Gelang Kemala Jilid 13

Cerita Silat Mandarin Serial Gelang Kemala Jilid 13 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Gelang Kemala Jilid 13

“Sing” Pedang meluncur dengan cepat sekali dan biarpun Coat-beng-kwi sudah memutar golok menangkis, tetap saja pedang itu menyerempet pundaknya, merobek baju dan kulit sehingga pundaknya berdarah.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Dia terhuyung ke belakang, akan tetapi Souw-pangcu tidak melahjutkan seranganrtya dan bahkan menarik pedangnya ialu melangkah mundur. Sudah jelas bahwa dia keluar sebagai pemenang dalam pertandingan itu.

Melihat ini, Thian-lo-kwi marah dan dia sudah mencabut pedangnya dan menyerang Souwpangcu sambil berteriak, "Souw-pangcu, akulah lawanmu."

“Tranggg....!" Souw-pangcu menangkis tusukan pedang itu dan melangkah ke belakang tangannya tergetar hebat ketika menangkis seranyan itu dan pada saat itu Lee Cin sudah maju menghadang.

”Tikus kurus kau curang! Temanmu sudah kalah dan kalau engkau maju haruslah menantang dahulu. Souw-pangcu sudah memperoleh kemenangan, dia boleh beristirahat. Kalau engkau hendak mencari lawan, akulah lawanmu!"

Thian-lo-kwi mengerutkan alisnya dan memandang kepada gadis cantik yang mulutnya dapat mengeluarkan kata-kata tajam itu dengan penuh perhatian. Dia adalah seorang jagoan yang terkenal di dunia persilatan. Usianya sudah setengah abad.

Tentu saja dia merasa direndahkan sekali kalau harus melawan seorang gadis yang masih begini muda. Gadis yang pantas menjadi cucunya. Melawan gadis sernuda ini, kalau menang tidak akan terpuji sebaliknya kalan kalah dapat menghancurkan namanya!

"Bocah lancang mulut, siapakah engkau? Anak kecil macam engkau tidak perlu mencampuri urusan ini."

"Cacing kurus, nonamu ini bernama Bu Lee Cin dan tidak perlu banyak cakap lagi. Akulah yang menandingimu tentu saja kalau engkau berani. Katau engkau tidak berani, cepat merangkak pergi dari sini!"

Thian-lo-kwi marah sekali, akan tetapi dia masih memandang kepada Souw-pungcu-lalu berkala, "Souw-pangcu, majulah mengapa engkau berlindung kepada seorang anak kecil? Tidak bisa aku melawan seorang bocah lancang macam ini!"

"Thian-lo-kwi, Nona Bu ini memang jagoan kami. Hayo cepat lawan ia kalau memang engkau memiliki kemampuan!"

Thian-lo-kwi merasa tersudut dan tidak dapat mengelak atau mundur lagi. Dia lalu memandang gadis itu dengan mata mencorong. Aku harus dapat merobohkannya, kalau tidak, namaku menjadi taruhan, pikirnya.

"Baik, kalau begltu cepat keluarkan senjatamu, anak lancang." bentaknya. Wajahnya nampak bengis sekali.

Hwe Li, Siong Ek dan Ceng Ceng menandang dengan jantung berdebar tegang. Mereka bertiga sudah tahu betapa lihainya Si Tinggi Kurus ini. Bahkan Souw-pangcu sendiri pernah terdesak olehnya, dan baru Souw-pangcu terlepas dari bahaya ketika kuda yang ditunggangi oleh Thian Lee itu mengamuk dan menyepak perutnya. Tiga orang muda ini tentu saja meraSa sangsi apakah Lee Cin akan mampu menandingi kakek tinggi kurus itu.

Namun Lee Cin menghadapinya dengan senyumnya yang nakal. "Aku mengeluarkan senjata kapan saja kusuka, tidak perlu menuruti perintahmu. Engkau sudah memegang pedang, mengapa tidak segera kau pergunakan untuk menyerangku? Kau takut ya?"

Diserang dengan kata-kata itu, wajah Thian-lo-kwi menjadi pucat lalu merah sekali saking marahnya. Dia maklum bahwa bertanding kata-kata melawan gadis ini dia tidak akan menang, maka dia tidak peduli lagi bahwa lawannya yang masih amat muda itu masih bertangan kosong.

Diangkatnya pedangnya ke atas kepala, diputarnya seperti gasing sehingga mengeluarkan suara berdesing, kemudian mulutnya membentak, "Bocah, lancang, terimalah kematianmu'" Dan pedang itu menyambar dengan dahsyatnya ke arah leher Lee Cin.

"Singggg....!" Leher yang panjang dari indah itu tentu akan terpenggal kalau saja pedang itu mengenainya. Akan tetapi dengan gerakan yang manis namun lucu Lee Cin menundukkan kepala dan merendahkan tubuhnya sehingga sinar pedang itu menyambar beberapa sentimeter di atas kepalanya.

Dan tiba-tiba saja tangan kiri Lee Cin sudah menyambar ke depan, menonjok ke arah perut lawan! Gerakannya ini cepat dan tiba-tiba sekali sehingga Thian-lo-kwi terkejut sekali, namun tangan kirinya masih sempat menghadang dan menangkis tonjokan itu.

"Dukk....!" Dan tubuh kakek itu terhuyung ke belakang. Tadi ketika menyerang, saking marahnya dia telah menggunakan tenaga penuh sehingga ketika serangannya luput, tubuhnya agak condong dan ketika tangan mereka bertemu, posisinya kalah baik sehingga dia terdorong dan terhuyung.

Apalagi karena gunakan tenaga sin-kang yang kuat sekali! Dalam segebrakan saja gadis itu telah membuat lawan terhuyung. Hal ini sama sekali tidak disang-kasangka oleh semua pihak bahkan Souw-pangcu sendiri sampai tersenyum dan mengangguk-angguk saking kagumnya. Gadis itu dengan tangan kosbng mampu membuat lawan terhuyung dalam satu gebrakan.

Apalagi Hwe Li, Siong Ek dan Ceng Ceng, tidak dapat menahan kegembiraan hati rnereka dan merekapun bertepuk tangan. Mendengar tepuk tangan ini, Lee Cin memutar tubuh kepada mereka dan membungkuk sebagai tanda terima kasih atas pujian itu, gayanya seperti seorang pemain panggung yang mendapat pujian penonton.

"Awas....!" Hwe Li berseru kaget, juga semua orang terkejut karena selagi Lee Cin memutar tubuh membungkuk, lawannya sudah menyerang secara curang sekali dari belakang. Serangannya sekali ini lebih hebat dari tadi karena dia marah bukan main.

Akan tetapi Lee Cin seolah memiliki mata di belakang tubuhnya dan ia melihat gerakan lawan ini. la memutar tubuhnya membalik dan nampak sinar menyambar dari tangannya.

"Cringgg... tranggg....!

Dua kali pedang tipis di tangan Lee Cin, menangkis serangan yang bertubi-tubl itu. Entah kapan gadis itu mencabut pedang, tidak ada yang dapat melihatnya. Sebetulnya ia tidak pernah mencabut pedang karena pedangnya itu demikian tipis dan lentur sehingga tadi dilingkarkan di pinggangnya, tertutup oleh baju.

Bertubi-tubi Thian-lok-kwi menyerang dengan pedangnya, seolah tidak memberi kesempatan kepada lawannya untuk bernapas. Akan tetapi ternyata Lee Cin memiliki gerakan yang cepat bukan main seperti seekor burung walet tubuhnya menyelinap ke sana ke mari di antara gulungan sinar pedang lawan, mengelak dan kadang menangkis dengan pedang tipisnya.

Belasan jurus kakek itu menyerang, narnun semua serangannya tidak berhasil karena selain dapat dielakkan juga kadang dapat ditangkis oleh Lee Cin yang bergerak dengan lincah bukan main. Sekarang barulah Thian-lo-kwi terkejut. Tadi ia memandang rendah gadis itu dan baru sekarang dia tahu bahwa gadis itu benar-benar lihai sekali.

Selain gerakannya lincah, juga memiliki tenaga sin-kang yang mampu menandingi tenaganya, selain itu gerakan pedangnya juga aneh sekali, kadang pedang itu bergerak seperti seekor ular. Setelah belasan jurus serangannya gagal.

