2. Perlombaan Mencari Musuh Besar
LIOK KONG cepat menengok dan alangkah herannya ketika ia melihat Ong Lian Hong, nona penari cantik jelita tadi telah berdiri dengan sikap menarik dihadapannya. Ketegangan yang ditimbulkan oleh Hwe-thian Mo-li membuat semua orang lupa kepada nona penari ini yang hanya berdiri memandang Hwe-thian Mo-li dengan mata tajam dan sebentar-sebentar menenggak arak wangi sehingga habis beberapa belas cawan tanpa menjadi mabok sedikitpun.
Kalau saja ia tidak sedang ketakutan sangat, dan keadaan tidak sedang berbahaya bagi keselamatannya, tentu Liok Kong akan menjadi girang sekali dan akan menubruk tubuh yang amat menggiurkan itu untuk dibawa ke dalam kamarnya. Akan tetapi pada saat seperti itu, siapakah yang ingat akan kesenangan?”
“Siocia, kau bersembunyilah! Nanti kalau sudah aman aku akan kembali ke sini!” katanya lalu hendak berlari melalui pintu itu.
“Eh, perlahan dulu, loya!” tiba-tiba terdengar nona manis itu mencegah dengan halus dan bagaikan seekor naga merah, selendang merah yang serupa benar dengan yang tadi dibeli oleh Liok Kong, melayang melalui atas kepala si kakek itu dan ujungnya lalu membalik menyambar ke arah kedua matanya.
Liok Kong terkejut sekali karena sambaran ini bukan main kerasnya sehingga anginnya telah mendahului ujung selendang itu. Ia cepat mengelak dan membalikkan tubuhnya. Ia melihat nona penari itu masih tersenyum, bahkan lebih manis dari pada tadi, akan tetapi sepasang matanya memancarkan cahaya yang aneh dan yang mengingatkan Liok Kong akan pandang mata seorang yang dulu amat dibenci dan ditakuti.
“Nah, nah, kau mulai teringat, bukan? Pandanglah, pandanglah baik-baik, Liok Kong. Adakah persamaan antara wajahku dengan wajah mendiang ayahku Ong Han Cu yang telah kau binasakan dengan curang?”
Menggigil seluruh tubuh Liok Kong mendengar ucapan ini. Ia merasa betapa lehernya seperti dicekik. Dengan muka pucat ia menudingkan telunjuk ke arah nona itu sambil berkata gemetar. “Kau..... kau..... puteri Pat-jiu Kiam-ong....??”
Lian Hong tersenyum dan begitu tangan kanannya bergerak, ia telah mengeluarkan sebuah pedang yang amat indah dan aneh. Pedang ini demikian tipisnya sehingga tadi telah ia pakai sebagai sabuk tanpa diketahui oleh orang lain karena gagangnya juga kecil dan sebagian dari pada gagang tipis ini tertutup oleh mantelnya yang lebar.
“Bangsat she Liok, bersiaplah untuk mampus!” Suara Lian Hong masih terdengar halus, akan tetapi tiba-tiba pedang dan selendangnya meluncur ke depan melakukan dua serangan maut yang amat berbahaya.
Sementara itu, Liok Kong telah mencabut goloknya dan ia segera melakukan perlawanan. Rasa sayang dan cintanya terhadap gadis itu lenyap seketika itu juga, terganti oleh rasa takut dan nafsu membunuh. Ia pikir bahwa belum tentu gadis ini selihai Hwe-thian Mo-li dan dengan ilmu goloknya tentu ia akan dapat merobohkan puteri musuh besarnya ini, maka begitu bergerak, ia lalu mengeluarkan ilmu goloknya yang ganas dan dahsyat.
Tidak percuma Liok Kong mendapat julukan Toat-beng Sin-to atau Golok sakti pencabut nyawa, karena memang ilmu goloknya lihai sekali. Kalau saja ia tidak sedang gugup dan ketakutan, belum tentu nona jelita itu akan dapat mengalahkannya dalam waktu singkat.
Akan tetapi, segera ia mengeluh karena ternyata olehnya bahwa Ong Lian Hong, nona yang menjadi puteri dari Pat-jiu Kiam-ong dan yang telah menyamar seperti seorang penari ini memiliki kepandaian yang amat mengagumkan dan sama sekali tidak terduga-duga!
Tidak saja ilmu pedangnya luar biasa sekali, merupakan campuran dari ilmu pedang Liong-cukiam hwat dan ilmu pedang lain cabang, juga selendang merahnya amat lihai dan berbahaya.
Selendang merah itu menyambar-nyambar mendatangkan kekacauan terhadap pandangan mata Liok Kong dan ujungnya merupakan senjata penotok jalan darah yang amat berbahaya!
Oleh karena mereka bertempur di ruang sebelah dalam lagi, maka tak seorangpun tamu yang melihat pertempuran mereka, kecuali beberapa orang pelayan yang hanya berlari ke sana ke mari tidak berani membantu. Di luar masih terdengar senjata beradu, tanda bahwa Hwe-thian Mo-li masih dikeroyok oleh orang banyak.
