Gelang Kemala Jilid 09
Kini tinggal Pek I Lokai dan Siangkoan Bhok yang berada di situ. "Bagaimana pendapatmu dengan menyerahkan diri Pak-thian-ong tadi, Pek I Lokai?"
Pek I Lokai tersenyum. "Apa salahnya dengan keputusannya itu? Lupakah engkau, Siangkoan Bhok, siapa Pak-thian-ong itu? Dia adalah Dorhai, seorang tokoh Mancu, Tentu saja dia senang membantu Sri Baginda Kaisar."
"Kalau aku tidak mau membantu. Biarpun pemerintahan sekarang ini terhitung baik sekali, akan tetapi aku masih tidak sampai hati untuk membantu pemerintah Mancu," kata Siangkoan Bhok dengan sikapnya yang agak angkuh.
"Sudahlah, Siangkoan Bhok. Tidak perlu kita lanjutkan pembicaraan seperti ini. Bagaimanapun juga, harus kita akui bahwa sejak beliau masih menjadi pangeran, Kaisar Kian Liong adalah seorang yang baik dan luas pergaulannya di dunia kang-ouw."
"Ya sudahlah, tidak perlu bicara tentang hal itu. Akan tetapi bagaimana dengan urusan kita?"
"Urusan kita yang mana?"
"Isteriku berpesan kepadaku kalau bertemu denganmu agar menyampaikan keinginannya menjodohkan putera kami dengan muridmu yang bernama Tang Cin Lan itu."
"Ah, bagaimana aku harus menjawabmu? Aku hanyalah seorang gurunya, dan Cin Lan masih mempunyai ayah bunda yang lengkap. Karena itu, kalau hendak meminangnya pinanglah kepada ayah bundanya. Aku tidak akan dapat berbuat sesuatu kalau gadis itu sendiri tidak mau atau ayah bundanya tidak setuju."
"Siapa ayahnya? Di mana tempat tinggalnya?"
"Ha-ha, tidak sukar untuk mencari ayahnya. Ayahnya adalah Pangeran Tang Gi Su, seorang pejabat tinggi yang berkuasa dan tinggal di kota raja!" Setelah berkata demikian, Pek I Lokai membawa tongkat bambunya dan pergi dari tempat itu.
Siangkoan Bhok menjadi bengong. Dia terkejut mendengar bahwa gadis yang dicinta puteranya dan diinginkan isterinya untuk menjadi mantu itu adalah puteri seorang pangeran! Berarti seorang gadis bangsawan, keluarga kaisar, seorang gadis Mancu. Dia mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya, kemudian dia pun pergi meninggalkan Thai-san yang kembali menjadi sunyi.
Thian Lee memasuki dusun Tung-sin-bun. Tentu saja dusun ini sama sekali asing baginya karena ketika dia dibawa pergi meninggalkan dusun ini oleh mendiang ibunya, dia baru berusia satu tahun. Dia berjalan-jalan di dusun itu dan akhirnya setelah bertanya-tanya, tibalah dia di tanah kuburan dusun itu.
Kuburan itu sunyi sekali, akan tetapi dia melihat seorang lakilaki berusia enam puluh tahunan sedang membabati rumput di sekitar kuburan. Hatinya merasa girang. Agaknya kakek itu adalah penjaga kuburan yang bertugas merawat kuburan itu, maka dia segera menghampirinya.
"Selamat pagi, Paman," katanya dengan hormat.
"Selamat pagi," jawab kakek itu sambil memandang penuh perhatian karena dia berlum pernah melihat pemuda ini yang agaknya merupakan seorang pemuda asing di dusun itu.
"Paman, apakah ini kuburan umum dari dusun Tung-sin-bun sini?"
"Benar, orang muda. Siapakah engkau dan ada keperluan apakah mendatangi kuburan ini?"
"Aku seorang perantau, Paman. Akan tetapi aku mencari kuburan dari seorang yang namanya Song Tek Kwi yang dikuburkan di tempat ini."
Orang itu membelalakkan matanyai "Apa? Kuburan siapa?" Dia bertanya seolah tidak mendengar dengan jelas.
"Kuburan Song Tek Kwi yang kurang lebih delapan belas tahun dikubur di dusun ini."
Kini orang itu memandang Thian Lee penuh perhatian. Dia mengingat-lngat, akan tetapi merasa belum pernah melihat pemuda ini. Seorang pemuda yang berpakaian sederhana, memakai caping lebar, wajahnya berbentuk bundar dengan kulit bersih.
Alis matanya tebal berbentuk golok dengan sepasang mata yang lembut akan tetapi kadang dapat tajam mencorong, hidungnya mancung, mulutnya selalu tersenyum ramah dan telinganya lebar. Pemuda yang tampan dan gagah, bahunya bidang dan bentuk tubuhnya tinggi tegap.
"Kau maksudkan... Song Tek Kwi si pemberontak itu?"
Berdebar jantung Thian Lee. Memang ayah kandungnya dianggap pemberontak, bahkan terbunuh sebagai seorang pemberontak. "Ya... ya, benar, Paman. Di mana kuburannya?"
"Apakah hubunganmu dengan Song Tek Kwi?"
Thian Lee menahan debaran jantungnya. "Ah, ayahku dahulu adalah kenalan lamanya dan Ayah berpesan agar aku bersembahyang di depan kuburannya kalau kebetulan lewat dusun ini."
"Ah begitukah? Kasihan kuburan itu sejak dahulu tidak pernah ada yang mengunjunginya, apalagi menyembahyanginya."
"Yang mana kuburannya, Paman?" kata Thian Lee sambil memandang ke sekian banyaknya kuburan itu.
"Kuburannya tidak di sini, orang muda. Pemerintah melarang jenazahnya dikuburkan di kuburan umum."
"Lalu di mana dikuburnya Paman?"
"Di sana, dekat anak sungai yang sunyi, mari kutunjukkan tempatnya." "Terima kasih, Paman, engkau baik sekali," kata Thian Lee.
"Ah, tidak apa. Memang dahulu kami bertetangga dan Song Tek Kwi itu seorang yang baik, seorang yang gagah perkasa dan suka menolong orang. Sayang dia dituduh pemberontak, dan semua itu salahku...."
Thian Lee tertegun. Akan tetapi dia tidak mau mendesak, khawatir menimbulkan kecurigaan orang tua itu. Mereka telah tiba di tepi sungai dan benar saja nampak gundukan tanah kuburan yang tidak terawat.
"Inilah kuburan Song Tek Kwi orang muda."
Thian Lee merasa terharu sekali akan tetapi dia menguatkan hatinya, lalu dia menjatuhkan dirinya berlutut di depan makam itu, memberi hormat dan terpekur sampai beberapa lamanya sambil berlutut. Dia memberi hormat kepada makam ayah kandungnya yang dia tidak tahu bagaimana rupanya. Bahkan membayangkan rupa ayahnya saja dia tidak mampu.
Kemudian dia teringat kepada penjaga kuburan yang masih berdiri di situ. Ketika dia menengok, dia melihat orang itu memandangnya dengan sinar mata penuh selidik.
"Orang muda, apakah engkau putera dari Song Tek Kwi?"
Thian Lee terkejut. Mengingat bahwa ayahnya dituduh pemberontak, maka dia merasa ragu untuk mengaku.
"Jangan curiga, orang muda. Ketahuilah bahwa dahulu aku adalah tetangga ayahmu. Aku mengenal baik ayahmu yang sering kali menolongku, aku tahu bahwa dia mempunyai seorang putera yang aku lupa lagi namanya. Ketika dia dibunuh, isteri dan anaknya itu dapat melarikan diri. Nah, karena aku melihat ada kemiripan antara wajahmu dengan wajahnya, maka aku menduga bahwa engkau puteranya. Kalau tidak begitu, masa kuantar engkau sampai di sini?"
Thian Lee bangkit dan memberi hormat kepada orang itu. "Sebenarnyalah, Paman. Aku adalah puteranya yang bernama Song Thian Lee."
"Ah, engkau anak yang dahulu baru berusia setahun itu!" orang itu menarik napas panjang. "Kasihan ayahmu, dia dituduh pemberontak karena kabarnya telah memukul seorang pangeran. Ketika pasukan itu memasuki dusun, kebetulan mereka bertanya kepadaku di mana rumah Song Tek Kwi dan karena aku tidak mengetahui maksud mereka, lalu menunjukkan rumahnya. Itulah kesalahanku.
