Dewa Linglung - Suara seruling bernada aneh itu terdengar di malam temaram disisi bukit. Suaranya memang aneh. Karena seperti perpaduan dua suara seruling yang ngawur. Satu berirama keras melengking-lengking. Sedangkan satu irama lagi bernada sedih mendayu-dayu.
Ternyata ditiup oleh dua orang laki-laki berwajah hampir serupa satu sama lain. Yang seorang duduk diatas batu di tempat ketinggian, dan seorang lagi meniup seruling sambil menyandarkan punggung dibatang pohon gundul di sebelah bawah.
Siapa adanya dua laki-laki. Yang selain hampir serupa wajahnya, tapi juga pakaian yang dikenakannya satu sama lain tiada berbeda. Kedua laki-laki inilah yang digelari si Kembar Seruling Maut Siapa sangka suara tiupan seruling itu telah mengganggu telinga orang. Saat itu sesosok tubuh tampak tersembul dari balik bongkah batu cadas.
Sepotong bulan yang menerangi dapat menangkap wajah orang ini. Dia seorang wanita tua berambut putih, bermuka lonjong. Sepasang matanya tajam membinar ketika melihat dua orang laki-laki enak-enakan duduk dan bersandar meniup seruling dimalam buta tanpa memikirkan telinga orang lain.
Wanita ini membentak keras. Sebelah lengannya mengibaskan ujung bajunya yang gombrong. "Kunyuk-kunyuk tak tahu diri! Lekas enyah kalian dari sini!"
Mendadak suara seruling tersirap lenyap, dan disusul oleh suara teriakan kaget kedua laki-laki kembar itu. Karena mendadak serangkum angin keras telah membuat terlepas kedua seruling yang tengah mereka tiup. Bahkan tubuh mereka terhuyung bagai dilanda angin badai...
Pucatlah seketika wajah si Kembar Seruling Maut melihat di hadapan mereka tahu-tahu telah berdiri bertolak pinggang seorang wanita tua dengan wajah cemberut dan mata melotot menatap mereka saling bergantian.
"Siapakah kalian? Mengapa seenaknya membuat kebisingan di tengah malam?" berkata wanita tua ini dengan suara dingin menembus jantung.
Tahu orang marah-marah, dalam hati kedua laki-laki ini diam-diam bergirang dengan kemunculan wanita tua ini walaupun kemuncu-lannya telah membuat mereka terkesiap dan terkejut bukan main, karena sambaran angin keras barusan. Seperti telah saling berjanji keduanya menyambar seruling mereka yang tergeletak di tanah, dan saat itu juga mereka telah menekuk lutut di hadapan wanita itu seraya berkata hampir berbarengan.
"Nini Sumbi...! Kami mohon menjadi muridmu!"
Tentu saja hal itu membuat mata wanita tua ini jadi tambah melotot lebar. "Dua kunyuk kembar! Siapakah kalian? Mengapa datang-datang memintaku menjadi gurumu?" bentaknya dengan suara parau menusuk.
"Kami di dunia persilatan bergelar si Kembar Seruling Maut!" menyahut dua laki-laki kembar ini dengan berbareng. Namun kepala mereka masih tetap menunduk dengan hidung menempel di tanah. Sikap bersujud kedua laki-laki itu jelas berkeras menginginkan diri mereka untuk menjadi murid wanita tua itu.
"Bangun!" Terdengar bentakan dingin Nini Sumbi. Sebelah lengannya bergerak. Dan satu kekuatan yang hebat telah memaksa si Kembar Suling Maut untuk mengangkat wajah, karena serangkum angin menyambar ke arah kepala. Terasa bersyiurnya angin dingin menyambar.
Khawatir wanita tua itu menurunkan tangan keji membunuh mereka, membuat hati mereka mencelos, dan serentak mereka sama-sama mengangkat sepasang lengan untuk menyambuti serangan itu. Dua arus tenaga dalam saling beradu. Dan... terdengar dua laki-laki ini berteriak tertahan. Tubuh si Kembar Seruling Maut terhuyung ke belakang. Namun secepat itu pula mereka telah melompat berdiri.
"Nini Sumbi...! Kami mohon kau mengangkat kami sebagai muridmu...!" berkata salah seorang. Dan lagi-lagi keduanya jatuhkan tubuhnya berlutut.
Walaupun si Kembar Seruling Maut merasa dada mereka sesak karena benturan tenaga dalam tadi, tapi mereka tetap memaksa diri untuk kembali berlutut. Akan tetapi sebelum hal yang kedua itu terjadi, si wanita tua itu telah kibaskan lengan jubahnya seraya membentak.
"Kalian benar-benar keras kepala! Nah, mampuslah!" Tampaknya serangan Nini Sumbi sukar untuk dielakkan lagi. Sambaran angin kibasan lengan jubahnya ternyata diiringi dengan telapak tangan kanan wanita tua itu yang menghantam dengan pukulan mematikan.
Akan tetapi sambaran keras itu ternyata menghantam batu besar yang berada di belakang kedua laki-laki kembar itu, dan serangan telapak tangannya yang mengandung tenaga pukulan mematikan mendadak tertahan. Keringat dingin sebesar-besar kacang meluncur turun di dahi si Kembar Seruling Maut. Jantungnya serasa telah luruh copot dari tangkainya.
Ternyata resiko berbahaya di depan mata telah lewat. Keyakinan mereka sangat kuat, kalau Nini Sumbi tak mungkin menjatuhkan tangan keji terhadap mereka tanpa sebab. Sejak jauh-jauh hari sebelum kedatangan mereka ke tempat ini, sudah mengetahui watak wanita tua berilmu tinggi beradat aneh itu.
"Hm, bangunlah kalian dua cecunguk!" berkata dingin wanita tua ini. Tapi suaranya tak setajam tadi.
"Nini Sumbi! Kami akan bangun bila kau telah bersedia mengangkat kami menjadi muridmu!" kata Kembar Seruling Maut dengan berbareng.
"Kalian ini benar-benar sinting! Mengapa memaksa orang seenaknya? Bagaimana kalau aku tak mau mengangkat kalian menjadi muridku?" berkata demikian dalam hati Nini Sumbi diam-diam bergirang. Kemunculan dua pemuda kembar bertampang cukup gagah itu benar-benar seperti mimpi kejatuhan bulan dan matahari.
"Kami... kami akan tetap bersujud sampai mati!" menyahut Kembar Seruling Maut. Tentu saja jawaban itu membuat si wanita tua tertegun. Tapi tak lama kemudian terdengarlah suara tertawanya berderai terpingkal-pingkal.
"Angin apakah yang telah meniup kalian sampai ke tempat ini? Dan mengapa kalian begitu berkeras ingin menjadi muridku?" berkata Nini Sumbi selesai tertawa yang membuat rambut yang hampir memutih semua itu tergerai menu-tupi sebagian mukanya. Pertanyaan wanita tua itu dijawab oleh salah seorang dari laki-laki kem-bar itu.
"Kami merasa kurang puas dengan ilmu yang kami miliki saat ini. Kami mendengar berita berdiamnya seorang tokoh Rimba Hijau berilmu tinggi disekitar lembah ini. Itulah sebabnya kami kemari, untuk mengharapkan kemurahan hatimu menerima kami sebagai murid!"
"Heh! Dari mana kau mengetahui namaku?" tanya wanita tua ini.
"Seseorang yang menamakan dirinya si Iblis Pantat Kuning!" sahut si laki-laki yang bernama Rah Banu, saudara kembarnya bernama Rah Bono. Mendengar nama julukan itu Nini Sumbi kerenyitkan keningnya.
"Kapan kalian berjumpa dengan saudara seperguruanku itu?" tanya Nini Sumbi.
"Dua bulan yang lalu. Guru...!" sahut Rah Banu yang langsung menyebut guru pada wanita itu.
"Kunyuk! Siapa suruh kau menyebut aku guru? Aku toh belum mengangkatmu sebagai muridku?" bentak Nini Sumbi berjingkrak marah.
"Ah, maafkan kami... Guru... eh, Nini Sumbi..." kata Rah Banu dengan wajah pucat. Siapa menyangka kalau wanita itu masih unjukkan sikap galak. Tapi dia juga tak menyangka kalau si Iblis Pantat Kuning itu adalah saudara sepergu-ruan wanita tua ini.
"Apakah dia yang menyuruh kalian ke mari?" tanya Nini Sumbi.
"Tidak, Nini...! Kami mencuri dengar pembicaraan si Iblis Pantat Kuning ketika tengah bercakap-cakap dengan seorang pendekar muda bergelar si Dewa Linglung! Dia menyebut-nyebut namamu yang berdiam di lembah ini...!"
Nini Sumbi tersentak mendengar disebutnya gelar itu. "Dia bercakap-cakap dengan si Dewa Linglung? Hm, membicarakan apa? Mengapa menyebut-nyebut namaku?" tanya wanita tua ini dengan mata mendelik.
Tampaknya dia tak menyukai saudara seperguruannya yang bergelar Iblis Pantat Kuning itu. Dan nama Dewa Linglung membuat dia terkejut, karena dia telah mendengar selentingan khabar mengenai sepak terjang pendekar muda yang berada di aliran putih itu.
Kesempatan baik itu digunakan Rah Banu yang menginginkan dirinya dijadikan oleh wanita kosen itu dengan memanas-manasi hatinya. "Dia membicarakan keburukanmu, Nini...! Dan tampaknya pendekar muda itu pandai mengambil hati. Kami seperti tak dipandang sebelah mata pada pertemuan golongan kaum putih, hingga kami siang-siang mengundurkan diri...!" kata Rah Banu.
"Lelaki sundal itu memang tak pernah sepaham denganku! Akupun mendengar tentang adanya pertemuan itu yang diadakan di Kota Raja. Hm, apakah kau mengira orang-orang yang mengaku golongan putih itu tak pernah melakukan perbuatan tercela? Mereka kaum putih memang sombong! Tinggi hati, dan sok suci!
"Aku tak mengatakan diriku putih atau hitam. Yang jelas aku memang tak mau datang! Dan aku bebas melakukan apa yang kukehendaki, tanpa harus pakai tata cara yang disyaratkan sebagai kaum Rimba Hijau! Semua itu adalah prakarsa Patih Mangku Jagat yang sengaja mengumpulkan kaum Rimba Hijau untuk diperalat demi keinginannya memperluas wilayah.
Sehingga dia bisa mengambil muka pada Baginda Prabu Pancadriya! Aku menduga dia punya ambisi untuk mendapatkan pengaruh yang lebih besar di mata rakyat. Hingga walaupun pada dasarnya Baginda Raja yang berkuasa, tapi sebenarnya dialah yang mengatur ja-lannya pemerintahan!" ujar Nini Sumbi.
Kembar Seruling Maut sudah sejak tadi mengangkat muka, dan manggut-manggut mendengarkan penuturan wanita tua itu. Adapun Nini Sumbi ketika menyebut nama Patih Mangku Jagat tampak matanya nyalang. Sepertinya dia juga menaruh kebencian pada patih Kerajaan itu. Setelah mendengus, wanita tua ini kembali meneruskan kata-katanya.
"Manusia sudah banyak berubah! Dan zamanpun telah berubah! Kini aku tak perduli lagi dengan segala macam urusan apapun yang ada sangkut pautnya dengan Kerajaan Mamenang yang kini berganti dengan nama Pengging! Tapi pertemuan itu akan membawa pengaruh besar dan mempersempit ruang gerak kebebasanku. Aku memang tak mau terikat dengan segala macam peraturan. Dan... kalian dua cecunguk..." katanya sambil menatap kedua laki-laki kembar itu.
Hati Rah Banu dan Rah Bono agak resah karena wanita tua itu menahan kata-katanya.
"Kalian berjodoh untuk menjadi pewaris ilmu-ilmuku!" lanjutnya dengan suara tegas. Dan dalam mengucapkan kata-kata itu, tampak seulas senyum di sudut bibirnya serta menyembulnya dua buah kerut pada garis lekukan di kiri kanan pipi. Walaupun sudah cukup tua, namun wanita ini tampak masih terlihat bekas-bekas kecantikannya.
Tentu saja mendengar kata-kata itu Kembar Seruling Maut serentak jatuhkan diri bersu-jud, seraya ucapnya dengan serentak. "Guru...!"
Girangnya hati kedua laki-laki yang masih boleh dibilang dua orang pemuda ini tak alang kepalang, hingga mereka menyebut guru berulang kali.
"Sudah! Sudah! Malam ini kalian boleh tidur di tempat kediamanku!" ujar Nini Sumbi. Kemudian berkelebat dari situ. Tak ayal lagi kedua pemuda kembar ini segera berkelebatan menyu-sul. Sebentar saja ketiga sosok tubuh itu lenyap di keremangan malam...
"Kami berjanji akan menjalankan perintah guru, dan tak akan melanggar pantangan selama menuntut ilmu maupun setelah keluar dari lembah ini...!" Kata-kata itu diucapkan si Kembar Seruling Maut dengan berbareng menirukan ucapan Nini Sumbi.
"Bagus! Kalian resmi jadi muridku! Kalian telah mengambil sumpah dengan perjanjian yang kalian ucapkan, berarti aku berhak menghukum kalian jika kalian berani melanggarnya!"
"Ya, Guru...!" sahut Rah Banu dan Rah Bono dengan anggukan kepala.
"Bolehkah aku bertanya. Guru...?" tiba-tiba Rah Banu berkata.
"Silahkan! Hal apakah yang akan kau tanyakan?"
"Sampai berapa lamakah kami menuntut ilmu?" tanya Rah Banu.
Nini Sumbi terkekeh kemudian sahutnya dengan suara tegas. "Kalian telah mempunyai dasar ilmu silat, bahkan jurus-jurus kalian berdua dan ilmu seruling serta tenaga dalam kalian sudah dapat diandalkan untuk sekedar menjadi seorang pesilat. Akan tetapi rasa kurang puas memang ada pada setiap diri manusia. Apalagi kalian masih cukup muda. Nah, oleh karena itu aku tak akan memberi kalian ilmu tenaga dalam atau jurus-jurus silat yang biasa. Akan tetapi ilmu yang akan kuwariskan pada kalian adalah ilmu yang amat langka. Dan untuk menguasai ilmu itu cuma memerlukan waktu tujuh kali bulan purnama!"
"Ilmu apakah itu. Guru...?" tanya Rah Banu dan Rah Bono hampir serempak.
"Itulah ilmu ajian Karang Rogo!" sahut Nini Sumbi dengan nada suara penuh kebanggaan.
"Nama yang aneh...!" kata Rah Banu mendesis.
"Kapankah kami mulai mempelajarinya. Guru...?" Rah Banu tak sabar bertanya. Rasanya dia ingin cepat-cepat memiliki ilmu itu.
"Apakah keistimewaan ilmu ajian Karang Rogo itu. Guru?" Rah Bono menyela bicara sebelum wanita tua itu menyahuti pertanyaan Rah Banu. Nini Sumbi tersenyum. Matanya berkejap-kejap. Kemudian menyahut.
"Sabarlah! Kelak kalian akan mengetahui keistimewaannya. Dan untuk kalian mulai mempelajari, tunggulah sampai bulan purnama beberapa hari lagi. Sambil menunggu datangnya malam purnama kalian boleh melakukan semadhi. Mari kutunjukkan tempat-tempat buat kalian!"
Rah Banu dan Rah Bono segera mengikuti wanita tua itu mengintil di belakangnya tanpa mengucapkan sepatah kata. Kecuali rasa girang, karena akhirnya mereka berhasil menjadi murid si wanita kosen itu. Ilmu apapun yang bakal mereka pelajari tak menjadi persoalan.