Memang inilah yang dikehendaki oleh Lian Hong, yakni berhadapan satu lawan satu dengan musuh besarnya ini! Dengan mengerahkan kepandaiannya, akhirnya ia dapat mendesak lawannya yang menjadi makin bingung dan gugup.
“Lebih baik lari saja,” pikir Liok Kong yang mencari kesempatan dan jalan keluar.
Lian Hong ketika melihat permainan golok lawannya diam-diam mengakui akan kelihaian lawan dan apabila lawannya bertempur dengan tenang, agaknya takkan mudah baginya untuk mengalahkan orang tua ini. Nona yang cerdik dan gagah ini ketika melihat gerakan Liok Kong dan pandangan matanya yang selalu mencari kesempatan, maklum akan maksud lawannya.
Ia lalu menggunakan akal dan sengaja mengendurkan serangannya dan menjahui pintu yang menuju ke belakang. Melihat kesempatan yang dinanti-nantikan ini, cepat Liok Kong menyerang hebat sehingga Lian Hong terpaksa mengelak mundur dan kakek itu lalu melompat melalui pintu yang terbuka.
Akan tetapi, sebelum ia keluar dari pintu itu, ia mendengar suara angin dan melihat selendang merah dari lawannya meluncur cepat mengarah kakinya. Ia cepat melompat ke atas akan tetapi tiba-tiba pedang ditangan Lian Hong telah digerakkan dengan tipu gerakan Naga Sakti Menyemburkan Mustika.
Gadis pendekar ini telah melontarkan pedangnya yang meluncur cepat bagaikan anak panah dan tanpa dapat ditangkis atau dielakkan oleh Liok Kong yang sedang melompat menghindarkan diri dari serangan selendang merah, pedang itu nancap pada punggungnya dan berhenti di antara tulang-tulang iganya.
Inilah kepandaian istimewa dari Ong Lian Hong. Tidak mudah untuk mempelajari ilmu serangan istimewa ini, karena selain bentuk pedang tidak seperti bentuk senjata rahasia yang mudah dilemparkan, juga pedangnya itu amat tipis, namun berkat kemahirannya menyambitkan dan berkat tenaganya yang sudah cukup terlatih, pedang itu dapat menancap ke arah sasaran dengan tepat dan juga kuat sekali.
Liok Kong hanya dapat mengeluarkan teriakan satu kali, karena Lian Hong segera mencabut pedangnya dan sekali sabet, leher Liok Kong telah putus. Sementara itu, Hwe-thian Mo-li masih dikeroyok rapat-rapat oleh para tamu yang membela tuan rumah. Tadi ketika Ngo-lian Hengte maju mengurungnya, ia telah menjadi amat marah.
Pedangnya bergerak ganas sekali dan baru beberapa jurus saja, Kui Ti dan Kui Sin terpaksa telah mengundurkan diri karena terluka oleh ujung pedang pada lengan dan paha. Tiga orang kakak mereka yang masih mengurung juga agaknya tidak akan dapat menang, melihat betapa sinar pedang Hwe-thian Mo-li bergulung-gulung makin membesar dan mengganas.
Melihat keganasan Hwe-thian Mo-li, belasan orang yang sudah menerima permintaan Liok Kong untuk membantu, segera mengepung maju dan sebentar saja kepungan orang terhadap Hwethian Mo-li makin rapat saja. Namun nona ini benar-benar luar biasa sekali.
Biarpun senjata para pengeroyoknya datang bagaikan air hujan menimpa ke arah tubuhnya, ia dapat mainkan pedangnya sedemikian rupa untuk menangkis dan melindungi tubuhnya, bahkan ia masih dapat merobohkan beberapa orang lagi.
Akan tetapi, lambat laun ia mulai merasa lelah juga dan hatinya amat mendongkol. Ia sengaja datang hendak membalas dendamnya kepada Liok Kong, kini orang yang dicari dapat melarikan diri sedangkan ia terpaksa harus menghadapi beberapa orang kang-ouw yang mengeroyoknya.
Selagi ia mencari jalan untuk meninggalkan semua lawannya dan mengejar Liok Kong, tiba-tiba terdengar seruan halus, “Hwe-thian Mo-li, inilah hadiah untukmu!” dan sebuah benda besar bulat menyambar ke arah nona yang sedang mengamuk ini.
Tidak hanya Hwe-thian Mo-li yang merasa kaget dan heran, akan tetapi juga para pengeroyoknya memandang benda yang menyambar itu dan ketika melihat benda itu jatuh di atas lantai, mereka berseru terkejut dengan muka pucat karena benda itu adalah kepala dari Liok Kong.
Sebaliknya, ketika Hwe-thian Mo-li memandang dan melihat kepala musuh besarnya ini, ia menjadi heran sekali. Pedangnya berkelebat ke arah kepala itu dan “Crack!” kepala itu terbelah menjadi dua. Keadaan menjadi kacau balau. Melihat tuan rumah telah tewas dalam keadaan amat mengerikan ini, semua tamu yang tadinya mengurung Hwe-thian Mo-li, menjadi kehilangan semangat dan mulai mengundurkan diri.
