Gelang Kemala Jilid 07

Cerita Silat Mandarin Serial Gelang Kemala Jilid 07 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Gelang Kemala Jilid 07

Cin Lan merasa girang sekali. la lari mnghampiri gurunya dan berkata, "Suhu, engkau menang!"

Akan tetapi tiba-tiba Pek I Lokai mendekap dadanya, mengeluh dan tentu roboh terguling karena pingsan kalau saja Cin Lan tidak cepat memeluknya. Tiong Hwi Nikouw juga lari menghampiri dan melihat keadaan kakek itu, ia membantu Cin Lan membawa Pek I Lokai ke dalam kuil.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Kakek itu direbahkan di atas pembaringan, dan setelah memeriksa sejenak, Tiong Hwi Nikouw menghela napas panjang dan menggeleng kepala, nampak gelisah sekali.

"Bagaimana, Sukouw? Bagaimana keadaan Suhu?" tanya Cin Lan dengan khawatir.

Sambil menggeleng kepala perlahan Tiong Hwi Nikouw yang paham ilmu pengobatan itu berkata, "Wah, lukanya parah sekali. Pukulan dari Jeng-ciang-kwi itu amat hebat. Sukarlah mencari obat untuk dapat menyembuhkan luka seperti itu. Obat kuat yang ada yang bisa didapatkan hanya akan memperingan penderitaannya saja, tidak akan dapat menyembuhkannya. Akan tetapi aku akan memberinya obat peringan penderitaan itu."

"Ah, Sukouw. Apakah kalau begitu nyawa Suhu tidak dapat ditolong lagi?" tanya Cin Lan dan otomatis kedua matanya menjadi basah.

"Memang ada obatnya, akan tetapi alangkah sukarnya dan bahkan hampir tidak mungkin didapatkan!"

"Apa itu, Sukouw? Katakan, apa itu obat yang kiranya dapat menyembuhkan Suhu?"

"Ada semacam buah yang disebut sian-tho yang hanya tumbuh di Pulau Ular Emas. Kabarnya buah sian-tho itu dapat menyembuhkan luka dalam yang bagaimanapun hebatnya. Kabar itu seperti dongeng saja dan pinni sendiri belum pernah melihatnya. Juga tidak tahu apakah kabar itu hanya kabar bohong atau benar-benar."

"Pulau Ular Emas? Di mana itu?"

"Di timur terdapat Lautan Po-hai. di sanalah pulau itu, di antara pulau-pulau lainnya. Para nelayan tentu tahu di mana pulau itu. Akan tetapi perjalanan itu berbahaya sekali...."

"Tidak peduli bagaimana bahayanya aku akan pergi ke sana mencari buah sian-tho!" kata Cin Lan dengan suara tegas.

"Akan tetapi berbahaya sekali bagimu. Entah kalau engkau membawa pasukan ke sana...."

"Tidak! Ayah tentu melarang kalau aku menggunakan pasukan. Biar aku pergi sendiri!"

"Akan tetapi bagaimana kalau terjadi sesuatu denganmu, Siocia. Di sana terdapat sebuah pulau lain yang amat ditakuti orang, yaitu Pulau Naga. Semua orang di dunia kang-ouw juga segan melewati pulau itu karena takut bertemu dengan penghuni Pulau Naga. Sebaiknya kalau Siocia menyuruh saja seorang mencari ke sana."

"Tidak, aku sendiri yang harus mencarinya. Sukouw, tentu Sukouw mengetahui tentang kebaktian, bukan? Suhu telah demikian baik kepadaku. Selama tiga tahun Suhu melatih dan memberikan semua ilmunya kepadaku dan untuk itu, aku tidak pernah berbuat sesuatu untuknya. Kini Suhu berada dalam ancaman maut. Aku sebagai seorang yang mengenal budi harus menunjukkan kebaktianku kepada guruku. Akan tetapi Sukouw jangan mengatakan hal ini kepada siapapun juga. Kalau Ayah mengetahui, tentu dia melarangnya."

"Kalau Pangeran mengutus orang cari Nona ke sini?"

"Katakan saja tidak tahu ke mana aku pergi."

"Baiklah, Siocia."

Cin Lan lalu pulang ke rumahnya dan diam-diam berkemas, membawa buntalan pakaian dan uang untuk bekal, kemudian pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia sudah pergi meninggalkan rumah orang tuanya dan langsung saja meninggalkan kota raja melalui pintu gerbang timur dan terus melakukan perjalanan cepat menuju ke timur, menunggang seekor kuda yang berbulu putih, kuda kesayangannya. la membalapkan kudanya ke timur, dengan tekad di hati untuk mencarikan obat bagi gurunya ke Pulau Ular Emas.

Kebaktian timbul dari kasih sayang. Kalau kebaktian tidak timbul dari kasih sayang, maka sangat boleh jadi kebaktian itu palsu adanya. Ada kebaktian sebagai balas budi, ada pula kebaktian terhadap orang tua atau guru sebagai pelaksana kewajiban, atau bahkan ada yang agar supaya dikatakan orang bahwa dia seorang yang berbakti, murid atau anak yang berbakti. Akan tetapi semua itu palsu adanya.

Kebaktian yang sesungguhnya timbul dari kasih sayang. Kalau ada kasih sayang di hati, otomatis ada ke-baktian itu terhadap orang yang dikasihi. Seorang anak yang benar-benar memiliki kasih sayang kepada orang tuanya, dia akan menjadi seorang anak yang benar-benar berbakti. Kebaktian tidak dapat diukur dengan benda atau harta, melainkan tercurah melalui sikap dan perbuatan, dan pembelaan.

Biarpun ia seorang puteri pangeran yang semenjak kecilnya dimanja dan hidup berenang dalam kemewahan dan kecukupan, namun pada dasarnya Cin Lan adalah seorang anak yang berhati baik, bahkan yang mewarisi jiwa kependekaran dari mendiang ayah kandungnya. Maka, ia yang menyayang gurunya, melihat gurunya terancam maut, ia pun tidak ragu-ragu lagi untuk melakukan perjalanan berbahaya mencarikan obat bagi gurunya.


Seorang gadis sejelita Cin Lan, dalam usia delapan belas tahun, bagaikan bunga sedang mekarnya, tentu saja menarik perhatian banyak orang kalau melakukan perjalanan seorang diri. Hampir setiap orang pria yang ditemuinya di jalan tentu memandangnya dengan mata penuh gairah dan kekaguman. Namun Cin Lan tidak mempedulikan itu semua.

la membedal kudanya menuju ke timur. Dengan cepat sekali kuda putih membawanya ke timur dan pada suatu hari tibalah ia di kota Tien-cin. la menyewa sebuah kamar di rumah penginapan dan setelah makan malam, ia langsung tidur tidak pernah keluar lagi.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia melanjutkan perjalanan, keluar dari kota Tien-cin menuju ke pantai lautan di timur. Di pantai itu ternyata ramai, penuh dengan para pedagang dan tukang perahu yang menyewakan perahu untuk para pedagang. Juga banyak terda-pat nelayan.

Cin Lan berhenti di sebuah kedai makanan, menambatkan kudanya ke depan kedai lalu memasuki kedai itu, memesan nasi dan alr teh berikut bebe-rapa macam sayuran.

Semua tamu di kedai makan itu mengangkat muka memandang, namun Cin Lan tidak mempedulikan mereka. Tak jauh dari tempat ia duduk, terdapat dua orang pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan melihat keadaan mereka, agaknya mereka itu jagoan-jagoan atau orang-orang yang biasa bertindak ugal-ugalan mengandalkan kekuatan.

Mereka memang terkenal sebagai jagoan yang datang dari Tien-cin untuk pesiar ke pantai itu dan melihat seorang gadis demikian cantiknya memasuki rumah makan itu seorang diri, segera timbul maksud jahat mereka untuk menggoda. Setelah saling berkedip kedua orang itu lalu bangkit dari tempat duduk mereka.

Seorang di antara mereka bermata sipit sekali bermuka kuning sedang orang ke dua mukanya bopeng bekas penyakit cacar. Mereka menyeringai ketika meng-hampiri meja Cin Lan. Gadis ini masih tidak menyangka buruk ketika dua orang itu menghampiri mejanya, akan tetapi mereka menarik kursi dan duduk berhadapan dengan ia, semeja.

