Gelang Kemala Jilid 12

Cerita Silat Mandarin Serial Gelang Kemala Jilid 12 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Gelang Kemala Jilid 12

Akan tetapi ia tidak takut, ia lalu memutar tongkatnya dan menyerang ke kiri. Dua orang di sebelah kirinya cepat menggerakkan pedang mereka dan ternyata mereka ini bukanlah pengawal-pengawal biasa, melainkan orang-orang kang-ouw yang memiliki ilmu silat yang cukup tangguh.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Akan tetapi kedua orang itu berteriak kaget dan mereka terhuyung ke belakang ketika pedang mereka bertemu dengan tongkat di tangan Cin Lan. Yang lain segera mengeroyok dan segera terjadi pertempuran yang seru. Cin Lan mengamuk bagaikan seekor singa betina.

Tongkatnya bergerak menyambar-nyambar bagaikan seekor naga dan sudah tiga orang sudah roboh disambar tongkatnya. Akan tetapi yang lain maju mengeroyok sehingga Cin Lan yang dikeroyok banyak orang pandai merasa kewalahan juga. Sementara itu, ia melihat bahwa paman tuanya telah mengundurkan diri entah ke mana.

Dan selagi ia mengamuk, kakek tua renta itu bangkit berdiri. Kakek itu menarik keluar sehelai sabuk rantai yang tadi dipakai di pinggangnya dan begitu kakek itu menyerang, Cin Lan terkejut sekali. Kakek itu ternyata memiliki tenaga dahsyat dan serangannya amat cepat. Sabuk itu menyambar ke arahnya dan ketika tongkatnya dipakai menangkis, rantai itu melibat tongkatnya!

Cin Lan menggetarkan tongkatnya sehingga libatan itu lepas, dan kakek itulah yang kaget. Tidak sembarang orang mampu melepaskan tongkat dari libatan rantainya. Tahulah dia bahwa gadis itu memang hebat sekali kepandaiannya. Akan tetapi dia mendapat pesan dari Pangeran Tua agar dapat menangkap gadis itu hidup-hidup.

Maka dia pun ikut membantu pengeroyokan itu tanpa malu-malu lagi. Padahal, kepandaian Liok-te Lo-mo amat hebat dan dia termasuk serangan datuk besar. Sepatutnya dia malu harus menghadapi seorang gadis dengan keroyokan. Akan tetapi, biarpun dia akan mampu mengatasi gadis itu, kalau disuruh menangkap hidup-hidup, akan sukar sekali karena ilmu tongkat gacis itu amat dahsyatnya.

Karena dikeroyak ramai-ramai, Cin Lan menjadi terdesak hebat dan ia tidak pula dapat meiarikan diri. Terutama sekali permainan rantai Llok-te Lo-mo menutup semua jalan keluar untuk melarikan diri sehingga terpaksa Cin Lan melawan mati-matian.

"Kalian tidak tahu malu! Hanya berani melakukan pengeroyokan!" la berteriak memaki, akan tetapi para pengeroyoknya tidak mempedulikannya dan pada suatu kesempatan yang baik, ujung rantai di tangan Liok-te Lo-mo telah menotok siku kanannya sehingga tongkatnya terlepas dan tahu-tahu rantai itu telah melibat tubuhnya. la segera ditelikung dan dibelenggu.

Karena Liok-te Lo-mo sebelumnya sudah mendapat perintah dari Pangeran Tua. Maka tanpa banyak cakap lagi Cin Lan lalu dimasukkan ke dalam kamar tahanan. Cin Lan didorong masuk ke dalam kamar tahanan yang cukup bersih.

Akan tetapi kedua tangannya dibelenggu dan biarpun ia sudah mencoba untuk melepaskan kedua tangannya, usahanya sia-sia belaka karena yang dipakai membelenggu adalah tali dari kulit yang amat kuat.

la pun duduk bersila di atas lantai yang ditilan rumput kering dan berusaha untuk menenangkan dirinya. Heran sekali. Kenapa paman tuanya berusaha keras untuk menangkapnya? Padahal menurut ayahnya, paman tuanya ini yang melamarnya untuk putera Pangeran Bian Kun. Apa maunya paman tuanya ini? Sama sekali tidak terpikirkan olehnya bahwa paman tuanya akan memusuhi ayahnya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi Sekali ia mendengar suara orang mendatangi tempat tahanannya. Ketika mereka memasuki kamar tahanan, baru ia tahu bahwa mereka itu adalah Bian Hok dan Pangeran Tang Gi Lok.

"Akan tetapi ia adalah puteri pemberontak dan malam ini ia menyusup ke sini seperti pencuri'." ia mendengar paman tuanya berkata dengan nada penasaran.

Bian Hok berkata, "Paman Pangeran, biarlah Ayah dan saya yang memintakan ampun untuknya. Paman tentu tahu bahwa ia adalah calon isteri saya, bagaimana mungkin dijadikan tahanan. Saya mohon dengan hormat dan sangat, agar supaya saya diperbolehkan membebaskannya dan membawanya pulang."

Pangeran Tang Gi Lok menghela napas panjang. "Mengingat betapa aku sendiri yang meminangnya untukmu, Bian Hok. Dan ternyata ia bersembahyang di makam seorang pemberontak, la puteri pemberontak!'

"Paman, biar saya, yang menanggung."

"Sudahlah, kalau begitu kehendakmu, bawalah. Akan tetapi awas engkau, Cim Lan. Kalau engkau ulangi perbuatanmu ini, akan kuadukan ayahmu kepada Sri Baginda Kaisar bahwa dia melindungi puteri pemberontak!"

Sebenarnya Cin Lan ingin membantah, akan tetapi melihat keadaannya, ia diam saja. Bahkan di waktu Bian Hok melepaskan ikatan tangannya, ia merasa tidak senang sekali. Akan tetapi ia pun tidak dapat menolak ketika belenggunya dilepas.

"Marilah, lan-moi. Mari kuantar engkau pulang," kata Bian Hok setelah belenggu itu lepas.

Akan tetapi Cin Lan berkata dengan nada ketus, "Aku tidak minta kau tolong! Aku tetap tidak mau menjadi jodohmu!" setelah berkata demikian, ia pun lari keluar dari kamar tahanan itu terus keluar dari rumah Pangeran Tang Gi Lok.

"Lan-moi....!" Bian Hok berseru akan tetapi Cin Lan tidak mempedulikannya lagi dan terus berlari menuju pulang.


Thian Lee banyak mendengar tentang peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di kota raja. Bahkan dia mendertgar tentang sepak terjang puteri Pangeran Tang Gi Su yang kabarnya amat lihai dan berani menentang Pangeran Tua. Juga dia mendengar bahwa gerak-gerik Pangeran Tang Gi Lok yang terkenal dengan sebutan Pangeran Tua itu aneh, mengum-pulkan orang-orang kang-ouw.

Bahkan kabarnya para datuk sesat dikumpulkan di rumahnya termasuk Liok-te Lo-mo. Mendengar hal ini tentu Thian Lee menjadi terkejut dan juga heran. Dia tahu benar bahwa bekas gurunya itu, Liok-te Lo-mo, adalah seorang datuk sesat yang amat lihai. Dan sekarang agaknya Liok-te Lo-mo itu hendak diperalat oleh Pangeran Tua. Apa maunya Pangeran Tua?

Dia amat tertarik dan ingin sekali dia menyelidikinya dan juga kalau mungkin bertemu dengan bekas gurunya Itu. Bagaimanapun juga, dia pernah ditolong oleh Liok-te Lo-mo.

Ketika dia masih kecll dan melarikan diri dikejar para tukang pukul lurah dusun Bouw kemudian dipukuli hampir dibunuh, muncullah Liok-te Lo-mo yang menolongnya kemudian mengambilnya sebagai murid. Biarpun datuk sesat, namun Liok-te Lo-mo pernah menyelamatkan nyawanya.

Malam itu Thian Lee berniat untuk melakukan penyelidikan dan kalau perlu dia ingin menjumpai Liok-te Lo-mo yang kabarnya di rumah Pangeran Tang Gi Lok. Seperti biasa, agar tidak dikenal orang, dia mengenakan pakaian hitam dan juga mukanya ditutupi saputangan hitam. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, dengan mudah saja dia melompati pagar tembok bagian belakang gedung.