Dan di dalam kekacauan ini, Hwe-thian Mo-li yang masih mainkan pedangnya, melihat bayangan penari cantik itu bergerak lincah sekali, melompat dari ruang dalam dan dengan sebuah tendangan ia merobohkan Thio Kun yang berdiri menonton pertempuran sambil memegangi pundaknya yang tadi terluka oleh ujung pedang Hwe-thian Mo-li.
Tanpa dapat berteriak lagi, Thio Kun roboh terguling dan cepat sekali tangan penari yang cantik itu menyambar ke bawah, terdengar pakaian robek dan patung Kilin tadi kini telah berada ditangan penari itu yang cepat melompat pergi dari ruangan itu.
Hwe-thian Mo-li merasa tak perlu lagi melanjutkan pertempuran karena kini musuhnya telah tewas. Ia memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga para pengeroyok bergerak mundur, lalu tiba-tiba tubuhnya dienjotkan ke atas dan melompatlah ia ke ruang depan sambil berseru.
“Sahabat lancang, tunggu dulu!” Ia masih dapat melihat bayangan nona penari itu berlari di sebelah kanan rumah gedung maka iapun lalu mempercepat gerakan kakinya mengejar.
Nona penari itu menengok dan mulutnya tersenyum geli ketika ia melihat Hwe-thian Mo-li mengejar. Iapun lalu mengerahkan kepandaiannya berlari cepat dengan ilmu lari Teng-peng touw-sui. Melihat betapa bayangan yang ramping di depan itu kini berlari makin cepat keluar dari kota, Hwe-thian Mo-li menggigit bibir dan mempercepat pengejarannya dengan ilmu lari Hwehong-sut.
Kejar mengejar terjadi dan Hwe-thian Mo-li menjadi makin mendongkol, gemas, marah dan penasaran oleh karena betapapun ia mengerahkan kepandaiannya berlari cepat, ia tidak dapat mengejar gadis penari itu. Sebaliknya, yang dikejar juga tak dapat memperjauh jarak di antara mereka ternyata bahwa ilmu kepandaian mereka dalam hal ilmu berlari cepat ternyata setingkat.
Setelah kejar mengejar sejauh tiga puluh li dan mereka telah tiba di tepi sungai Yang-ce, nona penari itu sambil tertawa-tawa lalu berhenti menanti kedatangan Hwe-thian Mo-li.
Dengan muka merah, Hwe-thian Mo-li menudingkan telunjuknya ke arah hidung nona penari itu sambil berkata ketus, “Siapakah kau yang sombong dan lancang ini? Mengapa kau berani mati sekali mendahului aku yang hendak memenggal leher binatang Liok Kong? Lekas katakan apa alasanmu. Kalau tidak jangan harap aku Hwe-thian Mo-li dapat mengampuni kelancanganmu?”
Dara penari yang lihai itu tersenyum manis sekali dan menahan gelinya. “Kau mau mengetahui namaku?”
“Ya, sebutkan namamu. Cepat!”
“Aku bernama Hwe-thian Sian-li (Bidadari Terbang)!”
Makin merahlah muka Hwe-thian Mo-li mendengar ini. Terang bahwa gadis penari ini main-main terhadapnya. Secepat kilat ia mencabut pedangnya dari pinggang dan memandang dengan mata melotot. “Kau hendak mengembari julukanku? Mengapa tidak memakai julukan Hwe-thian Mo-li sekali agar sama?” bentaknya.
Ong Lian Hong, dara penari itu tersenyum. “Untuk apa memakai nama seperti itu? Siapa suka menyebut diri sebagai Mo-li atau Iblis Wanita? Sungguh nama yang buruk dan menakutkan. Bagiku, lebih baik aku memakai nama Hwe-thian Sian-li!”
Hwe-thian Mo-li merasa terpukul oleh alasan ini. “Hm, tidak saja kau cantik, akan tetapi juga lidahmu amat lihai bicara. Lekas kau katakan mengapa kau berlancang tangan mendahului aku membunuh Liok Kong!”
“Cici, bukankah aku telah membantumu? Mengapa kau marah-marah?” gadis penari itu bertanya sambil memandang heran. Ia belum kenal adat yang keras dari Hwe-thian Mo-li dan karena adatnya inilah maka gadis ini disebut Hwe-thian Mo-li atau Iblis Wanita.
“Membantu? Siapa sudi kau bantu? Kau bocah sombong, dengan sedikit kepandaianmu itu, kau sudah berani membantu tanpa kuminta? Kau benar-benar lancang sekali!”
“Enci Siang Lang, kau benar-benar galak sekali!” tiba-tiba penari ini berkata sambil tersenyum manis. “Kau hendak membalas dendam kepada jahanam Liok Kong, apakah orang lain juga tidak hendak membalas dendam? Apakah dendam hanya boleh kau miliki sendiri?”
Hwe-thian Mo-li tidak memperhatikan ucapan ini karena ia masih berdiri bengong mendengar betapa gadis cantik ini menyebut namanya yang jarang sekali diketahui orang lain. “Bagaimana kau bisa mengetahui namaku? Siapakah kau?” tanyanya.
“Tentu saja aku mengenal namamu. Kau bernama Nyo Siang Lan, murid dari Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu di Liong-cu san! Bukankah ini cocok sekali?”