Barulah Cin Lan mengerutkan alisnya dan menegur, "Kalian mau apa?"

"Heh-heh-heh, nona manis," kata yang bopeng. "Kami berdua merasa kasihan melihat Nona duduk sendiri saja dan hendak menemani Nona makan minum.”

“Benar, Nona. Nanti kami yang membayar harga makanannya. Begini lebih menggembirakan, bukan?”

Tentu saja Cin Lan menjadi marah sekali mendengar ucapan itu, akan tetapi ia masih dapat menahan diri dan berkata dengan nada tegas dan kaku, "Aku tidak ingin duduk makan bersama kalian dan tidak ingin kalian membayar harga makananku.”

“Nona, jangan menjual mahal!" kata si Bopeng.

“Nona manis sendiri tentu kesepian," kata si Mata Sipit.

Kini Cin Lan menjadi marah. Ia bangkit berdiri. "Pergilah kalian dan sini, jangan mencari gara-gara.”

“Kalau kami mau duduk bersamamu, siapa yang berani melarang?" tantang Si bopeng.

“Hemmmm, boleh jadi aku masih bisa tinggal diam, akan tetapi empat orang kawanku tentu tidak mau menerima kalian," kata Cin Lan dan mendengar ini, dua orang itu celingukan memandang ke kanan kiri, mencari-cari empat orang kawan itu.

"Mana itu empat orang kawanmu, kenapa engkau sendirian saja?" tanya Si Mata Sipit.

"Kedua pasang kaki dan tanganku inilah empat orang kawanku. Mereka tentu akan menghajar kalian berdua kalau tidak cepat meninggalkan aku!" bentak Cin Lan dan ketika itu banyak orang yang berada di rumah makan sudah tertarik dan rnenonton dari jarak jauh.

Mereka yang duduk dekat menjauh karena takut tersangkut. Dua orang tukang pukul itu sudah terkenal di pantai itu sebagai orang-orang yang suka membuat ribut. Mendengar jawaban gadis itu, dua orang itu tertawa bergelak, "ha-ha-ha, engkau mengandalkan kaki tanganmu, Nona?" ejek Si Bopeng.

"Kaki dan tangan halus itu hanya layak untuk memijati tubuhku yang kelelahan!" kata Si Mata Sipit.

"Kalian tetap tidak mau pergi?" ancam Cin Lan dan melihat kedua orang itu tertawa semakin keras, Cin Lan menggerakkan kedua tangannya seperti kilat menyambar.

"Plok! Plok'" Dua orang itu terpelanting keras karena pipi mereka sudah terkena tamparan tangan Cin Lan. Mereka terkejut sekali, mengaduh dan cepat berloncatan bangun dengan marah. Akan tetapi Cin Lan sudah menyambut mereka dengan dua kali tendangan yang mengenai perut mereka. Sekali ini mereka terjengkang menimpa meja kursi dan sampai lama baru mereka dapat bangun kembali.

"Masih kurang dan ingin dihajar lagi?" kata Cin Lan sambil menghampiri. Akan tetapi dua orang itu sudah maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang tangguh sekali, maka setelah dapat bangkit berdiri, mereka laiu melarikan diri keluar dari rumah makan itu diiringi suara tawa banyak orang.

Peristiwa itu membuat Cin Lan kehilangan nafsu makannya, segala macam buaya darat rendahan datang mengganggu, pikirnya. Pemilik rumah makan datang menghampirinya dan berbisik, "Nona, mereka itu memiliki banyak kawan, aku khawatir mereka akan datang melakukan pembalasan dan bisa hancur rumah makan kami."

"Jangan khawatir, kalau mereka datang katakan kepadaku dan aku akan cepat keluar agar dapat menghajar mereka di luar rumah makan," kata Cin Lan sambil melanjutkan makan minum dengan tenang.

Setelah ia selesai makan pemilik rumah makan datang dengan muka ketakutan. "Nona, mereka datang belasan orang!"

Cin Lan cepat membayar harga makanan lalu melangkah lebar keluar dari rumah makan. Benar saja, ia melihat dua orang tadi dengan muka masih bengkak karena tamparannya, datang bersama be-lasan orang yang kesemuanya kelihatan bengis dan kasar. Cin Lan berhenti di dalam halaman depan rumah makan itu. "Hemm, kalian mau apa? Mencari aku?"

Dua orang itu menuding kepadanya dan berkata kepada teman-temannya, "Inilah setan perempuan itu!"

Mendengar ini, mereka semua mencabut golok dari pinggang dan mengepung Cin Lan yang menggendong buntalan pakaian. Cin Lan tidak memegang senjata akan tetapi ia sama sekali tidak takut. Begitu melihat sebelah kiri ada orang membuat gerakan pertama menyerangnya dengan golok, ia mengelak dan cepat sekali tangan kirinya menyambar dan sudah mengetuk ke arah siku kanan orang itu.

Seketika golok orang itu terlepas dan cepat ditangkap oleh Cin Lan. Sekali kakinya menendang orang itu terlempar beberapa meter dan goloknya berada di tangan Cin Lan. Gerakan itu demikian cepat dan seenaknya. Orang-orang itu kelihatan penasaran dan marah sekali. Sambil berteriak-teriak mereka lalu maju menyerang dan Cin Lan mengamuk dengan golok rampasannya.

Begitu tubuhnya berkelebat didahului sinar goloknya yang bergulung-gulung, terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan golok-golok beterbangan. Setelah Cin Lan berhenti bergerak, tiga belas orang itu semua telah menderita luka di tangan dan pundak, dan golok mereka terlepas dari tangan. Cin Lan berhenti di tengah-tengah dan memandang ke sekeliling.

Orang-orang itu kini melarikan diri, lupa untuk mengambil golok mereka. Orang-orang yang menjadi penonton merasa kagum kepada Cin Lan akan tetapi gadis ini tidak peduli lagi, melainkan membuang golok rampasannya lalu menghampiri kudanya. Dilepasnya tali yang ditambatkan ke batang pohon tadi dan dituntunnya kudanya menuju ke pesisir di mana berkumpul tukang-tukang perahu.

Para tukang perahu juga banyak yang rhenyaksikan ketika gadis itu mengamuk dan memberi hajaran kepada belasan orang penjahat tadi, maka kini mereka beramai-ramai menyambut gadis itu. "Apakah Nona hendak menyewa perahu?" Mereka menawarkan.

"Aku ingin menyewa perahu dari seorang yang berani mengantarkan aku ke Pulau Ular Emas. Siapa yang dapat dan berani?"

Tukang-tukang perahu itu terbelalak dan surut. Mereka ketakutan mendengar disebutnya Pulau Ular Emas yang berada di belakang Pulau Naga. Bukan Pulau Ular Emas yang mereka takuti, akan tetapi Pulau Naga. Melihat mereka mundur ketakutan, Cin Lan mengerutkan alisnya.

"Harap jangah takut, aku akan melindungi tukang perahu yang berani mengantar aku ke sana!"

Akan tetapi tidak ada seorang pun yang berani menjawab. "Aku akan memberi upah lima tail perak!" kata Cin Lan. Upah ini besar sekali bagi para tukang perahu itu, akan tetapi tetap saja mereka hanya berbisik-bisik dan tidak berani.

Akhirnya seorang laki-laki berusia lirna puluhan tahun melangkah maju. "Dengan upah lima puluh tail dan perlindungan Nona yang perkasa, saya berani mengantar Nona ke sana," katanya, akan tetapi dengan wajah yang agak pucat karena sebetulnya dia pun merasa jerih.

Cin Lan memandang kakek itu. Seorang yang tubuhnya masih nampak kekar dalam usianya yang setengah tua itu, dan perahunya juga sebuah perahu yang masih baru dan utuh. "Baiklah, Paman. Akan tetapi aku hendak menitipkan kudaku ini kepadamu. Di mana rumahmu dan adakah di sana orang yang akan mengurus kudaku sewaktu kita pergi?"

"Ah, ada, Nona. Ada isteriku dan anakku yang akan merawat kudamu. Mari kita ke rumahku."

Mereka lalu pergi dan ternyata rumah itu tidak jauh dari situ. Sebuah rumah nelayan sederhana dan melihat keadaan rumah yang miskin itu, Cin Lan segera mengeluarkan uang dan nnenyerahkan kepada isteri pelayan itu dengan pesan agar merawat kudanya baik-baik. Atas nasihat nelayan itu, keberangkatan ke Pulau Ular Emas ditunda sampai besok pagi.

