gelang kemala itu ada hubungannya dengan Ang-tok Mo-li.

Melihat suhunya bingung, kembali Bian Hok yang menghiburnya. "Suhu, tidak usah Suhu bingung. Biarlah aku yang akan menemui Tang-siocia dan gurunya, lalu menceritakan bahwa gelang itu dirampas oleh Ang-tok Mo-li. Biar mereka sendiri yang melakukan permintaan kembali atau perampasan dari tangan iblis betina itu."

Mendengar ini, Hek-tung Kai-ong merasa terhibur dan menghaturkan terima kasih kepada muridnya itu.

Siapakah dara yang bengal dan aneh itu. Benar dugaan Hek-tung Kai-ong. la adalah murid Ang-tok Mo-li yang bernama Bu Lee Cin. Kita pernah bertemu dengan gadis itu ketika masih berusia dua belas tahun, yaitu ketika Ang-tok Mo-li bertanding melawan Jeng-ciang-kwi. Lee Cin yang menolong Thian Lee waktu akan disiksa oleh gurunya sendiri.

Bu Lee Cin adalah seorang anak perempuan yang sejak kecil sekali telah dipelihara Ang-tok Mo-li. la sendiri tidak tahu siapa ayah bundanya. Menurut keterangan gurunya, ayah ibunya telah meninggal dunia dan sebagai anak yatim piatu yang sudah tidak memiliki keluarga lagi, ia dipungut dan dipelihara Ang-tok Mo-li sebagai muridnya, digembleng dengan ilmu-ilmu silat yang tinggi, bahkan juga diberi pelajaran ilmu menguasai ular dan memainkan suling memanggil ular-ular.

Sebagai seorang ahli racun yang pandai, Ang-tok Mo-li juga mengajarkan penggunaan segala macam racun dan obat pemunahnya kepada Lee Cin. Kini, dalam usianya yang enam belas tahun, Lee Cin telah menjadi seorang dara remaja yang bengal dan berkepandaian hebat.

Ketika itu, Ang-tok Mo-li sedang bertapa dan mempelajari semacam ilmu baru dan kesempatan ini dipergunakan oleh Lee Cin untuk pergi bermain-main ke kota raja karena tempat pertapaan gurunya itu di sebuah bukit yang tidak jauh dari kota raja. Setibanya di kota raja, di pasar ia melihat A-siong dan kawan-kawannya menjual gelang kemala.

la tertarik, dapat menduga bahwa itu tentu gelang curian maka ia merampasnya. Tak disangkanya, Asiong berhasil memeluk, pinggangnya dan pengemis muda itu menjadi korban gigitan Anghwa-coa. Biarpun ia murid seorang datuk wanita sesat yang berjuluk Iblis Betina, namun Lee Cin bukanlah seorang anak yang berhati kejam. Melihat ada orang digigit Ang-hwa-coa, ia ingin memberikan obat penawarnya.

Akan tetapi para pengemis itu sudah lari berhamburan dan ia tidak tahu harus ke mana mencari orang yang tergigit ular. Terpaksa ia pun membiarkannya saja dan menganggap bahwa salah A-siong sendiri yang merangkul pinggangnya sehingga tergigit oleh Ang-hwa-coa. Lee Cin bukan anak yang jahat hanya ia memang bengal dan suka menggoda orang.

Setelah ia mendaki bukit dan tiba di puncak, melihat gurunya sudah selesai dengan pertapaannya dan gurunya mengajaknya melanjutkan perjalanan.

"Lee Cin, dahulu aku melawan Jeng-ciang-kwi aku terkena pukulan mautnya. Akan tetapi setelah aku menguasai ilmuku yang baru ini, lain kali kalau aku bertemu dengannya, aku pasti akan dapat membunuhnya. Kalau engkau rajin dan tekun belajar, kelak akan kuajarkan ilmu baru ini kepadamu," kata Ang-tok Mo-Li yang memang amat sayang kepada muridnya itu.

