Iblis dan Bidadari Jilid 05

Cerita Silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Iblis dan Bidadari Jilid 05
Sonny Ogawa

5. Keteledoran si Hidung Bangor

YAP CIN segera melompat turun dari dalam keretanya dan untuk memamerkan kepandaiannya, ia melompat sambil mempergunakan gerakan Burung Walet Menyambar Air dan kedua kakinya turun dengan amat ringannya di depan nona itu.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Diam-diam Lian Hong menjadi terkejut juga melihat laki-laki setengah tua yang berpakaian mewah ini memiliki ginkang yang sedemikian hebatnya. Ia menjadi curiga dan berlaku hati-hati sekali.

“Nona, bolehkan aku bertanya, nona hendak pergi ke mana?” tanya Yap Cin sambil memberi hormat dan memainkan senyum dimulutnya.

Lian Hong adalah seorang gadis yang tabah dan banyak bergaul maka ia tidak berlaku malu-malu. Sungguhpun ia merasa tak senang melihat kelancangan laki-laki ini, namun ia menjawab juga dengan singkat. “Hendak ke Kam-ciu,”

Semua orang yang merubungnya tersenyum mendengar jawaban ini dan laki-laki berpakaian mewah itu bahkan tertawa senang. “Kebetulan sekali, kebetulan sekali!” serunya berkali-kali dengan muka girang. “Kami pun sedang menuju ke Kam-ciu. Silakan naik ke dalam keretaku saja, nona. Tidak enak berjalan seorang diri di tempat sunyi ini, lagi pula tentu lelah kalau berjalan kaki.”

Lian Hong merasa mendongkol sekali. Ia maklum sedang berhadapan dengan orang-orang kurang ajar, akan tetapi agar jangan menimbulkan keributan, ia tersenyum dan menjawab, “Terima kasih, tidak bisa aku menerima ajakan seorang yang tidak kukenal. Lebih baik aku berjalan kaki saja dan harap kalian jangan menggangguku lebih lama lagi.”

Akan tetapi Yap Cin dan kawan-kawanya merasa seakan-akan kejatuhan bulan ketika menyaksikan senyum di bibir gadis itu. Memang Lian Hong amat cantik jelita, apalagi kalau ia sudah tersenyum. Sukarlah kiranya mencari laki-laki yang takkan jatuh hati apabila melihat ia tersenyum.

“Jangan berkata begitu, nona. Kau tentu hendak artikan belum mengenal, bukan tidak mengenal. Apa salahnya kalau sekarang kita berkenalan? Kau takkan merasa kecewa berkenalan dengan orang-orang seperti kami yang sudah terkenal di Kam-ciu,” jawab Yap Cin sambil tertawa-tawa.

“Kau benar-benar takkan kecewa, nona manis!” kata seorang dari pada kawan-kawan Yap Cin. “Ketahuilah bahwa kau sedang berhadapan dengan Yap-wangwe (hartawan Yap), tokoh terkenal di kota Kam-ciu.”

Bagaikan sinar terang she Yap ini terlintas diotak Lian Hong. Ia mainkan senyumnya lagi dan bertanya, “Ah, jadi kaukah yang terkenal sebagai Yap-wangwe di Kam-ciu? Bolehkah aku mengetahui siapakah nama wangwe yang selengkapnya?”

Yap Cin menyeringai dengan girang sekali. Disangkanya bahwa gadis ini mulai silau dan tertarik karena namanya sebagai seorang hartawan besar, maka cepat-cepat ia berkata, “Nona yang baik, namaku Yap Cin, dan ketahuilah bahwa selain terkenal sebagai seorang hartawan yang berbudi baik, akupun terkenal di kalangan dunia persilatan sebagai Sin-wan (Si Lutung Sakti)!”

Saking terkejut dan girangnya dapat bertemu dengan musuh besarnya yang memang sedang dicari-cari, wajah yang cantik itu sampai menjadi pucat dan sepasang matanya memancarkan cahaya berapi-api. “Jadi kaukah jahanam busuk yang bernama Sin-wan Yap Cin? Kau bersiap siagalah untuk mampus ditanganku!”

Sambil berkata demikian, Lian Hong lalu mencabut keluar pedang tipisnya dan selendang merahnya. Tentu saja Yap Cin dan kawan-kawannya menjadi heran melihat sikap nona ini.

“Eh, nona manis, kau siapakah dan mengapa kau bersikap seperti ini? Apakah salahku kepadamu?” tanya Yap Cin yang masih memandang rendah kepada dara muda ini.

Lian Hong tersenyum dengan bibir mengejek. “kau hendak mengenal aku? Baiklah, buka telingamu lebar-lebar, binatang rendah! Aku adalah Ong Lian Hong dan Pat-jiu kiam-ong Ong Han Cu adalah ayahku!”