"Pelayaran ke pulau itu makan waktu sepertiga hari, Nona. Sebaiknya, kita berangkat besok pagl-pagi sehingga untuk pelayaran pulang pergi kita dapat kembali ke slni sore hari. Kalau berangkat sekarang kita akan kemalaman dan di waktu malam berbahaya sekali. Pada musim begini, kalau malam ombaknya besar."

Karena ia sendiri tidak mempunyai pengalaman naik perahu, terpaksa Cin Lan menurut dan malam itu ia bermalam di rumah nelayan yang memberikan kamarnya untuk tamu agung itu. Biarpun kamar itu sederhana dan pembaringannya juga keras dan kasar, namun Cin Lan dapat tidur nyenyak karena ia telah melakukan perjalanan jauh dan tubuhnya terasa penat.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat. Cin Lan meninggalkan semua bekal pakaian dan uang pada isteri nelayan dan untuk membekali diri dengan senjata, ia mencari sebatang kayu dari pohon. Batang kayu itu dibuatnya menjadi tongkat, senjata yang paling disenanginya karena dengan senjata tongkat itulah ia dapat melindungi diri paling baik karena ia sudah menguasai Hok-mo-tung-hoat.

Melihat semangat gadis yang perkasa itu, Si Tukang Perahu akhirnya juga berani dan dia melayarkan perahunya menuju ke tengah samudera. Lautan Po-hai itu sebetulnya adalah sebuah teluk yang besar sekali. Saking luasnya, sampai daratan di seberang tidak kelihatan sehingga nampaknya seperti lautan bebas saja.

Cin Lan yang tidak pernah naik perahu di lautan, segera menjadi agak mabuk ketika perahu diombang-ambingkan ombak. Akan tetapi dengan duduk bersila di atas perahu, mengerahkan sinkangnya, ia dapat menolak rasa mabuk itu. Sudah dua jam perjalanan, di depan nampak sebuah pulau yang panjang dan hitam.

Melihat ini, tukang perahu kelihatan takut-takut dan berbisik, "Nona, pulau itulah yang membuat semua tukang perahu ketakutan mendengar Nona hendak pergi ke Pulau Ular Emas."

"Itukah Pulau Ular Emas?" tanya Cin La sambil memandang ke arah pulau itu.

"Ah, bukan, Nona. Pulau Ular Emas berada di belakang pulau itu. Itu adalah Pulau Naga yang ditakuti semua orang. Bahkan para nelayan juga tidak berani mencari ikan di dekat pulau itu."

"Kenapa, Paman? Apakah pulau ada setannya?"

"Lebih dari itu, Nona! Nona adalah seorang pendekar yang tentu mengenal dunia kang-ouw. Apakah Nona tidak tahu siapa majikan pulau itu?"

"Sungguh, aku tidak pernah mendengarnya, Paman. Coba ceritakan, siapa penghuni pulau itu? Siapa yang menjadi majikannya?"

"Mereka adalah keluarga Siangkoan yang amat terkenal, Nona. Bahkan majikan pulau itu disebut Raja Angin Timur. Semua bajak laut juga gemetar kalau mendengar namanya disebut. Keluarga Siangkoan itulah penghuni Pulau Naga itu. Sebaiknya kita mengambil jalan memutar saja, Nona. Agar aman."

"Tidak, Paman. Bahkan coba dekatkan perahu ke pantai Pulau Naga. Aku menjadi tertarik dan ingin sekali singgah di Pulau Naga yang aneh itu."

Mata pengemudi perahu itu terbelalak dan mukanya berubah pucat. "Nona, saya belum ingin mati....!"

"Hush, siapa bicara tentang mati? Penghuni pulau itu bermarga Siangkoan, berarti mereka itu adalah manusia-manusia biasa. Kalau kita tidak melakukan suatu kejahatan, tentu mereka tidak akan marah kepada kita."

"Tapi, tanpa ijin mereka, tak seorang pun boleh melanggar wilayah mereka, Nona. Itu berarti kematian bagi pelanggarnya!"

"Tidak mungkin! Kalau benar begitu, mereka itu orang-orang jahat yang pantas dibasmi dan aku akan membasmi mereka agar melenyapkan ancaman bagi para nelayan. Hayolah, jangan ragu, dekatkan perahu ini ke pulau itu!"

Dengan terpaksa sekali nelayan itu lalu melayarkan perahunya ke Pulau Naga. Pulau itu pantas disebut Pulau Naga karena memang dari jauh kelihatan seperti seekor naga yang muncul di permukaan samudera. Makin dekat, nelayan itu menjadi semakin ketakutan. Setelah pulau itu dekat.

Tiba-tiba bermunculan lima buah perahu kecil yang didayung cepat sekali, tahu-tahu sudah mengepung perahu yang ditumpangi Cin Lan. Tukang perahu menjadi semakin ketakutan dan bersembunyi di belakang Cin Lan sernentara gadis itu bangkit berdiri sambil memegang tongkatnya. Sama sekali Cin Lan tidak merasa takut.

"Kalian mengepung perahu kami mau apakah?" bentaknya. "Kami hanya kebetulan saja lewat di sini, tidak bermaksud jahat."

"Perahu Nona sudah melanggar perairan kami, maka Nona harus mendarat dan menghadap kongcu kami yang menunggu di pantai!"

Memang itu yang dikehendaki Cin Lan, yaitu mendarat dan melihat Pulau Naga. Maka kepada nelayan itu dia memberi isarat supaya mendaratkan perahunya. Dengan terpaksa sekali dan tubuh gemetar, nelayan itu menurunkan layar dan mendayung perahu ke darat, diiringkan lima buah perahu yang ditumpangi masing-masing dua orang yang kelihatan gagah dan kuat itu.

Setelah tiba di darat, Cin Lan melihat seorang pemuda berdiri di pantai sambil bertolak pinggang. Seorang pemuda tampan gagah dan pakaiannya indah seperti pakaian seorang pemuda bangsawan saja! la menjadi ter-tarik sekali dan sengaja ia memperlihatkan kepandaiannya.

Perahu itu terpisah dari darat masih beberapa meter jauhnya, akan tetapi Cin Lan mempergunakan keringanan tubuhnya, meloncat dan berjungkir balik lima kali baru tubuhnya turun ke depan pemuda itu dengan ringannya!

"Aha, kiranya Nona memiliki ilmu kepandaian yang lumayan juga. Pantas berani mendekati pulau kami. Apa perlunya Nona mendekati pulau kami?" tanya pemuda itu, suaranya terdengar halus akan tetapi mengandung teguran dan matanya seperti melahap wajah dan bentuk tubuh Cin Lan.

"Aku sengaja mendekati pulau ini untuk melihat apakah penghuninya manusia biasa ataukah iblis. Aku mendengar bahwa orang yang mendekati pulau ini tanpa ijin akan dibunuh, maka aku menjadi tertarik untuk mengunjunginya!" kata Cin Lan dengan sikap menantang.

"Nona, pulau ini adalah milik keluarga kami. Sebagai milik pribadi tentu saja kami melarang orang datang berkunjung tanpa ijin kami. Aku adalah Siangkoan Tek, putera majikan pulau ini. Siapakah Nona yang berani lancang nnelanggar wilayah kami?"

"Hemm, aku bernama Tang Cin Lan. Nah, aku sudah melanggar wilayah kalian, lalu engkau mau apa?" Nada suara Cin Lan menantang sekali karena ia merasa penasaran bahwa ada orang yang demikian sombongnya sehingga melarang orang berkunjung ke pulau itu, bahkan perairannya pun dibatasi.

"Kami mempunyai sebuah peraturan, Nona. Siapa yang berani melanggar wilayah kami, harus mengadu ilmu dengan kami. Melihat engkau masih muda dan seorang wanita pula, maka tidak perlu Ayah yang maju menghadapimu, cukup aku yang akan menguji kepandaianmu!"

"Boleh! Boleh! Kau kira aku takut kepada majikan Pulau Naga? Pulau ini boleh jadi telah kalian beli, akan tetapi air laut adalah milik manusia pada umumnya, siapapun juga boleh saja berlayar. Kalian hendak menguasai pula lautan, itu sungguh tak masuk di akal. Kalau hendak menguji kepandaian, hayolah, aku telah siap menghajarmu!" Gadis itu melintangkan tongkat kayunya di depan dada.