Tentu saja Lee Cin merasa girang sekali dengan janji gurunya. Karena gurunya memelihara dan mendidiknya sejak ia masih kecil sekali, dan karena gurunya amat menyayangnya, timbul pula rasa sayang dalam hati Lee Cin terhadap gurunya, juga ia taat dan hormat kepada gurunya.

Ang-tok Mo-li adalah seorang datuk persilatan wanita yang datang dari barat. Dahulu ia membuat nama besarnya di daerah Sin-kang di mana ia dianggap sebagai datuknya. Ketika ia terjun ke dunia kang-ouw di timur, namanya rnenjadi semakin terkenal karena jarang ada orang yang mampu menandinginya.

la mempunyai seorang sute yang berjuluk Hek-kak-liong (Naga Bertanduk Hitam) yang kemudian tewas di tangan Jeng-ciang-kwi dalam sebuah pertandingan memperebutkan kekuasaan.

Inilah sebabnya mengapa Ang-tok Mo-li mencari Jeng-ciang-kwi untuk membalas dendam atas kematian sutenya itu, namun ia gagal, bahkan ia sendiri terluka parah walaupun ia dapat pula melukai Jeng-ciang-kwi. Kini datuk wanita itu memilih lembah Sungai Huang-ho sebagai tempat tinggal.

Di sebuah bukit, di lembah Huang-ho, ia mendirikan sebuah rumah besar dan tinggal di situ bersama muridnya. Ia juga mempunyai sembilan orang anak buah atau pelayan yang dila-tih silat untuk melayaninya dan juga menjaga rumah. Akan tetapi wanita petualang ini sering kali meninggalkan rumah untuk merantau bersama muridnya.

Kini ia juga sedang merantau dan bertapa di bukit dekat kota raja itu untuk mempelajari ilmu barunya. Setelah ilmu itu dapat dikuasainya, baru ia mengajak muridnya untuk pulang ke Bukit Ular, sama sekali tidak tahu bahwa di kota raja, muridnya telah membuat ribut dengan orang-orang Hek-tung Kai-pang. Lee Cin sama sekali tidak mau mengganggu gurunya dengan cerita tentang gelang kemala itu.

"Hemm, dari mana engkau memperoleh gelang kemala itu, Lee Cin?" Gurunya bertanya ketika melihat gelang itu melingkar di lengan kiri muridnya.

"Ah, inikah, Subo? Ini saya dapat merampas dari tangan seorang pencuri," jawab Lee Cin singkat dan subonya tidak bertanya lagi. Bagi datuk sesat ini, merampas atau mencuri bukanlah hal yang aneh dan patut untuk diselidiki atau dibicarakan.

"Lain kali, kalau merampas barang, haruslah yang berharga, bukan hanya gelang kemala seperti itu," katanya singkat.

"Teecu suka sekali gelang ini, Subo," jawab Lee Cin singkat pula dan gelang itu tidak lagi, dibicarakan. Mereka lalu berangkat menuju ke selatan, kembali ke Bukit Ular yang sudah beberapa bulan lamanya mereka tinggalkan.


Betapa kuasanya Sang Waktu. Segala sesuatu di alam mayapada ini, semua akhirnya tunduk kepada Sang Waktu. Anak kecil menjadi orang tua, yang tua meninggal dunia, segala sesuatu berubah dan ditelan oleh Sang Waktu! Tidak ada yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Sang Waktu.

Semuanya berubah, berubah, dan berubah. Tidak ada yang kekal di dunia ini. Yang kekal hanyalah Yang Maha Kekal, Tuhan Yang Maha Esa. Tidak terpengaruh oleh waktu, karena waktu adalah alat belaka yang dipergunakan oleh Tuhan untuk mengubah segala sesuatu.

