Gelang Kemala Jilid 10
Mendengar ini, semua piauwsu merasa tegang dan Gan Bun Tek mengerutkan alisnya ketika dia melihat Thian Lee merayap turun dari atas kereta dan pemuda itu segera masuk ke kolong kereta bersembunyi!
Celaka, pikirnya. Kusir baru yang katanya masih sanak pangcu itu ternyata seorang pemuda pengecut dan penakut, akan tetapi karena semua perhatian ditujukan kepada kepala perampok yang julukannya menyeramkan itu, maka tidak ada yang mempedulikan sikap Thian Lee.
Ciang Hoat mencoba untuk menyabarkan kepala perampok itu. "Sobat, sejak dahulu kami dari Kim-liong-pang tidak pernah ada permusuhan dengan para kerabat dari liok-lim dan kangouw, maka kami harap janganlah mengganggu kanru dan kami akan melaporkan kepada pang-cu kami atas kebaikanmu itu."
"Hemm, kalau memang bersahabat, tinggalkan kereta-kereta itu. Kalau hendak melanjutkan perjalanan, harus dapat lebih dulu mengalahkan golokku!" Berkata demikian, dia melintangkan golok gagang panjang itu didepan dadanya dan dengan sikap menantang dia menghadapi Ciang Hoat.
Tentu saja Ciang Hoat menjadi marah. Dia melompat turun dari atas kudanya sambil mencabut pedangnya dari punggung. Semua anggauta Kim-liong-pang juga bersiap-siap, berloncatan turun dari atas kuda dan mencabut senjata. Akan tetapi melihat anak buah perampok itu tidak turun tangan, mereka juga hanya berjaga-jaga sambil mengitari dua buah kereta.
Sementara itu, Gan Bun Tek juga menghampiri suhengnya untuk melihat bagaimana suhengnya melawan kepala perampok itu dan kalau perlu membantu. Kepala perampok yang berjuluk Setan Pencabut Nyawa itu tertawa bergelak ketika melihat Ciang Hoat memegang pedang menghadapinya. Tubuhnya yang seperti raksasa itu memang tidak sebanding dengan tUbuh Ciang Hoat yang tinggi kurus.
"Ha-ha-ha, apakah engkau hendak mengantar nyawa? Lebih baik serahkan dua kereta itu dan kalian boleh pulang dengan nyawa masih utuh!"
"Hemm, tidak perlu banyak bicara lagi. Kami dari Kim-liong-pang tidak pernah takut menghadapi penjahat!"
"Kalau begitu mampuslah!" Bentak raksasa itu sambil mengayun goloknya yang bergagang panjang itu, menyerang dengan bacokan dahsyat ke arah kepala Ciang Hoat. Piauwsu ini mengelak dengan merendahkan tubuhnya dan pedang-nya mencuat untuk balas menyerang.
"Tranggg....!!" Pedang bertemu golok dan pedang itu terpental. Terdengar kepala perampok itu tertawa nyaring. Dalam pertemuan pertama itu saja pedang telah terpental, tanda bahwa kepala perampok itu memiliki tenaga yang besar.
"Ha-ha-ha, serang! Rampas kedua buah kereta!" kepala perampok memberi aba-aba dan kini semua anak buahnya dengan golok diacungkan maju menyerang sambil mengeluarkan bentakan-bentakan menyeramkan.
Para anak buah Kim-liong-pang menyambut dan terjadilah pertempuran yang hebat. Gan Bun Tek sudah mencabut pedangnya dan membantu suhengnya karena ternyata bahwa kepala perampok itu lihai bukan main.
Akan tetapi di tengah keributan itu terjadilah hal yang aneh sekali. Tiba-tiba saja ketika kepala perampok itu memutar goloknya mendesak kedua orang piauwsu, setitik sinar hitam menyambar dan mengenai pergelangan tangannya. Dia berteriak dan goloknya terlepas dari pegangannya! Dia masih hendak menyambar golok yang terlepas itu, akan tetapi tiba-tiba saja.
"Tukk!" perutnya terasa nyeri sekali karena ada sebuah kerikit menghantam perutnya, demikian kerasnya sehingga kerikil itu menembus celananya dan mengenai kulit perutnya, seperti disengat kelabang saja rasanya! Kembali dia mengaduh, akan tetapi tiba-tiba...
"Tukkk..." sebutir kerikil mengenai dahinya dan timbullah sebutir telur di dahi itu. Kini kepala perampok maklum bahwa ada orang pandai mempermainkannya, maka dia pun menjadi jerih. Dia melompat jauh ke belakang sambil meneriaki anak buahnya agar mundur.
Para perampok yang mendapat perlawanan hebat dari anak buah Kim-liong-pang, ketika mendengar teriakan pemimpin mereka segera berloncatan dan sebentar saja semua perampok lenyap di balik semak belukar. Tak ada seorang pun anggauta rombongan itu yang terluka dan dua orang piauwsu itu saling pandang dengan terheran-heran.
Mereka tidak melihat adanya kerikil-kerikil yang tadi menyambar ke arah tubuh kepala perampok itu, hanya melihat kepala perampok yang kuat dan lihai itu melepaskan goloknya, kemudian berloncatan ke belakang sambil menerlaki anak buahnya seolah-olah tiba-tiba merasa takut sekali!
Bagaimanapun juga, hati mereka terasa lega sekali dan mengira bahwa tentu akhirnya kepala perampok agaknya jerih melihat bendera Kim-liong-pang maka mundur sendiri. Ketika mereka mengumpulkan anak buah, mereka tidak melihat Thian Lee.
"Eh, di mana kusir baru itu?" tanya Cang Hoat dengan heran dan khawatir.
Gan Bun Tek tertawa sambil menuding ke kolong kereta. Semua orang melongok ke bawah kereta dan benar saja, Thian Lee meringkuk di bawah kereta dengan ketakutan. Semua orang tertawa dan Thian Lee dengan kemalu-maluan lalu merangkak keluar. Perjalanan dilanjutkan dengan selamat dan setelah menyerahkan barang-barang kawalan itu di Souw-ciu, mereka lalu pulang ke Pao-ting.
Pada keesokan harinya barulah mereka tiba di Pao-ting dan ramailah rnereka bercerita tentang perampokan itu dan betapa mereka semua dapat rnengusir para perampok! Dan tidak lupa mereka menceritakan betapa Thian Lee ketakutan bersembunyi di kolong kereta.
Wajah Souw Can menjadl marah mendengar ini. Dia ikut merasa malu karena semua anggauta Kim-liong-pang tahu beiaka bahwa pemuda itu dianggap sebagai keluarga Sang Ketua.
"Thian Lee, engkau bagaimana sih?" tegurnya ketika dia memanggil pemuda itu ke dalam. "Ada perampok mengganggu, engkau tidak membantu para piauwsu malah bersembunyi di kolong kereta. Memalukan!"
"Supek perampoknya amat galak dan menyeramkan. Aku menjadi takut. Dan pula, apa yang dapat saya lakukan?"
"Aihh, ingatlah. Engkau ini putera seorang pendekar besar! Mendiang ayahmu dahulu adalah seorang pendekar yang perkasa. Masa engkau anaknya menjadi penakut? Mulai sekarang akan kuajarkan sendiri ilmu tongkat itu kepadamu!"
"Baiklah, Supek." Diam-diam Thian Lee merasa girang karena kalau supeknya yang mengajarnya sendiri berarti dia akan bebas dari gangguan Hwe Li yang bengal.
Demikianlah, mulai hari itu, Thian Lee dilatih sendiri oleh supeknya dan Sang Supek merasa girang karena dia mendapat kenyataan bahwa Thian Lee cukup cerdik dan mudah memahami ilmu tongkat itu. Kini gerakan Thian Lee tidak kaku lagi dan dia pun diajarkan menghimpun tenaga dalam pukulan tongkatnya.
Sebulan telah lewat semenjak peristiwa perampokan itu. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, Siong Ek sudah berada di Kim-liong-pang dan sudah berlatih pedang dengan sumoinya. Thian Lee menonton dari samping dan merasa kagum. Setelah mereka selesai berlatih, Thian Lee bertepuk tangan memuji.
"Bagus, bagus! Kiam-hoat yang bagus sekali!" serunya girang.
"Hemm, Lee-twako engkau tahu apa tentang kiam-hoat? Baru memegang pedang saja engkau tidak berani, takut tanganmu terluka. Hayo, daripada bertepuk tangan memuji tidak karuan, aku ingin mencoba ilmu tongkat yang sudah kaupelajari dari Ayah!" kata Hwe Li.
"Mana aku berani, Siauw-moi."
"Hayo, Twako. Aku ingin memberi petunjuk kepadamu!"
