Gelang Kemala Jilid 15

Cerita Silat Mandarin Serial Gelang Kemala Jilid 15 Karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Gelang Kemala Jilid 15

”Thian Lee, lihat seranganku!' bentaknya dan cepat sekali kedua pedangnya meluncur ke depan. Thian Lee memutar pedangnya menangkis dan sekaligus dia menangkis kedua pedang itu.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

"Trang! Tranggg!"

Nampak bunga api berpijar dan kakek itu surut ke belakang untuk melihat keadaan sepasang pedangnya. Biarpun tadi dia merasakan kedua tangannya tergetar hebat, namun dia merasa lega melihat sepasang pedangnya tidak menjadi rusak.

Maka dia pun memutar siang-kiam (sepasang pedang) itu dengan hebat dan menerjang maju. Dua gulungan sinar pedang itu bagaikan ombak samudra bergulung-gulung menerpa ke arah Thian Lee.

Namun pemuda ini tidak menjadi gentar. Dengan lincah dia nnengelak dari tamparan pedang yang membabat ke arah lehernya dan menangkis pedang kedua yang menusuk dadanya, kemudian kakinya menendang secepat kilat ke arah tangan yang memegang pedang kanan.

Kakek itu menarik tangannya yang terancam tendangan dan sekali lagi menusukkan pedang kiri ke arah lambung Thian Lee.

"Trangg..." Pedang itu tertangkis sarung pedang yang dipegang oleh tangan kiri Thian Lee. Kemudian pemuda itu membalas, memutar pedangnya menyambar-nyambar bagaikan seekor naga di angkasa. Lawannya cepat memutar sepasang pedang membentuk perisai untuk melindungi dirinya.

Bukan main serunya pertandingan ini. Bahkan Lee Cin sendiri yang sudah memliki ilmu kepandaian tinggi, menjadi bengong dan terbelalak kagum. la tahu bahwa kalau ia yang harus melawan kakek itu, ia tidak akan mampu bertahan sampai tiga puluh jurus!

Akan tetapi Thian Lee bukan saja mampu mengimbangi kakek itu, bahkan kini gulungan sinar pedang yang berkilat-kilat dari pemuda itu mulai mendesak, gulungan sinar pedang itu mulai melebar dan meluas sedangkan dua gulungan sinar pedang Mo-ong makin menyempit!

Biar-pun Lee Cin tidak dapat mengikuti pertandingan itu dengan pandang matanya karena terlalu cepat gerakan kedua orang itu, akan tetapi dari gulungan sinar pedang itu ia dapat mengetahui bahwa Thian Lee mulai dapat mendesak lawannya.

"Locianpwe, maafkan aku!" Tiba-tiba terdengar seruan Thian Lee dan pemuda itu meloncat keluar dari medan pertandingan.

Lee Cin melihat betapa kakek itu telah bermandikan keringatnya sendiri dan baju di dadanya yang bergambarkan Im-yang itu telah robek! Tahulah ia bahwa Thian Lee tidak mau membunuh atau melukai kakek itu, hanya merobek baju di bagian dadanya.

Akan tetapi tentu saja cukup menjadi bukti bahwa pemuda itu telah keluar sebagai pemenang setelah melalui pertandingan pedang yang seru selama seratus jurus lebih dan agaknya Thian-te Mo-ong juga mengetahui hal ini. Dia memandang pemuda itu dengan sinar mata kagum, akan tetapi keangkuhannya melarang dia untuk mkekaiahannyalahannya.

Pedang di kedua tangannya digerakkan dan pedang-pedang itu telah lenyap ke dalam sarung pedang, kemudian dia membalikkan tubuhnya dan berjalan cepat sekali pergi dari situ tanpa sepatah pun kata keluar dan mulutnya.

"Thiah Lee, engkau sungguh hebat!" Lee Cin menghampiri pemuda itu dan memujinya dengan jujur. "Aku memang sudah lama tahu bahwa engkau seorang yang lihai sekali, akan tetapi sungguh tak pernah aku dapat membayangkan engkau akan mampu menandingi seorang di antara Empat Datuk Besar. Wah, tingkat kepandaianmu sudah melebihi dari tingkat guruku sendiri!'

"Ah, tidak perlu terlalu memujiku, Lee Cin. Hanya karena kebetulan saja kakek itu mengalah dariku. Akan tetapi, bagaimana engkau sampai dapat tiba di tempat ini?"

"Aku memang sengaja pergi ke Hong-san dan tanpa disengaja bertemu dengan tiga orang jahat itu yang mengeroyokku. Mo-ong menolongku membunuh tiga orang ini, akan tetapi ternyata pertolongannya berpamrih. Aku hendak dipaksa menjadi muridnya. Siapa sudi menjadi murid iblis tua itu?"

Thian Lee menghela napas panjang. Agaknya gadis ini sama sekali tidak ingat bahwa gurunya adalah Ang-tok Mo-li yang dalam hal kekejaman belum tentu kalah oleh Thian-te Mo-ong! "Sudahlah, Lee Cin. Percakapan kita lanjutkan nanti. Sekarang lebih dulu harus mengubur jenazah-jenazah itu."

Lee Cin mengerutkan alisnya dan ia malah duduk di atas batu. "Menguburkan jenazah orang-orang jahat itu? Untuk apa? Mereka itu hanya orang-orang jahat, seperti binatang-binatang buas."

"Hemm, ketika masih hidup mungkin mereka itu melakukan kejahatan. Akan tetapi mereka itu tetap manusia dan sekarang mereka adalah jenazah-jenazah manusia yang harus dihormati dan dirawat. Aku akan menguburkan mereka."

Akan tetapi Lee Cin hanya tersenyum dan menonton saja ketika Thian Lee menggali lubang kemudian mengubur tiga jenazah itu. Setelah selesai barulah Thian jsa Lee membersihkan kedua tangannya.

"Sebetulnya engkau ada keperluan apakah datang ke Hong-san, Lee Cin?" tanya Thian Lee sambil menatap wajah yang cantik jelita itu.

Sejak tadi Lee Cin mengikuti semua perbuatan Thian Lee dengan pandang matanya dan kini ia memandang wajah pemuda itu dengan heran. "Thian Lee, apakah selama hidupmu engkau menjadi orang yang begini baik hati? Apakah selamanya engkau tidak pernah mendendam kepada orang-orang yang berbuat jahat kepadamu dan mudah saja memaafkan kejahatannya?"

"Aku bukan orang baik, hanya orang yang ingin memenuhi kewajibanku sebagai seorang manusia, Lee Cin. Dendam kebencian hanya meracuni hati sendiri, sama sekali tidak ada gunanya dan dendam kebencian hanya suatu kebodohan manusia yang akan menyeretnya kedalam jurang penderitaan. Kalau ada orang kau katakan berbuat jahat kepada kita lalu kita membalas kejahatannya itu, lalu apa artinya perbuatan kita membalas dendam itu?

"Apakah lalu tidak sama saja dengan perbuatannya? Kita membalas kekejaman dengan kekejaman, membalas kejahatan dengan kejahatan, menempatkan diri kita di tempat yang sama dengan mereka yang kita sebut jahat. Tidak, Lee Cin, semoga dijauhkan Tuhan aku dari segala bentuk dendam kebencian."

"Engkau memang orang aneh sekali, Thian Lee. Kalau aku tidak begitu. Siapa yang baik kepadaku akan kubalas dengan kebaikan pula. Akan tetapi siapa yang jahat kepadaku akan kubalas sesuai dengan kejahatannya!"

"Kalau begitu pendapatmu, engkau keliru, Lee Cin. Engkau akan mengikat dirimu dengan pertalian karma yang tiada akan habisnya, dendarn mendendam dan balas-membalas. Kalau engkau berbuat baik kepada orang lain karena untuk membalas budi, itu bukanlah kebaikan lagi namanya, hanya semacam hutang-piutang belaka. Dan kalau engkau membalas kejahatan dengan kejahatan pula, maka tidak ada bedanya engkau dengan orang yang kau anggap sebagai musuhmu itu."

"Akan tetapi, bukankah engkau sendiri sebagai seorang pendekar menentang kejahatan, berarti engkau membenci penjahat?"

"Tidak, aku tidak membenci penjahat. Yang kutentang hanyalah perbuatannya, yang kucegah hanyalah kejahatannya. Sama sekali aku tidak membenci orangnya. Mereka itu juga manusia seperti kita, Lee Cin.

