1. Gadis Penari Misterius
SIAPAKAH orangnya yang tidak mengenal nama Liok Kong, hartawan besar di kota Kan-cou di propinsi Kiangsi? Seluruh penduduk kota Kan-cou tentu telah mengenal hartawan yang kaya raya, pemilik dari berbagai toko dan rumah gadai yang kenamaan ini.
Sesungguhnya bukan karena kekayaannya maka ia amat dikenal, karena di kota Kan-cou memang banyak sekali terdapat orang-orang hartawan. Liok Kong dikenal banyak orang bukan hanya sebagai seorang hartawan, akan tetapi lebih lagi sebagai seorang jago tua yang mempunyai julukan Toat-beng Sin-to (Golok Sakti Pencabut Nyawa).
Toat-beng Sin-to Liok Kong adalah seorang yang telah banyak merantau dan diwaktu mudanya, ia malang melintang di dunia kang-ouw sebagai seorang ahli golok yang jarang menemukan tandingannya. Setelah usianya menjadi tua, ia pindah ke dalam kota Kan-cou dalam keadaan sudah kaya raya.
Sungguh amat mengherankan orang betapa cepatnya ia mendirikan rumah-rumah gedung, membuka toko-toko dan membeli rumah-rumah gadai yang terbesar. Bahkan dalam usia lima puluh tahun, ia lalu mengawini seorang gadis cantik berusia delapan belas tahun, hidup mewah, memelihara banyak pelayan dan penjaga-penjaga yang banyak jumlahnya dan memiliki kepandaian silat tinggi.
Agaknya para penjaga atau lebih tepat disebut “tukang pukul” ini amat mengandalkan pengaruh kekayaan dan nama besar Toat-beng Sin-to Liok Kong, karena kadang kala mereka melakukan hal-hal yang menunjukkan kesombongan mereka. Tangan mereka amat ringan menjatuhkan pukulan kepada siapa saja yang tidak mau tunduk, dan bahkan di antara mereka tidak segan-segan untuk mengganggu si lemah.
Akan tetapi, siapakah orangnya yang berani menentang mereka? Tidak saja mereka ini rata-rata memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi lebih-lebih lagi orang-orang merasa segan terhadap Liok Kong yang kaya raya, terutama sekali karena Liok Kong telah mengadakan hubungan amat baiknya dengan para pembesar setempat.
Pada hari itu keadaan kota Kan-cou berbeda dari biasanya, lebih ramai dan yang amat menarik hati penduduk adalah banyaknya orang-orang asing, pendatang-pendatang dari tempat-tempat jauh. Para penduduk maklum bahwa orang-orang ini adalah para tamu yang hendak mengunjungi pesta yang diadakan oleh Liok-wangwe (hartawan Liok), yakni sebutan baru bagi Toat-beng Sin-to Liok Kong setelah ia menjadi hartawan.
Hotel-hotel di kota itu penuh dengan para tamu ini, dan keadaan mereka memang amat menarik hati. Ada orang yang berpakaian sebagai ahli-ahli silat, sebagai piauwsu (pengawal kiriman barang berharga), ada pula wanita-wanita yang membawa pedang, banyak pula yang berpakaian sebagai hwesio (pendeta Buddah) dan tosu (pendeta agama To).
Hal ini sesungguhnya tak perlu diherankan, oleh karena di masa mudanya, Liok Kong telah merantau di seluruh propinsi. Biarpun propinsi Kiangsi berada di selatan, namun pendatang-pendatang itu datang dari propinsi amat jauh di utara, seperti propinsi-propinsi Santung, Honan, Ho-pak, Sansi, dan lain-lain.
Rumah gedung Liok-wangwe sendiri menjadi pusat keramaian dan kemewahan. Gedung yang besar dan tinggi bertingkat dua itu dihias dengan kertas-kertas berwarna, bunga-bunga kertas dan bunga-bunga asli. Semenjak pagi hari, para tamu sudah datang berduyun-duyun, ratusan orang jumlahnya.
Sebagaimana biasanya dalam setiap pesta yang diadakan orang di masa itu, ruang bagi tamu terbagi dalam beberapa bagian. Ada tempat atau ruang bagi tamu-tamu “biasa”, yakni penduduk kota Kan-cou yang dianggap tak berapa penting. Mereka ini dipersilakan menduduki ruang di sebelah kiri dan hanya dilayani oleh pelayan-pelayan hartawan itu.
Para pembesar tinggi mendapat tempat yang lebih mewah, bersama dengan para hartawan, yakni di ruang sebelah kanan. Yang paling istimewa adalah tamu-tamu yang terkenal sebagai tokoh-tokoh persilatan tinggi dan pembesar-pembesar yang berpengaruh, karena mereka ini diistimewakan dan mendapat ruangan yang amat luas yakni di sebelah dalam. Mereka ini disambut sendiri oleh Liok-wangwe.