"Tidak, tidak, kalau berlatih denganmu aku hanya akan menerima gebukan dan akan jatuh bangun," kata Thian Lee.
Pada saat itu, sebelum Hwe Li dapat memaksanya, Thian Lee sudah melangkah pergi menuju ke istala kuda. Akan tetapi mereka semua mendengar suara ribut-ribut di pekarangan depan dan segera mereka semua pergi keluar untuk melihatnya.
Ternyata di halaman depan nampak berdiri dua orang yang sedang bertengkar mulut dengan para anak buah Kim-liong-pang. "Aku ingin bertemu dengar Ketua Kim-liong-pang. Panggil dia keluar atau kami akan masuk mencarinya sendiri ke dalam rumah."
"Kalian takkan berani!" Bentak lima orang anak buah Kim-liong-pang itu sambil maju untuk mendorong mundur dua orang itu, akan tetapi sekali dua orang itu menggerakkan tangan kaki, lima orang murid Kim-liong-pang itu terlempar dan terbanting jatuh.
"Ha-ha-ha-haa, beglni saja murid-murid Kim-liong-pang?" Seorang di antara kedua orang itu tertawa. Dia adalah seorang tinggi besar bermuka bopeng dan Thian Lee segera mengenal bahwa dia itu adalah kepala perampok dari Bukit Merak! Dan yang seorang lagi adalah seorang kakek berusia lima puluh tahun yang tubuhnya tinggi kurus, membawa pedang di punggung dan nampaknya pendiam dan angkuh.
"Dia... dia adalah kepala perampok dari Bukit Merak itu!" kata Thian Lee dan mendengar ini, Hwe Li dan Siong Ek segera lari menghampiri. Sementara itu, Souw Can juga sudah muncul dari dalam rumah, mendengar laporan dari anak buahnya.
Souw Can segera memberi hormat kepada dua orang tamunya. "Apakah Ji-wi mencari aku? Aku adalah Kim-liong-pangcu dan ada keperluan apakah mencariku?"
Si Muka Bopeng memandang dengan mata mencorong, lalu sambil menggerakkan golok gagang panjang dia berkata, suaranya menggelegar, "Sudah lama aku mendengar akan nama besar Ketua Kim-liong-pang, akan tetapi ternyata anak buah Kim-liong-pang hanyalah orang-orang yang curang dan pengecut. Kalau bertanding suka menyerang orang dengan sembunyi. Karena itu aku datang bersama suhengku untuk menantang orang-orang Kim-liong-pang mengadu ilmu dengan jujur!"
Souw Can tersenyum. Dia pun sudah mendengar dari laporan anak buahnya tadi bahwa yang datang adalah kepala rampok dari Bukit Merah. "Apakah Sicu ini yang berjuluk Coat-bengkwi?"
"Benar, akulah Coat-beng-kwi. Hayo suruh keluar murid Kim-liong-pang yang tempo hari melawanku, akan kutunjukkan bahwa aku tidak kalah oleh mereka. Atau kalau para murid tidak berani, gurunya boleh juga maju melawanku!" katanya dengan sikap sombong sekali.
Melihat kesombongan orang itu, Lai Siong Ek menjadi marah sekali, Dia meloncat ke depan dan berkata kepada suhunya, "Suhu, biarlah teecu menghadapi manusia sombong ini!" katanya sambil mencabut pedangnya.
Souw Can sudah mendengar bahwa Ciang Hoat dan Gan Bun Tek berhasil mengusir perampok ini. Tingkat kepandaian Siong Ek jauh lebih tinggi dari pada tingkat kedua orang piauwsu itu, maka dia pun mengangguk sambil berkata, "Berhati-hatilah engkau!"
Siong Ek menghadapi Coat-beng-kwi sambil menyilangkan pedang di depan dada. "Engkau berjuluk Coat-beng-kwi? Bukankah engkau ini kepala perampok dari Bukit Merak yang sudah berlari tunggang-langgang dipukul mundur oleh para piauwsu kami? Jangan bicara sombong, akulah murid Kim-liong-pang yang akan menghadapimu!"
"Bagus, sekarang kita bisa bertanding satu lawan satu tanpa ada penyerang gelap berbuat curang!" kata Coat-beng-kwi, lalu dia menggerakkan golok gagang panjangnya sambil membentak, "Lihat golok!" Golok itu menyerang dengan dahsyatnya.
Akan tetapi dengan lincahnya Siong Ek mengelak dan balas menyerang. Segera keduanya sudah saling serang dengan seru dan hebatnya. Dengan jurus Pek-in-ci-tian (Awan Putih Keluarkan Kilat) Siong Ek menyerang. Mula-mula pedangnya berputar di atas kepala, membentuk gulungan sinar putih, kemudian dari gulungan sinar itu mencuat sinar pedang yang meluncur dan menusuk ke arah leher lawan. Akan tetapi raksasa muka bopeng itu memutar goloknya dan menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Trang...." Nampak buhga api berpijar menyilaukan mata ketika kedua senjata itu bertemu dan nampak Siong Ek terkejut karena pedangnya terpental keras. Dari pertemuan kedua senjata itu saja sudah jelas bahwa dia kalah kuat dalam hal tenaga.
Si Setan Pencabut Nyawa agaknya tahu pula akan hal itu dan dia tertawa bergelak. Goloknya lalu dlputar dengan cepat bukan main, menyapu kaki Siong Ek. Pemuda ini meloncat dengan gerakan Lo-wan-teng-ki (Monyet tua Melompat Cabang) untuk menghindarkan diri dari sabetan golok pada kakinya dan langsung saja sambil melom-pat dia menyerang dengan jurus Sian-jin-sia-cok (Dewa Memanah Batu).
Pedangnya meluncur cepat sekali ke depan dan menusuk ke arah dada lawan bagaikan luncuran anak panah. Akan tetapi Si Raksasa itu memang lihai sekall. Blarpun tubuhnya besar, dia dapat bergerak cepat dan sudah berhasil mengelak ke kiri se-hingga tusukan itu pun luput.
Sementara itu, kini semua anak buah Kim-liong-pang sudah berada di situ menonton pertempuran dan siap-siaga me-nanti perintah Sang Ketua. Sedangkan Souw Can sendiri menonton dengan alis berkerut.
Setelah pertandingan itu berlangsung lima puluh jurus, tahulah dia bahwa muridnya itu tidak akan dapat menang melawan raksasa muka bopeng itu. Selagi dia hendak menyuruh muridnya mundur, Siong Ek sudah menerjang lagi dan kini pemuda itu menggunakan jurus yang hebat sekali.
Tubuhnya membuat gerakan berputar dan pedangnya ikut berputar, kemudian sambil berputar itu dia lalu membacok ke arah leher dan inilah jurus Sin-liong-tiauw-si (Naga Sakti Menyabetkan Ekornya). Hampir saja leher Si Tinggi Besar terbabat pedang akan tetapi dia masih sempat menangkis sambil berbareng kakinya menendang ke depan.
"Bukk!" Paha kanan Siong Ek terkena tendangan dan dia terlempar ke belakang dengan pedang masih di tangan. Dia tidak terbanting jatuh karena dapat berjungkir balik, akan tetapi ketika kedua kakinya turun, dia agak terhuyung karena pahanya yang tertendang terasa nyeri.
"Ha-ha-ha-ha, cuma sebegitu saja kepandaian murid pilihan dari Kim-liong-pang?" Si Tinggi Besar itu tertawa bergelak dengan sikap sombong dan mengejek.
"Jangan menghina Kim-liong-pang!" Tiba-tiba Thian Lee maju sambil menyeret tongkat yang biasa dia pakai untuk berlatih silat. "Aku adalah murid Kim-Hong-pang dan aku yang akan menandingimu.”
Melihat Thian Lee yang ketololan itu maju menantang, Hwe Li terbelalak dan menghampiri pemuda itu. "Twako, jangan bermain gila. Apa-apaan engkau ini? Mundurlah!" katanya sambil mendorong dan dldorong begitu saja, Thian Lee terhuyung-huyung hampir jatuh. Akan tetapi dia nekat, menghampiri lagi Si Raksasa muka bopeng sambil mengejek,
"Hayo, muka bopeng buruk seperti monyet. Kenapa diam saja? Apa engkau takut melawan tongkatku ini? Hayo cepat berlutut agar aku dapat menggebuk pantatmu tujuh kali sebagai hajaran!"
Semua orang Kim-liong-pang memandang heran dan terkejut, juga khawatir sekali. Mereka semua tahu siapa Thian Lee, seorang yang tolol dan sebagai kusir pernah bersembunyi ketakutan ketika dihadang perampok. Kini berani maju menantang Si Raksasa yang telah mengalahkan Lai Siong Ek? Gila!