"Hanya ketika mereka melakukan kejahatan, mereka itu sedang sakit. Yang sakit itu batinnya. Akan tetapi orang sakit dapat saja sembuh, Lee Cin. Yang ini hari disebut penjahat, mungkin saja besok dia disebut orang baik karena dia telah sembuh dari sakitnya.

"Sebaliknya, yang sehat dapat saja menjadi sakit. Yang hari ini disebut orang baik, mungkin saja sewaktu-waktu dia dianggap jahat karena terserang penyakit itu. Manusia itu selalu berubah karena itu jangan sekali-kali membenci manusianya, melainkan tentanglah kejahatannya."

"Wah, engkau membingungkan aku, Thian Lee."

"Sudahlah, kelak engkau akan mengerti sendiri. Oya, engkau mencari apakah sampai ke Hong-san ini?"

”Hemmm, kalau kuceritakan kepadamu, tentu engkau akan mencelaku dan tidak menyetujui pula," kata Lee Cin yang teringat akan kata-kata Thian Lee tentang pembalasan dendam tadi.

"Kalau engkau hendak melakukan suatu perbuatan yang tidak benar, tentu saja aku tidak setuju, bahkan akan menghalangimu, Lee Cin. Engkau seorang gadis yang baik sekali, bahkan memliki dasar watak yang baik, aku tidak ingin engkau terperosok ke dalam perbuatan yang tidak-benar."

Tiba-tiba Lee Cin penuh perhatian dan menatap wajah tampan gagah itu dengan penuh perhaian. "Thian Lee, mengapa engkau demikian memperhatikan keadaan diriku? Mengapa? Mengapa engkau peduli apa yang akan kulakukan, baik atau jahat?"

"Mengapa? Tentu saja aku memperhatikan keadaan dirimu. Bukankah kita telah lama saling mengenal, bahkan telah menjadi sahabat baik? Aku kagum dan suka kepadamu, Lee Cin, maka aku tidak ingin melihat engkau berbuat jahat."

"Hanya suka? Tidak cinta?"

"Ah, jangan bicara soal cinta, Lee Cin. Aku tidak mengerti."

"Engkau bodoh atau memang dingin. Enci Ceng itu mati-matian mencintamu, engkau juga tidak mengerti. Dan aku... ah, aku begini bodoh untuk mencintamu, akan tetapi engkau juga tidak peduli. Engkau hanya suka, sebagai sahabat! Ahh, aku mulai benci kepadarnu, Thian Lee!"

Thian Lee memandang bingung. Benci? Baru saja mengatakan cinta dan kini berbalik benci. Apakah benci itu kebalikan cinta, ataukah hanya permukaan yang lain saja dari cinta? Dia semakin bingung. Dia memang tidak tahu arti cinta. Ada semacam perasaan di hatinya terhadap Cin Lan, dia sendiri tidak tahu apakah itu cinta, akan tetapi setiap kali teringat Cin Lan, ada semacam kelembutan tersendiri terasa di hatinya.

"Kau boleh benci kepadaku, Lee Cin, akan tetapi aku tidak membencimu dan tidak akan pernah membencimu. Nah, engkau belum mengatakan untuk keperluan apa engkau datang ke Hong-san ini."

"Aku mencari seseorang untuk membalas dendam!" jawab gadis itu dengan suara menantang. "Sudah, engkau tidak perlu mengetahui lebih banyak!" Setelah berkata demikian, Lee Cin lalu meloncat dan meninggalkan Thian Lee, mendaki Bukit Hong-san.

Thian Lee tertegun. Membalas dendam? Dan orang yang tinggal di puncak Hong-san adalah Souw Tek Bun, bengcu kaum kang-ouw. Bahkan dia sendiri pun hendak menghadap Souw-bengcu. Dia pernah diberitahu oleh supeknya, yaitu Souw Can, pangcu dari Kim-liong-pang, bahwa adik Pangcu itu adalah seorang gagah perkasa yang telah diangkat menjadi bengcu oleh semua orang gagah, bahkan direstui oleh Kaisar.

Kini, melihat banyaknya orang kangouw yang diperalat oleh Pangeran Tua, dia hendak mencari keterangan kepada bengcu itu dan sekalian minta nasihat apa yang harus dilakukannya. Sebagai seorang bengcu tentu mempunyai pengaruh terhadap orang-orang kang-ouw dan mungkin Souw-bengcu akan mampu mencegah terjadinya pemberontakan yang dilakukan orang-orang kang-ouw yang diperalat oleh Pangeran Tua.

Selama beberapa hari ini dia telah berhubungan dengao Lauw Tek, pendekar yang setia kepada Kaisar itu, yang mula-mula memberi tahu kepadanya tentang gerakan yang dilakukan oleh Pangeran Tua. Dan atas desakan Lauw Tek pula dia kini pergi ke Hong-san untuk bertemu dengan Souw Tek Bun.

Maka, mendengar niat Lee Cin untuk membalas dendam kepada seseorang di Hong-san, Thian Lee menjadi khawatir sekali. Siapa lagi kalau bukan Souw Tek Bun yang dicari gadis itu? Dia lalu cepat bergerak membayangi Lee Cin yang berjalan cepat mendaki bukit Hong-san.

Souw Tek Bun yang oleh dunia kang-ouw dianggap sebagai bengcu baru itu tinggal di sebuah pondok kecil saja di puncak Hong-san. Dia hidup sebatang kara, tidak berkeluarga dan melihat keadaannya yang sederhana dan menyendiri, sungguh sukar dipercaya bahwa dia adalah bengcu.

Orang yang dihormati oleh seluruh tokoh dunia kang-ouw. Hidupnya sebagai seorang pertapa, juga petani karena dia bekerja di ladangnya yang berada di belakang pondok. Dari hasil ladang itulah dia makan setiap kali membutuhkannya.

Biarpun hidup seorang diri, namun dia tidak kesepian. Sebagai bengcu, seringkali ada saja orang kang-ouw datang berkunjung, untuk melaporkan sesuatu, atau minta pertimbangan, bahkan ada yang minta keadilan kalau terjadi sengketa antara orang-orang kang-ouw.

Souw Tek Bun, sebelum menjadi beng-cu, adalah seorang pendekar perkasa yang dijuluki Sin-kiam Hok-mo karena ilmu pedangnya yang hebat. Ilmu pedang ini merupakan ilmu keluarga Souw yang dirangkai sendiri oleh Souw Tek Bun kemudian terkenal sebagai ilmu pedang keluarga Souw karena tidak ada orang lain yang pernah mempelajarinya.

Souw Tek Bun juga tidak mempunyai murid, maka hanya dia seoranglah yang mahir ilmu pedang itu. Seperti diketahui, Souw Tek Bun mempunyai seorang kakak, yaitu Souw Can. Akan tetapi kakaknya itu adalah murid Kun-lun-pai.

Sedangkan Souw Tek Bun mempelajari banyak macam ilmu silat dari berbagai aliran sampai dia dapat merangkai sendiri ilmu silat dan ilmu pedang. Sepak terjangnya dalam dunia kang-ouw sudah dikenal semua orang dan dia terkenal adil, jujur dan budiman.

Karena itulah maka para tokoh dan datuk kang-ouw memilihnya menjadi bengcu. Untuk menjadi seorang bengcu memang dibutuhkan orang yang jujur, adil dan dapat dipercaya. Terutama sekali yang mempunyai hubungan dekat dengan pemerintah.

Dan Souw Tek Bun adalah seorang pendekar yang sudah mendapat penghargaan dari Kaisar Kian Liong. Dia membantu memadamkan kekacauan yang dibuat oleh orang-orang tak bertanggung jawab dan untuk jasanya itu, Souw Tek Bun menerima sebatang pedang Cengliong-kiam dari Kaisar Kian Liong.

Ketika Lee Cin tiba dipuncak tempat tinggal bengcu itu, Souw Tek Bun sedang berlatih ilmu pedang. Biarpun setiap hari dia sibuk di ladang atau di pondok, akan tetapi pendekar ini tidak pernah lupa untuk berlatih ilmu pedangnya.

Pedang Ceng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau) pemberian Kaisar itu dimainkan dengan ilmu silat Sin-kiam Hok-mo dan merupakan sinar kehijauan bergulung-gulung bagaikan seekor naga hijau bermain-main di angkasa.

Akan tetapi biarpun, dia sedang bermain pedang, pendengaran Souw Tek Bun cukup tajam untuk dapat menangkap gerakan Lee Cin yang datang. Dia segera menghentikan gerakan pedangnya, menoleh ke kiri dan berkata dengan suara mengandung penuh kewibawaan, "Siapa yang datang berkunjung?

