09. Pilihan di Antara Dua Wanita Perkasa
“AH, dia memang gadis jahat dan kejam!” serunya sambil meloloskan goloknya. “Kita harus membunuhnya. Marilah kubantu kalian!” Dengan gerakan cepat sekali Leng Kok Hosiang lalu maju menyerbu dan mengeroyok Siang Lan.
“Keparat jahanam Leng Kok Hosiang! Kebetulan sekali kau mengantar kepalamu yang gundul untuk kuhancurkan!” seru Siang Lan dengan gemas sekali dan ia menyambut kedatangan hwesio itu dengan serangan kilat yang dilakukan dengan sepenuh tenaga.
Akan tetapi karena selain Leng Kok Hosiang sendiri memiliki kepandaian tinggi, juga di situ terdapat Bong Te Sianjin dan Ngo-lian-hengte, tentu saja ia tak dapat bergerak dengan leluasa, bahkan sebentar saja ia telah terdesak mundur karena datangnya senjata lawan bagaikan hujan lebatnya.
Sambil menggertak gigi, Siang Lan melakukan perlawanan dan ia telah mengambil keputusan nekad untuk membunuh musuh besarnya atau terbunuh oleh keroyokan itu! Ia mengamuk dengan nekat sekali sehingga ketujuh orang pengeroyoknya menjadi kagum dan juga terheran-heran.
Mereka mendesak terus dibarengi dengan suara Leng Kok Hosiang yang menertawakannya dan mengejeknya untuk membuat gadis itu menjadi makin gemas.
“Ha ha ha! Hwe-thian Mo-li, kau hendak lari ke mana? Kau seperti seekor tikus kecil dalam perangkap. Ha ha!”
Pada saat kedudukan Hwe-thian Mo-li benar-benar berada dalam bahaya besar, tiba-tiba terdengar suara dari luar kuil. “Hm, sungguh tak tahu malu tokoh-tokoh kang-ouw seperti tujuh orang ini mengeroyok seorang gadis muda! Benar-benar dunia ini penuh dengan manusia-manusia curang!”
Berbareng dengan habisnya ucapan itu, muncullah seorang pemuda tampan dari pintu kuil. Ia berpakaian seperti seorang pemuda pelajar yang lemah lembut dan sederhana, akan tetapi begitu tangannya bergerak, ia telah mencabut sebatang pedang yang berkilauan dari bawah jubahnya yang panjang.
“Betapapun juga, Kun-lun Siauwhiap (Pendekar muda dari Kun-lun) tidak dapat membiarkan keganjilan ini berlangsung terus!” seru pemuda itu yang segera maju menyerbu dan membantu Siang Lan.
Semenjak mendengar suara itu, dada Siang Lan sudah berdebar aneh karena ia mengenal suara itu. Apalagi setelah pemuda itu muncul, tak terasa lagi muka gadis ini menjadi merah sekali dan gerakan pedangnya kacau sehingga hampir saja tongkat Bong Te Sianjin mampir di pundaknya. Ia cepat membuang jauh-jauh pikirannya yang kacau itu dan bersilat dengan mengerahkan seluruh tenaga.
Sementara itu, Bong Te Sianjin dan Leng Kok Hosiang yang sudah mendengar kemashuran nama Kun-lun Siauhiap, pendekar muda dari Kun-lun-pai yang menurut kabarnya amat tangkas dan gagah perkasa itu, merasa tidak enak hati. Apalagi setelah pedang di tangan Tek Kun bekerja amat cepat dan kuatnya, menghalau beberapa pedang pengeroyok, hati mereka menjadi cemas.
Leng Kok Hosiang mencoba untuk mendesak Siang Lan, namun gadis itu yang memang selalu mengarahkan serangan pedangnya kepada hwesio ini, ternyata masih kuat dan dan tidak mudah dirobohkan begitu saja. Pertempuran menjadi makin hebat. Ngo-lian-hengte mengeroyok Tek Kun, sedangkan kedua orang pertapa itu menghadapi Siang Lan.
Kalau gadis perkasa itu masih merasa kewalahan menghadapi Leng Kok Hosiang dan Bong Te Sianjin yang benar-benar tangguh, adalah Tek Kun yang dikeroyok oleh lima orang ketua Ngolian-kauw itu menghadapi makanan empuk. Baru beberapa gebrakan saja terdengar teriakanteriakan kesakitan, disusul oleh robohnya Kui Sin dan Kui Ti.
Makin cemaslah hati Leng Kok Hosiang. Ia maklum bahwa kalau kawan-kawannya ini roboh dan ia harus menghadapi Hwe-thian Mo-li seorang diri, pendekar wanita itu tentu takkan mau berhenti sebelum mengadu jiwa! Dia melihat kepandaian pendekar wanita ini, ia masih merasa ragu-ragu apakah ia akan dapat menang apabila bertempur satu lawan satu.
Tiba-tiba Leng Kok Hosiang melompat mundur dua tombak lebih dan ketika Siang Lan mengejar, hwesio ini dengan tubuh merendah lalu menyerangnya dengan pukulan Hek-coa-jiu yang lihai itu!
Siang Lan pernah mendengar tentang kelihaian pukulan Hek-coa-jiu ini, maka cepat ia mempergunakan ginkangnya dan tubuhnya mencelat ke udara dan langsung ia menyerang ke arah hwesio itu dengan pedangnya. Akan tetapi Bong Te Sianjin telah datang dan menyambut pedangnya yang menyerang hwesio itu.
Sedangkan Leng Kok Hosiang yang menyaksikan betapa gadis itu dengan mudah dapat menggagalkan serangannya, cepat mempergunakan kesempatan itu untuk melompat keluar dari kuil dan melarikan diri.
Dengan marah Siang Lan hendak mengejar, akan tetapi Bong Te Sianjin tidak mau melepaskannya, bahkan lalu menyerang hebat sekali dengan tongkatnya.
“Bong Te Sianjin, kau benar-benar menjemukan!” seru Siang Lan dengan gemas sekali dan pedangnya lalu bekerja lebih cepat lagi.
