Iblis dan Bidadari Jilid 10

Cerita Silat Mandarin Serial Iblis dan Bidadari Jilid 10 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

10. Pertarungan Sepasang Merpati

TEK KUN hendak mengejar, akan tetapi tak dapat menemukan gadis itu yang mempunyai gerakan cepat dan lincah sekali. Tek Kun merasa menyesal sekali. Ia telah bertemu dengan seorang gadis yang telah merebut hatinya pada saat pertemuan yang pertama kali. Ia telah jatuh hati dan diam-diam ia mengakui bahwa ia amat tertarik kepada Hwe-thian Sianli.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Akan tetapi kini gadis itu telah pergi lagi tanpa mau memberi tahukan nama dan tempat tinggalnya. Sampai lama ia berdiri bengong di tempat itu dengan hati kecewa sekali. Kemudian ia lalu berjalan perlahanlahan menuju pulang, ke rumah orang tuanya, yakni rumah gedung Pangeran Sim Liok Ong.

Tek Kun sama sekali tidak mengira bahwa semenjak pertemuannya dengan Lian Hong tadi, ada seorang yang mengintai dan mendengar percakapan mereka. Orang ini adalah Hwe-thian Moli Nyo Siang Lan. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, setelah bertemu dengan Lian Hong dan mencoba gadis penari itu, Siang Lan merasa terheran-heran. Ia merasa yakin bahwa gadis itu tentulah Lian Hong puteri suhunya.

Akan tetapi oleh karena sudah jelas bahwa gadis itu agaknya tidak mau memperkenalkan diri di tempat umum, ia juga tidak hendak memaksa dan pergi mencari jejak Leng Kok Hosiang. Tak seorangpun tahu di mana adanya hwesio yang dicarinya itu, maka terpaksa Siang Lan menanti malam tiba.

Ia lalu mengenakan pakaian yang ringkas dan mulailah ia dengan penyelidikannya. Sampai lewat tengah malam, belum juga ia berhasil mendapatkan musuh besarnya. Memang bukan hal yang mudah untuk mencari seseorang di dalam kota raja yang sebesar itu. Kemudian ia melihat bayangan Lian Hong dan Tek Kun.

Ia menjadi terheran-heran ketika ia mengenal bayangan dua orang ini, maka diam-diam ia lalu mengikuti mereka dan mengintai. Ia sama sekali tidak melihat hwesio musuh besarnya yang telah turun dan masuk kembali ke dalam gedung Gan-siupi.

Ketika ia melihat sikap kedua orang muda itu pada waktu mereka bercakap-cakap, hatinya merasa tidak enak sekali. Sikap pemuda itu tampak jelas olehnya bahwa pemuda yang dikaguminya ini ternyata amat tertarik pada Lian Hong. Hal ini mudah saja dilihat dari tempat sembunyinya.

Apalagi ketika pemuda itu menyatakan keinginannya berkenalan dengan Lian Hong dan kemudian gadis itu pergi sehingga pemuda itu nampak kecewa, sedih, dan melamun. Kemudian, tanpa disadarinya ketika Tek Kun pergi dari situ, diam-diam Siang Lan mengikuti pemuda ini.

Bukan main herannya ketika ia melihat pemuda itu menuju ke sebuah rumah gedung yang besar dan mewah sekali. Bertambah rasa herannya ketika penjaga-penjaga di pintu gerbang rumah itu menegur pemuda ini dengan sikap menghormat sekali.

“Sim-kongcu dari manakah sehingga lewat tengah malam baru pulang?”

“Jangan banyak cakap!” pemuda itu membentak dan terus memasuki rumah sendiri.

Siang Lan berdiri bengong di tempat persembunyiannya dan lebih tak mengertilah ia ketika melihat para penjaga itu tertawa dan berbisik-bisik. “Ah, mengapa kongcu menjadi demikian galak? Agaknya ada sesuatu yang mengesalkan hatinya!”

“Kongcu memang aneh. Berbulan-bulan pergi, tak tahu bahwa ia telah ditunangkan dengan seorang puteri jelita, masih saja suka pergi jauh dan lama, dan sekarang pulang pada waktu begini. Biasanya pemuda baru merasa jengkel dan kesal hatinya kalau tergoda oleh wanita.”

Siang Lan merasa seakan-akan sedang bermimpi. Siang tadi ia melihat Lian Hong naik kereta dan berpakaian seperti seorang puteri bangsawan. Dan kini ia melihat Tek Kun, pemuda gagah perkasa yang menarik hatinya dan yang disangkanya seorang pemuda kang-ouw itu ternyata juga putera seorang bangsawan besar yang memiliki rumah gedung sehebat ini?


Sementara itu, ketika Leng Kok Hosiang ditanya oleh para penjaga dan juga oleh Gan-siupi sendiri, ia tidak mengaku bahwa yang bertempur dengan dia tadi adalah puteri dari Pat-jiu kiam-ong atau cucu dari Ciok-taijin. “Ah, mereka itu hanya dua orang yang agaknya hendak mencuri saja.” Katanya dengan hati masih kebat-kebit.