“Bocah! Kau makin memperolok-olokku. Hayo katakan kau siapa dan bagaimana sampai dapat mengetahui keadaanku!”
“Kalau aku tidak mau memberi tahu padamu?”
“Terpaksa ku paksa dengan pedangku!”
“Hm, Hwe-thian Mo-li, memang aku ingin sekali mencoba kepandaianmu. Marilah kita main-main sebentar! Sambil berkata demikian, Lian Hong meloloskan pedangnya yang tipis dan bersiap memasang kuda-kuda yang disebut Bunga Teratai Mengambang di Air. Sikapnya menarik sekali, matanya yang indah berseri, mulutnya tersenyum manis dan lagaknya nakal sekali.
Hwe-thian Mo-li diam-diam merasa kagum melihat kecantikan lawannya ini, akan tetapi ia juga merasa amat penasaran. Belum pernah ada orang, apalagi seorang gadis muda seperti ini, berani mengganggunya sampai sedemikian rupa.
“Bagus, kau memang perlu diberi sedikit hajaran!” bentaknya dan secepat kilat ia menyerang gadis itu.
Serangannya, seperti biasa, cepat dan ganas sekali sehingga Lian Hong menjadi terkejut dan tidak berani main-main lagi. Gadis ini lalu memutar pedangnya yang tipis dan bersilat sama cepatnya mengimbangi permainan silat Hwe-thian Mo-li.
Kalau saja Lian Hong bersilat mempergunakan ilmu pedang lain dan sanggup menghadapinya, Hwe-thian Mo-li tidak akan demikian terheran, karena memang di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang pandai. Akan tetapi yang membuatnya merasa terheran-heran adalah bahwa ilmu pedang gadis cantik ini mirip sekali dengan ilmu pedangnya sendiri, yakni Liong-cukiam-hwat. Pada dasarnya sama, hanya terdapat kembangan-kembangan lain yang agaknya terjadi dari percampuran dua ilmu pedang.
“Bocah sombong, dari mana kau mencuri ilmu pedang Liong-cu-kiam-hwat?” Hwe-thian Mo-li mmbentak sambil mengirim tusukan dengan gerak tipu Kim-so-tui-tee (Kunci Emas Jatuh di Tanah) yang dilakukan cepat sekali.
Lian Hong dengan tenang sekali karena sudah mengenal gerakan ini dengan baik, lalu mengelak ke kiri sambil menyabetkan pedangnya menangkis dengan gerakan Sayap Walet Mengipas Air.
“Siapa mencuri ilmu pedang? Hayo keluarkanlah seluruh kepandaianmu kalau kau bisa!” Lian Hong menantang sambil tersenyum-senyum.
Senyum yang manis sekali dan dapat melumpuhkan kalbu setiap laki-laki, ternyata bagi Hwethian Mo-li merupakan api yang panas membakar hatinya. Ia menggertak giginya dan berseru keras.
“Kau tidak tahu diberi hati! Kau minta dirobohkan dengan kekerasan? Baik, kau lihatlah!”
Sambil berkata demikian, Hwe-thian Mo-li lalu mendesak maju dan mainkan pedangnya dengan luar biasa cepatnya. Ia benar-benar telah mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencari kemenangan. Tadipun ketika menghadapi banyak orang di rumah gedung Liok Kong, ia tidak mengeluarkan seluruh kepandaiannya seperti sekarang ini.
“Hebat!” Lian Hong tak tertahan lagi berseru kagum dan iapun harus mengerahkan ginkang dan ilmu pedangnya untuk menjaga diri dan balas menyerang.
Pertempuran antara kedua nona jelita ini benar-benar hebat dan ramai sekali. Kian lama kian terheran-heranlah hati Hwe-thian Mo-li, karena jarang sekali ada orang yang dapat mempertahankan diri lebih dari tiga puluh jurus apabila ia telah mengerahkan seluruh kepandaiannya seperti ini.
Akan tetapi gadis muda ini dapat melayaninya sampai lima puluh jurus, bahkan dapat membalas dengan serangan-serangan dahsyat, mempergunakan pedang tipis dan selendang merah. Memang, melihat kehebatan sepak terjang Hwe-thian Mo-li, terpaksa Lian Hong mengeluarkan selendang merahnya untuk membantu gerakan pedang di tangan kanan.
Setelah memegang dua macam senjata yang lihai ini, barulah ia dapat mengimbangi permainan Hwe-thian Mo-li. Akan tetapi, Lian Hong makin lama makin kagum saja karena ia maklum bahwa biarpun kepandaian mereka seimbang, namun ia kalah tenaga dan kalah ulet. Juga gerakan-gerakan Hwe-thian Mo-li amat ganas dan benar-benar merupakan penyebar maut sehingga sekali saja terkena serangannya, sukarlah untuk menyelamatkan diri.
Perlahan akan tetapi pasti, Lian Hong mulai terdesak mundur setelah dapat mengadakan perlawanan sengit selama tujuh puluh jurus lebih. Tiba-tiba Lian Hong menangkis pedang Hwe thian Mo-li sambil mengenjot kedua kakinya, melompat ke belakang empat tombak jauhnya dan ketika ia turun ke atas tanah, ia berkata,
“Sudah, sudah, enci Siang Lan! Aku terima kalah! Biarlah kuceritakan kepadamu siapa sebenarnya aku ini!”