Thian-lo-kwi meloncat ke belakang untuk dapat melihat ilmu pedang gadis itu karena kalau dia sudah mengenal llmu pedangnya tentu akan lebih mudah menundukkannya. Dengan pengalamannya yang banyak dalam dunia Kang-ouw, dia mengharapkan dapat mengenal ilmu pedang gadis itu.

Melihat lawannya melompat mundur, Lee Cin juga berhenti dan mengejek, "Kenapa tikus kurus? Engkau sudah mulai takut, ya?"

"Keparat, siapa takut padamu? Dari tadi engkau hanya mengelak dan menangkis saja. Balaslah menyerang kalau engkau berani!" Memang dalam ilmu pedang terdapat kenyataan bahwa siapa menyerang berarti membuka pertahanannya.

Dia menghendaki gadis itu menyerang, bukan saja untuk mengenal ilmu pedangnya, akan tetapi juga agar gadis itu membuka pertahanannya yang demikian kuat sehingga dia dapat "memasuki" pertahanan yang terbuka itu.

"Eh, engkau ingin diserang? Jangan salahkan aku kalau engkau menjadi repot kemudian roboh oleh rangkaian seranganku!"

"Jangan banyak cerewet. Maju dan seranglah!" tantang Thian-lo-kwi, dalam hatinya girang kalau gadis itu berani menyerangnya dan dia sudah bersiap-siap dengan pedangnya.

"Sambut seranganku!" bentak Lee Cin dan begitu ia menggerakkan pedang, nampak gulungan sinar merah!

Ternyata pedangnya itu memiliki warna dasar kemerahan dan ketika digerakkan, nampak sinar merah bergulung-gulung. Akan tetapi sinar itu tidak menyerang ke atas, melainkan seperti seekor ular, gulungan sinar Itu menyerang dari bawah ke arah kedua kaki lawan! Hal ini sama sekali tidak disangka-sangka oleh Thian-lo-kwi sehingga dia terkejut bukan main. Gadis itu menyerangnya persis seekor ular yang menyerang kedua kakinya!

Dia tahu bahwa entah apa ilmu pedang gadis itu, akan tetapi tentu berdasarkan gerakan seekor ular. Dan memang dugaannya benar. Lee Cin memainkan ilmu pedangnya yang disebut Ang-coa-kiam-sut (Ilmu Pedang Ular Merah), yaitu ilmu pedang yang mengambil dasar dari gerakan Ang-hwa-coa milik gurunya.

Juga pedang yang tadi dililitkan ke perut itu adalah Ang-coa-kiam (Pedang Ular Merah). Dan seperti Ang-hwa-coa, gerakan pedang itu dapat menyusur ke bawah tanah menyerang kaki, dan dapat pula melentik seperti terbang menyerang ke atas!

Thian-lo-kwi menjadi repot sekali menghadapi penyerangan ke arah kedua kakinya itu. Dia melompat-lompat seperti monyet menari untuk menghindarkan kedua kakinya dari sabetan dan tusukan pedang. Setelah lewat lima jurus, tiba-tiba saja pedang merah itu melenting ke atas dan menusuk kearah perut!

"Tranggg....!" Pedang di tangan Thian lo-kwi menangkis, akan tetapi pedang merah itu melentik lagi sekali ini menusuk lebih ke atas lagi mengarah tenggorokan lawan. Thian-lokwi kembali menggerakkan pedang untuk menangkis akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terhuyung ke belakang kiranya ketika pedangnya menusuk ke arah tenggorokan tadi.

Secepat kilat tangan kiri gadis itu sudah menyelonong ke bawah dan menotok ke arah dada Thian-lokwi. Biarpun Thian-lo-kwi sudah melindungl dadanya dengan sin-kang dan dia tidak sampai terluka atau tertotok jalan darahnya, namun tetap saja dia terhuyung ke belakang.

Kesempatan itu dipergunakan oleh Lee Cin untuk mengelebatkan pedangnya dan tahu-tahu pedang itu sudah menggores lengan kanan lawan sehingga berdarah dan pedangnya terlepas dari genggaman!

Tepuk tangan riuh terdengar dari tiga orang muda yang rnenonton pertandingan itu, menyambut kemenangan Lee Cin. Gadis ini menggunakan pedangnya untuk mencokel pedang lawan dan sekali tangannya digerakkan, pedang Thian-lo-kwi itu terbang ke arah pemiliknya dengan kecepatan seperti anak panah terlepas dari busurnya.

"Cringgg....!" Sebatang pedang di tangan Bu-tek Lo-kwi menangkis pedang itu, bukan sekedar menangkis karena pedang itu kini meluncur kembali ke arah Lee Cin dengan kecepatan yang lebih kuat lagi. Lee Cin menangkis dengan pedangnya.

"Cringg... cappp!" Pedang itu runtuh ke bawah dan menancap di tanah sannpai ke gagangnya dan bergoyang-goyang sedikit, tanda betapa kuatnya tenaga lontaran tadi. Diam-diam Lee Cin terkejut. Tak disangkanya Si Pendek Gendut kayak katak itu sedemikian kuatnya sehingga ketika ia menangkis tadi, tangannya dirasakan tergetar hebat!

Akan tetapi gadis ini memang tidak pernah mengenal arti takut. la menudingkan pedang merahnya ke arah muka Bu-tek Lo-kwi sambil memaki, "Babi gendut, kau...."

Akan tetapi kini Thian Lee maju dan dia memotong makian Lee Cin tadi. "Lee Cin, engkau sudah cukup bersenang-senang. Kini giliranku, jangan main borong sendiri!"

Lee Cin menoleh dan tertawa, "Hik-hik, engkau juga ingin berpesta, Thian Lee? Boleh, aku pun ingin sekali menyaksikan sampai di mana kelihaianmu. Akan tetapi hati-hati, babi gendut itu lihai sekali. Kalau engkau kewalahan, berikan saja kepadaku." Ucapan Lee Cin ini nadanya seolah ia memastikan bahwa tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Thian Lee. la lalu mundur dan disambut pujian oleh Hwe Li.

"Adik Lee Cin, engkau hebat sekali, aku kagum kepadamu!" kata Ceng Ceng memuji.

"Adik Lee Cin, kenapa engkau membiarkan Lee-twako menghadapi Si Gendut itu? Dia tentu akan mati konyol!" kata Hwe Li yang masih memandang rendah kepada Thian Lee.

"Ehm, engkau pikir begitu, Enci Hwe Li?”

"Ya, dia itu tidak becus apa-apa, hanya mengenal sedikit ilmu tongkat yang pernah kuajarkan," kata pula Hwe Li.

"Hwe Li!" bentak Souw Can. "Jangan banyak ribut, lebih baik cepat pinjamkan pedangmu kepada Thian Lee."

Akan tetapi Thian Lee tersenyum kepada Hwe Li dan Souw Can. "Tidak perlu, Supek. Aku tidak berani mengotori pedang Li-moi, biarlah saya meminjam pedang ini saja.”

Thian Lee yang tidak membawa pedangnya sendiri karena merasa tidak perlu mempergunakan Jit-goat Sin-kiam, segera mencabut pedang milik Thian-lo-kwi yang tadi menancap di atas tanah sampai ke gagangnya. Dia menjepit gagang pedang itu dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya, lalu menarik pedang itu dengan mudah seperti menarik sebatang sumpit saja!

Melihat ini, Hwe Li memandang terbelalak. Juga Siong Ek rnerasa heran sekali. Hanya Ceng Ceng yang tetap tenang karena sejak semula gadis ini memang sudah menduga bahwa Thian Lee menyembunyikan kepandaian yang tinggi.

Dengan pedang itu di tangan, Thian Lee lalu menghadang Bu-tek Lo-kwi sambil berkata, "Bu-tek Lo-kwi, aku sudah siap menghadapimu. Mulailah!"

"Bagus, lihat seranganku!" Bu-tek Lo-kwi membentak. Watak kakek gendut ini tidak seperti para sutenya. Dia tidak berani memandang rendah walaupun lawannya hanya seorang pemuda. Dia tahu bahwa kalau orang sudah berani rnelawannya, maka orang itu tentulah memiliki kepandaian yang berarti.

Maka begitu menyerang, dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya. Diserang dengan bacokan pedang yang amat dahsyat sehingga terdengar bercuitan rtu, Thian Lee cepat menangkis dengan pedang pinjamannya.