Biarpun banyak penjaga berkeliaran, namun dia dapat melompat tanpa diketahui seorang pun. Akan tetapi ketika dia sedang menyelinap di balik semak-semak di kebun belakang, dia melihat bayangan lain berkelebat. Gerakan orang itu pun cepat sekali ketika melompati pagar tembok sehingga Thian Lee menjadi tertarik sekali dan diam-diam dia mengikuti gerakan orang itu yang menyelinap di antara pohon-pohon menuju, ke bangunan besar.

Ketika orang itu berada di bawah lampu gantung, Thian Lee semakin tertarik karena orang itu pun memakai kedok hitam seperti dia dan dia dapat menduga bahwa orang itu adalah seorang wanlta, melihat dari bentuk tubuhnya yang kecil ramping. Dan wanita itu memegang sebatang tongkat sebagai senjata.

Akan tetapi dia melihat bahwa wanita itu masih kurang pengalaman dan sama sekali tidak berhati-hati. Di mana ada orang masuk sebagai seorang pencuri itu berhenti di bawah lampu gantung? Sungguh kurang pengalaman. Dan tiba-tiba apa yang dikhawatirkannya terjadi.

Terdengar teriakan dan ada penjaga yang melihat wanita itu segera berterlak, "Tangkap penjahat!"

Dan dari segala jurusan datang penjaga berlari-lari membawa senjata pedang atau golok dan tombak. Sebentar saja wanita itu sudah dikepung oleh dua puluh orang lebih penjaga yang bertugas di tempat itu. Akan tetapi wanlta itu agaknya sama sekali tldak takut!

"Kalian semua mundur! Panggil saja kakek tua renta yang bersenjata rantai dan suruh dia bertanding dengan aku sampai seribu jurus! Hendak kulihat sampai di mana ilmunya, jangan main keroyokan seperti anjing-anjing srigala!"

Akan tetapi mana para penjaga mau menurut perintahnya? Bahkan di antara mereka ada yang berteriak, "Ini adalah nona yang tempo hari datang dan telah ditangkap!" Dan mereka pun mengepung sambil berteriak-teriak.

Mendengar ini, orang bertopeng itu lalu membuka topengnya dan memang ia adalah Cin Lan! "Aku datang untuk menantang kakek berantai untuk bertanding satu lawan sa-tu, bukan keroyokan!" kembali ia membentak.

"Tangkap penjahat!" bentak seorang penjaga dan semua penjaga sudah mulai menggerakkan senjatanya mengeroyok Cin Lan. Cin Lan menggerakkan tongkatnya dan memang gerakan gadis ini hebat sekali. Tiga orang pengeroyok roboh dihantam tongkat yang gerakannya amat hebat itu.

Diam-diam Thian Lee kagum akan tetapi juga kaget karena setelah topeng itu dibuka, dia mengenal gadis itu. Gadis murid setia yang mencarikan obat untuk gurunya itu. Gadis yang dilihatnya keracunan dan kemudian dibayanginya pergi ke Kuil Kwan-im-bio di luar kota.

Sudah lama dia sering kali terkenang kepada gadis itu akan tetapi tidak pernah dia dapat bertemu lagidengannya. Dan kini tahu-tahu gadis itu telah berada di tempat ini dan menghadapl pengeroyokan.

Memang sepak terjang Cin Lan hebat bukan main. Biarpun dikeroyok dua puluh orang, sama sekali ia tidak menjadi gen-tar dan bahkan ia mengamuk hebat. Kembali empat orang sudah roboh oleh sambaran tongkatnya dan Thian Lee girang mellhat betapa setiap kali tongkat itu mengenai tubuh lawan, gadis itu mengurangi tenaganya sehingga tidak ada orang yang tewas terkena tongkatnya.

Bukan seorang gadis yang ganas dan kejam, pikirnya. Karena dia melihat bahwa gadis itu dapat menguasai keadaan, sama sekali tidak terdesak bahkan mulai membuat para pengeroyoknya nampak jerih setelah sepuluh orang pengeroyok roboh, dia pun hanya rnenjadi penonton. Dan dia mulai berpikir. Inikah yang disebut-sebut orang sebagai puteri pangeran yang amat lihai itu?

Kalau begitu gadis yang menarik hatinya itu, murid yang berbakti dan setia kepada gurunya, adalah puteri seorang pangeran? Agaknya tidak mungkin. Mana ada puteri pangeran demikian setia kepada gurunya, mencarikan obat sampai jauh dan menempuh bahaya seorang diri?

Mendadak para pengeroyok itu mundur dan muncullah dua orang kakek di tempat itu. Jantung di dada Thian Lee berdebar ketika dia mengenal seorang dari mereka. Liok-te Lo-mo, bekas gurunya yang sekarang kelihatan sudah amat tua.

Orang ke dua tidak dikenalnya, akan tetapi orang itu kelihatan menyeramkan. Usianya sudah enam puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, pakaiannya seperti seorang pejabat tinggi dan kepalanya botak. Di pinggangnya nampak tergantung pedang yang indah, pedang seorang pejabat tinggi hadiah Kaisar!

Dia tidak tahu bahwa orang itu adalah Pak-thian-ong Dorhai, seorang di antara datuk-datuk besar yang kini telah menjadi seorang penasihat Kaisar. Kebetulan pada malam hari itu Dorhai menjadi tamu dari Pangeran Tua maka dia dapat muncul bersama Liok-te Lo-mo ketika mendengar bahwa gadis Puteri Pangeran itu kembali datang mengacau.

Memang Cin Lan sengaja datang Ke tempat itu karena ia merasa penasaran. Kedatangannya untuk menantang berkelahi kakek yang pernah mengalahkannya dengan pengeroyokan. Kini ia hendak menantangnya berkelahi satu lawan satu. Ketika melihat para pengeroyoknya mundur dan melihat munculnya Liok Te Lo-mo. Cin Lan segera menghadapinya dan menudingkan tongkatnya ke arah muka Liok Te Lo mo.

”Kakek tua, tempo hari engkau secara curang menangkapku dengan mempergunakan pengeroyokan. Sekarang aku menantangmu untuk bertanding satu lawan satu tanpa pengeroyokan. Hayo majulah!”

Ditantang seperti itu, Liok-te Lo-mo tertawa, "Ha-ha-ha, engkau nona cilik sungguh bernyali besar. Tempo hari engkau sudah ditawan dan hanya karena pertolongan Bian-kongcu saja engkau di-bebaskan, sekarang masih berani datang lagi membuat gaduh. Engkau mengajak aku bermain-main? Baiklah, kalau tidak kulayani engkau tidak akan tahu sampai di mana kelihaian Liok-te Lo-mo."

Baru sekarang Cin Lan mendengar nama julukan kakek itu dan diam-diam ia pun terkejut. Gurunya pernah menyebut-kan beberapa nama para. datuk dan satu di antara para datuk persilatan adalah Liok-te Lo-mo. Maka, ia pun tidak berani memandang rendah dan la segera menggerakkan tongkatnya.

"Lihat seranganku!" la menyerang dengan tongkatnya dan langsung saja ia nnainkan Hok-motung.

"Bagus!" Liok-te Lo-mo melolos sabuk rantainya dan memutar senjata itu untuk menangkis.

"Trangg... trakkk....!" Liok-te Lomo terkejut juga. Tak disangkanya bahwa gadis itu benar-benar tangguh. Selain hebat iimu tongkatnya, juga memiliki tenaga sin-kang yang kuat sekali sehingga dia sendiri merasakan jari-jari tangannya tergetar hebat.

Dia lalu meloncat ke kiri dan rantainya menyambar ganas dari samping menyerang ke arah pinggang Cin Lan. Namun, gadis ini menangkis dengan tong-katnya. Ketika ujung rantai membelit tongkatnya, ia mengirim tendangan kilat ke arah tangan yang memegang rantai sehingga terpaksa kakek itu menarik kembali rantainya dan melepaskan libatan.

Thian Lee memandang kagum. Bekas gurunya itu adalah seorang datuk yang sudah memiliki llmu silat yang amat tangguh. Akan tetapi gadis itu mampu mengimbanginya!

Kini Cin Lan mengamuk. Tongkatnya menyambar-nyambar mendatangkan angin dan mengeluarkan suara berciutan. Liok-te Lo-mo terpaksa juga mengerahkan tenaga dan mengeluarkan semua ilmunya. Dia sama sekali tidak berani memandang rendah dan bahkan dia menyerang dengan sungguh-sungguh.