Kini ia tidak mau main-main lagi dan kedua tangannya bergerak, yang kanan menyerang dengan pedang, yang kiri melancarkan pukulan-pukulan dengan pengerahan tenaga lweekang sepenuhnya. Ia kini dikuasai oleh nafsu untuk merobohkan dan membunuh kakek yang menghalanginya mengejar hwesio musuh besarnya.
Bong Te Sianjin sudah kehabisan tenaga, maka mana ia mampu mempertahankan diri lebih lama lagi? Biarpun tongkatnya masih berhasil menangkis pedang di tangan lawannya, akan tetapi pukulan tangan kiri Siang Lan telah beberapa kali mengenai dadanya, dan biarpun yang mengenai hanya angin pukulan saja.
Akan tetapi karena napasnya memang sudah tersengal-sengal sehingga ia tidak dapat mengerahkan tenaga pertahanan dengan baik. Akhirnya ia terhuyung-huyung dan roboh sambil muntahkan darah segar dari mulutnya.
Siang Lan tidak memperdulikan keadaan kakek itu lagi dan melompat keluar mengejar musuh besarnya sambil berseru. “Bangsat gundul, kau hendak lari ke mana?”
Akan tetapi karena waktu antara kepergian hwesio itu sudah agak lama, ketika ia tiba di luar kuil, Leng Kok Hosiang sudah lenyap tak nampak bayangannya lagi. Sementara itu, Tek Kun dengan mudah juga sudah merobohkan ketiga orang pengeroyoknya dan melihat gadis itu melompat keluar mengejar hwesio tadi, iapun melompat pula mengejarnya.
Tek Kun melihat gadis itu berdiri di pinggir hutan sambil matanya memandang ke sana ke mari mencari jejak orang yang dikejarnya, dan ketika pemuda itu datang menghampirinya, gadis itu menyambutnya dengan teguran ketus, “Mengapa kau mencampuri urusanku?”
Tek Kun melengak dan untuk beberapa lama tak dapat segera menjawab. Tak disangkanya bahwa gadis gagah perkasa ini demikian galaknya. Akan tetapi ia tersenyum dan berkata, “Siapa yang mencampuri urusanmu? Aku hanya melihat ketidakadilan dalam pengeroyokan itu, maka aku membantu tanpa kusadari lagi. Apakah kau marah karena aku membantumu?”
Nada suara yang halus ini menikam hati Siang Lan. Memang semenjak suhunya meninggal dunia, ia merasa hidup sebatangkara dan tak seorang pun di dunia ini yang dapat ia andalkan. Kini setelah ada pemuda yang amat menarik hatinya ini membantu tanpa diminta, mengapa ia harus marah-marah? Ia merasa betapa ia telah bersikap terlalu sekali, maka ia lalu menjawab,
“Tidak ada alasan bagiku untuk menjadi marah. Akan tetapi jangan kaukira bahwa aku harus berlutut kepadamu dan menghaturkan terima kasih atas bantuanmu tadi. Karena kau membantu tanpa kuminta dan akupun belum tentu kalah dikeroyok oleh tujuh orang tadi!”
Tek Kun tersenyum lagi, senyum yang membuat wajahnya yang tampan itu nampak berseri dan senyum yang membuat jantung Siang Lan berdebar aneh.
“Nama Hwe-thian Mo-li memang amat menggemparkan dan sudah lama aku mengagumi namamu. Benar-benar kau gagah perkasa dan maafkan kalau tadi aku telah berlaku lancang.”
Kembali Siang Lan merasa terpukul hatinya. Orang telah membantunya, merobohkan, Ngo-lian hengte, kini orang ini tidak mengharapkan terma kasihnya, bahkan datang-datang secara jujur meminta maaf. Sungguh pihaknyalah yang amat keterlaluan dalam hal ini.
“Sudahlah, aku tidak perlu dengan segala permintaan maaf!” katanya.
“Kau galak sekali!” kata Tek Kun sambil tersenyum dan sepasang matanya memandang dengan jenaka.
“Habis, apakah kau menyuruh aku tersenyum-senyum kepadamu, bersikap manis dan genit? Aku tidak bisa bersikap seperti itu!” Siang Lan menantang.
“Maaf nona, bukan maksudku menyinggung hatimu. Sebetulnya mengapakah kau mengejar hwesio itu? Siapakah dia tadi? Kulihat ilmu silatnya tinggi juga.”
“Dia adalah Leng Kok Hosiang, musuh besarku. Sayang ia dapat melarikan diri dan aku tidak tahu ke jurusan mana ia pergi!”
Pemuda itu nampak terkejut. “Diakah yang bernama Leng Kok Hosiang yang berjuluk Jai-hwasian? Ah, sayang, kalau tadi aku tahu, tentu tak sudi aku melayani segala cacing seperti Ngo-lian hengte dan membantumu merobohkannya.”
“Aku tidak minta bantuanmu dan sekarangpun aku hendak mengejarnya seorang diri.” Siang Lan hendak pergi, akan tetapi pemuda itu berkata.
“Nona, kau tidak tahu ke mana perginya hwesio itu?”
“Apakah kau tahu?”
“Tentu saja aku tahu ke mana ia pergi! Ia tentu pergi ke kota raja, karena sesungguhnya menjadi tugasku pula untuk menyelidikinya. Ia menjadi utusan kaum pemberontak di selatan. Mungkin sekali dia hendak menghadap kaisar sebagai seorang utusan.”
“Begitukah? Nah, aku pergi!” jawab Siang Lan tanpa mengucapkan terima kasihnya.
Akan tetapi belum lama Siang Lan pergi menuju ke kota raja di sebelah utara, tiba-tiba telinga gadis itu mendengar sesuatu dari tempat di mana tadi ia bertemu dengan Tek Kun. Ia segera berlari ke tempat itu kembali dan terheranlah ia ketika ia melihat pemuda itu berlutut di depan seorang tosu (pendeta To) tua yang bersikap bengis dan sedang marah besar,
“Mengapa kau mengabaikan tugasmu dan membuang waktumu dengan membantu segala gadis kang-ouw? Mengapa kau tidak menjatuhkan hukuman kepada susiokmu sebagaimana yang telah menjadi tugasmu?”