Ia hendak segera membereskan urusannya agar dapat segera pergi dari tempat yang tidak aman itu. Ia maklum bahwa kepandaian puteri Pat-jiu kiam-ong lihai sekali, sama lihainya dengan kepandaian Hwe-thian Moli. Kalau dua orang gadis itu maju berbareng menyerangnya, akan celakalah dia. Apalagi kalau pemuda Kun-lun-pai itu membantu pula.

Leng Kok Hosiang memang menjadi utusan dari gerombolan pemberontak dari selatan yang terdiri dari sepasukan tentara kerajaan yang merasa tidak puas dengan pemerintah kaisar. Sukar juga bagi kerajaan untuk menindas pemberontakan ini oleh karena pemberontak-pemberontak ini dibantu oleh orang-orang pandai seperti Leng Kok Hosiang dan yang lain-lain.

Bahkan beberapa perkumpulan gelap telah membantunya, diantaranya perkumpulan agama Peklian-kauw dan Ngo-lian-kauw yang banyak mempunyai orang-orang pandai. Kedua perkumpulan agama ini, terutama sekali Pek-lian-kauw yang amat berpengaruh, lambat laun memegang kemudi atau pimpinan atas barisan pemberontak itu.

Sehingga mereka kini merupakan pemberontakan kaum agama Pek-lian-kauw. Leng Kok Hosiang masuk pula dalam golongan ini oleh karena banyak kawannya menjadi pemimpin Pek-lian-kauw dan dia dapat hidup dengan mewah dan senang serta mendapat perlindungan yang kuat dan baik.

Pada waktu itu, ia dijadikan utusan oleh pucuk pimpinan pemberotak, untuk menghadap ke kota raja dan menyampaikan surat pernyataan menakluk dengan syarat bahwa gerakan Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw akan bebas dan tidak dibatasi oleh larangan-larangan. Dan pula, agar semua bekas tentara yang memberontak dapat diberi kedudukan seperti semula.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Leng Kok Hosiang sudah meninggalkan gedung Gansiupi untuk menghadap kaisar. Ia sama sekali tidak mengira bahwa Lian Hong dengan amat beraninya telah berada di kamarnya kembali, di dalam gedung Gan-siupi. Memang gadis ini setelah berpisah dari Tek Kun, segera secara diam-diam kembali ke gedung Gan-siupi dan memasuki halaman dari belakang, yakni dari taman bunga.

Beberapa orang penjaga melihatnya di taman, akan tetapi dengan alasan mencari angin, gadis ini dapat kembali ke dalam kamarnya tanpa terganggu. Sungguhpun agak ganjil melihat puteri itu makan angin di waktu lewat tengah malam, akan tetapi para penjaga yang berkedudukan rendah itu mana berani banyak cakap tentang seorang puteri cucu Ciok-taijin?

Diam-diam Lian Hong mendesak Gan-siocia untuk menceritakan tentang tamu hwesio itu dan tahulah ia bahwa pagi hari itu Leng Kok Hosiang hendak menghadap kaisar dan bahwa setelah urusannya beres, hwesio itu hendak langsung kembali ke tempatnya tanpa mampir lagi di gedung siupi. Ia lalu cepat mengendarai keretanya keluar dari gedung itu, hendak ke rumah kakeknya.

Baru saja keretanya keluar dari halaman gedung, ia melihat Siang Lan sudah berdiri di situ dan memandang tajam ke arah keretanya. Lian Hong tersenyum geli dan cepat ia membuka tirai kain penutup kereta dan memberi isyarat kepada Siang Lan dengan gerakan jari tangannya.

Siang Lan tersenyum juga dan setelah melihat bahwa di situ tidak terlihat seorangpun yang memperhatikannya, ia lalu melompat bagaikan kilat cepatnya dan tahu-tahu ia telah masuk ke dalam kereta yang pintunya dibuka dari dalam oleh Lian Hong. Kejadian ini terjadi demikian cepatnya sehingga pengemudi kereta itu sendiri sampai tidak tahu dan tidak merasa sesuatu.

“Anak nakal!” seru Siang Lan perlahan setelah ia berada di dalam kereta dan duduk berhadapan dengan Lian Hong. “Mengapa kau berlaku seaneh ini?” Ia memandang pakaian Lian Hong dengan kagum. “Sebenarnya kau ini menjadi puteri apakah? Heran benar aku memikirkan mengapa suhu bisa mempunyai seorang puteri seperti kau!”

Lian Hong menaruh telunjuknya di depan mulut. “Hush, jangan keras-keras, enci Siang Lan. Kalau terdengar oleh pengemudi kereta bisa berabe!”