"Andaikata aku tahu niat mereka, tentu kukatakan tidak tahu dan siapa tahu ayahmu sempat melarikan diri. Ayahmu dikeroyok sampai mati akan tetapi ibumu dapat meloloskan diri sambil memondongmu, begitu yang kudengar. Kemana saja engkau selama ini, Nak? Dan bagaimana dengan ibumu?"
Kini Thian Lee yang menghela napas panjang. "Ibuku telah meninggal dunia, Paman. Aku hidup seorang diri. Oh ya, Paman. Apakah Paman mengetahui, adakah keluarga dekat ayahku atau ibuku? Kalau ada keluarga mereka, aku ingin sekali menghubungi. Aku telah hidup sebatang kara tiada keluarga."
"Tidak ada yang mengetahui siapa keluarga ayahmu karena dia berasal dari jauh. Setahuku, dla datang dari Kun-lun-pai, sebagai murid partai persilatan Kun-kun-pai. Sedangkan ibumu yang berasal dari Tung-sin-bun ini, sudah yatim piatu dan ia tidak mempunyai keluarga lagi.
"Agaknya, kalau engkau hendak menyelidiki keluarga ayahmu, engkau harus pergi ke Kunlun-pai, mungkin di sana akan bisa mendapatkan keterangan. Akan tetapi, nanti dulu!" orang itu mengingat-ingat. "Ah, pernah ayahmu kedatangan seseorang yang kemudian menurut ayahmu adalah suhengnya. Aku hanya ingat nama marganya saja, yaitu marga Souw dan kabarnya tinggal di Paoting! Benar, kalau engkau mencari ke kota Paoting, mencari seorang she Souw yang menjadi murid Kun-lun-pai, tentu akan dapat kau ketemukan!"
Penjaga makam ini agaknya girang sekali telah mengingat urusan itu. Thian Lee juga girang. Paoting tidak begitu jauh dari kota raja, berada di sebelah selatan. Biarpun bukan saudara ayahnya, akan tetapi kalau suheng ayahnya berarti masih saudara seperguruan dan mungkin suheng ayahnya itu akan dapat menceritakan siapa keluarga ayahnya.
Setelah sekali lagi memberi hormat sambil berlutut di depan makam ayahnya, dia lalu berpamit kepada orang itu dan meninggalkan beberapa potong uang perak kepadanya sebagai tanda terima kasih. Ketika dia meninggalkan perguruan, gurunya memang memberi bekal beberapa potong uang perak dan bahkan sedikit emas kepadanya.
"Di sini aku tidak memerlukannya, Thian Lee. Engkau lebih memerlukan untuk bekal dalam perjalanan," demikian kata gurunya. Juga gurunya berpesan agar dia jangan sekali-kali mencuri uang, akan tetapi kalau membutuhkan biaya hidup harus bekerja, bekerja apa saja pun baik.
Setelah meninggalkan kuburan itu, Thian Lee melakukan perjalanan sambil melamun. Teringat dia akan pesan ibunya. Ibunya berpesan agar dia memusuhi dan kalau perlu membunuhi semua pangeran di kota raja untuk membalaskan dendam ayahnya. Akan tetapi, tidak mungkin dia memenuhi pesan ibunya ini.
Sejak dahulu dia tidak setuju dengan pendapat ibunya. Apalagi setelah dia berguru kepada Tan Jeng Kun dan Kim-sin Yok-sian, dan mendapatkan banyak nasihat dari mereka, sama sekali dia tidak ingin membunuh semua pangeran, dan memusuhi pemerintah.
Dia tidak ingin menjadi pemberontak walaupun dia juga tidak ingin membantu pemerintah penjajah. Kini dia harus pergi ke dusun Teng-sia-bun. Dia akan menyelidiki apa yang dulu terjadi. Menurut ibunya, ayahnya membantu sahabatnya yang bernama Bu Cian, menghajar seorang pangeran yang merampas gadis dusun.
Dia harus mengetahui siapa pangeran itu dan kalau memang benar pangeran itu jahat, dia akan melanjutkan usaha ayahnya itu, memberi hajaran dan kalau perlu melenyapkan pangeran itu! Bukan semata untuk membalas dendam, akan tetapi terutama sekali untuk menentang kejahatan.
Dia akan menyelidiki ke Teng-sia-bun, baru kemudian dia akan mencari supeknya yang she Souw itu di Pao-ting, Akan tetapi, belum lama dia pergi meninggalkan tanah kuburan itu, terbayanglah kuburan ayah kandungnya yang tidak terawat dan ditumbuhi ilalang dan rumput liar. Hatinya menjadi sedih dan dia segera bergegas kembali ke tanah kuburan tadi.
Penjaga kuburan itu sudah tidak berada di situ dan dia berhadapan dengan kuburan tunggal di tepi sungai yang tidak terawat itu. Kemudian Thian Lee mencabuti ilalang dan rumput liar itu sampai bersih.
Setelah itu, dia mencari batu kali yang cukup besar, diangkatnya batu kali itu ke depan makam ayahnya dan dia mengeluarkan pedangnya dari buntalan pakaian. Dengan pedang Jit-goat Sin-kiam itu diukirnya nama ayahnya Song Tek Kwi, pendekar gagah perkasa!
Setelah itu, dia menancapkan batu itu di depan makam dan barulah puas hatinya. Dia duduk di depan makam itu sambil melamun. Berhadapan dengan makam itu, dia merasa betapa hidupnya sunyi, betapa dia kesepian, betapa dia hanya hidup sebatang kara di dunia ini. Serumpun bambu yang tumbuh dl belakang makam itu, di tepi sungai, berdesir tertiup angin.
Dalam keadaan hati nelangsa dan resah itu, teringat akan kematian ibunya yang menyedihkan, kematian ayahnya yang tak sempat dikenalnya, Thian Lee termenung dan hatinya seperti diremas-remas. Hati yang nelangsa itu lalu bersajak.
”Sirrrr... sirrrr... sirrrr
desah daun-daun bambu berdesir?
tertiup angin semilir
daun-daun bambu bernyanyi
daun-daun bambu menari
batang-batang bambu bergesekan
menjerit mencicit hati terjepit
batang-batang bambu melambai
jari-jari daun menggapai
namun angin terbang lalu
Menjenguk hati sendiri begitu
sunyi begitu sepi resah
gundah sedih pedih
batang-batang bambu
daun-daun bambu
angin semilir bawalah aku serta
bernyanyi menari.”
Thian Lee hanyut dalam kesedihan dan timbul perasaan iri kepada batang-batang bambu, kepada daun-daun bambu. Mereka itu demikian hidup dikala angin bertiup, gembira ria dan wajar. Dan apabila angin berlalu, mereka berdiam demikian hening. Akan tetapi mengapa hatinya demikian resah?
Hatinya tak pernah hening seperti daun-daun bambu ditinggal angin, hatinya tak pernah gembira seperti daun-daun bambu disentuh angin. Di mana kebahagiaan? Segala gairah hidup telah berlalu semenjak dia meninggalkan gurunya. Demikian sengsara rasanya hidup seorang diri, tanpa kawan, tanpa tujuan, tanpa harapan masa depan.
Thian Lee terkejut sendiri ketika merasa ada air mata mengalir turun dari pipinya. Dia tersentak kaget. Menangis? Dia? Gurunya menggemblengnya untuk menjadi seorang pendekar dan kini dia termenung duduk di depan makam ayahnya sambil menangis!
Tidak! Dia bangkit berdiri. Bukan begini sikap seorang pendekar, seorang satria. Pergilah tangis. Pergilah segala perasaan duka nelangsa, pergilah iba diri. Aku harus menghadapi kenyataan dengan senyum di bibir, dengan ketabahan di hati.
Thian Lee bangkit berdiri, memberi hormat sekali lagi kepada makam ayahnya yang kini mempunyai batu nisan, lalu dia membalikkan tubuhnya, meninggalkan kuburan itu tanpa menengok lagi.
Dusun Teng-sia-bun tidak jauh dari situ. Setelah bertanya-tanya, akhirnya dia memasuki dusun Teng-sia-bun. Dia harus menyelidiki tentang sahabat ayahnya yang bernama Bu Cian. Akan tetapi karena sahabat ayahnya itu mungkin juga dianggap pemberontak, dia harus berhati-hati kalau mencari keterangan.
