4. Guru Silat Kiriman
KAKEK itu melangkah maju lagi penasaran. “Apakah salahnya kalau aku menyentuhmu, memelukmu? Apakah dulu ketika kau masih kecil tidak kugendong-gendong, kuciumi dan kupeluk? Lian Hong, janganlah kau bersikap seaneh ini. Ibumukah yang mengajarmu bersikap sekurang ajar ini terhadap ayahmu sendiri?”
Sambil berkata demikian, ia melompat maju dan memegang lengan tangan Lian Hong lalu hendak memeluknya. Sikap gadis yang luar biasa cantiknya ini telah merangsang hatinya dan membuatnya mata gelap saking besarnya nafsu jahat bergelora didalam dadanya. Hartawan ini pernah belajar ilmu silat maka ia berhasil menangkap tangan Lian Hong.
Akan tetapi sekali gadis itu menggetakkan lengannya, ia dapat melepaskan tangan itu dan kini ia tak dapat menahan sabarnya lagi. Ia berdiri dengan mata bersinar-sinar dan muka merah karena marah.
“Tua bangka! Kau masih tidak malu menyebut aku sebagai anakmu? Aku bukan anakmu! Kau kira aku tidak tahu akan hal ini? Aku adalah anak dari Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu, seorang pendekar gagah perkasa, bukan seorang bandot tua gila perempuan macam kau!”
Bukan main kagetnya hartawan itu mendengar ucapan ini. Ia merasa kaget dan juga marah sekali karena ia amat terhina. Sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka gadis itu, ia berkata, “Bagus, tentu ibumu yang telah berlancang mulut dan membuka rahasia kebusukkan ini!
Sungguh tidak tahu malu! Bagus sekali kalau kau sudah tahu bahwa kau adalah anak dari seorang perampok, seorang liar hina dina, seorang petualang miskin. Kau tentu tidak mengira bahwa kau adalah hasil perjinaan dari bangsat perampok itu dengan ibumu yang tak tahu malu....”
“Plak!!” tiba-tiba tubuh hartawan itu terhuyung ke belakang dan dari mulutnya mengalir darah. Secepat kilat tangan Lian Hong tadi telah menampar mulutnya, membuat bibirnya pecah dan mengeluarkan darah.
“Bangsat tua bangka!” Lian Hong memaki dengan marah sekali. “Kalau kau tidak lekas menarik kembali ucapanmu yang busuk dan minta ampun, aku akan membunuhmu!”
Kembali kedua tangannya bertubi-tubi menyerang, membuat tubuh ayah tirinya itu terguling-guling dan kakek bandot tua itu berkuik-kuik menjerit kesakitan.
“Hayo lekas minta ampun!” seru Lian Hong sambil memukul lagi. Biarpun gadis ini baru berusia empat belas tahun namun ia telah mempelajari ilmu silat tinggi sehingga tenaganya sudah besar dan lihai sekali. Kalau ia mau, dengan sekali pukul ia dapat mengirim nyawa bandot tua itu ke neraka, akan tetapi Lian Hong masih teringat bahwa hal ini akan menimbulkan kegemparan.
Pada saat itu, muncullah Bwe Kim yang mendengar suara suaminya menjerit-jerit, seperti anjing dipukul. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat bahwa yang menghajar suaminya adalah Lian Hong.
“Lian Hong.... jangan...!” teriaknya sambil menubruk dan merangkul anaknya.
Dengan napas terengah-engah saking marahnya, Lian Hong berkata. “Biarlah ibu.... bangsat tua bangka ini telah menghina ibu dan ayah.... biar kuhajar dia sampai mampus!”
“Jangan, Lian Hong, sabarlah... amat memalukan kalau terdengar oleh orang lain....”
Sementara itu, hartawan yang tadinya bergulingan di atas lantai, ketika mendapat kesempatan, lalu bangun berdiri. “Baik sekali!” katanya dengan marah sambil menuding ke arah isterinya. “Orang-orang tidak tahu diri, tidak kenal budi dan tidak tahu malu! Aku sudah menolongmu dari seorang janda hina dina yang mempunyai anak, aku telah mengangkatmu menjadi isteriku yang terhormat. Sekarang kau lakukan hal ini terhadapku, bagus! Aku akan ceraikan kau, dan kalian boleh mengikuti perampok hina dina itu....”
Akan tetapi tiba-tiba Lian Hong memberontak dari pelukan ibunya dan sekali gadis ini mengirim pukulan ke arah iga ayah tirinya, robohlah bandot tua itu dengan mata mendelik dan pingsan. Bwe Kim menjerit, akan tetapi Lian Hong lalu menarik tangan ibunya.
“Ibu, mari kita pulang ke rumah kong-kong (kakek),” kata Lian Hong.
“Ayah tidak akan mau menerima kita...!”
“Biarlah,” kata Lian Hong gemas, “Kalau tidak mau menerima, kita pergi berdua mencari ayah!”
Demikianlah dengan setengah memaksa, Lian Hong membawa ibunya keluar dari rumah ayah tirinya dan pergi ke rumah Ciok-taijin. Pembesar ini bersama isterinya menerima kedatangan mereka dengan terheran-heran. Bwe Kim tak dapat berkata sesuatu hanya menjatuhkan diri berlutut di depan ayah bundanya sambil menangis sedih.