Hwe-thian Mo-li menyimpan pedangnya, menghampiri gadis itu sambil menghela napas berulang-ulang dan memandang kagum. “Hebat sekali ilmu pedangmu adik yang baik. Baru menyaksikan kepandaianmu saja aku tak dapat marah lagi kepadamu. Sekarang, jadilah seorang adik yang baik budi dan jangan kau mengganggu aku lebih jauh dan ceritakanlah sebenarnya siapakah kau ini?”
Wajah yang cantik jelita dari gadis penari itu menjadi bersungguh-sungguh dan ia memandang dengan mata sayu mengharukan ketika ia berkata, “Enci Siang Lan, aku mendengar namamu dari ayahku sendiri.”
“Siapakah ayahmu?”
“Tentu ayah tak pernah menceritakan halnya kepadamu. Aku bernama Ong Lian Hong dan orang yang selama ini menjadi gurumu, yakni Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu, adalah ayahku!”
Terbelalaklah mata Hwe-thian Mo-li memandang Lian Hong, penuh ketidak percayaan. “Betapa mungkin? Mendiang suhu tak pernah mempunyai anak!” serunya sambil memandang tajam dengan mata menyelidik.
Wajah yang manis itu kembali berseri dan bagaikan disulap, senyum yang menggiurkan itu timbul kembali pada bibirnya. Lian Hong memang berwatak gembira dan jenaka sekali, sukar baginya untuk bertahan lama-lama dalam keharuan atau kesedihan.
“Tentu saja, cici!” jawabnya menahan ketawa. “Bagaimana ayah bisa beranak? Yang melahirkan aku adalah ibuku, bukan ayah!”
Hwe-thian Mo-li tertegun mendengar ini. Ia merasa betapa aneh gadis muda ini, bahkan ia menganggap otak gadis ini sudah miring. Memang, watak Lian Hong adalah kebalikan dari pada wataknya yang selalu bersungguh-sungguh dan keras bagaikan batu karang.
“Adik Lian Hong, jangan kau main-main! Aku telah ikut suhu selama sembilan tahun dan belum pernah aku mendengar suhu menyebut tentang isteri atau puterinya. Belum pernah pula aku melihat suhu menjumpai isteri dan anaknya. Benar-benarkah ceritamu tadi?”
“Terserah kepadamu, enci Siang Lan, terserah kau percaya atau tidak, bagiku tiada bedanya." Gadis ini lalu bangkit berdiri.
“Eh... adikku yang baik, Andaikata benar kau puteri mendiang suhu, siapakah gerangan ibumu dan di mana kau dan ibumu tinggal?”
Lian Hong menghela napas panjang. “Enci, harap kau maafkan. Untuk pertanyaan ini aku belum dapat menjawab, belum tiba waktunya. Mendiang ayah sendiri merahasiakan kepadamu, dan aku mempunyai alasan yang amat kuat untuk merahasiakannya pula. Yang terpenting sekarang adalah usaha pembalasan dendam dari sakit hati ayah. Tahukah kau bahwa masih ada dua orang lagi yang harus kita balas ?”
“Tiga, bukan dua. Seorang she Yap yang menjadi kauwsu (guru silat), seorang hwesio, dan seorang hartawan she Cin!”
“Salah.” Jawab Lian Hong sambil tersenyum, “Hanya ada dua, yakni hwesio itu dan hartawan she Cin. Adapun orang she Yap itu hanya dapat kau cari di dasar neraka!”
Hwe-thian Mo-li memandang tajam. “Hm, tentu kau telah berhasil membunuh orang she Yap itu, bukan?”
“Dan kau sudah berhasil membunuh seorang lagi di Santung!”
Hwe-thian Mo-li memandang tak puas. “Masih kalah olehmu, karena Liok Kong pun tewas dalam tanganmu. Kau telah membalas dua orang musuh dan aku hanya baru seorang saja.”
Lian Hong tersenyum gembira. “Mari kita berlumba, cici. Musuh kita tinggal dua orang dan marilah kita berlumba. Kau sudah kalah satu olehku, maka kalau yang dua ini kau tak dapat tewaskan semua, kau takkan dapat menang dari ku! Nah, sampai bertemu kembali, cici yang baik!” Setelah berkata demikian, Lian Hong melompat jauh dan berlari cepat.
“Nanti dulu, adik Liang Hong ..! Mengapa kita tidak melakukan perjalanan bersama dan bersama pula mencari musuh-musuh kita?”
Tanpa menoleh Lian Hong menjawab, “Tidak bisa cici! Tak Mungkin ! Selamat berpisah!”
Hwe-thian Mo-li hendak mengejar, akan tetapi ia menghela napas dan mengurungkan niatnya. Ia maklum bahwa usahanya mengejar gadis itu akan sia-sia belaka, karena kepandaian mereka dalam ilmu berlari cepat seimbang. Dan lagi, kalau orang tidak mau didekati, untuk apa ia harus mendesak dan memaksanya?