Siang Lan memegang kedua tangan Lian Hong dan berbisik. “Adik Lian Hong, lekaslah ceritakan, apa artinya semua ini? Baru saja aku melihat Leng Kok Hosiang meninggalkan rumah gedung Gan-siupi di mana kaupun bermalam. Tadi aku hendak turun tangan, akan tetapi melihat bangsat gundul itu berjalan bersama beberapa orang perwira kerajaan, aku menjadi ragu-ragu, apalagi mengingat bahwa kaupun berada di gedung itu. Bagaimana sih ini? Mengapa kau bisa berada serumah dengan musuh besar kita?”

Lian Hong lalu berkata dengan sungguh-sungguh. “Enci Lan. Kau tidak tahu. Malam tadi aku telah bertempur dengan dia, akan tetapi aku tidak berhasil, sungguhpun telah mendapat bantuan... Kun-lun Siauwhiap. Kita tidak boleh turun tangan di dalam kota raja. Terlalu berbahaya. Ketahuilah bahwa dia adalah seorang utusan pemberontak Pek-lian-kauw yang harus menghadap kaisar. Seorang utusan tak boleh diganggu. Lebih baik kau menanti di luar kota, di sebelah selatan. Kalau hwesio itu keluar, nah, kita turun tangan!”

Siang Lan mengerutkan kening, tanda bahwa ia tidak sabar untuk menanti begitu lama. “Kau boleh menanti sampai ia keluar kota, akan tetapi aku akan menyerangnya begitu ia keluar dari istana kaisar. Kita sama lihat saja, siapa yang akan berhasil lebih dulu!”

Setelah berkata demikian, Siang Lan menyingkap tirai dan menanti kesempatan setelah kereta tiba di jalan agak sunyi, ia melompat keluar. Tak seorangpun tahu, bahwa Leng Kok Hosiang bukanlah datang seorang diri. Serombongan tokoh Pek-lian-kauw telah datang belakangan dan sesuai dengan rencana, mereka telah bersembunyi di luar kota, menanti hasil daripada Leng Kok Hosiang yang menghadap kaisar.

Rombongan ini terdiri dari tujuh orang pemimpin Pek-lian-kauw yang berkepandaian tinggi, rata-rata setingkat kepandaian Leng Kok Hosiang. Mereka telah bermufakat bahwa apabila usaha Leng Kok Hosiang gagal, mereka bertujuh beserta hwesio itu akan menimbulkan huru hara di kota raja, menyerbu kota dan membunuh beberapa orang bangsawan untuk mengacaukan keadaan dan memperlihatkan kekuasaan mereka.

Akan tetapi, sebaliknya Leng Kok Hosiang dan ketujuh orang kawannya itu sama sekali tak pernah mimpi bahwa perjalanan mereka telah lama diawasi dan diikuti oleh seorang pendekar tua yang gagah perkasa yakni Ouwyang Sianjin!

Kakek ini memang telah lama mencari jejak Leng Kok Hosiang untuk membantu usaha muridnya membalas dendam. Akan tetapi setelah ia mendapat tahu di mana adanya hwesio itu, ia menjadi terkejut melihat rencana gerombolan itu dan merasa lebih penting untuk menggagalkan usaha mereka daripada membalas dendam.

Ia maklum bahwa kalau ia turun tangan, ia takkan dapat memenangkan delapan orang yang berilmu tinggi ini, maka setelah jelas baginya akan maksud mereka mengunjungi kota raja, ia lalu mendahului mereka dan langsung menghadap kepada Panglima Kui yang memegang kekuasaan tertinggi sebagai pelindung kota raja.

Panglima Kui ini telah dikenalnya dan alangkah kagetnya, Kui-ciangkun ketika mendengar penuturan Ouwyang Sianjin. Ia segera pergi menghadap kaisar dan menyampaikan berita yang mengejutkan ini. Namun kaisar tetap tenang bahkan lalu mengatur siasat. Perundingan antara kaisar, Kui-ciangkun dan Ouwyang Sianjin menghasilkan siasat seperti berikut.

Kui-ciangkun sendiri dengan diam-diam berangkat ke selatan bersama beberapa orang perwira, untuk memimpin tentara yang bertugas di selatan dan memukul hancur gerombolan pemberontak yang baru ditinggalkan delapan orang pemimpin mereka yang paling pandai itu.

Adapun Ouwyang Sianjin dengan bantuan lima orang perwira yang berkepandaian cukup tinggi hendak menyerbu Leng Kok Hosiang dan tujuh orang pemimpin Pek-lian-kauw yang bersembunyi di luar kota raja.

Demikianlah, ketika hwesio itu datang menghadap kaisar, dengan tegas kaisar menolak permintaan pihak pemberontak dan menyatakan bahwa pemerintah mau menerima pernyataan pihak pemberontak dan Pek-lian-kauw asal tanpa syarat.

Dengan hati marah dan kecewa, Leng Kok Hosiang lalu mengundurkan diri, menyatakan hendak menyampaikan keputusan kaisar itu kepada para pemimpin Pek-lian-kauw di selatan. Ia tidak tahu bahwa ketujuh orang kawannya di luar kota raja, agak jauh dari tembok kota dan dalam sebuah hutan sedang diserbu oleh Ouwyang Sianjin dan lima orang perwira.

