Iblis dan Bidadari Jilid 06

Cerita Silat Mandarin non serial, iblis dan Bidadari jilid 06 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

06. Pemilik Pegadaian Anak Manusia

DEMIKIANLAH, dengan hati hancur kakek ini pada keesokan harinya mengantar cucunya ke rumah gadai itu. Ia diterima oleh pegawai rumah gadai yang tersenyum-senyum memandang gadis berusia lima belas tahun ini.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Dipandangnya dari kepala sampai ke kaki, seakan-akan sedang menaksir nilai sebuah benda yang digadaikan. Kemudian ia mengangguk-angguk dan menulis pada sehelai surat gadai sambil bersungut-sungut.

“Kecantikannya cukup, potongan badan boleh, hanya sayang agak kurus dan pucat!”

“Se... semenjak kemarin ia belum... makan...” kata Lim Bun dengan hati seperti diremas-remas.

“Hm, seharusnya aku hanya berani memberi lima puluh tail, akan tetapi karena kasihan, biarlah kuberi tujuh puluh tail dalam waktu dua bulan. Bunganya seperlima bagian dan harus dikembalikan paling lambat tepat pada dua bulan kemudian. Kalau dalam waktu dua bulan belum terbayar, cucumu ini menjadi hak milik Siong-wangwe.”

Kakek itu membelalakkan matanya,. “Hanya tujuh puluh tail...? Kau hargai cucuku hanya untuk tujuh puluh...?” Hampir saja kakek itu melempar surat gadai dan uang itu kembali ke meja pegawai rumah gadai, akan tetapi Siauw Kim lalu memegang tangan kong-kongnya dan memandangnya dengan mata mengembang air mata.

“Kong-kong, tujuh puluh tail perak sudah cukup untuk membeli benih. Kerjakanlah sawah kita baik-baik agar dapat menghasilkan uang penebusan diriku.”

Dengan mata penuh air mata yang perlahan-lahan mengalir ke pipinya yang kisut, kakek itu melihat betapa cucunya dengan muka tunduk mengikuti seorang pegawai rumah gadai masuk ke dalam, entah kemana. Dengan tersuruk-suruk Lim Bun lalu pulang ke rumahnya.

Memang sekeluarganya tertolong dari bahaya kelaparan dengan uang itu dan jenazah cucu bungsunya dapat dikubur dengan pantas. Akan tetapi, ternyata bahwa musim hujan pada waktu itu amat kikir dengan air hujannya. Hanya sedikit saja hujan turun di bagian di mana terdapat sawah kakek Lim Bun dan hujan banyak turun di bagian lain.

Untuk mengairi sawahnya, terpaksa Lim Bun mengandalkan aliran anak sungai yang dibanjiri air dari daerah lain. Ia bekerja keras dibantu oleh anak perempuannya dan cucu-cucunya yang masih kecil, mencangkul tanah yang keras dan membuat selokan untuk mengalirkan air ke dalam sawahnya. Kemudian sisa uang itu dibelikannya benih-benih padi yang disebar disawahnya.

Biarpun waktu penebusan diri Siauw Kim hanya dua bulan, akan tetapi kalau padi di sawahnya sudah berusia dua bulan dan sudah nampak gemuk-gemuk dan subur, dengan mudah ia dapat menjual padi itu kepada orang-orang kaya yang biasa membeli isi sawah sebelum panen dengan harga jauh lebih murah.

Akan tetapi, ternyata bahwa Siong Tat dan kaki tangannya benar-benar amat kejam. Melihat betapa Siauw Kim setelah mendapat makan cukup dan pakaian pantas, kelihatan cantik dan manis sekali, Siong Tat merasa sayang kalau anak perempuan itu sampai dapat tertebus oleh Lim Bun.

Diam-diam ia lalu memberi perintah kepada anak buahnya dan sebulan kemudian, ketika sawah dari Lim Bun sudah mulai nampak penuh dengan batang padi menghijau, pada suatu pagi Lim Bun dengan terkejut melihat betapa sawahnya telah rusak binasa. Semua batang padi yang masih muda itu telah dicabuti orang dan rusak sama sekali.

Lim Bun menjadi pucat dan hampir saja ia menjadi pingsan melihat keadaan sawahnya ini. Sambil berlari-lari ke sana ke mari, ia berteriak-teriak. “Siapa yang mencabuti padiku...? Ah, manusia mana yang demikian kejam melakukan bencana ini kepadaku...? Siapa yang mencabuti padiku....?”

Orang-orang lain yang bekerja di sawah mereka, melihat dengan kasihan sekali kepada kakek yang hampir menjadi gila itu. Seorang tetangga yang tahu baik keadaan Lim Bun, lalu menghampirinya dan memegang tangannya. “Kim-lopek, kalau bukan kaki tangan Siong-wangwe yang malam tadi melakukan perbuatan terkutuk ini, siapa lagi yang berani melakukannya?”

Lim Bun terbelalak memandang orang itu. “Akan tetapi mengapa? Mengapa??”

Orang itu hanya mengangkat pundak dan melanjutkan pekerjaannya setelah melempar pandang penuh iba hati kepada kakek itu.