Tahun-tahun melesat seperti anak panah lepas dari busurnya. Tanpa dirasakan, tiga tahun telah lewat sejak Cin Lan digembleng oleh Pek I Lokai. Dara yang tadinya memang sudah mendapat bimbingan dari para jagoan istana itu, yang memiliki bakat yang baik, kini telah menjadi seorang gadis berusia delapan belas tahun yang berilmu tinggi.

la telah menguasai ilmu tongkat Hok-mo-tung (Tongkat Penaluk Iblis) yang diajarkan oleh Pek I Lokai di sampai cara menghimpun sin-kang yang cuku kuat, dan juga ilmu ginkang (meringankan tubuh) yang membuat gadis itu dapat bergerak seringan burung.

Pada suatu pagi, seperti biasa seminggu sekali, Cin Lan pagi-pagi sekali telah datang ke Kuil Kwan-im-bio untuk menemui gurunya. Akan tetapi tidak seperti biasanya, Pek I Lokai pagi itu menyambutnya dengan wajah agak muram.

"Cin Lan, engkau telah dapat menguasai Hok-mo-tung dengan baik dan semua ilmu yang kukuasai telah kuajarkan kepadamu. Engkau selama ini menjadi murid yang tekun dan rajin sehingga memuaskan hatiku. Akan tetapi, sekarang sudah tiba saatnya bagi kita untuk berpisah. Sudah tiga tahun aku berada di sini dan aku akan melanjutkan perjalananku."

"Suhu, mengapa begini tiba-tiba? Seminggu yang lalu Suhu beJum mengatakan sesuatu tentang keinginan Suhu untuk pergi!" kata Cin Lan terkejut.

Gurunya tersenyum. "Memang telah terjadi sesuatu. Telah datang seorang musuh lamaku yang hendak menantangku. Akan tetapi aku sudah jenuh untuk bertanding ilmu silat, muridku. Pertandingan seperti itu hanya menanamkan dendam saja bagi yang kalah. Musuh ini sudah dua kali kalah olehku, akan tetapi selalu saja dia mencariku untuk mengajak bertanding lagi, untuk menebus kekalahan-kekalahannya yang lalu. Aku jemu, Cin Lan."

"Akan tetapi, Suhu. Kalau dia memaksakan kehendaknya, memang harus dilawan dan diberi hajaran!" kata gadis itu dengan penasaran. Watak Cin Lan memang pemberani. "Kalau Suhu tidak menerima tantangan lalu melarikan diri tentu Suhu akan dianggap penakut dan pengecut. Suhu, kalau perlu biarlah aku yang mewakili Suhu menandinginya!" katanya lagi dengan sikap gagah.

Pek I Lokai mengangkat telunjuk kanannya. "Cin Lan, lupakah engkau akan semua pesanku. Ilmu silat bukan untuk mencari permusuhan, bukan untuk berkelahi, melainkan untuk membela diri. Kalau tidak diserang orang, tidak perlu kita mendahului menonjolkan ilmu silat. Dan pula, jangan engkau memandang remeh musuh ini. Dia memiliki ilmu silat yang tinggi. Dulupun hanya kalah sedikit saja olehku. Sekarang dia tentu sudah menambah ilmu pengetahuannya dan belum tentu aku sendiri dapat menangkan dia. Maka jangan kau coba-coba untuk melawannya."

"Ha-ha-ha-ha, engkau benar sekali, Pek I Lokai! Dan aku pun tidak sudi melawan muridmu, apa lagi kalau ia seorang anak perempuan yang masih kecil!" Tiba-tiba terdengar suara yang lantang sekali, seolah yang bicara telah berada di dalam kuil itu. Akan tetapi suara itu terdengar dari tempat yang jauh.

"Ah, terlambat juga...." Pek I Lokai mengeluh, bukan karena takut, melainkan karena menyesal bahwa sekali lagi dia harus melayani musuh. "Ingat, Cin Lan. Kalau engkau melihat aku bertanding dengan orang itu, jangan sekali-kali engkau mencampurinya. Selain dia berbahaya sekali bagimu, juga aku tidak suka bertindak curang dengan melakukan pengeroyokan."