Pucatlah muka Yap Cin mendengar ini. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa Ong Han Cu mempunyai seorang puteri dan bahwa puterinya itu kini telah berdiri dihadapannya. Akan tetapi ia adalah seorang kang-ouw yang berkepandaian tinggi dan sudah banyak pengalamannya, maka tentu saja ia tidak takut menghadapi seorang gadis muda seperti Lian Hong.

“Nona manis, biarpun kau puteri dari Pat-jiu kiam-ong, akan tetapi dengarlah nasehatku. Kau takkan dapat berbuat sesuatu terhadapku dan sayanglah kalau kau menyia-nyiakan usia muda dan kecantikanmu. Dari pada kau memusuhiku, marilah kita bersahabat. Ayahmu sendiri tidak dapat mengalahkan aku, apalagi kau!”

“Mulut busuk! Kalau kau dan kawan-kawanmu tidak mempergunakan kecurangan dan kekejian, mana kau dapat menangkan ayah? Bersiaplah untuk mampus!” Gadis ini dengan sengit lalu maju menyerang dengan pedang dan selendangnya.

Tadinya Yap Cin masih memandang rendah, akan tetapi ketika pedang itu menyambar bagaikan kilat ke arah lehernya sedangkan selendang itu bagaikan seekor ular menotok ke arah ulu hatinya, ia menjadi terkejut juga. Cepat ia melempar tubuhnya ke belakang dengan gerak lompat Naga Hitam Memutar Tubuh sambil mencabut keluar senjatanya yang lihai, yakni sebatang ruyung lemas yang berduri.

Tanpa banyak cakap iapun lalu membalas dengan serangan hebat, akan tetapi dengan amat lincahnya gadis itu mengelak. Serang menyerang terjadi dan dalam beberapa gebrakan saja diam-diam Yap Cin mengeluh. Gadis ini gerakannya amat cepat, ginkangnya sudah amat tinggi dan ilmu silat yang dimainkan oleh kedua tangannya benar-benar aneh dan lihai sekali.

Pedang tipis itu menyambar dengan kecepatan yang tak dapat diikuti dengan mata, sedangkan selendang merah itupun tak boleh dipandang ringan, oleh karena angin sambarannya saja sudah terasa pada kulitnya. Maka ia tidak berani untuk mencoba-coba dan menyambut totokan selendang itu.

Terpaksa Yap Cin mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya untuk melakukan perlawanan, akan tetapi setelah bertempur dua puluh jurus saja, ia terdesak hebat dan hanya dapat menangkis saja.

“Bangsat terkutuk mampuslah kau!” berkali-kali Lian Hong berseru dengan gemas tiap kali senjatanya menyerang. Gadis ini merasa gemas dan benci sekali sehingga setiap serangannya merupakan pukulan maut yang amat berbahaya. Hanya berkat tenaganya yang besar serta pengalamannya bertempur yang banyak sajalah maka Yap Cin masih kuasa mempertahankan diri.

Akan tetapi pada suatu saat, selendang di tangan kiri Lian Hong bergerak sedemikian rupa menotok ke arah jalan darah di pundaknya. Ketika Yap Cin mengelak ke kiri, bagaikan bermata dan hidup selendang merah itu mengejar ke kiri dan tahu-tahu telah melibat lehernya.

“Mampuslah jahanam!” kembali Lian Hong berseru keras dan ia menarik selendangnya kuat-kuat untuk mencekik leher musuh besarnya itu. Yap Cin merasa seakan-akan lehernya dicekik oleh tangan manusia yang amat kuat sehingga lidahnya menjulur keluar dan matanya mendelik.

Untung baginya bahwa pada saat itu, kelima orang kawannya lalu menyerbu dan mengeroyok Lian Hong. Terpaksa gadis ini melepaskan selendang merahnya dari libatan pada leher musuhnya sehingga Yap Cin dapat bernapas lagi sambil meraba-raba lehernya. Kemudian enam laki-kai itu lalu mengeroyok Lian Hong.

Lima orang kawan Yap Cin itu bukanlah ahli-ahli silat biasa saja dan rata-rata mereka telah memiliki ilmu silat tinggi. Karena mereka semua mempergunakan pedang dan mengurung dengan secara teratur pula, dikepalai oleh Yap Cin yang merasa sakit hati dan marah, agak sibuk jugalah Lian Hong menghadapi mereka.

Namun dara perkasa ini sedikitpun tidak menjadi gentar. Ia tidak mau mundur setapakpun dan melakukan perlawanan dengan sengit, bahkan membalas dengan serangan-serangan ke berbagai jurusan.

Yang paling berbahaya dan terhebat serangannya di antara enam orang pengeroyoknya itu adalah Yap Cin sendiri. Si Lutung Sakti ini selain maklum bahwa ia harus membinasakan puteri Ong Han Cu yang telah ditewaskannya bersama-sama kawan-kawannya itu, juga ia merasa amat penasaran dan marah sekali.