“Bangsat kejam Siong Tat! Aku harus membuat perhitungan!” teriak kakek itu dan ia segera berlari-lari menuju rumah gedung Siong Tat. Akan tetapi, sebelum ia memasuki halaman rumah gedung itu, ia telah diusir oleh lima orang penjaga dan ia segera dilempar keluar ketika ia berkeras hendak mencari Siong-wangwe.

Lim Bun bangun lagi dan kini ia berlari ke rumah gadai yang berada di dekat rumah gedung itu. Ia berlari masuk dan ketika tiba di depan meja pegawai rumah gadai, ia berteriak keras sambil menggebrak meja.

“Kembalikan cucuku! Lepaskan Siauw Kim! Kalian telah sengaja merusak sawahku agar aku tidak dapat menebus Siauw Kim! Kalian bangsat-bangsat kurang ajar yang berhati iblis! Lepaskan Siauw Kim cucuku!”

Pegawai rumah gadai itu keluar diikuti beberapa orang tukang pukul. Tukang-tukang pukul itu hendak turun tangan terhadap kakek yang membikin ribut ini, akan tetapi pegawai itu mengangkat tangan mencegah, lalu sambil tersenyum-senyum ia berkata kepada Lim Bun.

“Kakek tua, agaknya kau sudah pikun! Kau tidak becus mengurus sawahmu, janganlah kau persalahkan itu kepada orang lain. Kau sudah menggadaikan cucumu dan waktu dua bulan masih kurang dua minggu lagi. Kalau kiranya kau sudah tak sanggup menebus cucumu, relakanlah saja cucumu menjadi hamba sahaya Siong-wangwe karena keadaannya akan lebih senang dari pada menjadi cucumu. Nah, lihatlah, Siong-wangwe bahkan memberi tambahan tiga puluh tail perak kepadamu kalau kau tidak menebus cucumu!”

Pegawai itu lalu mengeluarkan setumpuk uang perak di atas meja dihadapan kakek itu. Akan tetapi Lim Bun menampar uang itu sehingga berdentingan jatuh di atas lantai. “Tidak sudi! Aku tidak sudi uang yang kotor ini! Lekas lepaskan cucuku, kalau tidak aku akan melaporkan kepada tikoan!”

Kini pegawai itu memberi tanda dengan matanya dan dua orang tukang pukul lalu melangkah maju, memegang lengan kakek itu dan sekali ayun saja tubuh kakek itu melayang keluar dari rumah itu. Lim Bun memekik dan tubuhnya jatuh berdebuk di atas tanah. Untung bagi kakek tua ini bahwa ia terjatuh dengan tubuh belakang lebih dulu, kalau kepalanya yang jatuh lebih dulu, banyak kemungkinan ia akan tewas.

Namun karena ia sudah tua dan lemah, kejatuhannya itu cukup membuat ia sampai lama tak dapat bangun. Beberapa orang yang menaruh hati kasihan lalu menolongnya bangun. Sambil menangis dan memaki-maki, Lim Bun langsung menuju ke rumah pembesar kota itu menghadap melaporkan keadaannya.

Akan tetapi setelah tikwan itu memeriksa surat gadai, di situ ia membaca tulisan yang menyatakan bahwa anak perempuan Siauw Kim telah dijual sebagai budak kepada Siong-wangwe seharga seratus tail perak. Kakek itu ternyata buta huruf dan tak dapat membaca surat penjualan yang disangkanya surat gadai biasa ini.

“Orang tua, kau telah menjual anakmu dengan suka rela dan sah, mengapa sekarang kau hendak mungkir janji dan hendak membuat ribut? Tidak tahukah kau bahwa Siong-wangwe adalah seorang sopan dan mulia hatinya? Untuk kekurang ajaranmu ini seharusnya kau dihukum dengan lima puluh kali sambukan pada punggungmu, akan tetapi mengingat bahwa kau sudah tua dan mungkin otakmu agak miring, kau hanya diberi hukuman peringatan sepuluh kali cambukan!”

Hakim yang bijaksana dan adil bagi orang-orang hartawan ini lalu membuat perintah kepada algojonya yang cepat merobek baju kakek itu, menendang lututnya sehingga kakek itu roboh tertelungkup dan menghantam punggung kakek itu sepuluh kali dengan cambukan yang besar. Kakek itu tentu saja menangis menggerung-gerung karena sakitnya. Kulit punggungnya pecah dan berdarah.

Namun sakit di dalam hatinya masih jauh lebih besar dari pada sakit pada punggungnya. Ia lalu diusir seperti anjing dan dengan terhuyung-huyung dan terpincang-pincang kakek ini lalu keluar dari rumah pengadilan itu. Bagaimana ia dapat menyampaikan warta ini kepada anaknya dan cucu-cucunya di rumah? Kakek ini menjadi bingung sekali dan ia lalu mengambil keputusan nekat. Bunuh diri!


Mendengar penuturan kakek Lim Bun yang telah berputus asa dan hendak membunuh diri itu, Hwe-thian Moli menjadi marah sekali. Sepasang alisnya yang hitam dan bagus bentuknya itu berkerut dan sepasang matanya memancarkan cahaya berkilat.