Sebaliknya, dengan sikap gagah dan menantang seperti ayahnya dulu, Lian Hong berkata kepada Ciok-taijin suami isteri yang amat sayang kepadanya. “Kong-kong telah menjerumuskan ibu ke dalam jurang kehinaan dan penderitaan!”
Dengan lancar ia lalu menceritakan betapa ayah tirinya telah memelihara banyak sekali gundik tanpa memperdulikan ibunya, dan juga terus terang ia ceritakan betapa ayah tirinya selalu berlaku kurang ajar dan tidak sopan terhadap dia sehingga ia menceritakan pula tentang peristiwa yang baru saja terjadi.
“Sekarang terserah kepada kong-kong. Kalau kong-kong mau menerima ibu dan aku untuk kembali tinggal di sini, baiklah, ibu dan aku akan tinggal di sini, merawat kong-kong berdua dan akan menurut segala kata-kata kong-kong. Akan tetapi kalau tidak mau menerima kita, juga tidak apa. Kami berdua akan pergi mencari ayah!”
Ciok-taijin dan isterinya saling pandang. Nyonya Ciok tak terasa lagi mencucurkan airmata sambil merangkul cucunya, sedangkan Ciok-taijin lalu menggeleng-geleng kepalanya dan berkata, “Bwe Kim, sungguh tidak kunyana sekali bahwa kau puteri kami satu-satunya selalu mendatangkan kepusingan dan kekecewaan kepada orang tuamu....”
Bwe Kim memeluk kaki ayahnya dan berkata lirih memilukan. “Ampun, ayah... ampunkan anak yang puthauw (tidak berbakti atau durhaka).”
Akan tetapi Lian Hong lalu melepaskan diri dari pelukan neneknya dan sambil menghadapi kakeknya dengan mata bernyala ia berkata membela ibunya. “Kong-kong! Mengapa kong-kong menyalahkan ibu? Dalam hal ini ibulah yang menderita, padahal ibu selalu hanya menurut perintah kong-kong! Ibu menikah dengan ayah atas perintah kong-kong, kemudian ibu menikah dengan jahanam itupun atas perintah kong-kong. Kalau pernikahan itu gagal dan ibu menderita karenannya, apakah itupun harus disalahkan kepada ibu? Sungguh tidak adil!”
Tertegun kedua suami isteri bangsawan itu mendengar ucapan dan melihat sikap cucu mereka ini. Mereka saling pandang dan Ciok-taijin lalu memeluk cucunya sambil berkata, “Kau keras kepala dan berani seperti ayahmu, dan kau jauh lebih uhauw (berbakti) daripada ibumu. Baiklah, kami menerima kalian, akan tetapi semenjak saat ini, kalian harus mentaati segala kata-kataku.”
Dengan girang sekali Bwe Kim menubruk ibunya dan menangis tersedu-sedan. Ia merasa amat girang bahwa akhirnya ia dapat kembali ke rumah orang tuanya di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Kembali ke rumah orang tuanya berarti bahwa ia terlepas dari pada kesengsaraan batin dan penderitaan.
Demikianlah, semenjak hari itu, Lian Hong bersama ibunya tinggal di rumah gedung Ciok-taijin. Bwe Kim memesan kepada puterinya agar supaya mentaati segala nasehat kong-kongnya. Tentu saja Lian Hong menurut akan pesan ibunya ini dan ia mulai belajar ilmu surat sebagaimana yang dikehendaki oleh Ciok-taijin.
Bahkan, ketika Ciok-taijin memuji-muji kepandaian menari dari seorang selir kaisar, gadis remaja inipun lalu belajar menari. Ternyata ia berbakat baik sekali dalam tari-tarian dan gerakannya amat indah sehingga guru tarinya, seorang guru tari kerajaan, amat memujinya.
Setahun kemudian, pada suatu hari, di luar gedung Ciok-taijin datang seorang hwesio tua yang bertubuh gemuk sekali. Hwesio ini adalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang pernah dirobohkan oleh Pat-jiu kiam-ong Ong Han Cu lima tahun yang lalu.
Dengan amat sakit hati penjahat yang berpura-pura menjadi pendeta ini lalu melatih diri di puncak gunung dan mempelajari ilmu silat yang disebut Hek-coa Tok-jiu (Pukulan Tangan Racun Ular Hitam), semacam ilmu pukulan yang luar biasa jahat dan lihainya.
Jangankan sampai terkena pukulan tangan yang telah diisi bisa ular hitam ini, baru terkena sambaran anginnya saja sudah merupakan bahaya maut yang sukar sekali dihindarkan. Selama lima tahun hwesio ini melatih diri dengan amat giatnya dan setelah mempelajari dengan sempurna, ia lalu turun gunung untuk membalas dendam kepada Ong Han Cu.
Ia mendengar bahwa Ong Han Cu adalah mantu dari Ciok-taijin, maka langsung ia mendatangi rumah gedung bangsawan itu. Kepada penjaga pintu ia berkata kasar. “Katakan kepada Ong Han Cu bahwa aku Jai-hwa-sian Leng Kok Hosiang hendak bertemu.”
Penjaga itu menjadi mendongkol melihat sikap kasar ini dan menjawab dengan kasar pula. “Di sini tidak ada orang bernama Ong Han Cu dan kalau kau mau minta derma, pergilah ke rumah orang lain. Jangan kau mengganggu, karena ini adalah rumah Ciok-taijin yang tentu takkan mengampuni kalau kau berani berlaku kurang ajar!”