Maka dia hanya berjalan di dusun itu dan akhirnya dia berhasil menemukan seorang laki-laki tua yang sedang bekerja di sawah seorang diri. Tempat itu sunyi tidak nampak orang lain maka Thian Lee mengambil keputusan untuk mencari keterangan dari kakek itu.
Kebetulan kakek itu berhenti mencangkul. Pinggangnya tidak kuat lagi untuk dipakai mencangkul terlalu lama. Dia berhenti dan beristirahat sambil duduk di atas pensatang sawah.
Thian Lee segera menghampiri orang itu. Seorang kakek petani yang usianya sekitar enam puluh tahun, tubuhnya yang tidak berbaju sudah berkeringat dai terbakar matahari, dan di balik kulit yang keriput dan sedikit sekali dagingnya itu nampak otot-otot yang sudah mengendur akan tetapi masih besar akibat kerja keras.
"Selamat siang, Paman. Bolehkah aku mengganggu Paman sebentar?"
"Selamat siang, orang muda. Sama sekali tidak mengganggu."
"Aku ingin mengajukan beberapa permintaan keterangan dari Paman, harap Paman sudi menjawabnya."
"Kalau aku dapat menjawab, tentu akan kujawab orang muda. Pertanyaan apa yang hendak kau ajukan?"
"Paman tentu sudah lama tinggal di Teng-sia-bun ini, bukan? Apakah sudah lebih dari dua puluh tahun?"
Petani itu tertawa dan nampak bahwa giginya banyak yang sudah ompong. "Sejak kecil aku tinggal di dusun ini, orang muda. Kenapa engkau tanyakan hal ini?”
Tentu saja Thian Lee girang sekali mendengar ini. "Paman, kalau begitu tentu Paman dulu pernah mengenal seorang yang bernama Bu Cian."
Orang itu nampak terkejut dan memandang ke sekeliling dengan wajah ketakutan. Lalu dia memandang lagi kepada Thian Lee, agaknya lega bahwa di tempat itu sunyi, hanya ada mereka berdua. "Orang muda, kenapa engkau menanyakan Bu Cian? Apakah engkau ada hubungan keluarga dengan dia?"
"Ah, tidak, Paman. Hanya ayahku dulu mengenalnya dan Ayah yang menyuruh aku menyelidiki apakah Paman Bu Cian masih tinggal di tempat ini."
"Dia sudah mati lama sekali!"
Thian Lee pura-pura kaget. "Mati? Akan tetapi dia belum begitu tua. Bagaimana bisa mati?"
"Aih, agaknya engkau tidak tahu apa-apa, orang muda" kakek itu kembali memandang sekeliling. "Dia mati terbunuh oleh pasukan, dia dianggap pemberontak dan dihukum mati!"
"Ahhh....! Dan bagaimana dengan anak isterinya, Paman? Aku mendengar dari ayah dia mempunyai isteri dan seorang anak perernpuan."
"Isteri dan anaknya juga ditangkap dan dibawa ke kota raja, mungkin sudah dihukum mati semua. Siapa tahu?"
Dan tiba-tiba saja Thian Lee melihat bahwa kedua rnata kakek itu basah air mata. "Paman, agaknya engkau mengenal baik mereka itu. Engkau menangisi mereka?"
Petani itu menggunakan punggung tangannya untuk menghapus air matanya. "Aku... aku merasa berdosa. Bu-taihiap itu tewas karena anakku! Semua itu karena kesalahan kami. Kalau saja aku menyembunyikan anakku. Kalau saja aku tidak memberikan anakku kepada pangeran itu! Ah, aku berdosa dan ternyata anakku juga mati...."
"Paman, harap tenanglah dan aku mohon dengan sangat Paman sudi menceritakan kepadaku semuanya yang terjadi."
Setelah melihat sekeliling yang sunyi, petani nu lalu bertanya, "Siapa namamu orang muda? Aku harus tahu kepada siapa aku bercerita."
"Namaku Song Thian Lee, Paman. Aku tidak berniat buruk, harap Paman Jangan khawatir. Aku hanya ingin mengetahui apa yang telah terjadi dengan paman Bu Cian.”
"Seorang pangeran mencari gadis-gadis dusun untuk menjadi selirnya. Siapa orangnya yang tidak ingin anak gadisnya diselir pangeran? Aku mengajukan anak gadisku dan dipilih. Akan tetapi anakku itu tidak mau dan menangis. Hal ini terdengar oleh Bu-taihiap. Bu-taihiap selalu menjadi pelindung dusun kami dan mendengar bahwa anakku dipaksa seorang pangeran, Bu-taihiap marah.
"Para pengawal pangeran itu dihajarnya, bahkan pangeran sendiri pun dihajar. Akan tetapi aku memaksa anakku ikut pangeran itu. Dan pada keesokan harinya... pasukan datang dan Bu-taihiap dikeroyok, dibunuh. Isteri dan puterinya ditangkap, dibawa kekota raja." Kembali kakek itu menangis seolah menyesali perbuatannya.
"Akan tetapi, Paman. Itu bukan kesalahanmu."
"Aihh, aku yang bersalah. Anakku hanya menjadi selir selama dua tahun setelah itu... ia diserahkan oleh pangeran kepada seorang pengawalnya dan anak itu... ia membunuh diri. Ah, salahku, salahku....!"
Thian Lee menghela napas panjang. "Paman, siapakah nama pangeran yang mengambil puteri Paman itu?"
"Pangeran itu bernama Bian Kun, sudah terkenal sebagai seorang yang mata keranjang dan hidung belang. Lihat saja aku ini, namanya mempunyai anak perempuan menjadi selir pangeran, akan tetapi hidupku tetap merana dan miskin, bahkan anakku kini telah mati. Lebih lagi, keluarga Bu-taihiap juga musnah." kakek itu menghela napas panjang.
Thian Lee merasa girang sekali. Tahulah dia sekarang pangeran yang pernah dihajar oleh Bu Cian dan ayahnya, dan tentu pangeran itu pula yang mengirim pasukan membunuh Bu Cian dan ayahnya.
"Terima kasih, Paman. Aku telah mendapatkan keterangan yang jelas dari Paman dan harap Paman jangan terlalu berduka. Sesungguhnya semua itu sudah nasib, dan sama sekali bukan salah Paman."
Dia lalu menyerahkan sekeping uang emas kepada petani itu sehingga Si Petani menerimanya dengan girang dan berterima kasih. Thian Lee lalu meninggalkan petani itu dan kini dia menujukan langkahnya ke kota raja. Setelah tiba di kota raja dengan mudah dia mencari keterangan tentang Pangeran Bian Kun.
Malamnya, sesosok bayangan berkelebat bagaikan bayangan setan saja di atas atap rumah istana Pangeran Bian Kun. Biarpun istana itu dijaga pengawal, namun tidak ada seorang pun yang melihat berkelebatnya bayangan di atas atap itu. Thian Lee mencari-cari dan akhirnya dia mengintai dari atas ke sebelah kamar. Ketika mengintai ke bawah, dia melihat seorang laki-laki sedang rebah di kamar itu, dirubung beberapa orang wanita dan anak-anak.
Laki-laki itu ternyata sedang menderita sakit. Usia pria itu sekitar lima puluh tahun akan tetapi tubuhnya kurus kering seperti kerangka hidup. Seorang tabib sedang memeriksa tubuhnya dan setelah memeriksa dengan teliti, tabib itu lalu memberi tanda kepada yang hadir untuk keluar. Sampai di luar kamar, tabib itu berkata dengan suara lirih,
"Pangeran terserang penyakit yang amat berat. Mulai sekarang harus dirawat baik-baik dan makannya hanya bubur saja, jangan diberi daging, hanya sayur-sayur yang lembut dan obat ini masak dan minumkan, sehari tiga kali. Harus dijaga baik-baik jangan sampai kaget karena jantungnya lemah sekali."
Mendengar ini, Thian Lee termenung. Pangeran Bian Kun telah menjadi seorang yang tak berdaya, sakit berat. Dan sebetulnya, mau apakah dia datang ke situ? Hendak membunuhnya? Dia pikir bahwa perbuatannya itu tidaklah tepat. Ayahnya dan Bu Cian dahulu menghajar Sang Pangeran karena pangeran itu mengarnbil gadis-gadis dusun merijadi selir.
Akibat dari pemukulan ini, ayahnya dan Bu Cian dianggap pemberontak dan tewas karena melawan pasukan yang hendak menangkap mereka. Bagaimanapun juga, tidak dapat dipersalahkan kepada pangeran ini tentang kematian ayahnya. Dan untuk perbuatannya yang mata keranjang, pangeran itu kini sudah menerima hukumannya, sakit berat.