Lee Cin keluar dari balik batang pohon dan bengcu itu terkejut melihat bahwa yang mengunjunginya adalah seorang gadis yang masih amat muda dan cantik. Akan tetapi gadis itu tidak memberi hormat kepadanya seperti layaknya seorang tamu, bahkan segera maju menghampirinya dan bertanya dengan suara lembut.

"Apakah aku berhadapan dengan orang yang bernama Souw Tek Bun?"

"Benar, Nona. Siapakah Nona dan ada keperluan apakah Nona mencariku?”

"Aku bernama Bu Lee Cin, dan aku datang untuk memenuhi perintah suboku untuk membunuhmu, membalaskan dendam sakit hati Subo!" kata Lee Cin sambil melolos pedangnya, yaitu Ang-coa kiam dari libatan pinggangnya.

Akan tetapi Souw Tek Bun menyarungkan pedangnya dan bertanya dengan tenang dan penuh kesabaran. "Siapakah subomu, Nona?"

"Suboku adalah Ang-tok Mo-li."

Souw Tek Bun memandang gadis itu dengan mata terbelalak dan penuh selidik, mengamati wajah gadis itu seperti sedang menilai dan membandingkan. Kemudian dia mengangguk-angguk, dan menggeleng kepala sambil menghela napas panjang.

"Bu Siang... Bu Siang... sampai sekarang hatimu tetap saja amat keras..."

Melihat sikap orang itu, Lee Cin menjadi tidak sabar. "Souw Tek Bun, bersiaplah untuk melawanku. Cabut pedangmu!

Akan tetapi pendekar itu sama sekali tidak meraba gagang pedangnya, bahkan bertanya, "Namamu Bu Lee Cin? Nona, tahukah engkau siapa nama gurumu itu?"

"Guruku adalah Ang-tok Mo-li, sudah kukatakan itu!" jawab Lee Cin dengan ketus, "Tentu engkau sudah mengenalnya dengan baik karena Subo adalah musuh besarmu!"

"Tentu, aku mengenalnya dengan baik sekali. Akan tetapi, Nona, agaknya engkau tidak tahu bahwa nama gurumu itu adalah Bu Siang. Dan engkau diberinya marga Bu juga? Ah, Bu Siang... setidaknya engkau masih mengakui anakmu...."

Lee Cin mengerutkan alisnya. "Apa artinya semua ini? Souw Tek Bun, lebih baik engkau cepat mencabut pedangmu daripada bicara ngacau tidak karuan!"

"Kalau aku tidak mau mencabut pedang dan tidak mau melawanmu, apakah engkau juga akan membunuhku begitu saja?"

"Hemmm, aku bukan orang macam itu. Aku tidak suka membunuh orang macam itu. Aku tidak suka membunuh orang yang tidak melawanku, akan tetapi aku tidak percaya engkau sedemikian penakut untuk melawan aku!"

"Lee Cin, sampai mati aku tidak akan mungkin melawanmu. Tahukah engkau siapa dirimu sesungguhnya? Yang kau sebut subo itu sebetulnya adalah ibu kandungmu, dan aku yang hendak kau tantang bertanding ini, aku ini adalah ayah kandungmu."

Lee Cin terbelalak dan mundur dua langkah. Akan tetapi sebentar kemudian ia melangkah maju lagi. "Aku tidak percaya! Engkau berbohong untuk menggagalkan niatku membalas dendam Subo!" la membentak marah.

"Aihh, Lee Cin, sungguh kasihan engkau, dipermainkan dan diracuni sendiri oleh ibu kandungmu. Engkau ingin mendengar ceritanya? Nah, dengarlah baik-baik kemudian pertimbangkan sendiri apakah engkau sudah sepatutnya menantangku bertanding ataukah tidak."

Dengan suara tenang, kemudian Souw Tek Bun bercerita, didengarkan oleh Lee Cin yang berdiri termangu dengan muka agak pucat. Tujuh belas tahun yang lalu, Souw Tek Bun yang ketika itu masih merupakan seorang pemuda yang tampan dan gagah, telah menjalin hubungan cinta dengan Bu Siang. Mereka saling mencinta, melakukan perantauan berdua dan hubungan mereka sudah sedemikian jauhnya.

sehingga mereka telah melakukan hubungan suami isteri walaupun belum menikah. Akan tetapi, hubungan yang sudah berlangsung bertahun-tahun itu mulai retak ketika Souw Tek Bun melihat bahwa Bu Siang, murid seorang datuk sesat, ternyata memiliki watak yang amat kejam. Bahkan Bu Siang mempelajari ilmu sesat, suka menggunakan racun dan menjadi pawang ular pula.

Biarpun dia sudah mencoba untuk menentangnya, akan tetapi Bu Siang tidak peduli, bahkan akhirnya di dunia kang-ouw ia mendapat julukan Ang-tok Mo-Li (Iblis Betina Racun Merah) karena sepak terjangnya yang kejam, membunuh orang tanpa berkedip. Karena makin lama sepak terjang Ang-tok Mo-li Bu Siang semakin kejam, akhirnya Souw Tek Bun menjauhkan diri. Hubungan mereka putus, padahal ketika itu Bu Siang telah mengandung!

"Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk menyadarkannya, bahkan ketika ia melahirkan seorang puteri, aku berjanji untuk menikahinya kalau saja ia rela mengubah jalan hidupnya. Akan tetapi, Bu Siang sama sekali tidak mau mendengarkan permintaanku sehingga akhirnya kami berpisah.

"Bu Siang pergi membawa anaknya itu, anakku! Aku mendengar saja betapa di dunia kangouw, ia menjagoi dan menjadi seorang datuk wanita yang ditakuti. Akhirnya aku bertemu seorang wanita dan menikah dengannya. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh Bu Siang, ibumu itu, Nona?"

Souw Tek Bun menghela napas panjang dan Lee Cin mendengarkan dengan muka pucat, hatinya bimbang dan ragu. la demikian tertarik oleh cerita itu sehingga di luar kesadarannya, ia bertanya, "Apa yang dilakukannya?"

"la membunuh isteriku yang baru setengah tahun menjadi isteriku. Ia membunuh wanita yang sama sekali tidak berdosa itu. la sempat bentrok denganku, akan tetapi pada waktu itu ia masih belum mampu menandingiku. Aku mendengar bahwa selama ini ia memperdalam ilmunya. Akan tetapi mengapa ia tidak datang sendiri mengambil nyawaku?

"Demikian kejam hatinya sehingga ia menyuruh engkau, anakku sendiri, untuk mewakilinya membunuh aku, ayah kandungmu. Lee Cin, engkau adalah anak kandungku. Nah, apakah kini engkau masih hendak menantang aku bertanding? Nama margamu bukan Bu, itu nama marga ibumu, akan tetapi engkau bermarga Souw seperti aku."

Lee Cin berdiri bengong dan bingung, tidak tahu apa yang harus diperbuat atau dikatakan. Pedangnya terkulai lemas di tangannya.

"Lee Cin, aku ayahmu. Tegakah engkau membunuh ayahmu sendiri?" Souw Tek Bun kembali berkata dengan lembut.

Pada saat itu terdengar teriakan melengking dan muncullah Ang-tok Mo-li dengan gerakan cepat sehingga yang nampak hanya bayangannya berkelebat, bayangan merah dan tahu-tahu ia sudah berdiri di depan Souw Tek Bun, di dekat puterinya.

"Lee Cin, jangan hiraukan dia, jangan dengarkan omongannya! Hayo cepat gerakkan pedangmu untuk membunuhnya! Cepat!" seru Ang-tok Mo-li dengan suara memerintah.

Melihat munculnya subonya dan mendengar perintah itu, Lee Cin mengangkat tangan kanannya, siap menusukkan pedangnya ke dada yang bidang itu. Akan tetapi ketika ia melihat wajah yang gagah dan tenang itu, dengan senyum halus, tiba-tiba tangannya terkulai lagi.

"Subo... subo... benarkah apa yang diceritakannya tadi, bahwa Subo adalah ibuku dan dia adalah ayahku?"

”Lee Cin, tidak usah banyak cakap. Bunuhlah dia, sekarang juga!" kembali wanita berpakaian merah itu mendesak.

"Bu Siang, engkau boleh membenciku, akan tetapi kenapa engkau demikian membenci anakmu sendiri, menyuruhnya membunuh ayah kandungnya?" kata Souw Tek Bun penuh penyesalan.