Hwesio itu tertawa bergelak. “Hm, kau bohong! Kalau dia tidak ada, suruhlah pembesar she Ciok itu keluar untuk membayar hutang mantunya!”
“Eh, hwesio kurang ajar dari manakah kau berani mengacau di sini? Hayo pergi sebelum kupukul!” kata penjaga itu. Akan tetapi baru saja ia menutup mulutnya, tubuhnya telah terlempar jauh padahal hwesio itu hanya mengebutkan ujung lengan bajunya saja.
Penjaga itu berteriak-teriak kesakitan dan minta tolong, maka dari dalam pekarangan gedung itu berserabutan keluar sepuluh orang penjaga yang setiap hari secara bergiliran menjaga keselamatan bangsawan she Ciok itu. Dengan marah para penjaga itu lalu mencabut golok dan mengurung hwesio gemuk itu yang tertawa bergelak sambil memandang dengan mata mengejek.
“Ha, ha, anjing-anjing penjaga yang menjemukan! Kalau kalian tidak ingin digebuk, lekas beritahukan kepada Ong Han Cu atau mertuanya she Ciok itu agar keluar bertemu dengan pinceng!”
Akan tetapi tentu saja para penjaga tidak meladeni omongan hwesio yang dianggap kurang ajar ini dan mereka segera menyerang dengan golok mereka. Hwesio itu kembali tertawa bergelak dan bagaikan kitiran angin, kedua tangannya diputar dan ujung lengan bajunya yang panjang menyambar-nyambar ke arah sepuluh orang penjaga itu.
Kalau dilihat sungguh mengherankan sekali oleh karena begitu senjata-senjata tajam para penjaga bertemu dengan ujung lengan baju, para penjaga itu berteriak kaget dan senjata mereka terlepas dari pegangan. Hiruk pikuk suara senjata-senjata itu terlempar dan jatuh di atas tanah, berbareng dengan robohnya tubuh para penjaga dan teriakan-teriakan kesakitan dari mereka.
Peristiwa ini telah dilihat oleh seorang pelayan yang segera memberi laporan ke dalam. Kebetulan sekali Ciok-taijin sedang duduk bersama isterinya, Bwe Kim, dan Lian Hong. Mendengar laporan pelayan bahwa di luar ada seorang hwesio hendak bertemu dengan Ong Han Cu atau bangsawan Ciok, dan betapa hwesio itu mengamuk, Lian Hong menjadi marah sekali dan gadis cilik ini segera berlari keluar membawa sebatang pedang.
“Eh, Lian Hong, hati-hatilah...” kata pembesar itu yang amat sayang kepada cucunya ini. Serta merta iapun lalu berlari keluar untuk melihat sendiri siapa adanya hwesio yang berani berlaku kurang ajar itu.
Ketika Lian Hong dan kakeknya tiba di luar, para penjaga telah roboh semua merintih-rintih dengan kepala benjol atau tulang patah. “Hwesio kurang ajar dari manakah berani main gila di sini?” teriak Ciok-taijin.
Leng Kok Hosiang menyipitkan matanya ketika ia menyaksikan seorang gadis muda yang amat cantik berdiri di depannya bersama seorang tua yang berpakaian seperti pembesar tinggi. Ia lalu tersenyum-senyum dan berkata. “Apakah kau yang bernama Ciok-taijin? Kalau kau ingin keluargamu selamat, lekaslah kau suruh keluar jahanam Ong Han Cu yang menjadi mantumu itu!”
“Bangsat gundul bermulut lancang!” tiba-tiba Lian Hong tak dapat menahan marahnya dan cepat ia menerjang dengan pedangnya, melompat maju sambil menusuk dengan gerak tipu Hui-engbok-tho (Elang Terbang Menyambar Kelinci).
Jai-hwa-sian Leng Kok Hosiang tertawa gembira. “Aduh, masih mudah remaja telah mempunyai gerakan yang demikian indah! Bagus, kau siapakah nona?” tanyanya sambil mengelak cepat dari tusukan Lian Hong.
“Bukalah matamu, setan gundul dan lihatlah baik-baik. Aku adalah puteri dari Ong Han Cu yang hendak mewakili ayah mematahkan lehermu!”
“Lian Hong....!” Ciok-taijin berseru keras. Ia telah melarang kepada gadis itu untuk memberitahukan kepada siapapun juga bahwa gadis itu adalah puteri dari Ong Han Cu.
Dalam kemarahannya mendengar ayahnya dihina orang ia baru sadar akan kesalahannya, maka dengan gemas ia lalu maju menyerang lagi dengan gerak tipu Merak Sakti Mengangkat Ekornya, yakni gerak tipu yang amat lihai dari ilmu pedang Liong-cu Kiam-hwat. Terkejut jugalah hwesio gendut itu ketika melihat gerakan yang amat cepat dan lihai ini, karena pedang di tangan gadis ini bergerak berputar-putar dan menyerangnya dari berbagai jurusan secara bertubi-tubi.
Lian Hong telah mempelajari ilmu pedang Liong-cu kiam-hwat, akan tetapi oleh karena ia hanya mempelajarinya dari kitab pelajaran ilmu pedang tanpa mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, dan pula karena ia memang belum berpengalaman, maka sungguhpun ia dapat melakukan gerakan yang indah dan cepat, namun gerakkannya ini masih kurang isi dan kurang tenaga.