“Ampun, Sucouw (kakek guru), teecu tidak sampai hati menjatuhkan hukuman itu karena menurut pendapat teecu susiok tidak bersalah.”
Marahlah tosu itu. Ia membanting-banting kaki dan berkata. “Anak lancang! Betapapun tinggi kedudukanmu, siapapun juga adanya kau, kau telah menjadi murid Kun-lun-pai dan harus tunduk kepada semua peraturan. Cin Lu Ek telah melakukan pelanggaran, bersekutu dengan orang-orang jahat dan membunuh Ong Han Cu secara pengecut, curang, dan merendahkan nama Kun-lun-pai yang besar.
"Kau sudah kuberi tugas untuk menjatuhkan hukuman kepadanya, akan tetapi ternyata kau telah mengabaikan tugasmu. Tahukah kau hukuman apa yang dijatuhkan kepada seorang anak murid Kun-lun-pai yang mengabaikan tugasnya?”
“Teecu tahu, sucouw. Akan dicabut kembali semua kepandaian yang teecu pelajari dari Kun-lunpai.”
Tosu itu melangkah maju. “Nah, kau sudah tahu, itu baik sekali. Bersiaplah kau!”
Sambil berkata demikian, tosu ini bergerak hendak menotok kedua pundak Sim Tek Kun. Kalau totokan itu mengenai sasaran, maka kedua lengan tangan pemuda itu akan menjadi lumpuh dan selama hidup kedua lengannya takkan dapat dipergunakan untuk bersilat lagi.
Tiba-tiba menyambar bayangan yang cepat sekali dan tosu itu dengan terkejut merasa betapa ada sambaran angin yang kuat dari belakangnya. Ia membalikkan tubuh dan menunda gerakannya menotok anak muridnya, dan secepat kilat ia mengibaskan ujung lengan bajunya ke belakang. Siang Lan yang ternyata turun tangan menolong Tek Kun, terhuyung mundur sampai lima langkah karena kebutan ujung lengan baju ini.
“Hm, gadis lancang, kau siapakah sebenarnya maka berani sekali turun tangan terhadap pinto?”
Sebagai jawaban, Siang Lan mencabut pedangnya dan berkata tajam. “Totiang, mengapa seorang pendeta seperti totiang masih mengandung hati yang amat kejamnya? Aku sendiri yang menjadi murid dari Pat-jiu kiam-ong, karena otak dan pikiran sehat tidak membalas dendam kepada Kim-gan-liong, mengapa totiang tidak mau mendengar alasan dan secara membuta hendak menjatuhkan tangan ganas terhadap anak murid sendiri?”
Tosu itu tertarik sekali mendengar ucapan ini dan ia lalu berkata. “Hm, jadi kau ini adalah murid dari Pat-jiu kiam-ong? Tentu kau yang disebut Hwe-thian Mo-li?”
“Benar, totiang.”
“Pinto berurusan dengan anak murid sendiri, mengapa kau ikut campur? Ada hubungan apakah kau dengan Tek Kun?”
Merahlah seluruh wajah gadis itu. “Tidak ada hubungan apa-apa, hanya aku tidak bisa melihat orang berlaku kejam tanpa alasan. Perbuatan itu tentu akan kuhalangi, tidak perduli siapa yang melakukannya terhadap, siapa pula diperbuatnya!”
“Ha, ha, ha! Kau pintar bicara, anak muda! Hendak kulihat apakah kau benar-benar berani menghalangi perbuatanku menghukum anak murid sendiri!”
Sambil berkata demikian, kembali tosu itu melangkah maju ke arah Tek Kun yang masih berlutut. Akan tetapi sekali menggerakkan tubuh, Siang Lan telah melompat dan berdiri menghadang di depan pemuda itu sambil memegang pedangnya.
“Hwe-thian Mo-li, kau anak kecil benar-benar berani mati. Tahukah bahwa kau sedang berhadapan dengan ketua dari Kun-lun-pai? Gurumu sendiri belum tentu berani bersikap sekurang ajar ini.”
“Maaf, locianpwe, sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak perduli siapa saja yang melakukan perbuatan sewenang-wenang, pasti kulawan. Dari kebutan lengan baju locianpwe tadi saja aku sudah tahu bahwa aku bukanlah tandingan, akan tetapi apa boleh buat, terpaksa kulawan juga.”
“Untuk melindungi Tek Kun, kau bersedia mengorbankan nyawamu?”
“Untuk membela kebenaran dan melindungi orang yang tertindas, aku bersedia menghadapi kematian, totiang!”
Tiba-tiba tosu itu tertawa bergelak dan suara ketawanya nyaring sekali sampai menggema di empat penjuru. “Tek Kun, kau untung sekali. Kau telah dicinta oleh seorang gadis yang benar-benar setia dan gagah perkasa!” Setelah berkata demikian, kakek itu mengebutkan lengan bajunya dan tahu-tahu tubuhnya telah lenyap dari situ.
Tek Kun bangun berdiri dan menjura kepada Siang Lan. “Nona, aku telah berhutang budi kepadamu.”
Merahlah wajah Siang Lan mendengar ini, apalagi karena ucapan kakek tadi masih mendengung di telinganya. “Siapa yang berhutang budi? Kau mempunyai sucouw yang amat kasar!”
Berkerutlah dahi pemuda itu mendengar ucapan ini. “Hwe-thian Mo-li, kau pandai mencela orang. Tidak tahukah kau bahwa kau sendiri adalah seorang gadis yang amat kasar? Aku ingin bersahabat denganmu karena kau adalah seorang gadis gagah perkasa yang mempunyai pribadi tinggi dan menjunjung keadilan. Akan tetapi berkali-kali kau bersikap kasar kepadaku dan sekarang bahkan kau berani melawan sucouwku dan mengatakan dia seorang kasar!”