Thian Lee lalu meloncat pergi dari situ, tidak jadi turun tangan karena dia masih ragu-ragu apa yang harus dilakukannya terhadap seorang pangeran yang sakit sekali.
Pada keesokan harinya di menyelidiki dan mendapat kepastian bahwa memang benar yang sakit itu adalah Pangeran Bian Kun. "Sudahlah, tidak perlu lagi aku memberi hajaran kepada Pangeran Bian Kun," pikir Thian Lee. Dia lalu mengambil keputusan untuk pergi saja ke Paoting untuk mencari supeknya yang bermarga Souw itu.
Thian Lee berjalan sambil melamun. Uangnya sudah habis, tinggal sedikit lagi, paling-paling dapat dipakai membeli makan selama satu minggu lagi. Setelah itu habis. Dia harus bekerja untuk mendapatkan uang. Siapa tahu, supeknya dapat memberi pekerjaan kepadanya.
Tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda dari belakang. Dia menengok dan nampak dua orang penunggang kuda sedang membalapkan kuda mereka dar! belakang.
"Engkau kalah, Suheng!" terdengar Suara wanita, yaitu penunggang kuda terdepan sambil mencambuki kudanya.
"Belum tentu!" jawab suara pria, yaitu penunggang kuda di belakangnya.
Thian Lee minggir agar jangan tertabrak kuda, akan tetapi wanita itu tetap saja membentak, "Minggir kau! Mau mati ditabrak kuda? Tarrrr....!" Pecutnya mencambuk dan ujung pecut itu menyentuh caping yang dipakai Thian Lee sehingga pinggir caping itu robek. Kedua penunggang kuda itu lewat sambil tertawa-tawa.
Thian Lee meiihat bahwa penunggang kuda pertama adalah seorang gadis vang cantik manis berpakaian serba merah muda, sedangkan di belakangnya adalah seorang pemuda tampan yang berpakaian serba putih dari sutera. Kedua orang itu memang cocok sekali. Yang wanita cantik, yang pria tampan!
Thian Lee mengambil capingnya dan memeriksa capingnya yang robek. Dia menarik napas panjang. Bagaimanapun juga, gadis tadi angkuh dan juga kasar, tanpa sebab, hanya untuk menyuruhnya minggir, membikin robek capingnya. Akan tetapi dia memakai lagi capingnya dan sudah melupakan kedua orang penunggang kuda tadi.
Thian Lee memasuki kota Pao-ting. Sebuah kota yang besar dan ramai. Dia senang dengan kota ini. Tidak sebesar dan seramai kota raja, akan tetapi kota ini cukup ramai, banyak toko-toko rumah makan dan rumah penginapan. Mulailah dia bertanya-tanya tentang supeknya yang she Souw, seorang tokoh Kun-lun-pai.
Yang ditanya mengerutkan alisnya dan ketika Thian Lee bertanya di tempat yang ramai, beberapa orang merubungnya. "Orang she Souw? Tokoh Kun-lun-pai? Ah, tentu ahli silat, ya? Jangan-jangan yang kau maksudkan itu adalah Souw-pangcu (Ketua Souw)!"
"Souw-pangcu?" tanya Thian Lee heran karena dia tidak tahu apakah supeknya itu pangcu ataukah bukan.
"Tentu Souw-piauwsu (Pengawal Barang Souw)." "Souw-piauwsu?"
Thian Lee menjadi semakin bingung.
"Begini, orang muda," kata seorang laki-laki setengah tua. "Kami semua tidak tahu apakah di sini ada seorang tokoh Kun-lun-pai she Souw, akan tetapi kami mengenal seorang yang ahli silat she Souw. Dia adalah Ketua Kim-liong-pang bernama Souw Can yang kita biasa sebut Souw-pangcu. Dia pun memiliki piauw-kok (perusahaan pengawalan barang) karena itu kita juga menyebutnya Souw-piauwsu. Entah itu atau bukan orang yang kau cari."
"Andaikata bukan dia, tentu dia juga dapat memberi petunjuk tentang tokoh Kun-lun-pai she Souw. Kau cobalah mencari keterangan ke Kim-liong-pang, orang muda," kata seorang lain.
Thian Lee mengucapkan terima kasih lalu pergi ke tempat yang ditunjukkan orang-orang itu, yaitu ke pusat perkumpulan Kim-liong-pang (Perkumpulan Naga Emas).
Kim-liong-pang adalah sebuah perkumpulan silat yang terkenal di Pao-ting. Anggautanya tidak kurang dari seratus orang dan selain merupakan perkumpulan silat yang besar, juga Kim-liong-pang membuka perusahaan pengawal barang.
Hampir semua pedagang di Pao-ting mempercayakan pengiriman barang berharga dan dagangan mereka melalui perusahaan Kim-liong-pang ini karena semua pengiriman selalu tlba di tempat tujuan dengan selamat.
Ketua Kim-liong-pang bernama Souw Can dan blasa disebut Souw-pangcu, juga karena dia ke-pala dari perusahaan piauw-kiok, dia pun disebut Souw-piauwsu. Pangcu ini seorang yang lihai sekali, karena dia seorang tokoh Kun-lun-pai yang telah menamatkan pelajaran silatnya di Kun-lun-pai.
Sebagai Ketua Kim-liong-pang yang membuka perusahaan piauw-kiok, maka penghasilan keluarga Souw ini cukup besar sehingga dla dapat membiayai perkumpulannya dan juga hidup sebagai keluarga yang berkecukupan. Souw Can mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Souw Hwe Li, seorang gadis cantik jelita yang kini telah berusia delapan belas tahun.
Selain itu, juga dia mempunyai seorang keponakan yang sudah yatim piatu dan keponakan perempuan ini bernama Liu Ceng, biasa dipanggil Ceng Ceng yang usianya juga delapan belas tahun dan ketika kecilnya menjadi teman bermain Hwe Li. Souw Can menurunkan ilmu silatnya kepada puterinya, juga sedikit ilmu dia ajarkan kepada Liu Ceng.
Tidak seluruh ilmunya diajarkan kepada Liu Ceng karena dia tidak menghendaki kalau keponakannya ini kelak lebih lihai dari puterinya. Sebetulnya maksud ini baik-baik saja, akan tetapi ternyata telah menanamkan kesombongan dalam diri Hwe Li yang selalu merasa lebih lihai daripada saudara misannya.
Selain dua orang gadis itu, di rumah keluarga Souw juga terdapat seorang pemuda yang menjadi murid Souw Can. Setiap hari pemuda itu berada di rumah itu dan baru pada malam harinya dia pulang ke rumahnya sendiri. Pemuda tampan ini bernama Lai Siong Ek, putera dari jaksa yang bertugas di Pao-ting.
Terjalin perhubungan yang akrab antara Hwe Li dan Siong Ek, dan agaknya hubungan akrab ini direstui oleh Souw Can, karena guru ini setuju kalau muridnya kelak menjadi mantunya. Siapa yang tidak suka berbesan dengan Jaksa Paoting, seorang pembesar yang amat kuasa di kota itu?
Kepada Lai Siong Ek ini, Souw juga mengajarkan semua ilmunya sehingga dibadingkan dengan Hwe Li, Siong Ek ini hanya berselisih sedikit saja dan mereka berdua merupakan teman berlatih, juga teman berburu.
Pada hari itu, sambil menunggang kuda, Siong Ek dan Hwe Li baru pulang berburu binatang. Hwe Li adalah gadis yang tadi merobek caping Thian Lee dengan pecutnya. Ketika di halaman rumah, mereka disambut oleh Lu Ceng atau Ceng Ceng.
"Ah, kalian sudah pulang?" tegur Teng Ceng.
Hwe Li melemparkan tiga ekor kelinci hasil buruannya kepada Ceng Ceng. "Enci Ceng, kuliti dan masak daging kelinci ini!" Dilemparkan tiga ekor itu ke atas tanah dan sikapnya seperti memerintah seorang pelayan saja.
Akan tetapi Ceng Ceng tidak merasa tersinggung. Sudah biasa adik misannya itu bersikap kasar kepadanya. Pula, ia tahu diri karena ia hanyalah seorang gadis yatim piatu yang mondok di situ, maka ia pun membantu pekerjaan para pelayan.