“Keparat jahanam!” sambil menggigit bibir saking gemasnya ia memaki, kemudian ia bertanya kepada kakek itu. “Lim-lopek, sudah banyakkah terjadi penggadaian manusia itu?”

Lim Bun menghela napas. “Setelah kutanya-tanyakan kepada beberapa orang, memang sudah banyak jumlahnya anak perempuan yang digadaikan seperti halnya cucuku Siauw Kim itu. Akan tetapi siapakah orangnya yang berani melawan Santung-taihiap Siong Tat yang selain kaya raya dan berkepandaian tinggi, juga agaknya dilindungi oleh pembesar setempat?”

“Kurang ajar! Akulah yang berani melawannya, lopek. Jangan kau kuatir. Pulanglah dengan tenang dan tunggulah saja. Hari ini juga akan kubawa pulang cucumu Siauw Kim!” Setelah berkata demikian, Hwe-thian Moli Nyo Siang Lan lalu merogoh saku bajunya dan memberi beberapa potong uang perak kepada kakek itu.

Lim Bun menerima pemberian itu dengan amat berterima kasih, akan tetapi ia masih ragu-ragu apakah gadis muda cantik jelita ini akan sanggup menghadapi Siong Tat. “Lihiap,” katanya dengan suara terharu, “kau amat berbudi dan gagah perkasa. Akan tetapi kau seorang diri dan Siong Tat mempunyai banyak sekali kaki tangan. Kalau kau sampai mendapat celaka di tangan mereka yang kejam, bukankah dosaku akan makin bertambah?”

“Jangan pikirkan hal ini, lopek. Kau percayalah saja kepadaku. Kalau perlu, semua kaki tangan jahanam itu akan kubunuh mampus dan pembesar keparat itupun akan mendapat bagiannya!” Sebelum kakek itu dapat berkata sesuatu, tubuh nona itu berkelebat dan lenyap dari depan matanya.

Tentu saja Lim Bun merasa terkejut sekali dan hampir saja ia tidak percaya akan pandangan matanya. Mimpikah dia tadi? Akan tetapi tidak, karena uang perak beberapa potong itu masih berada ditangannya. Mungkin ia bukan manusia, pikirnya, akan tetapi seorang dewi. Kakek itu lalu berlutut dan untuk beberapa lama mulutnya berkemak-kemik membaca doa menghaturkan terima kasih.

Dengan hati penuh dibakar api kemarahan, Siang Lan mempergunakan ilmu berlari cepat memasuki kota Kang-leng. Mudah saja ia mendapat keterangan di mana adanya rumah gadai dari Siong-wangwe dan melihat rumah gadai yang besar dan terjaga oleh lima orang yang tinggi besar, ia segera berjalan masuk dengan langkah lebar. Para penjaga itu memandang kepadanya dengan senyum menyeringai sebagaimana biasanya laki-laki mata keranjang melihat wanita cantik.

“Aduh, nona manis!” seru seorang di antara mereka yang termuda sambil senyum-senyum, “Kau hendak menggadaikan apakah? Kalau kau perlu uang, biarlah aku saja yang memberi pinjam kepadamu. Mari kau ikut aku pulang ke rumahku, maukah?”

Mendengar ucapan ini, kemarahan di dalam dada Siang Lan meluap-luap. Ia berhenti bertindak dan memandang kepada lima orang penjaga itu dengan mata mengancam akan tetapi mulutnya tersenyum. “Aku memang mau menggadaikan sesuatu di rumah gadai ini.”

“Menggadaikan apakah nona?” tanya penjaga itu sambil melangkah maju. “Hati-hati jangan sampai kau terlihat oleh Siong-wangwe, lebih baik kau turut kepadaku dan segala kebutuhanmu akan kucukupi. Mari nona manis. Marilah....” tangan penjaga itu secara krang ajar diulurkan kepadanya hendak memegang lengannya.

“Kaulah yang hendak kugadaikan!” tiba-tiba Siang Lan menggerakkan tangannya dan sebelum penjaga yang mata keranjang itu dapat mengelakkan diri, ia telah terkena tiam-hwat (totokan) dari Siang Lan. Saking gemasnya Siang Lan telah menotok dengan tenaga kuat sekali sehingga penjaga itu roboh dalam keadaan kaku dan mata mendelik.

Empat orang penjaga lain yang melihat kawan mereka dirobohkan oleh seorang gadis cantik, menjadi terkejut dan segera maju menyerbu untuk menangkap Siang Lan. Mereka masih memandang ringan dan tidak mempergunakan senjata, hanya mengulurkan tangan untuk menangkap gadis itu.

Akan tetapi, begitu tubuh Siang Lan bergerak dan kedua kaki tangannya bekerja, empat tubuh penjaga itu terlempar ke sana ke mari dibarengi teriakan ngeri. Mereka terbanting roboh tanpa dapat bangun kembali.

Peristiwa ini terjadi di pintu gerbang rumah gadai itu, di dekat jalan raya sehingga banyak orang yang menyaksikan. Orang-orang ini menjadi terheran-heran melihat betapa seorang gadis muda yang cantik berani mengamuk dan mengacaukan rumah gadai Siong-wangwe.