Baru saja ia tiba di luar kota raja, tiba-tiba dari balik pohon berkelebat bayangan dua orang gadis dan terkejutlah dia ketika melihat Hwe-thian Moli dan Hwe-thian Sianli telah berdiri dihadapannya bagaikan dua orang malaikat maut sedang siap memberi hukuman kepadanya.

“Hwesio cabul! Bersiaplah kau untuk menebus dosamu terhadap suhu!” Hwe-thian Moli membentak sambil mencabut pedangnya.

“Leng Kok Hosiang, pendeta jahanam! Telah lama ayah menantimu di pintu akhirat untuk membuat perhitungan!” Lian Hong juga berseru sambil mengeluarkan senjata-senjatanya selendang merah dan pedang tipis.

Biarpun hatinya merasa gentar sekali, namun Leng Kok Hosiang masih membesarkan hatinya sendiri dan berserulah dia, “Bagus! Kalian telah berada di sini, memudahkan aku untuk membasmi sekaligus!” Ia lalu mengeluarkan goloknya dan menerjang dengan cepat, hendak mendahului kedua lawannya.

Akan tetapi kedua lawannya adalah pendekar-pendekar wanita yang berkepandaian tinggi dan pada saat itu mereka berdua berada dalam keadaan amat marah, maka sebentar saja hwesio ini terdesak dan terkurung hebat oleh senjata-senjata Siang Lan dan Lian Hong. Sibuklah Leng Kok Hwesio dan ia masih mencoba untuk mempertahankan diri memutar-mutar goloknya sambil kadang-kadang melancarkan pukulan Hek-coa-jiu dengan tangan kirinya.

Pada saat hwesio itu berada dalam keadaan amat berbahaya, tiba-tiba terdengar seruan orang dan tahu-tahu dari dalam hutan berlompatan keluar enam orang yang bukan lain adalah Ngo-lian hengte dan Bong-te Sianjin supek mereka.


Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Bong Te Sianjin telah terluka oleh Hwe-thian Moli sedangkan Ngo-lian hengte telah dirobohkan oleh Sim Tek Kun atau Kunlun Siauwhiap. Ternyata bahwa mereka ini telah berobat dan setelah sembuh, mereka lalu menyusul ke kota raja untuk membantu Leng Kok Hosiang dan kawan-kawannya.

Ketika mereka memasuki hutan, terkejutlah mereka melihat tujuh orang pemimpin Pek-lian-kauw sedang terkurung hebat dan terdesak oleh Ouwyang Sianjin yang dibantu oleh lima orang perwira. Bong Te Sianjin hendak membantu akan tetapi Ngo-lian hengte berkata,

“Jangan supek, teecu rasa tidak perlu mereka dibantu, karena yang terpenting sekarang adalah mencari Leng Kok Hosiang. Kalau kita membantu dan sampai bermusuhan dengan para perwira kaisar, nama perkumpulan kita akan rusak dan kita akan selalu dikejar-kejar sepertinya Pek-lian-kauw.

Sebetulnya sudah lama Ngo-lian hengte merasa iri hati melhat keadaan agama Pek-lian-kauw yang makin berkembang dan jauh lebih maju dari pada Ngo-lian-kauw, maka kini melihat malapetaka yang menimpa tujuh orang pemimpin Pek-lian-kauw, diam-diam mereka merasa senang. Kalau tidak ada Pek-lian-kauw, dapat diharapkan Ngo-lian-kauw akan cepat maju.

Demikianlah, mereka melanjutkan perjalanan dan baru saja keluar dari hutan di mana pemimpin-pemimpin Pek-lian-kauw itu terkurung, mereka melihat Leng Kok Hosiang sedang terdesak hebat sekali oleh dua orang gadis.

Melihat Hwe-thian Moli, timbul kemarahan besar dalam hati Bong Te Sianjin dan murid-murid keponakannya. Tanpa dikomando, secara berbareng mereka telah mencabut senjata masingmasing dan menyerbulah mereka membantu. Leng Kok Hosiang menjadi girang sekali.

“Bagus, bagus!” hwesio ini tertawa riang. “Mari kita tangkap dua nona manis ini.”

“Bunuh mereka!” seru Bong Te Sianjin yang merasa dendam dan marah kepada Hwe-thian Moli.

“Jangan bunuh, tangkap saja. Sayang kalau nona-nona manis ini dibunuh begitu saja!” kata pula Leng Kok Hosiang dan kata-katanya ini disetujui sepenuhnya oleh Ngo-lian Hengte.

Mereka lalu mengurung rapat-rapat dan melancarkan serangan bertubi-tubi. Biarpun dikurung oleh tujuh orang yang lihai, namun kedua orang gadis pendekar itu tidak menjadi gentar, bahkan mereka lalu mengamuk makin hebat.

Bagaikan dua ekor naga betina, mereka mengerahkan seluruh kepandaian dan mainan senjata mereka sedemikian garangnya sehingga bagi kelima saudara Ngo-lian Hengte yang ilmu kepandaiannya tidak sehebat Leng Kok Hosiang maupun supek mereka, menjadi kewalahan juga.

