08. Kun-lun Siauwhiap
KARENA dibujuk-bujuk, akhirnya Kim-gan-liong Cin Lu Ek menurut juga dan pergilah mereka berlima mendaki bukit Liong-cu-san. Kedatangan mereka disambut oleh Pat-jiu kiam-ong yang berada di bukit itu seorang diri, oleh karena muridnya, Nyo Siang Lan, baru turun gunung sebagaimana telah dituturkan di bagian depan.
Melihat tokoh-tokoh kang-ouw yang datang, Ong Han Cu segera berdiri menyambut mereka sambil tersenyum. “Ah, Ngo-wi (tuan berlima) enghiong jauh-jauh datang mengunjungi tempatku yang buruk, tidak tahu ada keperluan apakah?” tanyanya.
Leng Kok Hosiang memberi hormat dan sambil tertawa ia berkata. “Pat-jiu kiam-ong, kami telah mendengar nama besarmu dan mendengar pula bahwa kau telah menemukan semacam ilmu pedang yang hebat. Maka kami sengaja datang menghaturkan selamat!”
“Ilmu pedang manakah yang hebat!” Pat-jiu kiam-ong merendah. “Tidak lain hanya beberapa gerakan yang buruk.”
“Sesungguhnya kami datang sengaja hendak mengantar Kim-gan-liong Cin Lu Ek yang merasa amat tertarik oleh nama besarmu dan hendak minta sedikit pengajaran!” kata hwesio itu dan Kim-gan-liong merasa terheran sekali mendengar ucapan yang jauh berlainan dengan maksud kedatangan empat orang itu.
Terpaksa ia maju dan memberi hormat kepada Hong Han Cu lalu berkata. “Sesungguhnya, Pat-jiu kiam-ong, aku Cin Lu Ek yang bodoh amat tertarik dan ingin sekali memohon sedikit petunjuk dari kau yang gagah perkasa.”
Ong Han Cu tertawa dan menggelengkan kepalanya. “Tak kusangka bahwa Kim-gan-liong yang bernama besar masih suka main-main seperti anak kecil. Kalau kita berpibu dan ada yang kalah, apakah ruginya dan kalau menang, apakah untungnya?”
Memang Kim-gan-liong Cin Lu Ek mempunyai watak yang tidak mau kalah. Mendengar ucapan Pat-jiu kiam-ong, ia merasa diejek dan dianggap ringan, maka merahlah mukanya.
“Pat-jiu kiam-ong, mungkin karena kau telah berjuluk Raja Pedang, kau tidak perlu lagi dengan penambahan ilmu kepandaian. Akan tetapi aku sebagaimana orang-orang kang-ouw yang lain, aku hanya memiliki semacam kesenangan, yakni ilmu silat. Di mana saja aku berada, apabila aku mendapat kesempatan, aku ingin sekali menambah pengetahuanku tentang ilmu silat. Kini aku berhadapan dengan kau yang berjuluk Raja Pedang, tentu saja aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mempelajari beberapa gerakan.”
“Bagus, bagus!” seru Leng Kok Hosiang dengan girang dan ia lalu berkata kepada Toat-beng sinto Liok Kong yang selalu membawa guci arak.
“Liok-enghiong, keluarkanlah guci arakmu! Marilah kita berjanji, siapa yang menang mendapat tiga cawan arak dan yang kalah menerima lima cawan sebagai hiburan! Kim-gan-liong terkenal sebagai jago pedang dari Kun-lun-pai sedangkan Pat-jiu kiam-ong baru saja mendapatkan ilmu pedang yang luar biasa. Sungguh pibu yang amat menarik dan akan membuka mata kita sekalian.”
Setelah berkata demikian, empat orang ini lalu duduk dan guci arakpun ditaruh di atas tanah. Terpaksa Pat-jiu kiam-ong lalu mencabut pedangnya karena Kim-gan-liong juga sudah berdiri dan siap dengan pedangnya pula. Jago dari gunung Liong-cu-san ini tentu saja bukan seorang bodoh.
Dan ia dapat menduga bahwa kedatangan Leng Kok Hosiang dan kawan-kawannya ini tentu mengandung maksud tertentu. Ia maklum bahwa mereka tidak mengandung maksud baik dan mungkin sekali lima orang ini sengaja datang hendak mengeroyoknya. Akan tetapi ia tidak merasa gentar sama sekali.
“Kim-gan-liong, kau perlihatkanlah ilmu pedang Kun-lun-pai yang tersohor itu!” katanya sambil memasang kuda-kuda, menaruh kaki kiri ke depan, menekuk kaki kanan dan pedangnya ditempelkan ujungnya pada tanah, sedangkan tangan kirinya ditaruh di dada selaku pemberian hormat. Inilah yang disebut sikap Dewa Muda Menanti Titah.
“Pat-jiu kiam-ong, maafkan keburukan ilmu pedangku,” kata Kim-gan-liong yang segera menggerakkan pedangnya menyerang dengan gerak tipu Sian-jin-tit-louw (Dewa menunjukkan Jalan).
Akan tetapi tanpa merobah kedudukan kakinya, dengan mudah Ong Han Cu mengangkat pedangnya menangkis. Getaran pedangnya benar-benar membuat Cin Lu Ek terkejut sekali karena dari getaran pedang yang menangkis itu keluar tenaga yang membuat telapak tangannya yang memegang pedang menjadi kesemutan.