Bahkan kini telah merobohkan lima orang penjaga yang biasanya amat ditakuti dan lebih galak dari pada lima ekor anjing penjaga itu. Hal ini amat menarik perhatian dan sebentar saja banyaklah orang berkerumun di tempat itu.

Akan tetapi Siang Lan tidak memperdulikan semua orang itu, lalu ia membungkuk dan menjambak rambut penjaga mata keranjang tadi, lalu diseretnya menghampiri rumah gadai. Beberapa orang menjadi makin tertarik dan memberanikan diri untuk ikut masuk dan melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka melihat gadis muda itu membawa tubuh penjaga sampai di depan meja pegawai rumah gadai yang bangun berdiri dari kursinya dan memandang dengan mata terbelalak.

“Kau siapa dan apakah maksud kedatanganmu?” tanya pegawai itu dengan hati kebat-kebit. Ia telah melihat bahwa yang diseret masuk itu adalah seorang penjaga, akan tetapi tentu saja ia tidak berani menegur karena ia adalah seorang ahli menulis surat gadai saja.

Siang Lan tertawa menghina ketika mendengar pertanyaan ini. “Apakah matamu buta? Aku datang hendak menggadaikan orang. Inilah dia!” Ia lalu menjambak rambut penjaga yang tubuhnya kaku dan mata mendelik itu, diangkatnya dan dilemparkannya ke atas meja besar di depan pegawai itu.

Tentu saja pegawai itu menjadi pucat ketakutan dan tubuhnya menggigil. Ia merasa ngeri melihat penjaga itu matanya mendelik dan tubuhnya kaku seperti patung. “Ti... Tidak... di sini tidak menerima penggadaian orang....” katanya gagap.

“Ah, tidak menerima, ya? Kalau anak gadis dari kakek Lim yang bernama Siauw Kim, bukankah itu orang juga? Awas, jangan kau main-main!” bentak Siang lan. “Hayo lekas tulis surat gadainya! Dan aku minta benda busuk ini dihargai seratus ribu uang emas!”

Pegawai itu melongo dan wajahnya menjadi makin pucat. Ia maklum bahwa wanita gagah ini tentu datang hendak membikin ribut, maka ia menjadi serba salah. Ia memandang kepada kawan-kawannya yang juga sudah berkumpul di belakangnya dan ia berkata kepada mereka,

“Mengapa kalian diam saja? Lihiap ini hendak menggadaikan orang dan minta seratus ribu. Di mana kita ada uang sebanyak itu? Mana Tang-kauwsu dan Li-kauwsu? Mengapa tidak lekas memberi laporan kepada Siong-wangwe supaya membawa uang itu kemari?”

Siang Lan maklum bahwa orang ini hendak mencari bala bantuan, akan tetapi ia tidak perduli dan bahkan membentak. “Hayo lekas tulis surat gadainya!”

Pegawai itu makin ketakutan dan gelisah akan tetapi melihat kawan-kawannya lari ke belakang, ia menjadi lega karena tak lama lagi tentu datang bala bantuan. Ia memaksa mulutnya tersenyum dan menjawab, “Sabarlah nona. Kita sedang berurusan dengan uang yang besar jumlahnya. Apakah tidak lebih baik nona duduk dulu? Ini... benda yang kau gadaikan ini ... ia terlalu besar.....” Ia menunjukkan kepada tubuh penjaga yang melintang di atas mejanya.

“Terlalu besar, ya?” tiba-tiba Siang Lan mencabut pedangnya sehingga sinar pedang yang tajam berkilau menyilaukan mata. Dengan sedikit gerakan pedangnya ke arah kepala penjaga itu, putuslah sebelah telinga penjaga mata keranjang itu dan Hwe-thian Moli lalu melemparkan tubuh itu ke atas lantai. Ia menunjuk ke arah daun telinga yang kini berada di atas meja lalu berkata. “Nah biarlah kau terima daun telinganya saja, supaya lebih kecil dan mudah disimpan.”

Penjaga itu makin ketakutan dan semua orang yang menonton diam-diam merasa terkejut juga. Nona ini datang mencari perkara, pikir mereka dengan hati berdebar-debar. Memang sesungguhnya telah lama penduduk Kang-leng menderita di bawah kekejaman Siong Tat dan kaki tangannya dan sekarang melihat seorang gadis gagah sengaja datang mengacaukan rumah gadai ini, tentu saja mereka tertarik sekali dan diam-diam berpihak kepada gadis ini.

“Hayo lekas keluarkan uang dan tulis surat gadainya!” kembali Siang Lan berseru mengancam.

“A... Aku ti... tidak bisa...” pegawai itu berkata hampir menangis saking takutnya.

“Bangsat hina dina! Kalau menerima penggadaian seorang gadis, kau bisa menawar dan membuat suratnya, ya? Bagus, orang macam kau ini tidak patut memegang pit dan menulis lagi!”

Dua kali pedang di tangan Siang Lan berkelebat dan pegawai itu berteriak ngeri lalu terhuyung-huyung roboh dengan kedua tangan berdarah, Ternyata bahwa sepuluh buah jarinya tinggal setengahnya saja sehingga kalau sudah sembuh, biarpun ia masih dapat melakukan pekerjaan kasar lainnya, jangan harap akan dapat menggerakkan alat tulis yang halus.