Akan tetapi Souw Can memandang dengan terharu. Dia tahu bahwa Thian Lee baru beberapa bulan saja belajar ilmu silat, tidak mungkin dapat menandingi raksasa itu. Akan tetapi Thlan Lee berani! Itu untuk membela nama baik Kimliong-pang. Sungguh pemuda ini tidak mengecewakan menjadi putera mendiang Siong Tek Kwi.
Sl Raksasa menjadi marah bukan main. Dia memelototkan matanya sampai nyaris terloncat keluar dari pelupuknya ketika memandang pemuda yang memegang torigkat itu. Tadi saja didorong oleh gadis itu sudah hampir jatuh, dan cara memegang tongkat begitu kaku, hendak menantangnya?
Sebetulnya dia ingin mentertawakan, akan tetapi ucapan Thian Lee itu membuat dia tidak mampu tertawa karena marahnya, apalagi melihat wajah orang-orang di situ yang terheran-heran juga nampak geli mendengar ucapan pemuda itu.
"Jahanam, apa engkau, sudah bosan hidup!" bentaknya.
"Tidak, aku masih suka hidup Engkau yang agaknya sudah bosan hidup."
"Kau kira akan dapat melawanku?" bentak lagi Si Raksasa yang merasa dipandang rendah. Masa dia hendak diadu dengan badut ini?
Kini Thian Lee memegang tongkat dengan tangan kanan dan telunjuk kirinya menuding ke arah hidung raksasa itu tanpa berkata-kata. Karena dituding hidungnya, raksasa itu otomatis memegang hidungnya.
”Apa yang kau pandang itu?"
"Hidungmu penuh coreng-moreng!" Dengan sendirinya raksasa itu menggosok-gosok hidungnya dan melihat tangannya, akan tetapi tidak ada apa-apanya. "Jangan main gila kau!"
'"Tidak, aku tahu bagaimana harus mengalahkanmu. Aku telah mempelajari ilmu tongkat Takaw-tung (Tongkat Pemukul Anjing) dan sekarang ilmu tongkatku itu akan berubah menjadi Ta-kwi-tung (Tongkat Pemukul Setan) dan setannya adalah engkau. Bukankah julukanmu Setan Pencabut Nyawa?"
Dapat dibayangkan bagaimana marahnya raksasa itu. Dan para anak buah Kim-liong-pang kini tidak dapat menahan tawanya. Mereka tadi merasa tidak senang dan penasaran sekali melihat Siong Ek dikalahkan, kini melihat raksasa itu dipermainkan dengan kata-kata oleh Thian Lee, mereka merasa gembira sekali sampai lupa bahwa Thian Lee meng-hadapi lawan yang amat tangguh dan dapat berbahaya sekali baginya.
Coat-beng-kwi hampir tak dapat menahan kemarahannya lagi. Akan tetapi sebagai seorang jagoan dia merasa malu kalau harus berurusan dengan seorang pemuda tolol ini, maka bentaknya kepada Souw Can, "Souw-pangcu, majulah sendiri menghadapi aku, jangan mengajukan kacung tolol ini?"
"Tidak bisa, tidak bisa!" kata Thian Lee ngotot dan nekat. "Sebelum engkau mengalahkan aku muridnya, tidak mungkin engkau melawan gurunya! Atau barangkali engkau takut menghadapi Ta-kwi-tung ini?" Dia mengamangkan tongkatnya.
"Setan jahanam, mampus engkau di tanganku!" bentak Coat-beng-kwi sambil menggerakkan goloknya.
"Coat-beng-kwi, ingat, ini hanya adu kepandaian. Kalau sampai engkau membunuhnya aku tidak akan memberi ampun kepadamu!" Souw Can berkata dengan nada mengancam.
"Ah, Supek. Mana mungkin setan seperti ini membunuhku?" kata Thian Lee dan kini raksasa itu sudah bergerak maju.
"Lihat golok!" Goloknya menyambar dahsyat.
Thian Lee melompat mundur untuk mengelak. Lompatannya kaku dan beberapa gebrakan saja dia sudah terdesak, lari ke sana-sini pontang-panting, dan berloncatan untuk menghindarkan serangan golok lawan. Melihat ini, raksasa itu tertawa bergelak-gelak dan tahulah dia bahwa dia benar-benar berhadapan dengan seorang muda yang miring otaknya karena ternyata tidak pandai silat!
"Sungguh tolol!" omel Hwe Li sambil mengepal tinju dan Siong Ek yang berdiri di sampingnya juga merasa khawatir sekali. Dla sudah merasakan betapa lihai lawan itu dan kini Thian Lee berani mati sekali mencoba untuk melawannya.
Akan tetapi, kalau bagi orang lain kelihatan Thian Lee seperti orang tolol yang lari ke sana-sini, bergerak terhuyung dan mengelak sedapat mungkin, bagi Coat-beng-kwi makin lama suara tawanya semakin berkurang karena dia merasa aneh sekali.
Pemuda itu mengelak dengan kacau, akan tetapi goloknya tidak pernah mampu menyentuhnya dan ketika sekali dua kali ujung tongkat pemuda itu menangkis dengan gerakan yang amat kaku, dia merasa betapa tangannya yang memegang golok tergetar hebat dan terasa amat panas!
Sementara itu, ketika Souw Can melihat betapa Thian Lee dapat mengelak dari sambaran golok itu, dia pun merasa heran. Jelas sekali gerakan Thian Lee bukan gerakan silat, hanya berloncatan seperti kanak-kanak bermain tali, akan tetapi sampai belasan jurus dia dapat menghindarkan diri dari semua bacokan itu.
Dia lalu mencoba untuk memberi petunjuk berdasarkan ilmu tongkat yang selama beberapa bulan ini dilatih oleh Thian Lee. Ketika meiihat lowongan, dia berteriak, "Pukul kepalanya dari kiri.
Mendengar bentakan Ketua Kim-liong-pang itu, otomatis Si Raksasa Bopeng menggerakkan golok menangkis ke arah sebelah kiri kepalanya. Akan tetapi ternyata Thian Lee bukan menghantam ke kiri kepalanya melainkan menghantam ke bawah, ke arah kaki kanannya!
"Takk!" Tulang kering raksasa itu bertemu dengan tongkat sehingga rnengeluarkan bunyi nyaring. Dan aneh! Bagi semua orang, tentu tenaga pukulan Thian Lee itu tidak ada artinya karena pemuda itu tidak memiliki tenaga sin-kang yang kuat, akan tetapi kenyataannya, Si Raksasa itu mengeluarkan suara mengaduh dan berloncatan dengan sebelah kakinya. Karena kaki kanannya terasa seolah-olah remuk. Nyerinya bukan alang-kepalang!
Terdengar sorakan. Para anak buah Kim-liong-pang kini bersorak. Biarpun mereka bingung bagaimana pemuda itu mampu menandingi Si Raksasa dengan gerakan ngawur, akan tetapi melihat kaki raksasa itu terkena pukulan sehingga dia mengaduh-aduh, tentu saja hati mereka semua menjadi gembira.
Hwe Li membelalakkan matanya, demikian pula Siong Ek. Bahkan Souw Can memandang tanpa berkedip. Apa yang terjadi? Dia sendiri tidak mengerti mengapa begitu. Apakah sebetulnya raksasa itu sama sekali tidak becus? Akan tetapi muridnya Siong Ek, tadi dikalahkannya.
Dan ketika dia memberi petunjuk kepada Thian Lee, pemuda itu salah menggerakkan tongkatnya, ngawur tidak karuan. Akan tetapi, kini raksasa itu memutar goloknya dengan semakin dahsyat karena dia sudah marah sekali. Dan Thian Lee berloncatan seperti tadi.
Melihat lowongan lagi, Souw Can member aba-aba dengan cepat. "Tiga kali totokan ke arah kaki!"
Memang dalam ilmu tongkat itu ada satu jurus yang menotok ke arah kedua kaki secara bergantian dan berturut-turut sebanyak tiga kali. Thian Lee menurut anjuran supeknya, tongkatnya meluncur ke bawah. Raksasa bermuka bopeng itu cepat meloncat ke atas sambil melintangkan gagang goloknya untuk menangkis. Akan tetapi tiba-tiba tongkat itu membalik, bukan menyodok ke arah kaki melainkan menyodok ke arah kepala.
"Duk-duk-dukk!"
Kini dahi raksasa itu menjadi korban sodokan ujung tongkat dan seketika tumbuh tiga telur berjajar pada dahi itu, Kembali Coat-beng-kwi mengaduh dan tangan kirinya mengelus dahi yang bejol-benjol besar itu. Tepuk sorak meledak menyambut hasil ini dan sejenak raksasa bermuka bopeng itu terhuyung ke belakang.