Siong Ek juga melompat turun dari kudanya dan menyerahkan dua ekor kelinci kepada Ceng Ceng. "Ceng-sumoi, ini pun ada dua ekor. Mari kubantu engkau membawa ke dapur."
"Suheng, biarkan Enci Ceng membawa sendiri ke dapur. Membawa sebegitu saja dibantu segala!" kata Hwe Li dan mendengar teguran ini, Slong Ek tldak jadi membantu Ceng Ceng.
"Biarlah, Suheng. Biar kubawa sendiri lima ekor kelenci ini ke dapur."
"Suheng, mari kita berlatih pedangl" kata Hwe Li sambil melompat turun dari atas kudanya.
Seorang pelayan segera menghampiri mereka dan menuntun dua ekor kuda itu ke istal. Dua orang muda mudi itu lalu berlari-lari kecil memasuki lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) untuk berlatih ilmu pedang. Mereka masing-masing mengambil pedang dari rak senjata dan Hwe Li ber-kata,
"Suheng, mari kita berlatih di pe-karangan saja. Di sana hawanya sejak, tidak pengap seperti di ruangan ini!"
"Akan tetapi di sana akan kelihatan dari luar, Sumoi!"
"Biar saja! Siapa peduli orang luar? Mereka mau nonton, juga tidak mengapa. Ilmu pedang kita tidak mengecewakan bukan?"
Sesungguhnya memang selain di pekarangan yang luas itu tidak pengap, juga gadis ini sengaja hendak memamerkan ilmu pedangnya kepada orang yang berlalu-lalang di jalan depan pekarangan mereka!
Siong Ek tidak membantah lagi. Dia memang tldak berani membantah apa yang dikehendaki sumoinya yang manja itu. Dan kalau sampai Hwe Li marah dia pun takut karena ilmu kepandaian sumoinya itu memang lebih tinggi sedikit dibandingkan ilmunya.
Mereka lalu berlari keluar dan beriatih pedang di pekarangan depan. Beberapa orang anggauta Kim-liongpang yang melihat ini, hanya menyaksikan dengan kagum saja. Bagi mereka, kepandaian dua orang muda ini memang hebat.
Sebagaimana yang memang diharapkah oleh Hwe Li, tak lama kemudian banyak orang yang lewat di situ berhenti dan menonton latihan silat pedang itu dari luar pintu halaman. Hal ini menambah semangat Hwe Li yang menggerakkan pedangnya lebih cepat lagi sehingga suhengnya terpaksa juga memutar pedang lebih cepat untuk melayaninya.
Mernang ilmu pedang Kun-lun amat indah dipandang. Gerakan yang amat cepat itu membuat sepasang pedang lenyap, berubah menjadi dua gulungan sinar yang menyambar ke sana-sini. Orang-orang yang lewat mendapat tontonan grati& dan kedua orang muda itu pun mendapat pengagum yang banyak.
Kedua pihak sama-sama puasnya. Akan tetapi, ketika keduanya sedang ramai-ramainya berlatih pedang, seorang anggauta Kim liong-pang berseru, "Siocia, harap berhenti dulu!"
Setelah anggauta itu berseru sampai tiga kali, barulah Hwe Li berhenti menggerakkan pedangnya dan keduanya menarik kembali pedang mereka. Hwe Li mengerutkan alisnya memandang kepada anggauta yang menghentikannya berlatih pedang itu. la melihat anggauta itu berdiri di pinggiran bersama seorang pemuda yang memakai caping lebar.
"Maaf, Nona. Ini ada seorang tamu yang hendak bertemu dengan Pangcu." kata anggauta Kim-liong-pang itu.
"Ahh, mengganggu saja!" kata Hwe Li dan anggauta Kim-liong-pang itu setelah menghadapkan Thian Lee segera pergi dari situ, takut kena marah oleh nona majikannya yang memang galak itu.
"Siapa engkau? Ada urusan apa hendak bertemu dengan ayahku?" tanya Hwe Li dengan nada angkuh.
Thian Lee menundukkan mukanya, agar jangan dikenal bahwa dialah yang pernah hampir ditubruk oleh kuda nona itu. Kini dia mengenal benar bahwa nona berpakaian serba merah muda inilah yang tadi hampir menubruknya, bersama pemuda yang berpakaian serba putih. juga sudah tadi dia menyaksikan mereka berdua berlatih ilmu pedang.
Tadi dia menghampiri seorang di antara anggauta-anggauta Kinn-liong-pang yang ikut menonton dan menyatakan bahwa dia ingin bertemu dengan Souw-pangcu. Ketika ditanya ada urusan apa, dia mengatakan ada urusan pribadi penting sekali yang harus dibicarakannya sendiri dengan Souw-pangcu. Karena itulah anggauta itu menghentikan latihan Hwe Li dan menghadapkan pemuda itu kepada Sang Nona yang galak, agar pemuda itu dimarahi!
"Nona, saya mempunyai urusan pribadi yang amat penting dengan Souw-pangcu, persoalan yang harus saya sampaikan sendiri kepada Souw-pangcu. Harap Nona suka hadapkan saya dengan Souw-pangcu,"
"Souw-pangcu, Souw-pangcu....!" kata Hwe Li marah. "Kalau ada urusan bicarakan saja dengan para anggauta kami. Atau setelah engkau menghadapku sekarang, kalau ada persoalan, katakan kepadaku!"
"Tidak mungkin, Nona. Harus saya sampaikan sendiri kepada Souw-pangcu tidak bisa kepada orang lain."
"Akan tetapi aku puterinya, tahu?"
"Tetap saja tidak bisa, Nona." Tiba-tiba pedang itu bergerak cepat sekali ke arah muka Thian Lee akan tetapi pemuda itu tidak bergerak, seolah tidak mengerti bahwa ujung pedang sudah mengancam mukanya. Dan sekali pedang itu menyontek ke atas, capingnya terbuka!
"Hemm, aku pernah melihat caping itu!" kata Hwe Li dan ia melihat pinggir caping yang robek itu, ia berseru, "Benar, engkau adalah orang dusun yang tadi hampir ditubruk kudaku! Heii, mau apa engkau ke sini? Orang seperti engkau ini, seorang dusun tidak mungkin mengirim barang berharga untuk dikawal. Juga tidak mungkin datang untuk belajar silat, Habis, engkau mau apa? Hayo katakan!"
"Maaf, hanya bisa saya katakan kepada Souw Pangcu seorang," kata Thian Lee sambil membungkuk hendak mengambil capingnya. Akan tetapi ada sinar pedang mendahuluinya.
"Brettt....!" Dan caping itu telah robek pecah menjadi dua potong! Ternyata pedang Hwe Li yang bergerak cepat membacok caping itu dengan marah.
"Kalau engkau tidak mau mengaku kepadaku, lebih baik engkau cepat pergi dari sini!" Hwe Li menudingkan telunjuk kirinya ke arah pintu halaman. Orang-orang yang menonton, juga para anak buah Kun-liong-pang, menganggap Thian Lee seorang muda lancang.
"Saya tidak mau pergi sebelum bicara dengan Souw-pangcu," kata Thian Lee dengan kukuh.
"Wuuuttt....!" Tahu-tahu ada yang menyambar dan pedang di tangan gadis itu sudah menodong dadanya. Ujung pedang sudah menempel pada baju di dadanya, akan tetapi Thian Lee sama sekali tidak bergerak.
"Cepat mengaku, kalau tidak pedang ini akan menembus jantungmu!" bentak Hwe Li.
Thian Lee maklum bahwa gadis itu angkuh dan galak sekali, akan tetapi dia pun tahu bahwa itu hanya gertakan saja. Pada saat itu muncul seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun yang tinggi tegap, mukanya merah dan sikapnya gagah sekali.
"Hwe Li!" laki-laki itu membentak. ”Tarik pedang itu!"
Mendengar bentakan ayahnya, Hwe Li lalu menarik pedangnya.
"Apa yang kaul akukan itu, Hwe li?" laki-laki itu menegur dengan suara marah.
"Habis, dia menjengkelkan hatiku, Ayah. Ditanya apa keperluannya datang tidak mau mengaku!" gadis itu membela diri.
"Benar, Suhu," kata Lai Siong Ek membela sumoinya. "Orang itu sungguh mencurigakan, dia datang dan kukuh minta bertemu Suhu. Ditanya keperluannya, tidak mau mengaku sehingga Sumoi menjadi marah sekali."