Pada saat itu, dari belakang berlari mendatangi dua orang yang berpakaian seperti guru silat dan di belakangnya masih nampak tujuh orang penjaga yang bertubuh tinggi besar dan berwajah kejam. Dua orang ini adalah Tang-kauwsu dan Li-kauwsu, dua orang guru silat yang menjadi kepala penjaga di situ.

Oleh karena dua orang guru silat ini telah memiliki ilmu silat yang tinggi juga, maka Siong Tat mengangkat mereka sebagai kepala penjaga dan menyerahkan segala urusan kekerasan kepada mereka dan murid-murid mereka yang menjadi penjaga.

Ketika melihat seorang penjaga rebah di atas lantai dalam keadaan kaku dan sebelah telinganya putus sedangkan pegawai rumah gadai itu masih mengaduh-aduh di bawah meja tulisnya, Tang-kauwsu dan Li-kauwsu lalu mencabut golok mereka.

“Dari mana datangnya gadis liar yang membuat ribut?” tanya Tang-kauwsu dengan mata mendelik marah.

Melihat dua orang guru silat dan tujuh orang penjaga itu, Siang Lan tersenyum mengejek dan berdiri sambil bertolak pinggang,. Tangan kanannya yang memegang pedang ditudingkan ke arah mereka, lalu berkata,

“Ah, tidak tahunya di sini banyak terdapat anjing penjaga! Pantas saja orang-orang menjadi takut. He, anjing-anjing buduk pemakan sampah, lekas kau suruh jahanam yang bernama Siong Tat keluar. Aku hendak menebus dan mengambil barang yang dulu kugadaikan padanya!”

Li-kauwsu yang lebih tua dan banyak pengalaman, ketika melihat sikap gadis ini dan melirik keluar melihat betapa empat orang penjaga lainnya juga rebah di atas tanah, maklum bahwa gadis ini bukanlah orang biasa. Ia menjura kepada Siang Lan dan berkata,

“Nona, seungguhnya ada keperluan apakah maka nona datang di sini dan apakah sebabnya nona mengadakan keributan ini? Kalau ada kesalahan di pihak kawan kami, hendaknya urusan ini dirundingkan dengan baik-baik sebagaimana layaknya kita orang-orang kang-ouw berurusan.”

“Anjing tua, kau telah menjadi anjing penjaga dari jahanam Siong Tat, masih dapat bicara tentang peraturan kang-ouw? Sungguh menjemukan! Dengarlah, dulu aku telah menggadaikan kepala dari manusia she Siong itu kepadanya dan karena telah terlalu lama ia memakai kepala itu, kini hendak kuminta kembali!”

Mendengar ucapan ini, tidak saja kedua orang kauwsu dan kawan-kawannya yang menjadi terkejut, bahkan para penduduk yang menonton di situpun menjadi kaget sekali. Alangkah beraninya nona cantik ini menghina Siong-wangwe yang berjuluk Santung-taihiap.

Tang-kauwsu yang mendengar ucapan ini tidak dapat menahan kemarahannya lagi, maka sambil berseru keras ia lalu maju menyerbu dengan goloknya. Li-kauwsu terpaksa juga maju pula menyerang dengan goloknya, diikuti oleh tujuh orang kawan mereka sehingga sebentar saja Siang Lan terkurung oleh sembilan orang.

Para penonton menjadi terkejut dan mundur ke tempat yang aman dengan hati kebat-kebit, karena bagaimanakah seorang gadis jelita seperti itu dapat menghadapi keroyokan sembilan orang ahli-ahli silat kaki tangan Siong-wangwe?

Akan tetapi kekhawatiran hati para penonton itu terganti oleh kekagetan dan kekaguman. Begitu melihat dirinya dikeroyok, Siang Lan lalu berseru panjang dan pedangnya berkelebat cepat sekali sehingga yang nampak hanyalah gulungan sinar yang menyilaukan mata. Gerakan ini disusul dengan jeritan dan robohnya dua tubuh penjaga yang telah kena terbabat pundaknya. Tang-kauwsu dan Li-kauwsu terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa gadis ini selihai itu.

Mereka lalu mengurung makin rapat dan menyerang dengan betubi-tubi. Siang Lan memutar pedangnya dan dengan mainkan ilmu pedang Liong-cu kiam-hwat, jangankan baru pengeroyok yang kini tinggal tujuh orang jumlahnya, biar ditambah sepuluh lagi ia masih sanggup menghadapinya.

Di antara para pengeroyok itu, yang tertinggi ilmu kepandaiannya hanyalah Tang-kauwsu dan Likauwsu saja, terutama Li-kauwsu agak kuat ilmu goloknya. Namun kini menghadapi ilmu pedang dari Siang Lan, mereka itu hanya merupakan segerombolan anak-anak kecil yang mengeroyok seorang dewasa.

Jeritan susul menyusul ketika Siang Lan menggunakan pedangnya bersilat dengan gerak tipu Halilintar Menyambar-nyambar di Hujan Lebat. Kembali empat orang telah dapat digulingkan sekaligus sehingga pengeroyoknya tinggal tang-kauwsu, Li-kauwsu dan seorang penjaga lagi.