Thian Lee masih bersilat dengan tongkatnya, presis kalau dia berlatih. Souw Can terheran-heran. Jelas Thian Lee ngawur, akan tetapi mengapa malah berhasil?
Hwe Li bertanya kepada Siong Ek dengan heran, "Suheng, apa yang terjadi?"
"Aku tidak mengerti, Sumoi. Mungkin hanya kebetulan saja!" kata pemuda itu dan dia menonton dengan mata tak pernah berkedip, terheran-heran bagaimana kini raksasa itu mudah saja terkena pukulan Thian Lee sedangkan pedangnya tadi tidak pernah dapat mengenai lawan.
Akan tetapi Coat-beng-kwi sekarang mengerti. Dia tahu akan kesalahannya. Dia terlalu mendengarkan aba-aba yang dikeluarkan Souw Pangcu sehingga dia menjaga bagian yang disuruh serang, padahal murid yang ketololan itu menyerang sebaliknya. Kalau tadi disuruh menyerang kepala, yang diserang kakinya, sebaliknya disuruh menyerang kaki yang diserang kepalanya.
Maka dia sampai kecurian. Kini dengan kepalanya terasa berdenyut-denyut, kakinya masih ngilu, dia menyerang lagi dengan buasnya. Saking buasnya serangan itu, Thian Lee sampai berloncatan, berguling dan jatuh bangun, akan tetapi anehnya, golok itu tidak pernah mengenai tubuhnya.
Seolah-olah raksasa itu merasa ragu dan setiap kali goloknya menyambar, selalu ditahannya di tengah jalan, Souw Can semakin heran. Apakah raksasa itu merasa malu untuk melukai Thian Lee, ataukah teringat akan ancamannya tadi sehingga tidak melanjutkan serangannya?
Sama sekali dia tidak tahu bahwa setiap kali golok itu menyambar dekat, ada semacam hawa yang menolaknya dari tangan Thian Lee ke arah senjata itu yang membuat gerakan golok itu menjadi tertahan. Kini Thian Lee meloncat bangun lagi dan berusaha menyerang dengan tongkatnya.
Kembali Souw Can melihat lowongan dan berteriak, "Serang kepalanya!"
Kini raksasa itu tidak mempedulikan teriakan Souw-pangcu. Dia membiarkan saja kepalanya terbuka dan menggunakan golok melindungi kakinya. Thian Lee menggerakkan tongkatnya dan.... "takk-takk-takkk!"
Tiga kali berturut-turut tongkatnya menghantam kepala raksasa itu, mengenai ubun-ubunnya! Raksasa itu terkulai dan roboh pingsan! Tepuk sorak bergemuruh menyambut kemenangan ini. Bahkan ada anak buah Kim-liong-pang yang berloncatan dan menari-nari, ada pula yang melontarkan topinya ke atas, ada yang saling berpelukan dengan kawan sendiri.
Sementara itu, suheng dari Coat-beng-kwi menjadi marah sekali. Dia menghampiri sutenya yang pingsan, menepuk pundak dan tengkuknya dan raksasa itu siuman. Dia bangun, menggoyang-goyang kepalanya yang pening, lalu bangkit berdiri dengan nanar. Melihat suheng dari raksasa itu yang tinggi kurus memandang ke arah Thian Lee yang masih berada di situ dengan pandang mata penuh kemarahan, Souw Can lalu memanggil Thian Lee.
"Thian Lee, ke sini engkau!" Thian Lee menghampiri supeknya. "Kebetulan sekali engkau menang. Engkau telah berjasa dan cepat pergilah ke belakang, jangan memperlihatkan dirimu!" bisik supek itu yang khawatir kalau-kalau dua orang itu marah dan mengancam keselamatan Thian Lee.
"Baik, Supek." Thian Lee lalu menyeret tongkatnya masuk ke belakang rumah, disambut oleh anak buah Kim-liong-pang yang memuji-muji keberaniannya. Tak seorang pun mengira bahwa kemenangan Thian Lee itu memang karena kepandaian, melainkan karena Kebetulan dan keberuntungan. Akan tetapi mereka harus mengakui keberanian Thian Lee yang luar biasa.
Sementara itu, suheng dari Coat-beng-kwi lalu berkata kepada Souw Can dan suaranya terdengar besar parau, tidak sesuai dengan tubuhnya yang tinggi kurus. "Souw-pangcu, suteku telah dikalahkan secara tidak wajar oleh muridmu. Sungguh penasaran sekali!"
Souw Can maju menghampiri Si Ting-gi Kurus dan dia berkata, "Muridku memang bodoh, akan tetapi sudah jelas bahwa sutemu kalah, mengapa tidak wajar?"
"Hemm, jangan mengira kami bodoh, Pangcu. Engkau telah memberi petunjuk kepada muridmu, dan itulah yang tidak wajar. Kekalahan suteku adalah tidak adil dan sekarang aku mewakili sute untuk menantang Kim-liong-pang dan yang merasa memiliki kepandaian boleh maju."
"Sobat, sebelum kita bicara tentang pertandingan, boleh kami mengetahui siapakah sobat ini?"
"Aku seorang suheng dari Coat-beng-kwi, dan orang menyebut aku Thian-lo kwi (Setan Tua dari Langit). Kalau engkau sendiri yang hendak maju, kebetulan sekali, Pangcu. Aku sudah lama mendengar kebesaran nama Kim-liong-pang dan aku enggan untuk bertanding dengan murid-muridmu yang belum berpengalaman."
"Thian-lo-kwi, sebelum kita lanjutkan, aku hendak bertanya kepadamu, apakah engkau tahu apa sebabnya sutemu memusuhi kami?"
"Apalagi, untuk membalas kekalahannya yang pernah terjadi secara tidak wajar. Sekarang dia kalah lagi secara tidak wajar pula. Aku menjadi penasaran sekali. Kalau engkau mengatakan kekalahan itu wajar, suruh murid tololmu tadi maju melawanku!"
"Thian-io-kwi, ketahuilah bahwa kami mempunyai perusahaan pengawal barang. Ketika anak buah kami sedang mengawal barang, kami dihadang gerombolan perampok yang dikepalai oleh Coat Beng-kwi ini. Apakah engkau hendak membela para perampok?"
"Souw-pangcu!" bentak raksasa muka bopeng yang sudah agak pulih rasa nyeri di dahi dan kakinya. "Kedatangan kami sekali ini tidak ada sangkut-pautnya dengan perampokan, melainkan dengan mengadu kepandaian secara jujur dan adil. Katakan saja engkau berani tidak mela-wan suhengku?"
"Ha-ha-ha, aku Kim-liong-pangcu tidak pernah menolak tantangan dari manapun juga datangnya. Tentu saja aku berani menghadapinya!"
"Kalau begitu, bersiaplah, Pangcu!" kata Thian-lo-kwi sambil mencabut pedangnya. Sutenya lalu didorongnya supaya minggir dan kini kedua orang itu sudah saling berhadapan. Souw Hwe Li mencabut pedangnya dan memberikan pedangnya itu kepada ayahnya yang keluar tidak membawa pedang.
Souw Can menerimanya dan kini kedua orang lawan itu saling berhadapan dengan pedang di tangan. "Thian-lo-kwi, aku sudah siap melayanimu. Mulailah!" Souw-pangcu, lihat pedang!"
Kakek tinggi kurus itu mengelebatkan pedangnya dan terdengar suara berdesing nyaring. Diam-diam Souw Can terkejut. Hebat ilmu pedang orang ini, pikirnya. Dapat menggerakkan pedang sehingga mengeluarkan suara berdesing seperti itu saja sudah membutuhkan tenaga sin-kang yang amat kuat.
Dia pun berhati-hati dan ketika pedang lawan datang menyambar, dia pun mengelak dan membalas dengan sabetan pedangnya yang juga dapat dielakkan lawan. Kembali pedang Thian-io-kwi menyambar dan sekali ini, untuk mencoba tenaga lawan, Souw Can menangkis dengan pedangnya.
"Trangggg... trangggg....!" Bunga api berpijar ketika dua pedang bertemu dua kali dan Souw Can semakin yakin bahwa lawannya memiliki tenaga yang dahsyat sekali. Dia hanya dapat mengimbanginya.
Mereka segera terlibat dalam pertanding-an pedang yang seru. Kalau tadi pertandingan antara raksasa muka bopeng melawan Thian Lee merupakan pertandingan yang lucu, sekarang pertandingan antara kedua orang ini sungguh menegangkan sekali.