Ia adalah seorang kang-ouw yang tenar dan telah terkenal memiliki ilmu silat yang tidak rendah apakah sekarang ia benar-benar harus jatuh dan kalah oleh seorang dara remaja? Apa lagi kalau sampai terdengar orang lain bahwa ia, Si Lutung Sakti, bersama lima orang ahli silat lain mengeroyok seorang nona berusia belasan tahun.

Ah, alangkah akan malunya! Karena ini Si Lutung Sakti Yap Cin lalu mengerahkan tenaganya dan menyerang dengan mati-matian. Ruyungnya menyambar-nyambar mendatangkan angin sehingga Lian Hong harus berlaku waspada dan hati-hati sekali. Sekali saja terkena hantaman ruyung di tangan Yap Cin, akan celakalah dia.

Pertempuran telah dilakukan lima puluh jurus, namun belum juga enam orang laki-laki itu dapat merobohkan Lian Hong. Mereka merasa amat penasaran dan mengurung makin rapat, menyerang dengan bertubi-tubi sehingga keadaan Lian Hong amat terdesak.

Gadis inipun tidak mempunyai kesempatan sedikitpun untuk membalas serangan enam orang lawannya karena senjata enam orang lawannya menyerang bagaikan hujan datangnya. Kalau ia mau, dengan menggunakan ginkangnya, ia akan dapat melarikan diri dari kepungan enam orang ini, akan tetapi gadis ini memiliki ketabahan dan kenekatan besar.

Biarpun ia mengerti bahwa kalau dilanjutkan pertempuran yang berat sebelah ini, ia takkan dapat menang, namun untuk meninggalkan musuh besarnya begitu saja, iapun merasa berat. Maka sambil mengerahkan tenaga dan mengumpulkan semangat, Lian Hong terus melakukan perlawanan.

Pada saat keadaan Lian Hong sudah terdesak sekali, tiba-tiba terdengar seruan keras, “Yap Cin bangsat tak tahu malu! Kau mengandalkan keroyokan enam orang untuk mengepung seorang gadis muda! Hah, orang macam kau ini tak patut hidup lagi!” Dan berbareng dengan kata-kata itu, muncullah seorang tosu tua dengan tangan kanan memegang kebutan dan tangan kiri memegang kipas.

“Suhu...!” seru Lian Hong dengan girang sekali, akan tetapi ia segera berkata kepada suhunya. “Suhu, biarkan teecu membalas dendam ayah kepada jahanam she Yap ini dan tolong suhu usir saja lima orang anjing yang tak tahu malu ini!”

Ouwyang Sianjin tertawa bergelak dan begitu kebutannya bergerak, buyarlah kepungan itu. Seorang pembantu Yap Cin roboh terguling-guling terkena sambaran ujung kebutan dan empat orang yang lain segera mengeroyoknya, meninggalkan Yap Cin menghadapi gadis itu sendiri.

Pertempuran terbagi dua bagian dan kini keadaan menjadi terbalik. Empat orang kawan Yap Cin itu mana dapat menandingi Ouwyang Sianjin? Dengan enak dan mudahnya Ouwyang Sianjin mainkan kebutannya tanpa mempergunakan kipasnya untuk menyerang karena kipas itu bahkan digunakan untuk mengipasi tubuhnya sendiri seakan-akan pertempuran itu membuat ia merasa gerah.

Sementara itu, ketika mendengar dari Lian Hong bahwa tosu tua itu adalah suhu dari gadis perkasa ini, Yap Cin terkejut sekali. Iapun pernah mendengar dari sahabatnya, yakni Leng Kok Hosiang bahwa Ong Han Cu mempunyai seorang saudara seperguruan yang bernama Ouwyang Sianjin, seorang tosu yang lihai dan bersenjata kebutan dan kipas.

Maka melihat tosu ini, tahulah dia bahwa yang datang ini tentulah Ouwyang Sianjin. Untuk melarikan diri, tak mungkin lagi karena Lian Hong mengurungnya dengan pedang dan selendangnya yang lihai, maka ia lalu melakukan perlawanan mati-matian.

Namun, karena ia memang kalah gesit dan kalah lihai ilmu silatnya, ditambah pula hatinya telah gentar dan ketakutan sehingga permainan senjatanya agak kacau. Baru saja bertempur belasan jurus, selendang ditangan kiri Lian Hong berhasil melibat lengan kanannya yang memegang ruyung.

Yap Cin mencoba untuk melepaskan tangannya akan tetapi sia-sia saja dan sebelum ia dapat mengelak, pedang di tangan kanan Lian Hong telah menusuk dadanya dengan gerak tipu Benang Mas Masuk Lubang jarum, sebuah gerak tipu serangan yang amat cepat dan tepat sekali datangnya. Yap Cin menjerit ngeri dan tubuhnya terjengkang ke belakang dengan dada menyemburkan darah dan ruyungnya terlepas dari pegangan.

Setelah berhasil menewaskan musuh besarnya, Lian Hong menengok ke arah suhunya yang tadi dikeroyok oleh empat orang kaki tangan Yap Cin, akan tetapi ternyata suhunya telah berdiri menganggur karena semua lawannya telah roboh sambil merintih-rintih tak dapat bangun lagi. Lian Hong lalu maju dan berlutut di depan suhunya sambil menangis sedih karena ia teringat akan ayahnya.