Senjata di tangan kedua orang gadis itu benar-benar garang dan berbahaya sekali. Baru bertempur tiga puluh jurus saja, lima orang bersaudara she Kui ini telah terdesak mundur. Baiknya Leng Kok Hosiang dan Bong Te Sianjin memiliki kepandaian yang tinggi sehingga kedua orang gadis itu masih belum dapat merobohkan seorangpun lawan.

“Kurung mereka dengan Ngo-lian-tin!” seru Bong Te Sianjin memberi nasehat kepada keponakan muridnya, dan segera Ngo-lian Hengte menjalankan perintah ini.

Mereka bertempur sambil mengatur kedudukan dari lima jurusan dan mengurung rapat. Leng Kok Hosiang memperlengkap Barisan Lima Teratai ini dan berkedudukan sebagai kepalanya sedangkan Bong Te Sianjin menduduki kedudukan sebagai ekor. Dengan demikian mereka dapat mengurung rapat dan saling membantu.

Cara ini benar-benar lebih berbahaya bagi kedua orang gadis perkasa itu karena keadaan lawan menjadi teratur sekali. Setiap serangan senjata mereka dapat digagalkan sedangkan lawan mereka yang banyak jumlahnya selalu melancarkan serangan dari sebelah belakang.

“Jaga pintu depan dan belakang!” tiba-tiba Hwe-thian Moli berseru kepada Lian Hong dan mereka lalu berdiri saling membelakangi. Dengan cara ini mereka dapat menjaga diri dengan baik, karena para pengeroyok itu tidak dapat melakukan serangan gelap dari belakang.

Betapapun juga, Siang Lan dan Lian Hong masih saja terkurung dan terdesak. Nasib baik bagi mereka bahwa dalam keroyokan itu, Leng Kok Hosiang tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan pukulan Hek-coa-jiu yang lihai, karena kalau ia melakukan pukulan ini, banyak bahayanya akan mengenai dan melukai kawan sendiri.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar bentakan keras dan nyaring. “Leng Kok Hosiang, kau benar-benar sudah bosan hidup!” Dan berbareng dengan suara bentakan ini, muncullah Sim Tek Kun dengan pedang ditangan dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu menyerang Leng Kok Hosiang dengan gerakan pedangnya yang kuat dan tangkas.

“Kun-lun Siauwhiap!” tanpa terasa panggilan ini keluar dari mulut Lian Hong dengan suara girang sekali.

“Hwe-thian Sianli, mari kita basmi penjahat-penjahat ini!” jawab Tek Kun sambil tersenyum. Adapun Hwe-thian Moli diam saja dan hanya merasa betapa hatinya tidak enak sekali melihat kedua orang muda itu saling menegur dengan suara ramah dan girang. Datangnya Tek Kun membuat keadaan menjadi berobah sekali.

Sebentar saja tujuh orang pengeroyok itu telah terdesak hebat dan hanya dapat menangkis saja atas serangan ketiga orang muda yang lihai itu. Mereka tak dapat lagi melakukan pengurungan oleh karena jumlah lawan sekarang bertambah.

Pertempuran menjadi terbagi tiga, Tek Kun dikeroyok lagi oleh Ngo-lian Hengte yang dulu pernah kalah olehnya. Lian Hong menghadapi Leng Kok Hosiang sedangkan Hwe-thian Moli bertempur melawan Bong Te Sianjin yang pernah ia kalahkan.

Entah mengapa, hatinya yang tadinya merasa tidak enak kini berubah menjadi kemarahan besar dan Hwe-thian Moli kini mengamuk bagaikan seorang iblis benar-benar. Dalam jurus ketiga puluh, terdengar teriakan ngeri dan nampak darah menyembur keluar dari dada Bong Te Sianjin yang telah tertembus oleh pedang Hwe-thian Moli.

Setelah menewaskan Bong Te Sianjin, Siang Lan lalu menyerbu Leng Kok Hosiang yang masih bertempur mati-matian melawan Lian Hong. Kedatangan Siang Lan ini membuat Leng Kok Hosiang menjadi gentar sekali. Ia memekik keras, melompat mundur tiga tindak dan tiba-tiba melancarkan serangannya yang paling dihandalkan, yakni pukulan Hek-coa-jiu yang lihai.

Pukulan ini menyambar ke arah Siang Lan dan Lian Hong. Akan tetapi dua orang gadis ini telah tahu akan kelihaian pukulan ini dan cepat mereka telah mengelak ke kanan dan kiri, kemudian dari kedua samping ini mereka melakukan serangan pembalasan yang tak kalah hebatnya.

Ujung selendang Lian Hong bergerak ke arah pergelangan tangan hwesio yang memegang golok, pedangnya menyambar ke arah leher, sedangkan pedang Siang Lan dengan cepatnya telah menusuk ke arah ulu hati.