Bagaimanapun juga, Cin Lan kalah pengalaman dan kalah matang ilmunya. Ilmu tongkat Hok-mo-tung adalah ilmu silat yang tinggi dan sulit. Biarpun ia telah menguasal Hok-mo-tung dengan baik, akan tetapi ia jarang sekali menggunakannya dalam pertandingan yang sungguh-sungguh sehingga gerakannya kurang matang.

Apalagi di dalam hatinya, Cin Lan adalah seorang yang tidak kejam. la tidak ingin membunuh lawannya, maka setiap kali tongkatnya memukul, selalu la mengurangi tenaganya. Seluruh tenaganya hanya dipergunakan apabila ia menangkis.

"Ho-ho, bukankah ini Hok-mo-tung? Nona, engkau tentu murid Pek I Lokai!" terdengar kakek raksasa yang sejak tadi nonton perkelahian itu berseru, "Liok-te Lo-mo, biarkan aku mencobanya sebentar, main-main dengan murid Pek I Lokai. Sudah lama aku ingin mencoba kehebatan Hok-mo-tung!"

Setelah berkata demikian, Pak-thian-ong Dorhai meloncat menghadapi gadis itu dan sambil tertawa Liok te Lo-mo rneloncat ke belakang membiarkan datuk besar itu melawan Cin Lan.

Cin Lan sudah marah dan penasaran sekali karena tadi ia tidak mampu mengalahkan Llok-te Lo-mo. Kini melihat raksasa itu maju dengan tangan kosong saja, tidak meloloskan sabuk rantainya yang besar maupun pedangnya yang tergantung dl pinggang, ia menyambut lengan serangan tongkatnya.

"Bagus!. Hok-mo-tung cian Pek l Lo-kai memang hebat!" kata Pak-thion-ong sambil menangkis dengan tangannyr yang besar panjang dan sekaligus mencoba untuk menangkap dan merebut tongkat itu.

Akan tetapi Cin Lan menggunakan sin-kangnya untuk menggetarkan tongkat itu. Dia mengerahkan sin-kang yang timbul dari racun ular emas dan raksasa itu merasa betapa telapak tangannya bertemu hawa yang amat panas sehingga dia terkejut sekali.

Ketika dia memaksa hendak menangkap tongkat itu dengan pengerahan sinkang panas untuk rnengimbangi, tiba-tiba saja tongkat itu berubah dingln bukan main. Dia semakin kaget dan melepaskan pegangannya dan saat itu dipergunakan oleh Cin Lan untuk menyerang lagi dengan pukulan tongkat pada kepala raksasa itu.

"Bagus!" Bentak Pak-thian-ong Dorhai dan cepat tubuhnya yang tinggi besar itu sudah mengelak ke belakang.

Namun tongkat yang menghantam itu tiba-tiba meluncur dan menyodok ke arah ulu hati dengan tusukan yang dahsyat sekali. Pak-thian-ong menggerakkan kedua tangannya dari bawah ke atas diputar ke kanan hienangkis. Tongkat terpental oleh tangkisan yang amat kuat itu, akan tetapi ketika Dorhai hendak menangkap tongkat itu, kembali Cin Lan sudah menarik tongkatnya sehingga tidak sampai tertangkap lawan.

Pak-thian-ong Dorhai kini membalas dengan cengkeraman, tangkapan, dan tamparan kedua tangannya yang besar, kadang diseling tendangan kakinya yang panjang dan besar sehingga Cin Lan mulai terdesak! Gadis itu terkejut sekali karena ternyata ilmu kepandaian kakek raksasa ini jauh lebih lihai dibandingkan Liok-te Lo-mo.

Biarpun kakek ini hanya bertangan kosong, jelas ia tidak akan mampu menandinginya. Apalagi kalau kakek itu mencabut senjatanya. Akan teta-pi Cin Lan tidak mengenal takut. la memutar tongkatnya dengan cepat dan melawan terus, mati-matian.

Pada saat itu terdengar suara melengking nyaring panjang, dan mendengar ini Pak-thian-ong Dorhai terkejut bukan main. Dia mengenal lengkingan dahsyat dari tenaga khi-kang yang amat kuat, maka dia melompat ke belakang. Pada saat itu berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu tubuh gadis yang bertongkat itu sudah disambar orang dibawa meloncat seperti terbang cepatnya.

Peristiwa ini terjadi amat cepat dan tidak tersangka-sangka oleh Pak-thian-ong maupun Liok-te Lo-mo sehingga mereka berdua tidak sempat menghalangi dan tahu-tahu bayangan yang melarikan Cin Lan itu sudah menghilang dalam kegelapan malam.

Cin Lan sendiri merasa terkejut bukan main ketika tiba-tiba tubuhnya diterbangkan orang, la berusaha meronta dan melepaskan diri, akan tetapi mendadak saja tubuhnya menjadi lemas tidak dapat digerakkan iagi. Kiranya secara cepat dan aneh sekali orang berpakaian hitam itu telah menotoknya.

Sehingga terpaksa ia membiarkan dirinya dilarikan sangat cepat melompati pagar tembok gedung tempat tinggal Pangeran Tua. Ia terus dibawa lari dan ketika orang itu akhirnya melepaskannya dan sekaligus membebaskan totokannya, ia telah berada di luar gedung ayahnya sendiri.

"Siapa engkau....?" la bertanya, akah tetapi orang berpakaian hitam dan mukanya ditutup saputangan hitam itu telah meloncat pergi dan menghilang! Cin Lan menyadari keadaannya. Ia tahu benar bahwa Si Kedok Hitam tadi telah menyelamatkannya. Kalau orang itu tidak melarikannya, tentu ia sudah menjadi tangkapan kembali di rumah Pangeran Tua.

Lawannya, raksasa tinggi besar itu lihai bukan main dan kalau pertandingan tadi dilanjutkan, agaknya ia akan kalah dan tertawan. Apalagi kalau Llok-te Lo-mo maju mengeroyok, Kini ia menyadari bahwa Pangeran Tua adalah seorang yang memiliki banyak jagoan yang amat lihai dan kedudukannya kuat bukan main.

Tentu saja yang menyelamatkan Cin Lan tadi adalah Thian Lee. Dia sudah menduga bahwa Cin Lan tentulah puteri Pangeran Tang Gi Su. Kini ia teringat bahwa ketika memperkenalkan namanya, Cin Lan dahulu menyebutkan dirinya she Tang. la merasa heran bukan main. Kalau Cin Lan puteri Pangeran Tang Gi Su, kenapa ia memusuhi Pangeran Tua yang bernama Pangeran Tang Gi Lok, saudara sendiri dari ayahnya?

Melihat gadis itu terancam oleh seorang raksasa yang dari gerakannya dia tahu tentu seorang yang berilmu tinggi sekali, maka dia pun lalu menyelamatkan menotok dan membawanya lari dan baru dilepaskan setelah tiba di depan rumah Pangeran Tang Gi Su.

Thian Lee berkelebat pergi akan tetapi dia mengintai dari kegelapan. Dia melihat betapa gadis itu akhirnya melompati pagar tembok gedung milik Pangeran Tang Gi Su maka yakinlah hatinya bahwa Tang Cin Lan adalah puteri Pangeran Tua itu. Dia pun lalu kembali ke rumah makan tanpa ada yang mengetahui. Dia kini tahu bahwa Pangeran Tua yang dikabarkan mempergunakan orang-orang kang-ouw itu ternyata benar.

Bukan saja bekas gurunya, Liok-te Lo-mo yang berada di istana, akan tetapi ada pula seorang raksasa yang lua biasa lihainya, dan yang belum diketahuinya siapa. Akan tetapi dia dapat menduganya siapa. Seorang yang tingkat kepandaiannya melebihi Liok-te Lo-mo, hanya ada beberapa orang jumlahnya dan mereka adalah orang-orang yang disebut Datuk Besar.

Dia pernah mendengar dari guru-nya bahwa seorang di antara para datuk besar adalah yang berjuluk Pak-thian-ong dan bernama Dorhai. Tentu orang tadi yang bernama Dorhai, orang Mancu. Padahal dia sudah mendapat kabar bahwa Pak-thian-ong Dorhai telah menjadi penasihat Kaisar. Akan tetapi mengapa malam itu berada di gedung Pangeran Tua?

Dia seperti mencium keadaan yang tidak beres di rumah Pangeran Tua. Mengumpulkan para datuk kang-ouw dan Pak-thian-ong Dorhai berada di situ pula! Pada keesokan harinya, selagi Thian Lee membersihkan meja dan bangku dalam rumah makan karena hari masih terlalu pagi sehingga belum ada tamu, mendadak terdengar seruan wanita.