"Baiklah, kalau begitu biarkah aku sendiri yang membunuh kalian ayah dan anak!" Ang-tok Mo-li sudah mencabut kebutan merahnya dan meloncat tinggi untuk menyerang Souw Tek Bun dan Lee Cin.

Pada saat itu nampak sinar kilat berkelebat menangkis kebutan merah itu dan Ang-tok Mo-li terkejut karena sebagian bulu kebutannya putus! Ketika ia meloncat turun dan memandang, ternyata Thian Lee telah berdiri di depannya.

Kiranya kembali pemuda itu yang menandinginya! Hati Ang-tok Mo-li marah bukan main akan tetapi ia pun tahu bahwa ia tidak akan mampu menandingi pemuda yang amat lihai ini. Apalagi di situ terdapat Souw Tek Bun yang tidak boleh dipandang ringan. la lalu mendengus dan membalikkan tubuhnya.

"Lee Cin, mari kita pergi!" la mengajak muridnya.

Lee Cin memandang subonya dengan sinar mata lain dan menjawab, suaranya juga terdengar ketus, "Tidak, engkau... jahat! Aku ingin ikut ayahku!"

Mendengar ini, Ang-tok Mo-li meloncat dan terdengar lengkingnya. Sementara itu, Souw Tek Bun merasa girang sekali mendengar ucapan Lee Cin dan dia pun merangkul gadis itu sambil berkata, "Lee Cin, anakku...!"

”Ayah...”

Keduanya berangkulan dan keduanya merasa betapa hati mereka penuh dengan kebahagiaan. Kini Lee Cin percaya sepenuhnya bahwa pria itu memang ayah kandungnya. Hal ini diperkuat oleh sikap Ang-tok Mo-li tadi. la pun merasa menyesal sekali akan sikap Ang-tok Mo-li. Selama ini ia merasakan kasih sayang Ang-tok Mo-li kepadanya dan baru ia tahu bahwa subonya itu sesungguhnya adalah ibu kandungnya.

Akan tetapi alangkah kejam ibu kandungnya itu yang sengaja menyuruh ia melakukan pembunuhan terhadap ayah kandungnya sendiri! Jelas perbuatan ibunya itu didorong oleh perasaan benci yang mendalam, dan kekejaman yang luar biasa. Pantas saja ayahnya tidak mau menikah dengan ibunya karena ibunya memang merupakan seorang iblis betina yang keji.

Sebaliknya, ayahnya adalah seorang pendekar budiman, seorang bengcu yang terhormat! Karena itu, tidak sukar baginya untuk memilih, yaitu memilih ayahnya. Apalagi baru saja tadi ibunya bahkan hendak membunuhnya, bersama ayahnya pula. Andaikata tidak ada Thian Lee, kalau ayahnya tidak melawan, mungkin saja mereka berdua akan tewas di tangan Ang-tok Mo-li yang kejam.

Setelah melepaskan keharuan hati mereka, Lee Cin lalu memperkenalkan Thian Lee kepada ayahnya, "Ayah, pemuda ini adalah Thian Lee, seorang sahabatku."

Thian Lee cepat memberi hormat kepada orang tua itu. "Locianpwe, telah lama saya mendengar nama besar Lo-cianpwe, terimalah hormat saya."

Souw Tek Bun sejak tadi merasa kagum dan heran melihat munculnya pemuda ini. Gerakannya demikian cepat, pedangnya bergerak sedemikian lihainya ketika menangkis kebutan, bahkan Ang-tok Mo-li sendiri kelihatan gentar menghadapi pemuda ini.

"Orang muda, baru saja engkau telah menyelamatkan kami ayah dan anak," katanya memuji.

"Eh, Thian Lee! Jadi engkau tadi membayangiku naik ke puncak ini?" Lee Cin menegur Thian Lee, agak marah walaupun baru saja ia diselamatkan.

"Tidak, Lee Cin. Aku memang sengaja mendaki bukit ini karena aku ingin bertemu dengan Souw-locianpwe."

"Ah, engkau hendak bertemu dengan aku, orang muda. Ada keperluan apakah engkau hendak bertemu dengan aku dan siapa yang menunjukkan tempat ini padamu?"

"Saya mendapat petunjuk dari kakak Locianpwe sendiri, yaitu Souw-pangcu, Ketua Kim-liong-pang di Pao-ting."

"Ah, dari Can-toako, Bagaimana keadaan Can-toako sekarang? Apakah perkumpulannya mendapat kemajuannya?" Souw Tek Bun bertanya dengan nada suara gembira.

"Heee! Jadi kiranya Souw-pangcu itu masih kakak Ayah sendiri? Kalau begitu aku merasa girang sekali pernah membantunya menghadapi pengacauan orang-orang jahat!" seru Lee Cin dan ia segera mencentakan pengalamannya ketika membantu Kim-liong-pang menghadapi musuh-musuh yang terlalu tangguh bagi perkumpulan itu.

Souw Tek Bun mendengarkan cerita anaknya dengan girang, lalu dia mengajak Lee Cin dan Thian Lee untuk bicara di dalam pondoknya. Thian Lee lalu menjelaskan maksud kedatangannya.

"Mendiang ayah saya bernama Song, Tek Kwi dan masih sute dari Supek Souw Can."

"Ah, aku pernah mendengar tentang kegagahan sepak terjang ayahmu itu, Thian Lee," kata Souw Tek Bun dengan ramah dan akrab. "Lalu, apa maksud kunjunganmu ini?"

Thian Lee juga bercerita tentang pergolakan yang terjadi di kota raja dan tentang penyelidikannya terhadap Pangeran Tua yang mengumpulkan banyak orang kang-ouw. Juga dia menceritakan penyelidikan yang dilakukan oleh Lauw Tek betapa agaknya Pangeran Tua mempunyai niat untuk memberontak.

"Karena gerakan itu mengenai orang-orang kang-ouw yang akan diperalat oleh Pangeran Tua, maka saya datang berkunjung untuk melaporkan dan mohon nasihat Locianpwe sebagai bengcu."

"Thian Lee, mendiang ayahmu adalah adik seperguruan dari kakakku, karena itu di antara kita adalah orang sendiri, maka jangan menyebut aku Locianpwe, cukup dengan paman saja."

"Baik, dan terima kasih, Paman Souw.”

"Sebetulnya urusan di kota raja itu sudah banyak aku mendengar dari kawan-kawan, bahkan sempat kumintakan nasihat dari Im Yang Sengcu Ketua Kun-lun-pai dan Hui Sian Hwesio wakil Ketua Siauw-lim-pai. Kami semua sudah setuju untuk menentang orang-orang kang-ouw yang hendak membantu pemberontakan itu.

"Dan masing-masing menjaga para anggauta sendiri agar jangan ada yang terjebak dan ikut gerakan yang tidak baik itu. Dan kebetulan sekali engkau datang kepadaku, Thian Lee. Aku melihat engkau seorang pemuda yang memiliki kemampuan tinggi sehingga Ang-tok Mo-li sendiri agaknya jerih melawanmu."

"Wah, Ayah tidak tahu! Thian Lee ini memang lihai bukan main. Subo... eh... Ibu... Ang-tok Mo-Li pernah bertanding melawan Thian Lee dan ia kalah. Bukan itu saja. Mungkin Ayah tidak percaya. Akan tetapi belum lama ini di kaki Bukit Hong-san aku bertemu dengan Thian-te Mo-ong...."

Terkejutlah Souw Tek Bun "Datuk besar yang juga disebut Iblis Selatan itu.”

"Benar, Ayah. Tadinya aku bertemu dengan tiga orang tokoh sesat yang dulu mengganggu Kim-liong-pang, dan aku bersama Thian Lee pernah mengusir mereka. Mereka bertiga mengenalku dan segera mengeroyokku. Akan tetapi muncul Thian-te Mo-ong dan tiga orang itu lalu dibunuhnya dengan mudah sekali."

"Aku tidak heran. Ilmu kepandaian Thian-te Mo-ong sebagai seorang dari Empat Datuk Besar memang hebat."

"Setelah membunuh tiga orang tokoh sesat itu, Thian-te Mo-ong hendak memaksa aku menjadi muridnya. Aku tidak mau, akan tetapi dia memaksaku dan ketika aku melawan, dia menotokku. Lalu muncullah Thian Lee membebaskan aku. Wah, kalau saja Ayah menonton pertandingan itu, antara Thian Lee dan Thian-te Mo-ong. Hebat dan seru bukan main, Ayah. Dan akhirnya. Datuk besar itu harus mengakui keunggulan ilmu kepandaian Thian Lee dan dia melarikan diri."