Dalam lembah itu ada banyak goa-goa. Batu yang berada di lereng-lereng tebing. Nini Sumbi memilih dua buah goa. Goa di sebelah Barat diperuntukkan buat Rah Banu, dan Rah Bono menempati goa sebelah Timu. Selesai memberi tempat buat kedua orang muridnya, Nini Sumbi ke tempat dia berdiam. Tak berapa lama dia sudah berada di depan mulut goa tempat tinggalnya.
"Beres! Dua muridku yang gagah itu sudah kupisahkan. Aku harus menyelesaikan urusanku yang tertunda. Dan... hihik... hik... harus selesai sebelum bulan purnama. Ramuan yang kuperlukan masih kurang lengkap. Aku masih membutuhkan dua ari-ari bayi lagi!" menggumam wanita tua ini.
Kemudian memasuki ruang goa tempat dia menyimpan segala macam perlengkapan. Ruang goa rahasia ini terletak di bagian atas. Melalui anak tangga terbuat dari bambu baru bisa sampai ke ruangan goa itu. Sebuah kuali besar berisi darah tampak di atas tungku.
Tiga buah kepala tengkorak terlihat di atas rak termasuk sebuah tengkorak kepala buaya. Entah untuk apa tulang-tulang tengkorak itu. Dan masih banyak lagi peralatan lainnya yang berserakan di atas meja batu.
Nini Sumbi mendekati kuali di atas tungku tak berapi itu, kemudian mengaduk-aduk darah yang sudah diberi bermacam-macam ramuan itu. Baunya lebih busuk dari pada bangkai. Wanita tua ini ambil gayung tempurung kelapa yang tersangkut di dinding batu, kemudian menciduk darah dalam kuali besar. Dan tanpa merasa jijik dia meminumnya dua tiga teguk.
"Hihihik... hihik... ramuan ajaib ini akan merobah diriku menjadi muda lagi. Sayang masih kurang lengkap.... Hari ini juga aku harus mencari dua buah ari-ari yang kuperlukan!" katanya sambil tertawa menyeringai. Nini Sumbi tak ubahnya seperti bukan manusia. Apa yang telah dilakukannya selama ini dengan menyekap diri di lembah itu ternyata membuat suatu ramuan gila-gilaan.
Sementara itu sesosok tubuh entah dari mana munculnya, tahu-tahu telah berada di mulut goa. Siapa adanya orang ini tak lain dari si pelukis gondrong. Dialah yang bernama Tejo.
"Goa apakah ini? Hm, tempat yang bagus untuk aku berdiam diri di tempat ini..." berdesis pemuda ini tanpa mengetahui kalau goa itu... ada penghuninya. Tentu saja terkejutnya bukan dikata lagi, karena tahu-tahu satu bentakan keras telah membuat dia tersentak kaget, serasa jantung-nya copot.
"Kurang ajar! Siapa kau kunyuk gondrong?"
"Welah, welah...! Ternyata sarang gen... gendruwo?" sentak Tejo dengan mata membelalak, melihat seorang wanita berambut hampir memutih beriapan tahu-tahu melayang dari langit-langit di sudut goa.
"Aku... aku... gik! Aku..." Tejo gelagapan dan sukar mengeluarkan kata-kata. Karena melihat betapa wajah wanita tua itu sangat menyeramkan. Sepasang mata yang menyorot menggidikkan, dan bibir berlepotan darah.
"Apakah aku berhadapan dengan hantu pe… peminum darah?" berkata Tejo dalam hati. Tergetarlah jantungnya. Dan kedua lututnya langsung saja lemas. Dia hanya mampu menelan ludah, karena bersuarapun rasanya sukar.
"Keparat! Siapa kau? Apakah kau tuli? Siapa yang mengijinkan kau masuk ke dalam goa tempat tinggalku?" bentak Nini Sumbi dengan mata mendelik.
"Oh, ma... maafkan aku, Nenek...! Aku tak mengetahui kalau goa ini tempat tinggalmu...! Namaku... Tej... Tejo...! Aku tersasar ke lembah ini..." Akhirnya pemuda ini bisa mengeluarkan suara, dan menjawab dengan suara tergagap-gagap. Sementara kakinya menyurut mundur.
Akan tetapi gelagat mau kabur itu telah diketahui Nini Sumbi. Dia perdengarkan suara tertawa dingin. "Hm, kau telah berani memasuki goa tempat tinggalku, jangan harap bisa keluar lagi sebelum aku memberi ijin!"
Tejo batalkan niatnya untuk angkat kaki dari tempat itu. Walau ada perasaan seram melihat wanita tua itu, tapi dia jelas melihat dihadapannya bukanlah hantu karena kedua kakinya menapak di tanah.
"Hehe... siapa yang mau kabur? Kalau aku diijinkan tinggal di sini tentu saja aku senang sekali!" kata Tejo memberanikan diri. Diam-diam dia telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
Nini Sumbi naikkan alisnya menjungkat. Matanya menatap pemuda itu, dan merayapi dari ujung rambut sampai ke kaki. "Bagus! Potonganmu boleh juga, anak muda! Kalau kau mau membantu pekerjaanku, kau boleh tinggal di sini!" kata Nini Sumbi.
"Celaka besar! Aku telah sembarangan bicara. Hm, biarlah kuterima tawarannya. Dalam keadaan begini aku akan sukar meloloskan diri dari tangan perempuan gendruwo ini. Disaat dia lengah tentu aku bisa meloloskan diri..." berkata Tejo dalam hati. Tejo garuk-garuk kepalanya, sambil tertawa menyeringai.
"Pekerjaan apakah yang bisa kubantu?" tanyanya.
"Hihik... hik... banyak! Banyak sekali pekerjaan yang bisa kau bantu. Kalau kau bekerja dengan baik, tentu kau akan mendapat imbalan yang tak sia-sia! Nah, kau ikutlah aku, Tejo...!"
Nini Sumbi balikkan tubuh, lalu melangkah memasuki ruangan goa. Lengannya bergerak menggeser dinding batu goa. Tampaklah sebuah celah sebesar dua kali tubuh manusia. Tejo agak ragu untuk turut masuk ke dalam ruangan itu. Tapi rasa ingin tahu, dan juga rasa khawatir kalau dia berbuat kekerasan, akan menimbulkan bahaya lebih besar lagi.
Terpaksa Tejo setengah menyeret kakinya dengan hati agak kebat kebit mengikuti wanita tua itu memasuki celah dinding goa. Ternyata di sebelah sana, kira-kira jarak sepuluh langkah terdapat sebuah ruangan lagi. Ternyata inilah sebuah ruangan kamar yang bersih. Di sebelah kiri menempel di dinding terdapat sebuah balai-balai dari kayu, bertilamkan kain beludru warna merah, lengkap dengan bantal dan guling.
Tejo belalakkan mata memandang ke sekitar ruangan. Ada sebuah cermin dari batu dan beberapa perangkat pakaian wanita. Sebuah meja kayu dan kursi dari potongan batang kayu beralaskan kulit binatang. Juga sebuah kendi dan sebuah gelas dari tanah liat. Cahaya dalam kamar datang dari arah langit-langit yang berbentuk kerucut. Tingginya kira-kira lima belas tombak. Ruangan itu seperti ditata sedemikian rupa hingga tampak antik dan menyenangkan dilihat mata.
"Kau boleh tinggal di sini...! Tentang peker-jaan yang bisa kau bantu, nanti akan kutunjukkan. Tapi ingat! Jangan coba-coba kau kabur dari tempat ini, karena kau akan menyesal seribu kali...!" berkata wanita tua itu setengah mengancam.
"Tapi, nenek... siapakah kau sebenarnya? Apakah ini ruangan kamarmu?" tanya Tejo.
Akan tetapi jawabannya adalah bentakan dingin wanita tua itu. "Hm, aku telah berbaik hati padamu, kuharap jangan bertanya macam-macam. Nah, selamat menempati kamar ini, dan tunggu perintahku nanti!"
Setelah berkata Nini Sumbi berkelebat cepat memasuki celah batu tadi. Tejo terperangah, dan barulah sadar ketika tiba-tiba celah itu telah tertutup lagi. "Celaka aku! Aku telah masuk perangkap dan terjebak di dalam ruangan kamar ini...!" keluh Tejo dengan keringat dingin mengembun di tengkuk.
"Apakah kini yang harus kulakukan? Hm, sementara diam dulu di kamar ini, dan beristirahat! Aku lelah sekali setelah melakukan perjalanan tiada tentu...! Welah...! Sampai kapan aku akan terus berpetualang? Tapi... aku memang seorang petualang...! Urusan nanti adalah nanti! Urusan sekarang adalah sekarang! Mataku mengantuk, dan aku perlu istirahat!" kata Tejo dalam hati. Dia beranjak melangkah mendekati pembaringan kayu bertilam kain beludru tebal warna merah itu. Dan rebahkan tubuhnya dengan mulut menguap...
Entah beberapa saat lamanya dia tertidur menggeros. Ketika terjaga hidungnya mengendus bau harum semerbak. Tejo membuka matanya. Alangkah terkejutnya ketika tahu-tahu melihat seorang yang tak lain dari wanita tua yang menyekapnya dalam kamar itu telah berdiri di depan pembaringan.
Wajahnya sangat dekat sekali dengan wanita itu yang kini telah berbedak tebal, dan bibirnya pun bergincu merah. Bau harum itu adalah minyak wangi yang dipakai Nini Sumbi. Yang membuat mata Tejo membelalak adalah wanita itu tak berpakaian sama sekali, dan tengah menatapnya dengan pancaran mata yang berbinar-binar.
"Cepatlah Tejo...! Kau harus melakukan pekerjaanmu dengan baik...! Inilah tugasmu yang pertama..." kata wanita tua itu dengan suara berdesis lirih. Lengannya tahu-tahu terjulur ke arah dadanya yang terbuka dan berkeringat. Terasa wanita ini mengelus-elus dadanya dengan penuh gairah, dan jemari-jemari wanita itu mulai berge-rak untuk membuka pakaian atasnya.
Tejo terperangah kaget. Tubuhnya tergetar. Keringat dingin merembes di tengkuknya. Detik itu juga dia berteriak ketakutan. "Tidaaak...! Jangan! Jang... jang... aaan..." Dan Tejo seketika terkulai tak sadarkan diri.
Nini Sumbi menyumpah-nyumpah dengan mendongkol. "Keparat! Setan! Sialan...!" makinya, dengan wajah berubah, dan senyumnya yang mengandung madu berbisa itu lenyap seketika. Cepat dikenakan pakaiannya, dan sesaat kemudian dia telah berkelebat keluar dari dalam ruangan kamar...
Tejo perlahan-lahan membuka matanya. Ternyata dia cuma pura-pura pingsan. Telinganya dipasang lebar-lebar. Hatinya kebat kebit khawatir wanita tua yang mabuk kepayang itu muncul lagi. Tapi dia tak mendengar suara apa-apa. Tejo mulai menduga-duga.
"Hm, mudah-mudahan dia pergi... Dan inilah kesempatan untuk meloloskan diri..." berkata Tejo dalam hati. Rasa girang terbersit di wajah pemuda ini melihat celah dinding batu tak tertutup. Agaknya karena mendongkolnya, wanita tua itu lupa menutupnya. Tejo sambar kantong tikarnya lalu melompat mendekati mulut celah. Gerakannya tak menimbulkan suara. Perlahan-lahan dia sembulkan kepala untuk melihat situasi di luar ruangan.
"Aman...!" desis Tejo. Dan detik itu juga dia telah berkelebat keluar goa. Tak lama pemuda seniman itu telah berlari cepat menuju ke tepi lembah. Selang tak berapa lama dia telah keluar dari lembah, dan melompat lenyap ke dalam hutan. Nasib mujur bagi pemuda itu karena sampai dia keluar dari lembah itu, tak ada tanda-tanda Nini Sumbi munculkan diri.
Waktu berlari cepat. Tak terasa sudah hampir mendekati saat tujuh kali bulan purnama. Selama itu Kembar Seruling Maut telah mengikuti petunjuk-petunjuk Nini Sumbi untuk penguasaan aji Karang Rogo. Purnama yang ketujuh inilah saat-saat penentuan terakhir yang harus dijalankan Rah Banu dan Rah Bono. Saat penentuan antara hidup dan mati. Karena saat itu penerapan aji Karang Rogo.
Rah Banu dan Rah Bono dalam keadaan terkubur tubuhnya. Di atas tanah itu cuma tampak menyembul dua buah kepala pemuda itu. Di tengah-tengah di antara kedua buah kepala pemuda itu tampak Nini Sumbi duduk dengan bersila dalam keadaan bertelanjang bulat. Satu keanehan telah terlihat pada diri Nini Sumbi sejak enam sampai mendekati ketujuh kali bulan purnama.
Rambutnya yang hampir seluruhnya memutih itu kini telah berubah menjadi hitam berkilat. Dan kulitnya yang keriput kembali mengencang. Tentu saja parasnya pun kembali muda seperti seorang wanita berusia tiga puluhan tahun. Walau tak dapat dikatakan mirip seorang gadis remaja, tapi hal itu sudah menggembirakan hati wanita itu.
Sejak siang tadi panas matahari menyengat kulit tubuh dan kulit kepala, Nini Sumbi terus duduk dengan memejamkan mata. Sementara Rah Banu dan Rah Bono si Kembar Seruling Maut diam tak berkutik dengan tubuh terkubur dan kepala menyembul diatas tanah. Penerapan aji Karang Rogo sangat aneh. Namun semua itu telah dilewati oleh kedua pemuda itu. Kini tibalah saat penentuan terakhir. Mereka menantikan saat kemunculan bulan purnama.
Beberapa saat kemudian malam pun merambah alam sekitar lembah. Bulan purnama telah munculkan diri. Saat itulah tiba-tiba tubuh Nini Sumbi tergetar. Hawa dingin menyebar dari sekujur tubuh. Hingga tampak kepala wanita itu mengepulkan uap putih. Wanita ini rentangkan tangannya, dan kedua, telapak tangan segera ditempelkan ke kepala si Kembar Seruling Maut.
Hal ini terus berlangsung hingga tengah malam. Tampaknya Nini Sumbi seperti tersiksa dalam penerapan ajian Karang Rogo itu. Hawa dingin perlahan-lahan berubah menjadi hawa panas. Hingga Rah Banu dan Rah Bono merasakan batok kepalanya seperti dibakar.
Namun dengan ketabahan yang luar biasa mereka terus bertahan. Dan mengikuti petunjuk sang guru seperti yang telah diajarkan. Sementara hal itu berlangsung, Nini Sumbi tiada hentinya membaca mantera-mantera. Mantera-mantera itu ditujukan pada roh seseorang.
"Mbah Jago Karang... perkenankanlah akubmewariskan ajian Karang Rogo yang belum sempurna kumiliki pada kedua muridku ini. Aku mohon kesempurnaan. Rep, sirep... Matek aji panitis... lungsuro maring ingsun... kasampurnan kang sejatining kasekten..."
Beberapa saat berselang, cuaca mendadak berubah gelap. Bulan seperti tersapu awan hitam. Angin keras menderu. Saat itulah tiba-tiba terlihat meluncur cahaya aneh seperti tahi bintang jatuh. Cahaya aneh itu meluncur dari arah Selatan, dan melayang turun ke mulut lembah. Tepat di atas kepala Nini Sumbi, cahaya aneh itu meletup.
"Bhusss...!"
Cahaya aneh itu berubah menjadi gumpalan asap kelabu yang kemudian lenyap seperti menyusup masuk ke ubun-ubun wanita itu. Selang sesaat terjadilah keanehan. Terdengar dua teriakan berturut-turut. Kembar Seruling Maut bagai dibetot tenaga raksasa. Kedua tubuh mereka terangkat ke atas dan menjebol tanah tempat memendam tubuh mereka.
Kini tampak keadaan yang menegangkan. Tubuh Nini Sumbi hampir seluruhnya tertimbun tanah bekas terjebolnya dua pemuda muridnya itu, dan dalam keadaan tak bergerak-gerak. Adapun tubuh si Kembar Seruling Maut entah sudah mati entah masih bernyawa. Karena kedua tubuh laki-laki kembar yang berkaparan di tanah itupun tampak tak bergerak-gerak.