Bahkan Hwe Li sendiri mengepal tinju karena ia pun mengenal ilmu pedang yang hebat dari Si Tinggi Kurus itu. Mereka berdua bersilat dengan gerakan cepat sehingga yang nampak hanya gulungan dua sinar pedang yang saling melibat dan saling mendorong.
Sementara itu, Thian Lee tiba di istal kuda dan di situ telah berdiri Liu Ceng. "Eh, Ceng-moi, engkau berada di sini?" tanya Thian Lee.
"Aku dilarang keluar oleh Paman, akan tetapi aku tadi mengintai dan melihat engkau menangkan pertandingan, Lee-ko. Engkau... engkau... hebat sekali! Aku bangga kepadamu, Lee-ko."
Wajah Thian Lee berubah merah dan jantungnya berdebar. "Aih, aku menang hanya kebetulan saja karena Supek membantu memberi petunjuk, Ceng-moi."
"Tidak, Lee-ko. Bukan itu yang mendatangkan kagum dalam hatiku dan bangga kepadamu. Akan tetapi keberanianmu! Bahkan Suheng Siong Ek saja kalah dalam waktu pendek, namun engkau berani maju. Itu berarti keberanian yang luar biasa. Sekarang barulah mereka tahu bahwa engkau lebih hebat dari suheng yang... ceriwis itu!"
"Ceriwis....? Apa maksudmu, Ceng-moi?"
"Dia seringkali menggodaku kalau kami bertemu berdua. Ah, sungguh aku tidak suka akan sikapnya kepadaku, Lee-ko. Kalau sampai Li-moi melihatnya, tentu la akan marah dan bisa salah sangka terhadap diriku."
"Ssttt, sudahlah, jangan bicarakan lagi. Jauhkan saja dirimu darinya kalau begitu," kata Thian Lee yang sibuk memakaikan pelana kuda yang paling besar di antara semua kuda yang dirawatnya.
"Engkau mau ke mana, Lee-ko?"
"Ceng-moi, sekali ini aku minta kepadamu jangan kau bilang kepada siapapun juga. Aku akan mengacaukan tamu yang membikin ribut itu dengan kuda ini."
Setelah berkata demikian, Thian Lee lalu meloncat ke atas pelana kuda dan tiba-tiba saja kuda itu mengeluarkan ringkik keras dan melonjak-lonjak. Thian Lee memegang cambuk kuda, mencoba untuk menahan dan menenangkan kuda itu, akan tetapi makin lama kuda itu makin mengamuk dan berlari keluar dari istal sambil berlompatan aneh.
Melihat ini, Liu Ceng menjadi khawatir dan ia pun melompat ke pinggir dan ketika kuda itu berlari keluar, la pun mengikutinya sam-bil memandang dengan mata terbelalak. Kuda yang mengamuk itu kini tiba di pekarangan luar.
"Minggir....! Minggir....! Kuda mengamuk....!" Berulang-ulang Thian Lee berteriak dan kudanya menuju ke arah tempat dimana Thian-lo-kwi masih bertanding pedang dengan serunya melawan Souw Can.
"Supek, minggir....! Kuda ini mengamuk, tak dapat dikendalikan!" teriak Thian Lee kepada Souw Can.
Mendengar seruan itu dan melihat betapa kuda itu menubruk ke arahnya, Souw Can melompat jauh dan menghentikan pertandingannya. Akan tetapi tidak demikian dengan Thian-lo-kwi. Si Tinggi Kurus ini agaknya marah sekali melihat ada seekor kuda mengganggu jalannya pertandingan di mana dia sudah mulai dapat mendesak lawannya. Dia tidak mau menyingkir melainkan menggerakkan pedangnya menusuk ke arah leher kuda!
Akan tetapi Thian Lee yang mencoba menenangkan kuda itu menggerakkan cambuknya ke kanan kiri. "Hiyooo, belang... hiyoooo... tenanglah, tar-tar-tar....!" Cambuknya meledak-ledak dalam usahanya menenangkan kuda dan tanpa disengaja cambuknya itu menyambar ke arah tangan yang menusukkan pedang!
Thian-lo-kwi terkejut sekali merasa pergelangannya nyeri terpatuk ujung cambuk dan dengan sendirinya tusukannya ke arah leher kuda menjadi gagal! Akan tetapi dia memang seorang yang pemurung dan pemarah. la mempercepat gerakannya dan kembali menusuk, sekali inl ke arah perut kuda!
Kuda itu berputar-putar dan melonjaklonjak dan Thian Lee menggerakkan cambuknya ke sana kemari dan kembali pedang itu tertangkis cambuk dan Thian-lo-kwi merasa betapa tangannya yang memegang pedang panas. Pedangnya terpental membalik ketika bertemu ujung cambuk yang rnenangkisnya.
Para anak buah Kim-liong-pang ikut sibuk melihat Thian Lee di atas kuda yang mengamuk itu dan mereka mencoba untuk menenangkan kuda. Akan tetapi kuda yang seperti kesetanan itu malah makin ganas mengamuk. Thian-lo-kwi yang merasa penasaran sekali kini menggunakan pedangnya untuk membacok kaki belakang kuda itu.
Thian Lee kembali menggerakkan cambuknya, diputar sedemikian rupa sehingga dapat menangkis pedang yang membacok ke arah kaki belakang kuda dan pada saat pedang lewat, kaki belakang kuda itu tiba-tiba menyepak ke belakang dan tepat mengenai perut Thian-lo-kwi!
Kasihan sekali kakek tinggi kurus itu. Hanya orang yang pernah disepak kuda saja dapat menceritakan betapa hebatnya tenaga kuda menyepak! Tenaganya ratusan kati, apalagi kuda itu sedang marah. Biarpun Thian-lo-kwi sudah mengerahkan sin-kangnya untuk menjaga diri, tetap saja tubuhnya terpental jauh seperti sebuah bola dan dia terbanting jatuh sampai bergulingan jauh!
Kakek itu tidak terluka parah, akan tetapi perutnya mendadak terasa mulas dan wajahnya menjadi pucat sekali. Dan semua anak buah Kim-liong-pang tertawa melihat kejadian yang lucu itu. Jagoan yang tadi bertanding melawan ketua mereka kena disepak kuda sampai terguling-guling!
Merasa bahwa dia sudah tidak kuat melanjutkan perkelahian melawan Souw Pangcu yang tangguh itu, Thian-lo-kwi lalu mengajak sutenya dengan bersungut-sungut meninggalkan tempat itu!
Thian Lee masih dengan susah payah mencoba menenangkan kudanya. Sepertl seorang penunggang rodeo, dia pun menahan agar tubuhnya jangan sampai dilempar jauh oleh kuda yang kesetanan itu.
Pada saat itu, Souw Can meloncat ke depan kuda dan menyambar tali di hidung kuda sambil mengerahkan sinkangnya sehingga kuda itu tidak mampu bergerak. Pada saat itu Thian Lee berhasil melompat turun dan sungguh aneh, begitu Thian Lee melompat turun, kuda itu pun tidak menjadi binal lagi.
"Wah, terima kasih Supek!" kata Thian Lee sambil mengelus leher kuda menenangkan binatang yang masih terengah-engah dan berpeluh itu.
"Thian Lee, kenapa kuda ini?" tanya supeknya."
"Entahlah, Supek. Tadi ketika saya pasangi pelana dan saya tunggangi untuk dibawa ke anak sungai, dia mengamuk," kata Thlan Lee.
"Ha-ha-ha, Si Belang telah mampu mengusir musuh'" terdengar banyak anak buah Kim-liong-pang tertawa memuji.
Thian Lee lalu menuntun kuda itu ke istal dan tanpa setahu orang, dia menyingkirkan sepotong batu runcing yang tadi dia sembunyikan dan selipkan di bawah pelana kuda. Batu runcing itulah yang membuat kuda mengamuk karena ketika pelana diduduki, batu itu menusuk punggungnya dan menimbulkan rasa nyeri yang hebat!
Peristiwa Thian Lee mengalahkan Coat-beng-kwi dan Si Belang menyepak Thian-lo-kwi masih menjadi bahan percakapan para anak buah Kim-liong-pang dan sejak hari itu, semua orang memandang Thian Lee sebagai seorang pahlawan! Bukan karena kepandaiannya, melainkan karena keberaniannya.
Akan tetapi Souw Can bukanlah seorang yang bodoh. Dia memanggil Thian Lee ke kamarnya dan diajaknya pemuda itu bicara berdua saja, "Thian Lee, katakan terus terang sekarang. Engkau adalah seorang pemuda yang menyembunyikan kepandaian, bukan? Mengakulah saja terus terang."
"Ah, tidak, tidak, Supek."