"Tranggg....!" Terdengar suara nyaring sekali ketika kedua pedang bertemu dan... pedang di tangan Thian Lee menjadi patah ujungnya sepanjang sepertiga pedang. Yang tinggal di tangannya hanya pedang buntung, tinggal dua pertiga saja panjangnya!

Melihat ini, Souw Can cepat berseru, "Thian Lee, kau pakai pedangku!"

Juga Lee Cin berseru khawatir, "Ini boleh kau pakai pedangku, Thian Lee."

Akan tetapi Thian Lee tersenyum menengok kepada mereka. "Tidak usah, sisa pedang ini masih cukup untuk melayaninya," katanya sambil mengacungkan pedang buntung itu.

Kini Bu-tek Lo-kwi tersenyum lebar sehingga mukanya yang bulat itu makin mirip muka kanak-kanak. Dia menganggap pemuda itu sombong tidak mau mengganti pedang, dan menguntungkan baginya. Pedangnya sendiri adalah sebatang pedang pusaka, dan pedang lawan kalah ampuh, bahkan sudah buntung tinggal dua pertiga lagi. Akan tetapi pemuda itu tidak mau berganti pedang, berarti ingin mati konyol!

"Engkau tidak mau berganti pedang? Bagus, kalau begitu bersiaplah untuk mati di tanganku!" bentaknya dan dia me-nyerang semakin ganas.

Sekali ini, Thian Lee memainkan Jit-goat Kiam-sut dan pedang buntungnya membuat lingkaran-lingkaran aneh yang membingungkan lawan. Begitu banyak lingkaran bergulung-gulung dan Bu-tek Lo-kwi tldak tahu lingkaran mana yang rnengandung pedang yang sebenarnya.

Dia begitu kaget sampai permainan pedangnya menjadi kacau. Selama hidupnya belum pernah dia melihat ilmu pedang yang seperti ini, padahal dia sudah mengenal semua ilmu pedang dari aliran persilatan yang mana pun.

Dalam bingungnya, Bu-tek Lo-kwi menyerang dengan dahsyat, akan tetapi Thian Lee selalu dapat menghindarkan diri dengan baik. Kadang saja dia menangkis dan sekali ini, kalau dia menangkis, dia mengerahkan sin-kang pada pedangnya sehingga pedang lawan tergetar hebat dan pedang buntungnya tidak menjadi rusak. Setelah beberapa kali beradu pedang, kakek gendut pendek itu menjadi semakin kaget.

Ternyata pemuda ini memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa sekali dan mampu menggetarkan seluruh tengan kanannya setiap kali pedang mereka bertemu Souw Can memandang dengan amat kagum. Dia sendiri seorang ahli pedang Kun-lun-pai, akan tetapi dia pun tidak dapat mengenal ilmu pedang yang dimainkan Thian Lee, ilmu pedang yang membentuk lingkaran-lingkaran itu.

Yang makin membingungkan bagi Bu-tek Lo-kwi adalah betapa lingkaran-lingkaran sinar pedang itu terkadang membawa hawa yang amat panas, dan terkadang berubah menjadi dingin sejuk. Dia tidak tahu bahwa memang begitulah pembawaan Jit-goat Kiam-sut (Ilmu Pedang Matahari Bulan), didorong oleh kekuatan Thian-te Sin-kang (Tenaga Sakti Langit Bumi).

Pertempuran itu menjadi semakin seru dan hebat, akan tetapi segera lingkaran-lingkaran itu menjadi semakin lebar, sedangkan sinar pedang yang dimainkan Bu-tek Lo-kwi menjadi semakin sempit. Melihat Ini, biarpun Hwe Li dan Siong Ek tidak dapat mengikuti benar, mereka berdua menjadi semakin terheran-heran. Tak terasa lagi, keduanya saling pandang dengan muka pucat.

Baru sekaranglah mereka mengetahui betapa selama ini mereka memandang rendah kepada Thian Lee yang sesungguhnya jauh lebih lihai dari mereka, bahkan leblh lihai dari ayah dan guru mereka! Teringat apa yang pernah mereka katakan dan lakukan terhadap Thian Lee, ingin rasanya Hwe Li menangis saking menyesalnya.

Dan ia telah melatih Thian Lee dengan sedikit ilmu tongkat yang tidak ada artinya sama sekali! Dan betapa ia bersikap angkuh kepada pemuda itu yang dianggapnya lemah dan bahkan tolol! Tidak demikian dengan Ceng Ceng." Gadis ini memandang dengan gembira bukan main. Hal yang selama ini sudah diduganya ternyata benar adanya. Thian Lee seorang pendekar yang sakti!

Souw-pangcu sendiri sampai menggeleng-geleng kepala saking kagumnya, Biarpun dia sudah mendengar sendiri riwayat Thian Lee yang pernah dilatih oleh datuk-datuk yang sakti, akan tetapi tidak pernah disangkanya selihai itu. Dia tahu benar bahwa ilmu pedang Bu-tek Lo-kwi itu hebat sekali. Dia sendiri tidak mungkin mampu menandinginya.

Akan tetapi Thian Lee hanya menghadapinya dengan pedang buntung dan belum sampai dua puluh jurus pedang buntung itu telah mengurung pedang kakek itu dan mendesaknya dengan hebat. Mudah diduga bahwa tak lama kemudian kakek itu akan kalah!

Bu-tek Lo-kwi juga menyadari hal ini. Makin lama, desakan pedang buntung itu terasa semakin berat saja. Akhirnya dia menjadi nekat. Ketika pedang buntung mendesak dengan bacokan ke arah lehernya, dia mengerahkan seluruh tenaganya menangkis. Akan tetapi, ternyata tangkisan itu luput.

Dia lupa bahwa pedang itu telah buntung dan tangkisannya mengenai bagian yang sudah buntung sehingga luput dan pedang lawan terus mengancam lehernya. Dia sudah memejamkan matanya karena tidak mungkin dapat menghindarkan lagi dari bacokan pedang pada lehernya.

Akan tetapi pada detik terakhir, ketika pedang buntung sudah hampir menyentuh leher, pedang itu melenceng ke bawah dan tidak jadi membacok leher, melainkan membabat ke arah pinggang.

"Brettt....!" Dan Bu-tek Lo-kwi yang gendut itu menjadi kedodoran karena tali celananya putus! Dengan tangan kiri dia menahan celananya agar jangan sampai merosot turun dan terdengar Lee Cin tertawa terkekeh-kekeh.

"Heiii, babi gendut, jangan telanjang di sini! Tak tahu malu!" teriaknya sambil tertawa-tawa.

Mendengar ini, Hwe Li, Siong Ek dan Ceng Ceng ikut tertawa. Juga para piauwsu ikut pula tertawa. Thian Lee sudah mundur dan membuang pedang buntungnya ke atas tanah. Bu-tek Lo-kwi maklum bahwa dia telah dikalahkan. Kalau lawannya menghendaki, bukan kolor celananya yang putus, melainkan lehernya.

Pada saat itu, melihat betapa pihaknya kalah semua, Coat-beng-kwi yang menjadi penasaran dan marah, mengan-dalkan anak buahnya yang banyak dan dia berteriak, "Serbuuuu...!"

Tiga puluh lebih anak buahnya mencabut golok dan pedang dan menyerbu, akan tetapi pada saat itu, dari balik pintu gerbang menyambar puluhan batang anak panah seperti hujan! Para anak buah perampok menjadi panik banyak yang terkena anak panah dan roboh. Melihat ini, tanpa dapat dicegah lagi, para perampok dan pimpinan mereka lalu melarikan diri tunggang-langgang, disoraki oleh anak buah Kim-liong-pang.

Akan tetapi sampai di pintu gerbang kota Pao-ting, kawanan gerombolan perampok itu telah dihadang oleh pasukan pemerintah yang segera menangkapi mereka. Karena jumlah pasukan itu besar dan semangat para perampok itu sudah hilang, mereka lalu menyerahkan tiga orang pimpinan mereka menyerah, tidak berani melawan pasukan pemerintah.

Semua ini adalah berkat Lai Siong Ek yang telah melapor kepada ayahnya dan memesan agar selagi para perampok bertanding dengan Kim-liong-pang, pasukan tidak mencampuri. Akan tetapi setelah para perampok hendak meninggalkan Pao-ting, barulah pasukan turun tangan menangkapi mereka.