Souw Tek Bun menjadi bengong saking kagum dan herannya. Kalau bukan puterinya yang bercerita, bagaimana mungkin dia dapat percaya bahwa seorang pemuda seperti Thian Lee itu mampu mengalahkan Thian-te Mo-ong, seorang di antara Empat Datuk Besar?

"Luar biasa!" akhirnya dia berseru setelah menghela napas panjang. "Masih begini muda sudah dapat menandingi bahkan mengalahkan seorang di antara Empat Datuk Besar! Mengagumkan sekali dan sulit untuk dipercaya! Thian Lee, kalau boleh aku mengetahui, siapakah nama gurumu yang mulia dan sakti?"

"Suhu adalah seorang pertapa di Himalaya yang sama sekali tidak terkenal. Beliau lebih suka mengasingkan diri dan tidak ingin diperkenalkan namanya karena itu harap Paman maafkan kalau saya tidak dapat menyebut namanya."

Bengcu itu mengangguk-angguk. la mengerti bahwa di dunia persilatan banyak terdapat orang-orang sakti yang lebih suka mengasingkan diri dan menyembunyikan namanya. Bahkan nama besar pendekar sakti yang tadinya amat terkenal di dunia persilatan seperti Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman dan kedua isterinya yang sakti pula (baca Pendekar Super Sakti dalam seri Bu Kek Sian Su), lebih suka mengasingkan diri dan tidak ada orang mengetahui dl mana adanya.

Hanya dikabarkan bahwa mereka mengasingkan diri dl Pulau Es, sebuah tempat yang penuh rahasia pula dari tidak ada orang lain tahu di mana letaknya. Dia pun tidak mendesak lebih jauh untuk menanyakan di mana dan siapa guru pemuda itu.

"Sekarang lebih mantap hatiku untuk menugaskan engkau membantu pemerintah dalam mencegah terjadinya pemberontakan, Thian Lee. Menurut berita yang kuterima, Pangeran Tua itu mengumpulkan tokoh-tokoh kang-ouw dengan niat untuk menyingkirkan para pangeran yang tidak menyetujui dan menentang maksud jahatnya.

"Akan tetapi sebetulnya hal itu tidaklah terlalu dikhawatirkan. Bukankah di istana Kaisar terkumpul pula banyak jagoan yang berilmu tinggi? Bahkan seorang di antara Empat Datuk Besar, yang paling tekenal, yaitu Pak-thian-ong Dorhai, kini juga menjadi seorang penasihat Kaisar, bukan?"

"Ah, justeru Pak-thian-ong itu yang berbahaya. Saya melihat dia pun berada di istana Pangeran Tua."

"Benarkah itu?" Souw Tek Bun berseru kaget.

"Benar, Paman. Ketika itu, pada suatu malann saya hendak melakukan penyelidikan di rumah Pangeran Tua. Mendadak saya melihat berkelebatnya bayangan orang dan kiranya ia adalah puteri Pangeran Tang Gi Su yang bernama Tang Cin Lan. Gadis itu dengan beraninya masuk ke istana itu untuk menantang seorang di antara jagoan yang berada di situ bernama Liok-te Lo-mo. Nah, pada saat itulah muncul Pak-thian-ong menandingi gadis itu. Melihat keadaan berbahaya, saya lalu menyelamatkan gadis puteri pangeran itu dan melarikannya keluar."

"Thian Lee, gadis itu nampaknya gagah perkasa juga, sampai ia berani memasuki istana Pangeran Tua. Berarti memasuki guha harimau'" seru Lee Cin kagum.

"Memang ia seorang yang gagah perkasa, murid dari Pek I Lokai," jawab Thian Lee.

"Wah, pantas saja ia gagah perkasa. Aku mengenal Pek I Lokai sebagai seorang tokoh yang berllmu tinggi. Bahkan Empat Datuk Besar juga tidak berani sembarangan menghadapi dia. Dan kalau gadis itu berani, juga tidak terlalu mengherankan. Selain sebagai murid Pek I Lokai tentu ia lihai sekali, juga ayahnya, Pengeran Tang Gi Su, adalah seorang pejabat tinggi yang dipercaya benar oleh Sri Baginda Kaisar.

Para pejabat tinggi juga takut kepadanya karena dia adalah seorang pengawas para pejabat yang tidak segan-segan akan bertindak kalau ada pejabat yang menyeleweng. Dia adalah adik dari Pangeran Tua yang bernama Tang Gi Lok."

"Agaknya Paman mengetahui banyak tentang para pangeran dikota raja," kata Thian Lee kagum.

"Sekarang engkau jangan terlalu lama di sini, Thian Lee. Kebalilah ke kota raja dan aku akan memberimu dua buah surat. Yang pertama untuk seorang panglima bernama Gui Tiong In. Gui-ciangkun ini dahulu juga seorang pendekar yang berjuluk Hok-liong-kiam (Pedang Penakluk Naga) dan dialah yang mewakili kerajaan hadir ketika diadakan pemilihan bengcu. Surat yang ke dua adalah untuk dihaturkan kepada Sri Baginda Kaisar sendiri."

Thian Lee terkejut. Membawa surat untuk Kaisar? Agaknya Souw-pangcu melihat kekagetan pemuda itu. "Jangan khawatir, Thian Lee. Lebih dulu serahkan suratku untuk Gui-ciangkun itu. Dialah yang akan membawamu menghadap Kaisar dan menyerahkan suratku. Kaisar adalah seorang yang amat bijaksana dan beliau menghormati orang-orang dunia persilatan. Setelah engkau menghadap Sri Baginda Kaisar, selanjutnya engkau hanya memenuhi perintahnya saja."

"Baiklah, Paman," kata Thian Lee.

”Ayah, aku akan ikut Thian Lee. Aku dapat membantunya dalam pekerjaan yang berbahaya itu," kata Lee Cin.

Souw Tek Bun sudah dapat menyelami watak puterinya ini, maka dia pun tidak melarangnya karena dalam suara gadis itu sudah terkandung tekad yang pasti dan tidak mungkin dapat dibantah. Selain itu, dia pun maklum akan kelihaian puterinya sehingga pantas kalau membantu Thian Lee.

"Bagus, aku girang sekali kalau engkau juga membaktikan dirimu kepada Sri Baginda Kaisar. Akan tetapi engkau jangan sembrono dan melakukan tindakan sendiri, Lee Cin. Karena engkau menjadi pembantu Thian Lee, dalam segala hal engkau harus menurut apa yang dikatakan oleh Thian Lee."

"Jangan khawatir, Ayah. Aku akan menjadi pembantu yang taat!" kata gadis itu dengan girang.

Di dalam hatinya, Thian Lee sebetulnya kurang setuju dibantu oleh Lee Cin yang suka bertindak ugal-ugalan, akan tetapi untuk menolak tentu saja dia merasa sungkan, terutama sekali terhadap Souw Tek Bun yang kini menjadi ayah Lee Cin.

Demikianlah, setelah dua buah surat itu ditulis oleh bengcu itu, pada hari itu juga Thian Lee bersama Lee Cin menuruni kembali Pegunungan Hong-san dan melakukan perjalanan kembali ke kota raja. Di sepanjang perjalanan dari Hong-san ke kota raja yang memakan waktu beberapa hari itu, Lee Cin memperlihatkan perasaan hatinya kepada Thian Lee dalam sikap dan pelayanan.

la selalu memperlihatkan perhatiannya, dan di waktu mereka makan, ia yang memilihkan warung makan, bahkan kalau terpaksa harus menyediakan makanan sendiri di perjalanan yang jauh dari kota atau dusun, ia mencari binatang hutan dan dipanggangnya. la memilihkan daging yang paling enak untuk Thian Lee. Bahkan ia menyediakan dirinya untuk mencucikan pakaian Thian Lee yang kotor.

Semua sikap yang manis ini sungguh membuat Thian Lee merasa terharu sekali. Kalau saja hatinya tidak terikat oleh Cin Lan yang membuatnya tak pernah dapat melupakannya, agaknya tidak terlalu sukar baginya untuk menanggapi kasih sayang yang diperlihatkan seorang gadis seperti Lee Cin. Akan tetapi kini dia sudah hampir merasa yakin bahwa dia rnencinta Cin Lan.