Kebisuan merambah alam sekitar lembah itu dimana tiga anak manusia dalam teka teki, apakah masih dalam keadaan bernyawa atau mereka tewas dalam penetrapan ajian Karang Rogo.
Sementara itu di sebelah Utara lembah ditengah malam yang lengang dalam kebisuan, seorang gadis sejak tadi berdiri di muka pondok. Matanya menatap ke arah langit di mana bulan purnama yang bulat terang benderang dan tengah dikagumi keindahannya mendadak lenyap. Kejadian aneh itu membuat dia terpaku dan tak mengerti. Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara lolongan serigala hutan menambah mencekamnya suasana malam yang gelap itu.
"Aneh...!? Rembulan tiba-tiba lenyap. Udara jadi berubah panas seperti siang hari. Dan ca-haya aneh seperti tadi belum pernah aku meli-hatnya. Juga tak biasanya suara anjing-anjing hutan itu melolong di tengah malam..." bergumam gadis ini.
Terdengar suara daun pintu membuka, dan seorang kakek terbungkuk-bungkuk melangkah keluar. "Cucuku... masuklah ke dalam. Tak baik seorang gadis sampai larut malam berada diluar pondok!" kata laki-laki tua ini sambil membesarkan lampu di beranda depan.
"Baik kakek..!" menyahut gadis ini, seraya melangkah menaiki tangga papan pondok, lalu melangkah masuk. Diam-diam dia tersentak karena orang tua itu belum tidur walaupun sejak sore tadi telah menutup pintu kamarnya.
"Kakek belum tidur...?" tanyanya. Laki-laki ini tak menjawab. Dia menghenyakkan tubuhnya ke kursi bambu seraya menghela napas.
"Kau melihat suatu keanehan, Panji...?" Kakek ini malah balik bertanya.
Gadis bernama Panji ini mendekat. Kepalanya mengangguk. "Benar, Kakek...! Kakek mengetahui...?"
"Hm, sudahlah, cucuku! Kau tidurlah! Hari sudah jauh malam. Tak lama lagi rembulan akan muncul lagi..." sahut si kakek sambil sekali lagi menghela napas.
Panji sejenak menatap pada orang tua itu, kemudian menyahut. "Baik, Kakek...!" Kemudian tanpa menoleh lagi terus memasuki kamarnya dan mengunci pintu dari dalam.
Sementara itu laki-laki ini masih tetap duduk menjublak dikursi bambu dengan mata menatap keluar pondok. Siapa adanya kakek ini? Dialah laki-laki tua yang bernama Lung Gadung yang baru beberapa bulan menetap di wilayah Utara itu. Dialah seorang tua berilmu tinggi yang diam-diam menyembunyikan diri di tempat sunyi itu.
Dengan keadaan usia yang sudah semakin melanjut itu sejak belasan tahun yang silam dia telah mengundurkan diri dari Rimba Persilatan. Bahkan kini orang tak akan mengenal lagi siapa dirinya.
Apa yang dikatakan Lung Gadung pada gadis cucunya itu ternyata benar. Selang tak lama rembulan kembali menampakkan diri. Cuaca kembali terang benderang. Dan hawa panas itu perlahan-lahan lenyap, dan berubah seperti sediakala lagi.
Panji membuka sedikit jendela kamar untuk melihat keadaan di luar. Bibirnya tampak tersembul senyuman melihat keadaan di luar telah kembali terang benderang seperti semula. Perasaan tercekamnya lenyap. Dia menghela napas, kemudian merapatkan jendela. Dan baringkan tubuhnya di balai-balai papan beralaskan jerami ditilami kain kasar itu sambil menghela napas lega.
Kakek Lung Gadung memadamkan lampu beranda depan. Dan melangkah masuk ke dalam kamar. Kemudian menutupkan daun pintu. Pondok sederhana di sisi hutan itupun kembali sunyi...
"Kakek...! Kejadian semalam itu sungguh aneh...! Apakah kau mengetahui ada cahaya aneh yang meluncur dari arah Selatan? Bentuknya seperti bintang sapu, atau seperti tahi bintang yang jatuh!" bertanya Panji pada kakek Lung Gadung, ketika mereka baru saja selesai bersantap pagi.
Laki-laki tua ini tak buru-buru menyahut. Dia meneguk kopi pahitnya. Kemudian meletak-kan lagi di atas tikar yang terhampar di ruang tengah pondok itu. Kemudian menghela napas. Panji seperti tak sabar menunggu jawaban kakek itu. Dia kembali berkata.
"Kakek... apakah itu suatu pertanda baik atau buruk? Dan cahaya apakah itu? Cahaya aneh itu muncul setelah bulan purnama lenyap dan cuaca menjadi gelap pekat!"
"Aku mengerti kegelisahan hatimu, cucuku...! Aku mengetahui semua kejadian aneh itu. Baik dan buruknya pertanda itu, aku tak mengetahui...! Tapi sebaiknya kita berjaga-jaga dari segala kemungkinan yang bakal terjadi...!" ujar Lung Gadung menatap gadis itu.
Panji mengangguk dengan menundukkan wajah. Tampaknya dia kurang puas dengan jawaban sang kakek. Tapi dia cuma berdiam diri, walau hatinya diam-diam berkata. "Kakek Lung Gadung pasti mengetahui...! Akan tetapi dia sengaja menyembunyikan kekhawatiran hatinya di hadapanku! Firasatku mengatakan kejadian aneh itu adalah firasat buruk! Entah apakah yang bakal terjadi...?"
Selang beberapa saat, gadis ini mulai memberanikan diri berkata. Tampaknya hal yang akan dikatakannya telah lama tersimpan dalam hati. Tapi baru hari inilah dia berani mengatakannya.
"Kakek... sebenarnya aku..." Terasa sukar bagi si gadis mengeluarkan kata-kata itu. Hingga sesaat dia terdiam lagi sambil menelan ludah.
"Katakanlah, cucuku! Keterus-terangan adalah lebih baik dari sembunyi-sembunyi. Karena sebagai seorang gadis yang telah cukup dewasa kau memerlukan hal itu. katakanlah apa yang tersimpan dalam hatimu!" ujar Lung Gadung dengan suara datar, seolah-olah dia sudah dapat membaca isi hati sang cucu perempuannya.
"Kakek...! Sebenarnya aku ingin minta izin padamu untuk pergi ke Kota Raja. Aku akan mengabdikan diri pada Kerajaan Pengging, karena seperti yang kuketahui almarhum ayahku adalah bekas seorang Senapati Kerajaan Pengging atau Mamenang...! Disamping itu aku juga ingin menanyakan di mana ibuku pada orang-orang di Kota Raja. Siapa tahu mereka mengetahui di mana beliau berada saat ini. Apakah masih hidup apakah sudah tiada dalam dunia ini..." Akhirnya Panji mampu juga mengucapkan kata hatinya yang selama ini dipendamnya dengan suara agak bergetar.
Kakek Lung Gadung manggut-manggutkan kepala. Dia tersenyum menatap gadis di hadapannya yang duduk sambil menunduk. "Aku sudah menduga apa yang selama ini tersimpan dalam hatimu, cucuku...!" kata laki-laki tua ini. Kemudian melanjutkan.
"Mendiang ayahmu memang bekas seorang Senapati Kerajaan Mamenang atau Pengging. Tak heran kalau kau ingin pula mengabdi pada Kerajaan! Untuk hal itu aku tak dapat melarangmu. Dan kukira memang sudah saatnya kau berpisah dariku. Kau sudah cukup dewasa untuk bisa mandiri dan menentukan jalan hidupmu. Mengenai ibumu..." lanjut Lung Gadung, setelah menghela napas.
"Kukira kau tak akan dapat menemukannya di Kota Raja. Karena setelah menitipkan kau, dia pergi tanpa berkata sepatah katapun. Akan tetapi dia meninggalkan sepucuk surat disela bajumu. Waktu itu kau baru berusia lima atau enam tahun..."
"Apakah isi surat itu, Kakek...?" tanya Panji dengan mata menatap laki-laki tua itu.
"Surat itu mengatakan, pertama dia menitipkan dirimu, dan memohon agar aku merawatmu sampai dewasa, serta memberikan padanya bekal ilmu-ilmu kedigjayaan. Kedua dia ingin agar kelak dirimu bisa mengabdikan diri pada Kerajaan Mamenang. Ketiga mengharapkan agar kelak setelah dewasa jangan mencari dirinya. Dalam surat dia mengatakan, bahwa dia telah jatuh cinta pada seorang laki-laki asal Tiongkok, dan kepergiannya adalah untuk menikah dan menetap di negeri tersebut...!" tutur Lung Gadung dengan suara datar.
Sesaat lamanya Panji termangu-mangu. Tampak sepasang matanya berkaca-kaca. "Begitu teganya ibu berbuat begitu? Mengapa dia tak membawaku ke negeri laki-laki itu?" Tanpa terasa dia berkata dengan suara berdesis.
Lung Gadung tersenyum. Dia dapat memahami perasaan gadis itu. "Kau tak boleh berkata begitu, cucuku...! Saat itu kau mana mengerti persoalan ibumu? Dan kalau kau dibawa serta ke negeri Tiongkok, mungkin kau tak akan kenal dengan Kerajaan Mamenang. Negeri itu terlalu jauh di seberang lautan...! Kau juga tak akan mengenal aku! Ibumu mengharapkan kau sebagai keturunan orang Kerajaan akan dapat meneruskan jejak ayahmu...!" hibur laki-laki tua ini dengan mengelus rambutnya.
Panji mengangguk kaku, dan menyeka air matanya yang berderai membasahi pipi. "Biarlah aku akan mencoba melupakan ibu...! Tapi kau tentu mengijinkan aku pergi bukan?" kata Panji mencoba tersenyum, walau senyum itu nampak kaku.
Lung Gadung menjawabnya dengan anggukan kepala. Tak terkirakan girangnya hati gadis ini. Dengan haru dipeluknya laki-laki tua yang selama ini telah merawat dan mendidiknya. Bukan saja dalam hal ilmu-ilmu kedigjayaan, tapi juga dalam hal pengetahuan lainnya. Seolah-olah Lung Gadung adalah pengganti ayahnya, atau kakeknya sendiri.
"Kapankah kau akan pergi, cucuku...?" tanya Lung Gadung, setelah sekian saat antaranya mereka saling membisu. Tampak kakek ini menyembunyikan titik air matanya di sudut sebelah kanan kelopak mata. Rasa haru dan sedih terhampar di wajah laki-laki tua itu, walau dengan senyumnya dia dapat menyembunyikan kesedihan itu.
"Kupikir hari ini juga, Kakek...!" menyahut Panji.
"Kalau begitu berkemas-kemaslah! Aku akan mengantarmu sampai perbatasan Kota Raja!" ujar Lung Gadung dengan tersenyum tawar.
Panji mengangguk, lalu bangkit berdiri. Dan bergegas memasuki kamarnya untuk membenahi pakaian, serta keperluan yang akan dibawanya. Laki-laki tua ini menghirup sisa kopi pahitnya, lalu bangkit berdiri, dan melangkah ke ruang depan.
"Kakek akan tetap tinggal di pondok itu?" tanya Panji, sesaat setelah mereka melakukan perjalanan menerobos hutan. Lung Gadung menggeleng.
"Aku mungkin akan kembali ke puncak Galunggung menghabiskan sisa usiaku...!" sahutnya.
Panji tak berkata apa-apa lagi. Perjalanan dilakukan dengan berlari cepat. Gadis itu kagum melihat kehebatan ilmu lari cepat laki-laki tua yang tak boleh tidak adalah gurunya sendiri. Dengan cepat dia mengimbangi gerakan sang kakek dengan menambah kecepatan larinya. Ternyata Panji mampu menyusul laki-laki tua itu.
Entah beberapa lamanya mereka melakukan perjalanan. Menyeberangi sungai, merambah hutan dan melintasi beberapa buah desa. Tak berapa lama antaranya Lung Gadung menahan gerakan larinya.
"Kita sudah sampai diperbatasan, cucuku...!" katanya. "Aku cuma bisa mengantarmu sampai ke sini...!"
"Kakek...! Betapa besar budi dan jasamu mendidik dan memelihara aku sampai dewasa. Entah dengan apa aku harus membalasnya...!" kata Panji dengan air mata berlinang.
Laki-laki tua itu tertawa terkekeh. "Sudahlah, Panji, cucuku...! Temuilah Senapati Pramudita! Dan katakan keinginanmu. Dia pasti akan menerimamu dengan senang hati!"
"Kakek mengenal Senapati Kerajaan itu?" tanya Panji tertegun. Lung Gadung tersenyum seraya menyahut.
"Di antara kedua anak angkatku selain ibumu, adalah Pramudita! Nah, sampaikan salamku padanya...! Dan baik-baiklah kau menjaga diri...!" Selesai berkata, tiba-tiba bayangan tubuh laki-laki tua itu berkelebat. Tahu-tahu lenyap dari pandangan mata Panji.
Dara ini hanya melihat bayangan putih seperti membias udara, dan le-nyap dibalik kerimbunan hutan... "Kakek...?! Ah, kau..."
Hanya kata-kata itu yang terucapkan di mulut dara ini. Tanpa sempat mencium tangan orang tua itu lagi, orang tua yang sangat dicintai dan dihormati itu telah lenyap begitu cepat. Panji mengusap air matanya yang membasahi pipi. Kemudian menyumput kain buntalannya yang menggeletak di tanah. Tak lama dia segera berlari cepat memasuki tapal ba-tas Kota Raja...
Kita beralih ke wilayah Selatan. Sebuah perguruan silat yang cukup punya pengaruh besar di wilayah Selatan ini bernama Halimun Sakti. Ketua perguruan adalah seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun. Berwajah tampan walaupun sudah agak tua. Berkulit putih dan bertubuh kekar. Jelas menampakkan bahwa dia seorang yang senang berlatih, dan selalu menjaga kondisi tubuhnya.
Sang ketua Perguruan Halimun Sakti ini bernama Badar Saga! Badar Saga mempunyai dua orang isteri yang kedua-duanya mandul. Hingga saat ini laki-laki itu belum peroleh keturunan. Isteri pertama bernama Nyi Rumpi, dan isteri kedua bernama Tumpuk Undung. Kedua isterinya itu berwajah cantik. Nyi Rumpi adalah gadis anak seorang guru pesantren yang dilamarnya sejak dia jatuh hati pada pandangan pertama.
Sedangkan Tum-puk Undung adalah gadis yang tergila-gila padanya. Hingga terjadilah suatu hubungan di luar nikah. Hal itu diketahui oleh Nyi Rumpi. Ternyata wanita isterinya itu berhati sutera. Dia menyuruh Badar Saga mengawini. Demikianlah, hingga sampai berjalan lebih dari sepuluh tahun mereka berumah tangga, sampai saat ini belum beroleh keturunan. Padahal Badar Saga sangat menginginkannya.
Tumpuk Undung yang berdiam di sebuah gedung di tepi sebuah telaga kecil yang sengaja dibuatkan untuk wanita ini oleh suaminya, tampaknya mulai merasa kurang puas dengan keadaannya saat itu. Entah iblis apa yang telah membisik dihatinya, hingga dia ingin menguasai Perguruan Halimun Sakti yang punya wilayah kekuasaan besar, dan hasil yang tidak sedikit.
Karena perguruan silat yang boleh dibilang adalah sebuah partai persilatan itu layaknya tak ubah seperti sebuah kerajaan kecil. Di mana rakyat se-kitar wilayah itu sangat tunduk pada peraturan yang dibuat oleh sang ketua partai Perguruan Halimun Sakti.