Cepat ia menarik kembali pedangnya dan melanjutkan dengan serangan Pek-in-kian-jit (Menyapu Awan Melihat matahari). Pedangnya berkelebat cepat dan menyapu ke arah leher lawannya, sedangkan tangan kirinya di dorong ke depan menyerang dada dengan tenaga lweekang sepenuhnya.
Bahaya yang terdapat dalam serangan ini sesungguhnya terletak dalam pukulan tangan kiri itu dan jarang sekali Kim-gan-liong gagal apabila ia menyerang lawan dengan tipu ini. Ia maklum akan kelihaian Pat-jiu kiam-ong, maka dalam jurus kedua saja, ia telah mengeluarkan gerak tipu yang berbahaya ini.
Ong Han Cu tentu saja maklum akan bahaya serangan ini, maka tiba-tiba ia berseru keras dan kagetlah Kim-gan-liong karena tiba-tiba ia tidak melihat lagi bayangan lawannya. Tiba-tiba dari belakang ia mendengar angin menyambar dan cepat ia merendahkan diri sambil melangkah maju terus membalikkan tubuhnya.
Ternyata bahwa lawannya telah berada dibelakangnya, maka tahulah ia bahwa Pat-jiu kiam-ong dengan ginkangnya yang luar biasa telah melakukan lompatan luar biasa melalui atas kepalanya dan dengan cara demikian menghindar diri sekali gus dari pada serangannya.
Akan tetapi ia merasa malu sekali karena ternyata setibanya dibelakangnya, raja pedang itu hanya mengebutkan ujung lengan baju kirinya untuk memberitahu bahwa ia berada dibelakangnya.
Saking malunya, Kim-gan-liong menjadi penasaran sekali dan sambil berseru keras ia lalu bersilat pedang. Ia mengerahkan seluruh ilmu pedangnya dari cabang Kun-lun-pai dan mengeluarkan tipu-tipu yang paling berbahaya dan sukar ditangkis.
Akan tetapi benar-benar Pat-jiu kiam-ong lihai sekali. Dengan tenang dan lambat ia menggerakkan pedangnya, namun pedang itu telah merupakan benteng baja yang membuat pedang di tangan Kim-gan-liong selalu terpental kembali dengan telapak tangan merasa perih.
Tiga puluh jurus lebih Kim-gan-liong mengeluarkan kepandaiannya namun sedikit juga ia tidak dapat mendesak lawannya. Jangankan mendesak, bahkan selama iru Pat-jiu kiam-ong tak pernah merobah kedudukan kakinya dan sambil berdiri biasa saja ia telah dapat menangkis semua serangan.
Tiba-tiba Pat-jiu kiam-ong berkata perlahan, “Kim-gan-liong, sekarang kau jagalah seranganku!”
Kim-gan-liong terkejut sekali dan buru-buru ia mainkan ilmu pedang Wanita Cantik Membuka Payung. Pedangnya diputar sedemikian rupa merupakan payung yang memayungi seluruh tubuhnya. Akan tetapi pandangan matanya segera menjadi kabur ketika pedang Pat-jiu kiam-ong berkelebatan bagaikan halilintar menyambar-nyambar.
Silau matanya melihat cahaya pedang ini dan tanpa diketahui bagaimana caranya, tahu-tahu pedang ditangannya telah terlepas dari pegangan dan ketika ia membuka matanya, ternyata bahwa pedangnya itu telah berada di tangan kiri Pat-jiu kiam-ong. Raja pedang itu tersenyum ramah dan mengembalikan pedangnya sambil berkata.
“Ilmu pedangmu cukup lihai, Kim-gan-liong!”
Cin Lu Ek berdiri bengong dan setelah menerima pedangnya cepat ia maju memberi hormat sambil membongkokkan tubuhnya. “Ah, luar biasa sekali...! serunya. “Biar matipun aku Cin Lu Ek tidak merasa penasaran setelah menyaksikan ilmu pedang dari Kiam-Ong (Raja Pedang)!”
Melihat sikap Kim-gan-liong, senanglah hati Ong Han Cu karena ia dapat merasa betapa ucapan dan pandangan mata orang ini memang sejujurnya, tidak mengandung pujian yang menjilat.
Sementara itu, ketika kedua orang itu mengukur kepandaian, dengan perlahan Leng Kok Hosiang berbisik kepada tiga orang kawannya. “Aku sengaja mengadu mereka untuk melihat sampai di mana kepandaian Pat-jiu kiam-ong. Kalau kiranya tidak berapa tinggi dan kita sanggup menghadapinya, baik kita mengeroyoknya, akan tetapi kalau terlampau kuat, kita menggunakan jalan lain yang lebih halus.” Ia lalu menunjuk ke arah cawan-cawan arak di depannya.
Memang Leng Kok Hosiang, terkenal sebagai ahli racun yang lihai sekali. Bahkan ilmu pukulannya yang disebut Hek-coa-jiu (Tangan Ular Hitam) amat berbahaya dan dapat mendatangkan kematian seperti tergigit ular beracun apabila mengenai lawannya.
Melihat kehebatan ilmu pedang Raja Pedang itu, tercenganglah Leng Kok Hosiang dan kawan-kawannya, dan dengan cekatan sekali tanpa diketahui oleh siapapun juga hwesio itu memasukkan jari tangannya ke dalam baju.