Semua perampok lalu diseret ke pengadilan dan menerima hukuman berat. Sementara itu, di Kim-liong-pang, Song-pangcu mengadakan pesta kemenangan. Pujian-pujian diberikan kepada Thian Lee dan Lee Cin sehingga Thian Lee merasa rikuh sekali. Bahkan Hwe Li juga bersikap manis kepadanya.

"Aih, Lee-twako, kenapa sih engkau menipu kami semua? Pura-pura tidak pandai silat sehingga aku sempat mengajarkan ilmu tongkat segala! Ah, kalau ingat, membikin kami semua merasa malu saja," kata Hwe Li sambil tersenyum.

"Aku juga merasa malu!" kata Siong Ek. "Pantas saja ketika tempo hari kita bertanding, engkau dengan mudah dapat mengalahkan aku, dan aku mengira hal itu kebetulan saja, Thian Lee! Ternyata engkau mempermainkan kami!"

"Adik Hwe Li, dan engkau Siong Ek, sebaiknya lain kali kalian tidak terlalu memandang rendah kepada orang lain," kata Thian Lee singkat dan dua orang itu mengangguk. Memang tidak perlu bicara panjang lebar karena mereka telah bersikap keterlaluan kepada Thian Lee ketika itu.

Ceng Ceng berkata, "Sebetulnya sudah lama aku menduga, sejak Lee-ko mengalahkan Coat beng-kwi tempo hari, bahwa Lee-ko memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi karena pandainya Lee-ko menyimpan rahasia dan bersikap ketololan, aku sendiri sampai merasa ragu."

"Engkau memang cerdik, Ceng-moi," Thian Lee memuji dan Ceng Ceng memandang dengan matanya yang bersinar-sinar dan wajahnya berubah agak kemerahan.

Setelah makan minum untuk merayakan kemenangan gemilang itu, Thian Lee dan Lee Cin lalu berpamit kepada Song-pangcu, "Thian Lee, kuharap engkau suka kembali tinggal di sini. Biarlah piauw-kiok (perusahaan pengiriman barang) akan kuserahkan kepadamu untuk kau urus.”

"Terima kasih, Supek. Aku masih suka merantau. Kelak kalau sudah kenyang merantau dan meluaskan pengalaman, tentu saya akan datang kepada Supek."

Souw Can tidak memaksa menahan Thian Lee, akan tetapi ketika dia memberi bekal uang kepada Thian Lee dan ditolak pemuda itu, dia memaksa, "Thian Lee, dalam perjalananmu engkau tentu membutuhkan uang untuk biaya, karena itu aku tidak ingin engkau menolak pemberianku," katanya.

Melihat ini Lee Cin tertawa, Hi-hik, aku sih tidak pernah membawa bekal uang. Di mana-mana terdapat uang, di rumah hartawan atau bangsawan. Berapa saja yang kuhendaki, dapat kuambil dari mereka."

Souw-pangcu mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak setuju dengar cara yang ditempuh gadis itu. Akan tetapi mengingat bahwa gadis itu murid Ang-tok Mo-li, dia pun tidak berani mencela hanya berkata kepada Thian Lee, "Terimalah, Thian Lee. Aku akan kecewa sekali kalau engkau menolaknya."

Terpaksa Thian Lee menerima pemberian uang itu sarnbil menghaturkan terima kasih. Kemudian dia menggendong buntalannya dan menunggang kuda bersama Lee Cin, diantar oleh seluruh keluarga Song sampai di luar pintu Kim-liong-pang. Jelas nampak wajah duka dari Ceng Ceng ketika Thian Lee berpamit kepadanya.

Setelah mereka meninggalkan Kim-liong-pang, Lee Cin berkata, "Thian Lee, Ceng Ceng itu bersedih ketika kau tinggalkan."

"Eh, mengapa? Mengapa harus bersedih? Aku tidak melihatnya...."

"Mengapa? Hemm, mana ada pencuri mau mengaku?"

"Pencuri? Aku mencuri apa?" Tanya Thian Lee bingung.

"Mencuri hati, tahu? Hati Ceng Ceng telah kau curi dan engkau masih berpura-pura tidak tahu mengapa ia bersedih hati ketika kau meninggalkannya?"

"Ihh! Aku tidak mengerti maksudrnu? Apa sih yang kau maksudkan?"

Lee Cin tertawa. "Ceng Ceng mencintamu, engkau telah menjatuhkan hatinya!"

"Ah, masa? Aku... aku tidak tahu dan aku tidak percaya. la hanya teman biasa bagiku."

"Mungkin bagimu, akan tetapi baginya tidak. Bukan sekedar teman biasa, melainkan teman istimewa. Heran orang ini, dicinta orang masih tidak merasa! Alangkah tololnya."

Wajah Thian Lee berubah merah. "Aku sungguh tidak tahu, aku memang tolol!" Dan dia membedal kudanya keluar dari kota Pao-ting menuju ke kota raja. Lee Cin tertawa dan mengejarnya.

Mereka tiba di jalan yang sepi. Thian Lee menghentikan kudanya. Lee Cin juga menghentikan kudanya. "Mengapa berhenti?"

"Aku ingin bicara denganmu. Mari kita berhenti dulu. Tempat ini sunyi. Kita tidak akan terganggu." Dia lalu meloncat turun dari kudanya. Lee Cin juga meloncat turun. Mereka membiarkan kuda mereka beristirahat dan makan rumput.

"Engkau mau bicara apa denganku?"

"Tentang kita. Tentang gelang kemala itu, tetang pertunangan kita yang sudah ditentukan oleh orang tua kita masing-masing," kata Thian Lee.

"Hemm," Lee Cin memandang dan tersenyum mengejek. "Dan menurut pendapatmu sendiri bagaimana?"

"Aku tidak tahu. Dahulu, ketika aku nnendapat pesan dari Ibu, aku merasa tidak setuju sekali. Sejak kecil dijodohkan dan aku belum melihat dengan siapa aku dijodohkan. Akan tetapi sekarang aku telah bertemu dengan orangnya dan aku...."

"Engkau bagaimana?"

"Aku menjadi bingung! Orang tua kita sudah tidak ada lagi, baik aku dan engkau keduanya sudah yatim piatu. Yang ada hanya sepasang gelang kemala ini yang menjadi saksi. Kalau pendapatmu bagaimana?"

"Thian Lee mengakulah terus terang. Andaikata engkau mendapatkan bahwa pemilik gelang kemala, tunanganmu itu, seorang yang buruk rupa misalnya, dan engkau tidak suka, apakah engkau juga hendak mengawininya sesuai dengan pesan orang tuamu?"

"Kalau aku tidak suka kepadanya, kurasa tidak!" jawab Thian Lee sejujurnya. Memang dia harus jujur. Kalau ternyata gadis yang ditunangkan dengannya itu buruk rupa atau buruk watak sehingga dia tidak suka kepadanya, tentu saja dia tidak mau menikah dengannya. Tentu saja kalau orangnya Lee Cin lain lagi persoalannya. Lee Cin cantik jelita, lihai ilmu silatnya, dan selama ini dia tahu gadis itu orang yang baik, walaupun murid seorang tokoh wanita sesat!

"Jadi engkau hanya mau berjodoh dengan orang yang kau cinta, begitu maksudmu?"

"Benar, dan tentu saja lebih baik lagi kalau ia juga menjadi gadis yang dijodohkan orang tua ku denganku."

"Hemm, kalau begitu. Baiklah aku berterus terang kepadamu, Thian Lee. Aku tidak mau disangka merebut tunangan orang! Ketahuilah, gelang kemala ini bukan milikku."

"Ahhh....?" Thian Lee berseru dan ada nada kecewa dalam seruannya.

"Aku merampasnya dari tangan seorang pencuri, seorang pengemis yang hendak menjual gelang ini."

"Lalu siapa pemilik gelang itu?"

"Aku tidak tahu sama sekali."

"Kalau begitu, Lee Cin. Serahkan gelang kemala itu kembali kepadaku. Gelang itu tadinya memang milik ibuku."

Lee Cin bangkit dari duduknya, memegang gelang di lengan kirinya sambil tersenyum mengejek, "Enak saja kau bicara, Thian Lee. Gelang ini kurampas dari tangan pengemis itu dengan kepandaian dan kekerasan. Kalau engkau ingin memilikinya, engkau pun harus dapat merampas dari tanganku dengan kepandaian dan kekerasan. Sudahlah, aku memang sejak tadi ingin sekali menguji kepandaianmu. Hayo kau rampaslah gelang ini dari tanganku, kalau dapat!" katanya.