Pemuda itu bukan seorang tolol. Melihat sikap dan cara gadis itu tadi meloncat dari perahunya, dia sudah dapat menduga bahwa Cin Lan merupakan lawan yang tangguh, maka dia tidak berani memandang rendah dan segera mencabut pedang dari punggungnya.

"Bagus, mari kita main-main sebentar, Nona. Hendak kulihat apakah kepandaianmu sama hebatnya dengan wajah dan sikapmu!"

"Jaga seranganku!" Tanpa sungkan lagi Cin Lan sudah menyerang setelah membentakkan peringatan itu dan tongkatnya sudah menyambar dengan dahsyat sekali.

Pemuda itu terkejut. Tidak salah dugaannya. Gadis itu memang hebat. Memiliki ilmu tongkat yang dahsyat sekali. Dia pun lalu menggerakkan pedangnya menangkis dan balas menyerang. Cin Lan mulai memainkan ilmu tongkat yang amat diandalkannya, yaitu Hok-mo-tung. Dan begitu ia mainkan ilmu tongkat ini, pemuda itu segera terdesak hebat dan semakin terkejut.

Memang ilmu tongkat yang diajarkan oleh Pek I Lokai ini bukanlah ilmu tongkat biasa. Di dalamnya mengandung segala gerakan untuk menghadapi senjata lawan yang bagaimanapun juga. Daya serangannya amat hebat sehingga Siangkoan Tek yang sebetulnya juga lihai sekali itu segera terdesak dan main mundur.

Setelah lewat lima puluh jurus, Siangkoan Tek tidak lagi mampu membalas serangan Cin Lan, hanya berloncatan ke sana sini untuk mengelak sambil menangkis dengan pedangnya! Kalau dilanjutkan beberapa jurus lagi, agaknya dia akan roboh oleh tongkat itu. Tiba-tiba Siangkoan Tek meloncat ke belakang. Cin Lan mengejar dan pemuda itu berloncatan ke belakang seperti orang merasa jerih dan menjauhkan diri.

Tentu saja Cin Lan mendapat hati dan merasa penasaran karena pemuda itu belum kalah dan agaknya sengaja hendak menjauhkan diri agar jangan terdesak. la mengejar terus dan tiba-tiba kakinya terjeblos ke dalam lubang yang agaknya memang sengaja dibuat di pantai berpasir itu.

Ketika Cin Lan terjeblos jatuh, Siang-koan Tek cepat meloncat dekat dan sekali totok tubuh Cin Lan menjadi lemas tak mampu menggerakkan kaki tangan lagi. Cin Lan yang sudah tidak berdaya itu melotot. "Kau curang!" bentaknya. "Engkau menggunakan jebakan. Engkau pengecut curang yang hina!"

"Dan engkau seorang dara yarig cantik jelita dan berkepandaian tinggi. Ha-ha, Tang Cin Lan, engkau pantas menjadi kekasihku!" Siangkoan Tek menyentuh dagu Cin Lan dengan usapan mesra.

"Tidak sudi' Cuuh!" Cin Lan meludah. "Jangan sentuh aku!"

"Ha-ha-ha, engkau sudah terjatuh ke tanganku. Engkau tidak dapat berbuat apa-apa lagi, apa pula menolak, Nona manis, engkau seperti seekor kupu-kupu yang terjaring ke dalam sarang laba-laba, aku tinggal menghisapmu sampai kering, ha-ha-ha!"

"Jahanam keparat busuk tak tahu malu Pengecut hina dina yang curang. Hayo bebaskan aku dan kita bertanding lagi sampai salah seorang dari kita menggeletak mati di sini!" tantang Cin Lan dengan marah.

"Ha-ha-ha-ha!" Siangkoan Tek tertawa dan wajahnya yang tampan itu kelihatan amat menyeramkan bagi Cin Lan yang mulai merasa takut. Jangan-jangan pemuda ini orang gila dan akan melakukan hal yang amat mengerikan kepadanya, yang lebih hebat daripada maut sendiri!

Jangan-jangan pemuda ini akan memperkosanya dan kalau hal itu terjadi, ia tidak akan mampu membela diri! Gadis itu mulai merasa ngeri. Kembali Siangkoan Tek mengulurkan tangan, sekali ini hendak menggerayangi tubuh Cin Lan. Pada saat itu terdengar bentakan nyaring, "Siangkoan Tek!"

Pemuda itu terkejut dan menarik kembali tangannya yang tadi hendak menggerayangi dada Cin Lan dan dia memutar tubuhnya. Cin Lan juga melihat bahwa yang muncul adalah seorang wanita yang berusia kurang lebih empat puluh tahun, masih nampak cantik dan anggun dengan pakaian seperti wanita bangsawan atau hartawan pula. Biarpun cantik dan nampak lemah-lembut, namun ada sesuatu dalam sikap nyonya itu yang berwibawa sekali.

"Siangkoan Tek, apa yang kau lakukan ini? Siapakah nona ini?"

"Ah, Ibu. la telah melanggar wilayah kita dengan perahunya, maka aku lalu menangkapnya!"

"Hemm, engkau menggunakan akal licik untuk menangkapnya. Sungguh memalukan!"

"Tapi ia lihai sekali, Ibu."

"Sudah, hayo cepat kau bebaskan ia sekarang juga!"

Biarpun agak bersungut-sungut karena ibunya dianggap mengganggu kesenangannya pemuda itu tidak berani membantah. "Baik, Ibu." Dia lalu menghampiri tubuh Cin Lan yang masih terperosok ke dalam lubang dan sekali dia menotok, tubuh Cin Lan mampu bergerak kembali. Begitu dapat bergerak, Cin Lan melompat keluar dari dalam lubang, menggerakkan tongkatnya dan menyerang pemuda itu dengan marahnya.

"Plak!" Tongkat itu bertemu dengan tangan yang halus dari nyonya itu yang menangkisnya.

"Cukup, Nona. Aku mintakan maaf untuk kesalahan puteraku."

Melihat nyonya yang telah menolongnya itu mintakan maaf untuk puteranya, Cin Lan merasa tidak enak untuk menyerang terus, apalagi tangkisan tadi menunjukkan bahwa wanita ini lihai sekali, mungkin lebih lihai daripada puteranya!

"Bibi, engkau harus lebih keras menghajar puteramu!" ia berkata sebagai teguran.

"Akan kutegur dia keras-keras nanti. Akan tetapi engkau siapakah, Nona? Dan ada keperluan apa engkau sampai melanggar wilayah kami?"

"Namaku Tang Cin Lan dan aku kebetulan menyewa perahu nelayan dan lewat di dekat pulau ini. Karena tertarik mendengar bahwa pulau ini dihuni oleh iblis-iblis kejam aku sengaja hendak menjenguknya."

Wanita itu menghela napas. "Bukan iblis kejam yang menghuni pulau ini, Nona, melainkan kami keluarga Siang-koan."

"Akan tetapi aku mendengar banyak orang dibunuh mati kalau mendekati tempat ini."

"Berita itu berlebihan. Memang kami banyak membunuh para bajak laut dan orang kang-ouw yang sengaja hendak mengganggu kami di pulau ini. Engkau seorang nona muda sungguh berani sekali mengunjungi pulau ini. Sebaiknya, kalau engkau tidak mempunyai keperluan penting, jangan mendarat di pulau milik kami ini, Nona. Kami tidak ingin tempat kami ini menjadi tempat umum dan dikotori oleh orang-orang yang tidak tahu aturan. Nah, sekarang engkau boleh pergi dari sini dengan bebas, Nona."

Mendengar ini, nelayan yang tadinya ketakutan setengah mati melihat penumpangnya bertanding kemudian tertawan, segera berlari menghamplri Cin Lan dan membujuk, "Marilah, Nona. Kita pergi. Sudah berulang kali saya peringatkan jangan mendekati pulau ini. Mari, Nona!

Cin Lan sekali lagi memandang tajam kepada wanita itu dan puteranya, kemudian ia membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ, kembali ke perahunya yang segera didayung ke tengah oleh nelayan itu.