Ketika dikeluarkannya, ternyata jari tangannya telah berlumur benda putih yang cepat dioles-oleskan ke dalam cawan tuan rumah. Kalau dilihat demikian saja, maka cawan itu tetap bersih tidak terlihat sesuatu, akan tetapi sebetulnya telah mengandung racun yang amat jahat.
“Bagus, bagus!” kata Leng Kok Hosiang sambil berdiri menghampiri kedua orang yang sudah selesai berpibu tadi. “Kepandaian ilmu pedang dari Pat-jiu kiam-ong benar-benar mengagumkan sekali. Terus terang saja, tadinya akupun ingin mencoba-coba, akan tetapi melihat ilmu pedang selihai itu, belum apa-apa aku sudah merasa leherku dingin dan lebih baik niatku itu kubatalkan saja!"
Bagi Ong Han Cu, pujian ini berbeda jauh sekali dengan pujian yang keluar dari mulutnya Kim-gan-liong. Pujian hwesio inilah yang berbahaya dan perlu dijaga, karena dibelakangnya tersembunyi maksud-maksud tertentu dan jahat.
“Jiwi (tuan berdua) perlu diberi penghormatan dengan tiga cawan arak!” Ia lalu mempersilahkan keduanya duduk di dekat meja. “Marilah, silahkan minum arak untuk penghormatan. Tidak setiap hari kita dapat berkumpul seperti ini dan minum arak bersama-sama!”
Ong Han Cu cukup waspada akan kecurangan dan kejahatan pendeta gundul yang terkenal sebagai penjahat pemetik bunga yang amat cabul. Itu, maka ketika melihat cawan kosong di depannya, ia lalu mengambil cawan itu dan melemparkannya ke atas sehingga cawan itu berjungkir balik beberapa kali di tengah udara lalu turun kembali diterima dengan tangan kanannya.
Ia melakukan ini dengan senyum simpul sambil memandang kepada hwesio itu dengan tajam. Akan tetapi Leng Kok Hosiang hanya tertawa saja dan berkata kepada kawankawannya.
“Lihatlah, demikian cara seorang kang-ouw yang kosen menjaga diri. Kalau di dalam cawan itu terdapat barang kotor, maka tentu barang kotor itu akan tertiup keluar oleh tenaga khikang yang dipergunakan untuk melontarkan cawan itu. Hebat... hebat?”
Ong Han Cu kagum juga akan kelihaian mata hwesio itu, maka ia hanya tersenyum dan berkata. “Kebiasaan orang kang-ouw harus berlaku hati-hati, biarpun menghadapi kawan-kawan sendiri. Tingginya gunung dapat didaki, dalamnya sungai dapat diselami, akan tetapi siapa dapat meraba hati dan pikiran orang?”
“Betul, betul!” kata Hwesio itu sambil menuangkan arak ke dalam cawan kedua orang yang baru saja berpibu tadi. “Nah, marilah kalian minum arak untuk penghormatan yang kami rasa di dalam hati kami terhadap ilmu pedang yang lihai itu!”
Sebelum minum, Ong Han Cu mempergunakan ketajaman hidungnya untuk mencium arak di guci, akan tetapi tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Karena ia melihat Kim-gan-liong minum araknya tanpa ragu-ragu lagi, iapun lalu minum araknya sekali teguk.
Harus diketahui bahwa apabila racun yang dioleskan di dalam cawan oleh Leng Kok Hosiang tadi merupakan obat bubuk, tentu obat bubuk ini telah terbang keluar karena ketika melontarkan cawan kosongnya ke udara tadi, Ong Han Cu telah menggunakan tenaga khikangnya.
Akan tetapi racun itu merupakan racun yang telah dicairkan dan ketika dioleskan ke cawan, tentu saja menjadi menempel dan tidak dapat terbang keluar. Pula, racun ini merupakan racun kembang putih yang tidak terasa apa-apa, akan tetapi khasiatnyapun tidak terlalu keras.
Kembali Leng Kok Hosiang menuangkan arak ke dalam cawan itu dan kini Liok Kong mengeluarkan cawan-cawan lain untuk ia sendiri dan kawan-kawannya. Berkali-kali mereka minum arak sampai arak diguci menjadi kering sama sekali.
“Pat-jiu kiam-ong,” kata Leng Kok Hosiang kemudian, “Kedatangan kami ini selain mengantar Kim-gan-liong yang hendak menyaksikan kelihaian ilmu pedang, juga oleh karena kami tertarik oleh berita mengenai gua di gunungmu ini. Kami mendengar kabar bahwa di sini terpendam harta pusaka yang tak ternilai harganya. Maka pandanglah muka kami sebagai sahabat-sahabat di dunia kang-ouw dan biarkanlah kami mencari harta pusaka itu yang bagimu tidak ada gunanya lagi.”
Ucapan hwesio ini sebenarnya hanya pancingan belaka dan usahanya ternyata berhasil baik. Ong Han Cu terkejut dan memandang dengan tajam, “Dari siapakah kau mendengar tentang harta pusaka itu?” tanyanya.
“Ha, jadi benar-benar adalah harta pusaka itu? Bagus, kau harus memberi kesempatan kepada kami untuk mencarinya, Pat-jiu kiam-ong.”