"Diam kalian! Lain kali tidak boleh engkau memperlakukan tamu seperti ini. Dengar kau, Hwe Li?"
Gadis itu mengangguk dan suaranya lirih sekali ketika menjawab, "Baik Ayah, Mari, Suheng, kita berlatih di dalam," Lalu sambil bersungut-sungut gadis itu mengajak suhengnya untuk pindah ke lian-bu-thia.
Souw Can, orang itu, menggeleng kepalanya dan menggumam, "Manja....!" Kemudian dia menghadapi Thian Lee dan bertanya, "Orang muda, apakah engkaui hendak bertemu dengan aku?"
"Apakah Paman yang bernama Souw-pangcu?" kata Thian Lee sambil memberi hormat.
Souw Can tersenyum. Pemuda ini memang aneh dan agak lancang, baru bertemu telah menyebut paman kepadanya, akan tetapi slkapnya hormat dan suaranya juga lembut, sebetulnya tidak pantas untuk membikin marah orang. "Benar, aku bernama Souw Can, pangcu dari Kim-liong-pang. Siapa engkau, orang muda dan apa keperluanmu?"
Thian Lee melirik ke arah orang-orang yang masih menonton dan mendengarkan, dan dia menjawab lirih, "Nama saya Song Thian Lee dan saya ingin sekali bicara denganmu, Paman."
Sepasang mata itu terbelalak ketika mendengar nama Thian Lee, terutama nama marganya yang Song itu. "Begitukah? Mari, mari masuk dan bicara di dalam." Dia mempersilakan pemuda itu mengikutinya dan membawanya masuk ke dalam ruangan tamu yang tertutup.
Setelah mereka berdua duduk, Thian Lee segera saja mengajukan pertanyaan, "Maaf, Paman, kalau saya mengganggu waktu Paman, bahkan telah membuat marah puteri Paman. Akan tetapi sebelum saya bicara, saya hendak bertanya, apakah Paman ini seorang murid Kun-lun-pai?" Dia hanya ingin penjelasan Walaupun tidak ragu-ragu lagi setelah rnenyaksikan ilmu pedang tadi. Dari gurunya, dia mendapat keterangan tentang Ciri-ciri ilmu dari partai-partai besar sehingga tadi dia mengenal ilmu pedang Kun-lun-pai.
"Benar sekali. Apa hubungannya dengan kedatanganmu?"
"Dan apakah Paman mempunyai seorang sute yang bernama Song Tek Kwi?"
Souw Can memandang ke arah jendela dan pintu, kemudian mengangguk. "Benar pula."
Mendengar ini, Thian Lee segera menjatuhkan dirinya berlutut didepan pangcu itu. "Supek, saya Song Thian Lee adalah putera mendiang Ayah Song Tek Kwi."
Souw Can terkejut dan cepat membangunkan Thian Lee. "Bangkitlah dan duduklah. Siapa namamu tadi? Thian Lee? Ah, mendiang ayahmu adalah seorang yang keras hati, terlalu menurutkan suara hati tidak suka mempergunakan pertimbangan dan akal budi sehingga dia tewas sebagai seorang pemberontak. Sayang sekali....! Coba ceritakan bagaimana engkau dan ibumu dapat lolos dari hukuman, Thian Lee. Aku hanya mendengar bahwa ayahmu tewas dan ibumu dapat meloloskan diri membawa puteranya yang baru setahun usianya. Engkaukah anak itu?"
"Benar, Supek. Ibu memang telah berhasil membawa lari saya dan kanru berpindah-pindah tempat sampai saya berusia sepuluh tahun. Akan tetapi, Ibu lalu mengalami malapetaka sehingga ia pun meninggal dunia." Dengan suara berduka Thian Lee menceritakan tentang perbuatan seorang lurah jahat sehingga ibunya tewas.
Souw Can mendengarkan dan menggeleng-geleng kepala dengan kagum. ”Ibumu seorang wanita yang hebat. Dapat menjaga kehormatannya sampai saat terakhir. Engkau harus bangga dengan ayah dan ibumu, Thian Lee. Dan sekarang engkau berhasil menemukan aku. Apa kehendakmu datang kepadaku?"
"Begini, Supek. Saya sebatang kara, maka saya ingin sekali mencari keluarga Ayah atau Ibu. Kalau sekiranya Supek mengetahui ada keluarga mendiang ayah dan ibu, saya akan merasa senang sekali untuk mencari mereka."
Souw Can menghela napas panjang. "Sepanjang yang kuketahui, ayahmu sudah tidak mempunyai keluarga lagi, dan tentang ibumu aku tidak tahu banyak. Akan tetapi, aku adalah suheng dari ayahmu, boleh kau anggap sebagai keluargamu sendiri, Thian Lee. Apakah ada yang dapat kutolong untukmu?"
"Terima kasih, Supek. Kalau Supek dapat memberi pekerjaan kepadaku, saya akan berterima kasih dan senang sekali."
Wajah Souw Can berseri. "Pekerjaan? Tentu saja dapat! Engkau pernah belajar ilmu silat bukan?"
"Hanya belajar dari Ibu ketika saya masih kecil sampai berusia sepuluh tahun, Supek. Tidak ada artinya."
"Sayang, kalau engkau pandai silat engkau dapat menjadi piauwsu di sini mengawal barang. Akan tetapi kalau tidak pandai ilmu silat, tentu saja tidak bisa, karena pekerjaan piauwsu amat berbahaya, harus melindungi barang kiriman dari gangguan pencuri dan perampok. Akan tetapi, engkau dapat belajar ilmu silat di sini. Ya benar, engkau belajar silat dan sementara engkau belum pandai, engkau boleh menjadi kusir saja dulu. Membawa kereta yang dimuati barang yang dikawal. Sanggupkah engkau?"
"Terima kasih, Supek. Tentu saja saya sanggup!"
"Bagus! Dan maafkan kelakuan puteriku tadi. Mari kukenalkan engkau dengan keluargaku. Engkau tidak perlu mengaku sebagai putera Song Tek Kwi yang dikenal sebagai pemberontak. Hal itu akan berbahaya sekali kalau diketahui petugas negara. Engkau mengaku saja putera seorang sahabatku yang telah meninggal dunia. Mengenai nama marga Song, banyak terdapat yang bermarga Song, maka boleh saja kau pergunakan asal jangan menyebutkan nama mendiang ayahmu."
Thian Lee lalu dibawa masuk, dipekenalkan dengan Nyonya Souw yang manis budi. Kemudian dia diajak ke lian-bu-thia di mana Hwe Li dan Siong Ek sudah selesai latihan.
"Hwe Li, perkenalkan, ini adalah Song Thian Lee, putera seorang sahabat lama ayahmu!" kata Souw Can memperkenalkan. "Thian Lee, puteriku yang manja ini bernama Souw Hwe Li. Hwe Li, engkau harus menyebut twako kepada Thian Lee. Mulai sekarang dia bekerja dengan kita, menjadi kusir kereta barang, dan dia akan mulai belajar silat di sini. Aku minta engkau banyak memberi petunjuk kepadanya."
Thian Lee saling memberi hormat dengan Hwe Li yang agaknya memandang rendah. Kemudian Thian Lee juga diperkenalkan dengan Lai Siong Ek, putera jaksa di Pao-ting, Thian Lee memberi hormat kepada pemuda itu, dengan hati agak was-was. Kalau jaksa tahu bahwa dia putera pemberontak Souw Tek Kwi, sekarang juga tentu dia menjadi buruan pemerintah!
"Ayah, Ayah tidak pernah bercerita tentang sahabat Ayah itu. Siapakah ayahnya yang menjadi sahabat Jama Ayah itu?" tanya Hwe Li sambil memandang wajah Thian Lee. Harus diakuinya sekarang bahwa wajah pemuda itu tampan, bahkan garis-garisnya lebih jantan dibanding Siong Ek.
"Aih, ayahnya adalah seorang sahabat baik yang dulu di waktu ayahmu ini masih muda banyak menolongku. Akan tetapi sekarang dia telah merunggal dunia, juga isterinya sehingga Thian Lee ini menjadi yatim piatu. Karena dia tidak mempunyai siapa-siapa lagi maka aku memberi pekerjaan kepadanya. Mulai sekarang dla tinggal di sini dan bekerja sebagai kusir kereta. Kelak kalau dia sudah belajar silat sampai pandai, dia boleh menjadi seorang piauwsu."