"Heh, malas benar kalian. Masa belum buka? Pagi ini aku lapar sekali! Hayo cepat sediakan bubur dan sayur, bak-pauw dan juga air teh wangi. Cepatan sedikit!"

Thian Lee cepat menghampiri gadis yang memesan dengan suaranya yang lantang itu dan setelah mereka berhadapan, Thian Lee bengong terlongong. Dia merasa tidak asing dengan gadis itu, seperti pernah bertemu bahkan pernah mengenalnya, akan tetapi dia lupa lagi di mana dan kapan. Juga gadis itu ketika memandang Thian Lee, ia terbelalak, kemudian ia maju menghampiri.

"Kau pelayan di sini?" tanyanya.

"Benar, Nona," jawab Souw Thian Lee sopan.

"Kalau begitu cepat sediakan pesananku. Air teh wangi hangat, bubur dan sayur, bak-pauw yang panas. Cepat!"

Siapa gadis itu, cara bicaranya, bentuk wajahnya yang bulat terlur, pakaiannya yang berkembang ramal dan cerah, semua itu begitu tidak asing baginya.

"Baik, Nona. Harap tunggu sebentar agar bak-pauw dihangatkan dulu." setelah itu dia masuk ke dapur untuk mempersiapkan pesanan tamu pertama yang demikian lincah, bahkan galak itu.

Gadis Lincah. la ingat sekarang akan tetapi mungkinkah? la pernah bertemu dengan murid Ang-tok Mo-li yang bernama... Bu Lee Cin. Ya benar, tak salah lagi. Gadis itu tentu Bu Lee Cin. Dulu baru berusia dua belas tahun dan sekarang teiah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan dewasa. Akan tetapi ini baru dugaan, bisa saja dia keliru!

Ketika membawakan pesanan gadis itu, Thian Lee memandang dengan penuh perhatlan sambil meletakkan semua. pesanan ke atas meja. Dan anehnya, gadis itu pun memandang padanya dengan penuh perhatian sehingga mau tidak mau, dua pasang mata mereka bertemu dan bertaut sampai lama dan... keduanya hampir serentak berseru,

"Lee Cin....!"

"Thian Lee! Ya, kamu Thian Lee....!" Gadis itu kelihatan gembira bukan main.

Dan demikian pula Thian Lee. Dia gembira sekali bertemu dengan Lee Cin. Beberapa tahun yang lalu gadis ini sudah ramah dan akrab dengannya, bahkan telah menolongnya ketika dia akan diserang harimau dan kemudian membebaskannya dari tali ikatan yang menggantungnya. Bahkan guru gadis ini melindunginya dan bertanding melawan suhunya yang ke dua, yaitu Jeng-ciang-kwi.

"Lee Cin, sungguh tak kusangka akan bertemu denganmu di sini. Dan engkau sudah begini besar... sudah dewasa... dan cantik jelita."

Lee Cin tertawa, tawanya lepas bebas tanpa dikendalikan lagi, "Hi-hi-hik, benarkah aku cantik jelita, Thian Lee? Juga engkau telah menjadi seorang pemuda yang ganteng. Sayang engkau hanya menjadi pelayan rumah makan!"

"Pelayan rumah makan juga pekerjaan yang halal, Lee Cin."

"Ya sudahlah, mari duduk dl sini, kau makan bersamaku sambil mengobrol."

"Ah, mana bisa. Aku hanya pelayan di sini!"

"Eh, siapa yang melarang? Siapa berani melarangmu duduk bersamaku di sini, makan bersamaku sambil mengobrol? Akan kupukul hidungnya sampai berdarah kalau ada yang berani melarangmu. Heh, kau pelayan di sana, ke sinilah kamu!" Lee Cin memanggil seorang pelayan lain yang segera lari mendatangi. "Katakan kepada majikanmu bahwa Thian Lee kuajak makan bersamaku. Kalau majlkanmu merasa dirugikan, nanti berapa kerugiannya kubayar. Kalau dia melarang, akan kupukul hidungnya sampai berdarah. Cepat katakan!"

"Baik, baik, Nona," kata pelayan Itu yang segera lari untuk melapor kepada majikannya.

"Nah, duduklah, Thian Lee. Bagaimana engkau dapat bekerja di sini? Di mana gurumu? Siapa namanya? Oh, ya, Jeng-ciang-kwi. Hebat juga kepandaiannya. Guruku sampai terluka parah. Dan bagaimana dengan gurumu itu? Aku tahu bahwa dia pun keracunan kena gigitan Anghwa-coa."

"Ssttt, Lee Cin. Di sini jangan engkau bicara soal itu," kata Thian Lee berbisik. "Di sini tidak ada yang tahu bahwa aku murid orang pandai, nanti saja di tempat lain kita bicara."

"Wah, engkau menyembunyikan diri, ya? Baiklah, sekarang mari kita makan. Aku senang sekali bertemu dan makan denganmu di sini. Nanti setelah kita makan, kita berjalan-jalan sambil mengobrol. Jangan takut, aku yang akan memintakan kepada majikanmu agar engkau diperbolehkan berjalan-jalan bersamaku. Hayolah, kita makan! Eh, pelayan, minta tambah lagi buburnya, sayurnya dan bak-pauwnya!" Lee Cin berteriak-teriak dan pelayan segera datang untuk memenuhi pesanannya.

Terpaksa Thian Lee ikut makan agar gadis itu tidak berteriak-terlak lagi. Dia memang belum sarapan. Diam-diam dia memperhatikan gadis itu. Selain cantik, gadis ini agaknya masih bengal seperti dahulu, lincah jenaka dan pemberani. Gadis seperti ini sukar diduga akan berbuat apa, maka dia merasa lebih baik kalau segera diajak pergi dari rumah makan itu karena dapat saja membongkar rahasia dirinya!

Sehabis makan, Lee Cin bangkit berdiri. "Eh, pelayan, panggil majikanmu ke sini!"

Pelayan pergi dan tak lama kemudian majikan rumah makan itu datang menghampiri sambil tersenyum-senyumi. "Engkau pemilik rumah makan ini?" Tanya Lee Cin.

"Benar, Nona," jawab pemillk rumah makan.

"Kalau begitu, aku mintakan ijin untuk Thian Lee ini. Dia sahabatku yang sudah lama tidak bertemu dan sekarang aku ingin mengajak ia berjalan-jalan. Biar kubayar engkau kalau merasa rugi."

Pemliik rumah makan itu merasa tidak enak. "Ah, tidak usah Nona. Kalau memang Thian Lee ini sahabatmu dan ingin kau ajak dia jalan-jalan, silakan dan tidak perlu membayar kerugian akan tetapi sesudah berjalan-jalan, engkau cepat kembali ke sini, Thian Lee."

Lee Cin tersenyum dan setelah membayar harga makanan, dengan gaya yang bebas ia lalu menggandeng tangan Thian Lee dan ditariknya, diajak pergi dari situ seperti dua orang kanak-kanak saja. Pemilik rumah makan dan para pelayan memandang dengan heran dan kagum. Mereka mengatakan betapa beruntungnya Thian Lee mempunyai seorang sahabat seperti nona itu.

Setelah tiba di luar rumah makan, Thian Lee melepaskan pegangan tangan Lee Cin dan mereka lalu berjalan menuju ke tempat sepi di pinggiran kota.

"Nah, sekarang ceritakan pengalamanmu semenjak kita berpisah, Thian Lee. Gurumu itu terluka parah digigit Ang-hwa-coa, bukan? Heran, kalau dia tidak mati karena itu."

"Tidak, dia tidak mati. Kami berdua bertemu dengan seorang tabib yang pandai dan tabib itu telah mengobatinya sehingga dia sembuh."

"Ah, ada tabib yang dapat mengobati gigitan Ang-hoa-coa? Tabib seperti itu tidak banyak, mungkin hanya Kim-sun Yok-sian saja yang mampu!"

"Memang dia yang mengobati guruku Jeng-ciang-kwi."

"Ahh, bagaimana begitu kebetulan bertemu Yok-sian? Lalu bagaimana, Thian Lee?"

"Memang sudah berjodoh barangkali. Setelah disembuhkan Yok-sian, Jeng-ciang-kwi malah akan membunuh Yok-sian."

"Wah, iblis keparat laknat!" teriak Lee Cin. "Biarpun guruku juga tidak akan berkedip mata membunuh orang, akan tetapi tidak mungkin ia mau membunuh orang yang telah menolong nyawanya. Kalau aku bertemu dengannya kelak, aku harus bunuh Jeng-ciang-kwi itu! Lalu bagaimana, Thian Lee?"