“Tak perlu dicari!” jawab Pat-jiu kiam-ong yang entah mengapa tiba-tiba merasa agak pening. Ia menganggap bahwa hal ini tentu karena ia terlampau banyak minum arak. “Harta pusaka itu telah menjadi hak milikku!”
“Ah, ah, begitukah?” kata Leng Kok Hosiang dengan girang sekali. “Kalau begitu, janganlah berlaku kikir, sahabat. Berilah bagian kepada kami!”
Tiba-tiba Ong Han Cu bangun berdiri dengan marah. “Hm, untuk itukah kalian datang? Sungguh tak tahu malu! Harta dunia saja yang kalian pikirkan dan karena harta dunia pula maka kalian menjadi jahat!”
Leng Kok Hosiang memberi tanda kepada tiga orang kawannya yang segera berdiri dan siap sedia. Adapun Kim-gan-liong masih duduk saja dengan terheran-heran dan hatinya berdebar-debar tegang menyaksikan keadaan yang sudah tidak enak ini.
Akan tetapi, ketika ia bangkit berdiri, Ong Han Cu tiba-tiba merasa pening kepalanya makin menghebat dan pandangan matanya berputar-putar. Ia maklum dengan hati terkejut bahwa tentu ia telah menjadi kurban kekejaman hwesio dihadapannya itu.
“Aha, kau roboh, Pat-jiu kiam-ong...! Kau roboh ....! Ha, ha, ha...!” Leng Kok Hosiang tertawa bergelak.
“Jahanam berhati binatang!” Pat-jiu kiam-ong marah sekali dan mengerahkan tenaga untuk menubruk maju. Akan tetapi karena pandangan matanya telah gelap dan kepalanya pening, ia menubruk tempat kosong dan jatuh terguling di atas tanah tanpa dapat berdiri lagi. Ia telah menjadi pingsan.
Sambil tertawa bergelak Leng Kok Hosiang mencabut sebatang golok. Semenjak dikalahkan oleh Ouwyang Sianjin, hwesio ini telah melatih diri dengan semacam ilmu golok yang cukup lihai. Ia lalu maju ke arah Ong Han Cu yang rebah tak berdaya itu sambil mengangkat goloknya membacok.
“Traaang!” tiba-tiba goloknya itu tertangkis oleh sebatang pedang dan ternyata bahwa yang menangkisnya adalah Cin Lu Ek.
“Leng Kok Hosiang, tidak malukah kau untuk berlaku sekeji ini? Bukan perbuatan gagah untuk menewaskan musuh dengan cara demikian curang!”
Marahlah Leng Kok Hosiang. Matanya berputar mengerikan ketika ia menghadapi Kim-gan-liong dan dengan goloknya ia menuding sambil membentak, “Kim-gan-liong, Apakah maksudmu dengan perbuatan ini? Apakah kau hendak membela musuh besar kami?”
“Aku tidak membela siapa-siapa, hanya aku tak dapat membiarkan kalian membunuh Pat-jiu kiam-ong dengan cara yang curang!”
“Kami berurusan dengan musuh kami sendiri, kau perduli apakah?” bentak hwesio itu sambil menggerakkan goloknya kembali.
Kim-gan-liong hendak menangis pula, akan tetapi Liok Kong Si Golok Sakti Pencabut Nyawa, Yap Cin Si Lutung Sakti, dan Pendekar Besar dari Santung Siong Tat mencabut senjata mereka dan menghadang di depan Kim-gan-liong dengan sikap mengancam.
“Kim-gan-liong, benar-benarkah kau hendak mengorbankan nyawamu untuk musuh besar kami?”
Akan tetapi Cin Lu Ek yang tidak tega melihat Ong Han Cu hendak dibunuh begitu saja, tetap menangkiskan pedangnya ketika golok Leng Kok Hosiang membacok ke arah tubuh Raja Pedang itu, akan tetapi pada saat itu juga, senjata-senjata empat orang itu menghantam pedangnya sehingga terpental dari tangannya.
“Ha, ha, ha! Dengan kepandaianmu yang rendah ini kau masih hendak berlagak?” Leng Kok Hosiang mengejek dan sebuah tendangan kakinya membuat tubuh Kim-gan-liong terpental tiga tombak jauhnya dan jatuh bergulingan.
Terpaksa Kim-gan-liong meramkan mata ketika melihat betapa Leng Kok Hosiang menggunakan goloknya menyabet putus kedua kaki dan tangan Pat-jiu kiam-ong Ong Han Cu.
“Kejam.... kejam....!” ia berseru sambil menutup mukanya dengan kedua tangan. Hati nuraninya memberontak, akan tetapi apakah dayanya? Menghadapi hwesio itu saja ia takkan menang, apalagi di situ masih ada tiga orang lain yang kepandaiannya tinggi.
Leng Kok Hosiang dan tiga orang kawannya lalu menyerbu ke dalam gua dan dapat menemukan peti yang terisi harta pusaka itu. Mereka lalu membagi-bagi harta itu antara berempat dan dengan senyum mengejek Leng Kok Hosiang menghampiri Kim-gan-liong Cin Lu Ek.
“Kenapa kau sudah ikut kami datang ke sini, sudah hakmu untuk menerima sedikit bagian harta ini. Pulanglah dan bawalah bagianmu dan hiduplah dengan tentram dan aman!”