Bertumpuk-tumpuk barang antaran atau sumbangan memenuhi belasan meja yang dipasang berderet di ruang tengah, di jaga oleh belasan orang penjaga yang memegang golok, nampaknya gagah dan keren sekali. Hampir semua tamu tidak lupa untuk membawa sumbangan sebagai pernyataan selamat atas perayaan ulang tahun atau hari lahir yang ke lima puluh lima dari Toat-beng Sin-to Liok Kong.
Hartawan she Liok ini merasa gembira sekali melihat banyaknya tamu yang datang memberi selamat kepadanya, terutama sekali karena ia melihat kawan-kawan lama dari dunia kang-ouw yang memerlukan datang. Hampir setiap cabang persilatan mengirim wakil-wakilnya sehingga di situ terdapat wakil-wakil dari cabang persilatan Siauw-lim, Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan lain-lain.
Akan tetapi yang amat menggembirakan hatinya adalah hadirnya lima orang gagah yang amat terkenal yakni yang disebut Ngo-lian Hengte (Kakak Beradik Lima Teratai). Ngo-lian Heng-te ini terdiri dari lima orang laki-laki yang usianya telah empat puluh tahun lebih. Yang tertua bernama Kui Jin, kedua Kui Gi, ketiga Kui Le, keempat Kui Ti, dan kelima Kui Sin. Ke lima kakak beradik ini juga disebut Ngo ciangbun (Lima Ketua) dari perkumpulan Agama Ngo-lian-kauw (Agama Lima Teratai) yang berkedudukan di kota Po-teng di propinsi Hopak.
Pesta berlangsung dengan amat meriah dan ramai. Hidangan-hidangan mahal dan lezat dikeluarkan. Arak yang wangi dituang berkali-kali sehingga makin lama makin riuhlah gelak tawa para tamu yang sudah mulai terpengaruh oleh arak wangi. Makin banyak arak keras ini memasuki perut, makin terlepaslah lidah makin bebaslah pikiran, lenyap segala keraguan dan kesusahan, yang terasa hanyalah kegembiraan hidup.
Berulang-ulang para tamu mengangkat cawan arak untuk keselamatan tuan rumah sehingga muka Liok Kong telah menjadi merah seperti udang direbus. Toat-beng Sin-to ini telah berusia lima puluh lima tahun, akan tetapi wajahnya masih nampak kemerahan dan sehat. Rambutnya masih hitam dan pakaiannya yang mewah dan indah membuat ia nampak masih muda. Pada pinggang kirinya tergantung gagang goloknya yang terbuat dari pada emas terhias mutiara, dan sarung goloknya juga terukir indah sekali.
Pada saat pesta sedang berjalan ramai-ramainya, tiba-tiba seorang penjaga dengan sikap hormat menghadap Liok Kong dan melaporkan, “Lo-ya (tuan besar), di luar terdapat serombongan penari yang datang untuk menghibur lo-ya.”
Liok Kong menjadi heran akan tetapi juga gembira. “Penari? Dari manakah dan siapa yang menyuruh dia datang?”
“Maaf, lo-ya. Hamba juga tidak berani langsung memberi perkenan masuk karena hamba juga merasa heran. Akan tetapi menurut penarinya, ia diperintah oleh seorang piauwsu di kota Buncu di Propinsi Cekiang sebagai sumbangan, karena piauwsu itu tidak dapat datang sendiri.”
Liok Kong mengingat-ingat dan tidak merasa mempunyai seorang kenalan piauwsu di Cekiang, akan tetapi karena ia ingin sekali melihat penari itu, ia lalu memberi perintah, “Suruh dia masuk, biar aku sendiri yang bertanya kepadanya.”
Penjaga itu tersenyum penuh arti. “Lo-ya takkan kecewa. Penarinya benar-benar cantik seperti bidadari!”
Biarpun hatinya merasa amat girang mendengar kata-kata ini, akan tetapi dihadapan sekian banyaknya tamu-tamu orang kang-ouw yang memandang sambil tertawa-tawa, ia pura-pura marah, “Jangan banyak cakap! Lekas suruh dia masuk!”
Penjaga itu memberi hormat lalu keluar lagi dan tak lama kemudian ia datang mengiringkan serombongan orang terdiri dari seorang penari wanita dan tiga orang laki-laki tua yang memegang alat musik. Melihat penari itu, seketika itu juga lenyaplah niat Liok Kong untuk mencari keterangan tentang piauwsu itu.
Ia hanya berdiri bengong dengan mata terbelalak dan ternyata bukan hanya dia seorang yang memandang dengan kagum sekali. Bahkan hampir semua mata para tamu laki-laki memandang dengan kagum dan terdengar pujian-pujian di sana-sini dari mulut tamu-tamu muda.
Penari itu adalah seorang dara berusia paling banyak delapan belas tahun dan cantik jelita bagaikan bidadari, tepat seperti yang dikatakan oleh penjaga tadi. Wajahnya yang berkulit kuning putih bersih bagaikan susu, membayangkan kemerahan pada sepasang pipinya, bagaikan bunga botan sedang mekar. Sepasang matanya jeli dan indah sekali, bersinar halus dan sayu akan tetapi amat tajam dan bening seperti mata burung Hong.