Hwe Li menjebikan bibirnya yang merah. "Sudah dewasa begini baru beiajar silat, mana bisa menjadi pandai, Ayah?"
"Kalau engkau dan Siong Ek suka membimbing dan membantu, tentu dia dapat lekas menjadi pandai. Aku sendiri tidak banyak waktu untuk mendidik, maka kuserahkan kepada kalian berdua untuk memberi bimbingan," kata Souw Can. "Dan engkau jangan bersikap buruk kepadanya, Hwe Li. Sudah kukatakan bahwa dahulu ayahnya banyak menolongku, maka sekarang tiba giliran kita membalas kebaikan kepada puteranya."
"Baik, Ayah," kata Hwe Li bersungut-sungut, sementara itu Siong Ek memandang dengan agak mengejek.
"Nah, sekarang tunjukkan kepada Thian Lee kamarnya. Beri sebuah kamar di samping, jangan kamar belakang bersama pelayan. Dia harus kita anggap sebagai keluarga sendiri," kata ayahnya. "Thian Lee mulai sekarang engkau boleh bertanya apa saja kepada Hwe Li, ia yang akan memberi tahu segala kepadamu dan membimbingmu belajar silat. Setelah tinggal di sini kira-kira sebulan, baru engkau boleh ikut mengirim barang kawalan sebagai kusir." Souw Can lalu meninggalkan mereka.
Setelah orang tua itu pergi, Hwe memandang Thian Lee. Pemuda itu juga memandangnya dan harus dia akui bahwa gadis itu cantik sekali. Cantik dan manja terutama bibir itu yang dibiarkan berjebi seperti menantang. Dan dia juga melihat sikap Siong Ek yang memandang rendah kepadanya dan bersikap angkuh, akan tetapi merendah terhadap gadis seperti mencari muka.
"Siapa namamu tadi?" Hwe Li sambil menggerakkan dagunya dengan sikap angkuh.
"Song Thian Lee."
"Hemm, tahu-tahu aku menemukan seorang twako. Sungguh lucu!" kata Hwe Li.
”Seorang twako dari dusun," sambung Siong Ek sambil menahan tawa.
Hwe Li memandang ke arah pakaian Thian Lee. Memang dari kain kasar dan potongannya seperti pakaian petani. "Hushh, Suheng. Engkau tidak boleh menghinanya, Ayah dapat marah kepadamu. Awas, nanti dia akan mengadu kepada Ayah. Eh, Thian Lee, ehh... Twako, apakah engkau tukang mengadu?"
Thian Lee tersenyum dan menggeleng kepala. "Aku bukan seorang yang suka mengadu."
"Bagus! Kalau engkau mengadu, aku tidak segan-segan untuk memukulmu, biarpun harus menyebutmu twako. Nah, mari kutunjukkan kamarmu." la mendahului pergi ke dalam diikuti oleh Thian Lee dan juga Siong Ek.
Thian Lee membawa buntalannya dan mengikuti gadis itu. Untung pedangnya tidak kelihatan menonjol di dalam buntalan pakaian itu dan diam-diam dia merasa khawatir juga. Bagaimana dia dapat menyembunyikah pedang itu? Kalau sampai pedang itu terlihat, tentu akan timbul kecurigaan karena pedangnya bukan pedang biasa. Dia harus menyembunyikannya!
Setelah di kamar itu, Hwe Li lalu meninggalkan, Thian Lee sambil berkata, "Nah, inilah kamarmu. Setiap hari harus kau bersihkan dan jaga baik-baik kamar ini. Ini adalah kamar tamu, jangan membikin kotor. Nanti setelah engkau selesai, engkau boleh ke dapur minta makan kepada pelayan. Aku akan memesan kepada mereka untuk melayanimu."
Setelah berkata demikian, Hwe Li pergi bersama Siong Ek. Belum lama mereka pergi, Thian Lee masih dapat mendengarkan mereka itu membicarakan dia.
"Menjemukan sekali!" kata gadis itu.
"Akan tetapi ayahmu menyukainya," kata Siong Ek.
"Harus mengajarkan silat kepadanya. Awas, akan kusiksa dia dengan latihan-latihan berat!" Dan mereka berdua lalu tertawa-tawa. Tentu mereka tidak menduga bahwa dari jarak sejauh itu Thian Lee dapat menangkap pembicaraan mereka dengan jelas.
Setelah mereka pergi, Thian Lee menutupkan jendela dan pintu, kemudian dia melihat keadaan kamar itu. Tidak ada tempat yang aman untuk menyembunyikan pedangnya. Kemudian dia memandang ke atas. Ya benar, di bawah atap itulah tempat persembunyian yang baik sekali.
Dia lalu membawa pedangnya melompat ke langit-langit dan menemukan tempat untuk menyembunyikan pedangnya di bawah atap. Kemudian dia turun lagi dengan hati tenang. Sekarang tidak ada apa-apa lagi yang dapat menimbulkan kecurigaan.
Dia tersenyum kalau teringat akan percakapan tadi. Dia akan dilatih ilmu silat oleh Hwe Li. Latihan berat sebagai siksaan! Mengapa gadis itu bersikap demikian kepadanya, seolah-olah membencinya?
Demikianlah, mulai hari itu Thian Lee tinggal di rumah Ketua Kim-liong-pang dan dia pun mulai diberi pelajaran ilmu silat oleh Souw Hwe Li yang kadang dibantu oleh Lai Siong Ek. Karena takut kepada ayahnya, maka Hwe Li benar-benar memberi pelajaran ilmu silat, akan tetapi agaknya ia memang memberi tugas yang berat-berat kepada Thian Lee.
Mula-mula Thian Lee diajari memasang kuda-kuda yang kuat dan untuk menguji sampai di mana kemajuan dan kekuatan kaki Thian Lee, tidak jarang Hwe Li menyapu kaki itu dengan tendangannya sehingga Thian Lee jatuh bangun!
Pada suatu hari Souw Hwe Li dengan ditemani Lai Siong Ek sudah berada di lian-bu-thia bersama Thian Lee. Thian Lee sudah siap untuk menjadi bulan-bulan siksaan kedua orang itu seperti biasa ketika mengajarkan ilmu silat. Akan tetapi sekali ini Hwe Li berkata dengan suara ketus,
"Ayah menghendaki agar engkau dapat menggunakan semacam senjata untuk membela diri kalau engkau menjadi kusir dan dihadang perampok. Nah, sekarang kau pilih sebuah di antara senjata-senjata di rak ini. Aku akan mengajarkan engkau memainkan senjata itu. Pilih salah satu!" katanya sambil menunjuk ke rak senjata di mana terdapat delapan belas macam , senjata.
Thian Lee memandang ke arah sen-jata-senjata itu lalu berkata, "Siauw-moi, aku ngeri melihat senjata yang tajam-tajam dan runcing-runcing itu. Aku takut kalau-kalau tubuhku terkena sendiri ketajaman dan keruncingannya. Maka, biarlah aku memilih senjata tongkat ini saja, dapat kupakai menggebuk kalau-kalau ada anjing hendak menggigit kakiku."
Siong Ek tertawa. "Tongkat untuk menggebuk anjing? Akan tetapi tanpa memiliki tenaga sinkang yang kuat, apa artinya tongkat ini bagimu. Thian Lee? Sekali bertemu pedang atau golok lawan, tentu akan patah menjadi dua potong."
"Sudahlah, kalau itu yang dia pilih, biarkanlah," kata Souw Hwe Li. "Agaknya memang lebih cocok kalau seorang kusir membawa sebatang tongkat." Tentu saja ucapan ini merupakan olok-olok.
Thian Lee memandang kagum. "Siauw-moi, apakah engkau dapat memainkan semua senjata ini?"
"Tentu saja. Dan tongkat itu pun dapat kumainkan dengan baik. Nah, lihat dan pelajarilah. Ini namanya Ta-kaw-tung (Tongkat Penggebuk Anjing) dan merupakan ilmu tongkat yang ampuh."
Gadis itu lalu mengambil tongkat dari rak senjata dan mulai bersilat dengan tongkat itu. Demikian cepat gerakannya sehingga Thian Lee berseru, "Wah, jangan cepat-cepat, siauw-moi. Bagaimana aku dapat mengikuti dan mencontoh gerakanmu kalau begitu cepat?"
Hwe Li menghentikan gerakannya lalu mengajarkan jurus demi jurus kepada Thian Lee. Dan setiap latihan, Thian Lee disuruh melawannya dan tentu pemuda itu terkena gebukan atau sapuan pada kakinya sehingga dia kembali harus jatuh bangun.