Akan tetapi Kim-gan-liong menggeleng kepalanya dan berkata dengan tegas, “Tidak, aku tidak sudi menjamah harta kotor ini!”
“Ha, ha, ha! Kim-gan-liong, kau berpura-pura suci. Dapatkah kau membebaskan dirimu dari pembunuhan hari ini? Kau datang bersama kami dan Ong Han Cu telah melihat dengan matanya sendiri bahwa kau termasuk rombongan kami. Kita berlima yang bertanggung jawab atas pembunuhan ini. Apakah kau kira akan dapat membebaskan diri begitu saja? Atau, agaknya kau yang berhati kecil ini takut akan datangnya pembalasan dari pihak Pat-jiu kiam-ong?”
“Tidak, aku tidak takut!” jawab Cin Lu Ek marah. “Sudah sepantasnya aku dibalas dan dibunuh, karena aku yang mengaku sebagai orang kang-ouw tidak berdaya melihat kekejaman ini terjadi, tanpa dapat mencegah sedikitpun. Aku memang patut dibunuh.... patut dibalas.... aku ikut berdosa terhadap Pat-jiu Kiam-ong!”
Sambil tertawa-tawa empat orang yang lain mengejeknya sehingga Kim-gan-liong Cin Lu Ek lalu membalikkan tubuh dan lari pergi dari tempat itu.
Mendengar penuturan Kim-gan-liong Cin Lu Ek yang nampak berwajah amat sedihnya itu, Hwe-thian Moli menjadi bingung tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
“Demikianlah nona, keadaanku yang sesungguhnya sehingga aku terlibat dalam urusan kematian suhumu itu. Akan tetapi, jangan kau kira bahwa aku menceritakan hal ini untuk membela diri karena aku takut akan pembalasanmu. Tidak! Betapapun juga, aku merasa bahwa akupun ikut berdosa dengan tewasnya suhumu itu. Kalau aku memiliki sedikit saja kegagahan, tentu pada waktu itu aku dapat menolong suhumu.
"Aku terkena bujukan mereka dan ikut dengan rombongan jahat itu, maka kalau kau menganggap aku sebagai seorang musuh besar suhumu, silahkan kau melakukan pembalasan. Aku takkan mundur setapak menghadapi hukuman yang memang sudah patut kuterima. Aku menceritakan semua ini untuk mencegah jangan sampai kau bertempur dengan Tek Kun!”
Hwe-thian Moli mengerutkan alisnya dan berpikir keras. Haruskah ia mengundurkan diri setelah ia mencari musuh ini dengan susah payah dan setelah kini dapat bertemu? Tidak, sedikitnya ia harus memberi hajaran juga kepada orang ini, bukan karena kejahatannya, akan tetapi oleh karena kelemahan dan kesombongannya telah berani mengadu kepandaian dengan mendiang suhunya dan datang bersama rombongan jahat itu.
“Kau keluarlah dan cabut pedangmu!” ia menantang sambil melompat keluar.
Dengan sikap amat tenang, Kim-gan-liong Cin Lu Ek lalu berjalan keluar dan mencabut pedangnya, siap menanti datangnya serangan.
“Susiok, jangan...!” Sim Tek Kun berseru, akan tetapi susioknya tidak meladeninya.
“Hwe-thian Moli, jangan kau mendesak orang tua ini!” serunya pula kepada gadis itu.
Akan tetapi Siang Lan hanya mengeluarkan senyum mengejek dan secepat kilat pedangnya meluncur dan melakukan serangan pertama kepada Kim-gan-liong. Orang tua ini lalu menangkis dan dari benturan pedang ini tahulah ia bahwa gadis muda ini benar-benar telah mewarisi kepandaian Pat-jiu kiam-ong sehingga diam-diam ia menjadi kagum sekali. Iapun lalu mengerahkan kepandaiannya dan bertempurlah kedua orang itu dengan hebatnya.
Akan tetapi, baru saja bertempur tiga puluh jurus, sudah terlihat nyata sekali betapa Kim-ganliong terdesak hebat sehingga tak dapat membalas, hanya mempertahankan diri saja.
“Tahan, nona, jangan kau membunuh orang tidak berdosa!” seru Sim Tek Kun sambil maju menerjang dengan pedangnya.
Akan tetapi terlambat, karena pada saat itu pedang di tangan Hwe-thian Moli telah bergerak dengan tipu Burung Gagak Menyambar Cacing. Kim-gan-liong berseru keras, pedangnya terlepas dari tangan dan pundak kanannya berlumuran darah karena tertusuk oleh ujung pedang Hwe-thian Moli.
Siang Lan menahan pedangnya dan berkata dengan keren. “Oleh karena kau tidak ikut membunuh suhu dan hanya menjadi kawan gerombolan jahat itu, maka biarlah kuampunkan jiwamu!”
Kemudian, ia menatap wajah Tek Kun dan berkata sambil tersenyum menyindir, “Dan kau! Kalau kau merasa penasaran bahwa aku sudah melukai susiokmu, setiap waktu kau boleh mencariku untuk membalas dendam!”
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat tubuh gadis itu lenyap ditelan kegelapan malam. Tek Kun berdiri melengak dan menggeleng-geleng kepalanya, lalu menolong susioknya yang terluka pundaknya. Ternyata luka itu hanya merupakan luka di kulit dan daging saja dan sama sekali tidak berbahaya sungguhpun banyak mengeluarkan darah.