Kalau hanya menghadapi ahli silat tingkat pertengahan saja, belum tentu ia akan kalah, akan tetapi sekarang ia menghadapi Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga) Leng Kok Hosiang yang selain berilmu tinggi, juga sudah banyak pengalaman dalam pertempuran. Apalagi selama lima tahun hwesio ini telah melatih diri dengan tekun, maka ilmu silatnya masih jauh berada di atas tingkat kepandaian gadis itu.
Masih baik nasib Lian Hong bahwa hwesio mata keranjang ini tertarik akan kecantikkannya maka hwesio ini tidak menurunkan tangan kejam. Kalau saja Leng Kok Hosiang mempergunakan ilmu pukulan Hek-coa-tok-jiu, tentu gadis ini akan tewas dengan sekali pukul saja. Karena berniat hendak menangkap gadis cantik jelita ini, maka Leng Kok Hosiang hanya mainkan kedua ujung lengan bajunya untuk menangkis serangan-serangan Lian Hong.
Akan tetapi, Liong-cu kiam-hwat benar-benar hebat dan sukar sekali diketahui perobahan gerakannya. Ketika pedang di tangan Lian Hong menusuk ke arah tenggorokan hwesio itu dan ditangkis dengan kebutan ujung lengan baju kanan, tiba-tiba pedang itu dirobah gerakannya dan membabat ke bawah memapaki lengan hwesio itu.
Gerakan ini demikian cepatnya dan tidak terduga-duga sama sekali sehingga hampir saja tangan hwesio itu kena terbabat. Ia berseru keras dan menarik lengannya, akan tetapi ujung lengan bajunya masih kena babatan pedang sehingga putus.
Bukan main marahnya Leng Kok Hosiang melihat hal ini. Dengan berseru keras ia lalu menubruk maju, mainkan kedua tangannya dan menyerang dengan ilmu pukulan Eng-jiau-kang (Pukulan Kuku Garuda).
Serangan ini hebat sekali, Lian Hong masih berusaha mengelak, akan tetapi gerakan tangan hwesio itu lebih cepat lagi sehingga lengan kanannya kena dicengkeram. Sambil berteriak kesakitan, Lian Hong terpaksa melepaskan pedangnya dan sesaat kemudian, ia telah terkena tiam-hwat (ilmu menotok) dari hwesio yang lihai itu sehingga tubuhnya menjadi lemas dan dipondong oleh lawannya.
“Lepaskan cucuku!” Ciok-taijin berseru sambil memerintahkan para penjaga untuk menyerbu.
Leng Kok Hosiang tertawa terbahak-bahak. “Ha, ha, ha, biarpun aku tidak berhasil membinasakan Ong Han Cu, sebagai gantinya aku telah mendapatkan puterinya yang cantik molek!”
Setelah berkata demikian, ia menggerakkan tangan kirinya ke arah Ciok-taijin. Biarpun tangannya tidak mengenai tubuh pembesar itu, namun Ciok-taijin segera menjerit ngeri dan roboh pingsan. Ternyata bahwa ia terkena pukulan Hek-coa Tok-jiu yang ganas dari Leng Kok Hosiang.
Hwesio itu dengan sengaja melakukan pukulan itu karena selain hal ini dapat mencegah para penjaga yang sibuk menolong pembesar itu menghalangi perginya, juga ia dapat membuat hati musuh besarnya menjadi lebih sakit lagi. Kemudian ia lalu melompat keluar dari pekarangan itu sambil memondong tubuh Lian Hong.
Akan tetapi baru saja ia tiba di pintu pekarangan itu, tiba-tiba di pintu itu muncul seorang tosu (pendeta To) yang memegang kebutan di tangan kanan dan sebuah kipas di tangan kiri. Tosu ini berdiri menghadang di tengah jalan, menggerakkan kipasnya sambil berkata.
“Siancai... Leng Kok Hosiang sudah tua bangka masih tetap mengambil jalan hitam!” Baru saja ia menutup mulutnya, tubuh tosu yang tinggi kurus ini bergerak bagaikan seekor burung melayang dan kebutannya menyambar ke arah kepala hwesio gendut itu.
Sejak melihat tosu itu, wajah Leng Kok Hosiang berobah dan ketika kebutan itu menyambar ke arah kepalanya, cepat ia mengelak jauh dan melepaskan tubuh Lian Hong yang terguling di atas tanah. Kemudian ia melompat ke depan tosu itu dengan mata merah dan wajahnya menakutkan sekali.
“Ouwyang Sianjin, kalau kau hendak mencampuri urusanku, terpaksa aku mengadu jiwa denganmu!” bentak hwesio itu dengan marah.
Tosu itu tersenyum tenang, “Penjahat gundul, kau mengenal namaku akan tetapi tidak tahu bahwa aku adalah sute (adik seperguruan) dari Pat-jiu kiam-ong Ong Han Cu!”
“Begitukah?” teriak hwesio itu dengan kaget dan juga cemas, “Bagus, kalau begitu kau harus mampus!” Ia lalu melangkah maju dan menyerang dengan ilmu pukulan Hek-coa Tok-jiu yang lihai dan ganas. Tosu tua ini maklum akan kelihaian ilmu pukulan ini, maka ia berlaku amat hati-hati.
Dengan kipasnya yang mengandung tenaga lweekang tinggi ia selalu mengelak dan menangkis tenaga Racun Ular Hitam yang jahat itu, sedangkan kebutannya tiada hentinya menyambar-nyambar ke arah jalan darah lawan untuk melakukan totokan-totokan berbahaya.