“Aku tidak butuh menjadi sahabatmu!” sahut Siang Lan dengan cemberut.
“Hm, sikapmu ini mengingatkan aku akan ucapan sucouw tadi!”
Mendengar ini, Siang Lan memandang dengan mata bersinar marah akan tetapi ia tidak dapat membuka mulutnya, bahkan bibirnya bergemetar menahan gelora hatinya. Akhirnya ia membalikkan tubuh dan melompat pergi menuju ke kota raja.
Tek Kun berdiri termenung. Ia tertarik kepada gadis ini akan tetapi tidak dapat mencinta seorang gadis yang menurut pandangannya terlalu kasar dan galak itu. Namun diam-diam ia kagum sekali melihat keberanian Hwe-thian Mo-li. Betapa gagahnya gadis ini ketika tadi menentang sucouwnya. Dan ia kini maklum juga bahwa sucouwnya tadi hanya mempermainkannya saja.
Maklum bahwa sucouwnya yang sakti itu telah tahu akan kedatangan Hwe-thian Mo-li dan hendak mencoba watak gadis itu. Kemudian ia menghela napas dan menyesalkan nasibnya mengapa ia ditunangkan dengan seorang gadis penari. Ia telah mendengar akan hal ini dari seorang sahabatnya, dan ia sedang bingung memikirkannya.
Telah berkali-kali ia membantah kehendak orang tuanya yang hendak menikahkannya. Akan tetapi, kali ini orang tuanya telah mengambil keputusan tanpa bertanya dulu kepadanya. Bagaimana ia dapat membantah?
Namun ia merasa penasaran sekali. Ia tidak suka menikah dengan seorang gadis yang lemah, seorang gadis penari. Ah, ia kecewa sekali. Kalau saja Hwethian Mo-li tidak seganas dan segalak itu. Dan gadis itu menyinta padanya! Dengan pikiran melamun, pemuda inipun lalu berlari cepat menuju ke kota raja.
Lian Hong merasa tidak puas akan usaha kakeknya membantunya mencari keterangan tentang musuh-musuh ayahnya. Sebetulnya ia ingin sekali keluar dari gedung Ciok-taijin untuk mencari sendiri musuh-musuh besarnya itu, akan tetapi ia selalu dicegah oleh ibunya dan ia merasa tidak tega kepada ibunya. Pada hari itu, kakeknya datang ke kamarnya dengan wajah muram.
“Lian Hong, terus terang saja kubertahukan kepadamu bahwa para penyelidik kita telah mendapat tahu tentang Leng Kok Hosiang musuh besar ayahmu itu. Dia adalah hwesio yang dulu pernah datang melukai aku dan kemudian dikalahkan oleh suhumu.”
Berserilah wajah Lian Hong yang cantik mendengar keterangan ini. “Dimana dia, kong-kong ? Di mana si jahanam itu?”
Kakeknya menghela napas. “Lian Hong, ketahuilah bahwa bukan hanya engkau yang ingin melihat kepala gundul itu mampus. Aku sendiri pernah terkena pukulannya yang keji dan kalau tidak ada suhumu, tentu aku telah tewas pula. Akan tetapi, sekarang dia mempunyai kedudukan yang amat penting sehingga sukar bagi kita untuk melanjutkan usaha balas dendam ini. Dia berada di kota raja sini, nak.”
Lian Hong melompat dari kursinya. “Biar aku mencari dia, kong-kong !” Cepat-cepat gadis ini lalu bersiap, membelitkan pedangnya pada pinggang dan mengambil selendang merahnya.
“Nanti dulu, Lian Hong. Selain hwesio itu amat berbahaya dan berkepandaian tinggi, juga kau harus tahu bahwa dia sekarang merupakan orang yang amat penting dan kalau kita mengganggunya, kita dapat berurusan dengan kaisar.”
Nona itu menjadi bengong dan heran. “Apa maksudmu, kong-kong?”
“Dia datang sebagai utusan pemberontak di selatan, dan dia membawa pesanan dari pimpinan pemberontak kepada kaisar. Dengan demikian, kedudukannya penting sekali dan tentu saja tak boleh diganggu.”
“Bagaimanapun juga, aku harus menyelidiki keadaannya kong-kong. Kalau perlu, akan kuserang dia di luar kota.”
“Baiklah, akan tetapi hati-hatilah jangan kau turun tangan di dalam kota. Akan celaka kita semua kalau hal ini terjadi.”
Mereka lalu berunding dan karena mereka mendengar bahwa hwesio itu bermalam di rumah Gan-siupi, seorang pembesar she Gan dan bahwa hwesio itu diterima sebagai seorang tamu agung, maka Lian Hong lalu berkemas untuk mengunjungi gedung Gan-siupi. Ia telah kenal baik dengan Gan-hujin (nyonya Gan) dan Gan Siocia (nona Gan).
Maka mudahlah baginya untuk mengunjungi gedung itu. Tak lama kemudian, Lian Hong telah naik kendaraan tertutup menuju ke rumah gedung Gan-siupi. Ketika kendaraannya tiba di jalan yang ramai, ia mendengar pengendara yang duduk di depan berkata perlahan.
“Aduh, alangkah cantik dan gagahnya!”
Lian Hong menjadi tertarik hatinya dan dia lalu menyingkap kain sutera yang menutup kendaraan itu. Dan terkejutlah ia ketika melihat siapa orangnya yang dipuji oleh kusirnya tadi. Ternyata bahwa di pinggir jalan itu seorang nona yang cantik dan gagah sekali sedang berjalan dan memandang ke arah kereta. Nona itu adalah Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan.
Lian Hong hendak cepat-cepat menutupkan “muili” kereta itu, akan tetapi mata Siang Lan yang tajam telah melihatnya. Juga Hwe-thian Mo-li menjadi terkejut, akan tetapi berbareng nona ini merasa heran dan ragu-ragu.