Ouwyang Sianjin mengelus-elus kepala muridnya dan berkata. “Anak baik, sudahlah jangan kau bersedih. Ayahmu telah tewas dan karena kematiannya tidak sewajarnya, maka sudah menjadi tugas kewajibanmu untuk membalas dendam agar roh ayahmu tidak menjadi penasaran. Kau telah berhasil menewaskan Yap Cin, dan kini masih ada empat orang lagi yang harus dibalas.

"Akan tetapi, kau tidak boleh bertindak terburu nafsu, muridku, karena ketahuilah bahwa musuh-musuhmu bukanlah orang yang mudah dikalahkan. Apalagi Leng Kok Hosiang yang memiliki ilmu pukulan Hek-coa-tok-jiu dan Cin Lu Ek yang berjuluk Naga bermata Emas. Kau harus menggunakan kecerdikan dan jangan sampai gagal menghadapi mereka.

"Ketahuilah bahwa murid ayahmu, yakni sucimu yang bernama Nyo Siang Lan dan yang telah dijuluki Hwe-thian Moli, juga telah mencari musuh-musuhmu ini. Kalau kau bertemu dengan dia, boleh kau bersama-sama dia melakukan tugas berbahaya ini.”

“Teecu hanya mengharapkan petunjuk-petunjuk dari suhu,” jawab Lian Hong, setelah ia disuruh berdiri oleh suhunya itu.

“Hanya seorang saja yang sudah kuketahui tempat tinggalnya, yakni Liok Kong yang berjuluk Toat-beng Sin-to. Ia tinggal di Kan-cou Propinsi Kiangsi dan kebetulan sekali pada bulan depan ia akan mengadakan pesta ulang tahunnya. Kau datanglah ke sana, akan tetapi sungguhpun permainan golok dari orang she Liok ini tak perlu kau takuti, namun di sana tentu terdapat kawan-kawannya yang menjadi tamu.

"Maka kau harus berlaku cerdik dan mengingat bahwa kau pandai menari, ada baiknya kalau kau menyamar sebagai seorang penari, pura-pura menjadi utusan seorang hartawan besar dan menari di depannya. Kemudian pada saat yang baik setelah kau dapat berhadapan dengan dia, kau turun tangan!”

Demikianlah, setelah mendapat pesan dan banyak nasihat dari gurunya, Lian Hong lalu di suruh pulang ke kota raja sedangkan tosu tua itu lalu melanjutkan perjalanannya. Memang sungguh kebetulan sekali bahwa orang tua itu datang pada saat Lian Hong berada di dalam bahaya.

Sesungguhnya ketika orang tua itu mencari Yap Cin di Kam-ciu, sebagaimana sudah dituturkan di bagian depan, Yap Cin tidak berada di kota dan sedang berpesta dan berpelesir di kota lain selama setengah bulan. Tosu itu menanti di Kam-ciu sampai setengah bulan sehingga akhirnya ia menjadi kesal dan hendak menyusul orang she Yap itu. Kebetulan sekali pada hari itu, Yap Cin juga pulang dari tempat pelesir dan bertemu dengan Lian Hong.

Kedatangan Lian Hong di rumah Ciok-taijin, disambut oleh kegembiraan dan juga teguran keras, terutama sekali dari Ciok-taijin. Akan tetapi dengan muka girang Lian Hong menuturkan betapa ia telah berhasil membalas dendam ayahnya kepada seorang di antara ke lima orang musuh besar itu.

“Lian Hong, dengarkan kata-kataku dengan baik, cucuku,” kata Ciok-taijin sambil memandang tajam. “Sungguhpun sudah menjadi kewajibanmu untuk membalas sakit hati ayahmu, akan tetapi tidak selayaknya kalau kau sebagai seorang gadis bangsawan, tunangan putera Pangeran Sim, sampai melakukan perjalanan seorang diri mencari musuh-musuhmu dan membiarkan dirimu berada di dalam bahaya maut.

"Bagaimana kalau sampai kau dirobohkan oleh orang-orang jahat itu? Dan bagaimana pula kalau sampai ada yang mengetahui bahwa tunangan putera Pangeran Sim melakukan perjalanan seorang diri di dunia? Kau hanya membikin kami orang-orang tua merasa susah dan gelisah, cucuku.

"Pembalasan sakit hati ini bukankah sedang diusahakan oleh suhumu? Kalau perlu, aku dapat mengerahkan perwira-perwira untuk mencari penjahat-penjahat itu dan menghukumnya. Tidak perlu kau pergi sendiri seperti yang telah kau lakukan itu.”