Sementara itu, Bwe Kim yang juga sudah berlari keluar dan kini memeluk puterinya menangis sedih karena ia tidak tahu bagaimana harus mengobati puterinya yang tubuhnya lemas tak dapat bergerak lagi itu. Sedangkan keadaan Ciok-taijin lebih mengkhawatirkan lagi. Orang tua ini napasnya tinggal satu-satu, mukanya berobah hitam, tanda bahwa ia telah terkena racun pukulan Hek-coa Tok-jiu yang lihai.
Menghadapi sepasang senjata Ouwyang Sianjin yang lihai, Leng Kok Hosiang menjadi sibuk juga. Pukulan-pukulan Hek-coa Tok-jiu yang telah dilatihnya selama lima tahun itu ternyata tidak berhasil merobohkan lawan ini, selalu kena dielakkan atau ditangkis oleh gerakan kipas itu.
Ia menjadi marah sekali dan juga penasaran dan hal inilah yang membuat ia akhirnya menderita kekalahan. Ia tidak tahu bahwa sebenarnya Ouwyang Sianjin juga sangat terkejut dan gelisah menghadapi pukulan yang luar biasa lihainya ini. Sungguhpun kipasnya dapat melindungi dirinya, namun hawa pukulan itu telah menyerang pernapasannya dan membuatnya pening kepala.
Akan tetapi kemarahan dan kegemasan hwesio itu membuat permainannya menjadi agak kacau. Hal ini tidak terlepas dari pandangan mata Ouwyang Sianjin yang tajam, maka ia tidak mau mensia-siakan kesempatan baik ini dan cepat menyerang dengan kebutannya. Setelah bertubi-tubi melakukan serangan-serangan, akhirnya ia berhasil menotok jalan darah koan-goan-hiat di pundak kanan hwesio itu.
Leng Kok Hosiang berteriak keras dan sebelah tangannya menjadi lumpuh. “Ouwyang Sianjin! Biarlah kali ini aku mengaku kalah, akan tetapi hati-hatilah kau dan muridmu kalau kelak bertemu dengan aku!” Ia lalu melompat pergi dengan cepat.
Ouwyang Sianjin tidak mau mengejar karena ia sendiripun perlu mengatur pernapasannya dan mengusir hawa busuk yang menyerangnya tadi sehingga untuk beberapa lama ia berdiri diam bagaikan patung sambil meramkan matanya. Akhirnya pernapasannya menjadi bersih kembali dan ia lalu membuka matanya.
Di depannya telah berlutut Bwe Kim sambil menangis. Agaknya sudah semenjak tadi perempuan ini menangis dan minta tolong kepadanya, akan tetapi tadi ia tidak mendengarnya sama sekali karena seluruh pancainderanya dipusatkan untuk pembersihan napasnya.
“Totiang, tolonglah ... tolonglah ayah dan anakku ...” berkali-kali Bwe Kim berkata, sedangkan para penjaga yang tidak terluka hanya berdiri dengan mata terbelalak, kagum menyaksikan pertempuran yang terjadi tadi.
“Tenanglah... tenanglah, toanio,” kata tosu itu, “Biarlah kuperiksa keadaan mereka.” Ia lalu diantar masuk ke dalam gedung itu karena Ciok-taijin dan Lian Hong telah dibawa masuk dan direbahkan ke dalam kamar masing-masing. Ketika memeriksa keadaan Lian Hong, tosu itu tersenyum.
“Nona ini tidak apa-apa, hanya terkena totokan. Ia cukup kuat dan terlatih untuk menghadapi derita kecil ini.” Ia lalu menepuk pundak Lian Hong dan mengurut punggungnya beberapa kali dan gadis itu sehat kembali, Lian Hong segera menghaturkan terima kasih dan berlutut.
“Anak baik,” kata tosu itu, “ketahuilah bahwa kedatanganku ini atas kehendak ayahmu untuk melatih ilmu silat kepadamu.”
Lian Hong menjadi girang sekali dan serta merta ia berlutut kembali sambil menyebut, “suhu!”
Ketika tosu itu memeriksa Ciok-taijin, ia menggeleng kepala. “Si gundul jahat itu benar-benar ganas sekali tangannya,” katanya.
Nyonya bangsawan Ciok menjadi pucat dan sambil menangis ia bertanya tentang keadaan suaminya. “Tak perlu khawatir,” jawab tosu itu tenang, “biarpun tubuhnya telah terkena pengaruh hawa racun, akan tetapi pinto (aku) mempunyai obat penolaknya. Hanya harus diakui bahwa pembersihan darah di dalam tubuhnya akan makan waktu lama, sedikitnya satu bulan baru akan sembuh betul.”
Demikianlah, semenjak hari itu, Ouwyang Sianjin tinggal di dalam gedung Ciok-taijin, merawat bangsawan yang dilukai oleh Leng Kok Hosiang itu. Ketika Ciok-taijin sadar dari pingsannya dan mendengar bahwa Ouwyang Sianjin datang atas permintaan Ong Han Cu untuk melatih ilmu silat kepada Lian Hong, orang tua ini tidak menyatakan keberatannya.