Thian Lee memandang tajam. Dia sudah mengenal watak gadis yang bengal ini. Lee Cin tentu tidak akan mau menyerahkan gelang itu begitu saja. Dan dia pun ingin menguji sampai di mana kemampuan Lee Cin, maka dia bersiap-siap merampas gelang itu.

"Baiklah kalau begitu. Jaga dirimu baik-baik, aku akan menyerangmu dan merampas gelang!"

Setelah berkata demikian, Thian Lee menggerakkan tubuhnya, tangan kiri menampar ke arah kepala Lee Cin sedangkan tangan kanan menyambar ke arah tangan kiri Lee Cin untuk merampas gelang! Tentu saja tamparan tangan itu hanya merupakan pancingan saja sedangkan yang sungguh-sungguh menyerang adalah tangan kanan yang menyambar gelang.

Namun agaknya gerakannya itu sudah diduga oieh Lee Cin yang menarik tangan kirinya sambil memutar tubuhnya dan tangan kanannya menangkis ke atas sambil berusaha mencengkeram pergelangan tangan yang menamparnya itu. Thian Lee menarik kembali tangan kirinya kemudian dia sudah mencoba untuk menyambar gelang di tangan kiri Lee Cin.

Namun, gadis itu dapat bergerak dengan ringan dan lincah sekali sehingga beberapa kali tangan Thian Lee menyambar tanpa hasil karena Lee Cin selalu dapat mengelak atau menangkis. Bahkan gadis itu membalas dengan serangan tamparan, pukulan dan tendangan yang membuat Thian Lee harus berhati-hati menjaga dan menghindarkan diri dari serangan balasan itu.

Kedua orang itu bergerak semakin cepat sehingga akhirnya tubuh mereka sukar dapat diikuti gerakannya dengan mata biasa, karena kedua tubuh itu sudah merupakan bayangan yang berkelebatan saja! Lee Cin merasa kagum bukan main. la sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menyerang Thian Lee, namun semua serangannya gagal, bahkan beberapa kali hampir saja Thian Lee dapat merampas gelangnya.

Setelah lewat lima puluh jurus, tiba-tiba Thian Lee melakukan dorongan dengan kedua tangannya dan Lee Cin terkejut sekali karena tiba-tiba saja tubuhnya terhuyung ke belakang, diterpa angin pukulan yang luar biasa kuatnya. Dan selagi dia terhuyung itu, Thian Lee menubruk ke arah tangan kirinya. Lengan kirinya dapat terpegang oleh Thian Lee!

Hampir Lee Cin menjerit karena lengan kirinya terasa lumpuh. Akan tetapi sebelum Thian Lee dapat merampas gelang, dara itu menggunakan tangan kanannya untuk melolos gelang dari lengan kirinya, kemudian secepat kilat gelang itu telah ia masukkah ke balik baju di bagian dadanya!

Thian Lee menangkap pula tangan kanan dara itu sehingga kedua tangannya tak dapat digerakkan lagi. Akan terapi dia lalu menjadi bingung dan mukanya kemerahan. Bagaimana mungkin dia berani merogoh gelang yang disembunyikan di balik baju di dada itu?

Biarpun dia sudah jelas memenangkan pertandingan itu, akan tetapi tetap saja dia tidak mampu merampas gelang kemala itu! Dia masih memegang kedua lengan gadis itu dan akhirnya terpaksa dia melepaskan kedua tangan itu dan melangkah mundur.

"Lee Cin, tolong berikan gelang itu kepadaku."

"Kenapa tidak engkau ambil sendiri?" kata gadis itu dan kembali Lee Cin sudah menyerang.

Karena ia berada dekat sekali dengan Thian Lee dan pemuda itu tidak menyangka akan diserang, naka biarpun dia sudah menggerakkan tubuh miring, tetap saja dadanya terserempet tamparan tangan Lee Cin. Akan tetapi dia masih keburu mengerahkan Thian-te Sin-kang untuk melindungi tubuhnya.

"Plakk!" Dan Lee Cin menyeringai kesakitan karena tangannya yang menampar itu rasanya seperti menampar besi panas! Dan sebelum ia dapat bergerak lagi, secepat kilat jari tangan Thian Lee bergerak menotoknya dan Lee Cin tidak mampu bergerak lagi!

"Maaf, Lee Cin. Akan tetapi engkau, harus mengembalikan gelang itu!" kata Thian Lee, tetap saja tidak berani merogoh gelang yang berada di balik baju.

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring, "Jahanam! Berani engkau menghina muridku?" Dan Ang-tok Mo-li sudah muncul di situ, talu secepat kilat tangannya menepuk pundak Lee Cin, membuat gadis itu seketika terbebas dari totokan.

Thian Lee memandang dengan kaget. Wanita tinggi kurus yang berwajah cantik namun pucat seperti mayat, dengan pakaiannya yang merah menyala itu sudah berdiri di depannya dengan sikap marah. "Maaf, bukan maksud saya menghina Lee Cin...." kata Thian Lee.

"Keparat, apakah mataku sudah buta? Engkau harus dihajar!" Setelah berkata demikian, Angtok Mo-li segera menyerang Thian Lee dengan cakaran tangannya. Setiap kuku jari tangan Ang-tok Mo-li mengandung racun maka cakaran itu berbahaya bukan main.

Thian Lee mengelak dengan mudah dan hal ini membuat Ang-tok Mo-li merasa penasaran. Dengan api kemarahan berkobar ia sudah menerjang dan mengirim serangan secara bertubi-tubi, berupa cakaran, totokan dan tamparan.

Tak mungkin bagi Thian Lee kalau hanya menghindarkan diri dengan elakan saja dari serangkaian serangan maut yang hebat itu, terpaksa dia pun menggerakan tangan menangkis beberapa kali.

"Plak-plak-plak-dukkk!"

Tangkisan yang terakhir ini terjadi keras sekali karena keduanya mengerahkan tenaga sin-kang mereka dan akibatnya membuat Ang-tok Mo-li terhuyung ke belakang sedangkan Thian Lee melangkah mundur dua tindak. Tentu saja iblis betina itu menjadi terkejut, heran dan semakin marah.

"Hemm, siapa engkau?" tanyanya sambil memandang pemuda itu penuh selidik.

"Subo, dua Thian Lee yang dulu jadi murid Jeng-ciang-kwi itu."

Mendengar bahwa pemuda itu murid Jeng-ciang-kwi musuh utamanya, Ang-tok Mo-li membentak, "Panggil gurumu biar kami bertanding sampai seribu jurus!" la masih marah karena dulu ketika bertanding melawan Jeng-ciang-kwi ia sampai terluka parah biarpun ularnya dapat menggigit datuk itu.

"Locianpwe, saya sudah bukan murid Jeng-ciang-kwi lagi," kata Thian Lee menyabarkan hati Ang-tok Mo-Li.

"Kalau begitu, engkau saja yang mewakilinya. Terimalah ini!" Ang-tok Mo-Li mencabut sebatang kebutan dari ikat pinggangnya. Kebutan itu gagangnya pendek saja akan tetapi bulu kebutan itu ada semeter panjangnya dan warnanya merah darah. Begitu tangannya digerakkan, Ang-tok Mo-li sudah menyerang dengan kebutannya yang bulu-bulunya mendadak menjadi kaku seperti kawat dan menusuk ke arah muka Thian Lee!

Pemuda ini terkejut sekali. Maklum bahwa dia berhadapan dengan senjata maut, maka dia lalu melempar tubuh ke belakang membuat poksai (salto) lima kali dan ketika dia turun lagi tangannya sudah memegang Jit-goat-sin-kiam. Pedang ltu ketika dia berjungkir balik tadi dia lolos dari buntalan pakaian di punggungnya. Kini nampak pedang itu berkilauan di tangannya sehingga Ang-tok Mo-Li kini yang memandang kagum dan kaget.

"Baiklah, Locianpwe, kalau Locianpwe memaksa, terpaksa saya layani!" kata Thian Lee sambil membentangkan pedangnya di depan dada.

"Subo, hati-hati. Thian Lee telah menjadi seorang yang memiliki kelihaian yang luar biasa!" Lee Cin memperingatkan gurunya.

"Hemm, bagus! Hendak kulihat sampai di mana kelihaiannya!" Ang-tok Mo-li lalu menyerang dengan kecepatan kilat. Thian Lee juga menggerakkan pedangnyar dan mereka sudah bertanding saling serang dengan seru dan dahsyat sekali.