Entah mana yang lebih indah, sepasang matanya atau sepasang bibirnya. Bibir ini berbentuk indah, kecil penuh berkulit halus tipis, berwarna segar kemerahan bagaikan buah yang sudah masak. Hidungnya yang kecil mancung dan sepasang lesung pipit di kanan-kiri pipinya menyempurnakan kecantikannya.
Rambutnya agak awut-awutan kurang teratur rapi, akan tetapi hal ini, sekali-kali tidak mengurangi kecantikannya, bahkan mendatangkan kewajaran kepada wajahnya, menambah kemanisan yang benar-benar menggairahkan kalbu tiap laki-laki.
Bentuk tubuhnya menggiurkan, ramping dan penuh, terbungkus oleh pakaian dari sutera indah dan ringkas potongannya. Bajunya berwarna merah muda dan baju yang terbuat dari pada sutera di waktu tertiup angin mencetak tubuhnya dan mendatangkan pemandangan yang benar-benar luar biasa.
Celananya ringkas, dari sutera biru dan pakaian ini masih tertutup oleh sehelai mantel kuning yang lebar. Sepatunya hitam dan penuh debu, tanda bahwa gadis cantik ini telah datang dari tempat jauh.
Tiga orang laki-laki tua yang mengikutinya dan membawa alat musik nampak seperti penabuh musik biasa saja, dan mereka nampak agak takut-takut memasuki ruangan gedung yang indah mewah dan penuh dengan tamu-tamu yang berwajah menyeramkan itu.
Akan tetapi, gadis penari itu cepat maju dan berlutut di depan Liok Kong setelah penjaga memberitahukannya bahwa orang tua berbaju mewah itulah adanya Liok-wangwe.
“Hamba datang membawa pesan dari Tan-piauwsu di Buncu untuk menyampaikan ucapan selamat panjang umur dan hormat yang setinggi-tingginya kepada Liok-loya.” Suara yang keluar dari bibir indah ini amat merdu bagaikan nyanyian burung.
Liok Kong masih berdiri terpaku di atas lantai, tak dapat bergerak dan agaknya hanya jantungnya saja yang bergerak lebih cepat dari pada biasanya. Ia tidak perdulikan lagi siapa adanya Tanpiauwsu itu, akan tetapi ia cepat membungkuk dan memegang kedua pundak penari itu, mengangkatnya bangun dan berkata,
“Nona yang baik, sungguh merupakan kehormatan besar sekali mendapat sumbangan sedemikian hebatnya dari Tan-piauwsu. Kebetulan sekali kau datang hendak menghibur para tamu, maka cepatlah kau perlihatkan kepandaianmu menari!”
Orang tua mata keranjang ini merasa betapa pundak penari itu biarpun tertutup pakaian, namun terasa halus, lunak, dan hangat. Juga dari rambut penari itu tercium olehnya keharuman yang membuat semangatnya melayang jauh ke sorga ketujuh. Cepat ia lalu memberi perintah kepada para pelayannya untuk mempersiapkan tempat kosong di tengah ruangan itu untuk penari ini agar pertunjukkannya dapat dinikmati oleh semua pengunjung.
“Maaf, lo-ya,” kata pula penari itu dengan sikapnya yang lemah lembut dan lirikan matanya yang tajam mengiris jantung. “Ketiga lopek (paman tua) ini adalah penabuh-penabuh musik biasa saja yang hamba sewa, karena dari Buncu, hamba tidak membawa tukang penabuh musik sendiri.”
“Tidak apa, tidak apa!” jawab tuan rumah yang kaya raya itu gembira. “Yang penting bukan gamelannya, melainkan tarianmu. Eh, siapakah namamu, nona?”
“Apakah artinya nama seorang penari seperti hamba, lo-ya?”
Liok Kong tersenyum dan berusaha membuat bibirnya yang tebal itu tersenyum manis, tidak merasa bahwa usahanya ini gagal sama sekali dan senyumnya membuat wajahnya nampak menyeringai tidak menarik.
“Seorang nona yang demikian cantiknya tentu mempunyai nama yang indah pula!” kata seorang tamu muda yang bermata liar. Melihat betapa seorang yang masih muda dapat menduduki ruangan ini, dapat diduga bahwa ia adalah orang yang cukup penting.
Memang demikian adanya. Pemuda ini adalah seorang yang telah menjunjung tinggi nama sendiri karena kepandaian silatnya dan ia adalah seorang perampok tunggal yang telah terkenal sekali di daerah barat, yakni di Propinsi Kansu. Namanya Thio Kun, akan tetapi di daerah barat, ia terkenal sebagai si Pedang Maut.
Mendengar ucapan Thio Kun ini, para tamu yang duduk terdekat di tempat itu tertawa dan semua bibir tersenyum dengan mata mengerling penuh arti ke arah penari itu.
“Ha, ha, ha! Ucapan Thio taihiap tepat sekali!” kata Liok Kong lalu berkata pada penari itu. “Nona manis, sebelum kau mempertunjukkan tarianmu yang indah, lebih dulu beritahukanlah namamu.”