"Aduh, engkau berani sekali, Nona. Wah, kita mendapatkan kembali nyawa kita!" Tukang perahu itu lalu memberi hormat untuk menghaturkan terima kasih kepada Tuhan bahwa dia masih diperbolehkan hidup. Tadi dia sudah menganggap bahwa dirinya dan nona itu pasti akan mati.

Cin Lan merasa geli juga. "Sudahlah, Paman. Sekarang kita ke Pulau Ular Emas dan engkau boleh mengambil jalan memutar!"

Ternyata setelah dekat, Pulau Ular Emas itu tidaklah sebesar Pulau Naga, bahkan kecil saja, tidak ada sekilo meter persegi. Akan tetapi ketika Cin Lan melompat ke darat, ia melihat beberapa orang berada di atas pulau itu dan mereka itu sedang bertempur! Dan di tengah-tengah pulau itu terdapat sebuah pohon dan agaknya itulah pohon sian-tho yang kini agaknya diperebutkan orang.

Setiap ada yang mendekati pohon itu, tentu diserang oleh orang lain sehingga terjadi perkelahian yang kacau balau antara enam orang yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi itu!

Matahari telah naik tinggi dan Cin Lan dapat melihat semua itu dengan jelas. la berpikir bahwa kalau ia yang mendekati pohon itu, tentu juga ia akan diserang oleh mereka dan hal ini tidak menguntungkan. Maka ia agak mendekat dan melihat bahwa di pohon itu hanya terdapat sebutir buah saja yang sudah masak.

Kiranya pohon itu hanya berbuah satu, maka pantas kalau dijadikan perebutan. Dan buah itulah yang akan menyelamatkan suhunya. Lalu ia mendapat akal dan berseru dengan nyaring karena la sengaja mengerahkan khi-kang untuk membuat suaranya menjadi lantang.

"Tahan dulu, para Locianpwe, tahan dulu sebentar!"

Enam orang itu berloncatan mundur, akan tetapi tetap waspada menjaga agar jangan ada orang yang mencoba untuk mengambil buah sian-tho yang diperebutkan.

"Mau apa engkau, Nona muda?" bentak seorang tinggi besar bermuka hitam.

"Aku tahu bahwa keenam Locianpwe sedang memperebutkan buah sian-tho di sana itu, bukan? Aku sendiri pun datang hendak mencari buah sian-tho. Sayang buah itu hanya sebutir dan yang menghendaki demikian banyak. Karena itu, daripada berebutan tanpa aturan seperti ini bagaimana kalau dipakai aturan yang adil. Kita semua bertanding satu lawan satu dan yang terlihai di antara kita, yang menang, dialah yang berhak mendapatkan buah sian-tho. Dengan begini maka akan adil sekali, bukan?"

Enam orang itu saling pandang dengan mata melotot, lalu Si Tinggi Besar muka hitam itu berkata, "Aku setuju!"

"Aku pun setuju!"

"Aku juga setuju!"

Enam orang itu berseru menyatakan setuju akan usul yang diajukan Cin Lan. "Bagus! Kalau begitu, silakan, siapa yang akan bertanding lebih dulu?"

Mereka semua mengajukan diri, akan tetapi pada saat itu ada angin berkesiur datang dan di situ sudah berdiri seorang wanita diikuti seorang pemuda. Ketika Cin Lan memandang, ia mengenal bahwa mereka itu adalah Siangkoan Tek dan ibunya yang baru saja ia jumpai di Pulau Naga! Enam orang itu pun memandang dan mereka nampak terkejut dan jerih.

"Kami adalah keluarga Siangkoan! Biarpun kami hanya menjadi penguasa pulau Naga, akan tetapi Pulau Ular Emas ini adalah tetangga kami dan kamilah yang terdekat dengan pohon sian-tho. Bahkan di waktu musim kering, kamilah yang menyirami pohon itu. Jadi, sebetulnya kami yang berhak memetik buah sian-tho yang sudah masak. Akan tetapi karena kalian semua sudah datang berebut, kami setuju dengan usul Nona Tang Cin Lan ini.

"Suatu usul yang baik sekali. Aku sendiri, Nyonya Siangkoan, akan maju mewakili keluarga Siangkoan dan kalian yang ingin merebut sian-tho boleh maju semua mengeroyokku! Kalau aku kalah, barulah kalian boleh saling berebutan. Nah, majulah!" Nyonya itu lalu melepaskan sabuk suteranya yang berwarna merah.

Sukar dipercaya bahwa sabuk sutera seperti itu hendak dijadikan senjata melawan orang-orang yang nampaknya kuat-kuat dengan berbagai senjata tajam itu. Akan tetapi sungguh aneh. Enam orang itu, yang jelas merupakan orang-orang kang-ouw yang berkepandaian tinggi, kelihatan jerih sekali mendengar bahwa wanita itu adalah Nyonya Siangkoan yang mewakili keluarga Siangkoan.

Cin Lan dapat menduga bahwa nama besar keluarga Siangkoan tentu telah tersiar luas di dunia kang-ouw sehingga baru Sang Nyonya saja yang muncul, semua orang menjadi jerih!

Kemudian Cin Lan melihat bahwa dari pantai pulau itu muncul pula empat orang yang berpakaian seperti pelayan dan agaknya mereka ini pelayan atau anak buah perahu yang ditumpangi Nyonya Siangkoan dan puteranya. Mereka berempat itu berdiri saja seperti patung, seolah siap menanti perintah Sang Majikan.

Enam orang kang-ouw itu saling pandang, kemudian empat orang di antara mereka mundur dan berkata kepada nyonya itu, "Kalau Toanio menghendaki buah sian-tho itu, terpaksa kami mengundurkan diri. Kami tidak ingin berebut dengan keluarga Siangkoan!"

Dan empat orang itu lalu melangkah pergi menuju pantai melayarkan perahu masing-masing pergi dari situ! Hanya tinggal dua orang yang masih tetap berada di situ dan mereka berdua memandang kepada nyonya itu dengan penasaran. Seorang di antara mereka berkepala besar seperti gentong dan dia yang berkata dengan suara yang mengguntur, "Benarkah Toanio menantang kami maju berbareng?"

"Hemm, engkau yang berjuluk Ta-thouw-kwi (Setan Kepala Besar), bukan? Aku sudah mengatakan bahwa kalian semua yang hendak memperebutkan sian-tho, boleh maju bersama melawanku wakil dari keluarga Siangkoan," jawab nyonya itu dengan suara yang halus dan teratur baik seperti ucapan seorang bangsawan terpelajar saja.

Orang ke dua adalah seorang yang demikian kurus seperti cecak kering. Orang kurus ini lalu mengeluarkan senjatanya yang menyeramkan, yaitu sebatang golok yang punggungnya seperti gergaji dan golok itu besar dan berat sekali, sungguh tidak sesuai dengan tubuhnya yang seperti cecak kering itu. Melihat golok ini saja sudah dapat diketahui bahwa orang yang kurus itu ternyata memiliki tenaga yang amat kuat.

Dia mengangkat goloknya dan berkata, "Sesungguhnya aku merasa malu untuk mengeroyok seorang wanita, akan tetapi karena engkau sendiri yang menghendaki...."

"Engkau yang berjuluk Twa-to-kwi (Setan Golok Besar), bukan? Sudahlah, jangan banyak cakap lagi. Majulah kalian berdua!"

Akan tetapi Cin Lan berkata, "Tadi aku mengusulkan untuk pertandingan satu lawan satu. Aku tidak sudi melakukan pengeroyokan!" Dan ia pun berdiri di pinggiran untuk menonton. la akan memperebutkan sian-tho itu dengan pertandingan yang adil.

Mendengar ini, nyonya itu tersenyum manis kepadanya. "Kalau begitu, Cin Lan, engkau lihatlah betapa aku menghajar kedua orang yang tidak tahu diri ini. Marilah, kalian boleh maju dan mulai menyerang!" tantang nyonya itu sambil menaruh sabuk di pundaknya.

Si Kepala Besar juga mencabut sebatang pedang dari punggungnya dan kedua orang itu lalu membentak dan mulai menyerang dari kanan kiri. Serangan mereka ganas dan cepat sekali, akan tetapi tiba-tiba mereka kehilangan orang yang mereka serang. Demikian cepat gerakan nyonya itu ketika meloncat dan tahu-tahu dua orang itu kehilangan lawannya yang sudah tiba di belakang mereka.