Ia lalu duduk di bawah pohon, menyandarkan punggungnya pada batang pohon itu dan mengenangkan suhunya. Sungguh amat mengherankan, kalau betul-betul suhunya itu mempunyai isteri dan puteri seperti Lian Hong, mengapa suhunya tak pernah menceritakan hal itu kepadanya?
Agar jelas bagi pembaca tentang timbulnya permusuhan dan dendam yang terkandung di dalam hati Hwe-thian Mo-li dan Lian Hong, baiklah kita biarkan dulu Hwe-thian Mo-li duduk termenung di bawah pohon itu dan marilah kita menengok kembali kurang lebih satu setengah tahun yang lalu, yakni sebelum pendekar besar Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu tewas secara amat menyedihkan.
Ong Han Cu yang berjuluk Pat-jiu Kiam-ong (Raja Pedang Tangan Delapan) adalah seorang tokoh persilatan yang tinggal di Gunung Liong-cu-san. Dari julukannya saja, yakni raja pedang, dapat diduga bahwa ia adalah seorang ahli silat pedang yang luar biasa.
Memang, di antara semua ilmu pedang pada waktu itu, boleh disebut ilmu pedang dari Ong Han Cu menduduki tempat yang amat tinggi. Ilmu pedang ini, ia peroleh dari seorang pertapa yang mengasingkan diri di sebuah gua di Gunung Liong-cu-san dan secara tak sengaja tempat ini didapatkan olehnya.
Ketika ia mendapatkan gua itu, yang ia lihat hanyalah rangka manusia yang masih utuh sedang duduk bersila di dalam gua, tanda bahwa manusia ini dulu telah meninggal dunia dalam keadaan bersila. Memang luar biasa sekali mengapa rangka itu masih dapat berduduk dan telah membatu.
Agaknya hal ini terjadi karena dari langit-langit gua itu menetes-netes turun air kapur yang membuat tulang-tulang itu menjadi kuat dan tidak terlepas sambungannya. Selain rangka ini, Ong Han cu juga menemukan sebuah kitab pelajaran ilmu pedang yang diciptakan oleh orang sakti yang telah menjadi rangka itu.
Demikianlah, dengan amat tekunnya Ong Han Cu mempelajari ilmu pedang ini yang kemudian ia beri nama Liong-cu Kiam-hwat, sesuai dengan nama gunung di mana ia mendapatkan ilmu pedang ini. Semenjak saat itu, ia menjadi jago pedang yang luar biasa dan pernah ia sengaja naik ke Kun-lun-san dan Go-bi-san untuk menguji ilmu pedang dengan tokoh-tokoh ilmu pedang di kedua cabang persilatan besar itu. Ternyata ia telah berhasil baik dan jarang sekali ada ahli pedang yang dapat mengalahkan Liong-cu Kiam-hwat.
Kemudian, ia bertemu dengan Nyo Siang Lan, seorang anak perempuan yatim piatu yang berusia sepuluh tahun dan hampir mati kelaparan di sebuah kampung yang dilanda banjir. Tergeraklah hati Ong Han Cu melihat anak perempuan yang ia lihat berbakat baik sekali itu, maka ia lalu mengambil Siang Lan menjadi muridnya.
Mungkin karena terlalu menderita di waktu kecilnya, Nyo Siang Lan menjadi seorang gadis yang amat keras hati dan selalu bersungguh-sungguh jarang sekali bergembira. Hal itu sesuai pula dengan watak Ong Han Cu yang juga pendiam.
Sebagai seorang pendekar gagah yang budiman, Ong Han Cu telah banyak mengulurkan tangan mempergunakan pedangnya yang tajam untuk menolong orang-orang yang lemah tertindas dan membasmi kejahatan. Hal ini membuat nama Pat-jiu Kiam-ong terkenal sekali dan nama ini dipuja-puja oleh banyak orang yang telah ditolongnya. Akan tetapi sebaliknya juga menimbulkan sakit hati kepada banyak orang-orang kang-ouw yang mengambil jalan hitam.
Dengan amat tekunnya, Nyo Siang Lan mempelajari ilmu silat dari suhunya. Ong Han Cu amat sayang kepada murid tunggalnya ini karena selain amat rajin, juga muridnya ini benar-benar berbakat baik dan amat berbakti kepadanya. Hal ini tidak mengherankan oleh karena Nyo Siang Lan tidak hanya menganggap dia sebagai gurunya, bahkan menganggapnya sebagai pengganti orang tuanya.
Sering kali Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu turun gunung meninggalkan Siang Lan seorang diri dan memesan agar supaya murid itu berlatih dengan rajin. Tiap kali guru ini kembali ke puncak Liong-cu-san dengan hati bangga dan girang ia melihat kemajuan-kemajuan luar biasa pada muridnya. Diam-diam ia merasa girang sekali karena tidak keliru memilih murid.