"Aku membela Yok-sian dan mengancam bahwa rohku dan roh Yok-sian akan terus mengganggunya kalau dia membunuh kami. Agaknya dia ketakutan dan dia tidak jadi membunuh kami, hanya melukai kami saja lalu pergi."

"Memang telur busuk Si Jeng-ciang-kwi itu! Lalu?'

"Yok-sian berhasil menyembuhkan kami berdua dan dia lalu membawaku kepada suhengnya di Himalaya dan aku menjadi murid suhengnya dalam ilmu silat, juga murid Yok-sian dalam ilmu pengobatan."

"Waduh, engkau hebat sekali, Thian Lee!"

"Dan bagaimana denganmu, Lee Cin? Bagaimana gurumu setelah terluka oleh pukulan Jengciang-kwi? Dan selama ini engkau berada di mana saja?"

"Aku? Ah, tidak ada yang menarik dengan pengalamanku," kata Cin Lan dunia ia menyingkap lengan bajunya ke atas sehingga nampak kulit Jengannya yang putih mulus. Akan tetapi Thian Lee tidak memandang lengan yang mungil dan putih mulus itu, yang dipandangnya adalah sebuah gelang yang dipakai gadis itu. Gelang kemala itu. Presis gelang yang dikalungkan di lehernya! Jadi gadis itu tunangannya? Lee Cin? Tiba-tiba dia menangkap lengan gadis itu sehingga Lee Cin menjadi terkejut bukan main.

"Eh, mengapa kau?" tanyanya.

"Lee Cin... gelang kemala mu ini. Suara Thian Lee tergetar dan wajahnya berubah sebentar pucat sebentar merah. "Engkau.. apakah memiliki nama marga Bu?"

"Benar, mengapa?"

"Ahhh.... benar engkau rupanya! Lee Cin, tahukah engkau apa artinya gelang kemala ini untukmu?"

Lee Cin menggeleng kepalanya dan memandang dengan bengong. la lalu mengerutkan alisnya. Apakah Thian Lee tiba-tiba menjadi gila pikirnya. Wajah pemuda itu demikian tegang. "Thian Lee, engkau ini kenapakah? Dan lepaskan lenganku, engkau menyaklti lenganku!"

"Ah, maafkan aku, Lee Cin. Aku begitu terkejut melihat gelang kemala yang kaupakai ini. Lee Cin, tentu ayahmu bernama Bu Cian, bukan?"

"Aku tidak tahu," Lee Cin menggeleng kepalanya. "Ayah ibuku sudah meninggal dunia sejak aku kecil, dan aku tidak tahu siapa namanya. Subo yang memelihara aku sejak kecil."

"Tentu engkau orangnya. Tak salah lagi! Ya Tuhan, tak kusangka akan bertemu juga akhirnya!"

"Eh, eh, nanti dulu Thian Lee, jelaskan dulu apa artinya sikapmu yang aneh ini."

Thian Lee merogoh ke balik bajuhya dan mengeluarkan gelang kemala yang dia beri tali dan dikalungkan di iehernya. "Kau lihat ini!"

Lee Cin memegang kemala itu dan mengamatinya. "Ehh? Serupa benar dengan gelangku! Seperti kembar saja!"

"Memang kembar. Memang gelang ini hanya ada sepasang. Di seluruh dunia, tidak ada lagi gelang kemala yang serupa benar dengan ini!" seru Thian Lee girang. Entah mengapa. Hatinya terasa girang bukan main setelah bertemu calon jodohnya dalam diri Lee Cin, gadis yang baik dan yang dikagumi!

Biarpun tadinya dia condong untuk tidak setuju dengan perjodohan yang ditentukan mendiang ayahnya sejak dia kecil itu, setelah kini mendapat kenyataan bahwa jodohnya itu adalah Lee Cin, sama sekali tidak ada perasaan tidak setuju itu malah dia merasa girang sekali.

"Apa artinya ini, Thian Lee? Mengapa engkau memakai gelang yang persis gelangku? Apa artinya semua ini?"

"Mari kita duduk di sana dan akan kujelaskan semua kepadamu, Lee Cin. Mari, di sana ada batu-batu untuk duduk dan di sana sunyi." Mereka lalu pergi ke batu-batu besar itu dan timbullah kekhawatiran di hati Thian Lee. Bagaimana. kalau Lee Cin menolak perjodohan itu?

Setelah mereka duduk di atas batu. Lee Cin bertanya, "Nah, apakah yang hendak kau jelaskan kepadaku? Aku ingin sekali tahu, Thian Lee."

"Ketahuilah, sepasang gelang ini dahulunya milik ibu kandungku, ketika aku berusia satu tahun, mendiang ayah kandungku menyerahkan sebuah dari sepasang gelang ini kepada seorang sahabat baiknya yang mempunyai seorang anak perempuan yang baru berusia beberapa bulan.

"Ayahku bernama Song Tek Kwi dan sahabatnya itu bernama Bu Cian. Gelang ini diberikan ayahku sebagai ikatan jodoh antara aku dan anak perempuan dari Paman Bu Cian itu. Kemudian terjadi sesuatu yang hebat. Baik Paman Bu Cian maupun ayahku telah dianggap pemberontak karena melawan seorang pangeran dan mereka dikeroyok pasukan sehingga tewas.

"Sebelum ibuku meninggal dunia, ibuku memberikan gelang ini kepadaku dan mengatakan bahwa aku telah ditunangkan sejak kecil dengan seorang anak perempuan yang juga memiliki ge-lang seperti milikku ini. Nah, demikianlah ceritanya, Lee Cin."

Tiba-tiba wajah Lee Cin berubah menjadi merah sekali. "Jadi... jadi... aku ini tunanganmu....?"

"Begitulah kalau menurut keputusan kedua orang tua kita yang sudah meninggal dunia," kata Thian Lee.

Pada saat itu datang seorang laki-laki berlari-lari. "Ah, Thlan Lee. Susah payah aku mencarimu. Rumah makan itu hanya mengatakan bahwa engkau keluar jalan-jalan. Kiranya berada di sini!"

Thian Lee memandang dan dia mengenal orang itu. Seorang piauwsu dari Kim-liong-pang bernama Ouw Kiu. "Paman Ouw, ada apakah engkau mencariku?"

"Aku disuruh oleh supekmu, yaitu Souw-pangcu yang minta agar engkau suka datang ke sana. Supekmu terancam bahaya besar, Thian Lee. Kim-liong-pang mengalami malapetaka dan sebagian besar anak buahnya sudah terluka. Bahkan supekmu juga terluka. Dia minta agar engkau suka datang berkunjung, sekarang juga."

Thian Lee merasa terkejut sekali. "Baik, aku akan ke sana!" katanya.

"Kalau supekmu mendapat malapetaka, aku pun akan ikut membantu, Thian Lee!" kata Lee Cin.

"Baik, Paman Ouw, engkau berangkatlah lebih dulu. Aku menyusul beiakangan."

"Akan tetapi harap cepat-cepat, Thian Lee. Kami khawatir terlambat," kata Ouw Kiu yang lalu berpamit. Setelah orang itu pergi, Thian Lee menceritakan dengan singkat hubungannya dengan keluarga Souw.

"Kalau begitu, kita harus cepat berangkat ke Pao-ting, Thian Lee. Jangan khawatir, kalau pamanmu itu banyak musuhnya yang lihai, aku akan memban-tunya mengusir musuh-musuh itu!"

"Tentang gelang...." kata Thian Lee.

"Untuk sementara kita tunda dulu urusan gelang kemala. Berita tentang itu terlalu tiba-tiba datangnya, aku masih bingung dibuatnya. Mari kita berangkat. Ah, biar aku mencari dua ekor kuda lebih dulu agar kita dapat melakukan perjalanan lebih cepat. Mari!" Lee Cin lalu menggandeng tangan Thian Lee dan diajak pergi ke tempat penjualan kuda.

Thian Lee rnerasa jantungnya berdebar. Lee Cin ini seperti kanak-kanak saja. Sembarangan saja menggandeng tangannya. Kalau tadi masih belum apa-apa, akan tetapi sekarang, setelah tahu bahwa Lee Cin tunangannya, calon isterlnya, digandeng seperti itu hatinya menjadi berdetak-detak, berdebar-debar keras sekali sehingga dia khawatir detak jan-tungnya akan terdengar oieh Lee Cin.