Dengan gaya yang amat menarik hati sambil menundukkan muka kemalu-maluan, nona penari yang cantik sekali itu lalu memperdengarkan suaranya yang merdu. Melihat keadaan yang sunyi senyap padahal ruangan itu penuh dengan para tamu, dapat ditarik kesimpulan bahwa semua orang memperhatikan jawaban ini dan semua orang ingin mendengar siapakah nama penari yang luar biasa ini.
“Lo-ya, hamba she Ong bernama Lian Hong, seorang gadis yatim piatu miskin yang mengandalkan hidup dari sedikit kepandaian menari.”
“Bagus, bagus! Benar-benar indah sekali namanya!” Thio Kun berseru gembira sambil menepuk-nepuk tangannya. “Lian Hong... sungguh nama yang merdu terdengar. Liok lo-enghiong, suruhlah nona Lian Hong lekas menari. Aku tak sabar lagi untuk segera menikmati tariannya yang indah!”
Ucapan ini mendapat sambutan sebagai pernyataan setuju dari sebagian besar para tamu yang hadir di situ. Tiba-tiba orang tua penabuh gamelan segera memulai memperdengarkan lagu yang merdu. Mereka bertiga mainkan tiga macam alat musik, sebuah suling, sebuah pipa (seperti gitar), dan yang seorang lagi memegang tambur kecil untuk mengatur irama.
Merndengar bunyi-bunyian ini, semua orang menjadi kecewa karena ternyata bahwa musik terdiri dari tiga orang ini tidak merupakan sesuatu keistimewaan. Banyak rombongan musik yang dapat main jauh lebih bagus dari pada yang tiga orang ini.
Akan tetapi, setelah nona Ong Lian Hong menjura keempat penjuru dan mulai berdiri tegak, lalu mendengarkan irama musik, kemudian mulailah dengan tariannya, buyarlah semua kekecewaan para pendengar tadi. Bukan main indahnya tarian nona ini, atau mungkin juga bukan tariannya yang indah, melainkan gerakan tubuhnya yang menggiurkan itu.
Tubuhnya bergerak dengan lemah gemulai bagaikan sebatang pohon yang-liu tertiup angin lalu. Sepuluh jari tangannya yang kecil dan halus itu seakan-akan sepuluh ekor ular yang hidup dan bergerak amat indahnya. Pinggang yang sudah amat ramping itu bagaikan makin mengecil lagi tatkala tubuhnya bergerak melenggang-lenggok. Kerling matanya mengalahkan sambaran halilintar, senyumnya menyaingi bulan purnama.
Ternganga semua tamu, termasuk tuan rumah. Selama hidup mereka belum pernah menyaksikan tarian yang indah seperti ini, atau lebih tepat, seorang penari muda secantik dan sebagus bentuk tubuhnya.
Setelah menari beberapa lama, Ong Lian Hong lalu mengeluarkan sehelai selendang merah yang tadi diselipkan di ikat pinggangnya dan kini ia menari dengan selendang itu. Makin terpesonalah semua tamu menyaksikan tari selendang ini, karena benar-benar amat indahnya.
Dengan cekatan sekali sepuluh jari tangan itu menggerakkan selendang sehingga selendang itu menari-nari di udara bagaikan seekor ular naga. Akan tetapi ketika ia merobah gerakan tangannya, selendang itu menjadi seperti bunga mawar merah yang tercipta di udara dan sebentar kemudian melambai lagi lalu terlepas pula, merupakan selendang sutera yang halus membelai kepala, leher, dan pinggang penari itu.
Ketika nona penari itu menghentikan tariannya, barulah terdengar suara pujian yang seakanakan menumbangkan tiang-tiang rumah gedung itu dan menggetarkan genteng-genteng. Sorak sorai menggegap gempita, diselingi teriakan-teriakan kagum.
Suara pujian ini demikian kerasnya sehingga para penduduk yang tadinya tinggal di rumah menjadi tertarik dan berbondong-bondonglah mereka datang mengunjungi gedung yang sedang dipergunakan untuk tempat pesta itu. Di pekarangan depan berjejal-jejal penduduk yang ingin menjenguk ke dalam.
Para tamu yang tadinya berada di ruang kanan dan kiri tanpa dapat dicegah lagi telah masuk ke ruang dalam. Hal ini dapat terjadi karena di situ tidak terdapat penjaga lagi, karena semua penjaga juga telah masuk ke dalam dan menonton.
“Bagus, bagus! Bukan main, Ong-siocia (nona Ong)!” Liok Kong memuji sambil menghampiri gadis penari itu. “Berikanlah selendangmu itu kepadaku, biarlah kutukar dengan ini!” Ia meloloskan sebuah hiasan topi terbuat dari pada emas ditabur batu permata.
“Nanti dulu, Liok lo-enghiong!” Thio Kun melompat dan mengulurkan tangan. “Berikanlah selendang itu kepadaku saja, nona! Akan kutukar dengan benda yang jauh lebih berharga lagi. Lihatlah ini!”