Kurang lebih satu setengah tahun yang lalu, ketika Siang Lan telah berusia sembilan belas tahun, gurunya berkata, “Siang Lan, muridku yang baik. Mungkin tidak kau sadari bahwa kau telah mewarisi seluruh kepandaianku. Kau benar-benar memuaskan hatiku, Siang Lan, dan aku tidak dapat mengajarkan apa-apa lagi kepadamu, Liong-cu Kiam-Hwat telah kau pelajari sampai habis.”
“Bagaimana teecu dapat percaya ucapan ini, suhu,” bantah Siang Lan. “Tiap kali berlatih dengan suhu, teecu masih merasa amat berat dan takkan dapat menahan diri lebih dari empat puluh jurus.”
Gurunya tersenyum tenang. “Tentu saja, anak bodoh. Hal ini bukan karena aku masih memiliki gerak tipu yang belum kau pelajari, akan tetapi hanya karena selain kalah tenaga dan kegesitan, kaupun kalah pengalaman. Ketahuilah bahwa ilmu silat hanya akan bertambah maju dengan pesat apabila kau pergunakan dalam pertempuran yang sungguh-sungguh.
"Dan apabila kau seringkali menghadapi lawan-lawan tangguh, dengan sendirinya ilmu pedangmu akan menjadi makin sempurna. Aku telah menghadapi banyak sekali ahli silat, maka dengan sendirinya gerakanku lebih matang dari padamu. Oleh karena itu muridku, sudah menjadi hak mu untuk turun gunung dan meluaskan pengalamanmu.
"Kau turunlah dari gunung ini, pergunakanlah kepandaianmu yang kau pelajari selama sembilan tahun dariku itu untuk menolong sesama hidup. Dengan demikian, takkan sia-sialah kau membuang sekian banyak tenaga, pikiran, dan waktu untuk mempelajari ilmu silat dan tidak sia-sia pula aku mengambil kau sebagai murid.”
Maka turunlah Siang Lan dari puncak Liong-cu-san dan mulailah ia merantau di dunia kang-ouw. Sebentar saja pedangnya telah berbuat banyak dan karena ia selalu berlaku keras terhadap golongan penjahat, tanpa mengenal ampun, maka ia lalu mendapat julukan Hwe-thian Mo-li.
Akan tetapi, setelah merantau selama satu setengah tahun dan kembali ke Gunung Liong-cu-san, ia mendapatkan suhunya dalam keadaan yang amat menyedihkan. Sebulan yang lalu, suhunya itu telah didatangi oleh lima orang dan kini suhunya telah dibuntungi kedua kaki tangannya dan berada dalam perawatan seorang penduduk kampung di lereng gunung itu. Tentu saja Siang Lan merasa terkejut dan sedih sekali. Ia menubruk suhunya dan menangis tersedu-sedu.
“Suhu, kau kenapakah, suhu? Siapakah yang melakukan perbuatan keji ini? Katakanlah, suhu, siapa yang berani mencelakakan suhu seperti ini? Biar teecu pergi mencarinya, membunuh dan menghancur-leburkan kepalanya!”
Biarpun keadaannya amat lemah dan payah, Ong Han Cu masih dapat tersenyum melihat muridnya yang terkasih. “Syukurlah Siang Lan, syukurlah bahwa kita masih sempat bertemu muka.”
Kemudian Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu lalu menceritakan pengalamannya kurang lebih sebulan yang lalu. Di atas puncak bukit Liong-cu-san, ia kedatangan lima orang kang-ouw yang telah dikenalnya baik. Mereka ini adalah Toat-beng Sin-to Liok Kong Si Golok Sakti Pencabut Nyawa, kedua adalah Si Lutung Sakti Yap Cin, ketiga Santung Taihiap Siong Tat Pendekar gagah dari Santung, keempat adalah seorang hwesio bernama Leng Kok Hosiang, dan kelima seorang gagah lain, yakni Kim-gan-liong Cin Lu Ek Si Naga Mata Emas.
Sebagai seorang kang-ouw yang menghormat kawan-kawannya dari satu golongan, Ong Han Cu lalu menyambut mereka dengan gembira sekali. Akan tetapi ternyata bahwa kedatangan mereka itu tidak mengandung maksud baik. Dengan secara licin sekali, diam-diam Leng Kok Hosiang, hwesio berkepandaian tinggi dari Sin-tok-san, telah memasukkan racun pada arak yang dihadapi oleh Ong Han Cu.
“Demikianlah,” Pat-jiu Kiam-ong melanjutkan penuturannya kepada muridnya yang mendengarkan semua itu sambil bercucuran air mata, setelah minum racun dalam arak yang luar biasa kerasnya, aku rebah pingsan tidak merasa apa-apa lagi. Ketika aku tersadar, ternyata bahwa mereka telah pergi, meninggalkan aku dalam keadaan begini. Baiknya ada sahabat ini yang kebetulan melihatku dan menolong merawatku, kalau tidak, tentu aku telah tewas karena kecurangan mereka yang biadab itu!”
“Akan tetapi mengapakah, suhu? Mengapa mereka melakukan perbuatan sekeji ini?”
Ong Han Cu tersenyum. “Ada dua hal yang mendorong mereka melakukan hal ini muridku. Bagi Leng Kok Hosiang dan Yap Cin, mereka itu memang mengandung dendam sakit hati terhadap aku karena aku pernah merobohkan mereka itu dan menghalangi perbuatan mereka yang jahat.