Akan tetapi, kembali watak ayahnya nampak jelas kepadanya ketika gadis itu menyahut, “Kong-kong, gadis bangsawan maupun gadis biasa, tidak ada salahnya melakukan perjalanan seorang diri asalkan ia dapat menjaga dirinya. Dengan kepandaian yang telah kupelajari, apakah yang kutakuti? Membalas dendam ayah, harus dilakukan oleh aku sendiri. Kong-kong sendiri menyatakan bahwa itu sudah menjadi tugas dan kewajibanku.

"Maka bagaimana aku dapat membiarkan suhu sendiri yang pergi membalas dendam? Tidak, kong-kong. Harus aku sendiri yang melakukan pembalasan ini sebagai darma baktiku kepada mendiang ayah yang semenjak kecil belum pernah kubalas kebaikannya. Adapun tentang pertunanganku dengan pemuda putera pangeran itu.

"Aku tidak perduli apakah ia atau orang tuanya akan suka atau tidak melihat aku pergi melakukan pembalasan terhadap para penjahat itu. Kalau mereka suka, syukurlah. Kalau tidak, juga tidak apa karena aku sudah mengambil keputusan tidak akan menikah sebelum dapat membereskan tugas pembalasan sakit hati ini!”

“Lian Hong....!” jerit ibunya.

“Ibu, apakah ibu juga akan suka melihat ayah terbunuh tanpa dapat membalas dendam? Dan pula, orang-orang kang-ouw tentu sudah maklum bahwa ayah adalah mantu dari Ciok-taijin, dan seandainya para pembunuh ayah itu tidak terhukum, bukankah itu berarti merendahkan nama kong-kong pula?”

Kemudian ketika melihat betapa kong-kongnya mendengarkan dengan penuh perhatian, ia lalu maju dan memegang tangan kong-kongnya yang amat menyayanginya itu sambil berkata, “Kong-kong, janganlah kau khawatir. Aku dapat menjaga diri, dan apabila kong-kong tidak menghalangi, tak lama lagi ke empat orang jahat itu akan dapat kutewaskan semua. Selain itu, harap kong-kong jangan gelisah. Selain suhu yang ikut mengusahakan pembalasan dendam ini, juga seorang murid dari ayah, yang bernama Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, telah pula turun gunung dan mencari para penjahat itu!”

Dengan alasan-alasan ini, akhirnya Lian Hong mendapat kemenangan dan kong-kongnya sambil menarik napas panjang berkata, “Sudahlah, lakukan apa yang kau kehendaki. Akan tetapi kau berlakulah hati-hati sekali dan jaga dirimu baik-baik. Pula, ada satu hal yang kuminta kau memperhatikan baik-baik, yakni jangan sekali-kali ada orang luar mengetahui bahwa kau adalah tunangan dari pada putera Pangeran Sim. Lakukanlah hal ini untuk menjaga nama baikku, maukah kau, Lian Hong?”

Gadis ini dengan manja lalu memeluk kakek ini dan menyatakan kesanggupannya. Dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, sebulan kemudian, dengan menyamar sebagai seorang penari, Lian Hong berhasil membunuh Liok Kong di rumahnya sendiridi waktu Toat-beng-sin-to Liok Kong sedang mengadakan pesta.

Kemudian setelah mengajak Hwe-thian Moli Nyo Siang Lan berlumba untuk sebanyak-banyaknya menewaskan musuh besar mereka, Lian Hong lalu kembali ke kota raja, pulang ke rumah kong-kongnya untuk menceritakan hasil usaha pembalasan dendam itu dengan girang.

Ketika Ciok-taijin mendengar bahwa kini jumlah musuh yang harus dibalas tinggal dua orang lagi dan bahwa Hwe-thian Mo-li juga ikut mencari musuh-musuh itu, hatinya menjadi agak lega. Ia bahkan membantu usaha cucunya dengan jalan menyuruh beberapa orang perwira sebagai penyelidik untuk mencari jejak dua orang musuh besar cucunya itu, yakni Leng Kok Hosiang dan Kim-gan-liong Cin Lu Ek.

Tentu saja Lian Hong merasa girang sekali mendapat bantuan kakeknya ini dan ia sama sekali tidak tahu bahwa diam-diam kakeknya juga memerintahkan kepada para penyelidik itu apabila telah bertemu dengan orang-orang yang dicari, supaya ditangkap atau dibunuh, dan kalau perlu boleh minta bantuan pembesar setempat. Untuk ini ia telah memberi sebuah surat perintah kepada mereka.

Kita ikuti lagi perjalanan Hwe-thian Moli Nyo Siang Lan, gadis gagah perkasa yang secara berani sekali telah mengacau di dalam pesta Liok Kong dan ilmu pedangnya bahkan berhasil menundukkan Lian Hong. Semenjak berpisah dari Lian Hong, gadis ini masih saja merasa kagum dan heran kalau ia teringat akan gadis penari yang cantik jelita itu.

Bagaimanakah suhunya dapat mempunyai seorang puteri yang sebaya dengan dia tanpa pernah menceritakannya kepadanya? Siapakah isteri suhunya dan di mana tinggalnya? Ia merasa kecewa karena Lian Hong tidak mau menceritakan keadaannya dan sebetulnya ingin sekali berkenalan dengan sumoinya itu. Ia merasa amat kagum akan kepandaian Lian Hong dan melihat gerakan ilmu pedangnya.