Ia mengeluarkan sebuah benda dari saku dalamnya dan semua orang memandang kagum. Di tangan Thio Kun terlihat sebuah patung terbuat dari batu pualam yang merupakan seekor kilin (binatang keramat seperti singa). Benda ini amat indah, sepasang matanya terbuat dari pada permata merah yang mengeluarkan cahaya gemilang. Tak dapat ditaksir berapa besarnya harga benda serupa ini.
Sepasang mata penari itu seakan-akan mengeluarkan sinar kilat ketika ia melihat benda ini, akan tetapi sambil tersenyum ia lalu berkata, “Terima kasih banyak, siauw-ya (tuan muda), akan tetapi hamba hanyalah seorang utusan yang harus menghormat kepada tuan rumah. Oleh karena itu, selendang ini terpaksa hamba serahkan kepada Liok-loya!”
Sambil berkata demikian, dengan gaya manis dan dengan kedua tangannya ia memberikan selendang merah itu kepada Liok Kong yang menerima sambil tertawa besar.
Kakek mata keranjang ini ketika menerima selendang sengaja hendak memegang lengan yang halus itu, akan tetapi ia merasa heran sekali ternyata ia menangkap angin. Entah bagaimana, yang tertangkap olehnya hanya selendang merah itu saja. Liok Kong menganggap hal ini hanya kebetulan saja dan tertawalah ia bergelak sambil berkata kepada Thio Kun yang menyimpan kembali patungnya.
“Kau mendengar sendiri kata-katanya, Thio-taihiap, maka kau harus mengalah kepadaku!”
Thio Kun tersenyum masam dan berkata sambil menghela napas. “Kau yang beruntung, lo-enghiong. Akan tetapi, siapa tahu kalau-kalau lain kali aku akan dapat kesempatan menarik tangan nona ini menjadi kawan selama hidupku!”
Semua tamu yang sudah terpengaruh arak keras, tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan ini. Beberapa orang tamu yang sopan, seperti para hwesio dan tosu, hanya menggeleng kepala saja, namun mereka sudah maklum akan adat orang kang-ouw yang aneh dan kadang-kadang kasar, maka mereka juga mendiamkan saja.
“Mari... marilah nona, kau mendapat kehormatan untuk duduk menemani kami dimeja besar. Untuk tarian sehebat itu kau harus diberi penghormatan dengan tiga cawan arak wangi!” kata Liok Kong.
Nona penari itu tidak menolak, lalu duduk dengan sikapnya yang sopan santun dan halus, sedikitpun tidak nampak kikuk atau canggung, akan tetapi sama sekali tidak memperlihatkan sikap kegenit-genitan seperti sebagian besar para penari bayaran. Justru sikap yang sewajarnya, dandanan yang sederhana, bedaknya yang tipis itulah yang membuat hati para lelaki di situ tergila-gila.
Pada saat semua orang bergembira karena melihat betapa nona Ong Lian Hong menenggak tiga cawan arak tanpa berkedip mata, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring sekali dan entah dari mana datangnya, tahu-tahu di tengah ruangan itu telah berdiri seorang gadis dengan sikap gagah sekali.
“Manusia she Liok, bersiaplah untuk menghadapi kematianmu!” demikian gadis ini membentak.
Tentu saja semua orang terkejut sekali mendengar bentakan ini dan semua mata memandang ke arah gadis yang baru datang ini. Dia adalah seorang gadis yang berusia kurang lebih dua puluh tahun, cantik jelita dan luar biasa sekali. Pakaiannya sederhana berwarna biru seluruhnya, rambutnya diikat dengan saputangan merah dan di pinggangnya tergantung sarung pedang yang buruk dan sudah luntur cat nya.
Memang aneh melihat gadis ini, karena sesungguhnya kalau dipandang dengan teliti, kecantikannya sempurna sekali. Dari rambutnya yang hitam mengkilap dan panjang, sampai kepada wajahnya yang bentuknya indah dan sempurna sehingga turun kepada tubuhnya yang padat dan ramping, sukarlah untuk mencari cacat celanya.
Akan tetapi, begitu berhadapan dengan dia, orang mau tak mau harus merasa keder dan jerih, karena di balik kecantikan ini tersembunyi tenaga dan keganasan yang menakutkan. Mungkin sinar matanya yang bagaikan sepasang mata harimau marah itulah, atau tekukan bibirnya yang manis, entahlah.
Pendeknya, melihat ia berdiri dengan tubuh tegak dan dadanya membusung ke depan seperti orang yang menantang, kedua kakinya dipentang sedikit ke kanan kiri, tangan kanan bertolak pinggang dan tangan kiri meraba gagang pedang, orang yang kurang tabah hatinya merasa bulu tengkuknya berdiri.
Liok Kong cepat menengok dan terheranlah ia karena selama hidupnya ia merasa belum pernah bertemu dengan nona cantik ini. Sambil memutar tubuh di atas tempat duduknya, ia menghadapi gadis itu dan membentak garang,
“Siapakah kau dan mengapa datang-datang berkata kasar? Apakah kau seorang gila?”