“Alangkah ganasnya gadis itu!” Tek Kun menggerutu.
“Akan tetapi ia gagah perkasa dan cukup adil. Ilmu pedangnya lihai seperti suhunya!” kata Kimgan-liong dan suaranya kini berobah seakan-akan batu besar yang tadinya menindih hatinya telah terangkat. “Kesalahanku dulu telah terbalas, puaslah hatiku!”
Setelah membalut dan merawat susioknya, pada keesokan harinya, Tek Kun lalu berpamit dan berkata pada orang tua itu, “Teecu melihat Ngo-lian-hengte dan Bong Te Sianjin berada di kota ini, maka tentu akan terjadi sesuatu yang buruk. Teecu perlu menyelidiki keadaan mereka,” katanya.
Dan Kim-gan-liong tak dapat menahan murid keponakannya ini karena iapun maklum akan ganasnya sepak terjang Ngo-lian-hengte, lima ketua dari Ngo-lian-kauw itu. Apalagi Bong Te Sianjin yang menjadi supek (uwak guru) dari mereka, karena pertapa tua ini terkenal sebagai seorang tua yang selalu membela dan membantu perkembangan Ngo-lian-kauw.
Adapun Hwe-thian Moli setelah pergi dari rumah Kim-gan-liong dan kembali ke kamar di hotel, lalu merebahkan diri di atas pembaringan dan ia mengenang semua peristiwa tadi dengan hati puas. Ia telah memberi peringatan dan hajaran kepada Kim-gan-liong sehingga dengan perbuatan itu.
Ia menghilangkan rasa penasaran dari suhunya dan juga mengangkat nama suhunya. Akan tetapi anehnya, kenangan ini selalu terganggu oleh bayangan wajah pemuda yang tampan itu. Sim Tek Kun! Nama ini selalu dibisikkan oleh bibirnya.
“Kurang ajar!” kata Hwe-thian Moli karena gangguan ini dan ia berusaha sekuat mungkin untuk mengusir bayangan ini dari ingatannya, Akan tetapi, makin diusir, makin jelaslah bayangan wajah pemuda itu dan makin tak dapat dilupakan. Pandangan mata yang jenaka itu, senyum yang berseri itu, ah..."
Hwe-thian moli mengeluh dan menganggap diri sendiri sudah menjadi gila. Gadis perkasa yang berhati baja dan tidak takut menghadapi lawan yang bagaimanapun juga ini, secara tak sadar telah dipermainkan oleh pengaruh yang besar sekali kekuasaannya, yang kuasa mempermainkan manusia yang bagaimanapun juga.
Tak perduli ia orang biasa, petani miskin, hartawan, bangsawan, bahkan panglima-panglima perang yang gagah perkasa, tetap saja dapat dipermainkannya seperti halnya Hwe-thian Moli sekarang ini. Dan pengaruh ini bukan lain adalah Asmara.
Hatinya yang keras merasa tidak puas dan gemas terhadap kelemahannya sendiri dan ia juga merasa heran sekali mengapa bayangan pemuda yang belum dikenalnya itu dapat membuat ia hampir tak dapat meramkan matanya semalam penuh.
Dengan hati masih mendongkol, pagi-pagi benar ia sudah bangkit dari tidurnya, duduk bersamadhi untuk mengumpulkan tenaga dan menentramkan semangat, kemudian ia lalu berdandan dan pagi-pagi sekali ia sudah membereskan pembayaran kamar hotelnya dan pergi menggendong buntalannya menuju ke sebelah barat kota.
Ia hendak mencari kuil di sebelah barat kota untuk memenuhi janjinya dengan Ngo-lian-hengte yang menantangnya. Ketika ia tiba di depan kuil, di situ amat sunyi karena kuil itu berada agak jauh di luar kota, di luar sebuah hutan. Hwe-thian Moli berdiri di luar kuil, merasa ragu-ragu untuk masuk. Agaknya kuil ini adalah sebuah kuil kosong dan ia merasa sangsi untuk masuk, kalau-kalau di situ terdapat perangkap.
“Ngo-lian-hengte!” ia berseru keras. “Aku sudah datang memenuhi janji!”
Suaranya bergema sampai di hutan itu dan tak lama kemudian terdengar seruan dari dalam kuil, “Bagus, Hwe-thian Moli, ternyata kau benar-benar mengantarkan nyawamu kepada kami!”
Berbareng dengan ucapan itu, muncullah lima orang saudara she Kui itu dari pintu kuil, dan melihat keadaan mereka yang sudah siap sedia dengan pedang ditangan, dapat diduga bahwa mereka memang telah menanti sejak tadi.
Ketika Siang Lan melihat seorang kakek yang berpakaian seperti pertapa ikut keluar di belakang lima orang itu, ia berlaku waspada. Lima orang ketua Ngo-lian-kauw itu sama sekali tidak ditakutinya karena ia sudah tahu sampai di mana kepandaian mereka, akan tetapi kakek ini agaknya memiliki kepandaian tinggi, melihat dari sikapnya yang tenang dan pandangan matanya yang tajam berpengaruh.
“Aku telah datang dan kalau kalian merasa penasaran atas kekalahan tempo hari, nah, mau tunggu kapan lagi?” kata gadis yang tabah ini sambil melemparkan bungkusan pakaiannya ke bawah pohon dan mencabut pedangnya.