“A-siok, lekas beritahukan kepada taihiap!” seru Tang-kauwsu kepada penjaga yang seorang itu sambil memutar goloknya menahan gerakan pedang Siang Lan yang luar biasa.

“Bukan dia yang harus melaporkan kepada jahanam she Siong!” Siang Lan berseru dan begitu pedangnya meluncur cepat, tubuh penjaga itupun terguling roboh. “Sekarang giliranmu!” bentak Siang Lan kepada Tang-kauwsu sambil menusuk dengan gerakan Lai-liong-sin-jiauw (Naga Mas Menggeliat).

Gerakan ini amat sukar ditangkis, karena jalannya pedang tidak lurus dari depan dan dilakukan dengan kecepatan yang tak terduga. Tang-kauwsu mencoba untuk mengelak, sedangkan Li-kauwsu tentu saja tak tinggal diam dan mencoba untuk menolong kawannya dengan serangan kilat dari belakang gadis lihai itu.

Akan tetapi, dengan ringan sekali Siang Lan lalu mengangkat kaki kanannya memutar sedikit tubuhnya dan sebelum golok di tangan Li-kauwsu mengenai tubuhnya, guru silat she Li itu menjerit kesakitan dan goloknya terlepas dari pegangan karena pergelangan tangannya telah terkena tendangan Kim-hong-twi.

Adapun serangan pedang Hwe-thian Moli ke arah Tang-kauwsu itu masih diteruskan, dan akhirnya Tang-kauwsu memekik kesakitan. Goloknya terpental dan jatuh ke atas lantai, di susul oleh tubuhnya yang terhuyung-huyung dan kemudian roboh pula tak sadarkan diri. Sebelah lengannya, yakni yang sebelah kanan, telah terbabat putus oleh pedang si gadis itu.

“Nah, kau beritahukanlah kepada majikanmu!” kata Siang Lan kepada guru silat she Li yang masih memegangi tangan kanannya. Siang Lan sengaja mengampuni guru silat ini oleh karena ia melihat guru silat ini lebih pantas sikapnya dari pada yang lain. Akan tetapi sebelum Li-kauwsu pergi, tiba-tiba terdengar suara ketawa menyeramkan dari sebelah dalam.

“Ha, ha, ha kedua kauwsu dan kawan-kawanmu yang demikian banyak jumlahnya tak dapat mengalahkan seekor kucing betina liar ini? Sungguh memalukan!”

Ternyata yang keluar itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berwajah tampan dan gagah, akan tetapi matanya bersinar liar, ganas, dan cabul. Pakaiannya gagah sekali, seperti pakaian seorang pendekar silat, akan tetapi terbuat dari pada sutera halus yang berkembang di sana sini dan memakai pita benang emas. Di pinggangnya tergantung sarung pedang dengan dua gagang pedang, tanda bahwa orang ini biasa menggunakan siangkiam (sepasang pedang).

“Li-kauwsu,” kata orang itu kepada guru silat yang masih memegangi lengan kanan dengan muka sakit, “lekas singkirkan gentong-gentong nasi yang tiada gunanya ini ke belakang!”

Li-kauwsu dengan bantuan kawan-kawannya yang tidak ikut mengeroyok dan tidak menjadi kurban keganasan Hwe-thian Moli, lalu menggotong tubuh para penjaga itu ke belakang sehingga lantai itu kini menjadi bersih, hanya masih nampak darah berceceran di sana-sini.

Sementara itu para penonton ketika melihat betapa kini Santung taihiap Siong Tat sendiri yang keluar, menjadi ketakutan dan segera keluar dari pekarangan rumah gadai itu, dan hanya menonton dari pinggir jalan.

“Sayang, sayang...!” kata Siong Tat menyembunyikan kemarahannya di balik senyumnya yang menarik. “Kucing yang begini bagus bulunya ternyata amat liar dan ganas. Eh, bocah, siapakah kau dan mengapa kau datang mengacaukan tempatku?”

Semenjak tadi Siang Lan memandang kepada Siong Tat dengan mata tajam. Inikah musuh suhunya? Kebenciannya meluap-luap dan ia menjawab singkat. “Siong Tat manusia busuk! Agar jangan mati penasaran, ketahuilah bahwa aku adalah Hwe-thian Moli Nyo Siang Lan!”

Siong Tat belum pernah mendengar nama julukan yang menyeramkan ini karena memang Hwe-thian Moli belum lama beraksi di dunia kang-ouw. Sebagai seorang yang berpengalaman dalam kalangan kang-ouw, dan memiliki kepandaian tinggi, tentu saja ia tidak gentar mendengar nama julukan sehebat itu. Ia bahkan tertawa menghina.

“Hwe-thian Moli? Sungguh julukan yang tidak patut bagimu yang begini cantik! Hwe-thian Moli, sebenarnya apakah maksud kedatanganmu ini?”

“Kau belum mendengar? Aku datang untuk menebus barang yang kugadaikan di sini.”

“Barang apakah yang kau maksudkan?” Siong Tat bertanya heran.

“Apalagi kalau bukan kepalamu!”