Mulut gadis itu tersenyum, akan tetapi alangkah jauh bedanya dengan senyuman gadis penari tadi. Senyuman gadis ini biarpun amat manis akan tetapi merupakan penghinaan bagi orang dihadapannya.
“Liok Kong, manusia rendah! Aku tidak mau berbuat seperti orang lain, merendahkan diri memperkenalkan nama kepada binatang macam kau. Cukup kau ketahui bahwa aku adalah Hwe-thian Mo-li (Iblis Wanita Terbang)!”
Tidak hanya Liok Kong yang terkejut dan pucat mendengar nama ini, bahkan semua tokoh kangouw yang berada di situ menjadi tercengang. Nama Hwe-thian Mo-li ini di dalam dua tahun akhir-akhir ini telah terkenal sekali, terutama di kalangan hek-to (jalan hitam), yakni kalangan penjahat.
Jarang ada orang dapat melihat Hwe-thian Mo-li, karena iblis wanita itu bekerja dengan cepat, ganas, dan tidak pernah memperlihatkan diri. Oleh karena ini, jarang ada orang kang-ouw yang pernah melihat wajahnya, sungguhpun namanya telah didengar oleh semua orang.
Kini mendengar nama ini disebut, semua orang menjadi bengong dan terheran-heran. Memang pernah mereka dengar dari orang-orang yang telah bertemu muka dengan iblis wanita itu, bahwa Hwe-thian Mo-li adalah seorang dara yang cantik sekali, akan tetapi tidak pernah mereka sangka bahwa iblis wanita itu semuda dan secantik ini. Bagaimanakah seorang dara yang usianya kurang dua puluh tahun, yang demikian cantik jelita, disebut seorang iblis?
Adapun Toat-beng Sin-to Liok Kong, ketika mendengar nama ini, berdebarlah hatinya. Ia pernah mendengar bahwa iblis wanita ini memang berusaha mencarinya, dan bahkan seorang kawan baiknya telah tewas pula di dalam tangan Hwe-thian Mo-li. Ia masih belum mengerti mengapa wanita muda ini mencarinya dan hendak membunuhnya, dan mengapa pula iblis wanita ini telah membunuh kawan baiknya di Santung itu.
Dengan mengangkat dada, Liok Kong lalu turun dari tempat duduknya, berdiri dihadapan Hwe-thian Mo-li dan berkata, “Hwe-thian Mo-li! Kau adalah seorang kang-ouw yang baru saja muncul dan boleh dibilang masih seorang kanak-kanak. Akan tetapi ternyata mulutmu besar sekali. Kau berani menghina Toat-beng Sin-to Liok Kong, apakah kau telah bosan hidup? Sayang kemudaan dan kecantikanmu!
"Dan sebagai seorang kang-ouw, kaupun telah bertindak secara serampangan dan membabi buta. Kau datang memaki dan memusuhi aku tanpa alasan sama sekali. Bilakah kita pernah bertemu? Pernahkah aku, Toat-beng Sin-to mengganggumu atau memusuhimu? Ingat, gadis kecil, di sini berkumpul puluhan tokoh kang-ouw, dan kau tidak boleh berlaku sombong dan sewenangwenang!”
Pada saat itu terdengar suara ketawa nyaring dan tahu-tahu Thio Kun Si Pedang Maut telah melompat dan berdiri di dekat Liok Kong menghadapi Hwe-thian Mo-li. Jago pedang dari Kansu yang baru berusia tiga puluh tahun dan masih membujang ini.
Ketika tadi melihat Hwe-thian Moli, ia menjadi demikian kagum sehingga sampai beberapa lama tak dapat mengeluarkan sepata katapun. Dalam pandangan matanya, bahkan Hwe-thian Mo-li ini lebih cantik dan menarik dari pada gadis penari itu. Mungkin karena sikap Hwe-thian Mo-li yang gagah itulah yang menarik hatinya.
“Liok-lo-enghiong, serahkanlah yang galak ini kepadaku. Kau telah mempunyai kawan minum arak, sekarang datang giliranku. Ha, ha, ha!”
Biarpun hatinya agak merasa gelisah, mendengar ucapan Thio Kun ini, Liok Kong tersenyum senang. Ia maklum bahwa orang she Thio ini boleh diandalkan. “Nanti dulu, Thio-taihiap, biar aku bertanya dulu kepada nona ini mengapa dia demikian rindu untuk memiliki kepalaku yang tidak muda lagi!”
Hwe-thian Mo-li sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap Thio Kun, bahkan ia lalu berkata kepada Liok Kong, “Toat-beng-sin-to, mungkin kau belum pernah mendengar namaku, akan tetapi tentu kau takkan lupa akan Pat-jiu Kiam-ong (Raja Pedang Bertangan Delapan), bukan?”