"Engkau telah menang melawan Coat-beng-kwi!"
"Semua itu berkat petunjuk supek dalam ilmu Tongkat Penggebuk Anjing itu!"
"Hemm, mana ada Ilmu Tongkat Penggebuk Anjing?"
"Adik Hwe Li yang mengatakan bahwa ilmu tongkat itu adalah Ta-kaw-tung."
"Hemm, ketika aku memberi petunjuk, engkau sama sekali tidak menurut petunjukku. Kusuruh memukul kepala malah memukul kaki dan sebaiiknya dan engkau berhasil! Itu berarti engkau memang telah memillki ilmu tongkat yang hebat."
"Tidak, Supek. Saya hanya menggunakan akal saja. Karena petunjuk Supek dilakukan dengan teriakan nyaring, saya pikir lawan tentu ikut mendengar pula dan tentu akan menjaga bagian yang Supek suruh pukui. Karena itu saya memukul baglan yang laln, yang tidak terjaga."
Souw Can memandang tajam. "Thian Lee, Engkau bukan murid seorang sakti?"
"Bukan, Supek. Saya hanya mempelajari ilmu silat dahulu ketika masih kecll dari Ibu."
"Ya sudahlah, akan tetapi mulai sekarang engkau ikut mengawal barang kiriman."
"Sebagai kusir, Supek?"
"Ya, ya... sebagai kusir."
Thian Lee lalu pergi ke istal dan setibanya di pekarangan belakang, Hwe Li dan Siong Ek telah menyongsongnya. Me-reka berdua nampak penasaran sekali dan terutama sekali Siong Ek.
"Thian Lee, engkau menjadi besar kepala karena dapat mengalahkan Coat-beng-kwi, ya?"
"Ah, tidak, Kongcu." Thian Lee memang selalu menyebut Siong Ek dengan sebutan kongcu seperti yang dituntut darinya oleh pemuda putera jaksa itu.
"Engkau menang secara kebetulan saja karena Suhu telah memberi petunjuk padamu."
"Memang benar demikian, Kongcu.” Thian Lee merendahkan diri.
"Akan tetapi engkau dipuji-puji semua anak buah Kim-liong-pang dan sebaliknya aku diejek, seolah-olah engkau lebih lihai dariku, buktinya aku kalah dari Coat-beng-kwi dan engkau menang."
"Ah, jangan dengarkan, Kongcu. Itu hanya kebetulan saja."
"Tidak, aku harus membuktikan bahwa engkau memang lebih lihai dalam ilmu tongkat. Karena itu, engkau harus melayani aku berlatih ilmu tongkat, ingin aku melihat sampai di mana kehebatanmu bermain tongkat."
Dan pemuda itu ternyata telah membawa dua buah tongkat dan diserahkannya yang sebatang kepada Thlan Lee.
"Ah, tidak, Kongcu. Mana aku berani?"
"Twako, engkau harus menerima ajakannya. Suheng hanya ingin menguji ilmui tongkatmu, apa salahnya dengan itu?" kata Hwe Li mendesak.
"Akan tetapi...." Thian Lee mencoba untuk membantah.
"Thian Lee, kalau engkau menolak berlatih dengan aku, itu berarti bahwa engkau memandang rendah kepadaku!" Siong Ek berkata dengan tegas.
Dan mendengar ini, terpaksa Thian Lee menerimer sebatang tongkat itu. Diam-diam dia merasa penasaran. Pemuda bangsawan ini memang sombong dan dia pun teringat akan keluhan Ceng Ceng bahwa pemuda ini sering menggodanya. Biarlah pemuda sombong ini menerima sedikit hajaran, pikir Thian Lee.
"Baiklah kalau engkau memaksa Kongcu. Akan tetapi kalau ada tongkat nyasar dan mengenai tubuh Kongcu, harap jangan marah."
"Tentu saja!" kata Siong Ek. "Kalau kepalamu kena pukul olehku, juga engkau jangan marah. Marilah kita mulai!" Setelah berkata demikian, Siong Ek sudah menerjang dengan serangannya.
Thian Lee mainkan llmu tongkat seperti yang diajarkan oleh Hwe Li. Sebetulnya, Siong Ek tentu saja mengenal ilmu tongkat itu dan dia dapat memainkannya jauh lebih baik dibandingkan Thian Lee. Akan tetapi karena gerakan Thian Lee bukan sewajarnya dan gerakan itu dldorong tenaga yang luar biasa.
Maka semua serangannya dapat ditangkis dengan baik oleh Thian Lee yang menggunakan ilinu tongkat itu sepenuhnya, tidak memasukkan gerakan lain. Siong Ek merasa penasaran sekali. Sudah belasan kali tongkatnya menyambar, akan tetapi selalu kena dihadang dan ditangkis oleh Thian Lee.
Setelah lewat delapan belas jurus dan semua jurus ilmu tongkat itu sudah dipergunakan, Thian Lee merasa cukup. Ketika tongkat Siong Ek menyambar lagi dengan amat dahsyatnya menghantam kepalanya, diam-diam dia mendongkol sekali.
Serangan yang dilakukan Siong Ek itu bukan berlatih lagi namanya, melainkan serangan sungguh-sungguh yang amat, berbahaya. Kalau serangan itu mengenai kepala, dapat membahayakan nyawa. Maka dia pun lalu menangkis sambil mengerahkan sedikit tenaganya.
"Dukkk... plak!" Tongkat di tangan Siong Ek yang menghantam ke arah kepala itu membalik dan mengenai kepala Siong Ek sendiri membuat pemuda itu terhuyung dan roboh dengan kepala benjut! Hwe Li berseru dan cepat menolong suhengnya bangkit berdiri. Siong Ek mengelus kepalanya yang benjut dan benjol.
"Maafkan aku, Kongcu," kata Thiar Lee.
Akan tetapi yang marah malah Hwe Li. Gadis ini mencabut pedangnya dan membentak, "Twako, engkau berani memukul Suheng? Baik, sekarang aku yang mengajak engkau berlatih. Aku menggunakan pedang dan engkau menggunakan? tongkatmu!"
"Tidak, Siauw-moi, aku tidak mau.”
"Engkau harus mau! Bukankah tadi engkau sudah melayani suhengku? Nah, bersiaplah, aku ingin mencoba sampai dimana kelihaian tongkatmu!" Berkata demikian, Hwe Li sudah mulai memutar pedangnya dan menyerang. Terpaksa Thian Lee menggerakkan tongkatnya untuk menangkis.
Hwe Li menusuk lagi, ditangkis lagi, lalu membacok, ditangkis lagi. Repot sekali nampaknya Thian Lee menangkisi semua serangan Hwe Li, akan tetapi makin lama Hwe Li menjadi semakin penasaran. la yang mengajarkan ilmu tongkat itu kepada Thian Lee, akan tetapi sekarang pedangnya sama sekali tidak mampu menembus pertahanan tongkat pemuda itu!
la semakin penasaran dan bersemangat. Thian Lee menjadi serba salah. Dia meloncat ke sana sini dan menangkis. Gadis ini keras hati dan angkuh, pikirnya. Sebelum dapat mengalahkannya tentu tidak mau sudah. Apalagi dia tadi telah membuat Song Ek terpukul kepalanya dan agaknya hal ini membuat Hwe Li marah sekali. Dia harus dapat memuaskan hati gadis ini kalau hendak menyudahl pertandingan itu.
Ketika pedang itu menusuk dada, sengaja Thian Lee memperlambat elakannya dan pedang itu masuk ke bawah ketiaknya dan dijepit dengan lengan kirinya membiarkan kulit lengan kirinya terluka pedang.
"Aduhh....!" Teriaknya dan dia terhuyung ke belakang.
Hwe Li terkejut sekali. Demikian cepat gerakan Thian Lee sehinga la mengira bahwa pedangnya benar-benar menembus dada pemuda itu. "Twako....! Kau... kau tidak apa-apa....?" Hwe Li meloncat mendekat.
"Tidak mengapa, Li-moi, hanya terluka sedikit pada lenganku," kata Thian Lee, mennperlihatkan sebelah dalam lengan kirinya yang terluka berdarah.
Legalah hati Hwe Li, dan hati Thian Lee juga terhibur. Bagaimanapun juga, Hwe Li bukan seorang gadis kejam yang suka membunuh. Dan pada saat itu muncullah Souw Can. Melihat tangan Thian Lee berdarah, dia terkejut, apalagi melihat kepala Siong Ek juga benjol.
"Eh, apa yang telah terjadi di sini? Siong Ek, mengapa kepalamu? Dan Thian Lee, kenapa pula lenganmu itu?"