Rasa iri pada Nyi Rumpi adalah karena dia merasa dinomor duakan oleh Badar Saga. Suaminya jarang datang mengunjunginya. Dan dia merasa seperti diasingkan di tempat terpencil itu. Cuma dua orang pembantu, dan seorang bujang laki-laki saja yang menemani di gedung tempat tinggalnya.
Karena hal itulah lama-kelamaan timbul rasa tidak puas dalam dirinya. Hingga dalam hati wanita ini timbul suatu hasrat gila, yaitu ingin menguasai Partai Halimun Sakti.
"Parta...! ke marilah kau...!" Tumpuk Undung memanggil pembantu laki-lakinya.
"Ya, Ndoro Ayu...!" sahut laki-laki berkulit hitam bertubuh kekar ini, seraya terbungkuk-bungkuk menghampiri wanita itu. Sebentar saja dia telah tiba di hadapan sang majikan yang kesepian dan bermata sayu itu. Diam-diam hati laki-laki ini bergetar. Sudah sering dia dipanggil beberapa kali oleh sang majikannya ini.
Dan setiap kali bertemu selalu saja dia melihat tatapan mata majikannya seperti mengandung daya tarik yang sangat luar biasa. Hingga membuat jantungnya berdetak cepat, dan hatinya berdebar-debar. Selalu saja ada yang dipertanyakannya. Atau kadang-kadang menyuruh mengerjakan suatu pekerjaan yang tak begitu penting.
"Ada apa Ndoro Ayu....! Apakah ada yang bisa hamba bantu mengerjakan?" tanya Parta. Kepalanya menunduk. Dia tak berani menatap. Tumpuk Undung tak menjawab. Sejenak dia memperhatikan wajah dan tubuh kekar pembantunya.
"Kau sedang mengerjakan apa?" tanyanya.
"Hamba sedang membelah kayu-kayu bakar, Ndoro Ayu..." sahut Parta. Jantungnya tambah berdetak cepat. Karena dia melihat sang majikan berpakaian dengan bagian dada setengah terbuka. Dan belahan payudaranya yang sekal itu nampak jelas memutih.
Tumpuk Undung tersenyum, lalu berkata perlahan. "Kau bisa membantuku, bukan?" tanyanya lagi.
"Ten... tentu bisa, Ndoro Ayu...! Hamba kan pesuruh yang ditempatkan di sini untuk membantu-bantu keperluan Ndoro Ayu...!" sahut Parta agak tergagap.
"Bagus! Hm, Parta...! Kemanakah bibi-bibi emban?"
"Seorang sedang memasak air di dapur dan seorang lagi pergi berbelanja ke pasar Desa Turi, Ndoro Ayu...!"
Tumpuk Undung manggut-manggut. Sepasang matanya tampak menjalari sekujur tubuh Parta. Seperti memperhatikan tubuhnya yang kekar. "Aku ingin kau membantuku menggeserkan lemari pakaian dikamarku, Parta. Akan kupindahkan dekat jendela!" kata Tumpuk Undung.
Hati Parta tersentak. "Menggeser lemari?" Tak terasa dia berdesis.
"Benar, Parta! Kau tak berkeberatan, bukan?" kata Tumpuk Undung.
"Ti... tidak, Ndoro Ayu.... Tapi..." Parta tak meneruskan kata-katanya. Tenggorokannya terasa kelu. Bukannya dia merasa enggan atau menolak pekerjaan itu, akan tetapi rasanya hal itu kurang sopan. Apalagi saat itu majikan laki-lakinya sedang tidak ada.
"Kau tak perlu khawatir apa-apa, Parta! Mari... masuklah!" kata Tumpuk Undung seraya bangkit berdiri, dan melangkah masuk ke ruan-gan kamar.
Agak ragu laki-laki pesuruh itu. Tapi terpaksa dia mengikuti sang majikan melangkah masuk ke dalam kamar wanita itu yang baru pertama kali dimasukinya. Parta berdiri menjublak di pintu kamar. Matanya nanar melihat wanita majikannya itu tiba-tiba melepaskan pakaian atasnya. Seketika darahnya tersirap, ketika wanita itu berkata dengan suara berbisik.
"Parta...! Tutuplah pintu kamar, dan... kunci sekalian..."
"Ah... apa maksudmu, Ndoro Ayu...?" tanya Parta dengan suara parau menggetar. Jantungnya serasa berhenti berdenyut.
"Parta! Jalankan perintahku!" Tumpuk Undung membentak halus.
Laki-laki ini tersentak, kakinya menyurut mundur dengan wajah berubah pucat pias. "Ba... baik... Ndoro Ayu..." sahut Parta se-raya mengunci pintu. Selesai mengunci pintu kamar itu, dia berdiri menjublek dengan kepala menunduk, tak berani menatap wanita itu.
"Parta! Mendekatlah kemari!" Suara halus berpengaruh hebat itu telah memaksa kaki Parta melangkah mendekati. Saat itu Tumpuk Undung telah melangkah mendekat dengan sikap tak sabar menunggu Parta yang melangkah kaku.
"Parta..." desis wanita ini dengan senyum merekah di bibirnya. Dan sepasang mata yang sayu itu kini membinar-binar seperti mata seekor harimau liar. Tapi lagi-lagi Parta menunduk tak berani menatap ke depan, dengan tubuh semakin menggigil.
"Parta! Kau laki-laki atau banci? Mengapa tak kau gunakan kesempatan yang terbuka ini?" berkata Tumpuk Undung dengan hati agak mendongkol. Namun dia tak dapat menutupi kegairahan yang selama ini disimpannya dalam dada.
"Ndoro Ayu... aku mengerti akan kesepianmu, karena Ndoro Gusti Badar Saga jarang datang menemuimu. Tapi... jangan paksa aku melakukan perbuatan itu, Ndoro Ayu...! Aku takut diketahui suamimu.... Dan... aku ini adalah seorang pesuruh....!"
Mendengar kata-kata Parta, Tumpuk Undung tersenyum. Lengannya tahu-tahu telah merayapi dada bidang laki-laki itu. "Parta! Kau cukup gagah untuk menjadi pengganti suamiku! Kau tahu, Parta? Aku mulai benci pada Badar Saga! Dia telah bertindak kurang adil! Kau lihat, aku ditelantarkan tanpa dihiraukan. Sampai sebulan lebih dia tak pernah kemari. Aku tak peduli kau seorang pembantu! Bagiku sama saja! Dan... kalau kau mau, kau bisa menduduki jabatan tinggi di Partai Halimun Sakti!" kata wanita ini.
Parta menahan getaran dadanya yang menggebu. Kata-kata Tumpuk Undung membuat matanya membelalak. "Menduduki jabatan tinggi di Partai Halimun Sakti?" sentaknya terkejut.
"Benar! Apakah kau tak menginginkannya? Dan aku akan menjadi pendampingmu, sebagai isterimu!" kata Tumpuk Undung lirih.
"Gila! Suatu hal yang tak mungkin, dan tak masuk di akal!" sanggah Parta.
"Mengapa tidak? Semua bisa diatur! Dan aku yang akan mengatur rencana kita! Sekarang lupakanlah semua itu... Parta! Aku... aku sangat mendambakanmu, Parta...! Aku butuh kau..." Suara wanita ini tampak semakin lirih. Dan tiba-tiba mendekap laki-laki itu dengan gairah yang menggelora...
Runtuhlah benteng pertahanan Parta. Dipondongnya tubuh wanita setengah membugil itu ke atas peraduan sang majikan. Dan rintangan yang menjadi setiap penghalang di tubuh mereka segera disingkirkan. Selang sesaat dua anak manusia itu telah tenggelam dalam rengkuhan kobaran api jahanam!
Parta memang bukan seorang banci, dan kini tak lebih dari seekor kuda liar yang membedal di padang rumput. Merambas bukit, dan menerobos belukar! Dalam waktu cukup singkat, Tumpuk Undung terkapar dengan napas terengah-engah. Dan kuda liar yang gagah perkasa itu bergulir roboh dengan seringai kepuasan... Sialan banget!
Rah Banu dan Rah Bono bangun terlebih dulu, dan hampir bersamaan. Sesaat keduanya saling pandang.
"Kakang Rah Banu! Apa yang telah terjadi dengan kita?" tanya Rah Bono seraya menghampiri.
"Entahlah, Bono! Aku merasa ada kekuatan hebat yang membetot tubuhku hingga seperti yang kau lihat, tanah tempat memendam tubuhku terbongkar!"
"Akupun mengalami hal yang sama, Kakang! Oh, mari kita lihat keadaan Nini Sumbi, guru kita...!"
Tak berayal lagi keduanya berlompatan menghampiri wanita yang tubuhnya hampir teruruk tanah, dan hanya bagian atas tubuh serta kepalanya saja yang menyembul keluar. Cepat mereka membongkar tanah, dan membersihkan dari sekujur tubuh sang guru. Sesaat mereka tertegun memandang gurunya yang lebih mirip sebuah arca dalam kea-daan duduk bersila dengan tangan agak merentang.
"Tubuhnya keras seperti batu...!" kata Rah Bono berdesis.
"Benar! Apakah guru telah salah menerapkan aji Karang Rogo?" desis Rah Bono. Sesaat keduanya saling tatap.
"Entahlah, coba periksa pernapasannya!" perintah Rah Banu.
Pemuda ini segera tempelkan telinganya ke dada wanita itu, dan Rah Banu dengan cepat memeriksa denyut nadi pada pergelangan tangan Nini Sumbi. Apa yang mereka rasakan adalah, mereka tak merasai denyutan jantung atau denyut urat nadi pada pergelangan tangan dan dada wanita itu.
"Aih...! Guru telah tewas!" sentak keduanya hampir berbareng.
Beberapa saat lamanya mereka terlongong kebingungan. Rah Banu tercenung sambil melangkah mondar mandir di depan "arca" Nini Sumbi. Sedangkan Rah Bono berdiri menjublak dengan benak dipenuhi seribu satu pertanyaan.
"Mengapa Nini Sumbi tewas? Apakah aji Karang Rogo telah berpindah ke tubuh kita?" berkata Rah Bono dengan memandang padas saudara kembarnya.
Rah Banu tak menjawab. Tapi kata-kata Rah Bono membuat dia menemukan gagasan yang bagus. "Hm, mengapa tak kucoba, apakah aji Karang Rogo telah berpindah ke tubuhku dan tubuh adikku?" kata pemuda ini dalam hati.
"Kita harus membuktikan apakah aji Karang Rogo itu telah kita miliki, Adikku...!"
"Benar! Lalu bagaimana caranya, dan apakah yang akan kita lakukan terhadap mayat Nini Sumbi?" tukas sang adik kembar.
"Tak ada jalan lain, selain menguburkan jenazahnya. Mengenai cara kita membuktikan apakah kita telah menguasai aji Karang Rogo, itu urusan nanti!" Rah Bono manggut-manggutkan kepala tanda menyetujui.
Karena ditempat itu sudah ada lubang, maka mereka tinggal memperdalam saja. Setelah lubang diperkirakan cukup dalam, mereka berhenti menggali. Agak bergetar juga hati Rah Banu melihat keadaan Nini Sumbi yang telah tiada bernyawa, dalam keadaan duduk bersila dengan lengan terangkat itu.
Diam-diam dia mengagumi kehebatan ilmu wanita tua itu yang telah mampu merubah tubuhnya menjadi muda lagi. Perlahan-lahan Rah Banu mengangkat tubuh Nini Sumbi, lalu dibawanya ke tepi lubang. Rah Bono menerima tubuh sang guru dengan lengannya. Kemudian mendudukkan di dasar lubang.
Tak lama Rah Bono melompat keluar. Rah Banu segera menimbunnya dengan tanah. Sang adik kembar segera membantunya agar pekerjaan mereka cepat selesai. Selang tak lama selesailah mereka menimbun lubang. Rah Banu mengambil sebongkah batu dan diletakkan di atas timbunan tanah itu. Kemudian berpaling pada Rah Bono.
"Mari kita tinggalkan tempat ini, Adikku...!"
"Tunggu, Kakang...! Aku akan mengambil serulingku di dalam goa!" sahut Rah Bono.
"Ah, akupun perlu mengambil serulingku!" ujar pemuda ini.
"Mari kita mengambilnya...!" Rah Banu beranjak meninggalkan tempat itu diikuti Rah Bono.
Selesai mengambil senjata-senjata mereka yang telah membuat mereka punya gelar Kembar Se-ruling Maut di Rimba Persilatan, kemudian kedua pemuda kembar itupun segera meninggalkan lembah itu...
Kemanakah perginya Kembar Seruling Maut? Ternyata menuju ke arah Selatan, Untuk menguji aji Karang Rogo, dimiliki atau tidaknya adalah harus dicoba dulu. Mereka telah berembuk untuk suatu maksud tertentu. Dengan menggunakan ilmu lari cepat, kedua laki-laki kembar itu berkelebat merambas hutan dan bukit.
Tak berapa lama mereka telah berada di depan sebuah pesanggrahan. Rah Bono sejenak menatap Rah Banu. Dia berkata dengan suara berdesis. "Apakah kau yakin kita dapat mengalahkan Weling Sukma, Raja Pedang Pesanggrahan Linggar Jati itu?"
"Hm, biarlah aku yang turun tangan untuk menantangnya! Alasanku cukup kuat, karena dia pernah menghina aku pada beberapa bulan yang lalu. Ilmu Pedangnya sangat hebat, dan tenaga dalamnya tinggi! Tapi justru kita harus mencari lawan yang lebih kuat! Bila aku terdesak, barulah kau boleh membantu!" kata Rah Banu.
Rah Bono mengangguk. Saat itu dua orang laki-laki berbaju putih tiba-tiba muncul di pintu gerbang pesanggrahan. Sejenak keduanya menatap dua laki-laki kembar bercelana kotor tanpa memakai baju, dan rambut yang panjang awut-awutan itu dengan pandangan aneh.
"Siapakah kalian? Ada maksud apa datang ke pesanggrahan kami?" bertanya salah seorang. Laki-laki yang seorang lagi cuma berdiri dengan melipat tangan. Laki-laki ini beralis tebal berkumis dan berjenggot kasar. Sikapnya menampakkan keangkuhan.
"Hm, kami ingin bertemu dengan si Raja Pedang Weling Sukma! Suruh saja dia keluar menemui kami!" sahut Rah Banu dengan sikap tak kalah angkuh. Tentu saja kedua laki-laki itu jadi berang dengan sikap orang di depannya.
"Jembel hina dina! Seumur hidup baru aku melihat manusia sombong seperti kau! Katakan siapa kalian! Tak seorang tamupun yang bersikap sombong bisa kuterima melalui aku!" membentak gusar laki-laki itu karena merasa dirinya diremehkan.
"Heh! Siapakah anda tuan besar, gagah? Dan siapa pula kawanmu itu?" Bentakan marah laki-laki itu dianggap angin lewat oleh Rah Banu. Bahkan dengan tersenyum sinis dia ajukan per-tanyaan barusan.
"Kalian tak berharga untuk mengetahui diriku. Tapi biarlah kukatakan siapa kami, dan setelah itu kalian boleh angkat kaki dari mukaku! Ketahuilah! Aku adalah adik seperguruan si Raja Pedang! Dan orang disebelahku adalah tetamu kakak seperguruan kami dari Partai Halimun Sakti!"
"Haha... kebetulan! Kedatangan kami adalah untuk membalas penghinaan si Raja Pedang tempo hari. Kalau kalian berdua mau mewakilkan diri untuk menerima gebukanku, tak apalah! Kami akan pergi dengan rasa puas! Untuk menggebuk kakak seperguruanmu itu biarlah lain kali saja!"
Merahlah seketika wajah laki-laki itu. Dia memang sengaja memancing agar terjadi keributan, karena sebal melihat dua pemuda gondrong yang bertingkah sombong tak menghargai dirinya.