"Tak salah lagi, nona di dalam kereta itu pasti Lian Hong, gadis penari yang mengaku menjadi puteri suhunya. Akan tetapi mengapa ia berpakaian demikian mewah dan naik sebuah kendaraan yang jelas adalah kendaraan seorang bangsawan agung? Aku harus mengetahui baik-baik apakah dia benar Lian Hong atau orang lain yang sama mukanya."
Dengan hati amat penasaran, Siang Lan lalu mengikuti kereta itu. Sementara itu, Lian Hong yang berada di dalam kereta juga mengintai dari cela-cela muili dan tersenyum gelilah dia ketika melihat betapa Siang Lan mengikuti keretanya.
Ia memuji ketajaman mata Hwe-thian Mo-li, akan tetapi ia tidak boleh mengetahui keadaan siapa dirinya sebetulnya. Kalau ia melompat keluar dari kereta dan menjumpai gadis gagah itu sebagaimana yang amat diinginkannya, tentu semua orang akan menjadi terheran-heran bagaimana cucu Ciok-taijin mempunyai sahabat seorang gadis kang-ouw.
Biarpun hatinya penasaran dan menurut pandangan matanya ia hampir merasa yakin bahwa gadis puteri bangsawan yang berada di dalam kereta itu adalah Ong Lian Hong puteri suhunya, namun jalan pikirannya tidak membetulkan dugaan ini. Bagaimana bisa jadi puteri suhunya menjadi seorang gadis bangsawan tinggi? Bukankah dulu Lian Hong hanya seorang gadis penari?
Demikianlah, sambil mengikuti kereta itu, Siang Lan tiada hentinya berpikir. Ketika kereta berhenti di depan gedung besar, puteri bangsawan itu turun dan para penjaga di depan gedung itu memberi hormat. Siang Lan merasa makin penasaran dan ia mengambil sebuah batu kerikil kecil sekali. Tanpa diketahui oleh siapapun juga, ia lalu menyambitkan batu kecil itu ke arah leher puteri bangsawan itu.
Ia melakukan percobaan ini karena kalau gadis itu bukan Lian Hong, tentu lehernya akan terkena sambitan ini dan menjerit kesakitan. Akan tetapi, dengan gerakan seperti kebetulan dan tanpa disengaja, gadis bangsawan itu miringkan kepalanya dan sambitan itu mengenai tempat kosong.
Siang Lan menjadi girang. Tentu gadis itu Lian Hong adanya. Akan tetapi melihat betapa Lian Hong sama sekali tidak memperdulikannya, ia masih penasaran dan segera menghampiri puteri itu sebelum masuk ke dalam gedung. Ia menjura kepada Lian Hong sambil mengerahkan tenaga pada kedua tangannya dan dengan jalan itu ia menyerang Lian Hong dengan angin pukulannya sambil berkata,
“Siocia, maafkan kalau aku mengganggumu. Bukankah kita pernah bertemu dan berkenalan?”
Para penjaga tentu saja merasa terkejut sekali melihat cucu Ciok-taijin ditegur oleh seorang gadis gagah perkasa yang membawa pedang pada pinggangnya. Juga Lian Hong merasa bingung juga, maka cepat ia membalas pengormatan Siang Lan sambil mengerahkan tenaga menolak angin pukulan itu, lalu berkata,
“Mungkin kita hanya saling bertemu dalam alam mimpi dan dalam keadaan lain. Tak mungkin kita telah berkenalan. Harap kau jangan menggangguku.” Setelah berkata demikian, ia lalu pergi masuk ke dalam gedung tanpa menoleh lagi kepada Siang Lan.
Hwe-thian Mo-li ketika merasa betapa gadis bangsawan itu dapat menolak pukulannya, makin merasa yakin bahwa gadis ini tentulah penari yang dulu berhasil membunuh Liok Kong, ia teringat betapa gadis itu tidak mau mengaku tentang keadaan dirinya dan seakan-akan merahasiakan, dan teringat pula akan suhunya yang juga merahasiakan keadaan keluarganya.
Teringat akan hal ini ia tidak mau mendesak dan segera pergi dari situ, melanjutkan penyelidikannya tentang musuh besarnya, yakni Leng Kok Hosiang. Sama sekali ia tidak pernah menduga bahwa hwesio itu berada di dalam gedung di mana ia melihat Lian Hong masuk.
Lian Hong disambut oleh para pelayan yang mengantarnya masuk ke dalam gedung. Di ruang tengah, gadis ini melihat Gan-siupi sedang bercakap-cakap dengan seorang hwesio dan berdebarlah hatinya ketika ia mengenal hwesio ini sebagai hwesio yang dulu pernah menyerang kong-kongnya, yakni Leng Kok Hosiang.
Ketika Gan-siupi melihat kedatangannya, pembesar itu lalu berdiri dan tersenyum kepadanya, sedangkan Lian Hong buru-buru memberi hormat. Sepasang mata Leng Kok Hosiang bercahaya ketika ia melihat gadis yang luar biasa cantiknya itu. Ia merasa seakan-akan melihat seorang bidadari turun dari kahyangan.
Ia sudah lupa lagi kepada Lian Hong karena dulu ketika ia menyerbu rumah Ciok-taijin, gadis ini masih belum sebesar sekarang. Betapapun juga, Leng Kok Hosiang masih mengenal kesopanan dan tidak mau bertanya sesuatu, hanya diam-diam ia menyimpan kecantikan wajah gadis itu di dalam hatinya yang busuk.
Sementara itu, sambil menahan gelora hatinya ketika melihat musuh besarnya ini, Lian Hong buru-buru masuk ke ruang belakang untuk menemui Gan-hujin dan Gan-Siocia. Gan-siocia yang sudah kenal baik dengan Lian Hong, lalu memeluknya dan membujuk-bujuknya untuk bermalam di situ.