Siong Ek tidak dapat menjawab dan Hwe Li juga takut kalau ayahnya marah. Thian Lee yang cepat menjawab, "Ah, tidak apa-apa, Supek. Tadi saya mengajak Lai-kongcu untuk latihan. Dia menggunakan pedang dan aku menggunakan tongkat. Sungguh, tidak ada apa-apa."
"Benar, Ayah. Mereka tadi berlatih."
"Hemm, dan Siong Ek terpukul kepalanya dan Thian Lee terluka lengannya?"
"Be... benar, Ayah," kata Hwe Li sambil melirik ke arah Thian Lee.
"Supek, Lai-kongcu melukai lenganku tanpa sengaja dan karena menyesal, dia mengalah dan membiarkan kepalanya sedikit terpukul tongkatku. Akan tetapi tentu saja aku kalah jauh. Kalau dia menghendaki, tentu bukan lenganku yang luka, akan tetapi pedang itu akan menembus dadaku."
"Sudahlah, mulai sekarang kalian tidak boleh bertanding lagi. Mengerti?"
"Mengerti, Suhu. Maafkan teecu," kata Siong Ek yang merasa terpukul hatinya.
Bagaimanapun juga, tadi dia telah dikalahkan oleh Thian Lee! Tentu saja dia merasa penasaran bukan main. Setelah Souw Can pergi, Siong Ek sempat berkata kepada Thian Lee, "Mungkin dalam hal ilmu tongkat aku kurang latihan, akan tetapi lain kali aku masih ingin mengujimu dengan ilmu pedang!"
"Sudahlah, Suheng. Kalau Ayah mendengarnya tentu akan marah sekali kepada kita. Twako, jangan engkau mengatakan apa yang terjadi tadi kepada Ayah. Awas kau kalau menceritakan. Mari, Suheng, kuambilkan obat untuk kepalamu."
Dua orang itu lalu pergi meninggalkan Thian Lee dan pemuda ini termenung. Hatinya merasa tidak enak sekali. Kalau begini sikap Siong Ek dan Hwe Li, dia tidak mungkin dapat tinggal terus di situ. Akan terjadi hal-hal yang tidak enak. Dia harus pergi dari situ, mencari suasana baru.
Dia harus mencari alasan yang tepat untuk berpamit dari supeknya. Supeknya terlalu memanjakan Hwe Li dan gadis itu agaknya saling mencinta dengan suhengnya. Dia tidak ingin membuat mereka terus penasaran kepadanya.
Malam itu juga dia menghadap supeknya dan menyatakan keinginannya untuk pergi merantau. Souw Can terkejut mendengar ini. "Apa? Engkau hendak pergi ke mana, Thian Lee?"
"Ke mana saja, Supek. Saya hendak mencari pengalaman hidup yang baru, saya ingin pergi ke... ke kota raja atau ke mana saja."
"Tidak mungkin. Engkau harus mengatakan yang sebenarnya kepadaku. Apa alasanmu hendak pergi meninggalkan kami? Apakah barangkali Lai Siong Ek sudah bersikap tidak pantas kepadamu? Ataukah puteriku yang mengganggumu?"
"Tidak, tidak, Supek. Sebetulnya... ah, terus terang saja setelah terjadi peristiwa pertempuran itu, hati saya merasa tidak enak selalu. Coat-beng-kwi dan suhengnya itu tentu merasa dendam dan marah kepada saya dan tentu mereka akan datang lagi mencari saya. Saya... saya merasa takut tinggal di sini. Ijinkanlah saya pergi."
Souw Can mengerutkan alisnya. Takut? Tadinya begitu berani menentang bahaya, melawan musuh-musuh yang tangguh dan sekarang mengatakan takut? "Kenapa takut? Di sinl ada aku yang akan melindungimu."
"Saya tidak ingin karena saya maka Supek bermusuhan dengan orang-orang kang-ouw. Biarkan saya pergi saja, saya ingin mengunjungi makam Ibu. Sejak Ibu meninggal dunia, saya belum pernah berkunjung ke makamnya. Ijinkanlah saya pergi, Supek."
Karena pemuda itu minta dengan sangat Souw Can tidak dapat menahan lagi. Dla menghela napas panjang. "Sayang engkau hendak pergi, Thian Lee. Sebetulnya aku berniat untuk menurunkan ilmu-ilmuku kepadamu. Agaknya engkau berbakat baik sekali. Ah, kalau engkau ingin merantau, mengapa engkau tidak mengunjungi adikku? Dia tentu akan dapat menjadi guru yang amat baik untukmu."
"Siapa adik Supek?"
"Adikku bernama Souw Tek Bun. Dia bukan murid Kun-lun-pai seperti aku, akan tetapi dia telah merantau sejak kecil dan mempelajari banyak macam ilmu silat sehingga kini kepandaiannya jauh di atas tingkatku. Dan dia seorang yang memiliki kedudukan tinggi. Thian Lee. Dialah yang terpilih menjadi bengcu, pimpinan dunia kang-ouw yang dipilih sendiri oleh Kaisar.
Dia banyak berjasa untuk Kaisar dan dihormati semua orang kang-ouw. Pergilah engkau kepadanya, Thian Lee. Dia tinggai di puncak Hong-san. Kalau engkau mengatakan bahwa engkau murid keponakanku dan aku yang menyuruhmu datang padanya, tentu dia akan menerimamu dengan baik."
"Terima kasih, Supek. Akan saya perhatikan pesan dan nasihat Supek."
Ketika hendak kembali ke kamarnya. Thian Lee teringat akan kuda-kuda yang selama ini dipeliharanya, maka dia pun lalu keluar menuju ke belakang, ke istal kuda. Tiba-tiba ia berhadapan dengan Hwe Li yang baru masuk dari taman.
"Li-moi, kebetulan sekali kita bertemu di sini."
"Hemm, engkau mau apa?" tanya gadis itu sambil memandang tajam. "Aku hendak berpamit kepadamu Siauw-moi."
Gadis itu membelalakkan matanya. "Berpamit? Engkau hendak pergi ke manakah, Twako?"
"Besok pagi-pagi aku akan meninggalkan tempat ini, Li-moi."
"Ehh?" Gadis itu berseru heran. "Engkau hendak pergi ke manakah? Apakah Ayah telah mengetahui hal ini?"
"Aku sudah berpamit kepada Supek dan dia menyetujui, aku akan pergi merantau."
"Akan tetapi mengapa engkau hendak pergi? Twako, kalau ada kesalahanku selama ini terhadapmu, kau lupakan sajalah. Apakah karena itu engkau pergi?"
"Bukan, Li-moi."
"Ah, aku mengerti sekarang. Tentu karena peristiwa kedatangan musuh-musuh itu."
"Li-moi, aku telah membuat keributan. Aku tidak ingin Coat-beng-kwi dan suhengnya datang lagi mencariku. Aku harus pergi dari sini!"
"Eh-eh, engkau takut? Ada aku di sini, Twako, jangan takut. Dan ada pula Ayah."
"Bukan takut, Li-moi. Hanya aku tidak ingin karena untuk melindungi aku, ayahmu dan engkau akan bermusuhan dengan orang-orang kang-ouw. Aku akan pergi mengunjungi makam ibuku, aku akan mencari pengalaman di kota raja atau mana saja."
"Ah, aku menyesal sekali."
"Kenapa menyesal, adik yang baik? Bukankah engkau biasanya tidak suka kepadaku?"
"Ihh, kenapa engkau berkata begitu, Twako? Bukankah aku telah melatihmu ilmu silat dengan sungguh-sungguh? Aku sama sekali bukan tidak suka kepadannru. Dan... eh, bagaimana dengan luka di lenganmu itu? Sudah sembuhkah?" Gadis itu memandang ke arah lengan Thian Lee yang pernah terluka oleh pedangnya tempo hari.
"Ah, hanya luka lecet, Li-moi. Sekarang sudah sembuh dan kering."
"Sekali lagi, Twako, engkau bukan pergi karena... marah kepadaku, bukan?"
"Sama sekali tidak. Selama ini engkau baik sekali kepadaku, Li-moi. Aku berterima kasih sekali kepadamu dan ingin mengucapkan selamat tlnggal."
"Kalau begitu, selamat jalan, Twako. Dan kalau engkau sudah bosan merantau, kembalilah ke sini. Ayah tentu akan menerimamu dengan senang. Aku tahu bahwa Ayah amat sayang kepadamu."
Terharu juga hati Thian Lee diingatkan begitu. Dia pun tahu bahwa supeknya sayang kepadanya dan mungkin karena kesayangannya itu, gadis ini merasa iri dan biasanya bersikap tidak manis kepadanya? "Terima kasih, Li-moi."