Setelah berkata demikian, kakek itu menyeret tongkat bambunya dan melangkah keluar dari kuil. Cin Lan cepat mengikuti gurunya dan ternyata orang yang bicara tadi belum tiba di depan kuil. Akan tetapi ada angin menyambar dan tiba-tiba di depan suhunya telah berdiri seorang kakek yang usianya tentu sudah hampir tujuh puluh tahun.

Kakek itu tubuhnya kurus dan bongkok, rambut kumis dan jenggotnya sudah putih semua. Seperti juga Pek I Lokai, kakek itu memegang sebatang tongkat bambu, akan tetapi bambu itu adalah bambu kuning. Itulah Jeng-ciang kwi, datuk dari Guha Tengkorak di Lembah Iblis Kwi-san!

Watak Jeng-ciang-kwi memang aneh. Setiap kali mendengar ada seorang tokoh kang-ouw yang lihai, tentu tokoh itu dia datangi untuk diajak bertanding ilmu silat. Demikian pula, ketika dahulu mendengar akan nama besar Pek I Lokai, dia mencari kakek pengemis itu untuk diajak bertanding, apalagi mendengar bahwa kakek itu memiliki ilmu tongkat yang sukar dicari bandingannya.

Dalam pertandingan pertama kali itu, dia kalah! Akan tetapi sudah menjadi watak Jeng-Ciang-kwi yang sukar menerima kekalahan dia melatih diri lagi, kemudian setelah lewat tiga tahun, dia mencari lagi Pek I Lokai dan menantang lagi. Dan ternyata walaupun selisih ilmu tongkat mereka tidak banyak, akhirnya dia kalah lagi, bahkan menderita luka pada pahanya.

Dia bukannya jera dengan kekalahan ke dua ini, bahkan belajar lagi memperdalam ilmu tongkatnya dan ini hari, lima tahun setelah kekalahannya yang ke dua dia dapat mencari Pek I Lokai untuk menantang lagi. Kini kedua orang kakek Itu sudah berhadapan lagi.

"Jeng-ciang-kwi, mau apa engkau datang mencariku?" tanya Pek I Lokai.

"Ha-ha-ha, bukankah kemarin sudah kukirim berita kepadamu?"

"Benar, aku sudah menerima berita darimu bahwa engkau hendak datang mencariku, akan tetapi dengan maksud apa?"

"Jangan seperti anak kecil, Pek I Lokai. Apa lagi maksudku kalau bukan menantang engkau untuk mengadu ilmu? Dan sekarang ini aku harus dapat menang!"

Pek I Lokai menghela napas panjang. "Engkaulah yang seperti anak kecil, Jeng-ciang-kwi. Apakah tidak akan ada habisnya mengadu kepandaian? Apa perlunya? Kalau engkau ingin menang, biarlah sekarang juga aku mengakui kekalahanku darimu."

"Tidak!" Tiba-tiba suara Jeng-ciang-kwi menggelegar. "Sudah dua kali engkau mengalahkan aku, sekarang aku datang untuk menebus kekalahan dan kau harus menandingi aku!"

"Kalau aku tidak mau melawanmu?"

"Aku tetap akan menyerangmu dengan tongkatku!"

"Kalau aku tidak mengelak atau menangkis?"

"Heh-heh, jangan memancingku dengan segala akal busukmu untuk menghindarkan diri dari pertandingan. Kalau engkau tidak mengelak atau menangkis engkau akan mati di bawah pukulan tongkatku!"

Pek I Lokai menghela napas lagi. “Jeng-ciang-kwi. Engkau terlalu memaksaku, Baiklah, aku akan melayanimu, akan tetapi hanya dengan satu perjanjian."

"Perjanjian apakah?"

"Engkau harus berjanji bahwa pertadingan antara kita ini yang terakhir kalinya. Kalah atau menang, kali ini yang terakhir dan lain kali engkau tidak akan mencariku untuk menantang lagi."