“Kurang ajar!” seru Siong Tat sambil mencabut keluar sepasang pedangnya, akan tetapi ia masih tersenyum. “Kau kurang ajar dan lucu. Sejak kapankah kau menggadaikan kepalaku? Dan mana surat gadainya?” Ia hendak bersikap lucu agar tidak kalah hati, karena ia maklum bahwa menghadapi seorang lawan yang tangguh tidak boleh menurutkan nafsu hati dan marah.

“Sejak kau menjadi kaya raya, dan surat gadainya adalah nyawa dari suhuku Pat-jiu kiam-ong Ong Han Cu!”

Kini terkejutlah Siong Tat demi mendengar bahwa gadis cantik yang ganas ini adalah murid dari Ong Han Cu. Akan tetapi ia masih dapat menyembunyikan rasa takutnya. “Ah, jadi kau adalah murid setan tua itu? Pantas saja kau begitu ganas. Jadi kau datang karena kau merasa rindu kepada suhumu dan hendak menyusul ke neraka? Baik, baik! Mari kuantar kau menjumpai suhumu.”

Dan tiba-tiba saja, tanpa peringatan lebih dulu, Santung Taihiap Siong Tat menubruk maju dengan sepasang pedangnya. Kedua pedang ini digerakkan dengan cepat dan berbareng, melakukan dua macam serangan. Dengan merobah kedudukan kakinya dan setengah berjongkok, tiba-tiba ia menusukkan pedang di tangan kiri ke arah ulu hati lawannya dan pedang kanan membabat kedua kaki. Inilah gerak tipu yang disebut Pengembala Menyabit Rumput yang lihai dan berbahaya sekali.

Biarpun diserang dengan tiba-tiba tanpa peringatan, Siang lan yang selalu bersikap waspada tidak menjadi gugup karenanya. Ia pergunakan ginkangnya yang sudah sempurna untuk mengenjot kedua kakinya sehingga tubuhnya mumbul ke atas dan tusukan pedang kiri lawannya itu ditangkis dengan pedangnya yang diputar ke bawah.

“Siuuut!” pedang kiri Siong Tat menyambar ke bawa kaki gadis itu dengan cepat dan mengeluarkan angin, kemudian disusul oleh bunyai nyaring “traaang!” ketika pedang kanannya terbentur oleh tangkisan pedang Siang Lan.

Melihat kegesitan lawan, Siong Tat tak berani memandang ringan dan ia mempergunakan kesempatan ketika tubuh gadis itu masih berada di atas, cepat menyusul serangannya dengan kedua pedangnya diguntingkan dari kiri ke kanan. Dan babatan pedang ke arah tubuh ini adalah sebuah serangan yang sungguh-sungguh berbahaya sekali karena tubuh Siang lan masih belum turun ke bawah.

Akan tetapi, gadis perkasa itu tidak menjadi gentar. Dengan cepat ia memukul pedangnya ke kanan, yakni ke arah pedang kiri lawan yang datang lebih dulu, dibarengi dengan pengerahan tenaga ginkangnya. Ketika kedua pedang bertemu, ia meminjam tenaga pertemuan ini dan melemparkan tubuhnya ke belakang berjungkir balik beberapa kali dalam bentuk poksai (salto) yang indah.

Dan ia telah berhasil menggunakan ilmu lompat Kim-tiauw-hoan-sin (Rajawali Emas membalikkan Tubuh) dengan baik sekali. Karena gerakannya yang cepat ini, maka ia berhasil melepaskan diri dari sambaran pedang kanan lawannya yang tadi menyusul cepat. Kalau Siong Tat merasa kagum melihat kelihaian ginkang dari lawannya, adalah Siang lan juga terkejut melihat kelihaian ilmu pedang dari Santung Taihiap ini.

Gadis ini maklum bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh, maka ia berlaku hati-hati sekali dan sebelum lawannya sempat menyerang lagi, ia telah mendahului dan menyerbu dengan gerakan-gerakan ilmu pedang Liongcu kiam-hwat yang selain cepat, juga kuat dan tidak terduga perubahannya.

Siong Tat memang amat takut kepada Pat-jiu kiam-ong Ong Han Cu dan maklum bahwa ilmu pedang dari Raja Pedang Bertangan Delapan itu amat tinggi. Kalau tidak takut, tidak nanti ia ikut bersekutu menjatuhkan pendekar itu dengan curang sekali.

Sungguhpun ia takut terhadap ilmu pedang Liong-cu kiam-hwat, namun melihat usia murid Raja pedang yang masih mudah ini, ia berbesar hati. Apalagi karena dua serangannya yang pertama tadi membuat ia menang kedudukan, maka hatinya makin tabah.

Akan tetapi, setelah kini ia menghadapi gadis itu yang mulai mainkan ilmu pedangnya, diam-diam ia merasa terkejut sekali. Ia melihat betapa pedang gadis ini berkelebatan bagaikan kilat menyambar dan gulungan sinar pedang ini demikian kuat dan menyilaukan matanya. Tak pernah disangkanya bahwa ilmu pedang Liong-cu kiam-hwat ternyata dapat dimainkan dengan cara yang begini dahsyat dan ganasnya.