Buktinya, tak pernah dia dapat melupakan dan dia amat merindukannya. Sungguh bodoh, kadang dia memaki diri sendiri. Bagainana dia dapat mengharapkan seorang gadis puteri pangeran? Seorang gadis bangsawan tinggi yang kaya raya? Sedangkan dia itu apa? Miskin dan sebatang kara, tidak memiliki apa-apa yang patut dibanggakan.

Baru ayah gadis itu saja sudah memandang rendah kepadanya. Dia tahu betapa bodohnya untuk jatuh cinta kepada puteri pangeran. Akan tetapi agaknya hatinya tidak menurut. Hatinya selalu merindukan gadis bangsawan itu. Sebetulnya Lee Cin lebih pantas baginya.

Lee Cin juga seorang gadls petualang, biarpun kini menjadi puteri bengcu, namun ayahnya pun hanya seorang pertapa yang hidup sederhana. Mereka berdua sama-sama petualang di dunia kang-ouw, tidak seperti Cin Lan yang hidup di dalam sebuah istana!

Cinta asmara memang sesuatu yang aneh. Tidak mengenal siapa saja, dapat diserangnya. Tidak mengenal waktu, tem-pat atau keadaan. Dalam keadaan bagai-manapun orang dapat jatuh cinta. Kalau sudah jatuh cinta, maka tidak ada lagi harta, kedudukan, atau bahkan rupa. Bagi seorang yang mencinta, segalanya yang ada pada diri orang yang dicinta itu selalu baik, selalu indah dan menarik.

Kalau menurut perhitungan, Thian Lee semestinya memilih Lee Cin daripada Cin Lan. Banyak hal yang mendorongnya memilih Lee Cin, kalau menurutkan akal sehat, Lee Cin keadaannya cocok dengan dirinya, sama-sama orang kecil yang bukan hartawan bukan bangsawan, sama-sama petualang kang-ouw. Juga Lee Cin tidak kalah cantik jelitanya dibandingkan Cin Lan. Lebih dari itu, Lee Cin mencintanya. Mau apa lagi? Akan tetapi, hatinya yang sudah tertusuk panah asmara itu lebih memilih Cin Lan.

Padahal menurut perhitungan akal, tidaklah mungkin bagi dia untuk mempersunting Cin Lan. Gadis itu puteri pangeran, puteri bangsawan yang kaya raya, dan lebih dari itu, gadis itu pun belum tentu mau kepadanya, belum tentu mencintanya, bahkan rasanya tidak mungkin seorang puteri pangeran dapat jatuh cinta kepada seorang yatim piatu miskin seperti dia!

Kini, dalam perjalanan ke kota raja sikap Lee Cin jelas sekali memperlihatkan cintanya kepadanya. Dia merasa kasihan sekali kepada Lee Cin dan merasa berkewajiban untuk menghentikan sikap itu. Dia harus mengaku terus terang kepada Lee Cin, bukan saja bahwa dia tidak mencinta Lee Cin melainkan suka sebagai seorang sahabat saja.

Lebih lagi, dla harus mengaku terus terang bahwa dia mencinta gadis lain. Kalau hal ini tldak segera dia lakukan, maka siap Lee Cin akan terus seperti itu dan hal ini merupakan gangguan besar sekali baginya. Benar dia harus mengaku terus terang!

Mereka tiba di sebuah bukit kecil yang sunyi. Matahari telah naik tinggi dan mereka sejak pagi telah melakukan perjalanan mendakl bukit-bukit yang melelahkan.

"Kita beristirahat sebentar, Lee Cin."

"Ah, lelahkah engkau, Thian Lee? Kalau begitu, sebaiknya kita beristirahat dulu. Itu di sana ada pohon yang teduh, kita mengaso di sana," kata Lee Cin dan mereka menuju ke bawah pohon yang memberi keteduhan itu.

"Ini ada batu yang licin dan bersih, Thian Lee. Kau duduklah di sini!" kata pula Lee Cin sambil menyapu sebuah batu besar dengan tangannya.

Thian Lee menghela napas lalu duduk di atas batu itu. "Lee Cin, engkau selalu bersikap manis dan penuh perhatian selama beberapa hari ini kepadaku. Kenapa engkau begini baik kepadaku, Lee Cin?" Thian Lee bertanya dan sudah siap untuk bicara terus terang.

"Masih perlukah engkau bertanya lagi, Thian Lee? Aku cinta padamu, itulah sebabnya. Haruskah kujawab lagi? Engkau tentu sudah mengetahui akan perasaan hatiku kepadamu, Thian Lee," kata Lee Cin seolah menegur. Keterlaluan pemuda itu, pikirnya. Masih bertanya lagi tentang sikap baiknya!

Thian Lee menghela napas. "Lee Cin, aku tahu dan karena itulah maka aku minta penjelasan darimu. Semua ini harus kau hentikan, Lee Cin. Bersikaplah wajar saja, sebagai seorang sahabat biasa. Ketahuilah bahwa aku hanya suka kepadamu, bukan mencinta. Aku suka dan kagum kepadamu, rasa suka seorang sahabat, Lee Cin. Engkau harus tahu benar akan hal ini."

Lee Cin menatap wajah pemuda itu dan tersenyum manis. "Engkau sudah mengatakan hal itu dan aku cukup mengerti, Thian Lee. Akan tetapi aku tidak putus asa. Dari kesukaanmu itulah aku harapkan dapat berkembang menjadi rasa cinta, demikian kuharapkan, Thian Lee. Siapa tahu pada suatu saat engkau akan benar-benar merasa cinta kepadaku seperti perasaanku kepadamu."

Thian Lee menggeleng kepala. "Tidak mungkin, Lee Cin. Tidak mungkin aku jatuh cinta kepadamu atau kepada gadis manapun juga, karena aku...."

"Karena mengapa?" Lee Cin mengejar dengan alis berkerut.

"Karena aku sudah memiliki seorang pilihan hati, aku telah mencinta seorang gadis maka tidak mungkin aku mencinta gadis lain. Tidak mungkin aku mencintamu dan ini harus kukatakan terus terang agar jangan engkau dipermainkan oleh harapanmu yang tak kan tercapai. Maafkan aku, Lee Cin."

Thian Lee melihat betapa sepasang mata yang indah itu terbelalak dan muka itu berubah pucat sekali. Dia tidak tega melihat ini dan ia menundukkan mukanya agar jangan terlihat olehnya wajah yang diselimuti kedukaan, kekecewaan dan keputus-asaan itu.

Tiba-tiba tangan Lee Cin bergerak ke arah pundak Thian Lee. Dan begitu jari tangannya menotok jalan darah di kedua pundak, tiba-tiba saja tubuh Thian Lee menjadi lemas terkulai dan dia rebah miring di atas batu itu. Bagaimana Thian Lee yang demikian lihai itu sampai dapat tertotok dengan mudah?

Sebetulnya Thian Lee dapat merasakan gerakan tangan Lee Cin tadi, akan tetapi sama sekali dia tidak menyangka bahwa Lee Cin hendak menotoknya. Kalaupun Lee Cin menotoknya, dia pun akan dapat melindungi tubuhnya dengan kekebalan sin-kangnya. Sama sekali dia tidak tahu dan tidak menduga bahwa Lee Cin menotoknya dengan ilmu It-yang-ci!

Ilmu totokan It-yang-ci yang dipelajari Lee Cin dari In Kong Thaisu Ketua Siauw-li-pai itu memang merupakan ilmu yang luar biasa sekali. Biarpun Lee Cin belum sempurna benar melatih ilmu itu, namun daya totokannya sudah sehebat itu sehingga Thian Lee yang tangguh dapat juga dibuat tidak berdaya dan, roboh lemas di atas batu.

"Hayo katakan siapa perempuan itu?" membentak Lee Cin kepada Thian Lee.

Thian Lee memandang kepada Lee Cin dengan mata penuh penyesalan. Tak disangkanya Lee Cin akan berbuat begitu. ”Lee Cin, apa yang kau lakukan ini? Cepat bebaskan totokanmu," katanya sabar dan tenang.

"Tidak, engkau telah menghancurkan harapanku. Engkau orang yang tidak tahu di cinta orang, tak mengenal budi! Hayo katakan siapa perempuan itu kepadaku!"

"Hemm, kalau kuberitahukan, engkau mau apa?" tanya Thian Lee.

"Mau apa? Mau membunuhnya! Tidak ada perempuan lain di dunia ini yang boleh memilikimu!" bentak Lee Cin.

"Hem, aku akan melindunginya dan mencegahnya," kata Thian Lee.