Ia tidak ragu-ragu lagi bahwa Lian Hong pernah mempelajari ilmu pedang Liong-cu kiam-hwat secara baik, hanya masih kurang matang dan tercampur dengan ilmu pedang lain. Akan tetapi ilmu silat selendang yang dimainkan oleh gadis penari itu sungguh-sungguh hebat.

Ia tersenyum sendiri kalau teringat akan kelincahan dan kejenakaan Lian Hong, dan ia dapat menduga bahwa gadis penari itu membohong dan sengaja mempermainkannya ketika mengaku bahwa iapun mempunyai julukan Hwe-thian Sianli.

Semenjak turun gunung untuk mencari musuh yang membunuh suhunya, ia telah mengalami banyak peristiwa hebat. Setelah ia turun gunung, pertama-tama yang ia dapat ketemukan jejaknya adalah Santung taihiap Siong Tat, Pendekar Besar dari Santung.

Ia mendengar berita bahwa Siong Tat telah pergi pindah ke kota Kang-leng sebelah selatan Ibukota Cin-an. Dengan cepat ia lalu menyusul ke Kang-leng dan mudah saja ia mendapatkan alamat Santung taihiap Siong Tat karena orang she Siong inipun telah menjadi seorang hartawan besar yang membuka rumah gadai terbesar di kota Kang-leng.

Ketika ia hendak memasuki kota itu dan berada di jalan yang sunyi tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki tua memanjat pohon sambil menangis. Tangan orang itu membawa sehelai tali. Gerakan orang ini amat mencurigakan hati Hwe-thian Moli, maka diam-diam sambil bersembunyi, gadis ini lalu mengintai.

Ternyata bahwa orang tua itu lalu menalikan tali yang dibawanya pada cabang pohon dan hendak menggantung diri. Melihat ini, tentu saja Siang Lan menjadi terkejut sekali. Ia merasa heran mengapa ada orang yang demikan putus asa sehingga mengambil keputusan pendek.

Kakek tua itu telah membuat ujung tali menjadi penjerat leher, mengalungkannya kepada lehernya dan hendak melompat turun. Akan tetapi alangkah herannya ketika tiba-tiba tali yang tergantung pada cabang itu menjadi putus dan tanpa diketahui sebabnya. Ia memandang ke sekeliling dan melihat keadaan di situ sunyi saja. Ia berkata keras-keras.

“Setan penjaga tempat ini mengapa masih mau mengganggu seorang yang sengsara seperti aku? Awas, jangan mengganggu dan menghalangi maksudku, kalau aku sudah mampus dan menjadi setan penasaran pula, akan kucari kau dan kubalas perbuatanmu ini!”

Setelah berkata demikian, ia lalu menalikan talinya itu kembali pada cabang lain. Akan tetapi pada saat itu muncullah seorang gadis cantik yang tahu-tahu telah berada di bawah pohon. Orang tua ini memandang dengan mata terbelalak. Ia merasa pasti bahwa gadis cantik ini tentulah setan yang menjaga di situ, maka katanya.

“Mungkin kau adalah setan dari seorang gadis yang juga mati dalam penasaran. Maka biarlah aku mengakhiri penderitaanku di dunia ini!”

Akan tetapi gadis yang bukan lain adalah Hwe-thian Moli Nyo Siang Lan, tanpa menjawab segera melompat ke atas, menggunakan kedua tangannya menangkap tubuh kakek itu dan membawanya lompat turun kembali ke bawah pohon. “Lopek (uwak), mengapa kau begitu lemah dan bersikap seperti seorang pengecut?”

Marahlah kakek itu. “Siapa bilang aku pengecut? Aku tidak takut mati dan hendak menghabiskan nyawaku dengan tak gentar sedikitpun, dan kau masih menyebutku pengecut? Siapakah kau nona yang cantik jelita dan kasar ini?”

“Hm, menghabiskan nyawa sendiri dengan cara demikian adalah perbuatan rendah yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pengecut! Kau bilang berani mati, bukankah itu berarti bahwa kau takut untuk hidup? Lopek, bukan demikianlah cara untuk memecahkan kesulitan hidup! Kalau ada sesuatu hal yang menyulitkan keadaanmu, kau harus berusaha memecahkannya, bukan dengan cara menghabiskan nyawa dan lari dari pada kesulitan yang kau hadapi!”

Kakek yang tadinya menundukkan mukanya yang sedih itu kini memandang dengan penuh keheranan. “Siapakah kau, nona? Siapakah kau yang semuda ini telah dapat mengeluarkan ucapan seperti itu?”

“Orang menyebutku Hwe-thian Moli, namaku Nyo Siang Lan. Sekarang lekaslah kau ceritakan kepadaku mengapa kau berlaku nekad seperti ini. Kalau kau sendiri tidak dapat memecahkan kesulitan yang kau hadapi, mungkin aku dapat menolongmu.”

Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya. “Sulit, sulit....”

Kemudian atas desakan Hwe-thian Moli ia lalu menuturkan keadaannya. Kakek itu bernama Lim Bun dan hidup berdua dengan anak perempuannya di kota Kang-leng dalam keadaan miskin sebagai seorang petani yang memiliki sebidang kecil sawah. Anak perempuannya telah menjadi janda yang ditinggal mati suaminya dengan peninggalam lima orang anak yang kesemuanya lalu tinggal bersama kakek mereka, yakni Lim Bun itu.

Semenjak anak perempuan dan cucu-cucunya tinggal bersamanya dan hidup mereka menjadi tanggungannya, mulai sukarlah keadaan kakek ini. Biasanya ia hanya mencari nafkah untuk dirinya sendiri oleh karena anaknya telah mendapat perlidungan dari suaminya, akan tetapi sekarang ia harus dapat mencari makan untuk tujuh mulut. Tentu saja tenaganya yang sudah tua itu tidak kuat untuk mencari nafkah sebesar ini.

Cucu-cucunya masih kecil dan yang sulung adalah seorang perempuan pula sehingga tenaga bantuannya tak banyak dapat diharapkan. Cucunya yang sulung itu telah berusia lima belas tahun dan dapat dibilang cantik juga. Makin lama makin sukarlah keadaan Lim Bun beserta cucu-cucunya. Barang-barang yang kiranya laku dijual telah lama habis dan kini hanya tinggal sawah yang kecil itu saja yang masih ada.

Namun agaknya Thian masih hendak menguji keuletan manusia di dunia, dan percobaan-percobaan berat diturunkan kepada manusia untuk diderita oleh makhluk-makhluk yang diturunkan di dunia tanpa mereka kehendaki sendiri itu.

Musim kering berlangsung amat lamanya sehingga dari sebidang kecil sawah itupun tidak dapat diharapkan hasilnya. Tanahnya mengering, pecah dan retak-retak, sedikitpun tidak dapat ditumbuhi apa-apa melainkan rumput-rumput kering menguning. Di ambang pintu kelaparan, akhirnya Lim Bun dan anak perempuannya terpaksa lari ke sebuah rumah gadai yang istimewa.

Rumah gadai ini amat besar dan pemiliknya adalah Santung-taihiap Siong Tat yang amat berpengaruh dan disohorkan sebagai seorang hartawan besar yang royal. Ketika Lim Bun dengan terbongkok-bongkok memasuki rumah gadai ini, penjaga rumah gadai menanyakan apakah maksud kedatangannya.

“Hamba hendak meminjam uang,” jawab Lim Bun yang merendahkan diri sedemikian rupa terhadap pegawai itu karena mengharapkan pertolongan darinya.

Pegawai rumah gadai mengerutkan dahinya. “Minta tolong pinjam uang? Di sini tidak meminjamkan uang tanpa ada barang tanggungan. Di sini adalah rumah gadai. Apakah kau mempunyai barang tanggungan?”

“Hamba mempunyai sebidang sawah, siauwya (tuan muda).”

Disebut “siauwya” yakni sebutan yang amat menghormat dan biasanya hanya ditujukan kepada orang-orang muda yang kaya atau berpangkat, pegawai rumah gadai yang masih muda itu berseri mukanya dan tersenyum, akan tetapi dahinya tetap dikerutkan.

“Sawah? Siapakah yang menghargai sawah pada musim kering seperti ini? Lagi pula, di sini hanya menerima sesuatu yang dapat dibawa ke sini untuk disimpan sebagai tanggungan.”

“Siauwya, kasihanilah.... hamba sudah tidak mempunyai apa-apa lagi kecuali sawah itulah, semua barang sudah kami jual untuk dimakan.”

“Hm, sukar juga, pak tua!” Kemudian pegawai rumah gadai itu menggigit-gigit tangkai pitnya seperti orang sedang berpikir keras. Tiba-tiba ia memandang dan bertanya dengan suara perlahan. “Apakah kau mempunyai anak atau cucu yang masih gadis?”

Pertanyaan yang aneh ini membuat Lim Bun melenggong, akan tetapi ia menjawab juga. “Memang hamba mempunyai seorang cucu perempuan yang masih gadis bernama Siauw Kim, akan tetapi apakah hubungannya dengan urusan ini?”

Orang muda di dalam kantor rumah gadai itu mengangguk-angguk dan tersenyum. “Kalau cucumu itu cantik, ia akan dapat dijadikan tanggungan untuk peminjaman uang. “Makin cantik, makin banyaklah kau dapat meminjam.”

“Apa...?” Untuk beberapa lama orang tua itu memandang dengan mata terbelalak. “Kau maksudkan... seorang gadis dapat di...digadaikan di sini...? Alangkah...alangkah....”

“Sst, jangan mengeluarkan kata-kata yang tidak-tidak, lopek.”