"Keparat! Sudah kuduga, kedatangan kalian cuma untuk mencari keributan. Apakah ilmu kalian sudah setinggi langit, berani berkata begitu? Kau akan menyesal telah sesumbar di depan kami!" bentak laki-laki ini.
"Sobat Weling Moko! Serahkan anjing kurap ini padaku!" Tiba-tiba laki-laki di sebelahnya rentangkan tangan, menyuruh Weling Moko menyingkir. Tampak laki-laki jembros ini merah pa-dam mukanya.
"Haha... boleh aku mengenal anda? Tampaknya Partai Halimun Sakti begitu berwibawa dan ditakuti, dan tentunya ada anda termasuk orang penting di partai yang hebat itu!"
"Tidak salah dugaanmu! Namaku Garba! Akulah yang bergelar si Banteng Perkasa! Tangan kanan Partai Halimun Sakti!"
Kata-kata Garba disusul dengan menderunya angin keras ketika jotosan lengannya menyambar ke arah dada Rah Banu. Terkejut pemuda ini karena merasai sambaran angin yang hebat menyerangnya. Jelas pukulan lawan bisa meremukkan isi dadanya. Akan tetapi inilah saatnya menguji keadaan tubuhnya, apakah aji Karang Rogo yang telah diterapkan ditubuhnya selama tujuh kali bulan purnama itu benar-benar telah dimiliki? Sementara itu Rah Bono cuma berdiri dengan sikap tegang.
Ternyata Rah Banu tak mengelakkan pukulan mengandung maut itu. Tapi diam-diam dia salurkan tenaga dalam kebagian dada. Agak terkejut Rah Bono karena merasai hawa aneh yang menebar dari pusar ke sekitar dada. Disaat itulah jotosan yang dapat meremukkan tulang itu menghantam dadanya.
Di detik itu tiba-tiba terdengar suara jeritan parau Gerba. Tampak tubuhnya berkelojotan bagai terkena sengatan aliran listrik, dengan lengan masih menempel di dada pemuda itu. Tak lama tubuhnya terkulai kaku. Sepasang matanya mendelik. Ternyata nyawanya telah putus.
Terkejut bukan kepalang Weling Moko. Detik itu juga dia mencabut kapak bermata lebar di balik punggung. Lalu berkelebat seraya menabaskan mata kapaknya ke punggung pemuda itu.
"Trang!"
Terdengar suara berdentang keras. Mata kapak Weling Moko somplak seperti menghantam besi keras. Bukan saja Weling Sukma yang terkejut dengan membelalakkan mata. Akan tetapi Rah Bono yang melihat kejadian itu tersentak kaget. Dia sengaja membiarkan hal itu terjadi, karena ingin mengetahui kehebatan aji Karang Rogo. Tentu saja kejadian itu membuat dia melongo antara terkejut dan girang.
Saat itu Rah Banu telah mencampakkan lengan Garba. Garba tewas dengan muka menyeringai dan mata mendelik, serta keadaan lengan merentang kaku. Sebelah lengan mengepal, dan sebelah lagi merentangkan kelima jari-jarinya.
Pucat pias seketika wajah Weling Sukma. Tak terasa dia melangkah mundur. Disaat itulah Rah Bono melompat ke depan seraya tertawa tergelak-gelak.
"Haha... haha... kalian orang-orang pesanggrahan Linggar Jati tak akan mampu melawan kami. Karena kami memiliki aji Karang Rogo yang tiada tandingnya di jagat ini!"
"Aji Karang Rogo...?" sentak Weling Sukma berdesis. Seumur hidup barulah dia mendengar nama ilmu yang aneh itu. Tapi kenyataan memang terpampang di depan mata. Tubuh pemuda itu bagaikan sebongkah batu karang yang tak mempan oleh senjata tajam. Kapak mautnya yang telah menghantar nyawa entah berapa belas la-wan itu ternyata somplak ketika membentur punggung pemuda itu.
Disaat itu belasan orang pesanggrahan telah bermunculan dengan senjata-senjata terhunus. Akan tetapi seorangpun tak ada yang berani maju. Bahkan mereka kembali menyurut mundur, melihat laki-laki sang tetamu ketua mereka tampak tergeletak kaku tanpa nyawa.
Rah Banu merasakan keadaan aneh pada tubuhnya segera menyadari kalau aji Karang Rogo telah terwaris di tubuhnya. Karena itu dia semakin berani mengambil langkah tindakan selanjutnya.
"Haha... siapa lagi yang mau mampus, hayo majulah! Kalau kalian sayang nyawa, lebih baik panggil ketua kalian si Raja Pedang!" sumbar Rah Banu dengan suara lantang.
"Kembar Seruling Maut! Ilmu iblis macam apapun yang kalian miliki, aku telah datang untuk mencabut nyawamu!" Satu bentakan keras menggeledek terdengar merobek udara. Dan tahu-tahu seorang laki-laki berkulit hitam, berbaju rompi gemerlapan telah muncul di tempat itu.
Melihat orang ini. Rah Banu dan Rah Bono tersenyum, dan saling pandang. "Hehe... untuk manusia ini, biarlah aku yang melawannya!" bisik Rah Bono sang adik kembar. Rah Banu mengangguk.
"Biarlah aku yang jadi penonton!" sahutnya kemudian melompat ke sisi.
Sementara itu Weling Sukma telah melompat mendekati kakak seperguruannya, seraya berbisik. "Hati-hati, Kakang...! Mereka memiliki aji Karang Rogo yang dahsyat! Kau lihat, mata kapakku somplak begini. Tubuhnya keras seperti batu karang! Celaka kita, kakang... agaknya mereka bukan lawan kita. Sebaiknya kita menyingkir!"
Akan tetapi si Raja Pedang justru mendelik-kan mata dengan gigi berkerot. "Hm, aku tak mau bertindak pengecut. Hal itu akan mencemarkan nama baikku...!"
Walau berkata demikian, tapi diam-diam nyali si Raja Pedang agak menciut melihat kematian tetamunya dari Partai Halimun Sakti. Garba adalah tangan kanan partai itu yang datang bertamu ke pesanggrahan Linggar jati dalam rangka perembugkan mengenai pembagian batas wilayah. Dalam beberapa pekan ini sayap Partai Halimun Sakti semakin meluas. Dia mengetahui kekuatan serta kewibawaan partai itu yang diketuai oleh Badar Saga.
Dia memang tak menolak niat Badar Saga untuk menggabungkan Partai Halimun Sakti dengan perguruannya. Tapi dengan syarat-syarat tertentu tanpa harus menyerahkan kekuasaan penuh pada Badar Saga. Untuk itulah Badar Saga mengirim utusan kepesanggrahan Linggar Jati. Akan tetapi sungguh diluar dugaan kalau dalam waktu singkat Garba sang utusan Partai Halimun Sakti yang menjadi tetamunya itu siang-siang telah tewas di pintu pesanggrahannya.
"Srek!"
Si Raja Pedang telah mencabut pedang pu-saka andalannya. Melihat demikian, Weling Moko jadi serba salah. Nyalinya sudah menciut sejak tadi. Maka tak ada jalan lain selain angkat kaki meninggalkan pesanggrahan itu.
"Celaka! Ini bukan main-main! Sebuah malapetaka telah kelihatan di depan mataku! Aku tak tahu apa yang terjadi dengan kakang Weling Sukma. Sebaiknya aku cepat melaporkan hal ini pada ketua Partai Halimun Sakti!"
Selesai berpikir demikian, Weling Moko tak menunggu lama. Tubuhnya berkelebat dari tempat itu. Sebentar saja lenyap dari pesanggrahan itu, dengan melompati tembok sebelah Timur. Belasan anak buah si Raja Pedang cuma terpaku melihatnya.
Mereka masih tetap mematung menunggu perintah dengan hati kebat kebit. Jelas lawan mereka yang muncul ini bukan lawan en-teng. Tapi lawan yang akan menentukan mati hi-dup sang ketua mereka.
Tumpuk Undung melihat semua kejadian itu dengan mata membelalak, dari tempat persembunyiannya di dahan pohon Waru yang tumbuh di luar tembok pesanggrahan Linggar Jati. Entah sejak kapan wanita isteri kedua ketua Partai Halimun Sakti itu telah berada di tempat itu.
Seorang laki-laki berikat kepala kain kuning, berkumis dan berjenggot tebal sejak tadi menunggu di bawah pohon terhalang semak rimbun. Sebentar-sebentar dia menengadah ke atas memandang wanita itu. Pemandangan dari bawah itu memang asyik, karena dengan jelas dia dapat melihat celana dalam wanita itu. Kunyuk!
Sementara wanita itu dalam keadaan tegang, karena melihat pertarungan di dalam pesanggrahan itu. Tampak si Raja Pedang dengan menggembor keras menghantamkan pukulan-pukulannya ke arah salah seorang laki-laki kembar itu. Raja Pedang tahu gelagat kalau lawan memiliki ilmu luar biasa yang sangat aneh.
Oleh sebab itu, dia hanya menyerang dengan angin pukulannya saja tanpa berani menempelkan tangan ke setiap tubuh atau anggota badan lawannya. Akan tetapi angin pukulan itupun seperti tersedot bila pemuda gondrong itu memapakinya. Dan, tenaga pukulannya seperti lenyap, seperti menghantam kapas. Sedangkan lawan dengan tertawa-tawa mengeluarkan serulingnya dari pinggang.
"Haha... aku ingin kau mampus dengan cara yang lebih baik dari tetamumu itu. Raja Pedang! Hm, mengapa tak kau gunakan senjata andalanmu itu? Apakah takut somplak hingga tak dapat dipergunakan lagi?" mengejek Rah Bono. Sementara Rah Banu tersenyum senyum.
Tiba-tiba mata liar laki-laki kembar ini dapat melihat adanya sesosok tubuh yang mengintai di cabang pohon Waru. Mendadak tubuhnya berkelebat ke balik pintu pesanggrahan. Sementara itu belasan anak buah si Raja Pedang cuma jadi penonton saja. Melihat lenyapnya salah seorang dari laki-laki kembar itu, mereka tersentak. Dan tanpa disuruh lagi menyurut mundur dengan berjaga-jaga, khawatir pemuda itu menyerang.
Saat itu Tumpuk Undung masih dalam keadaan terpaku tegang memperhatikan jalannya pertarungan. Tahu-tahu dia mendengar suara bentakan di bawahnya.
"Hah! Siapa kau!" Itulah bentakan si laki-laki berewok kawannya. Ketika dia menoleh ke bawah, tampak salah seorang laki-laki kembar itu telah berada di bawah pohon.
"Haha... kiranya kau berdua dengan monyet besar ini, Nona...! Apakah kawanmu ini tak bisa naik ke pohon?" berkata Rah Banu, seraya menengadah ke atas menatap Tumpuk Undung.
Wajah wanita ini seketika berubah merah. Dan, sekali gerakkan tubuh, dia melompat turun. "Biarlah aku menghajar pemuda kurang ajar ini. Den Ayu...!" kata si kakek berewok dengan mata melotot tajam menatap Rah Banu.
"Sabar, Paman...! Jangan sembarangan turun tangan!" kata Tumpuk Undung. Lalu memberi isyarat pada laki-laki tua itu agar menjauh. Dengan hati mendongkol karena dirinya dianggap seekor monyet besar, laki-laki tua itu beranjak menjauh.
Tumpuk Undung menjura di hadapan laki-laki itu, seraya berkata ramah. Sementara ma-tanya memain.
"Sobat gagah...! Aku sangat mengagumi kehebatan ilmumu. Bolehkah aku berkenalan dengan anda? Dan, tampaknya anda berdua seperti dua orang saudara kembar...!" kata wanita ini.
Sejenak Rah Banu terpaku. Dia tak menyangka kalau wanita itu selain berwajah cantik, tapi juga sangat genit. Hal itu menimbulkan kegembiraannya.
"Namaku Tumpuk Undung...!" kata wanita ini memperkenalkan diri. Rah Banu tersenyum. Matanya menjalari sekujur tubuh wanita itu.
"Namaku Rah Banu. Dan saudara kembarku yang tengah bertarung itu bernama Rah Bono!" kata Rah Banu. "Hm, siapakah monyet besar yang tak pandai memanjat itu?" tanyanya seraya melirik laki-laki tua berewok itu.
Ejekan Rah Banu itu tentu saja terdengar oleh laki-laki itu, karena Rah Banu sengaja mengeraskan suaranya. Terasa panas wajah laki-laki ini. Tiba-tiba dia melompat ke hadapan mereka. Sepasang matanya membinar menatap pemuda berambut panjang bercelana kotor tanpa baju itu.
"Haha... monyet besar piaraanmu tampaknya marah, Nona...! Celaka! Aku bisa digigitnya!" kata Rah Banu sambil tertawa. Lalu berpura-pura seperti orang ketakutan menyumpalkan kepalanya ke dada wanita itu sambil memeluk pinggangnya.
Tentu saja kepalanya menyentuh sepasang benda kenyal di dada wanita itu. Hal itu membuat Tumpuk Undung tertawa geli terpingkal-pingkal. Sementara dalam hati dia berkata. "Aku telah menemukan orang gagah berilmu tinggi yang kucari! Cita-citaku menundukkan Badar Saga suamiku untuk bertekuk lutut di ka-kiku akan segera terlaksana! Dan... akulah yang akan berkuasa kelak di Partai Halimun Sakti!"
Saat itu si laki-laki tua berewok tiba-tiba merenggutkan kumis tebal dan berewoknya. Ternyata cuma berewok palsu! Siapa adanya laki-laki ini tak lain dari Parta, si pembantu laki-laki isteri kedua ketua Partai Halimun Sakti. Sepasang mata laki-laki ini menyorot tajam menatap wanita itu. Sinar kebencian merambah wajah Parta melihat sikap wanita itu. Mendadak dia membentak dengan suara keras.
"Perempuan bejat! Setelah kau merayu aku untuk menuruti napsu bejatmu, sekarang kau jatuh dalam pelukan laki-laki keparat ini! Kau suruh aku menyamar segala, dan pergi mengikutimu. Tapi nyatanya kau cuma menjadikan anjing piaraanmu! Tunggulah! Akan kuadukan kelakuan bejatmu pada suamimu, Gusti Badar Saga!"
Parta mengalihkan tatapannya pada Rah Banu dengan wajah merah padam. Hatinya geram bercampur cemburu, karena melihat Tumpuk Undung memeluk tubuh laki-laki itu. Selesai berkata Parta balikkan tubuh, lalu berlari cepat meninggalkan sisi tembok pesanggrahan itu.
Wanita ini menatap Rah Banu. Lalu berkata. "Aku memang isteri Badar Saga, ketua Partai Halimun Sakti. Tapi aku sakit hati karena aku diabaikan suamiku. Rupanya dia lebih menyayangi isteri pertamanya...!"
Rah Banu kerutkan keningnya. "Kau isteri kedua?"
"Ya! Aku dendam padanya. Aku telah bersumpah akan membuat dia bertekuk lutut di kakiku! Aku tidak takut diadukan pada suamiku... karena aku yakin kau pasti mau membantuku mencapai cita-citaku!"
"Jangan khawatir! Itu masalah kecil! Aku akan membantumu!" kata Rah Banu dengan tersenyum.
"Bagus! Kau bunuhlah laki-laki itu! Monyet besar tak berguna yang tak pandai memanjat buat apa dipelihara?" kata Tumpuk Undung.
Rah Banu mengangguk dengan tersenyum. Matanya menatap ke arah punggung Parta yang masih kelihatan di kejauhan. Tangan Rah Banu tiba-tiba mematahkan ranting semak yang tumbuh didekat tembok.
"Whuuut!"