"Ha-ha-ha, baik, aku berjanji tidak akan menantangmu lagi. Pertandingan ini yang terakhir bagiku. Ha-ha, bagaimana tidak akan menjadi pertandingan terakhir kalau sekali ini engkau yang kalah? Mari kita mulai!"

Jeng-ciang-kwi melintangkan tongkat bambu kuningnya di depan dada. Pek I Lokai juga mempersiapkan tongkatnya karena dia tahu benar bahwa musuh yang dihadapinya ini adalah seorang yang sakti dan berilmu tinggi.

"Pek I Lokai, lihat seranganku!" Tiba-tiba Jeng-ciang-kwi sudah menyerang. Serangannya dahsyat sekali, bukan saja cepat, akan tetapi juga mendatangkan angin pukulan yang hebat. Pek I Lokai menggerakkan tongkatnya menangkis.

"Desss....!" Biarpun keduanya hanya tongkat bambu, akan tetapi ketika bertemu di udara, bukan main hebatnya, rnendatangkan getaran yang terasa oleh Cin Lan yang menonton pertandingan itu dengan hati cemas.

Kemudian muncul pula Tiong Hwi Nikouw, ketua Kuil Kwan-im-bio, yang berdiri di samping Cin Lan. Juga wajah Nikouw ini narnpak gelisah karena agaknya ia tahu benar bahwa pertandingan yang terjadi di halaman kuil itu merupakan pertandingan antara dua orang ahli yang amat lihai sehingga dapat dibilang merupakan pertandlngan antara hidup dan mati.

Kini pertandingan berjalan semakin cepat sehingga bagi orang lain tentu tidak akan mampu mengikutinya. Bahkan Tiong Hwi Nikouw sendiri menjadi pusing mengikuti jalannya pertandingan. la sudah tidak dapat membedakan mana kawan mana lawan saking cepatnya dua orang kakek itu bergerak. Mereka seolah terbungkus dua gulungan sinar yang sama lebarnya.

Akan tetapi Cin Lan yang sudah mewarisi ilmu yang tinggi dari gurunya, dapat mengikuti jalannya pertandingan itu. la menjadi semakin cemas karena benar seperti yang dikatakan gurunya, musuh ini luar biasa tangguhnya. Gerakan tongkatnya berisi tenaga sinkang yang kokoh kuat sehingga beberapa kali tongkat di tangan gurunya terpental.

Akan tetapi Pek I Lokai tidak sampai terdesak karena ilmu tongkat Hok-mo-tung itu memang memlliki keistimewaan, terutama sekaii kalau menghadapi ilmu tangguh dari lawan. Pertandingan berjalan seru dan mencapai puncaknya setelah lewat dua ratus jurus!

Cin Lan menyesal sekali melihat gurunya beberapa kali mengalah. la melihat beberapa kali Jengciang-kwi membuat lowongan yang bisa dimasuki, akan tetapi gurunya tidak menggunakan kesempatan ini dan itu hanya berarti bahwa gurunya tidak ingin mencari kemenangan, bahkan mengalah.

Ketika Jeng-ciang-kwi menusuk dengan tongkatnya dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, Pek I Lokai menangkis, juga dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.

"Krakkk!" Dua tongkat bambu itu bertemu dan keduanya hancur berkeping-keping. Akan tetapi pada saat itu, Jeng-ciang-kwi melepaskan tongkatnya dan menghantam dengan tangan kanannya ke arah dada Pek I Lokal dengan kuat sekali.

"Plakkk!" tubuh Pek I Lokai tidak bergeming, akan tetapi pada saat yang sama Pek I Lokai menolakkan tangan kanannya ke pundak Jeng-ciang-kwi dan tubuh kakek itu terpental sampai beberapa meter jauhnya! Jeng-ciang-kwi terkejut sekali dan dia merangkak bangun, mukanya pucat sekali dan jelas bahwa dia telah terluka di bagian dalam tubuhnya.

"Pek I Lokai, kau... kau... memang hebat...." katanya terengah-engah, lalu dia membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dengan cepat....

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.