Lee Cin berdiri menonton dengan mata terbelalak. Baru sekarang ia yakin benar akan kelihaian Thian Lee. Tadi ia harus mengakui keunggulan Thian Lee dan ketika subonya muncul, timbul keinginan hatinya untuk melihat bagaimana Thian Lee akan menghadapi subonya yang lihai.

Ketika melihat subonya mengeluarkan kebutannya, ia sudah terkejut. Subonya jarang sekali mempergunakan kebutannya kalau tidak bertemu lawan yaag amat tangguh. Dengan mengeluarkan kebutannya, berarti subonya menganggap Thian Lee musuh yang tangguh sekali.

Dan ketika pemuda itu mengeluarkan pedangnya, Lee Cin menjadi semakin kagum. Akan tetapi begitu keduanya bergerak, keheranan dan kekaguman Lee Cin mencapai puncaknya. Ternyata pemuda itu mampu menandingi gurunya dalam hal kecepatan maupun tenaga!

Pertandingan itu memang hebat. Akan tetapi sesungguhnya Thian Lee mengalah. Dia tidak ingin membikin malu kepada Ang-tok Mo-li, maka dia pun lebih banyak menjaga diri daripada menyerang. Sampai seratus jurus mereka bertanding, belum juga ada yang kalah atau menang.

Akan tetapi, ketika Thian Lee mulai menggunakan jurus-jurus Jit-goat Kiam sut bagian menyerang yang ampuh, mulailah Ang-tok Mo-li terdesak! Bukan main heran dan kagetnya hati Ang-tok Mo-li. la sudah mengenal betul ilmu-ilmu dari musuh lamanya, Jeng-ciang-kwi, akan tetapi belum pernah ia melihat ilmu pedang seperti yang dimainkan pemuda ini yang membuat gerakan kebutannya menjadi kacau dap membuat ia terdesak.

"Thian Lee, awas Ang-hoa-coa!" Tiba-tiba Lee Cin berseru. Gadis itu melihat betapa subonya mengeluarkan ular merah yang amat lihai itu dan ia mengkhawatirkan keselamatan Thian Lee. Ular merah itu terlalu berbahaya dan biasanya sekali dikeluarkan sebagai senjata, tentu akan mencelakai lawan. Dulu pun Jeng-ciang-kwi terluka hebat oleh gigitan Ang-hoa-coa.

Akan tetapi seruan Lee Cin itu terlambat. Saat itu, pedang Thian Lee menusuk ke arah dada lawan. Ang-tok Mo-li menangkis dengan kebutannya dan kini bulu-bulu kebutan itu menjadi lemas dan melilit pedang. Dan pada saat itulah Ang-tok Mo-li melontarkan ular merahnya dan binatang aneh itu meluncur cepat sekali menuju ke arah tenggorokan Thian Lee.

Pemuda itu mengelak dengan miringkan tubuhnya, akan tetapi ular merah itu dapat melejit dan masih tetap mengenai pundak kanannya dan menggigit! Akan tetapi jari-jari tangan kiri Thian Lee juga cepat dapat menjepit leher ular itu. Dia tidak membunuh ular itu dengan jepitan tangannya melainkan melemparkan ular itu kembali kepada Ang-tok Mo Li sambil berseru, "Mo-li, kukembalikan ularmu ini!"

Dan sekali dilontarkan, ular itu meluncur ke arah muka Ang-tok Mo-li yang menangkapnya dengan tangan kirinya. la merasa heran juga mengapa pemuda itu tidak membunuh ularnya. Pada saat itu, Thian Lee mengeluarkan bentakan melengking nyaring sambil mengerahkan Thian-te Sinkang, menarik pedangnya dan tiba-tiba bulu kebutan itu terbabat putus dan rontok berhamburan.

Ang-tok Mo-li terbelalak dan bukan main kagetnya. Pemuda itu sudah digigit Ang-hwa-coa, akan tetapi masih mampu mengerahkan tenaga sedemikian hebatnya sehingga bulu-bulu kebutannya terbabat putus dan rontok tinggal gagangnya saja. Rontoknya bulu kebutannya sudah menandakan bahwa ia kalah!

Boleh jadi Ang-tok Mo-li seorang wanita yang kejam dan suka membunuh orang tanpa berkedip mata, akan tetapi ia juga seorang gagah yang dapat menghargai kegagahan orang. Melihat Thian Lee mengalahkannya dengan merontokan kebutannya dan tidak membunuh Ang-hoa-coa yang sudah berada dalam tangannya tadi, ia pun berkata,

"Orang muda, terimalah obat penawar racun Ang-hwa-coa kalau engkau tidak mau mati."

"Terima kasih, Locianpwe. Saya tidak perlu berobat dan racun Ang-hwa-coa tidak akan membunuh saya!"

Ang-tok Mo-li terbelalak. Akan tetapi ia tidak peduli lagi. la berkelebat dan hanya terdengar suaranya yang ditujukan kepada Lee Cin, "Lee Cin, cepat menyusul aku!"

Kini tinggal Lee Cin berdua Thian Lee yang berdiri di situ, Lee Cin bediri dengan pandang mata hampir tidak percaya kepada Thian Lee. Pemuda ini telah mengalahkan subonya! Ia menghampiri Thian Lee dan memegang kedua tangan pemuda itu dengan pandang mata penuh kemesraan. "Thian Lee, engkau hebat. Belum pernah aku bertemu dengan seorang pemuda sehebat engkau.”

Thian Lee melihat pandang mata Lee Cin menjadi salah tingkah. Jantungnya berdebar aneh karena pandang mata gadis itu demikian mesra dan jelas sekali menunjukkan cinta kasih! “Lee Cin, aku mohon kepadamu. Berikanlah gelang kemala itu kepadaku," pintanya dengan suara memohon.

"Thian Lee, kalau mungkin, aku ingin menjadi pemilik gelang kemala itu. Bukankah pemilik gelang kemala itu menjadi tunanganmu?" Ucapan ini saja Jelas menyatakan isi hati gadis itu kepadanya.

Thian Lee menghela napas panjang. "Lee Cin, sudah kukatakan kepadamu bahwa aku tidak setuju dengan perjodohan yang dilakukan orang tuaku itu. Aku tidak menganggap pemilik gelang ini sebagai calon jodohku."

"Benarkah itu, Thiah Lee? Jadi engkau menganggap dirimu belum bertunangan?"

"Benar, aku belum bertunangan dengan siapa pun."

"Kalau begitu, aku mempunyai harapan? Engkau suka kepadaku, bukan? Biarpun hanya sedikit?" Sepasang mata itu memandang penuh permohonan sehingga hati Thian Lee tergerak.

"Tentu saja aku suka kepadamu, Lee Cin. Engkau seorang gadis yang baik sekali."

"Benarkah itu, Thian Lee? Kau anggap aku baik?"

"Ya, engkau baik Sekali."

"Dan cantik?"

"Dan cantik sekali."

"Dan engkau... cinta kepadaku, seperti aku... eh, cinta padamu?"

"Cinta? Ah, aku tidak tahu, Lee Cin. Aku tidak tahu...."

Lee Cin merangkul leher Thian Lee. "Thian Lee, ingatlah selalu bahwa di sana ada seorang gadis yang mengharapkanmu, yang merindukanmu, yang mencintamu, yang mengharapkanmu menjadi jodohnya, dan gadis itu adalah aku!"

Thian Lee menghela napas panjang dsin memejamkan matanya. Rangkulan Lee Cin itu, terlalu menggoda baginya. Lee Cin lalu mengambil gelang kemala dari balik bajunya dan menyerahkannya kepada Thian Lee. "Aku akan menanti siang malam sampai pada suatu hari engkau akan memberikan sepasang gelang kemala itu sebagai hadiah perkawinan untukku."

Setelah Thian Lee menerima gelang itu, Lee Cin lalu berlari pergi meninggalkannya. Hanya suaranya saja yang terdengar dari jauh, "Jaga dirimu baik-baik, Thian Lee!"

Thian Lee berdiri termenung, gelang itu di tangannya. Dia memejamkan mata dan berusaha mengusir bayangan Lee Cin dari benaknya. Gadis itu mencintanya. Dan begitu jujur menyatakan cinta. Kalau gadis itu bukan murid Ang-tok Mo-li tidak mungkin akan berani mengaku cinta demikian terbuka!