Lian Hong pura-pura tidak mau, akan tetapi akhirnya ia menerima undangan ini dan seorang pelayan lalu disuruh pergi ke gedung Ciok-taijin untuk mengabarkan bahwa Ciok-siocia bermalam di gedung siupi. Memang untuk orang luar, Lian Hong selalu disebut Ciok-siocia (nona Ciok) karena kakeknya tidak mau ia menggunakan nama keturunan Ong.
Malam hari itu, ketika semua orang di dalam gedung Gan-siupi sudah tidur nyenyak, dua orang di dalam gedung itu masih belum tidur. Mereka ini adalah Lian Hong dan Leng Kok Hosiang. Gadis ini sungguhpun sudah mendapat pesan kakeknya jangan turun tangan di dalam kota, namun melihat hwesio yang amat dibencinya itu, ia tidak dapat menahan sabarnya lagi.
Ia mengganti pakaiannya yang mewah sebagai puteri bangsawan itu dengan pakaian yang ringkas, membawa kedua senjatanya yang tadinya disembunyikan dibalik pakaiannya, dan bersiap untuk menyelidiki keadaan musuh besarnya dan kalau ada kesempatan, turun tangan.
Adapun Leng Kok Hosiang, semenjak menyaksikan kecantikan wajah gadis bangsawan yang siang tadi memasuki gedung itu, hatinya selalu berdebar. Timbul nafsu jahatnya dan hwesio yang jahat dan cabul inipun mempunyai maksud untuk menyerbu ke dalam kamar gadis bangsawan itu dan mengganggunya. Memang Leng Kok Hosiang adalah seorang yang amat berani.
Menjelang tengah malam, ketika keadaan sudah sunyi betul, dua bayangan yang amat gesit gerakannya dengan hampir berbareng telah melompat ke atas genteng rumah gedung Gan-siupi. Kedua bayangan orang ini bertemu di bubungan rumah dan keduanya menjadi terkejut.
Lebih-lebih Leng Kok Hosiang ketika melihat bahwa bayangan yang dapat bergerak dengan amat gesitnya itu bukan lain adalah gadis bangsawan yang tadinya hendak dijadikan korban. Ia hanya memandang dengan mata terbelalak kepada Lian Hong yang sudah mengeluarkan pedang dan selendang merahnya.
“Leng Kok Hosiang, jahanam gundul keparat. Sekaranglah saatnya kau harus melepaskan kepala gundulmu !” seru Lian Hong yang segera menyerang dengan pedangnya, menggunakan tipu gerakan Dewa Bumi Memetik Buah, menusukkan pedangnya ke arah kepala musuhnya.
Leng Kok Hosiang terkejut sekali melihat cara menyerang yang amat cepat dan lihai ini, maka iapun tidak berani main-main dan cepat mengelak sambil melangkah mundur.
“Nanti dulu, nona. Bukankah kau ini Ciok-siocia yang siang tadi datang di gedung ini? Mengapa tanpa sebab kau memusuhi aku? Apakah kesalahanku kepadamu?”
“Jahanam gundul, kau masih bertanya tentang dosamu? Ingatkah kau akan perbuatanmu yang pengecut dan curang terhadap Pat-jiu kiam-ong?”
Terkejut dan terheranlah hati hwesio ini mendengar disebutnya nama ini. “Apakah Pat-jiu kiamong juga mempunyai murid seorang gadis bangsawan?” tanyanya seperti kepada diri sendiri.
Akan tetapi, Lian Hong tidak memberi kesempatan kepadanya untuk banyak berpikir. Gadis ini sudah maju lagi menyerang sambil membentak. “Tak perlu kau tahu akan hal itu!” Lian Hong masih berlaku hati-hati dan tidak mau mengaku puteri Pat-jiu kiam-ong, bahkan kini ia menyerang dengan hebat, mempergunakan pedang dan selendangnya.
Leng Kok Hosiang menjadi marah sekali. Ia maklum bahwa gadis muda ini memiliki ilmu silat yang tak boleh dipandang ringan, apalagi setelah melihat gerakan selendang merah yang mengandung tenaga lweekang dan yang merupakan senjata penotok jalan darah yang cukup lihai. Lenyaplah niatnya untuk mengganggu gadis ini dan ia kini berniat hendak membunuh gadis yang berbahaya ini.
Baru menghadapi Hwe-thian Mo-li saja ia sudah merasa berat, apalagi kalau pihak anak murid Pat-jiu kiam-ong ditambah dengan gadis yang aneh ilmu silatnya ini. Leng Kok Hosiang lalu mencabut goloknya dan ia membalas menyerang dengan hebatnya.Goloknya berkelebat bagaikan seekor naga buas menyambar mangsanya.
Serangan golok yang berbahaya ini masih ia seling dengan pukulan-pukulan Hek-coa-jiu yang dilakukan dengan tangan kirinya. Baiknya Lian Hong sudah maklum atas kelihaian ilmu pukulan yang pernah hampir merampas nyawa kakeknya ini, maka ia selalu berlaku hati-hati dan dapat mengelak dari pukulan lawan.
“Ah, tentu kau hendak membalas sakit hati karena kakekmu pernah kurobohkan dulu, bukan?” tanya hwesio itu sambil menangkis serangan lawannya.
Kini ia teringat akan keadaan dulu ketika ia mencari Ong Han Cu di gedung Ciok-taijin. Hm, ilmu silatmu hampir sama dengan ilmu silat Ouwyang Sianjin, kau tentu muridnya, bukan?”
Lian Hong tidak menjawab dan terus menyerang. Ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat hwesio ini sekarang telah menjadi makin lihai saja. Memang, Leng Kok Hosiang yang maklum akan banyaknya dan lihainya musuh-musuh yang mencari untuk membalas dendam kepadanya, telah memperdalam kepandaiannya dan bahkan mempelajari ilmu golok yang cukup tinggi.
Kini setelah bertempur belasan jurus, dengan lega ia mendapat kenyataan bahwa betapapun juga, ia masih menang tenaga dan menang ulet. Ditambah lagi dengan pengalaman bertempur dan kematangan ilmu silatnya. Maka ia dapat melayani Lian Hong sambil melanjutkan jalan pikirannya yang kini mulai teringat akan pengalamannya dahulu.