Mana Leng Kok Hosiang dapat menghindarkan diri dari bahaya maut yang melayang dari tiga jurusan ini? Ia masih mencoba untuk menggerakkan golok dan mengelak, akan tetapi terlambat. Hampir berbareng, pedang Lian Hong telah menyerempet lehernya dan pedang Siang Lan telah menusuk dan ambles di dadanya.

Leng Kok Hosiang menjerit ngeri dan tubuhnya terguling roboh. Hwe-thian Moli yang masih marah itu menyusulkan pedangnya dan sekali sabet saja, putuslah leher hwesio cabul itu.

Sementara itu, Tek Kun telah berhasil merobohkan tiga orang dari pada kelima saudara Kui itu. Pemuda ini masih berlaku lemah dan tidak menewaskan mereka, hanya merobohkan mereka dengan luka yang tidak berbahaya. Akan tetapi, tiba-tiba tiga orang yang sudah rebah dan menderita itu menjerit ngeri dan ketika Tek Kun mengerling, ternyata leher mereka pun sudah putus oleh pedang Siang Lan.

“Hwe-thian Moli!” serunya tercengang dan menegur.

“Enci Siang Lan, jangan berlaku kejam!” Lian Hong juga mencela.

Akan tetapi celaan dua orang yang agaknya sehati ini menambah kemarahan Hwe-thian Moli. Ia menerjang kepada Kui Jin dan Kui Ti, yakni dua orang lagi yang masih mengeroyok Tek Kun dan dalam dua kali gebrakan saja, kedua orang itupun roboh mandi darah dan tewas. Hwe-thian Moli masih menambahkan dua bacokan lagi untuk memisahkan kepala mereka dari tubuh.

Mau tak mau Lian Hong dan Tek Kun merasa ngeri sekali. “Hwe-thian Moli, kau memang terlalu kejam,” Tek Kun mencela. “Leng Kok Hosiang sudah semestinya dibunuh, akan tetapi apakah dosanya yang lain-lain sehingga harus kau bunuh secara demikian kejam?”

Melihat betapa Lian Hong dan Tek Kun mencelanya, tiba-tiba dari sepasang mata Hwe-thian Moli bersinar cahaya kemarahan yang mebuat matanya seperti berapi. “Membasmi kejahatan harus beserta akar-akarnya. Aku telah melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, habis kau mau apa? Kalau kau merasa penasaran dan hendak membela mereka, akupun tidak takut, Kun-lun Siauwhiap!” jawabnya dengan suara dingin dan perasaan cemburu membakar hatinya.

Tentu saja Tek Kun dan Lian Hong heran ketika melihat sikap ini. “Enci Siang Lan...!” Lian Hong menegur.

“Kau juga mau membelanya. Nah, majulah berdua, aku Hwe-thian Moli memang seorang gadis kejam, jahat dan seperti iblis! Jangan kira aku takut kepada kalian!”

Makin terheranlah Tek Kun melihat kemarahan Siang Lan kini bahkan ditimpakan kepadanya dan juga kepada Hwe-thian Sianli. Ia menghela napas dan berkata perlahan. “Ah, kalau begitu, aku telah berlaku lancang. Biarlah aku pergi saja....” Pemuda ini lalu pergi dari situ dengan mendongkol sekali.

“Enci Siang Lan, mengapa kau bersikap begitu terhadap dia? Mengapa kau agaknya marah-marah terhadap aku pula?” Lian Hong lalu maju dan memeluk Hwe-thian Moli.

Barulah Siang Lan tersadar akan sikapnya yang benar-benar tidak selayaknya itu, dan tanpa disadarinya lagi dua titik air mata mengalir turun ke atas pipinya. “Lian Hong, musuh-musuh kita telah terbasmi habis... kau... katakanlah terus terang, apakah kau... kau menyinta Kun-lun Siauwhiap ...??”

Pertanyaan yang sama sekali tak pernah disangkanya ini membuat wajah Lian Hong menjadi merah sekali. Ia memandang dengan bengong, kemudian setelah berkali-kali menarik napas panjang dapat juga ia menjawab, “Mengapa kau mengajukan pertanyaan aneh ini, enci?”

“Dia mencinta padamu, butakah kau?” Ia berkata dengan suara menggetar penuh perasaan. “Aku telah mencuri dengar dan mengintai ketika malam hari itu."

"Aku.... aku tidak berhak untuk bicara tentang hal itu karena ketahuilah bahwa aku... aku telah ditunangkan dengan orang lain!” Setelah berkata demikian, Lian Hong lalu menangis.

Kini Siang Lan yang menjadi sibuk dan terheran. Ia tidak mengerti mengapa Lian Hong menangis sedemikian sedihnya. Ia tidak tahu bahwa kata-katanya tadi yang menuduh gadis ini menyinta dan dicinta Tek Kun, merupakan pedang yang menikam jantung gadis ini.

Bagai diingatkan kepada sesuatu yang tak disukai, Lian Hong mendengar ucapan Hwe-thian Moli tadi. Ia teringat bahwa ia telah ditunangkan dengan putera pangeran yang belum pernah dilihatnya dan kini diam-diam ia harus mengaku bahwa ia amat tertarik kepada Kun-lun Siauwhiap.