Dan memang Lee Cin seorang gadis yang baik, amat baik. Gadis itu hanya mewarisi ilmu-ilmu silat dari Ang-tok Mo-li dan untungnya tidak memiliki wataknya yang kejam dan jahat, walaupun mendapatkan pula watak yang liar dan bengal dan aneh.

Thian Lee terpaksa meninggalkan rumah makan di mana dia bekerja. Dia tidak mungkin lagi bekerja di situ setelah dia sering kali harus membolos dan tidak ingin orang menaruh curiga kepadanya. Dia berpamit dari pemilih rumah makan dan meninggalkan rumah makan itu. Dia ingin sekali menyelidiki keadaan Cin Lan, puteri pangeran itu. Dia tertarik sekali dan dia merasa bahwa gadis itu tentu terancam bahaya karena sudah berani membikin kacau di rumah Pangeran Tua.

Malam itu Thian Lee mengenakan pakaian hitam dan pergi ke rumah Pangeran Tang Gi Su. Sekali ini dia tidak mengenakan topeng lagi. Tidak, kalau bertemu dengan gadis itu, dia akan memperkenalkan diri secara berterang. Bukankah mereka sudah pernah berkenalan ketika gadis itu pulang dari Pulau Ular Emas membawa buah sian-tho dan dikeroyok orang yang ingin merampasnya. Mereka sudah berkenalan, maka tidak perlu lagi dia menyembunyikan diri dari Cin Lan.

Malam itu sunyi sekali dan dingin. Thian Lee meloncati pagar tembok dan tiba-tiba dia mendekam. Dilihatnya bayangan hitam berkelebat melompati pagar tembok pula. Mereka itu sungguh mencurigakan sekali. Mereka juga berpakaian hitam dan memegang golok telanjang.

Ketika mereka tiba di pekarangan belakang di mana terdapat lampu penerangan, tiba-tiba saja rnuncul Cin Lan yang membawa senjata tongkatnya. "Jahanam! Siapa kalian berani mengacau di sini?" bentak Cin Lan.

Akan tetapi dua orang di antara mereka segera menggerakkan golok mereka mengeroyok Cin Lan. Gadis itu melawan dan segera terjadi perkelahian seru di antara mereka. Thian Lee melihat bahwa Cin Lan cukup kuat untuk menandingi dua orang pengeroyok itu. Dia melihat penjahat yang seorang lagi menyelinap masuk ke ruangan sebelah dalam. Dia menjadi curiga dan cepat dia membayangi.

Agaknya suara ribut-ribut di belakang itu menarik perhatian para penghuni rumah itu. Dia melihat seorang laki-laki setengah tua yang pakaiannya mewah berlari-lari bersama para pelayan menuju ke belakang, agaknya tertarik oleh suara perkelahian di pekarangan belakang itu. Melihat orang setengah tua itu, penjahat yang ke tiga itu lalu menyerangnya dengan goloknya.

"Plakk!" Tangan yang mengayun golok itu ditampar orang dan ternyata yang menolongnya adalah Thian Lee. Si Pemegang Golok terkejut melihat goloknya tertahan karena tangannya ditangkis orang. Dia menengok dan melihat seorang pemuda berpakaian hitam-hitam pula orang menangkisnya. Dia merasa marah sekali dan segera mengayun goloknya menyerang.

Akan tetapi, hanya dengan beberapa gebrakan saja Thian Lee dapat membuat orang itu terpelanting dan goloknya terlempar. Orang itu bangkit berdiri dan melompat ke dalam gelap, melarikan diri.

Laki-laki setengah tua Itu adatah Pangeran Tang Gi Su sendiri. Tentu saja dia terkejut melihat dirinya tadi diserang orang dan ada yang menolongnya. Akan tetapi penolong itu sudah melompat pergi lagi tanpa mengeluarkan sepatah pun kata.

Thian Lee kembali ke tempat di mana Cin Lan melawan dua orang penjahat. Ternyata dua orang penjahat itu lihai juga sehingga sampai sekarang Cin Lan belum mampu mengalahkan mereka, walaupun kedua orang itu pun mengalami kesulitan untuk mengalahkan tongkat di tangan Cin Lan.

Melihat ini, Thian Lee lalu melompat dan berseru, "Nona Tang, Jangan khawatir, aku datang membantumu.”

Seorang penjahat membacok Thian Lee, akan tetapi dengan mudahnya Thian Lee mengelak ke samping dan ketika kakinya mencuat dalam tendangan, orang itu terjengkang. Karena maklum bahwa gadis yang sudah lihai sekali itu mendapat bantuan, kedua orang ini pun berlompatan roenghilang dalam kegelapan malam.

"Hendak lari ke mana kalian!" bentak Gin Lan yang hendak mengejarnya, akan tetapi Thian Lee mencegahnya.

"Nona, musuh yang sudah melarikan diri berbahaya dan tidak baik untuk dikejar."

"Akan tetapi aku harus tahu siapa mereka dan apa maksud mereka mengacau di sini!" kata Cin Lan yang tetap melakukan pengejaran.

Thian Lee juga terpaksa melakukan pengejaran. Mereka melihat tiga orang itu berlari cepat sekali dan ketika dikejar, mereka menghilang di balik tembok rumah Pangeran Tua! Cin Lan penasaran dan ingin terus mengejar, akan tetapi Thian Lee berkata, sambil memegang tangan Cin Lan,

"Cukup, Nona. Kalau dikejar terus ke dalam, berbalik Nona yang akan dituduh pengacau."

Cin Lan berhenti dan memandang Thian Lee, bertanya, "Siapakah engkau? Bagaimana engkau bisa tahu ada pengacau di rumahku dan menolongku?"

"Aih,. . Nona Tang. Apakah engkau sudah lupa kepadaku? Aku Thian Lee, Song Thian Lee. Aku pernah bertemu dengan Nona ketika Nona keracunan dahulu itu, di pantai...."

"Ah, engkaukah itu?"

"Tadi memang aku hendak berkunjung kepadamu, Nona. Aku sudah mendengar akan sepak terjangmu yang gagah perkasa, dan aku hendak berkunjung, lalu di luar aku melihat bayangan tiga orang tnelompati pagar tembok. Karena curiga aku lalu membayangi mereka. Kemudian, ketika yang dua orang itu mengeroyokmu, aku melihat yang seorang lagi masuk ke dalam. Aku membayanginya dan dia menyerang orang di dalam. Aku mencegahnya dan dia melarikan diri."

Cin Lan terkejut. "Ah, dia menyerang orang di dalam? Kalau begitu, mari kita cepat kembali ke sana!" Gadis itu lalu berlari cepat, diikuti oleh Thian Lee. Mereka melompati pagar tembok dan di pekarangan belakang mereka melihat sudah banyak orang berkumpul. Agaknya mereka semua masih membicarakan keributan yang terjadi akibat penyerbuan orang-orang jahat.

"Ah, sukur engkau datang, Cin Lan!" kata orang setengah tua tadi yang bukan lain adalah Pangeran Tang Gi Su.

"Cin Lan, engkau tidak apa-apakah?" Seorang wanita setengah tua yang cantik merangkul Cin Lan.

"Aku tidak apa-apa, Ibu. Ayah, tadi aku mengejar tiga orang penjahat yang melarikan diri dan...." Cin Lan tidak melanjutkan kata-katanya karena di situ terdapat para penjaga dan pelayan. "Ah, ya, ini adalah seorang sahabatku, Ayah."

"Aku sudah melihatnya. Orang muda, bukankah engkau yang tadi menolongku dari serangan penjahat?"

"Aih, jadi yang diserang penjahat adalah engkau, Ayah? Terima kasih, Lee-twako, engkau telah menyelamatkan Ayah.”

"Ah, tidak perlu berterima kasih, Nona Tang." kata Thian Lee.

"Cin Lan, siapakah pemuda ini bagaimana engkau dapat berkenalan dengan dia?" tanya Pangeran Tang Gi Su dengan alis berkerut.

"Dia bernama Song Thian Lee, Ayah, dan dia bekerja... eh, Lee-twako, engkau bekerja apa?" tanya Cin Lan yang kebingungan sendiri dalam memperkenalkan pemuda itu kepada ayahnya karena ia sendiri pun belum tahu akan keadaan Thian Lee.

"Ah, aku... eh, saya bekerja sebagai pelayan rumah makan Hok-an."