Tiba-tiba wajah orang she Liok itu menjadi pucat sekali. Teringatlah ia akan pengalamannya belasan tahun yang lalu dan ketika ia teringat akan sahabat baiknya di Santung yang terbunuh oleh Hwe-thian Mo-li, diam-diam ia bergidik. Liok Kong adalah seorang yang cerdik dan ia maklum bahwa gadis ini lihai sekali. Kebetulan sekali Thio Kun yang sombong datang mencampuri urusan ini, maka ia pikir lebih baik mengoperkan gadis ganas ini kepada Si Pedang Maut.
“Thio-taihiap, kau minta aku menyerahkan nona ini kepadamu? Akan tetapi tidak dengarkah kau akan nama besarnya Hwe-thian Mo-li?”
Thio Kun tertawa bergelak, “Ha, ha, ha, biarpun ia disebut Iblis Wanita, kalau cantiknya seperti ini, siapakah yang akan takut menghadapinya?”
Liok Kong melompat mundur dan semua orang memandang ke arah Thio Kun dan Hwe-thian Moli dengan hati tegang dan tertarik. Pasti akan ada pertunjukan yang amat menarik, pikir mereka.
Apalagi orang-orang kang-ouw yang sudah mendengar nama Hwe-thian Mo-li, mereka ingin sekali menyaksikan nona itu bersilat. Nama Thio Kun tidak asing lagi dan sebagian besar orang kang-ouw yang hadir di ruangan itu maklumlah sudah akan kelihaian ilmu pedang dari Thio Kun.
“Nona,” kata Thio Kun dengan lagak sombong, “sudah lama aku mendengar nama Hwe-thian Mo-li dan oleh karena kita berdua adalah orang segolongan, mengapakah kau tidak ikut ke mejaku dan menikmati hidangan sambil minum arak wangi?”
Hwe-thian Mo-li tersenyum manis, akan tetapi dibalik senyumnya mengintai kemarahan besar. “Cih, orang she Thio! Siapakah yang tidak tahu bahwa kau adalah seorang perampok keji? Bagaimana orang macam kau berani menganggap aku orang segolongan? Aku datang untuk merenggut nyawa orang she Liok karena urusan dendam pribadi, tidak ada sangkut pautnya dengan kau atau dengan orang lain yang berada di sini! Akan tetapi.....”
Ia berhenti sebentar lalu melemparkan pandang mata menantang ke empat penjuru, “Jangan anggap bahwa kata-kataku ini menunjukkan bahwa aku takut! Siapa pun juga yang menghalangi aku mengambil kepala orang she Liok, boleh maju dan berkenalan dengan pedangku!”
“Aduh lagaknya! Pedang tumpul macam apakah yang kau bawa-bawa ke sini?”
Thio Kun mentertawakan, akan tetapi segera ia berseru kaget dan cepat membuang diri ke kiri untuk mengelak dari sambaran sinar kuning yang menyerang ulu hatinya. Entah bagaimana, tanpa kelihatan pandangan mata, tahu-tahu Hwe-thian Mo-li telah mencabut pedangnya dan telah mengirim serangan kilat menusuk ulu hatinya.
Pucatlah wajah Thio Kun, bukan hanya karena kaget, akan tetapi juga karena marah. Ia melihat betapa buruknya sarung pedang yang tergantung di pinggang gadis itu, akan tetapi setelah pedangnya dicabut, ternyata pedang itu berkilau mengeluarkan cahaya kekuningan.
“Masih adakah pikiranmu untuk membela jahanam she Liok dan menghadapi pedangku Thio Kun?” Hwe-thian Mo-li mengejek.
“Iblis wanita, kau kira kau akan dapat menyombongkan sedikit kepandaianmu di sini dan berani mengacau? Jangan kau membikin aku sampai menjadi marah. Kalau sekali pedang maut telah kucabut, sebelum ia mencium bau darah, ia takkan masuk kembali ke sarangnya!”
“Perampok hina dina, siapa takuti pedangmu?” kata pula Hwe-thian Mo-li dan ia memandang dengan cara menghina sekali.
Thio Kun tak dapat menahan kesabaran hatinya lagi. Ia berseru keras dan mencabut pedangnya yang berkilau dan mengeluarkan sinar putih kehijauan. “Kau perlu dihajar!” bentaknya dan cepat sekali pedang di tangannya bergerak menyerang dengan hebat sekali.
Hwe-thian Mo-li menangkis dan terdengar suara keras dibarengi bunga api yang berpijar. Thio Kun menjadi gentar sekali ketika pedangnya hampir saja terlepas dari pegangan karena benturan ini. Baiknya ia memiliki pedang mustika, kalau tidak, tentu pedangnya telah terbabat putus oleh pedang di tangan Hwe-thian Mo-li.
Nama besar Thio Kun sebagai si Pedang Maut bukan timbul karena ilmu pedangnya terlalu lihai, melainkan sebagian besar ditimbulkan oleh kekejaman pedangnya. Memang benar seperti yang dikatakannya tadi, tiap kali pedangnya meninggalkan sarung pedang, pedang itu belum dikembalikan ke dalam sarung sebelum berlepotan darah.