Akan tetapi karena ajaran yang keras ini, dalam waktu sebulan dia sudah dapat memainkan ilmu tongkat yang oleh Hlwe Li disebut Ta-kaw Tung-hoat itu. Gerakannya memang masih kaku, akan tetapi dia sudah mampu mainkan jurus pertama sampai jurus ke delapan belas.
Setelah sebulan dia berada di situ, setiap hari berlatih silat dan juga mengurus kuda-kuda di istal, pada suatu hari Souw-pangcu memanggilnya, "Thian Lee, kulihat engkau setiap hari tekun mempelajari ilmu silat dan menurut laporan Hwe Li, engkau sudah dapat memainkan senjata tongkat yang kaupilih sendiri. Aku ingin melihat engkau memainkan tongkat itu. Cobalah!"
Thian Lee lalu mengambil tongkat itu dan di depan Souw-pangcu dia pun nnenggerakkan tongkat itu dari jurus pertama sampai selesai. Gerakannya masih kaku, akan tetapi sudah cukup memadai.
"Bagus, setidaknya engkau sudah da-pat membela diri sekarang. Nah, mulai besok engkau boleh ikut mengantarkan barang kawalan sebagai seorang kusir. Kebetulan besok ada kiriman barang ke Souw-ciu, tidak berapa jauh akan tetapi melewati Bukit Merak yang kadang-kadang suka terdapat perampok yang mengganggu. Beranikah engkau?"
"Kalau hanya mengusiri, kenapa tidak berani, Supek? Kalau ada perampok mengganggu, yang melawan tentu para piauwsu, bukan saya."
"Benar, akan tetapi engkau juga harus "melindungi kuda-kudamu dari serangan penjahat. Bagaimana kalau ada penjahat hendak merampas kuda? Apakah engkau akan diam saja? Harus kau lawan dengan tongkatmu."
Thian Lee mengerutkan alisnya, kelihatan khawatir. "Baiklah, Supek. Mudah-mudahan saja tidak ada perampok!"
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Thian Lee telah bersiap-siap. Kini dia mendapatkan pakaian seperti seorang piauwsu yang gagah dan dia mengenakan pakaian itu. Lalu dia mempersiapkan kereta dan memberi pakaian kepada dua ekor kuda yang akan menarik kereta. Selagi dia sibuk membuat persiapan, muncullah Hwe Li.
"Selamat pagi, Siauw-moi. Sepagi ini engkau sudah bangun?"
"Twako, aku mendengar engkau akan mengusiri kereta yang membawa barang kawalan ke Souw-ciu? Hati-hati, Twako dan jaga kereta baik-baik, jangar membikin malu aku yang selama ini memberi petunjuk kepadamu," kata Hwe Li nadanya menggoda.
Thian Lee memperlihatkan tongkatnya dengan bangga. "Dengan tongkat ini aku akan menjaga kuda dan kereta, Siauw-moi. Jangan khawatir. Ajaranmu pasti berguna bagiku."
Gadis itu hanya tersenyum dan meninggalkannya. Rombongan itu berangkat dengan dua kereta penuh muatan barang dan dikawal oleh dua belas orang anak buah Kim-liong-pang. Yang menjadi piauwsunya adalah dua orang murid Kim-liong-pang yang sudah pandai, bernama Ciang Hoat dan Gan Bun Tek. Dua orang itu membawa pedang di punggung mereka dan kelihatan gagah perkasa.
Di atas dua buah kereta itu dipasangi bendera yang bergambar seekor naga emas, sebagai tanda bahwa kereta itu dilindungi oleh Kim-liong-pang (Perkumpulan Naga Emas). Karena Thian Lee merupakan seorang kusir baru yang belum berpengalaman dan belum mengenal jalan, maka keretanya berada di belakang, mengikuti kereta pertama.
Para anak buah Kim-liong-pang itu dibagi menjadi dua, enam orang di depan kereta dan enam orang pula di belakang, masing-masing dipimpin seorang piauwsu. Ciang Hoat yang lebih tua berada di depan sedangkan Gan Bun Tek berada di belakang kereta. Mereka semua menunggang kuda dan rombongan itu segera berangkat.
Kalau hanya penjahat-penjahat kecil saja tentu tidak akan berani mengganggtt rombongan dua kereta ini. Baru bendera yang berkibar di atas kereta itu saia sudah merupakan jaminan keamanan, apalagi dua orang piauwsu dan dua belas orang anak buahnya yang nampaknya demikian gagah perkasa.
Ciang Hoat adalah seorang murid Kim-liong-pang yang sudah pandai, berusia empat puluh tahun dan tubuhnya tinggi kurus. Dia sudah memiliki banyak pengalaman karena sudah puluhan kali mengawal barang kiriman dan ilmu pedangnya juga amat lihai. Barangkali hanya Hwe Li dan Siong Ek saja yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi darinya.
Adapun piauwsu ke dua, Gan Bun Tek berusia tiga puluh lima tahun dan tubuhnya sedang namun kokoh kekar karena dia bertenaga besar. Dalam hal ilmu pedang, dia pun hanya sedikit di bawah tingkat Ciang Hoat tian dia pun sudah berpengalaman sebagai piauwsu.
Perjalanan dari Pao-ting sampai jauh keluar kota terjadi dengan aman dan lancar. Ketika Bukit Merak nampak di depan, Ciang Hwat berseru kepada anak buahnya agar berhati-hati. Akhir-akhir ini terdapat berita bahwa Bukit Merak tidak aman dan sering kali muncul orang-orang jahat di tempat itu.
Gan Bun Tek yang berada di belakang kereta juga memberi isarat kepada anak buahnya agar berhati-hati dan mereka menjalankan kuda di kanan kiri kereta ke dua untuk menjaga segala kemungkinan.
Ketika rombongan itu mendaki lereng bukit itu dan tiba di dalam hutan, tiba-tiba dari kanan kiri meluncur anak-anak panah yang menyerang mereka. Akan tetapi, dua orang piauwsu dan anak buah-nya sudah siap, cepat mencabut pedang dan berhasil menangkis semua anak panah sehingga runtuh ke atas tanah.
Dan pada saat itu nampak belasan orang berlompatan keluar dari balik semak belukar dan batang-batang pohon. Mereka adalah orang-orang yang nampaknya kasar dan bengis, memegang golok dan sikap mereka penuh ancaman. Akan tetapi orang-orang itu tidak segera menyerang, melainkan hanya mengepung dua buah kereta itu bersama para pengawalnya.
Mereka agaknya menanti pimpinan mereka dan tak lama kemudian muncullah pimpinan mereka itu. Dia seorang tinggi besar yang mukanya bopeng-bopeng. Buruk sekali muka itu, akan tetapi menggiriskan dengan matanya yang besar dan bersinar-sinar, mulutnya yang cemberut dan tubuh yang tinggi besar itu penuh dengan otot yang melingkar-lingkar.
Tangan kanannya memegang sebatang golok gagang panjang yang lebar dar tajam berkilauan seperti Golok Naga Hijau yang biasa menjadi senjata dari pahlawan besar Kwan In Tiang di jaman Sam Kok. Melihat tokoh yang kelihatan tangguh ini, Ciang Hoat segera maju dan memberi hormat.
"Kami dari Kim-liong-pang hendak pergi ke Souw-ciu dan numpang lewat. Harap saudara yang budiman suka memberi jalan dan untuk itu kami siap untuk memberi sekedar sumbangan!" Dia mengeluarkan sekantung uang dan mengangkat kantung itu ke atas. Memang demikianlah kebiasaan di dunia kang-ouw.
Seorang piauwsu kadang-kadang harus bersikap bersahabat dengan golongan Lok-lim atau golongan rimba raya sebagai sebutan para perampok. Kalau perlu para piauwsu itu tldak segan untuk memberi hadiah sebagai sogokan agar barang kawalannya jangan diganggu.
Akan tetapi, orang tinggi besar yang mukanya bopeng itu membelalakkan matanya dan suaranya terdengar mengguntur ketika dia berteriak, "Kalian menghina Coat-beng-kwi (Setan Pencabut Nyawa)? Aku menghendaki dua buah kereta itu dan semua isinya untuk ditukar dengan nyawa kalian semua. Bagaimana? Kalau menolak, tetap saja dua buah kereta dan isinya akan menjadi milik kami dan kalian semua akan mampus disini...”