Hwe Li lalu melanjutkan langkahnya memasuki rumah dan Thian Lee pergi ke istal kuda. Sampai lama dia berada di istal kuda mengelus setiap kuda yang biasa dia rawat dan beri makan. Kemudian dia kembali ke kamarnya untuk mengambil keputusan bulat. Dia akan pergi bersembahyang ke makam ibunya, setelah itu, dia akan merantau dan bekerja.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Thian Lee sudah mandi lalu berkemas. Dia telah diberi beberapa stel pakaian oleh supeknya dan semua pakaian itu dia bungkus dengan sehelai kain lebar. Dia tidak lupa untuk mengambil pedangnya dari bawah atap lalu menyembunyikan pedang itu di dalam buntalan pakaiannya.
Dengan mengikatkan buntalan itu ke punggungnya, dia lalu mencari supeknya di ruangan dalam. Dan supeknya yang agaknya sudah tahu bahwa dia akan berangkat pagi-pagi ternyata juga sudah bangun dan menantinya di situ.
"Ah, engkau sudah hendak berangkat, Thian Lee."
"Benar, Supek. Saya hendak berangkat pagi-pagi, menuju ke dusun Nam-kiang-jung untuk menyembahyangi makam ibu saya."
"Thian Lee, aku tidak dapat menahan keinginanmu merantau dan aku tidak dapat memberi apa-apa kecuali ini. Bawalah ini untuk bekal perjalananmu dan sebelum bekal ini habis, engkau bekerjalah, atau kalau tidak mendapatkan pekerjaan, engkau kembalilah ke sini."
Pangcu itu menyerahkan sekantung uang perak kepada Thian Lee. Pemuda itu merasa terharu sekali dan dia menjatuhkan dirinya berlutut dl depan Souw Can. "Supek telah bersikap baik sekali kepada saya. Saya tidak akan melupakan budi kebaikan Supek ini," katanya sambil memberi hormat.
Souw Can mengangkat bangun. "Aih, sudahlah. Apa yang kulakukan kepadamu belum cukup untuk membalas budi mendiang ayahmu kepadaku."
Setelah menerima sekantung uang perak dan menyimpannya dalam buntalannya, Thian Lee memberi hormat lagi lalu berpamit dan meninggalkan supeknya. Hari masih terlalu pagi dan agaknya anggauta keluarga lainnya belum bangun. Thian Lee lalu keluar dari rumah itu dan di pekarangan yang masih sepi itu tiba-tiba dia mendengar suara panggilan lirih.
Dia menoleh dan melihat Lui Ceng yang memanggilnya. Sepasang mata gadis itu merah seperti bekas menangis. "Ah, engkau Ceng-moi? Sepagi ini engkau sudah di sini?"
"Setiap hari aku bangun pagi, Lee-ko. Aku... aku sudah mendengar bahwa engkau hendak pergi. Engkau... hendak pergi ke manakah, Lee-ko?"
"Aku hendak pergi merantau, Ceng-moi."
"Akan tetapi kenapakah, Lee-ko? Sudah baik engkau berada di sini, kenapa hendak pergi? Kenapa, Lee-ko?"
Thian Lee merasa heran sekali mendengar suara yang menggetar itu, seperti suara orang menahan tangis! "Aku hendak merantau mencari pengalaman hidup Ceng-moi. Aku... aku merasa tidak enak karena membikin ribut di sini dan menanamkan bibit permusuhan dengan orang-orang kangouw. Aku tidak ingin melibatkan Supek dengan permusuhan itu."
"Ah, akan tetapi itu bukan salahmu! Tidak ada yang berhak menyalahkanmu dalam peristiwa itu!" kata Ceng Ceng dengan suara mengandung penasaran.
"Bukan hanya itu, Ceng-moi. Memang aku ingin merantau, ingin menengok makam ibuku, ingin meluaskan pengalaman hidupku. Aku tidak bisa ikut Supek terus, menjadi keenakan dan tidak akan merasakan bagaimana sukarnya hidup bekerja sendiri."
"Ah, Lee-ko, aku... aku iri kepadamu," dan gadis itu tidak dapat menahan mengalirnya air matanya. "Aku pun sepertimu, aku yatim piatu... aku menggantungkan hidupku pada Paman... ah, kalau saja aku bisa seperti engkau, merantau dan hidup sendiri!"
"Mana mungkin, Ceng-moi? Engkau seorang gadis, dan pamanmu begitu baik kepadamu, juga Li-moi sudah menganggap, engkau seperti saudara sendiri."
"Aku tahu bahwa Adik Hwe Li tidak bersikap baik kepadamu, bahkan ia sering mengejek dan menghinamu. Juga Suheng Siong Ek bersikap tidak baik dan sombong kepadamu. Apakah hal itu yang membuatmu pergi dari sini, Lee-ko?"
"Ah, tidak sama sekali, Ceng-moi. Juga Li-moi tidaklah sejahat yang ia perlihatkan. Aku memang ingin merantau terbang bebas ke udara seperti burung bangau...."
"Aku... aku akan merasa kehilangan, aku akan merasa kesepian, Lee-ko!" Dan kini Ceng Ceng menangis!
Thian Lee terbelalak bengong. "Tapi, kenapa, Ceng-moi?"
"Entahlah, Lee-ko. Selama ini... di dalam hati aku merasa dekat sekali denganmu. Aku memandang engkau sebagai seorang yang senasib, ikut mondok di rumah Paman. Kalau melihat engkau, setidaknya hatiku terhibur karena ada kawan senasib. Akan tetapi mendadak engkau akan pergi Ah, aku rnerasa bersedih sekali, Lee-ko!"
Thian Lee merasa kasihan sekali. "Sudahlah, ceng-moi, tenangkan hatimu. Engkau seorang anak yang baik sekali, pamanmu dan saudara misanmu amat mencintamu. Engkau akan hidup bahagia di sini."
"Akan tetapi kalau aku teringat akan sikap Suheng kepadaku, rasanya aku tidak betah lagi tinggal di sini, Lee-ko. Kalau saja aku dapat ikut bersamamu pergi merantau!"
"Husss, jangan bicara demikian. Tidak boleh sama sekali, Ceng-moi. Sedang aku mengurus diriku sendiri saja belum mampu, bagaimana engkau akan ikut? Juga pamanmu tentu akan melarang keras dan aku sendiri pun tidak berani. Tentu orang lain akan menyangka yang bukan-bukan. Sudahlah, tabahkan hatimu, Ceng-moi. Percayalah, nasibmu akan baik kelak karena engkau seorang anak yang baik. Selamat tinggal, Ceng-moi."
"Lee-ko, engkau... engkau tidak akan lupa kepadaku, bukan?" tanya gadis itu memelas.
Thian Lee tersenyum. "Bagaimana mungkin aku dapat melupakan seorang gadis seperti engkau, Ceng-moi. Engkau cantik ielita, engkau baik hati dan engkau pandai. Sudahlah, aku pergi, Ceng-moi."
"Selamat jalan, Lee-ko. Semoga Thian akan menunjukkan jalan bagimu dan akan selalu membimbingmu."
"Terima kasih. Doamu itu amat berharga bagiku." Thian Lee lalu berangkat, melangkah diikuti pandang mata yang berlinang air.
Setelah rneninggalkan Pao-ting, Thian Lee langsung saja menuju ke dusun Nam-kiang-jung, sebuah dusun di sebelah se-latan sungai yang dulu menjadi tempat tinggal ibunya. Perjalanan jauh itu ditempuhnya dengan selamat dan lancar karena dia dibekali uang yang ckup oleh pamannya.
Juga penampilannya yang sederhana tidak menarik perhatian orang jahat sehingga dalam perjalanan tidak ada orang mau mengganggunya. Siapa yang akan mengganggu seorang pemuda berpakaian sederhana membawa buntalan dan kain kasar yang agaknya tidak ada isinya yang berharga itu?
Jantung Thian Lee berdebar tegang ketika dia akhirnya memasuki dusun Nam-kiang-jung dan terbayanglah semua yane terjadi di dusun itu dalam benaknya. Ketika untuk pertama kali ibunya dan dia datang ke dusun itu, membeli tanah dan mendirikan rumah, berolah tani.
Kemudian kemunculan lurah yang biadab itu, yang mengakibatkan tewasnya ibunya. Dia sengaja berjalan-jalan di dusun itu, melewati bekas rumah ibunya yang kini agaknya ditinggali orang lain.
Juga dia melewati rumah lurah yang kini telah mengalami perubahan, rumahnya kini nampak besar dan keadaannya lebih indah. Memang dusun itu pada umumnya mengalami perubahan, walaupim ada beberapa rumah yang masih seperti sepuluh tahun yang lalu...