Kalau tadi ia amat cemburu dan tak enak hati, kini Hwe-thian Moli merasa kasihan melihat Lian Hong. Ia dapat menduga bahwa gadis ini tentu telah ditunangkan dengan orang yang tak disukainya, maka sambil memeluk gadis itu ia menghibur. “Adik yang baik, mengapa seorang gadis gagah seperti kau menurut saja kepada kehendak orang, ditunangkan dengan sembarangan laki-laki.”

“Enci Siang Lan, sudahlah jangan kita bicarakan hal yang tidak penting ini. Marilah kau ikut dengan aku, bertemu dengan ibu. Apakah kau tidak ingin bertemu dengan isteri suhumu?”

Siang Lan tidak membantah dan keduanya lalu pergi meninggalkan tempat itu, tidak tahu bahwa Kunlun Siauwhiap seperginya dari situ lalu masuk ke dalam hutan dan bertemu dengan Ouwyang Sianjin yang sedang bertempur melawan tujuh tujuh orang pemimpin Pek-lian-kauw, dibantu oleh beberapa orang perwira. Ternyata bahwa tujuh orang Pek-lian-kauw itu amat tangguh dan sukar dikalahkan.

Tek Kun adalah putera pangeran, maka melihat berapa perwira bertempur melawan tosu-tosu (pendeta) Pek-lian-kauw itu, ia terus saja menyerbu dan membantu. Kedatangan Tek Kun menguntungkan pihak Ouwyang Sianjin dan tujuh orang Pek-lian-kauw itu akhirnya dapat dirobohkan, ditangkap dan digiring ke kota oleh para perwira itu.

Siang Lan disambut oleh Ciok-taijin suami isteri dengan cukup ramah tamah. Terutama sekali Ciok Bwe Kim, ibu Lian Hong menyambutnya dengan pelukan terharu. Sekarang baru tahulah Siang Lan bahwa suhunya telah menjadi suami dari seorang puteri bangsawan dan kemudian kedua orang gadis itu bicara dengan asyik sekali di dalam kamar Lian Hong.

Gadis ini menceritakan segala hal kepada Hwe-thian Moli, tentang keadaan ibu dan ayahnya sehingga mereka berpisah, tentang suhunya Ouwyang Sianjin dan tentang pertunangannya juga. Siang Lan adalah seorang yatim-piatu, maka kini setelah berkenalan dengan Lian Hong, ia merasa sayang sekali dan menganggap Lian Hong sebagai adik sendiri. Ketika ia mendengar tentang pertunanganan Lian Hong yang membuat gadis itu bersedih dan kecewa, ia bertanya.

“Adikku yang baik, mengapa kau begitu benci kepada tunanganmu? Bagaimana orang bisa menyatakan kebencian sebelum bertemu dengan orangnya?” Pertanyaan ini mengandung godaan akan tetapi Lian Hong yang biasanya jenaka itu hanya muram saja wajahnya.

“Engkau tentu mengerti sendiri, enci Lan, bahwa seorang gadis berpendidikan ilmu silat seperti aku tentu akan merasa kecewa apabila kelak menjadi jodoh seorang suami yang kepandaiannya di bawah tingkat kepandaianku. Aku memang mendengar bahwa tunanganku itu pandai pula dalam ilmu-ilmu silat, akan tetapi.... ah, aku sudah dapat membayangkan keadaan seorang putera pangeran yang kaya dan manja. Mana bisa seorang putera bangsawan memiliki ilmu kepandaian tinggi?”

Tiba-tiba Siang Lan teringat akan sesuatu dan bertanyalah ia dengan gairah. “Eh, kau belum menceritakan kepadaku, siapakah sebetulnya tunanganmu itu?”

Dengan bibir mengejek Lian Hong menjawab, “Seorang pemuda bangsawan dan kaya raya yang tiada gunanya. Ia putera Pangeran Sim Liok Ong dan namanya Sim Tek Kun dan....”

“Oh..., dia ....?” tiba-tiba Siang Lan memandang kepadanya dengan pucat sehingga Lian Hong terkejut.

“Ada apakah, enci Lan? Kenalkah kau kepadanya?”

Tiba-tiba Siang Lan tertawa bergelak, membuat Lian Hong menjadi makin terheran-heran. “Eh, enci Lan, kau mengapakah? Mengapa kau mentertawakan aku! Apah sih yang demikian lucu?”

Suara Lian Hong terdengar marah, membuat Siang Lan merasa makin geli lagi. Jarang sekali gadis ini tertawa seperti itu dan kemarahan Lian Hong lenyap terganti keheranan ketika ia melihat betapa Siang Lan sehabis tertawa besar lalu mengalirkan air mata yang menuruni kedua pipinya!

“Kau kenapakah, enci Lan?”