Ranting itu meluncur cepat bagai anak panah melesat. Sukar untuk dilihat kecepatan luncuran ranting kayu itu. Tahu-tahu dikejauhan terdengar jeritan parau Parta. Tubuhnya tersungkur. Dan ranting itu telah menembus punggungnya. Laki-laki itu masih mencoba bangkit berdiri, tapi kembali terhuyung... dan roboh terjungkal tak bangkit lagi. Ranting kayu itu dengan waktu singkat telah merenggut jiwa Parta. Darah mengalir dari perutnya yang tertembus benda itu.
"Hebat...!" Puji Tumpuk Undung dengan bertepuk tangan.
"Haha... cuma membunuh seekor kera bodoh, tak perlu memakan banyak waktu dan tenaga!" kata Rah Banu dengan tersenyum.
Pada saat itulah terdengar teriakan merobek udara dari dalam tembok pesanggrahan Linggar Jati. Sesaat Rah Banu tersentak. Dia mengkhawatirkan adiknya. Sekali gerakkan tu-buh Rah Banu melompat ke atas tembok, kemudian turun di sebelah dalam halaman pesanggrahan.
Apakah yang terjadi di dalam pesanggrahan? Ternyata pertarungan itu telah berakhir dengan kematian si Raja Pedang. Leher laki-laki ketua pesanggrahan Linggar Jati itu tertembus pangkal seruling Rah Bono. Pedang pusakanya patah-patah.
"Haha... hehe... dendammu telah kubalaskan, kakang Rah Banu! Ternyata Raja Pedang bukan tandingan kita lagi!" kata Rah Bono dengan tertawa menyeringai, ketika saudara kembarnya muncul. Sementara itu belasan anak buah Weling Sukma telah melarikan diri serabutan. Sebentar saja pesanggrahan itu jadi kosong.
"He? Siapakah perempuan cantik itu, Kakang?" tanya Rah Bono, ketika melihat Tumpuk Undung berlari-lari setelah lompat dari atas pagar tembok, mendekati ke arah mereka.
"Perkenalkan aku pada saudara kembarmu, sobat Rah Banu!" kata Tumpuk Undung dengan tersenyum.
"Hm, tentu! Adikku...! Nona ini bernama Tumpuk Undung! Dia sahabatku yang akan menemani kita dalam perjalanan!"
"Oh, ya? Haha... untung sekali kau kakang, punya sahabat seorang gadis cantik!" kata Rah Bono dengan tertawa.
"Dia isteri kedua Badar Saga, ketua Partai Halimun Sakti...!"
"Ah... begitukah?" sentak Rah Bono terkejut.
"Jangan khawatir, Adikku! Dia telah membenci suaminya, dan memberi gagasan baik buat kita untuk merebut kekuasaan di Partai Halimun Sakti!"
Tumpuk Undung manggut-manggut. Dia turut bicara. "Benar! Akan tetapi tak usah terlalu cepat! Sebaiknya kita menghilang dulu. Saat ini biarlah mereka kalut lebih dahulu. Bukankah masih banyak waktu buat kita menggempur dan merebut kekuasaan mereka? Dan... aku ingin lebih dekat mengenal kalian..." Wanita ini menatap Rah Bono dan mengerling pada Rah Banu.
"Aha... benar adikku! Sebaiknya kita menghilang dulu dari Rimba Persilatan. Dengan kejadian ini, sudah jelas akan membuat gempar kalangan kaum Rimba Hijau. Dan... haha tampaknya sahabatku ini sudah tak sabar untuk mengajak aku bermalam..." kata Rah Banu sambil melingkarkan lengannya ke pinggang wanita itu.
"Terserah kau, Kakang! Aku cuma mengikutimu saja!" tukas Rah Bono dengan tersenyum kaku.
"Kalau begitu mari kita tinggalkan tempat ini...!" kata Rah Banu.
Tumpuk Undung mengangguk. Rah Bono mengiyakan. Tak lama kedu-anya segera berlari cepat meninggalkan halaman pesanggrahan Linggar Jati. Tampaknya Tumpuk Undung bukan seorang wanita biasa. Diapun seo-rang yang mengerti ilmu silat dan memiliki kepandaian berlari cepat. Tapi dia berpura-pura tertinggal di belakang. Rah Banu tak sabar. Segera dia memondong wanita itu.
"Kemana arah kita, manis..." tanya Rah Banu. Tumpuk Undung lingkarkan lengannya ke leher laki-laki itu.
"Terserah kemana anda mau pergi! Ke ujung langitpun boleh!" sahut Tumpuk Undung. Lebih dari tujuh purnama laki-laki ini tak menyentuh wanita, memandang Tumpuk Undung yang manja dan genit serta cantik itu membuat dadanya bergemuruh. Dibawanya tubuh wanita dalam pondongan itu berkelebat menyusul Rah Bono. Sebentar saja bayangan sosok tubuh mereka lenyap tak kelihatan lagi...
Berita kemunculan dua pemuda kembar yang memiliki aji Karang Rogo dan menewaskan si Raja Pedang serta membunuh orang penting dari Partai Halimun Sakti sebentar saja tersiar dikalangan Rimba Hijau. Berita itu sangat menggemparkan, karena mereka tahu kehebatan dan ketinggian ilmu si Raja Pedang.
Akan tetapi sejauh itu orang-orang persilatan, baik dari golon-gan hitam atau putih, tak menjumpai dimana adanya dua laki-laki kembar itu, yang sudah mereka duga adalah dua pemuda kembar yang menggelari dirinya si Kembar Seruling Maut.
Sepekan kemudian seorang kakek memasuki lembah tempat berdiamnya Nini Sumbi. Seorang pemuda gondrong mengintil di belakangnya.
"Apakah nama lembah ini, kakek Pantat Kuning?" tanya si Dewa Linglung.
Laki-laki tua jubah hitam bertambal kain kuning di bagian pantatnya itu hentikan tindakannya. Sesaat Nanjar sudah berada di samping laki-laki tua. "Hm, lembah ini tak bernama. Sebut saja lembah Tanpa Nama!" menyahut kakek ini.
Nanjar manggut-manggut. Pandangannya memutari sekitar lembah. "Kau mengajakku kemari, apakah sebenarnya yang kau cari?" tanya Nanjar. Matanya menatap kakek bergelar Iblis Pantat Kuning yang tampak seperti orang kebingungan mencari yang ditujunya.
"Aku mencari bekas adik seperguruanku, dia berdiam di lembah ini. Tapi aku lupa tempat berdiamnya. Di sebelah mana goa itu...?" sahut laki-laki tua ini dengan memandangnya ke sekeliling tebing batu.
"Bukankah dia yang bernama Nini Sumbi itu? Yang pernah kau ceritakan padaku beberapa bulan yang lalu?" Nanjar memang pernah mendengar si Iblis Pantat Kuning menceritakan keretakan hubungan dengan bekas adik seperguruannya itu.
"Benar...! Tadinya aku tak mau ambil pusing, apakah dia mau menempuh hidup di jalan sesat atau di jalan lurus, tapi setelah aku kembali ke jalan lurus dan hidup secara wajar, aku mulai memikirkan dia. Kukira tak baik aku membiarkannya semakin tersesat, walaupun semua itu akibat patah hati...!"
"Patah hati? Patah hati dengan siapa?" tanya Nanjar.
Iblis Pantat Kuning menghela napas. Lalu berkata datar. "Dia pernah menjadi kekasih Patih Mangku Jagat di Kerajaan Mamulang atau Pengging ini! Ternyata kemudian hubungan mereka menjadi retak, mungkin perbedaan pendapat di antara keduanya. Sumbi yang sejak masih gadis kusebut Nini Sumbi itu memang berwatak keras. Ternyata sampai usianya terus melanjut dia tak pernah menikah.
"Akan tetapi secara diam-diam dia menyimpan dendam pada bekas kekasihnya itu. Aku mengetahui itu, karena secara diam-diam dia berbuat seenak perutnya untuk melampiaskan kemarahan hatinya. Sikap dan tingkah lakunya mirip orang kurang waras. Terkadang menyembunyikan diri berbulan-bulan, bahkan sampai beberapa tahun aku tak pernah tahu di mana dia berada.
"Belakangan ini, jelasnya kurang lebih delapan bulan yang lalu aku pernah berjumpa dengan dia. Dia pernah mengajakku ke lembah ini, di mana dia berdiam selama itu. Ternyata secara diam-diam dia tengah mempelajari ilmu-ilmu sesat. Bukan saja dengan menggunakan darah binatang, tapi juga darah manusia untuk melengkapi ramuan aneh untuk membuat dirinya menjadi muda kembali! Aku marah, karena saat itu aku mulai sadar dan mulai menempuh jalan lurus..."
Kakek ini sejenak berhenti untuk menyeka keringatnya yang membasahi dahi. Sementara Nanjar tercekat hatinya mendengar cerita si Iblis Pantat Kuning.
"Apakah ada ramuan yang dapat membuat manusia menjadi muda lagi...?" berkata Nanjar dalam hati.
"Aku pergi meninggalkan dia, dan sejak itu aku tak mau tahu urusannya lagi...! Tapi justru aku khawatir dia telah melangkah semakin jauh! Aku pernah mendengar dia menyebut-nyebut suatu ilmu yang hampir dikuasai yaitu Aji Karang Rogo! Kupikir dia hanya main-main, karena aku memang menganggap dia agak kurang waras. Semua yang dilakukannya hanya karena pelarian dari rasa masygul akibat patah hati dengan Patih Mangku Jagat yang pada waktu itu masih menjadi Adipati.
"Akan tetapi berita yang terdengar akhir-akhir ini sangat membuat terkejut dunia persilatan, karena kemunculan dua laki-laki kembar yang memiliki Aji Karang Rogo, dan telah menewaskan si Raja Pedang, serta salah seorang dari partai Halimun Sakti! Aku menduga pasti dua laki-laki kembar itu adalah si Kembar Seruling Maut. Tapi sejak kapan dia memiliki Aji Karang Rogo?"
Sejenak Nanjar tercenung ketika laki-laki tua itu berhenti bertutur. "Apakah dugaanmu si Kembar Seruling Maut ada hubungan dengan adik seperguruanmu?" tanya Nanjar.
"Benar! Kupikir aku perlu menemuinya, untuk mencari tahu tentang dua pemuda kembar itu. Apakah benar ada hubungannya dengan dia?" sahut Iblis Pantat Kuning mengelus jenggotnya. Selesai menyahut, laki-laki tua ini berkata karena segera dia teringat di mana goa tempat tinggal Nini Sumbi.
"Ah, aku tahu tempat dia berdiam...! Mari kau ikut aku, Dewa Linglung!" Iblis Pantat Kuning mendahului berkelebat.
Nanjar garuk-garuk teng-kuknya sebentar, kemudian segera berkelebat menyusul: "Haih! Entah macam apa kehebatan Aji Karang Rogo itu?" berkata Nanjar dalam hati. Dalam berlari-lari mengikuti gerakan kakek itu, Nanjar terus berpikir.
"Tak kusangka Patih Mangku Jagat pernah punya hubungan asmara dengan Nini Sumbi. Kalau benar perempuan itu menyimpan dendam pada Patih Mangku Jagat, bukan mustahil kalau suatu ketika Nini Sumbi akan mengacau Kota Raja..."
Ternyata mereka menjumpai goa yang dihuni Nini Sumbi telah kosong. Bermacam peralatan termasuk tulang-tulang tengkorak dalam ruangan atas telah penuh dengan sarang laba-laba. Mereka pergi dari goa itu dengan hati kecewa.
Sementara itu entah dari mana munculnya, sebuah gerobak dihela seekor kuda tampak melintas di jalan lembah, sesaat setelah si Dewa Linglung dan Iblis Pantat Kuning pergi mening-galkan lembah itu. Di bagian depan gerobak tampak duduk seorang laki-laki bertubuh agak gemuk, berpakaian warna abu-abu dengan bagian bawah hitam.
Laki-laki berpipi tembam ini tampaknya telah melintas jalan di lembah itu untuk memotong jalan. Di dalam gerobak tampak beberapa buah karung entah berisi apa. Tapi melihat butiran-butiran yang tercecer di dalam gerobak, jelas yang dibawanya adalah beberapa karung padi.
"Hehe... lewat jalan lembah ini jalannya cukup baik. Aku akan tiba lebih cepat dari pada harus memutar lewat sisi hutan. Ah, sampai kapan aku jadi kuli seperti ini. Rasanya sudah hampir bosan jadi orang suruhan Pak Kuwu. Tapi anak perawannya yang cantik itu membuat aku tak mampu pergi meninggalkan rumah itu. Hehe... siapa tahu suatu ketika aku diambil mantu oleh beliau..."
Menggumam pemuda ini, dan tersenyum-senyum sendiri membayangkan wajah anak gadis majikannya. Gerobak terus melaju ke tengah lembah, dan melewati jalan membelok. Tiba-tiba....
"Dheer!"
Terkejut dia karena gerobak membentur batu yang menonjol di tengah jalan. Tak ampun lagi roda gerobak oleng dan... "Brraaak!"
Gerobak itu terguling. Rodanya lepas. Kuda yang menghela seketika meringkik karena terkejut bercampur dengan teriakan kaget laki-laki itu. Untung saja dia sempat melompat, dan jejakkan kaki ke tanah, sementara gerobaknya rusak porak poranda. Sedangkan kuda itu penarik gerobak telah lepas talinya. Binatang itu membedal lari dengan meringkik-ringkik.
Belum hilang terkejutnya, tiba-tiba batu menonjol di tengah jalan pada gundukan tanah yang hampir rata itu menyemburat. Bongkahan tanah dan pasir menghambur ke udara. Terbelalak mata pemuda ini melihat sesosok tubuh wanita berambut panjang beriapan bagaikan hantu yang bangkit dari dalam kubur, muncul dari dalam lubang di hadapannya. Itulah sosok tubuh Nini Sumbi yang dalam keadaan telanjang bulat! Tentu saja melihat kejadian di depan matanya itu seketika menggeletar tubuh laki-laki ini.
"Han... han... tu... atau... mayat hi... hi-dup...? Hiii..." Kakinya terasa berat untuk me-langkah lari. Tahu-tahu tengkuknya telah diceng-keram tangan wanita itu.
"Hihi... hihi... terima kasih! Kau telah menolongku..." kata Nini Sumbi dengan tersenyum menyeringai. Akan tetapi tubuh si laki-laki pesuruh Pak Kuwu ini telah terkulai. Seketika itu juga dia telah tak sadarkan diri karena terkejut luar biasa dan rasa takut setengah mati. Nini Sumbi bagaikan mayat yang baru bangkit dari lubang kubur membawa tubuh laki-laki itu berkelebat dari lembah itu....
Apa yang dikhawatirkan si Dewa Linglung ternyata benar. Kemunculan seorang wanita cantik berpakaian laki-laki longgar di depan Istana Kerajaan Pengging membuat kegemparan para prajurit Kerajaan. Pakaian yang dipakainya tentu saja pakaian laki-laki pembawa gerobak yang pingsan di lembah Tanpa Nama. Suatu hal yang aneh, karena wanita itu hidup lagi setelah disangka tewas oleh si Kembar Seruling Maut.
Lima orang prajurit segera mengurung, karena wanita itu telah membunuh dua penjaga gerbang. Sementara di luar istana orang-orang berlari ketakutan dengan berteriak panik. Di tengah jalan menuju Kota Raja, Nini Sumbi telah menewaskan belasan penduduk, dan empat orang prajurit Kadipaten yang kebetulan melintas di jalan yang dilalui Nini Sumbi.
"Minggir kalian, kalau tak mau mampus! Panggil keluar Patih Mangku Jagat!" teriak Nini Sumbi.
"Perempuan pengacau! Katakan siapa dirimu? Apa maksudmu bertemu dengan Gusti Patih?" bentak salah seorang perwira Kerajaan.
"Hihik... hik... katakan pada Gustimu, aku Dewi Sumbi! Akan kukorek jantungnya, dan akan kulihat apakah sebusuk hatinya?" sahut Nini Sumbi dengan tertawa mengikik membangunkan bulu roma.