Ia bahkan merasa girang bahwa kebetulan sekali datang tosu yang lihai ini, dan merasa pula betapa pentingnya mempelajari ilmu silat tinggi. Ia tidak mempunyai keturunan lain lagi dan cucunya hanya Lian Hong seorang, maka kalau gadis itu tidak mempunyai kepandaian tinggi, bagaimana untuk menjaga diri dan keluarganya dari serangan orang-orang jahat?
Selain membawa pesanan Ong Han Cu untuk mendidik gadis itu, juga Ouwyang Sianjin membawa sebatang pedang dari pendekar Liong-cu-san itu untuk diberikan kepada Lian Hong. Pedang ini adalah pedang mustika yang tipis dan lemas sekali sehingga dapat dijadikan ikat pinggang.
Liong-cu-kiam-hwat adalah kepandaian tunggal dari Ong Han Cu, maka biarpun Ouwyang Sianjin masih terhitung sutenya, akan tetapi tosu ini tidak paham akan ilmu pedang ini, sebaliknya ia memiliki dua macam kepandaian yang amat tinggi, yakni permainan silat dengan kipas dan hudtim (kebutan pendeta).
Ketika Ouwyang Sianjin mendengar bahwa muridnya yang baru ini pandai menari, ia tertarik sekali lalu minta kepada muridnya untuk menari. Lian Hong memenuhi permintaan suhunya dan menarilah ia dengan sehelai selendang merah. Melihat pergerakan yang lemas dan indah ini, tiba-tiba Ouwyang Sianjin berseru.
“Bagus! Selendangmu inilah yang akan merupakan senjata istimewa!”
Lian Hong menghentikan tariannya dan memandang kepada suhunya dengan heran. Akan tetapi tanpa banyak cakap lagi, tosu itu lalu minta selendang muridnya dan bersilatlah ia dengan selendang itu. Ujung selendang itu sama lemasnya dengan kebutan, maka dapat dipergunakan sebagai pengganti kebutannya.
Selain memberi pelajaran ilmu silat dengan selendang merah yang disebut Ang-kin-ciang-hwat (Ilmu Silat Selendang Merah) juga Ouwyang Sianjin melatih ilmu pedang kepada muridnya ini. Akan tetapi, ia tidak melarang muridnya berlatih Liong-cu-kiam-hwat, bahkan ia lalu memberi petunjuk untuk menggabungkan ilmu pedang yang diajarkannya dengan ilmu pedang Liong-cukiam-hwat yang lihai itu.
Tiga tahun lebih tosu itu menggembleng muridnya dengan ilmu silat tinggi sehingga setelah berusia delapan belas tahun, Lian Hong telah memiliki kepandaian yang amat lihai. Keistimewaan dara jelita ini adalah permainan selendang merah dan pedangnya yang dapat dimainkan berbareng dengan kedua tangannya secara indah dan juga kuat sekali.
Ia telah menjadi seorang gadis yang luar biasa cantiknya dan selain ilmu silatnya yang tinggi, iapun terkenal akan kepandaiannya menari. Pernah ia dipanggil oleh permaisuri kaisar untuk menari di depan wanita agung ini dan ia mendapat pujian hebat dan menerima hadiah-hadiah yang amat berharga.
Setelah melihat bahwa muridnya telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, Ouwyang Sianjin lalu meninggalkan kota raja diiringi oleh penghormatan dan ucapan terima kasih dari keluarga bangsawan Ciok. Diam-diam Lian Hong berpesan kepada suhunya agar suka memberi kabar tentang ayahnya, Pat-jiu kiam-ong Ong Han Cu dan permintaan ini telah disanggupi oleh Ouwyang Sianjin.
Nama Lian Hong sebagai seorang gadis yang amat cantik jelita dan pandai menari amat terkenal di kota raja. Banyak sekali pemuda, sungguhpun belum menyaksikan kecantikan gadis ini dengan mata kepala sendiri dan hanya mendengar kabar saja, telah jatuh hati dan merindukan siang malam.
Bahkan ada beberapa orang pemuda bangsawan dan hartawan telah memberanikan diri mengajukan pinangan, akan tetapi Ciok-taijin yang amat sayang dan bangga akan cucunya, telah menolak semua pinangan itu. Lian Hong merasa girang melihat sikap kakeknya, karena gadis ini sendiripun tidak suka memikirkan tentang pernikahan. Adapun ibunya hanya menyerahkan persoalan ini kepada Cioktaijin saja.
Di kota raja terdapat seorang pemuda yang amat terkenal. Nama pemuda ini terukir di dalam lubuk hati banyak gadis bangsawan dan hartawan, dan banyak pula orang-orang tua para gadis memikirkan pemuda ini dengan hati penuh keinginan memungutnya sebagai mantu.
Pemuda ini adalah putera tunggal dari Pangeran Sim Liok Ong yang berpangkat tinggi, berpengaruh, dekat dengan kaisar. Selain itu, juga pangeran Sim terkenal kaya raya dan budiman. Tidak saja keadaan orang tua pemuda ini yang amat menarik hati orang untuk mengajak berbesan, juga kegagahan pemuda itu sendiri menjadikan dia bayangan dalam mimpi setiap dara yang telah mendengar namanya.
Ia bernama Sim Tek Kun, terkenal tampan. Telah lulus dalam ujian siucai dan bentuk tulisan maupun gubahan syairnya amat indah. Kebaikan ini ditambah pula dengan kegagahannya karena ia adalah seorang murid terlatih dari Kun-lun-pai dan telah tamat mempelajari ilmu silat di pegunungan itu sehingga ia memiliki kepandaian ilmu silat tinggi.