"Boleh kau coba! Hayo cepat katakan kepadaku, siapa namanya dan di mana tempat tinggal perempuan itu!"

"Aku tidak akan memberitahukan kepadamu, Lee Cin," kata Thian Lee dengan sikapnya yang masih tenang. Diam-diam dia mencoba menggerakkan hawa tenaga saktinya di bawah pusar, namun belum juga berhasil. Totokan itu memang istimewa, membuat seluruh tubuhnya tak dapat digerakkan, kecuali mulut dan matanya.

"Kalau tidak kau beritahukan, aku akan membunuhmu! Kalau aku tidak dapat memilikimu, seluruh wanita di dunia ini pun tidak akan dapat memilikimu!" Setelah berkata demikian, sekali tangannya bergerak, ia telah melolos pedang yang dibuat sabuk melilit pinggangnya.

"Singgg....!" Pedang itu telah menodong dada Thlan Lee. "Thian Lee, sekali lagi aku bertanya. Maukah engkau melupakan perempuan itu dan berjodoh dengan aku?"

"Tidak, Lee Cin!"

"Kalau begitu, matilah engkau!" Pedang itu ia tusukkan, akan tetapi tepat pada saat ujung pedang sudah menyentuh baju Thian Lee, gerakan itu dihentikan dan Lee Cin mengeluh.

"Lee Cin, engkau tidak akan mampu melakukan ini. Engkau bukan seorang wanita jahat, jangan berpura-pura menjadi wanita sesat yang kejam. Engkau tidak seperti ibumu, melainkan lebih menuruni watak gagah dari ayahmu!" kata Thian Lee, sedikit pun tidak merasa gentar walaupun tadi nyawanya telah bergantung pada sehelai rambut.

"Ihhh....!" Lee Cin kembali rnengeluh, kemudian ia memejamkan matanya dan menahan napas. Tiba-tiba pedangnya diangkatnya tinggi-tinggi dan ia membentak, "Matilah kau, Thian Lee!"

Pedang itu menyambar dengan kuat dan cepatnya ke bawah dengan sebuah bacokan. "Crakkk!" Batu itu terbelah dan tubuh Thian Lee terguling ke atas tanah karena batu itu terbelah dua tepat di samping tubuhnya. Kiranya pada saat terakhir, Lee Cin bukan membacok tubuh Thian Lee melainkan membacok batu itu.

Thian Lee kini rebah telentang dan dia dapat melihat betapa gadis itu menutupi mata dengan kedua tangannya sam-bil menangis tersedu. Dia merasa kasihan sekali. "Lee Cin, maafkan aku...." katanya lirih dan ucapan ini membuat Lee Cin menangis semakin sedih, sampai terisak-isak.

"Lee Cin, aku tahu bahwa engkau seorang gadis yang baik sekali. Seandainya aku belum jatuh cinta kepada seorang gadis lain, kiranya tidak ada gadis yang lebih baik darimu bagiku, Lee Cin. Engkau gadis yang cantik, berilmu tinggi, dan berbudi baik. Percayalah, kelak engkau akan mendapatkan jodoh seorang pemuda yang jauh lebih baik dariku, terutama sekali pemuda yang dapat rnencintamu sepenuh hatinya. Engkau akan menemukan jodohmu sendiri, Lee Cin."

Pada saat itu, Thian Lee merasa ada gerakan di tan-tian (bawah pusar), maka dia lalu menekan hawa sakti itu ke atas untuk membebaskan totokan pada dirinya. Lee Cin masih terisak dan menurunkan kedua tangan, menyimpan pedangnya.

"Thian Lee, aku... aku benci padamu. Aku tidak mau lagi bersamamu!" la memandang dan terbelalak melihat betapa pemuda itu sudah bangkit duduk. "Kau... kau sudah bebas dari totokan?"

"Kebetulan saja aku mampu menembus totokan mu dan membebaskannya, Lee Cin."

Hal itu sebetulnya dapat terjadi karena Lee Cin masih kurang sempurna melatih ilmu barunya, belum memperoleh tenaga yang tepat sehingga totokannya juga kurang mengandung tenaga yang diperlukan.

"Aku... aku benci padamu!" kata lagi Lee Cin sambil mengusap air matanya.

"Percayalah kepadaku, Lee Cin. Andaikata engkau tadi jadi membunuhku, engkau akan benci sekali kepada dirimu sendiri."

"Huh!" Lee Cin membuang muka lalu meloncat pergi meninggalkan pemuda itu.

Thian Lee menarik napas panjang dan sampai lama dia duduk di atas batu yang terbelah dua oleh pedang Lee Cin tadi. Dia termenung. Hubungan antara pria dan wanita memang membutuhkan kejujuran. Apa yang dia lakukan tadi sudah benar. Kalau dia tidak berterus terang, berarti dia memelihara harapan Lee Cin, harapan yang akhirnya akan sia-sia belaka dan membuat gadis itu kelak akan menjadi lebih sedih lagi.

Dan dia pun harus berterus terang kepada Cin Lan. Ya, benar! Dalam urusan cinta dia harus jujur. Mengapa merasa rendah diri? Dalam kesempatan pertama, kalau dia bertemu dengan Cin Lan, dia akan mengakui cintanya! Mungkin juga dia akan mengalami dan merasakan seperti apa yang dialami dan dirasakan Lee Cin.

Mungkin cintanya akan ditolak gadis bangsawan itu dan itu lebih baik daripada merahasiakannya, daripada mengharapharapkan hal yang belum tentu. Dia akan mengaku cinta kepada Cin Lan. Keputusan hatinya ini mendatangkan semangat kepadanya dan mengusir kegundahannya oleh urusan dengan Lee Cin tadi. Dia lalu bangkit dan melanjutkan perjalanannya ke kota raja.

Tidak sukar bagi Thian Lee untuk menemukan di mana tempat tinggal Gui-ciangkun atau Gui Tiong In. Nama panglima ini sudah terkenal sekali di kota raja, sebagai seorang panglima yang sudah banyak jasanya dalam menumpas pemberontakan yang terjadi di daerah-daerah perbatasan.

Setelah menemukan alamat Gui-ciangkun, Thian Lee lalu datang berkunjung. Kepada para petugas keamanan dia memberitahukan siapa namanya dan apa kepentingannya hendak bertemu Gui-ciangkun. Dia mengatakan bahwa dia membawa berita dari Souw bengcu. Begitu mendengar bahwa ada seorang utusan dari Souw-bengcu minta menghadap, Guiciangkun segera menemui Thian Lee di sebuah kamar tamu yang tertutup.

Setelah bertemu, Thlan Lee memberi hormat dan memandang panglima itu dengan kagum. Seorang panglima yang gagah berwibawa, berusia lima puluh tahun lebih. Sebaliknya, Gui-ciangkun juga mengamati tamunya dan merasa heran bahwa Souw-bengcu mengutus seorang yang masih begitu muda untuk menemuinya.

"Ciangkun, saya Song Thian Lee utus oleh Souw-bengcu untuk menghadap Ciangkun," kata Thian Lee memperkenalkan dirinya.

"Duduklah, Song-sicu dan katakanlah, pesan apa yang harus kau sampaikan kepadaku," kata Gui-cianekun mempersilakan tamunya duduk.

Thian Lee mengeluarkan sampul surat pertama yang ditujukan kepada panglima itu, yang diterima oleh tuan rumah lalu dibacanya. Wajah panglima itu nampak serius ketika dia membaca surat itu dan isinya tentu amat penting karena dia mengulang pembacaannya. Setelah selesai membaca, dia berkata kepada Thian Lee dan pandangannya terhadap pemuda itu sudah berbeda.

"Song-taihiap, saya sudah membaca banyak keterangan Souw-bengcu tentang diri dan kemampuan Tai-hiap, dan tentang pergolakan yang sedang terjadi di kota raja. Memang di sini sedang terjadi pembunuhan-pembunuhan aneh terhadap beberapa orang pangeran dan pejabat tinggi.

Kalau benar apa yang dikemukakan bengcu ini, sungguh merupakan malapetaka besar. Dalam suratnya, Souw-bengcu menyebutkan bahwa engkau membawa sepucuk suratnya untuk dihaturkan Sri Baginda Kaisar, benarkah?"

"Benar, Ciangkun. Suratnya ada pada saya.”

"Baik, kalau begitu, mari sekarang juga engkau kuhadapkan Sri Baginda. Urusan ini terlalu penting dan berbahaya untuk ditunda-tunda lebih lama lagi."