Oleh karena kekejamannya inilah maka perampok tunggal yang masih muda ini mendapat julukan Si Pedang Maut, walaupun maut yang tersebar dari pedangnya itu selalu mengambil kurban nyawa orang baik-baik. Kini menghadapi pedang pusaka di tangan Hwe-thian Mo-li, mana dia dapat berdaya banyak?
Hwe-thian Mo-li adalah murid terkasih dari seorang gagah perkasa di bukit Liong-cu san yang bernama Ong Han Cu dan berjuluk Pat-jiu Kiam-ong (Raja Pedang Bertangan Delapan) dan yang memiliki ilmu pedang luar biasa lihainya. Dengan serangan-serangan dari ilmu pedang Liong-cu Kiam-hwat, baru beberapa belas jurus saja, Thio Kun menjadi sibuk sekali.
Ia masih berusaha mempertahankan dengan ilmu pedang dari Butong-pai, namun karena tingkat ilmu pedangnya memang kalah jauh, dalam jurus kedua puluh terdengar ia menjerit keras dan robohlah ia dengan pundak terbabat pedang.
“Liok Kong, kau majulah untuk membuat perhitungan secara gagah. Kalau tidak mau maju, terpaksa aku turun tangan!” berkata Hwe-thian Mo-li dengan suaranya yang masih merdu akan tetapi mengandung ancaman maut.
Tadi ketika Liok Kong menyaksikan kelihaian Hwe-thian Mo-li, hatinya telah menjadi jerih. Ia sendiri adalah seorang ahli golok dan belum tentu ia akan kalah terhadap permainan pedang Hwe-thian Mo-li, akan tetapi oleh karena hatinya telah tidak karuan rasanya ketika ia mendengar nama Pat-jiu Kiam-ong tadi, ia lalu mencari jalan paling aman. Ia telah mendekati Ngo-lian Hengte, sahabat-sahabat baiknya, ketua dari Ngo-lian-kauw di Hopak itu.
Ngo-ciangbun atau lima ketua dari Ngo-lian-kauw ini memang telah lama merasa gemas dan penasaran melihat sepak terjang Hwe-thian Mo-li yang dianggapnya tidak tahu aturan. Mereka berlima takkan memperdulikan andaikata Hwe-thian Mo-li melakukan perhitungan dengan Liok Kong secara pribadi, akan tetapi jangan di dalam pesta seperti ini.
Menantang tuan rumah dalam sebuah pesta tanpa mengingat akan kehadiran sekian banyak orang-orang gagah yang menjadi tamu, berarti menghina para tamu itu pula. Oleh sebab itu, ketika Liok Kong minta bantuan mereka, dengan segera mereka menyanggupi.
Maka ketika mereka melihat Hwe-thian Mo-li melompat maju hendak menyerang Liok Kong, kelima orang itu segera berdiri dari tempat duduk mereka dan menghadang di depan tuan rumah.
“Hwe-thian Mo-li, kau benar-benar terlalu menghina orang!” bentak Kui Jin, saudara tertua dari kelima jago Hopak itu. “Urusan pribadi dan sakit hati memang sewajarnya diurus, akan tetapi sikapmu yang mendesak tuan rumah di depan para tamu dari dunia kang-ouw yang sekian banyaknya ini benar-benar keterlaluan sekali. Kami harap kau suka memandang kepada kami dan pergi dari sini, jangan mengacaukan pesta ini. Kalau kau melanjutkan sikapmu yang kurang ajar, terpaksa kami Ngo-lian Hengte takkan tinggal diam saja!”
Hwe-thian Mo-li tetap tersenyum mengejek seakan-akan nama Ngo-lian Hengte yang amat tersohor itu bukan apa-apa baginya. “Sudah kukatakan tadi bahwa siapa saja yang membela jahanam Liok Kong, ia akan berhadapan dengan pedangku!”
“Wanita buas!” bentak Kui Sin anggauta termuda dari kelima ketua itu sambil mencabut pedangnya lalu menyerang hebat.
“Bagus, makin banyak lawan makin gembira!” seru Hwe-thian Mo-li dan ia segera memutar pedangnya untuk menangkis.
Sebentar saja ia dikurung oleh kelima orang kakak beradik she Kui yang mainkan ilmu pedang Ngo-lian-kauw dan mengurungnya rapat-rapat. Akan tetapi, Hwethian Mo-li tidak menjadi gentar, bahkan nampak gembira sekali, mulutnya tersenyum-senyum dan pedangnya bergerak makin lama makin kuat.
Sementara itu, Liok Kong masih merasa gelisah lalu minta tolong kepada beberapa orang tamu lain yang sepaham dengan dia, maka kini telah ada belasan orang yang siap sedia dengan senjata di tangan. Mereka bersiap untuk mengeroyok Hwe-thian Mo-li andaikata kelima jago dari Hopak itu sampai kalah.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Liok Kong dan diam-diam ia lalu melarikan diri melalui pintu belakang. Akan tetapi, baru saja kakinya melangkah ke ambang pintu, tiba-tiba ia mendengar suara halus merdu dibelakangnya.
“Liok lo-ya, kau hendak pergi kemanakah?”