Ketika terjadi pemberontakan dan kerusuhan yang ditimbulkan oleh segerombolan perampok di daerah utara, putera pangeran ini telah menunjukkan kegagahannya dan ikut membasmi perampok-perampok itu. Hal ini telah mengangkat namanya tinggi-tinggi dan ia mendapat jasa dan pujian dari kaisar sendiri.
Dengan keadaan seperti itu, gadis manakah yang tidak tergila-gila dan orang tua manakah yang tidak ingin sekali mempunyai seorang mantu seperti Sim Tek Kun? Akan tetapi, pemuda ini sendiri berkali-kali menolak bujukan ayah bundanya untuk menikah.
Sebaliknya, ia amat senang merantau, menjelajah di kalangan kang-ouw dan menuntut penghidupan sebagai seorang pendekar budiman. Ia keluar masuk di dusun-dusun dan kota-kota, mengulurkan tangan kepada siapa saja yang membutuhkan pertolongannya.
Tangannya amat terlepas dan terbuka, baik untuk memberi uang maupun untuk menyumbangkan tenaga dan kegagahan demi kepentingan orang-orang yang lemah tertindas. Maka, sebentar saja namanya terkenal di kalangan kang-ouw dan ia dijuluki Bun-bu-taihiap (Pendekar Besar Ahli Sastra dan Silat).
Ketika Pangerang Sim Liok Ong dan isterinya melihat Lian Hong mereka menjadi amat tertarik. Di dalam kota raja jarang ada yang mengetahui bahwa nona ini pandai ilmu silat dan yang menjadikannya amat terkenal hanya kecantikan dan kepandaiannya menari. Melihat nona ini, Pangeran Sim dan isterinya merasa suka sekali dan mereka lalu mengajukan pinangan tanpa bertanya kepada putera mereka yang pada waktu itu entah sedang berada di mana.
Ciok-taijin ketika menerima pinangan ini, hampir menari kegirangan. Ia memeluk cucunya dengan air mata bercucuran sambil berkata, “Lian Hong.... Lian Hong... akhirnya Thian menunjukkan kemurahannya kepada kita! Kau telah dipinang oleh Pangeran Sim! Ah, Alangkah besar kehormatan ini. Ketahuilah, banyak puteri pangeran lain dari istana kaisar belum tentu akan dapat menerima kehormatan sebesar ini. Bwe Kim, anak baik, akhirnya kau mendatangkan kebahagiaan dan kehormatan kepada orang tuamu karena puterimu ini.....”
Melihat kegirangan besar yang diperlihatkan oleh ibunya dan kakek serta neneknya ini, Lian Hong tidak tega untuk menolak. Sebetulnya ia tidak girang sama sekali mendengar berita perjodohannya ini karena ia memang tidak mempunyai keinginan sama sekali untuk mengikat diri dengan perjodohan.
Ia pernah mendengar nama Sim Tek Kun dan diam-diam iapun ingin sekali mengetahui sampai di mana kebenaran berita itu. Ia menganggap berita tentang pemuda itu amat berlebih-lebihan dan sering kali bibirnya yang manis itu ditarik mengejek.
“Hm, Bun-bu-taihiap....? Pemuda sombong! Mana ada pemuda hartawan dan bangsawan yang patut disebut taihiap? Barangkali hanya seorang tukang pelesir dan tukang menghambur-hambur uang ayahnya belaka. Julukan itu tentu diberikan oleh orang-orang untuk menjilat pemuda bangsawan dan hartawan itu.
Dan kini ternyata pemuda itu telah meminangnya, yakni orang tua pemuda itu. Melihat kegembiraan orang-orang tuanya, ia tak dapat menyatakan sesuatu, hanya menundukkan mukanya yang menjadi merah, bukan hanya karena malu, akan tetapi sebagian besar karena marah. Ia marah kepada pemuda itu yang dianggapnya lancang dan kurang ajar telah berani meminangnya! Orang macam apakah pemuda itu maka berani mencoba hendak mengikatnya sebagai isterinya?
Demikianlah, diam-diam ia berpikir dengan hati penasaran. Memang Lian Hong adalah seorang gadis yang aneh, sikapnya lemah lembut, cantik jelita, dan amat jenaka. Akan tetapi dibalik semua itu ia memiliki kekerasan hati yang diwarisinya dari ayahnya.
Pertunangan diresmikan dan berita pertunangan ini telah tersiar di seluruh kota raja. Banyak sekali orang-orang tua dan puteri mereka merasa iri hati kepada keluarga Ciok atas keberuntungan mereka. Akan tetapi Lian Hong sendiri hanya menerima semua ini dengan hati dingin.
“Kong-kong,” katanya dengan lemah lembut dan sikap manja, “Aku selalu menurut dan taat kepadamu dan dalam hal perjodohan inipun aku menyerahkan diri kepada kong-kong saja. Akan tetapi ada satu hal yang ku minta kong-kong suka mengabulkannya, yakni aku tidak mau dinikahkan dengan terburu-buru. Biarlah pertunangan ini ditunda sedikitnya setahun!”
Kakeknya, dan juga ibu dan neneknya hanya memandang dengan melongo dan Ciok-taijin hanya menggeleng-geleng kepalanya saja. Baiknya pihak Pangeran Sim juga tidak terburu-buru dan menerima penundaan waktu ini oleh karena pada waktu itu, putera mereka juga belum pulang ke kota raja.