“Hm, kau cucu Ciok-taijin...ah, sekarang aku ingat, kau tentulah gadis cilik yang dulu pernah pula menempurku di depan rumah kakekmu! Ha.... kalau kau cucu Ciok-taijin, kau tentulah anak perempuan dari Pat-jiu kiam-ong....!”
Lian Hong tidak menjawab dan terus menyerang bertubi-tubi dengan pengerahan seluruh tenaga dan kepandaiannya.
Terpaksa Leng Kok Hosiang mencurahkan perhatiannya untuk melindungi diri karena serangan-serangan nona ini benar-benar berbahaya sekali. Ia juga merasa terkejut dan gentar ketika mengingatkan bahwa gadis ini adalah puteri Pat-jiu kiam-ong, karena sebagai puteri pendekar itu, tentu nona ini merasa sakit hati sekali dan nekad untuk membalas dendam.
Pertempuran berjalan seru dan seimbang. Lima puluh jurus telah lewat dan pertempuran matimatian itu dilakukan tanpa ada yang mengeluarkan kata-kata sedikitpun. Leng Kok Hosiang mengambil keputusan untuk membunuh anak perempuan musuhnya ini untuk menyingkirkan bahaya yang akan mengancam selalu. Ia mengerahkan seluruh kepandaiannya, mengeluarkan serangan-serangan yang paling berbahaya sehingga Lian Hong terpaksa terdesak mundur.
Pada saat itu, sesosok bayangan tubuh manusia bergerak cepat di atas genteng, berlari menghampiri tempat pertempuran itu. Setelah dekat, bayangan yang ternyata adalah seorang pemuda ini memandang sebentar, kemudian membentak nyaring,
“Leng Kok Hosiang manusia busuk! Agaknya di mana kau berada, tentu kau melakukan kejahatan yang terkutuk!” Setelah berkata demikian, pemuda itu lalu melompat maju sambil mencabut pedangnya dan membantu Lian Hong menyerang hwesio itu.
Ketika mendengar bentakan ini dan melihat pemuda itu, Leng Kok Hosiang menjadi marah sekali. “Kun-lun Siauwhiap! Berkali-kali tanpa sebab kau memusuhi aku! Awas, kali ini aku tidak akan mengampunkan jiwamu lagi!”
Ia lalu memutar senjatanya lebih cepat lagi dan kini ia dikeroyok dua oleh Lian Hong dan Tek Kun, pemuda yang beberapa hari yang lalu telah membantu Siang Lan pula.
Sementara itu, Lian Hong menjadi kagum melihat gerakan pedang pemuda itu. Ia pernah mendengar nama julukan Kun-lun Siauwhiap dan baru sekarang ia melihat orangnya. Melihat pemuda yang mengenakan pakaian seperti seorang pelajar, dengan wajahnya yang tampan dan simpatik ini, tak terasa pula ia menjadi amat tertarik.
Hatinya juga merasa lega dan girang karena dengan bantuan pemuda ini, tidak saja ia terlepas dari bahaya desakan musuh besarnya, juga ia mempunyai lebih banyak harapan untuk menewaskan musuhnya. Maka ia lalu menggerakkan kedua senjatanya lebih kuat lagi.
Leng Kok Hosiang menjadi sibuk sekali dan segera ia terdesak hebat. Pada suatu saat, ketika pedang Tek Kun sedang mengurungnya dan membuat ia sibuk menangkis, tiba-tiba sinar merah menyambar ke arah lehernya. Ternyata ujung selendang merah di tangan Lian Hong telah melakukan totokan yang amat berbahaya.
Ia cepat miringkan kepalanya, akan tetapi tetap saja ujung selendang itu masih mampir di pundaknya, mendatangkan rasa sakit sekali. Hwesio ini berseru keras saking marah dan sakitnya, dan ia masih dapat menyelamatkan nyawanya dengan gerakan poksai (berjumpalitan) ke belakang dengan gerak lompat Naga Sakti Membalikkan Tubuh.
Pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut di bawah genteng dan ternyata bahwa para penjaga telah mendengar suara orang yang sedang bertempur di atas genteng itu. Tak lama kemudian nampak obor menyala-nyala di bawah genteng dan beberapa orang penjaga yang memiliki kepandaian melompat ke atas genteng.
Baik Lian Hong maupun Tek Kun menjadi sibuk sekali. Keduanya tidak ingin terlihat orang dengan alasan yang sama. Lian Hong tidak mau terlihat orang karena ia adalah cucu dari Ciok-taijin dan hal ini akan membuat kakeknya menjadi marah sekali.
Adapun Tek Kun sebagai putera Pangeran Sim Liok Ong, selamanya apabila keluar rumah, tidak pernah mau mengaku sebagai putera pangeran, dan hanya menggunakan nama julukan Kun-lun Siauwhiap.
Hampir berbareng, ketika melihat beberapa orang penjaga melompat naik ke atas rumah, kedua orang muda itu lalu melompat pergi dari tempat itu, meninggalkan Leng Kok Hosiang yang masih pucat karena hampir saja ia terkena celaka oleh serangan selendang merah dari gadis pendekar yang lihai itu.
Lian Hong mempergunakan ilmu lari cepat berlompat-lompatan dari genteng ke bubungan rumah lain, lalu melompat turun dan berlari ke tempat yang sunyi. Ia maklum bahwa pemuda yang gagah itupun menyusulnya maka ia lalu berhenti dan setelah Tek Kun berdiri dihadapannya, ia lalu menjura sambil berkata,
“Telah lama aku mendengar nama Kun-lun Siauwhiap, dan ternyata malam hari ini aku telah mendapat bantuannya. Melihat ilmu pedangmu, ternyata bahwa nama Kun-lun Siauwhiap bukanlah nama kosong belaka.”