"Pelayan rumah makan?" Pangeran Tang Gi Su berseru heran dan juga kaget bagaimana puterinya bersahabat dengan seorang pelayan rumah makan! "Ah, orang muda, engkau sudah berjasa menolongku tadi. Biar kuberi hadiah! Dia hendak menyuruh isterinya untuk mengambilkan uang untuk memberi hadiah kepada Thian Lee.

Akan tetapi Thiian Lee cepat berkata, "Tidak perlu, Taijin. Tidak perlu memberi hadiah.”

"Cin Lan, mari kita bicara di dalam. Orang muda, sekali lagi kami mengucapkan terima kasih atas bantuanmu tadi." Lalu Pangeran Tang Gi Su menyuruh penjaga untuk mengantarkan Thian Lee keluar dari tempat itu.

"Taijin, biarlah saya pergi melalui dari mana saya tadi datang. Nona Tang, selamat tinggal! Thian Lee yang merasa dipandang rendah sekali oleh pangeran itu lalu melompat dan sekali melompat dia sudah berada di pagar tembok terus dia melompat keluar.

"Lee-ko....!" Sesosok bayangan mengejarnya setelah dia tiba di luar dan ternyata yang mengejarnya adalah Cin Lan.

"Eh, engkau, Nona Tang? Ada apakah mengejarku?"

"Lee-ko, aku ingin rninta maaf kepadamu atas sikap ayahku tadi. Engkau telah menyelamatkan nyawanya, akan tetapi dia...."

"Ah, tidak mengapa, Nona. Tadinya aku pun hanya ingin bertemu denganmu, ingin memberi tahu kepadamu agar engkau berhati-hati menghadapi Pangeran Tua. Di sana banyak sekali orang pandai dan jangan Nona sembrono memasuki tempatnya seperti tempo hari...." Thian Lee menahan kata-katanya yang terlanjur.

Cin Lan adalah seorang gadis yang cerdik. Mendengar ucapan ini, ia lalu berseru, "Ah, kalau begitu engkaulah orangnya yang dahulu itu menyelamatkan aku! Benarkah, Twako?"

Thian Lee merasa tidak perlu untuk menghindar lagi. "Memang benar, Nona. Dan maafkan aku yang terpaksa melarikanmu karena engkau terancam bahaya besar."

"Aih, jangan sebut aku nona, Twako. Engkau sudah berulang kali menolongku. Dahulu, engkau menyelamatkan aku ketika aku keracunan karena gigitan ular emas dan ular putih. Kemudian engkau menyelamatkan aku ketika aku terancam bahaya di rumah Pangeran Tua, dan tadi baru saja engkau menyelamatkan Ayah dari serangan penjahat. Setelah berulangulang engkau menolongku, engkau adalah sahabatku yang baik. Jangan sebut aku nona, namaku Cin Lan."

"Baiklah, Adik Cin Lan. Dan terima kasih atas kebaikanmu."

"Baik apanya? Kami bahkan bersikap tidak pantas kepadamu, Twako. Terutama sekali Ayah. Ah, aku menyesal sekali dan aku mohon maaf kepadamu atas sikap yang merendahkanmu."

"Tidak mengapa, Lan-moi, tidak mengapa. Memang aku hanya seorang pemuda miskin dan papa, orang macam aku ini mana pantas untuk berkenalan dengan engkau, seorang puteri pangeran, seorang bangsawan tinggi? Ayahmu sudah semestinya bersikap demikian. Nah, selamat tinggal, Lan-moi, percayalah, aku tidak menyesal dan tidak perlu meminta maaf." Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Thlan Lee telah pergi dari situ.

"Lee-ko....!" Cin Lan hendak mengejar akan tetapi pemuda itu bergerak cepat sekali dan malam gelap telah menelan dirinya.

Sejenak Cin Lan berdiri termenung. Hatinya terasa sepi dan menyesal bukan main. Dia telah bertemu dengan seorang pemuda yang berilmu tinggi, dan yang sudah berulang kali menolongnya, akan tetapi pemuda itu malah diperlakukan dengan sikap menghina oleh ayahnya.

Memang ayahnya tidak bermaksud menghina, ingin memberi hadiah uang dan tentu saja ayahnya tidak senang melihat ia bergaul dengan seorang pemuda yang bekerja sebagai pelayan rumah makan. Pelayan rumah makan. Tak terasa lagi kedua Cin Lan menjadi basa air mata.

Ketika ia pulang, Cin Lan nnenegur ayahnya, "Ayah, tadi sikap Ayah terlalu merendahkan Thian Lee. Dia tidak menjadi sakit hati, akan tetapi sungguh kasihan sekali dia. Dia menolong tanpa pamrih, akan tetapi Ayah hendak memberinya uang dan ayah tidak mempersilakan dia masuk ke dalam rumah."

"Aih, Cin Lan. Bagaimana engkau dapat menyalahkan ayahmu? Aku ingin memberi dia hadiah uang karena dia hanya bekerja sebagai pembantu rumah makan, tentu keadaannya miskin. Hadiah apalagi yang lebih baik baginya? Kalau dia menolak, itu urusan lain lagi. Dan hari sudah malam, bagaimana aku dapat mempersilakan dia masuk? Tidak pantas itu!" bantah ayahnya.

"Sudahlah, Cin Lan. Sepatutnya kita bersyukur bahwa perbuatan para penjahat itu tidak sampai menjatuhkan korban. Kita semua masih daiam selamat. Sungguh mengherankan sekali, bagaimana ada penjahat masuk ke sini dan bahkan mennyerang ayahmu?" kata Lu Bwe Si.

"Oya, bagaimana ketika engkau tadi mengejar para penjahat itu, Cin Lan? Apakah ada hasilnya?" tanya Pangeran Tang Gi Su yang hendak mengalihkan percakapan dan melupakan persoalannya dengan pemuda itu.

"Aku mengejarnya dan mereka bertiga itu menghilang di balik tembok rumah Paman Pangeran Tang Gi Lok," kata Cin Lan. "Sesungguhnya, ada beberapa peristiwa yang selama ini belum kuceritakan kepada Ayah. Sudah dua kali aku memasuki rumah Pangeran Tua pada malam hari.”

Pangeran Tang Gi Su terbelalak. "Cin Lan! Apa yang kau lakukan itu? Dan mengapa engkau melakukan itu? Engkau masuk secara menggelap sebagai pencuri?"

“Benar, Ayah. Tentu saja ada sebabnya mengapa aku melakukan hal itu. Pada suatu hari, aku berkunjung ke kuburan ayah kandungku di dusun Teng-sia-bun...."

"Cin Lan....! Engkau tidak memberi tahu kepadaku!" teriak ibunya dengan mata terbelalak.

"Memang aku tidak memberi tahu siapa pun, Ibu. Maafkan aku. Aku ingin sekali bersembahyang di kuburan itu. Dan ketika aku bersembahyang, muncul orang-orang hendak menangkap aku. Aku mengamuk dan dari seorang penyerang itu aku mendapat keterangan bahwa yang menyuruh tangkap aku adalah Pangeran Tua. Nah, aku menjadi penasaran sekali, Ayah dan Ibu.

"Malamnya, tanpa diketahui siapa pun, aku datang ke rumah Paman Pangeran Tua dan bertanya mengapa dia menyuruh orang-orang menangkap aku. Paman Pangeran Tua bahkan mengerahkan para jagoannya untuk menangkap aku, mengatakan bahwa aku adalah anak pemberontak yang harus ditangkap. Dan aku tidak dapat melawan para jagoannya yang banyak dan lihai. Aku tertawan di sana...."

"Cin Lan....!" Ibunya menjerit, khawatir.

"Lalu pada keesokan hatinya, datang Bian Hok yang minta kepada Pangeran Tua agar aku dibebaskan. Setelah dibebaskan, aku lalu pergi, tidak sudi aku ditolong oleh pemuda putera Pangeran Bian Kun itu...."

"Cin Lan! Dia itu tunanganmu!" bentak ayahnya.

"Aku tidak pernah menganggap dia itu tunanganku, Ayah. Aku tidak suka kepadanya. Setelah aku bebas pada lain hari aku datang lagi malam-malam ke sana untuk menantang jagoan tua tanpa keroyokan. Aku merasa penasaran sekali karena tempo hari itu aku tertawan karena dikeroyok."

"Hemm, engkau sungguh nekat..."

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.