Pegawai itu menempelkan pit pada bibirnya untuk mencegah orang tua itu berkata lancang. “Yang mengeluarkan peraturan ini adalah Siong-wangwe sendiri dan apakah buruknya itu? Orang miskin yang tidak mempunyai barang tanggungan tentu saja tak dapat meminjam uang, maka Siong-wangwe lalu mendapatkan pikiran yang amat baik ini.

"Dengan menggadaikan anak perempuannya, orang dapat meminjam uang dan setelah ia mempunyai uang penebus, ia dapat menebus kembali anak perempuannya. Apakah salahnya itu? Anak perempuannya akan diurus baik-baik, disuruh bekerja membersihkan halaman dan pekerjaan wanita lainnya, diberi makan cukup!”

“Akan tetapi... mengapa diukur dari kecantikannya...?”

Orang muda pegawai rumah gadai itu tersenyum dan menahan gelak ketawanya. “Lopek, kau seperti anak kecil saja! Bukankah semua benda di dunia ini, baik itu berjiwa atau tidak, selalu dinilai orang karena kebagusannya? Nah, kau pulanglah dan pikirlah baik-baik, kau membiarkan sekeluargamu mati kelaparan atau datang menyerahkan cucumu untuk menjadi tanggungan di sini dan dapat meminjam uang.

"Kami menanggung bahwa cucumu itu takkan diganggu oleh siapapun juga dan akan dapat ditebus dalam keadaan baik dan sama sekali tidak terganggu. Akan tetapi, kalau sampai kau tidak dapat menebus pada waktunya dan waktu pembayaran itu telah habis, maka cucumu akan menjadi hak milik Siong-wangwe dan dalam hal ini tentu saja dia dapat berlaku sekehendak hatinya terhadap hak miliknya!”

Lim Bun menjadi pucat dan tanpa dapat bicara lagi ia lalu pergi dari rumah gadai itu dengan langkah terhuyung-huyung. Sepanjang jalan pikirannya bekerja keras. Haruskah ia menggadaikan cucu perempuannya, Siauw Kim yang manis? Haruskah ia mengorbankan perasaan dan kehormatan gadis cucunya itu untuk menolong keluarganya?

Ah, tidak, tidak! Sekali lagi tidak! Biarpun ia miskin, ia masih mempunyai keangkuhan untuk melakukan hal itu. Sungguhpun ia harus mati kelaparan, ia tidak suka melihat cucunya itu dijadikan barang tanggungan yang tentu akan merendahkan nama baiknya, sebagai seorang anak gadis.

Akan tetapi, keangkuhan hatinya itu buyar sama sekali ketika sampai di rumah gubuknya disambut oleh tangisan-tangisan yang menyayat kalbu. Ternyata bahwa cucunya yang bungsu, yang menderita sakit panas ketika ditinggalkannya tadi, kini telah meninggal dunia.

Di dalam kehancuran hati mereka, ibu Siauw Kim dan gadis itu sendiri masih teringat kan kebutuhan uang guna pengurusan jenazah anak kecil itu dan juga untuk membeli makanan bagi anak-anak yang lain yang sudah menderita lapar semenjak kemarin.

“Bagaimana, ayah? Berhasilkah usahamu mencari pinjaman ke rumah gadai?” tanya anak perempuannya dengan suara terisak.

Lim Bun menjatuhkan diri di atas tanah karena mereka tidak mempunyai tempat duduk dari bangku lagi dan tak tertahan lagi kakek ini lalu menangis. Kemudian di antara sedu sedan dan elahan napasnya ia menceritakan tentang usul pegawai rumah gadai itu. Mendengar betapa rumah gadai itu minta anak perempuannya untuk dijadikan barang tanggungan, nyonya itu menangis sedih.

“Alangkah kejamnya!” katanya sambil memeluk anaknya yang juga menangis sedih.

“Ibu, biarlah...biarlah aku pergi ke sana, biar aku dijadikan barang tanggungan, asal kong-kong bisa mendapatkan uang guna membeli makan untuk adik-adikku....” kata Siauw Kim dengan gagahnya.

“Tidak, tidak..... bagaimana kalau kita tidak dapat menebusmu kembali?” kata ibunya sedangkan Lim Bun tak dapat berkata sesuatu seperti orang kehilangan akal.

“Tentu bisa, ibu, Bukankah uang pinjaman itu sebagian besar dapat dipergunakan untuk membeli bibit padi? Musim hujan mulai tiba dan sawah kita tentu akan menghasilkan padi!”

Mendengar ucapan cucunya ini, dengan terharu Lim Bun lalu berdiri dan memegang kedua pundak Siauw Kim. “Cucuku yang baik, memang hanya kaulah pada saat ini yang dapat menolong nyawa kita sekeluarga. Percayalah, Thian masih cukup adil untuk memberi berkah kepada sawah kita sehingga penghasilannya cukup untuk dipergunakan menebusmu kelak...”

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.