Tek Kun memandang dengan mata kagum dan mulut tersenyum berseri. Gadis ini selain berkepandaian tinggi, juga amat elok dan manis, ditambah pula dengan sikapnya yang ramah dan sopan santun. Tahu akan terima kasih, maka ia menjadi makin tertarik.
“Ah, lihiap, jangan kau terlalu memuji, membuat aku yang bodoh merasa tersindir dan malu saja. Mataku yang belum banyak pengalaman ini sungguh harus disesalkan sehingga aku tidak dapat mengenal siapa sebenarnya lihiap ini?”
Lian Hong juga tersenyum. Tadinya ia sudah merasa heran bahwa pendekar pedang yang dijuluki Kun-lun Siauwhiap itu ternyata seorang pemuda tampan yang lemah lembut dan bersikap serta berpakaian sebagai sasterawan.
Akan tetapi mendengar ucapan pemuda ini, ia maklum bahwa pemuda ini sudah banyak merantau di dunia kang-ouw sehingga pandai mempergunakan sopan santun orang berilmu yang suka merendahkan diri.
“Kau ingin mengetahui namaku? Tentu saja kau belum pernah melihatku atau mendengar namaku, karena orang seperti aku ini, mana dapat dibandingkan dengan Kun-lun Siauwhiap yang bernama besar?”
“Sudahlah, nona, jangan kau mengejek. Kepandaianku kalau dibandingkan dengan kepandaianmu, sungguh tak patut disebut. Apakah artinya nama julukan? Hanya sebutan dari orang-orang yang suka menjilat belaka.”
“Siauwhiap, seperti juga kau, ada orang yang menyebutku dengan nama julukan, yakni Hwethian Sianli.”
Tek Kun tercengang mendengar sebutan ini dan ia memandang dengan mata terbelalak. “Hwethian Sianli...?
Sungguh aneh!”
“Apanya yang aneh?” Lian Hong menahan senyumnya. “Apakah nama julukan itu terlalu buruk dan tidak sesuai dengan orangnya?”
“Ah, bukan demikian, nona. Memang kau sudah pantas sekali disebut Bidadari Terbang. Akan tetapi, nama julukanmu mengingatkan aku akan seorang pendekar wanita yang berjuluk Hwethian Mo-li. Tidak tahu apakah masih ada hubungannya antara dia dan kau?”
“Ah, dia....? Jadi kau seorang sahabat baik dari Hwe-thian Mo-li?” Lian Hong balas bertanya sambil memandang tajam.
Di bawah sinar bulan yang tidak begitu terang, Tek Kun memandang wajah yang benar-benar mendatangkan kekaguman di dalam hatinya itu. Memang pantas sekali gadis ini disebut bidadari. Wajahnya yang cantik jelita, tubuhnya yang molek, sikapnya yang gagah, ah, agaknya pantas kalau di atas punggungnya tumbuh sepasang sayap.
“Eh, bagaimana? Apakah yang kaulamunkan, Kun-lun Siauwhiap. Mengapa kau tidak menjawab pertanyaanku?”
“Pertanyaan yang mana? Bukankah kau yang harus menjawab pertanyaanku tadi?” Tek Kun menjawab gagap karena sesungguhnya ia tidak begitu jelas mendengar ucapan gadis itu.
“Kau tanya tentang hubungan? Kalau disebut ada, mungkin ada hubungan antara dia dan aku, akan tetapi nama julukan kami tidak ada sangkut pautnya sama sekali. Nah, sekarang jawablah, apakah dia itu sahabat baikmu?”
Sukarlah bagi Tek Kun untuk menjawab, akan tetapi akhirnya ia berkata dengan sejujurnya, “Sahabat baik sih bukan, akan tetapi aku kenal padanya dan pernah kami bertempur melawan hwesio tadi bersama-sama. Dia murid dari Pat-jiu kiam-ong yang hendak membalas dendam kepada hwesio cabul tadi. Mungkin pada saat ini juga dia berada pula di dalam kota ini.”
“Aku telah tahu akan hal itu, tak perlu kau ceritakan lagi. Nah, Kun-lun Siauwhiap, sekali lagi terima kasih atas bantuanmu tadi, Selamat berpisah!” Lian Hong lalu melompat untuk pergi dari situ, akan tetapi tiba-tiba Tek Kun menyusulnya dan berkata.
“Eh, nona, nanti dulu! Secara kebetulan sekali kita bertemu dan...dan... kalau sekiranya kau sudi.... aku ingin sekali mengikat tali persahabatan dengan kau yang gagah perkasa ini. Siapak sebenarnya namamu dan di manakah kau tinggal, lihiap?”
Merahlah wajah Lian Hong mendengar ucapan dan melihat sikap pemuda ini. Karena sudah banyak laki-laki yang memandangnya dengan kagum, maka Lian Hong kini mengerti pula bahwa pemuda inipun tertarik kepadanya. Anehnya, kalau kekaguman laki-laki lain selalu mendatangkan rasa jemu dan sebal di dalam hatinya. Kini ia tidak marah atau jemu, bahkan merasa amat malu.
“Apa maksudmu menanyakan nama dan tempat tinggalku?” tanyanya.
Kini Tek Kun yang merasa seperti ditampar mukanya dan menjadi malu-malu dan bingung. “Ah, tidak apa-apa nona. Bukankah sudah sepatutnya orang-orang segolongan seperti kita ini salingberkenalan? Siapa tahu kalau-kalau pada suatu hari aku kebetulan lewat di kota tempat tinggalmu dan dapat singgah untuk berkenalan dengan keluargamu.”
Lian Hong tersenyum. Tak dapat ia menceritakan namanya, karena hal ini akan merupakan bahaya bagi kong-kongnya. “Namaku Hwe-thian Sianli dan itu sudah cukup!” katanya. “Adapun tempat tinggalku.... aku tidak mempunyai tempat tinggal!”
Setelah berkata demikian, sambil tertawa perlahan ia lalu melesat dan lenyap di dalam bayangan pohon...