Demikianlah, Thian Lee lalu diajak Gui-ciangkun untuk menghadap Sri Baginda Kaisar. Sebagai seorang panglima kepercayaan, tidak ada kesukaran bagi Gui-ciangkun untuk menghadap Kaisar sewaktu-waktu. Mendengar bahwa Gui-ciangkun mohon menghadap bersama seorang pemuda, Kaisar Kian Liong dapat menduga bahwa tentu panglimanya itu membawa berita yang amat penting.

Kalau tidak penting, tidak mungkin panglimanya itu berani mengganggunya. Diai lalu memerintahkan pengawal untuk membawa kedua orang itu menghadapnya di taman bunga, di mana Kaisar itu sedang mencari angin. Hawa udara pada siang hari itu memang panas.

Dia menyuruh para selir dan dayang yang tadi melayani dan menemaninya untuk pergi menjauh karena dia dapat menduga bahwa panglima itu tentu akan membicarakan sesuatu yang teramat penting dan yang tidak selayaknya didengarkan para selir dan dayang. Juga para pengawal pribadinya diharuskan menunggu dan berjaga di luar pondok taman itu.

Gui-ciangkun dan Thian Lee dibawa oleh para pengawal ke pondok dalam taman itu. Thian Lee sebelurnnya telah diberitahu oleh Gui-ciangkun tentang tata-cara menghadap Kaisar, maka ketika dia melihat Gui-ciangkun menjatuhkan diri berlutut, dia pun berlutut di samping panglima itu.

Daun pintu terbuka dan muncullah Kaisar. Thian Lee hanya melihat ujung sepasang sepatu yang indah dan ujung celana dari sutera halus. Dia tetap menundukkan mukanya dengan sikap hormat.

"Gui-ciangkun dan kau orang muda, kami ijinkan untuk bangkit dan masuklah!" terdengar suara yang lembut namun berwibawa. Thian Lee menanti sampai Gui-ciangkun menghaturkan terima kasih dan bangkit, baru dia pun ikut bangkit, dengan kepala tetap ditundukkan. Mereka melangkah masuk, berdiri dengan sikap hormat menanti Kaisar itu duduk.

"Kalian boleh mengambil tempat duduk.”

Barulah kedua orang itu berani duduk. Memang sikap Kaisar Kian Liong berbeda dengan kaisar-kaisar lain. Kalau berhadapan dengan orang kepercayaannya atau orang-orang dunia persilatan, dia menyuruh mereka duduk di kursi sehingga dia dapat mengajak mereka bicara dengan enak, dapat menatap wajah mereka. Hanya dalam sidang pertemuan resmi saja para ponggawa berlutut.

Setelah mengambil tempat duduk, sekilas Thian Lee berani memandang wajah itu. Biarpun hanya sekilas, dia telah dapat melihat gambaran dari Kaisar yang amat terkenal sebagai kaisar yang bijaksana itu. Kaisar itu sudah tua, tentu ada enam puluh tahun usianya, namun masih nampak sehat dan lebih muda dari usianya. Sepasang matanya tajam seperti dapat menembus ke dalam lubuk hati yang dipandangnya.

"Nah, Gui-ciangkun, berita apakah yang kau bawa dan siapa pula orang muda ini?” Kaisar bertanya kepada Gui Ciangkun.

"Mohon ampun, Yang Mulia. Hamba berani menghadap tanpa diperintah. Hamba hendak menghadapkan pemuda ini yang bernama Song Thian Lee dan dia adalah utusan dari Souw bengcu untuk menyampaikan sepucuk surat, dihaturkan kepada Paduka.”

"Hemm, Souw-bengcu? Song Thian Lee, cepat serahkan surat dari Souw-bengcu itu kepada kami."

"Baik, Yang Mulia," kata Thian Lee dan dia lalu mengeluarkan surat itu, maju berlutut dan sambil berlutut menyerahkan surat. Setelah surat diterima oleh Kaisar, dia lalu mundur dan duduk lagi di atas kursinya. Kaisar membaca surat dari Souw-bengcu itu. Alisnya berkerut dan setelah selesai membacanya, dia lalu memandang kepada Thian Lee, lalu berkata,

"Song Thian Lee, yakin benarkah engkau akan apa yang kau bicarakan dengan Souw-bengcu tentang Pangeran Tua itu? Bahwa dia telah mengumpulkan orang-orang kang-ouw dengan niat buruk?"

"Hamba belum mendapatkan buktinya Yang Mulia. Akan tetapi melihat banyak tokoh sesat berkumpul di sana, kemudian melihat kenyataan bahwa orang-orang yang mencoba untuk membunuh Pangeran Tang Gi Su ketika hamba kejar melarikan diri ke dalam tempat tinggal Pangeran Tua, maka hamba merasa yakin."

"Kami telah menyerahkan urusan itu untuk diselidiki dan ditanggulangi oleh Pangeran Tang Gi Su. Akan tetapi sampai sekarang belum ada perkembangannya, sementara itu pembunuhan-pembunuhan masih terus berlangsung. Baiklah, engkau kuangkat menjadi panglima dan kutugaskan untuk membantu Pangeran Tang Gi Su melakukan penyelidikan sampai menemukan buktinya dan menghancurkan komplotan gelap ini, Song Thian Lee.

"Ampunkan kalau hamba berani memberi peringatan agar Paduka menjaga diri balk-baik dan berhati-hati terhadap Pak thian-ong Dorhai yang kabarnya telah menduduki jabatan penting di istana, Yang Mulia."

"Hemm, Dorhai telah menjadi seorang penasihat kami. Mengapa engkau berkata demikian?"

"Karena hamba pernah melihat dia berada di rumah Pangeran Tua, bahkan dia berusaha untuk menangkap puteri Pangeran Tang Gi Su." Dengan singkat namun jelas Thian Lee lalu menceritakan pengalamannya ketika dia menolong Cin Lan dari tangan Pak-thian-ong Dorhai.

Mendengar laporan ini, Sri Baginda Kaisar mengerutkan alisnya. "Ahhh, betapa sulitnya mengukur isi hati orang-orang itu! Diberi anugerah kedudukan malah hendak memukul dari belakang. Song Thian Lee, engkau bersama Gu-ciangkun hubungilah Pangeran Tang Gi Su dan bekerja sama dengannya untuk menghancurkan komplotan ini kalau memang benar ada di dalam waktu yang secepat-cepatnya. Song Thian Lee, pangkatmu sekarang menjadi panglima muda keamanan istana dan kau kutugaskan untuk membantu Gu-ciangkun dan Pangeran Tang Gi Su. Nah, berangkatlah kalian dan cepat lakasanakan tugas kalian dengan baik."

Thian Lee berlutut dan menghaturkan terima kasih. Gui-ciangkun lalu mendapat perintah untuk mengatur pemberian perlengkapan pakaian panglima muda bagi Thlan Lee. Keduanya lalu mengundurkan diri dan keluar dari istana.

"Selamat, Song-ciangkun!" Setelah tiba di luar istana, Gui-ciangkun memberi, selamat kepada rekannya yang masih muda. "Engkau beruntung sekali. Agaknya Sri Baginda Kaisar telah sangat mempercayai surat Souw-bengcu sehingga tanpa, menguji lagi beliau telah menganugerahkan kedudukan panglima muda kepadamu" Biarlah nanti aku yang mengatur persediaan perlengkapan untukmu."

"Hal itu tidak perlu tergesa-gesa, Gui-ciangkun. Kalau aku bertugas melakukan penyelidikan, bagiku leblh leluasa kalau aku berpakaian biasa saja. Kelak saja kalau keadaan sudah aman, baru aku akan mengenakan pakaian panglima muda itu." Gui Ciangkun mengangguk angguk. "Akan tetapi, setidaknya engkau harus memegang surat tanda pangkatmu. Biar nanti kubuatkan, agar setiap saat dapat kau pergunakan dan perlihatkan kepada para pejabat lain."

"Harap Ciangkun pulang lebih dulu. Aku ingin menemui seorang sahabatku bernama Lauw Tek. Pendekar inilah yang banyak membantuku dalam menyelidiki gerakan yang dilakukan Pangeran Tua dan dia kini masih selalu menanti berita dariku di sebuah kuil tua," kata Thian Lee.

Gui-ciangkun menyetujui. "Kalau sudah selesai, cepat engkau datang ke rumahku karena engkau harus segera mengadakan hubungan dengan Pangeran Tang Gi Su. Untuk itu aku akan memberi surat perkenalan kepadamu..."

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.