Dengan royal sekali Lee Cin membeli dua ekor kuda yang baik dan tak lama kemudian mereka berangkat. Lee Cin terpaksa menuruti permintaan Thian Lee untuk singgah di rumah makan lebih dulu. Selain minta ijin kepada majikannya untuk libur beberapa hari, juga untuk mengambil buntalan pakaian di mana tersembunyi pedangnya. Kemudian mereka berdua membalapkan kuda, meninggalkan kota raja menuju ke kota Pao-ting.


Apa yang terjadi pada Kim-liong-pang di Pao-ting? Ternyata masih ada hubungannya dengan kedatangan Coat-beng-kwi dan Thian-lo-kwi yang pernah dikalahkan oleh Thian Lee dahulu. Kedua orang ini agaknya maklum bahwa kekalahan mereka tidaklah wajar, apalagi kekalahan Thian-lok-kwi yang perutnya disepak kuda yang mengamuk.

Setelah luka-luka mereka sembuh kembali, mereka lalu mencari bantuan toa-suheng (kakak seperguruan tertua) mereka yang berjuluk Bu-tek Lo-kwi (Setan Tua Tanpa Tanding) yang ber-tapa di Guha Siluman Bukit Setan Hitam. Bu-tek Lo-kwi ini dahulunya juga merupakan perampok, akan tetapi kini telah mengundurkan dlri dan ilmu silatnya tinggi sekali.

Setelah mendapat bantuan toa-suheng ini, Coat-beng-kwi mengajak tiga puluh orang anak buahnya, menyerbu Kim-liong-pang dan menantang Souw-pangcu! Terjadi pertempuran hebat dan banyak anak buah Kim-liong-pang yang terluka parah. Bahkan Souw-pangcu sendiri terluka oleh senjata rahasla yang dilepas oleh Bu-tek Lo-kwi.

Akan tetapi Coat-beng-kwi menarik kembali anak buahnya meninggalkan Kim-liong-pang lalu pada keesokan hatinya dia mengirim surat untuk melamar Souw Hwe Li dan Liu Ceng! Kalau kedua orang itu tidak diberikan kepadanya, dia akan membawa anak buahnya menyerbu lagi dan akan membunuh semua orang di Kim-liong-pang dan membawa dua orang gadis itu dengan paksa! Dia memberi waktu tiga hari agar kedua orang gadis itu diserahkan dengan sukarela.

Menerima surat ini, tentu saja Souw-pangcu menjadi marah bukan main. Akan tetapi dia pun merasa khawatir karena mengetahui kekuatan pihak musuh, lalu dia teringat kepada Thian Lee. Murid keponakan itu adalah seorang yana; kelihatannya saja tolol akan tetapi dia menduga bahwa muridnya itu adalah seorang pandai.

Maka, dia lalu mengutus Ouw I Kiu untuk mencarinya di rumah makan di kota raja di mana dia bekerja. Dia sudah mendengar dari anak buahnya yang pernah melihat Thian Lee bekerja di rumah makan itu.

Demikianlah keadaan Kim-liong-pang yang sedang prihatin menderita ancaman daripara perampok itu. Dengan menunggang dua ekor kuda yang baik, pada hari ke dua Thian Lee dan Lee Cin memasuki kota Pao-ting dan langsung saja pergi ke Kim-liong-pang. Kedatangan mereka disambut gembira oleh Souw Can, akan tetapi Souw Hwe Li dan Lai Siong Ek menyambut dengan alis berkerut.

Dalam keadaan gawat itu, ayahnya memanggil Thian Lee. Mau bisa apakah pemuda tolol itu, pikir Hwe Li. Akan tetapi tidak demikian dengan Liu Ceng. Gadis ini girang dan merasa lega sekali karena ia merasa yakin bahwa Thian Lee akan mampu menolongnya dari cengkeraman kepala perampok. Souw Can lalu menjamu kedua orang muda itu dan semua orang duduk di ruangan tengah, selain untuk menjamu tamu juga untuk membicarakan urusan nnereka.

Thian Lee bertanya kepada Souw-pangcu, "Supek, aku mendengar bahwa Supek terkena senjata rahasia, bolehkah aku memeriksamu sebentar, barangkali Supek keracunan? Sedikit-sedikit aku pernah mempelajari ilmu pengobatan."

"Sedikit-sedikit? Aha, murid Kim-sim Yok-sian bagaimana mengaku hanya belajar sedikit-sedikit? Ilmu pengobatanmu tentu tinggi" dan hebat sekali, Thian Lee. Tak usah merendahkan diri secara keterlaluan"' tegur Lee Cin sambil tersenyum.

Mendengar ini, bahkan Souw Can sendiri terkejut setengah mati. "Engkau pernah belajar ilmu pengobatan dari Kim-.sim Yok-sian, Thian Lee?"

"Ah, hanya sedikit-sedi...."

"Sedikit-sedikit lagi. Souw-pangcu cepat suruh memeriksa siapa tahu lukamu berbahaya," kata Lee Cin.

Souw Can lalu menggulung lengan bajunya dan memperlihatkan luka pada pangkal lengan kirinya. Luka itu membiru dan memang ternyata senjata rahasia jarum itu mengandung racun yang cukup berbahaya. Thian Lee lalu membuat ramuan obat dan setelah obat itu diminumkan, racun itu pun lenyap seketika.

"Sebetulnya, apa yang telah terjadi, Supek? Paman So Ouw tidak menceritakan secara jelas," tanya Thian Lee kepada ketua itu.

Souw-pangcu menghela napas panjang. "Ini semua gara-gara Coat-beng-kwi itu...."

"Semua ini gara-gara engkau, Lee-twako!" tiba-tiba Souw Hwe Li berseru dengan alis berkerut dan mata memandang kepada Thian Lee dengan marah. "Kalau engkau dahulu tidak menghina mereka, tentu mereka kini tidak datang membikin susah kami!"

"Hwe Li! jangan bicara lancang begitu!" bentak ayahnya. "Beginilah ceritanya, Thian Lee. Dua hari yang lalu, Coat-beng-kwi dan Thian-lo-kwi itu, bersama seorang lain yang gendut dan lihai bukan main, membawa tiga puluh orang anak buah dan menyerbu Kim-liong-pang. Kami semua tentu saja mengadakan perlawanan akan tetapi mereka itu kuat sekali sehingga pihak kami menderita banyak yang terluka.

"Akan tetapi Coat-beng-kwi segera mundur dan mengirim surat kepadaku. Dia minta... agar kami menyerahkan adik-adikmu Hwe Li dan Ceng Ceng kepadanya. Kalau hal ini tidak kami lakukan, mereka akan menyerbu lagi, membunuhi semua orang dan merampas kedua orang adikmu dengan kekerasan. Mereka memberi waktu tiga hari, jadi berarti besok adalah hari terakhir." Suara ketua itu terdengar khawatir sekali. "Karena mengingat bahwa engkau pernah menolong kami dari kesulitan, siapa tahu sekarang pun engkau dapat menolong kami."

"Hi-hi-hik, urusan sekecil ini saja mengapa harus dibingungkan! Kalau mereka besok benar-benar berani muncul, aku akan membasmi mereka satu demi satu!" kata Lee Cin menyombongkan, diri.

Baru sekarang Souw-pangcu mernperhatikan gadis yang datang bersama keponakan itu. "Thian Lee, siapakah Nona yang terhormat ini?"

"Supek, Nona ini bernarna Bu Lee Cin," kata Thian Lee dengan suara agak bangga karena dia merasa seperti memperkenalkan calon isterinya! "la adalah murid dari Ang-tok Mo-li."

Sepasang mata Souw Can terbelalak, demikian pula dengan yang lain-lain terkejut mendengar nama ini. Nama Ang-Mo-li memang sudah mereka kenal sebagai nama seorang datuk wanita yang amat lihai, Hwe Li segera berseru, "Sekarang mengerti aku mengapa Lee-twako begitu berani dan tabah, kiranya datang bersama murid Ang-tok Mo-li yang lihai'"

Souw Can mengerutkan alisnya dan melirik kepada puterinya yang dianggapnya lancang dan terlalu memandang remeh kepada Thian Lee. Kemudian dia berkata kepada Lee Cin,

"Harap Nona maafkan bahwa penyambutan kami kurang hormat karena kami tidak tahu bahwa Nona adalah murid Locianowe Ang tok Mo-li. Akan tetapi harap Nona ketahui bahwa pihak lawan amat berbahaya. Bukan saja tiga orang pimpinan itu lihai, akan tetapi mereka juga membawa kurang lebih tiga puluh orang anak buah yang rata-rata tangguh."