Jerih juga hati lima orang ketua Ngo-lian-kauw itu menyaksikan ketenangan dan ketabahan pendekar wanita itu, akan tetapi Kui Jin yang tertua lalu melangkah maju dan berkata,
“Hwe-thian Moli, urusan penasaran di Kan-cou dulu hanya urusan kecil, karena sudah lazimnya dalam pertempuran ada yang menderita kekalahan. Akan tetapi, kami telah mendengar tentang sepak terjangmu yang ganas dan kejam. Kau telah membunuh Santung-taihiap dan telah mengacau pesta Toat-beng Moli dan kemudian bersama gadis penari itu kau telah membunuhnya pula. Kau benar-benar tidak mengindahkan orang-orang kang-ouw dan mengandalkan keganasanmu berlaku sewenang-wenang!”
Hati Siang Lan merasa sebal sekali mendengar ucapan ini dan dengan gerakan tak sabar ia mengibaskan tangannya. “Sudahlah, aku datang ke sini untuk memenuhi tantanganmu, bukan untuk mendengarkan ocehanmu. Kita tidak mempunyai permusuhan, akan tetapi kalau kau berlima berani menantang, jangan kira bahwa Hwe-thian Moli akan mundur setapak pun.”
“Perempuan sombong!” seru Kui Sin yang termuda dengan marah dan ia segera mulai menyerang gadis itu. Keempat saudaranya juga maju berbareng dan sebentar saja Hwe-thian Moli, terkurung oleh lima orang itu.
Siang Lan mendapat kenyataan bahwa kini ilmu pedang ke lima orang itu agak lebih maju, akan tetapi masih belum cukup berbahaya baginya. Ia hendak menyelesaikan pertempuran ini secepat mungkin, maka sambil berseru keras gadis pendekar ini lalu memutar pedangnya dan mainkan ilmu pedang Liong-cu kiam-hwat.
Bagaikan seekor naga sakti, gulungan pedang di tangan Siang Lan menyambar-nyambar dan bermain-main di antara gulungan lima pedang lawannya, dan saking cepatnya gerakan gadis ini, tubuhnya sampai lenyap dari pandangan mata. Seperti juga dulu ketika mengeroyoknya di dalam rumah Toat-beng-sin-to Liok Kong, ke lima orang ketua Ngo-lian-kauw ini menjadi terkejut sekali.
Mereka telah menciptakan ilmu silat pedang yang dimainkan oleh mereka berlima dan yang berbentuk bunga teratai dengan lima daun bunga yang mereka namakan Ngo-lian-tin atau Barisan Lima Teratai. Akan tetapi menghadapi kegesitan Siang Lan, Ngo-lian-tin mereka ternyata tiada gunanya sama sekali. Gadis ini tak dapat dikurung ditengah-tengah, baru saja mereka berhasil mengurung, gadis itu telah sanggup memecahkan dengan serangannya yang ganas ke satu jurusan.
Kini, setelah gadis itu mengeluarkan kepandaiannya, bukan gadis itu yang terkurung, bahkan mereka berlima yang seakan-akan terkurung oleh gulungan sinar pedang yang berkelebatan tak tentu perkembangan dan perubahannya itu. Baru saja pertempuran berlangsung dua puluh jurus, pedang di tangan Kui Le telah terlempar karena gempuran pedang Siang Lan.
Dan Kui Gi terpaksa harus melepaskan pedangnya pula karena lengannya tercium oleh ujung sepatu Siang Lan sehingga ia merasa seakan-akan tulang lengannya menjadi patah. Kederlah hati tiga orang pengeroyok yang lain dan pada saat itu, terdengar bentakan halus.
“Kalian mundurlah dan biarkan lohu (aku yang tua) menangkap gadis liar ini!”
Siang Lan merasa ada angin menyambar dari kiri dan cepat ia mengelak. Ia terkejut juga ketika melihat bahwa sambaran angin ini dikeluarkan dari tangan kakek itu yang dipukulkan kepadanya dari jauh. Kui Jin, Kui Ti, dan Kui Sin lalu melompat mundur dengan hati lega karena supek mereka sekarang mau turun tangan.
Sementara itu, Siang Lan sambil menunda pedangnya di depan dada, lalu bertanya kepada kakek itu. “Ngo-ciangbun menantang aku yang muda untuk mengadu kepandaian, dan siapakah kau orang tua yang ikut mencampuri urusan kami?”
Kakek itu tersenyum menyeringai dan terlihatlah bahwa di dalam mulutnya sudah tidak ada gigi sepotongpun. “Hwe-thian Moli, Sudah lama lohu mendengar namamu yang menggemparkan. Murid-murid keponakanku tak dapat melawanmu, maka biarlah aku Bong Te Sianjin yang menjadi supek mereka main-main sebentar denganmu!” Sambil berkata demikian, kakek itu lalu mengambil senjatanya, yakni sepotong tongkat yang gagangnya berbentuk ular.
“Bong Te Sianjin, kau orang tua yang sudah disebut sianjin (manusia dewa, orang suci) sungguh mengherankan sekali masih suka mencari urusan. Kalian terlalu mendesak maka terpaksa aku yang muda memberi hajaran sedikit. Jangan kira bahwa aku takut. Nah, majulah semua!” tantang Hwe-thian Moli dengan garang sekali.