Lima perwira Kerajaan ini tersentak kaget. Tiga orang sudah maju menerjang dengan diiringi bentakan-bentakan. "Iblis jahanam, kau layak mampus sebelum dipenggal batang lehermu sebagai penebus perbuatan keji dan kelancangan bicaramu!"
"Tebas saja batang lehernya!"
Akan tetapi sekali lengan Nini Sumbi bergerak, tiga perwira terjungkal roboh bergelimpangan dengan nyawa putus dan tubuh kaku. Hal itu membuat terkejut dua perwira lainnya. Wajah mereka pucat pias, dan mereka mundur beberapa langkah. Pada saat itulah terdengar bentakan menggeledek merobek udara.
"Manusia iblis dari mana berani mengacau di Istana?" Ternyata yang muncul adalah Patih Mangku Jagat sendiri. Laki-laki tua berperawakan tegap dan tampak masih gagah itu berdiri tegak di depan Nini Sumbi dengan mata membelalak terkejut, melihat tiga perwira Kerajaan tewas dengan tubuh kaku bergelimpangan di tanah.
"Hihi... Patih Mangku Jagat! Lupakah kau padaku? Hihi... kau pasti pangling, karena aku telah berubah jadi muda lagi. Apakah kau tak ingat pada bekas kekasihmu yang kau hina dan kau putuskan hubungan cintanya karena kau lebih tertarik dengan gadis bangsawan dari keturunan Ningrat?"
Wajah Patih Mangku Jagat berubah pias. Kakinya menyurut mundur selangkah. "Kau... kau Dewi Sumbi...?"
"Hihi... benar! Aku datang untuk menunjukkan siapa diriku! Aku toh masih bisa mempertahankan kemudaan dan kecantikanku! Bukan itu saja, akupun bisa melebihi keberadaan orang-orang Ningrat. Karena aku akan merebut kekuasaan Kerajaan Pengging dalam waktu singkat. Dan hatiku belum puas kalau belum mengorek jantungmu!"
Bak mendengar petir menyambar, lagi-lagi Patih Mangku Jagat menyurut mundur. Seperti tak percaya dia melihat wanita yang pernah menjadi kekasihnya itu muncul di depan mata, dan masih dalam keadaan muda serta masih terlihat kecantikannya. Tapi Dewi Sumbi dalam keadaan seperti iblis haus darah. Disaat itulah terdengar bentakan seseorang diiringi berkelebatnya dua sosok tubuh.
"Nini Sumbi! Kau telah tersesat! Kau sungguh-sungguh telah jadi budak hawa napsu! Kini aku tak mengakui kau saudara seperguruan lagi!"
Ternyata yang muncul adalah Iblis Pantat Kuning dan si Dewa Linglung. Kemunculannya disusul oleh dua sosok tubuh lagi. Yang seorang adalah Senapati Pramudita, dan seorang lagi adalah seorang gadis muda berpakaian perwira Kerajaan. Dialah gadis cucu angkat Lung Gadung yang bernama Panji.
Melihat kemunculan Iblis Pantat Kuning serta orang-orang Kerajaan lainnya, wanita ini tertawa dingin. Matanya nyalang menatap Iblis Pantat Kuning lalu memutar ke sekeliling. Pada saat yang sama lebih dari tiga puluh prajurit Kerajaan telah mengurung pula.
"Bagus! Hihi... akan lebih mudah bagiku untuk menumpas semua orang-orang Kerajaan, termasuk kau, tua bangka Pantat Kuning! Sungguh menyesal, terpaksa aku harus mengirim jiwamu ke Akhirat, karena kau tak sepaham denganku!" berkata dingin Nini Sumbi.
"Perempuan laknat! Kau pikir aku takut dengan ilmu barumu, Aji Karang Rogo?" bentak kakek ini dengan mendelikkan mata. Kemarahannya telah memuncak, karena selain wanita itu adalah adik seperguruannya yang telah membuat dia malu di hadapan para pembesar Kerajaan, juga kebenciannya karena Nini Sumbi sukar dibelokkan ke jalan lurus.
Kakek ini seketika itu juga langsung menerjang, dan menghantamkan pukulannya ke arah Nini Sumbi. Serentak para prajurit yang mengurung segera buyar menyingkir, khawatir terkena pukulan nyasar. Hantaman pukulan tenaga dalam Iblis Pantat Kuning ternyata tak dielakkan Nini Sumbi. Dia merentangkan kedua lengannya digunakan untuk menangkis serangan itu.
"Dhesss!"
Dua tenaga dalam saling bentur. Terdengar teriakan kaget Iblis Pantat Kuning. Tubuhnya terhuyung beberapa tindak. Kakek ini rasakan pukulannya seperti tersedot lenyap. Akan tetapi tiba-tiba membalik menghantam ke arah dirinya sendiri dengan tenaga lebih besar. Hal ini bukan saja membuat Iblis Pantat Kuning terkejut setengah mati, tapi juga membuat terkejut yang berada di tempat itu.
Nanjar tahu-tahu melompat ke depan, dan menahan tubuh kakek ini. Terkejut Dewa Linglung karena tubuh si Iblis Pantat Kuning telah berubah menjadi kaku. Nanjar baringkan tubuh kakek itu. Tampak wajah laki-laki tua itu pucat pias. Segumpal darah beku kehitaman menggelogok dari mulut kakek ini.
Sesaat matanya menatap Nanjar, sepasang mata yang mengandung kecemasan seperti mengkhawatirkan nasib semua orang yang berada di tempat itu. Namun detik berikutnya dia mengeluh, dan tubuhnya terkulai. Nanjar terkejut. Cepat dia memeriksa napasnya. Ternyata si Iblis Pantat Kuning cuma pingsan karena tak kuat menerima hantaman pukulan tenaga dalam yang sangat dahsyat itu. Tentu saja kakek itu terluka dalam cukup parah.
Diam-diam hati Nanjar bergidik. Dia melompat bangkit berdiri. Senapati Pramudita perintahkan beberapa prajurit untuk menggotongnya. Laki-laki ini mencabut kelewangnya dari pinggang, lalu melompat maju. Disusul dengan gerakan tubuh Panji. Gadis yang telah diangkat menjadi kepala satu regu pasukan Kerajaan itu ternyata punya keberanian yang luar biasa, walaupun dia telah melihat kehebatan Nini Sumbi.
"Paman Senapati! Biar aku yang menghadapi!" teriak gadis ini. Panji telah mencabut pe-dangnya, dan disilangkan di depan dada.
"Hati-hati Panji! Mari kita hadapi bersama!" sahut Senapati Pramudita dengan hati khawatir, karena dia telah melihat sendiri dengan sekali gebrak si Iblis Pantat Kuning telah dibuat roboh.
Melihat demikian, Nanjar segera melompat ke depan seraya berteriak memberi peringatan. "Tahan dulu sobat-sobat...! Jangan menambah korban lagi. Dia memiliki aji Karang Rogo yang dahsyat!"
Senapati Pramudita yang siap menerjang, terpaksa menahan diri. Tapi Panji langsung menerjang dengan membentak keras. Pedang di tangannya menyambar leher Nini Sumbi.
"Trang...!"
Terdengar suara teriakan kaget gadis itu, sementara yang lainnya melihat dengan terperangah. Karena pedang di tangan Panji seperti menabas batu karang, dan terpental menjadi dua potong.
"Edan! Dia benar-benar bukan manusia...!" sentak Patih Mangku Jagat dengan mata membelalak. Saat itu dengan mengikik tertawa, Nini Sumbi hantamkan pukulannya ke arah gadis itu. Sebelah lengannya lagi menghantam ke arah puluhan prajurit Kerajaan.
Uap putih kebiruan menyambar kedua arah. Nanjar dan semua yang berada di tempat itu terperangah kaget. Disaat itulah terdengar bentakan si Dewa Linglung, diiringi cahaya merah berkelebat membias udara. Panji tak menduga kalau wanita iblis itu akan menyerangnya. Jantungnya terlonjak kaget.
Sukar baginya untuk menghindari serangan. Apalagi dia dalam keadaan terkejut luar biasa, karena pedangnya patah ketika membentur leher Nini Sumbi. Kalau saja lawannya tak memiliki ilmu yang dapat membuat tubuh sekeras batu, tentu kepala wanita iblis itu telah tanggal dari tubuhnya.
Di detik mengandung maut itulah sekilatan cahaya merah yang membias udara telah menangkis sambaran uap putih kebiruan yang menyambar ke arahnya, yang dibarengi dengan berkelebatnya bayang putih.
"Bhussss...!"
Gumpalan uap putih kebiruan itu lenyap menimbulkan suara aneh yang meletup di udara. Panji merasa tubuhnya terdorong ke belakang karena terbentur sesuatu. Ternyata tahu-tahu tubuh seorang pemuda berambut gondrong yang tak lain dari si Dewa Linglung telah berada di depannya. Tangkisan pedang mustika Naga Merah pada uap putih kebiruan yang dilepaskan melalui pukulan pada Panji telah membuat terhuyung tubuh Nanjar hingga membentur tubuh gadis itu.
Akan tetapi bersamaan dengan itu terdengarlah suara jeritan-jeritan menyayat hati. Tampak belasan prajurit berjungkalan dirambas uap putih kebiruan Nini Sumbi yang sekaligus telah meminta korban jiwa!
"Iblis edan! Kau benar-benar telengas!" maki si Dewa Linglung dengan geram.
Wajah Patih Mangku Jagat dan Senapati Pramudita berubah pucat. Akan tetapi mereka menahan kemarahannya, karena tak berani sembarangan menerjang setelah mengetahui kehebatan lawan mereka.
"Hihi... kau pasti si Dewa Linglung, si Pendekar Naga Merah!" berkata Nini Sumbi seraya menatap tajam pada Nanjar yang melintangkan pedang pusakanya di depan dada.
"Benar dugaanmu, Nini Sumbi! Secara kebetulan aku memiliki pedang ini. Walau aku tak menginginkan gelar itu, tapi terserah bagi siapapun yang menyebutku demikian!" ujar Nanjar dengan sikap tenang. Kemudian Nanjar melanjutkan kata-katanya.
"Sobat Nini Sumbi! Ilmu yang kau miliki sungguh hebat. Sebelum kita bertarung, bolehkah aku mengetahui apakah hubunganmu dengan dua laki-laki kembar yang juga memiliki ilmu hebat aji Karang Rogo? Dan apakah sebenarnya tujuanmu mengamuk di Istana Kerajaan Pengging ini?"
Nanjar sengaja lakukan jalan lunak, karena khawatir wanita itu semakin mengumbar hawa napsu mengamuk membunuhi orang-orang Kerajaan. Sedangkan Nanjar menduga belum tentu mampu menghadapinya. Nini Sumbi tertawa terkikih, kemudian menyahut dengan sikap gagah dan dada dibusungkan.
"Hm, ilmu aji Karang Rogo takkan ada tandingannya. Memang hebat seperti katamu. Kau menanyakan dua laki-laki kembar pemilik aji Karang Rogo? Hihi... keduanya adalah murid-muridku. Mereka telah mewarisi aji Karang Rogo yang hebat setelah menerima gemblengan dan penerapan aji itu selama tujuh kali bulan purnama! Hm, dimana kau menjumpai kedua muridku itu?" Tiba-tiba Nini Sumbi bertanya.
Nanjar menggeleng. "Aku hanya mendengar beritanya saja. Tapi kaum Rimba Hijau telah mengetahui kalau dia adalah si Kembar Seruling Maut. Mereka telah membunuh si Raja Pedang, dan salah seorang dari Partai Halimun Sakti menjadi korban ketelengasannya! Sekali lagi kutanyakan, apakah maksudmu mengamuk di Istana Ke-rajaan Pengging. Apakah dengan ilmumu yang hebat itu kau akan menguasai jagat? Apakah sebenarnya yang kau cari? Kalau yang kau cari cuma kepuasan diri, ketahuilah! Kepuasan di atas dunia ini takkan ada habisnya. Apakah dengan membantai orang menebar bala dapat memuaskan dirimu?" berkata Nanjar dengan suara datar.
"Hihi... bicaramu seperti seorang pendeta saja, anak muda! Tapi kata-katamu benar! Aku cuma mengumbar hawa napsu saja! Dan saat ini aku puas, karena telah menunjukkan kehebatanku pada manusia yang telah membuat aku sakit hati!" kata Nini Sumbi, seraya menatap tajam pada Patih Mangku Jagat yang berdiri mematung. Namun dengan sikap siap siaga.
"Sakit hatipun tak ada habisnya! Kalau kau mendendam sakit hati pada Patih Mangku Jagat, lalu apakah orang-orang yang kau bunuh itu dari pihak keluarganya tak sakit hati? Kalau kau bisa mendendam, maka orang lainpun bisa mendendam!" Nanjar meneruskan bicaranya membuat Nini Sumbi kembali menoleh dan menatap Nanjar.
"Hm, silahkan siapapun yang mau mendendam padaku. Aku tak perduli! Dengan ilmu yang kumiliki toh mereka tak mampu mengalahkan aku!" berkata dingin Nini Sumbi.
Akan tetapi Nanjar tertawa gelak-gelak. "Haha... ha... kesombongan hanya dimiliki oleh para iblis! Dan tak ada iblis yang tak ditempatkan di Neraka! Apakah kau mengira ilmu aji Karang Rogo tak akan terkalahkan? Hm, dunia ini telah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Di atas langit masih ada langit. Dan manusia masing-masing telah diberikan takdirnya. Kalau sudah waktunya mati, maka tak akan dapat ditolak lagi! Ingin kutanya, apakah kau mampu melawan takdir?"
Terhenyak seketika wanita itu. Sepasang matanya tampak menyorot tajam menatap si Dewa Linglung. Tapi mendadak dia tertawa terkikih, kemudian berkata dengan angkuh. "Sampai saat ini aku belum mengenal takdir seperti yang kau sebutkan. Tapi kenyataannya aku telah hidup untuk kedua kalinya! Disaat aku menerima kesempurnaan aji Karang Rogo dari Mbah Jogo Karang, aku langsung menyalurkan melalui kedua lenganku pada kedua laki-laki kembar muridku.
"Selanjutnya aku tak tahu apa-apa lagi. Aku merasa diriku telah mati, karena aku telah terkubur di dalam tanah. Akan tetapi tiba-tiba aku merasa dapat bernapas lagi. Dan dengan segera kujebol tanah yang mengubur tubuhku. Hihi... aku tahu, yang telah menguburkanku adalah kedua pemuda kembar muridku. Dan... hihi... rahasia kehidupanku hanya akulah yang mengetahui..."
Tentu saja penuturan Nini Sumbi membuat semua yang berada di tempat itu saling pandang. Sementara itu tanpa setahu seorangpun di atas tembok Istana telah berdiri seorang tua berjubah putih. Siapa adanya laki-laki tua ini tak lain dari Lung Gadung. Ternyata kakek itu belum kembali ke puncak Gunung Galunggung.
Sejak tadi dia telah mendengarkan percakapan. Sayang dia datang terlambat, sesaat Nini Sumbi melepas pukulan maut yang menewaskan belasan orang prajurit Kerajaan. Mendengar disebutnya nama Mbah Jogo Karang, wajah Lung Gadung berubah seketika. Jantungnya melonjak keras.
"Mbah Jogo Karang? Ah... menurut cerita, manusia itu telah mati seratus tahun yang lalu! Dia memang seorang tokoh sesat yang memiliki aji Karang Rogo. Bagaimana sampai aji Karang Rogo bisa menitis pada wanita bernama Nini Sumbi ini?" berkata Lung Gadung dalam hati. "Wanita itu mengetahui rahasia kehidupan dirinya, berarti dia bisa mati seperti halnya Jogo Karang. Tapi bisa hidup lagi! Kalau begitu besar kemungkinan manusia bernama Jogo Karang itupun masih bisa hidup, entah berupa roh atau sukma!" Lung Gadung termangu-mangu di atas tembok Istana.