"Souw-pangcu, urusan sekecil ini mengapa harus dlpikirkan sampai pusing? Tiga orang pimpinan itu hanyalah anjing-anjing srigala yang hanya pandai menggonggong. Dengan adanya Thian Lee di sini, mereka itu dapat berbuat apakah? Adapun tiga puluh orang anak buahnya, mudah saja menghadapi mereka.

"Biarkan anak buahmu membuat barisan pendam dan siap dengan busur dan anak panah. Kalau mereka berani menyerbu, hujani mereka dengan anak panah, tentu mereka akan mampus semua. Dan para pimpinan mereka itu serahkan saja kepada aku dan Thian Lee. Nah, mudah, bukan?"

"Ayah, aku pun berani melawan mati-matian kepada mereka!" kata Hwe Li dengan lantang.

"Teecu juga akan melawan mereka dan teecu sudah memberitahu kepada Ayah agar mengirim pasukan untuk menangkap mereka semua!" kata Lai Siong Ek.

"Paman, meskipun aku tidak memiliki kepandaian tinggi, aku pun tidak takut rnelawan mereka. Daripada ditawan mereka, lebih baik melawan sampai mati!" kata pula Ceng Ceng.

"Wah-wah, semua orang di sini gagah-gagah!" kata Lee Cin mengejek. "Akan tetapi kalau pasukan pemerintah dikerahkan, aku tidak mau turut campur. Thian Lee, sebaiknya kita pergi saja dari sini karena sudah ada pasukan pemerintah yang turun tangan!"

Souw-pangcu berkata kepada muridnya, "Siong Ek, tidak perlu menggunakan pasukan. Urusan orang-orang kang-ouw tidak baik kalau dicampuri pasukan pemerintah, kalau begitu, kita hanya akan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw saja."

"Baiklah, Suhu. Kalau begitu saya hanya akan memesan agar mereka itu melindungi Li-sumoi dan Ceng-sumoi kalau keadaan mendesak," kata Lai Siong Ek.

"Thian Lee, bagaimana pendapatmu?" tanya Souw Can yang melihat pernuda itu sejak tadi hanya menundukkan kepalanya saja.

"Supek, aku setuju dengan pendapat Lee Cin. Kita siapkan barisan pendam untuk melawan anak buah mereka. Adapun tiga orang pimpinan itu kita hadapi secara jantan. Kita dapat mengandalkan kepandaian Lee Cin untuk membantu kita menghadapi mereka."

"Dan engkau sendiri?"

"Aku akan melihat dulu. Kalau kiranya aku dapat membantu, pasti aku akan bantu dengan taruhan nyawa, Supek."

"Bagus, dan Nona Bu, sebelumnya kami menghaturkan banyak terima kasih atas bantuanmu yang amat berharga."

"Hi-hik, berkelahi memang hobbyku, mana ada bantuan-bantuan segala. Asal sediakan anggur yang jangan terlalu keras dan manis, aku sudah senang. Eh, kedua Enci yang ingin dirampas perampok, kalian memang gagah dan manis, mari temani aku minum anggur, maukah?"

Melihat sikap Lee Cin yang begitu polos dan jujur, Ceng Ceng segera tertarik sekali. Juga Hwe Li terpaksa menemaninya karena bagaimanapun juga, nama besar Ang-tok Mo-li membuatnya merasa segan. Dua orang gadis ini lalu pindah duduk dekat Lee Cin dan segera mereka bertiga bercakap-cakap dengan akrab. Lee Cin memang seorang gadis yang terbuka dan jujur maka pandai sekali bergaul dengan siapa saja.

Souw Can lalu mengajak Thian Lee untuk bicara berdua di dalam kamar sebelah dalam. Setelah berada berdua saja, Souw-pangcu lalu berkata kepada pemuda itu. "Thian Lee, antara mendiang ayahmu dan aku terdapat hubungan yang erat sekali, dan kami berdua dahulu sudah seperti saudara sendiri. Oleh karena itu, kuharap engkau pun memandang aku sebagai pamanmu dan tidak menyimpan rahasia apa-apa lagi. Thian Lee, sebetulnya engkau adalah murid seorang pandai yang menyembunyikan kepandaianmu, benarkah?"

Thian Lee merasa tidak tega untuk membohong supeknya yang amat baik kepadanya ini. "Bagaimana Supek dapat menduga demikian?" balasnya bertanya.

Souw-pangcu tertawa lirih, "Ha-ha, supekmu ini biarpun bodoh akan tetapi bukanlah anak kecil seperti Hwe Li atau Siong Ek. Aku sudah mempunyai banyak pengalaman hidup, sudah pula berpengalaman dalam perkelahian. Karena itu, tidak mungkin kalau semua gerakanmu tempo hari karena kebetulan saja. Mengakulah, Thian Lee. Mengakui kepandaianmu sendiri bukan berarti menyombongkan diri. Sebetulnya, selain ketika kecil dididik ilmu silat oleh mendiang ibumu, siapa lagi yang pernah mendidikmu dalam ilmu silat?"

"Sebetulnya, saya pernah dilatih ilmu silat oleh banyak orang, Supek. Sungguh memalukan bahwa sampai sekarang saya masih begini-begini saja."

"Hemm, dugaanku tepat. Coba katakan, siapakah guru-gurumu itu?"

"Setelah dulu diajar oleh ibuku, yaitu ilmu silat Kun-lun-pai, ketika berusia sepuluh tahun, saya lalu diangkat murid oleh guru yang pertama, yaitu Liok-tg Lo-mo."

Souw Can membelalakkan matahya. Liok-te Lo-mo adalah seorang datuk persilatan yang pandai, walaupun merupakan datuk sesat. "Liok-te Lo-mo?" katanya kagum.

“Akan tetapi tidak lama saya menjadi murid Liok-te Lo-mo, hanya dua tahun saja, kemudian saya direbut dari tangan Liok-te Lo-mo oleh guru saya yang ke dua, yaitu Jeng-ciang-kwi."

"Jeng-ciang-kwi....??" Souw Can berteriak karena nama ini adalah nama seorang datuk besar yang amat lihai. "Wah, hebat sekali!''

"Akan tetapi sayapun tidak lama belajar pada Jeng-ciang-kwi. Karena mencuri baca kitabnya, saya hampir saja dibunuhnya, akan tetapi ditolong oleh Ang-tok Mo-li, maka saya mengenal baik Lee Cin muridnya. Karena terluka, saya lalu ditolong oleh Kim-sim Yok-sian dan kemudian menjadi muridnya dalam ilmu pengobatan.

"Dan saya diajak oleh Kim-sim Yok-sian pergi ke Himalaya di mana saya belajar ilmu silat dari seorang suhengnya yang pertapa dan bernama Tan Jeng Kun. Nah, demikianlah, Supek. Ketika saya datang menghadap Supek minta pekerjaan, saya tidak berani memamerkan kepandaian saya maka berpura-pura tidak bisa silat."

Souw Can tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha, sungguh mataku seperti buta! Memiiiki murid keponakan yang amat lihai akan tetapi tidak mengetahuinya! Akan tetapi aku sudah mulai bercuriga ketika engkau mengalahkan Coat-beng-kwi, oleh karena itulah maka aku menyuruh Ouw Kiu memanggilmu. Aku sudah sedikit menduga bahwa engkau tentu rnenyembunyikan kepandaian. Dan sekarang dugaanku benar. Ah, aku menjadi lega sekali, Thian Lee."

"Akan tetapi saya harap agar Supek tidak menceritakan kepada orang laln. Saya tidak ingin dianggap sombong dan pamer kepandaian."

Orang tua itu menghela napas panjang. "Salahku itu. Aku tidak dapat mendidik anak, aku terlalu memanjakan Hwe Li sehingga ia suka memandang rendah orang lain. Kau maafkanlah Hwe Li dan Siong Ek, Thian Lee. Aku tahu bahwa mereka itu memandang rendah kepadamu."

"Tidak mengapa, Supek. Saya kira hanya karena Li-moi masih terlalu muda saja. Saya tidak merasa menyesal, bahkan Li-moi telah melatih Ilmu Tongkat Memukul Anjing kepadaku. Biarpun ia melatih dengan keras, akan, tetapi juga dengan sungguh-sungguh."

"Ha-ha, betapa lucu dan memalukah. Melatih ilmu tongkat kepadamu! Padahal, aku pun sudah tidak pantas untuk melatih ilmu silat kepadamu. Aihh, kalau saja...."