Adapun Liok Kong, Siong Tat, dan Cin Lu Ek ikut datang melakukan perbuatan pengecut dan hina dina ini karena mereka silau harta terpendam yang berada di dalam guaku. Mereka pergi membawa harta terpendam yang dulu kudapatkan di dalam gua bersama kitab ilmu pedang. Sungguh aku tidak mengerti mengapa manusia dapat menjadi mata gelap dan kejam karena pengaruh harta dunia. Sepanjang pengetahuanku, Cin Lu Ek si Naga Bermata Emas itu bukanlah seorang yang memiliki watak jahat!”
Ong Han Cu menghela napas bukan menyesali nasibnya, akan tetapi menyesali kejahatan orang-orang itu. Memang sesungguhnya, ketika mendapatkan rangka manusia dan kitab pelajaran ilmu pedang di gua itu, Ong Han Cu juga menemukan sebuah peti besar terisi penuh harta berupa emas dan permata yang tak ternilai harganya.
Akan tetapi, hal ini dirahasiakan oleh Ong Han Cu dan barang itu masih disimpannya di dalam guanya. Hanya kadang-kadang saja ia mengeluarkan sepotong emas atau permata untuk dijualnya dan dipergunakan sebagai biaya hidupnya.
Dan betapapun rapatnya ia menutup rahasia ini, ternyata mata para penjahat amat tajam dan telinga mereka amat kuat pendengarannya. Entah bagaimana, rahasia ini terdengar oleh ke lima orang berkepandaian tinggi itu yang lalu berkumpul, berunding dan mempergunakan siasat yang curang untuk merobohkan pendekar tua ini, membuntungi tangan kaki nya serta merampas harta bendanya itu.
Tentu saja Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan menjadi marah sekali dan dengan bercucuran air mata ia bersumpah di depan suhunya untuk membalas dendam besar ini. Kemudian ia membawa pedang suhunya dan turun gunung, mencari musuh-musuh gurunya itu.
Pertama-tama ia pergi ke Santung untuk mencari Santung Thaihiap Siong Tat dan dalam pertempuran yang amat hebat sehingga ia berhasil membunuh Siong Tat dan membawa kepala musuh besarnya ini naik ke atas gunung Liong-cu-san. Akan tetapi ketika ia tiba di situ, ternyata bahwa suhunya yang telah menjadi orang tak berguna lagi dan buntung kaki tangannya, sudah meninggal dunia.
Siang Lan bersembahyang di depan kuburan suhunya sambil menaruh kepala Santung Thaihiap Siong Tat di depan makam itu, kemudian ia lalu mulai merantau dan mencari empat orang musuh besar yang telah mencelakai gurunya itu. Mereka ini adalah Liok Kong Si Golok Sakti Pencabut Nyawa, Yap Cin Si Luntung Sakti, Lengkok Hosiang yang meracuni suhunya dan Cin Su Lek Si Naga Bermata Emas.
Dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, secara kebetulan sekali Siang Lan yang telah mendapat keterangan tentang musuh besarnya yang bernama Liok Kong, bertemu dengan Ong Lian Hong, gadis manis yang mengaku menjadi puteri suhunya.
Tentu saja ia tidak dapat mempercaya keterangan ini karena bagaimanakah suhunya tahu-tahu telah mempunyai seorang puteri demikian cantik jelita dan berkepandaian tinggi pula? Menurut pengakuan gadis itu, Yap Cin Si Luntung Sakti telah terbunuh dan karena Liok Kong telah mampus pula, maka kini musuh besar mereka tinggal Leng Kok Hosiang dan Cin Lu Ek.
Sampai lama Hwe-thian Mo-li duduk termenung di bawah pohon itu, tiada hentinya memikirkan keadaan Lian Hong nona yang aneh dan yang mengaku sebagai puteri suhunya. Akhirnya ia merasa khawatir juga kalau-kalau ia sampai kalah oleh gadis cantik itu, kalau-kalau dua orang musuh yang lain itupun akan tewas dalam tangan gadis itu pula.
“Tidak, bagaimanapun juga, aku harus mendahuluinya!” pikirnya dan ia lalu bangun berdiri dan melanjutkan perjalanannya dengan cepat. Dia telah mendengar bahwa Leng Kok Hosiang sekarang berada di Sin-tok-san, yakni pegunungan yang berada di selatan, adapun Cin Lu Ek si Naga Bermata Emas amat sukar dicari. Agaknya orang ini telah melarikan diri karena takut akan pembalasannya, dan mungkin juga si Naga Bermata Emas ini telah mengganti namanya.
“Tidak perlu mencari dia yang bersembunyi.” Pikir Hwe-thian Mo-li sambil berlari cepat. “Lebih baik menuju ke pegunungan Sin-tok-san untuk mencari Leng Kok Hosiang."
Demikianlah, ia lalu membelok ke selatan dan langsung menuju ke pegunungan itu tanpa mengenal lelah. Ia melakukan perjalanan secepatnya agar jangan sampai didahului oleh nona yang mengaku puteri dari Mendiang suhunya itu...!