Cepat mereka membalik sambil mengayun senjata menyerang lagi. Akan tetapi semua serangannya mengenai tempat kosong belaka. Sampai belasan jurus mereka menyerang, namun mereka itu seperti menyerang sesosok bayangan saja. Baru beberapa jurus saja maklumlah Cin Lan bahwa jangankan baru dua orang itu, biarpun tadi ditambah empat orang yang sudah pergi, belum tentu mereka dapat mengalahkan nyonya itu yang memiliki ginkang luar biasa sekali.

Akan tetapi la sendiri tidak khawatir. Dengan Hok-mo-ong tung-hoat yang dikuasainya, kiranya akan mampu menandingi lawan yang memiliki sin-kang sedemikian hebatnya, karena tongkatnya dapat dibuat bergerak secepat angin.

Benar saja dugaannya. Ketika nyonya itu mulai menggerakkan sabuknya, nampak sinar merah berkelebatan menyilaukan mata dan tak lama kemudian terdengar dua orang itu menjerit dan tubuh mereka roboh. Ketika Cin Lan memandang, ia terkejut sekali melihat mereka itu telah tewas!

Agaknya jalan darah maut mereka telah tertotok secara lihai sekali oleh ujung sabuk sutera Nyonya itu dengan tenang lalu menggapaikan tangan kepada empat orang pelayan yang berlari-lari mendatangi. Kemudian mereka tanpa diperintah agaknya tahu akan kewajiban mereka. Mereka menggotong pergi dua mayat itu dan melemparkan mereka dari tebing tinggi ke dalam lautan!

Nyonya itu kini menghampiri Cin Lan. "Apakah engkau juga masih berniat untuk merebut buah sian-tho, Cin Lan?"

"Tentu saja! Bibi boleh jadi amat lihai dan belum tentu aku akan dapat menang. Akan tetapi aku harus mendapatkan buah sian-tho itu untuk menyelamatkan guruku yang terluka beracun!"

"Engkau tidak takut akan tewas pula dalam memperebutkan buah itu?"

"Kewajiban seorang murid untuk membela gurunya, mati pun tidak akan penasaran!"

Nyonya itu tersenyum dan mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada puteranya. "Siangkoan Tek, kau dengar sendiri ucapan Tang Cin Lan ini. Anak ini boleh kau contoh. la berbakti dan setia kepada gurunya, sampai tidak takut mempertaruhkan nyawanya. Cin Lan, siapa sih gurumu itu yang begitu kau bela?"

"Dia seorang pengemis tua."

Siangkoan Tek berseru heran. "Hanya seorang pengemis tua dan engkau mempertaruhkan nyawa demi keselamatannya? Luar biasa sekali!"

"Siapa nama atau julukan gurumu itu, Cin Lan?"

"Julukannya Pek I Lokai."

"Ah, ah....! Kiranya si tua Pek I Lokai itu gurumu? Pantas engkau begini gagah perkasa dan berani. Seorang guru yang baik tentu memiliki murid yang baik pula!" kata nyonya itu kagum. "Di mana gurumu sekarang berada?"

"Di Kwan-im-bio di luar kota raja, kata Cin Lan terus terang karena memang ia tidak perlu menyembunyikan sesuatu, kecuali tentang dirinya, bahwa ia adalah puteri seorang pangeran!

"Cin Lan, engkau murid yang hebat. Sikapmu mengingatkan aku di waktu muda. Berani dan bertanggung jawab. Nah, majulah, Cin Lan. Ingin aku berkenalan dengan ilmu tongkatmu yang menurut keterangan anakku tadi hebat sekali."

Cin Lan menggerakkah tongkathya dan berkata, "Aku harus mendapatkan sian-tho itu atau boleh Bibi membunuhku kalau bisa!"

la lalu berseru keras dan memasang kuda-kuda, tidak mau menyerang lebih dulu karena maklum bahwa ia tidak akan berhasil mengenai tubuh yang memiliki gin-kang hebat itu. Satu-satunya cara adalah membiarkan nyonya itu menyerang lebih dulu sehingga ia dapat membarengi dengan serangan selagi nyonya itu menyerang.

Melihat ini, nyonya itu mengangguk-angguk lalu berseru keras dan sabuk sutera merahnya mencuat menotok ke arah dada Cin Lan. Cin Lan menggerakkan tongkatnya menangkis dan sekaligus balas menyerang dengan pukulan ke arah leher lawan. Nyonya Siangkoan mengelak dan mereka lalu saling serang dengan hebatnya.

Karena maklum bahwa lawannya lihai, maka Cin Lan segera memainkan Hok-mo Tung-hoat dan membuat gerakan tongkatnya secepat kilat sehingga nyonya itu tidak sempat menggunakan gin-kangnya. Terjadi pertempuran yang seru bukan main dan berkali-kali nyonya itu mengeluarkan seruan kagum.

Sampai lewat lima puluh jurus belum ada pihak yang menang atau kalah dan tiba-tiba ketika Cin Lan memukulkan tongkatnya, ujung sabuk sutera itu melibat tongkatnya dan tongkat itu tidak dapat digerakkan lagi. Akan tetapi nyonya itu pun tidak dapat menggunakan sabuk suteranya untuk menyerang dan mereka saling tarik menarik. Ternyata dalam hal tenaga sinkang pun mereka seimbang.

Tiba-tiba nyonya itu tertawa, "Bagus, engkau memang murid Pek I Lokai yang baik sekali." Ia melepaskan libatan sabuk suteranya dan meloncat ke belakang. "Engkau boleh memiliki sian-tho itu Cin Lan.”

Cin Lan membelalakkan matanya. la tahu bahwa nyonya itu belum kalah olehnya, akan tetapi sudah mau menyerahkan sian-tho itu kepadanya. "Ah, Bibi baik sekali. Terima kasih Bibi."

"Engkau memang pantas mendapatkannya, Cin Lan. Dan aku suka padamu. Kalau saja engkau kelak menjadi mantuku....!"

Wajah Cin Lan berubah kemerahan ketika mendengar ini, "Aih, Bibi!" serunya tersipu.

"Siangkoan Tek, cepat ambilkan sian-tho itu dari berikan kepada Cin Lan!"

Siangkoan Tek berlari ke arah pohon itu dan sekali meloncat tubuhnya sudah berada di atas pohon. Dipetiknya buah yang hanya satu-satunya itu lalu dia meloncat turun lagi dan lari menghampiri Cin Lan. Pemuda itu kini nampak ramah sekali dan tersenyum manis. "Silakan terima buah sian-tho ini, Nona. Dan kalau nanti ada kesempatan, ingin sekali aku datang berkunjung ke tempatmu di Kuil Kwan-im-bio di luar kota raja!"

Cin Lan menjadi tidak senang di dalam hatinya kepada pemuda ini. Tadi pemuda ini telah memperlihatkan sikap yang sama sekali tidak menyenangkan. Akan tetapi karena ia diberi buah sian-tho, maka terpaksa ia pun menerimanya sambil berkata, "Terima kasih!"

"Cepat bawa buah itu kembali, Cin Lan. Akan tetapi berhati-hatilah, karena banyak orang kang-ouw yang juga ingin sekali memiliki buah sian-tho ini yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit dalam. Dan sampaikan salam keluarga Siangkoan kepada suhumu," kata Nyonya Siangkoan dengan sikap yang manis budi.

Akan tetapi Cin Lan tetap tidak dapat melupakan betapa nyonya ini tadi dengan kejamnya telah membunuh dua orang yang hendak memperebutkan buah sian-tho. Padahal, meliihat kepandaiannya yang jauh lebih tinggi, nyonya itu dapat mengalahkan dua orang lawannya tanpa harus membunuh mereka.

"Terima kasih, Bibi. Selamat tinggal!" katanya dan cepat ia berlari kembali ke perahunya setelah memasukkan buah sian-tho itu ke dalam kantung bajunya.

Tukang perahu yang selalu khawatir dan ketakutan melihat perkelahian di Pulau Ular Emas itu, merasa girang sekali melihat nona penyewa perahunya datang dalam keadaan selamat. Begitu Cin Lan naik ke perahu, tanpa bicara lagi dia segera mendayung perahunya ke tengah lalu memasang layar sehingga perahu meluncur cepat meninggalkan pulau itu.