Saat itu baik Nanjar maupun semua yang berada di tempat itu terlongong mendengar penuturan Nini Sumbi.
"Edan! Siapa lagi manusia bernama Jogo Karang itu?" bertanya-tanya Nanjar dalam hati. Akan tetapi Dewa Linglung tak memikir terlalu jauh. Baginya hanyalah mencari jalan terbaik untuk menyingkirkan malapetaka dari tempat itu.
"Kau memang hebat dan sakti, Nini Sumbi! Justeru itulah aku ingin bertarung denganmu. Tapi tidak di tempat ini! Aku ingin tempat yang leluasa!" berkata Nanjar dengan sikap tenang. Namun dalam hati diam-diam dia berkata. "Tak ada jalan lain terpaksa aku menghadapinya dengan segala daya dan kekuatanku. Aku harus membujuknya agar meninggalkan Kota Raja, hingga untuk sementara dia melupakan dendamnya pada Patih Mangku jagat!"
Nini Sumbi tertawa mengikih. Sepasang matanya berkilat-kilat menatap si Dewa Linglung. "Hihi... bagus! Carilah tempat yang baik untuk kuburanmu!" berkata dingin Nini Sumbi. Ternyata hati wanita ini terpincut juga untuk menjajal kehebatan pemuda gondrong itu. Lupalah dia pada maksud tujuannya semula.
"Baik! Di luar Kota Raja, disebelah Timur perbatasan adalah tempat yang baik buat kita bertarung secara leluasa. Mari kita kesana!" Selesai berkata Nanjar mendahului berkelebat. Nini Sumbi tak berayal segera menyusul pemuda gondrong itu.
Patih Mangku Jagat, Senapati Pramudita, serta Panji sesaat saling pandang. Bibir Patih Mangku Jagat tersenyum. Kepalanya digeleng-gelengkan seraya menghela napas lega. Ketegangan untuk sementara berakhir dengan perginya wanita iblis itu.
"Sungguh cerdik pendekar muda yang gagah itu. Dia berhasil memancing Dewi Sumbi meninggalkan Istana.... Ah, entah malapetaka yang datang ini apakah bisa tersingkirkan? Aku tak menduga kalau dia masih menaruh dendam padaku sejak putusnya hubungan cintaku dengannya puluhan tahun yang silam. Dan... benar-benar luar biasa ilmu kesaktiannya..." kata Patih Mangku Jagat seraya melompat mendekati Senapati Pramudita.
"Sebaiknya kami menyusul ke sana untuk melihat pertarungan. Dan... kukira kakang Patih tak usah ke sana. Perketat penjagaan disekitar Istana untuk melindungi Baginda Prabu...!" berkata Senapati Pramudita setelah menjura.
"Baiklah, dimas Senapati...! Berhati-hatilah...! Kirim berita secepatnya bila terjadi apa-apa yang mengkhawatirkan!"
Senapati Pramudita mengangguk. Lalu menjura. Kemudian mengajak Panji meninggalkan Istana. Sebelum berangkat, Panji menjura pada Patih Mangku Jagat. "Kami berangkat, Gusti Patih..."
"Hati-hati anak manis...! Agaknya sifat keberanian ayahmu menurun padamu. Aku sungguh-sungguh kagum padamu!" ujar Patih Mangku Jagat dengan tersenyum. Panji tak menjawab. Dia hanya tunduk tersipu. Tak lama segera balikkan tubuh dan pergi mengikuti di belakang Senapati Pramudita.
Dengan membawa sepasukan prajurit berjumlah dua puluh orang, Senapati Pramudita be-rangkat keperbatasan sebelah Timur. Keduanya menunggang kuda. Tampak Panji yang memimpin pasukan prajurit Kerajaan. Seiring dengan kepergian mereka. Lung Gadung diam-diam telah menyusul dengan mengambil jalan lain...
Dewa Linglung telah berdiri tegak di hada-pan Nini Sumbi. Keduanya sama-sama menatap dengan tajam. Tempat itu sangat luas. Tanah padang rumput yang biasa digunakan untuk menggembalakan kerbau ini kini akan digunakan untuk ajang pertarungan!
"Dewa Linglung! Kau sudah siap untuk menghadapiku?" bertanya Nini Sumbi. Suaranya dingin membeku terbawa angin gunung.
"Aha! Aku sudah sejak tadi siap, Nini Sumbi!" sahut Nanjar dengan kedua lengan terbuka.
"Kau tak menggunakan pedang mustika Naga Merahmu?" tanya wanita ini dengan mengerutkan kening melihat Nanjar bertangan kosong.
"Aku akan menggunakannya jika kuperlukan! Nah! Mulailah Nini Sumbi!" Dewa Linglung menyahut dengan sikap tenang. Sementara diam-diam dia telah menyusun rencana untuk menggunakan ilmu sihir putih dan jurus-jurus andalannya. Tapi dia harus berlaku hati-hati, karena sudah melihat betapa hebatnya wanita itu.
"Bagus! Jangan menyesal kalau tempat ini bakal menjadi tempat kematianmu!" berkata dingin Nini Sumbi. tapi kemudian tertawa terkikih. "Hihi... sayang...! Sebenarnya aku sangat kagum padamu, bocah gagah. Kau masih muda, tapi telah menyandang nama besar di Rimba Persilatan! Aku sungguh menyayangkan kematianmu!" sambung Nini Sumbi.
"Semuanya kuserahkan pada Takdir!" kata Nanjar dengan tersenyum. Namun diam-diam dia telah mempersiapkan diri untuk menghadapi wanita itu.
"Bagus! Takdir kematianmu adalah ditanganku!" bentak Nini Sumbi dengan mata memancarkan kemarahan, karena lagi-lagi si Dewa Linglung menyebut-nyebut kata-kata itu. Serangkum uap putih kebiruan meluncur ke arah Nanjar ketika wanita itu memulai serangannya. Nanjar berkelebat ke samping dengan gerakan sebat.
"Whuuuuk!"
Sambaran berikutnya menghambur memburu tubuh si Dewa Linglung yang berkelebatan menghindarkan diri dari serangan tanpa memapakinya. Nini Sumbi menggerung keras. Kedua lengannya mencengkeram ke batok kepala Nanjar.
Nanjar terkesiap. Karena merasa satu kekuatan telah menyedot tubuhnya. Tapi dengan cepat dia gunakan jurus Ular Merosot Dari Pohon. Jurus ini membuat tubuhnya memendek. Cengkeraman lengan Nini Sumbi lewat di atas kepala. Detik itu dipergunakan Nanjar untuk menghantam lambung lawan.
"Buk!"
Hampir saja Nanjar menjerit kesakitan. Karena lengannya seperti menghantam batu karang. Tubuh si Dewa Linglung berguling ke samping, lalu melompat berdiri. Tampak mulut si Dewa Linglung meringis. "Sialan! Tubuhnya benar-benar sekeras batu!" sentak Nanjar dalam hati. Namun akibat pukulan itu tubuh Nini Sumbi terhuyung ke belakang.
"Hihi... pukulanmu mantep juga, Dewa Linglung! Sebaiknya kau gunakan pedang Naga Merahmu!" ejek Nini Sumbi sambil mencibir.
"Baik! Lihat serangan pedangku!" bentak Nanjar. Mendadak tubuhnya berkelebat ke udara. Tahu-tahu lengannya telah mencekal pedang mustika Naga Merah. Nini Sumbi menengadah. Matanya melihat kilatan sinar merah menyambar ke arahnya.
"Whuuuk!"
Nini Sumbi menghantam dengan kedua lengannya. Uap hitam menyembur dibarengi bersiurnya angin keras berhawa dingin mencekam. Akan tetapi tahu-tahu sosok tubuh si Dewa Linglung lenyap berikut sinar merahnya. Hantaman pukulan maut Nini Sumbi menggelegar di udara yang kosong.
"Haha... haha... kau memukul angin, Nini Sumbi? Lucu! Kau telah bertarung secara ngawur!"
Alangkah terkejutnya wanita ini karena melihat si Dewa Linglung masih berdiri di tempat asalnya. "Bocah setan! Ilmu apa yang kau gunakan?" bentak Nini Sumbi dengan muka berubah merah.
"Haha... hihi... itulah jurus Menipu Nenek Kehilangan Susur!" jawab Nanjar sekenanya. Padahal dia telah menggunakan salah satu jurus dari ilmu sihir putih untuk mengelabui lawannya.
"Bedebah! Kau hadapi seranganku!" bentaknya dengan gusar, karena merasa pemuda gondrong itu menyindirnya.
Pukulan-pukulan dahsyat merambas si Dewa Linglung dengan deras. Tanah menyemburat di setiap tempat bekas pukulannya yang lolos. Karena dengan kelincahan yang sangat mengagumkan si Dewa Linglung berkelebatan menghindarkan diri. Sebentar melompat seperti kera. Sebentar menggelosor seperti ular, dan sesekali terhuyung seperti orang mabuk.
Enam belas jurus telah lewat. Namun tak satupun pukulan Nini Sumbi yang berhasil mengenai sasaran. Lagi-lagi wanita itu terkecoh, karena menghantam batu yang dilontarkan Nanjar ke udara. Batu itu baru ketahuan batu setelah hancur berkepingan terkena sambaran pukulannya. Padahal yang tadi terlihat adalah sosok tubuh si Dewa Linglung.
Di satu kesempatan tiba-tiba Nanjar lancarkan serangan angin pukulan Badai Salju! Itulah jurus yang telah diperdalam diwilayah Mongol ketika mencari kitab ilmu sihir putih. Uap salju menggebubu menyambar tubuh Nini Sumbi. Seketika itu juga tubuh wanita itu terbungkus oleh salju yang memutih. Disaat itulah Nanjar cabut pedang mustika Naga Merah. Dan...
"Crass!" Darah menyembur ke udara. Tubuh Nini Sumbi yang terbungkus salju telah terpotong menjadi dua bagian. Sepotong masih tegak tak bergeming di tanah, dan sepotong lagi jatuh men-gelinding. Sukar untuk diduga, ternyata Nini Sumbi tewas dengan keadaan masih terbungkus salju. Kedua potongan tubuh itu dalam keadaan tak bergeming lagi. Di saat itulah dua sosok tubuh melompat ke tempat itu.
"Hebat! Kau berhasil membunuhnya, sobat Dewa Linglung!" Yang berkata dan muncul adalah Senapati Pramudita. Seorang lagi tak lain dari Panji. Ternyata dua puluh prajurit Kerajaan telah berada di sekitar tempat itu. Tentu saja mereka melihat pertarungan yang seru dan mendebarkan itu.
Nanjar masih berdiri terpaku. Dengan akal cerdiknya dia berhasil menewaskan Nini Sumbi. Karena dengan serangan jurus pukulan Badai Salju, tubuh lawan terbungkus salju. Dengan demikian dapat diduga kekuatan aji Karang Rogo menjadi luntur punah. Dugaan Nanjar ternyata tepat. Dan, pedang mustika Naga Merah berhasil memapas putus tubuh lawan.
Pada saat yang bersamaan setelah kemunculan Adipati Pramudita dan Panji, secara kebetulan seekor burung elang melintas di udara. Bayangan elang melintas tepat di bagian potongan tubuh Nini Sumbi. Saat itulah Nanjar membelalakkan mata, melihat potongan tubuh Nini Sumbi bergerak, dan melesat ke arah tubuhnya yang sepotong lagi.
"Plas!" Sekejap kedua potongan tubuh itu telah bersatu lagi. Dan...
"Blarr!"
Salju berhamburan. Terdengar suara tertawa mengikih Nini Sumbi. Bagai melihat hantu, Nanjar melangkah mundur. Sementara itu Senapati Pramudita tercengang, dan terperangah kaget.
"Dia... dia hidup lagi...?" sentak Senapati ini dengan suara berdesis. Akan tetapi secepat kilat laki-laki ini telah mencabut kelewangnya. Dan dengan gerakan kilat tubuhnya berkelebat. Kelewang di tangannya menyambar leher wanita iblis itu.
"Trang!"
Terdengar teriakan kaget Senapati Pramudita. Tak ubahnya seperti yang terjadi pada Panji, kelewangnya patah menjadi dua potong ketika membentur tubuh Nini Sumbi. Nanjar terpaku menatap. Jelas aji Karang Rogo telah kembali memasuki tubuh wanita itu. Mendadak Nanjar merogohkan lengannya ke balik baju. Tubuhnya berkelebat ke arah Nini Sumbi.
"Slup...!"
Sesuatu telah melayang masuk ke celah baju wanita itu. Disaat Nini Sumbi siap menghantamkan pukulannya ke arah si Dewa Linglung, mendadak dia menjerit keras. Tubuhnya berjingkrakan melompat-lompat. Rambutnya yang terurai itu beriapan. Wanita ini menjerit-jerit kalap dengan wajah pucat ketakutan. Ternyata seekor tikus putih telah merayap dari celah baju ke arah lehernya.
Rasa geli dan jijik membuat dia ketakutan setengah mati melihat binatang itu. Binatang kecil ini mencicit-cicit membaui tubuh Nini Sumbi. Tiba-tiba tikus kecil itu telah menggigit lehernya. Nini Sumbi menjerit setinggi langit. Tubuhnya terjungkal roboh, lalu berkelojotan. Selang tak lama tak bergerak lagi.
Membaui tubuh majikannya, binatang ini segera berlari ke arah si Dewa Linglung yang berdiri menjublak keheranan. Dan...
"Slup!" Binatang kecil itu telah menyusup masuk lagi ke celah bajunya. Nanjar rogohkan lengannya menangkap binatang peliharaannya. Matanya membelalak menatap si tikus putih. "Kau... kau berhasil membunuhnya?" ujar si Dewa Linglung dengan terlongong.
Benar! Ternyata untuk kedua kalinya Nini Sumbi tewas. Tubuhnya tak bergeming lagi. Semua yang berada di tempat itu terpaku mematung. Rasa khawatir manusia itu akan hidup lagi membuat suasana dicekam ketegangan. Nanjar perlahan melangkah mendekati tubuh wanita itu. Lalu lemparkan tikus putih yang dicekalnya melewati tubuh Nini Sumbi. Dewa Linglung sesaat menahan napas.
Binatang itu mencicit mengendus-endus tubuh wanita itu. Kemudian merayap naik ke tubuh Nini Sumbi. Dan melompat lagi ke arah si Dewa Linglung. Lalu kembali menyusup ke balik baju pemuda itu. Setelah mengetahui tubuh Nini Sumbi tak bergerak lagi, barulah Nanjar menghela napas. Tampak sebuah luka kecil yang mengalirkan darah di leher wanita itu.
Disaat itulah tampak suatu perubahan pada tubuh Nini Sumbi. Tubuh yang padat dengan wajah yang muda dan cantik itu mendadak berangsur-angsur mengalami perubahan. Kulit yang putih padat telah berubah lagi menjadi kering kehitaman. Wajah muda wanita itu juga berubah menjadi seorang wanita tua berkeriput, dan ram-butnya tampak kembali memutih.
"Aneh! Semua ilmu yang dimilikinya meluntur...! Apakah karena pengaruh gigitan tikus putih peliharaanku?" berkata Nanjar dalam hati.
Nanjar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Disaat Senapati Pramudita dan Panji tengah terpaku melihat keajaiban itu, si Dewa Linglung telah berkelebat secara diam-diam meninggalkan tempat itu. Cuma kakek Lung Gadung yang melihat kepergian si Dewa Linglung dari puncak pohon. Laki-laki tua ini menggeleng-gelengkan kepala. Bibirnya tersenyum.
"Pendekar muda yang aneh...! Sungguh aku yang tua ini sudah ketinggalan jaman!" ujarnya berdesis. Kemudian berkelebat lenyap dari puncak pohon...