Mendengar orang tua itu tidak melanjutkan kata-katanya, Thian Lee memandang wajahnya dan bertanya. "Ada,, apakah, Supek?"

"Ah, tidak apa-apa. Kalau saja ayahmu masih hidup, alangkah akan senang hatinya. Mari kita keluar lagi menemani, mereka. Kulihat temanmu Lee Cin itu seorang gadis yang terbuka dan jujur, dan mudah akrab dengan siapa pun. Engkau memang akrab sekaii dengannya."

"Sebetulnya, sejak ia berusia dua belas tahun sampai sekarang, baru saja saya bertemu kembali dengannya, Supek. Selagi kami bicara, lalu datang Paman Quw Kiu dan mendengar di sini terancam bahaya, Lee Cin lalu menyatakan untuk ikut dan saya tidak dapat menolaknya," jawab Thian Lee sejujurnya

"Aku girang kalau engkau tidak akrab dengannya, Thian Lee. Betapapun juga, ia murid Angtek Mo-li dan engkau tahu sendiri orang macam apa datuk wanita itu."

"Tapi, ia baik sekali, Supek," kata Thian Lee, diam-diam merasa tidak senang supeknya memandang rendah orang lain.

"Sukurlah kalau ia baik tidak seperti gurunya," kata pula Ketua Klm-liong-pang. "Mari kita keluar,"

Mereka melanjutkan percakapan sam-pai jauh malam dan pada keesokan harinya, Kim-liongpangcu sudah mengatur siasat seperti direncanakan Lee Cin, yaitu mengatur barisan pendam dengan sejumlah anggauta Kim-liong-pang ber-sembunyi dan siap dengan busur dan anak panah, berjaga-jaga di balik pintu ger-bang Kim-liong-pang.

Tak lama kernudian, musuh yang ditunggu-tunggu muncul. Kurang lebih tiga puluh orang datang dipimpin oleh tiga orang yang nampak menyeramkan. Coat-beng-kwi si raksasa muka bopeng, Thian-lo-kwi yang tinggi kurus, dan seorang yang pendek gendut bermuka seperti kanak-kanak.

Dia inilah yang berjuluk Bu-tek Lo-kwi (Iblis Tanpa Tanding), twa-suheng dari kedua orang kepala rampok itu. Dipunggung kakek pendek gendut itu terdapat sebatang pedang panjang. Melihat musuh sudah datang, maka Souw-pangcu segera keluar menyambut. Dia ditemani Ciang Hoat dan Gan Bun Tek dua orang piauwsu andalannya.

Kemudian Hwe Li dan Siong Ek juga mendampinginya, barulah di belakang mereka berjalan Lee Cin dan Thian Lee. Liu Ceng berjalan paling belakang, di belakang Thian Lee dan seperti yang lain, gadis ini pun sudah siap dengan pedangnya di pinggang.

"Lee-ko, Si Gendut itulah yang amat lihai," bisik Ceng Ceng kepada Thian Lee.

Mendengar bisikan ini, Lee Cin tertawa kecil. "Si Pendek Gendut seperti babi itu? Hi-hik, biar nanti aku yang membuntungi ekornya!" kata Lee Cin dengan suara nyaring sehingga terdengar oleh semua orang.

Coat-beng-kwi mengerutkan alisnya ketika dia melihat Thian Lee. Hatinya sudah menjadi panas sekali dan dia ingin sekali menuntut balas atas kekalahannya yang dahulu dan yang amat memalukannya itu. Akan tetapi, dia lebih dulu berteriak kepada Souw Can, "Souwpangcu, bagaimana jawabanmu atas lamaran kami tiga hari yang lalu? Apakah engkau sudah siap untuk menyerahkan kedua orahg Nona itu kepada kami?"

"Coat-beng-kwi, tanpa kujawab sekalipun tentu kalian semua sudah dapat menduga bahwa tidak mungkin kami menyerahkan puteri dan keponakan kami kepada kepala-kepala perampok seperti kalian!"

"Kalau begitu, kami akan menghancurkan Kim-liong-pang!"

"Waduh, gagahnya Si Raksasa Muka Bopeng ini!" Tiba-tiba Lee Cin maju dan menudingkan telunjuknya kepada Coat beng-kwi. "Engkau mengandalkan banyak orang untuk melakukan penyerangan. Apakah engkau tidak berani bertanding satu lawan satu?"

Melihat Lee Cin yang cantik jelita dan juga lincah itu. Coat-beng-kwi memandang kagum. "Siapakah engkau, Nona? Dan apa urusanmu mencampuri persoalan ini?"

"Siapa aku tidak perlu kau tahu. Aku hanya bertanya apakah engkau dan dua orang kawanmu ini memiliki nyali untuk bertanding satu lawan satu? Kalau pihak kami kalah, sudahlah, engkau boleh bertindak apa pun terhadap kami. Akan tetapi kalau kalian yang kalah, kalian harus cepat menggelinding pergi dari sini!"

"Siapa yang takut bertanding satu lawan satu? Baiklah, aku akan maju lebih dulu! Siapa yang akan menandingi aku? Bocah tolol itu?" Dia menudingkan telunjuknya kepada Thian Lee, akan tetapi sesuai dengan rencana yang sudah mereka atur sebelumnya, Souw-pangcu yang melangkah maju dan menghadapi Coat-beng-kwi.

"Coat-beng-kwi, akulah yang akan menandingimu!" katanya.

Coat-beng-kwi terkejut, akan tetapi juga girang. Dia tahu bahwa di antara semua yang berdiri di pihak musuh, Souw-pangcu adalah yang paling lihai. "Souw-pangcu, kalau engkau maju lebih dulu, lalu siapa nanti yang akan menandingi kedua orang suhengku?"

Kembali Lee Cin yang menjawab, "Heh, muka bopeng. Kalau engkau tidak berani melawan Souw-pangcu, bilang saja, tidak berani, mengapa mesti pakai pembicaraan yang berputar-putar? Tentang siapa yang akan menandingi Si Kurus dan babi gendut ini, jangan khawatir, kami masih mempunyai banyak sekali jagoan."

Tentu saja pihak musuh merasa marah sekali dan mendongkol sekali mendengar ucapan gadis yang pandai berdebat itu, sedangkan di pihak Kim-liong-pang ada yang tertawa, akan tetapi juga ada yang khawatir karena mereka tahu bahwa pihak musuh sudah marah sekali.

"Baik, kalau begitu aku akan menandingi Souw-pangcu!" kata Coat-beng-kwi sambil mencabut goloknya yang besar dan berat. Golok bergagang panjang itu memang merupakan senjatanya yang istimewa, sambil memalangkan goloknya di depan tubuh, Coat-beng-kwi siap menyerang Souw Can.

Ketua Kim-liong-pang ini pun sudah siap. Malam tadi sudah diatur siasat bahwa dia yang akan melayani Coat-beng-kwi karena dia sudah tahu sampai di mana tingkat kepandajannya dan dia merasa sanggup menandinginya. Adapun dua orang suheng dari Coat-beng-kwi diserahkannya kepada Thian Lee dan Lee Cin.

"Engkau yang datang menantang kami, aku sudah siap, Coat-beng-kwi majulah!" tantang Souw-pangcu sambil melintangkan pedangnya.

"Haiiiittt....!" Coat-beng-kwi membentak dan goloknya sudah menyambar dengan dahsyatnya.

"Tranggg....!"

Bunga api berpijar ketika pedang di tangan Souw-pangcu menangkis golok, bergagang panjang itu. Begitu terpental, golok itu membalik dan kini gagangnya menusuk ke arah dada Souw-pangcu. Akan tetapi Ketua Kim-liong-pang ini sudah mengelak ke samping dan pedangnya menyambar dengan tusukan ke arah lambung lawan.

Coat-beng-kwi memutar goloknya menangkis dan segera kedua orang itu sudah saling serang dengan hebatnya. Souw Can memainkan ilmu pedang Kun-lun-pai yang indah dan cepat dan pedangnya menjadi gulungan sinar yang bergulat dengan sinar golok. Mereka saling serang dan mencoba untuk saling mendesak.

Akan tetapi setelah lewat lima puluh jurus, segera nampak bahwa Souw-pangcu masih menang tangguh dan tingkat kepandaiannya lebih tinggi sehingga Coat-bengkui mulai terdesak mundur. Sinar pedang menjadi semakin lebar sedangkan sinar golok kini terhimpit dan terdesak...

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.