Akan tetapi tlba-tiba Cin Lan berkata, "Nanti dulu, Paman. Kembali dulu!"

"Ada apakah, Nona?"

"Cepat kembalilah ke darat!" kata Cin Lan sambil memandang ke darat. la melihat ada sinar-sinar emas di tepi pantai berloncat-loncatan. Hal ini amat menarik hatinya karena ia teringat bahwa nama pulau itu adalah Pulau Ular Emas. Maka melihat ada sinar-sinar seperti emas berloncatan di pantai, ia tertarik sekali dan menyuruh tukang perahu untuk kembali. Biarpun bersungut-sungut, nelayan itu tidak berani memban-tah dan segera mendayung perahunya ke tepi pantai!

Setelah dekat dengan sinar-sinar emas itu, hampir Cin Lan memekik girang dan kagum. Ia melompat keluar dari dalam perahu dan mendekati tempat itu. Terdapat pemandangan yang menarik sekali. Ternyata yang berloncatan itu adalah ular-ular yang berwarna keemasan. Ada belasan ekor banyaknya.

Belasan ekor ular emas ini agaknya sedang mengeroyok seekor ular putih yang melingkar di tengah-tengah. Gerakan ular-ular emas itu sungguh cekatan dan cepat sekali. Mereka menyerang dari berbagai jurusan, akan tetapi dengan tenang ular putih yang melingkar ini menggerakkan kepalanya cepat menyambar ke arah ular-ular itu.

Sudah dua tiga ekor ular emas yang tewas dengan leher hampir putus tergigit ular putih yang tubuhnya sebesar lengan tangan dan panjangnya ada satu setengah meter. Sebaliknya, ular-ular emas itu kecil hanya sebesar ibu jarinya dan juga panjangnya tidak lebih dari tiga putuh sentimeter.

Cin Lan adalah seorang gadis yang berwatak pendekar. Melihat seekor ular dikeroyok demikian banyaknya ular emas ia menjadi marah. la lalu menggerakkan tongkatnya membantu ular putih. Akan tetapi ular-ular emas itu bergerak cepat sehingga pukulannya dapat mereka elakkan. Akan tetapi Cin Lan menyerang terus dan akhirnya, ia dapat membunuh beberapa ekor ular emas.

Tiba-tiba la berteriak. Tanpa diketahuinya, seekor ular emas meloncat ke arah kakinya dan menggigit. Gigitannya menembus celananya dan terasa panas bukan main. Dan ketika ia hendak merenggut ular emas yang menggigit kakinya ternyata ular emas itu sudah mati. Begitu menggigit terus mati, dan agaknya menumpahkan seluruh racunnya ke dalam kakinya!

la semakin marah dan mengamuk sehingga semua ular emas terkena hantaman tongkatnya dan mati semua. Akan tetapi tiba-tiba ular putih itu mematuknya dan menggigit kaki yang sama. la merasa seolah kakinya dimasuki es yang amat dinginnya sehingga ia menggigil dan ketika ia melihat ular putih yang tadi dibantunya dan yang kini menggigit kakinya juga telah mati lemas!

Cin Lan berdiri terhuyung. Dalam tubuhnya terjadi perang yang hebat antara hawa yang amat panas dengan hawa yang amat dingin. Akhirnya ia roboh pingsan di atas pasir. Ketika Cin Lan siuman kembali, ternyata ia sudah rebah di atas perahu nelayan itu.

"Ah, engkau sudah siuman, Nona. Sukurlah! Engkau membuat aku ketakutan setengah mati!" kata tukang perahu itu. Dialah yang tadi melihat gadis itu roboh dan dia mengangkatnya setengah menyeretnya ke atas perahunya dan melayarkan perahu itu meninggalkan Pulau Ular Emas.

Cin Lan yang membuka mata itu berkedip-kedip. la merasa tubuhnya sehat dan segar hanya ada hawa yang tarik-menarik di dalam perutnya, kadang panas kadang dingin. la bangkit duduk dan memandang kepada tukang perahu itu.

"Aku tadi pingsan, Paman?"

"Ya, kulihat Nona menggeletak pingsan di pantai dan banyak ular disekeliling Nona. Hlhh, mengerlkan sekali."

Cin Lan teringat dan meraba kakinya. Bekas gigitan ular itu masih ada, hanya tidak lagi menimbulkan rasa nyeri Ia telah digigit seekor ular emas dan seekor ular putih. "Paman yang mengangkatku ke perahu ini?"

"Benar, Nona. Melihat engkau menggeletak pingsan, aku lalu berusaha sedapat mungkin membawa Nona ke perahu ini, lalu cepat-cepat melayarkan perahunya karena aku takut lebih lama lagi tinggal di pulau itu."

"Terima kasih atas pertolonganmu, Paman." Cin Lan bangkit berdiri, menggerakkan kaki tangannya dan ia merasa betapa ada hawa yang amat kuat yang membuat tubuhnya terasa ringan dan bertenaga dahsyat. Tentu saja la menjadi girang sekali. la tidak mati oleh gigitan ular bahkan mendapat tenaga yang kuat.

la sama sekali tidak tahu apa artinya ini dan mengapa ia tidak mati malah mendapatkan tenaga baru yang membuat tubuhnya terasa ringan. la lalu duduk kembali dan mengenangkan semua peristiwa yang pernah terjadi. la meraba benda di situ dan diambilnya buah itu, di amat-amatinya.

Seperti buah biasa saja, tidak ada keanehannya. Akan tetapi ketika diciumnya, bau buah itu harum dan agak keras menyengat hidungnya. la cepat menyimpannya kembali, kini ia masukkan ke balik bajunya di dada karena ia khawatir kalau-kalau akan ada orang yang hendak merampasnya.

Sementara itu, angin bertiup kencang. Layar terkembang sepenuhnya dan perahu meluncur dengan amat cepatnya sehingga dapat diharapkan ia akan sampai di pantai sebelum hari menjadi gelap. Akhirnya perahu itu mendarat di pantai. Matahari telah condong ke barat akan tetapi cuaca masih terang. Cin Lan merasa girang sekali. la berhasil mendapatkan sian-tho. Gurunya akan tertolong.

Setelah membantu tukang perahu itu menambatkan perahu yang diseret ke darat, Cin Lan bersama nelayan itu lalu berjalan menuju ke rumah nelayan itu. Akan tetapi tiba-tiba mereka dikepung oleh empat orang yang memandang bengis kepada Cin Lan.

Tukang perahu menjadi ketakutan dan dia menundukkan diri. Ternyata empat orang itu membiarkan saja tukang perahu itu keluar dari kepungan mereka karena yang mereka kepung adalah Cin Lan.

"Hemm, mau apa kalian menggangguku?" tanya Cin Lan, padahal tentu saja ia tahu bahwa empat orang ini menghendaki buah sian-tho yang sudah disimpannya karena empat orang itu bukan lain adalah mereka yang tadinya berada di Pulau Ular Emas, yaitu mereka yang tidak berani melawan Nyonya Siangkoan dan mengundurkan diri. Klranya mereka masih berada di pantai ini dan agaknya memang menghadangnya!

"Nona, kami minta bagian buah sian-tho itu!"

"Buah sian-tho apa?" Cin Lan pura-pura bertanya. "Buah sian-tho itu milik keluarga Siangkoan."

Akan tetapi empat orang itu tersenyum dan Cin Lan merasa tenang bahwa ia membawa dayung milik nelayan itu. Tadi ketika ia turun dari perahu, ia mendapat kenyataan bahwa tongkatnya telah ditinggalkan tukang perahu ketika menariknya ke atas perahu dan ia melihat bahwa dayung itu pun dapat dipergunakan sebagai senjata, maka dayung itu dibawanya serta sebagai pelindung diri.

"Nona, harap jangan pelit. Kita semua membutuhkan buah sian-tho itu dan tentu buah siantho itu telah berada di tanganmu."

"Hemm, bagaimana engkau menduga begitu? Buah sian-tho itu milik keluarga Siangkoan."

"Tidak perlu membohongi kami. Kami mengenal siapa keluarga Siangkoan itu. Kalau Nona tidak mendapatkan buah itu, berarti Nona terbunuh oleh Nyonya Siangkoan. Buktinya dua orang kang-ouw yang lainnya juga tidak muncul, tentu mereka telah tewas di tangan nyonya itu. Akan tetapi Nona dapat mendarat, tentu buah sian-tho itu telah berada di tanganmu."