Baru bertempur belasan jurus saja, kepalanya telah menjadi pening karena matanya harus mengikuti gerakan pedang yang benar-benar aneh dan sukar diduga perubahannya. Setiap tusukan atau babatan pedang lawannya terjadi demikian tiba-tiba sehingga ia hanya mempunyai sedikit waktu untuk mempertahankan diri dan sukar sekali untuk dapat membalas.

Ia menggertak gigi dan melakukan perlawanan sengit, mengerahkan seluruh kepandaiannya dan mengeluarkan semua tipu-tipu yang didapat dalam pengalamannya bertempur selama puluhan tahun ini. Memang sukar sekali dipercaya bahwa seorang gadis yang baru dua atau tida tahun turun gunung dapat mendesak seorang pendekar seperti Santung Taihiap Siong Tat.

Ini hanya dapat terjadi karena memang ilmu pedang Liong-cu kiam-hwat luar biasa sekali. Apalagi pedang yang dipergunakan oleh Hwe-thian Moli adalah pedang mestika dan digerakkan dengan tenaga lweekang yang tinggi pula. Pertempuran berjalan sengit sampai lima puluh jurus dan akhirnya Siong Tat harus mengakui keunggulan musuh besarnya.

Pada saat ia menyerang dengan gerak tipu Harimau Lapar Menubruk Kelinci, yakni pedang di kedua tangannya berbareng membacok ke depan sebelum lawannya dapat menyerang, Siang Lan menggunakan gerakan yang benar-benar mengagumkan dan tidak terduga-duga.

Gadis ini menggunakan ilmu tendang Kim-liong-twi dengan kaki kirinya, memapaki tangan kanan lawan bahkan mendahului pedang lawan dengan tendangan ke arah pergelangan tangan kanan lawannya, kemudian pedangnya sendiri dari sebelah dalam lalu dibenturkan kepada pedang kiri lawan dan dari tenaga benturan ini pedangnya diteruskan menusuk ke depan.

Bukan main hebatnya gerakan ini yang sekali gus dapat merobah kedudukan. Kalau tadi gadis pendekar itu terserang oleh kedua pedang lawan, kini sekali menangkis ia malah dapat melakukan dua serangan sekaligus. Kaki kirinya menyerang pergelangan tangan kanan lawan dan pedangnya menusuk dengan cepatnya ke arah tenggorokan Siong Tat.

Santung taihiap berseru kaget dan cepat ia miringkan kepalanya. Ia lebih mengutamakan penjagaan diri terhadap serangan pedang ke arah lehernya dari pada tendangan itu, maka tiada ampun lagi kaki kiri Siang Lan berhasil mendupak pergelangan tangan kanannya.

“Duk... traaanng...!” pedangnya yang sebelah kanan terlepas dari pegangan dan ia merasa betapa lengan kanannya menjadi kejang.

Siang Lan tidak mau berhenti sampai sekian saja dan menyusul dengan serangan maut yang disebut Giam-ong-toat-beng (Raja Maut Mengambil Nyawa), pedangnya menusuk ke arah ulu hati lawannya. Siong Tat masih terhuyung mundur ketika lawannya melancarkan serangan hebat ini.

Akan tetapi jago Santung ini masih dapat melihat keadaannya yang amat berbahaya. Ia menggerakkan pedang kirinya menangkis dari kiri, disabetkan ke arah pedang lawan yang meluncur bagaikan anak panah ke arah dadanya itu.

Sama sekali ia tidak mengira bahwa di dalam penyerangan ini, Siang Lan telah siap dengan tangan kirinya yang dikepal. Melihat betapa lawannya masih sempat menangkis, ia lalu membarengi dengan pukulan tangan kiri yang menuju ke arah leher lawan. Berbareng terjadinya pertemuan pedang dengan pukulan yang mengenai leher itu.

“Traang...! Buk!”

Leher Santung taihiap telah kena terpukul oleh tangan Siang Lan yang dilakukan dengan tenaga sepenuhnya.

“Mati aku...!” Siong Tat menjerit ngeri dan tubuhnya terpental membentur meja rumah gadai yang menjadi roboh pula. Siang Lan melompat cepat dan sekali pedangnya berkelebat, kepala musuh besarnya telah terpisah dari tubuh.

Keadaan menjadi kalut, para kaki tangan hartawan itu berteriak-teriak sambil melarikan diri, bahkan para penonton juga merasa ngeri dan melarikan diri pula. Siang Lang yang telah berhasil membalas dendam, tidak lekas pergi dari situ.

Sebaliknya, ia lalu menggunakan pedangnya untuk membuka pintu, mengeluarkan barang-barang yang digadai di rumah itu dan melempar-lemparkan semua barang itu ke jalan raya.

Kemudian ia lalu mengumpulkan semua uang perak di dalam rumah gadai, memasukkannya di dalam kantong besar dan sambil menggendong kantong besar penuh uang itu ia lalu menyerbu terus ke belakang.

Ternyata bahwa antara rumah gadai dan rumah gedung Siang-wangwe terdapat sebuah pintu tembusan, Siang Lan terus memasuki pintu ini dan menyerbu ke dalam gedung hartawan itu. Beberapa orang penjaga yang berani menghalanginya dirobohkannya dengan mudah, bahkan ia lalu menangkap seorang penjaga yang bergemetaran saking takutnya....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.