Kurang lebih sebulan kemudian, datanglah berita yang membuat Lian Hong dan Bwe Kim menangis tersedu-sedu, hingga Lian Hong jatuh pingsan ketika mendengarnya. Berita ini merupakan sepucuk surat dari Ouwyang Sianjin yang diantarkan oleh seorang pesuruh, yang mengabarkan tentang kematian Ong Han Cu.
Di dalam surat itu, Ouwyang Sianjin menjelaskan nama-nama dari lima orang yang telah membunuh Ong Han Cu dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, seorang di antara lima musuh ini adalah Leng Kok Hosiang yang dulu pernah datang mengganggu mereka dan kemudian dikalahkan oleh Ouwyang Sianjin.
Ciok-taijin hanya menghela napas berkali-kali dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Hm, demikianlah kalau orang hidup sebagai perantau yang berhubungan dengan para orang-orang kasar di dunia kang-ouw. Bertempur, melukai atau dilukai, menanam bibit permusuhan, menimbulkan sakit hati dan dendam dalam hati orang lain, kemudian bertempur lagi, membunuh atau dibunuh.”
Lian Hong yang sudah siuman kembali ketika mendengar ucapan kakeknya ini, lalu cepat berdiri dan dengan dada terangkat ia berkata. “Kong-kong, ucapanmu memang benar. Akan tetapi, jiwa seorang gagah menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, ia tidak takut dan segan-segan untuk mengorbankan nyawanya. Kalau tidak ada orang-orang gagah yang membasmi orang-orang jahat dan membela orang-orang lemah tertindas, bagaimanakah keadaan dunia ini? Kejahatan akan merajalela. Karena itu, aku harus pergi mencari musuh-musuh yang membunuh ayah. Aku harus membalasnya!”
“Jangan, Lian Hong, jangan!” seru Ciok-taijin, “Kau seorang gadis muda, bagaimana kau bisa merantau dan mencari penjahat-penjahat yang berbahaya itu?”
“Jangan kuatir, kong-kong,” jawab gadis itu dengan sikap gagah. “Menurut surat suhu, sekarang juga suhu telah mencari jahanam Yap Cin yang berjuluk Si Luntung Sakti. Biarlah aku menyusul suhu dan membantunya untuk membasmi penjahat itu!”
“Jangan, Lian Hong, kau akan membuat kami merasa gelisah dan berkhawatir selalu,” kata Cioktaijin pula yang kini juga dibantu oleh nyonya Ciok. Bahkan Bwe Kim juga melarang anaknya jangan pergi menempuh bahaya itu.
Lian Hong menjadi kewalahan dan tak dapat berkeras. Akan tetapi pada malam harinya, gadis itu telah melarikan diri dan meninggalkan kamarnya dengan diam-diam. Hanya sepucuk surat surat yang ditinggalkan di meja kamarnya memberitahukan bahwa ia hendak menyusul suhunya di kota Kam-ciu untuk mencari Sin-wan (Lutung Sakti) Yap Cin. Ciok-taijin, isterinya, dan Bwe Kim merasa gelisah sekali dan Bwe Kim hanya dapat menangis.
Akan tetapi Ciok-taijin lalu memesan kepada isteri dan anaknya itu agar supaya hal ini jangan sempat terdengar oleh Pangeran Sim, akan berbahaya sekali. Tentu saja Pangeran Sim akan menjadi marah mendengar betapa calon mantunya lari minggat untuk merantau seperti gadis kang-ouw yang liar.
Semenjak berhasil membunuh Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu dengan cara yang amat curang bersama empat orang kawannya dan mendapat pembagian harta pusaka yang besar jumlahnya, Yap Cin menjadi seorang kaya raya. Ia tinggal di kota Kam-ciu sebagai seorang hartawan besar memiliki banyak rumah dan sawah, bahkan ia membeli sebuah kereta berkuda yang bagus sekali.
Bekas penjahat ini lalu hidup dengan mewah dan kerjanya tiap hari hanya berpelesir, naik kereta bersama kawan-kawannya yang menjadi tukang pukulnya, pergi ke kota-kota terdekat dan menghamburkan uang bagaikan pasir saja.
Pada suatu hari, ia sedang berkereta dengan lima orang kawannya yang naik kuda, baru pulang dari kota lain di mana ia tinggal setengah bulan lamanya dan di mana ia mempunyai seorang sahabat baik yang mengajaknya berpelesir. Ketika rombongannya tiba di luar kota Kam-ciu, tiba-tiba mereka melihat seorang gadis cantik jelita berpakaian ringkas sedang berjalan seorang diri.
Gadis ini bukan lain adalah Lian Hong yang sedang menuju ke Kam-ciu untuk menyusul suhunya dan mencari musuh besar ayahnya, yakni Yap Cin. Melihat seorang dara muda jelita berjalan seorang diri di tempat yang sunyi, timbullah kegembiraan dan kekurangajaran Yap Cin dan kawan-kawannya.
Mereka menghentikan kendaraan dan kuda di dekat gadis itu dan ketika Lian Hong menengok, enam orang laki-laki jahat itu menjadi bengong saking terpesona oleh kecantikan Lian Hong. Mereka merasa seakan-akan sedang mimpi bertemu dengan seorang bidadari dari kahyangan yang tersasar di dalam hutan....