"Harap Nona jangan pelit, kita bagi sama buah sian-tho itu menjadi lima potong dan kita masing-masing mendapatkan sepotong," kata yang lain.

Cin Lan tidak dapat mengelak lagi, maka ia lalu melintangkan dayung di depan dadanya dan membentak, "Aku tidak akan membaginya dengan siapa pun."

Empat orang itu menjadi marah dan mencabut senjata masing-masing. Dua orang memegang pedang dan dua orang lagi memegang golok. "Kalau Nona tidak mau membagi-bagi, kami akan merampas dengan kekerasan!" kata yang memegang pedang dan bertubuh tinggi besar.

"Majulah, aku tidak takut!" kata Cin Lan.

Empat orang itu menggerakkan senjata mereka dan maju mengeroyok. Ketika Cin Lan menggerakkan tongkat dayungnya, ia sendiri terkejut. Gerakannya demikian kuat sehingga dayung itu mengeluarkan angin dahsyat! Akan tetapi ia merasa dadanya agak sesak. Ketika ia menerjang kepada empat orang itu, empat orang itu pun terkejut bukan main. Golok dan pedang mereka terpental hampir terlepas dari tangan ketika bertemu dengan dayung!

Dalam beberapa gebrakan saja empat orang itu terdesak mundur karena gerakan dayung di tangan Cin Lan memang luar biasa kuatnya. Dan Cin Lan juga bergerak amat cepat. Ketika kakinya menendang, dua orang pengeroyok terkena tendangannya dan terlempar jauh! Juga dalam tendangannya terkandung tenaga yang dahsyat bukan main.

Tentu saja para pengeroyok itu menjadi terkejut dan merasa jerih. Tak mereka sangka bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang demikian hebatnya. Akan tetapi, selagi mereka hendak melarikan diri, mereka melihat Cin Lan terhuyung-huyung!

Ternyata ketika tadi sehabis melakukan tendangan, Cin Lan merasa betapa tenaga yang tarik menarik di tubuhnya makin menghebat dan kini terasa hawa sebentar panas sebentar dingin menyerangnya dan membuat dadanya terasa sesak sukar bernapas. la terengah-engah dan terpaksa membungkuk sambil menekan dadanya.

Pada saat itu, empat orang pengeroyoknya maklum bahwa gadis itu menderita luka dalam yang agaknya hebat sekali, maka timbul kembali keberanian mereka. Mereka lalu menyerang selagi gadis itu menyeringai kesakitan dan terengah-engah.

Akan tetapi pada saat yang amat gawat bagi Cin Lan itu, empat buah kerikil berturut-turut menyambar ke arah tangan yang memegang golok dan pedang dan empat batang senjata itu berkerontangan jatuh ke atas tanah. Empat orang itu terkejut bukan main karena tangan mereka terasa nyeri sekali.

Di situ tidak ada orang lain kecuali Si Tukang Perahu yang menonton dengan wajah pucat. Maka mereka mengira bahwa gadis itu yang telah membuat mereka kehilangan senjata dan mereka lalu memutar tubuh dan melarikan diri dari situ dengan ketakutan.

Seorang pemuda muncul. Pemuda ini berusia sekitar sembilan belas tahun, berpakaian sederhana dan kepalanya memakai sebuah caping lebar seperti caping yang dipakai para petani. Wajah di balik caping itu tampan dan lembut. Pakaiannya juga sepertl pakaian petani dan pemuda itu lalu menghampiri Cin Lan.

"Nona, engkau sakitkah?" tanya pemuda itu dengan suara lembut dan ramah.

Akan tetapi Cin Lan yang sudah mulai dapat mengatur pernapasannya yang tadi bergolak dan terengah, memutar tubuh memandang kepadanya dengan curiga. "Siapa engkau? Mau apa engkau?" la melintangkan dayungnya siap untuk menghantam pemuda itu yang dianggapnya tentu orang yang hendak merampas sian-tho pula.

Pemuda itu mundur tiga langkah. Dia kaget melihat sikap gadis itu, akan tetapi juga kagum melihat wajah yang jelita itu. "Nona, aku seorang yang kebetulan lewat dan melihat Nona seperti yang sakit...”

”Aku tidak sakit! Dan jangan mendekat!" bentak pula Cin Lan.

Dan kembali pemuda itu mundur beberapa langkah dan menggeleng kepalanya. "Nona, aku tidak berniat buruk...."

"Diam! Aku tidak membutuhkan bantuanmu." kata pula Cin Lan dan la lalu menoleh kepada tukang perahu. ”Mari, Paman, kita pulang."

Tukang perahu itu tergopoh-gopoh melangkah pergi menuju ke rumahnya bersama Cin Lan, diikuti pandang mata pemuda bercaping itu yang menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Aneh...." kata pemuda itu. Pemuda itu bukan lain adalah Thian Lee.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Thian Lee secara kebetulan sekali bertemu dengan manusia salju Yeti yang membawanya menemukan sebatang pedang dan dua buah kitab kuno. Dia mempelajari dua buah kitab yang tulisannya memakai huruf kuno itu, dibantu oleh Tan Jeng Kun dan Kim-sim Yok-sian yang menterjemahkan huruf-huruf itu kepadanya.

Selama tiga tahun lebih dia melatih diri dengan dua ilmu itu. Kitab yang pertama adalah ilmu menghimpun tenaga sinkang yang disebut Thian-te Sin-kang. Dengan melatih diri dengan ilmu ini, Thian Lee dapat memiliki kekuatan sin-kang yang hebat sekali. Kemudian kitab ke dua adalah pelajaran ilmu pedang Jit-goat Kiam-sut dan ilmu pedang ini dilatihnya dengan menggunakan pedang Jit-goat Sin-klam.

Ternyata bahwa ilmu pedang ini hebat bukan main. Bahkan kedua orang gurunya itu pun menyatakan kekaguman mereka. Akan tetapi, biarpun dia sendiri seorang ahli silat tingkat tinggi yang amat lihai Tang Jeng Kun tidak mau melatih diri dengan ilmu silat atau ilmu sin-kang itu. Dia merasa dirinya sudah tua dan juga tidak berhak, karena agaknya kerangka itu, yaitu su-kongnya, meninggalkan ilmu-ilmu dan pedangnya kepada Thian Lee sebagai ahli warisnya.

Demikianlah, setelah berlatih diri dengan tekun selama lebih dari tiga tahun, Thian Lee telah menguasai ilmu-ilmunya dengan baik. Kim-sim Yok-sian telah lama meninggalkannya untuk merantau seperti biasa dan dia dibimbing oleh guru silatnya, yaitu Tan Jeng Kun. Setelah melihat murid ini menguasai ilmu-ilmunya dengan baik, Tan Jeng Kun lalu memanggilnya.

"Thian Lee, sekarang sudah tidak ada ilmu apa-apa lagi yang dapat kuajarkan kepadamu. Engkau sudah menguasai ilmu yang hebat, dan sudah tiba saatnya engkau mengamalkan ilmuilmu itu. Pergilah engkau merantau dan jadilah seorang pendekar yang baik. Akan tetapi pesanku yang engkau harus taati, jangan menojolkan diri, jangan pamer kepandaian dan jauhkan diri dari permusuhan sedapat mungkin.

"Ingat, sepandai-pandainya seorang manusia, masih ada orang, lain yang lebih pandai lagi dan sehebat-hebatnya llmu, belum dapat dikatakan sempurna. Yang Maha Kuat, Maha Kuasa dan Maha Sempurna hanyalah Tuhan. Kalau engkau selalu menjaga sepak terjangmu tidak menyimpang dari kebenaran, engkau tentu akan mendapat bimbingan dan perlindungan dari Tuhan dan kalau engkau sudah dibimbing dan dilindungi Tuhan, siapakah yang akan dapat melawanmu?"

"Suhu, teecu tidak memiliki sanak keluarga lagi, tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini. Ke manakah teecu harus pergi?" tanya Thian Lee dengan suara memelas. Dia menyadari keadaannya dan mau tidak mau hatinya menjadi sedih kalau harus meninggalkan suhunya, satu-satunya orang yang dekat dengannya setelah Kim-sim Yok-sian yang telah pergi merantau lebih dulu....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.