Bong Te Sianjin terkekeh, lalu menyerang sambil berkata, “Bocah cilik yang besar kepala!” Biarpun tongkat itu kecil saja, namun daya serangannya jauh lebih bertenaga dan lebih berbahaya dari pada lima batang pedang dari Ngo-lian-hengte tadi.
Siang Lan maklum bahwa kini ia menghadapai seorang lawan yang tangguh, maka ia berlaku hati-hati. Ia cepat menangkis dengan pedangnya dan baiknya ia berlaku hati-hati, karena begitu pedang menempel pada tongkat lawan. Tiba-tiba dengan getaran tenaga lweekang, tongkat itu diputar sedemikian cepatnya sehingga kalau Siang Lan tidak cepat menarik kembali pedangnya, banyak kemungkinan pedangnya akan terlepas dari pegangan.
Maklumlah ia bahwa kakek ini dapat menyalurkan tenaga lweekangnya yang tinggi melalui tongkatnya sehingga tongkat pendek itu dapat bergerak mengandung tenaga cam (melibat, mengikat), tenaga Coan (memutar), membetot, dan lain-lain menurut kehendak kakek itu.
Gadis yang berilmu tinggi ini teringat akan nasehat mendiang suhunya bahwa untuk menghadapi seorang yang ilmu lweekangnya lebih tinggi darinya, ia tidak boleh menggunakan tenaga kasar, tidak boleh menggunakan tenaga dan harus mengandalkan kecepatan untuk mendahului lawan.
Maka Siang Lan lalu mengerahkan ginkangnya (ilmu meringankan tubuh) yang memang sudah sempurna itu, dan ketika ia mainkan ilmu pedangnya, maka kini gulungan sinar pedangnya lebih lebar dan lebih cepat dari pada tadi ketika dikeroyok lima. Semua serangannya ia tujukan ke arah jalan darah yang berbahaya dari kakek itu, merupakan serangan maut yang benar-benar ganas dan berbahaya.
Bong Te Sianjin benar-benar terkejut. Tak pernah disangkanya bahwa gadis muda ini sedemikian lihainya. Tadinya ia hendak mendesak, mempermainkan gadis itu untuk memamerkan kepandaiannya di depan ke lima murid keponakannya.
Akan tetapi setelah bertempur mati-matian, jangankan hendak mendesak mempermainkan, bahkan untuk mengimbangi gerakan gadis yang luar biasa cepatnya itu saja telah membuat napasnya menjadi megap-megap. Namun ilmu tongkatnya memang kuat sekali sehingga bagi Siang Lan juga tidak mudah untuk merobohkan kakek ini.
Agaknya hanya soal napas saja yang akan dapat memberi kemenangan kepada gadis itu, maka Siang Lan juga berlaku cerdik dan bergerak makin cepat agar kakek itu mengerahkan tenaga dan kehabisan napas. Kalau tidak dapat menang dalam seratus jurus, biarlah aku ladeni dia sampai dua ratus jurus pikirnya.
Adapun ke lima orang ketua Ngo-lian-kauw itu, ketika melihat betapa supek mereka tidak dapat menang setelah bertempur puluhan jurus, dan malah terdengar napas supek mereka megap-megap seperti kerbau disembelih, mereka serentak maju mengeroyok lagi. Kui Le dan Kui Gi sudah mengambil pedang mereka kembali dan Bong Te Sianjin kini tidak malu-malu lagi untuk membiarkan ke lima orang itu membantunya.
“Bagus, majulah semua!” Siang Lan menantang tanpa takut sedikitpun. Akan tetapi harus diakuinya bahwa keroyokan enam orang ini benar-benar merupakan lawan yang amat berat.
Dengan masuknya lima saudara she Kui itu, ia harus memecah perhatiannya dan ini merupakan hal yang berbahaya karena serangan tongkat di tangan Bong Te Sianjin masih tetap kuat dan berbahaya sekali. Ia lalu bersilat dengan hati-hati dan tenang, tidak mau menghamburkan tenaga seperti tadi ketika berhadapan dengan Bong Te Sianjin seorang.
Tanpa terasa, Siang Lan telah bertempur seratus jurus lebih dan masih saja ia dalam keadaan terkurung. Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak-gelak, disusul dengan suara yang parau.
“Ha, ha, ha, ha...! Enam orang laki-laki mengeroyok seorang gadis muda jelita. Sungguh lucu. Eh, Bong Te Sianjin, apakah kau sekarang sudah menjadi pikun dan loyo?”
Mendengar suara itu, Bong Te Sianjin berseru girang dan menjawab. “Leng Kok Hosiang! Kau tidak tahu bahwa gadis muda ini adalah Hwe Thian Moli yang lihai dan ganas!”
Ucapan dari Bong Te Sianjin ini mendatangkan rasa kaget kepada Siang Lan dan juga kepada hwesio yang baru muncul itu. Siang Lan terkejut berbareng girang karena dapat bertemu dengan musuh besarnya.
Sebaliknya Leng Kok Hosiang terkejut karena ia sudah mendengar betapa dara perkasa ini sedang mencari-carinya untuk membalas dendam. Ia juga sudah mendengar betapa Hwe Thian Moli telah berhasil membunuh tiga orang kawannya yang dulu ikut naik ke Liong-cusan....