Hwe-thian Moli menggeleng-geleng kepalanya, “Tidak apa, tidak apa. Memang aku mempunyai penyakit seperti ini,” ia membohong. Sebetulnya hatinya merasa seperti dikerat-kerat pisau. Ia telah jatuh hati kepada Tek Kun, kemudian ia merasa cemburu melihat betapa sikap Tek Kun dan Lian Hong amat mesra dan seperti saling menyinta.

Kini ternyata bahwa Tek Kun malah sesungguhnya adalah tunangan Lian Hong tanpa diketahui oleh Lian Hong, bahkan agaknya Tek Kun sendiripun tidak mengetahui akan hal ini. Sungguh aneh, aneh dan lucu, akan tetapi sama sekali tidak lucu untuk hati dan perasaannya yang hancur lebur karena kejailan asmara.

“Jadi kau belum pernah bertemu muka dengan tunanganmu itu? Dan kau.... kau tentu menyinta Kun-lun Siauwhiap, bukan?”

“Enci Lan, aku tak berhak berpikir tentang pemuda lain, tidak selayaknya menyatakan perasaan hatiku terhadap pemuda lain. Akan tetapi, terus terang saja, aku akan merasa puas sekali apabila tunanganku adalah seorang pemuda seperti Kun-lun Siauwhiap, tidak seorang putera pangeran yang biasanya hanya menghamburkan uang warisan belaka!”

Hwe-thian Moli mengerutkan keningnya. Ia amat sayang kepada Lian Hong setelah bergaul agak rapat dan ingin sekali ia menggoda serta membahagiakan sumoinya ini.

“Mudah saja, adikku. Mengapa kau tidak menantangnya untuk mengadu kepandaian agar kau dapat mengukur sampai di mana kepandaian tunanganmu itu? Kalau memang ia seorang pemuda yang tidak becus apa-apa, dalam adu kepandaian itu kau robohkan dia, tentu dia akan malu dan mundur sendiri!”

Lian Hong menggelengkan kepala, “Kau tidak tahu cici. Kong-kong tentu akan marah sekali, karena ia tidak suka kalau aku memperlihatkan kepandaianku, Khawatir kalau-kalau Pangeran Sim akan merasa kecewa dan terhina. Kau tidak tahu betapa tinggi Kong-kong memandang kehormatan dari pinangan Pangeran Sim terhadap diriku. Aku tak sampai hati untuk melukai perasaan kong-kong dan juga orang tuaku. Kau tentu maklum akan hal ini.”

“Anak bodoh, tentu saja hal ini harus dilakukan dengan diam-diam jangan sampai ketahuan oleh orang tuamu. Biarlah aku yang akan menantangnya agar putera bangsawan she Sim itu datang ke sini malam hari nanti. Kau tempurlah dia dan biar aku yang menjadi wasitnya, menentukan apakah ia cukup gagah untuk menjadi suamimu!”

“Ah, kau nakal, enci Lan. Kau tidak tahu keruwetan hatiku, bahkan menggodaku. Kau tidak tahu orang sedang susah....”

Akan tetapi Hwe-thian Moli lalu meninggalkan dia sambil tersenyum, sungguhpun matanya memandang sayu. Menjelang senja, Hwe-thian Moli datang kembali dan dengan wajah menyatakan kekhawatiran ia berkata.

“Adik Lian Hong, sudah berhasil usahaku dan malam nanti menjelang tengah malam tunanganmu itu akan datang di kebun bunga untuk mengadu kepandaian denganmu. Akan tetapi ada hal yang amat menggelisahkan terjadi!”

“Ada apakah, cici? Kau nampak pucat.”

“Celaka, adik Hong. Pada saat aku mengucapkan tantanganmu kepada putera pangeran itu, tiba-tiba datang Kun-lun Siauwhiap yang juga mendengar akan hal itu. Ia menghadang perjalananku dan mentertawakanku. Ia berkata bahwa malam nanti iapun hendak datang di sini dan hendak membunuh putera Pangeran she Sim itu!”

Terbelalak mata Lian Hong mendengar ucapan ini. “Kenapa, enci Lan? Kenapa Kun-lun-Siauwhiap hendak membunuhnya?”

Siang Lan menghela napas, “Bodoh kau, Tentu saja karena pendekar Kun-lun itu mencintaimu!”

Kini tiba-tiba muka Lian Hong menjadi merah sekali, akan tetapi sepasang matanya bersinar marah. “Tidak! Betapapun juga, kalau ia berani datang, aku akan membela tunanganku yang tidak berdosa!”

“Akupun takkan tinggal diam, adikku. Kita tunggu saja kedatangannya malam nanti.”

“Biarlah, jangan kau ikut turun tangan, enci Lan. Memang aku juga ingin mencoba kepandaian Kun-lun Siauwhiap! Hendak kulihat sampai di mana sih kepandaiannya maka ia berani berlaku lancang mencampuri urusanku dan hendak membunuh Sim-kongcu?”

Siang Lan tidak menjawab, hanya diam-diam tersenyum dihatinya. Baru sekarang selama hidupnya, Siang Lan benar-benar merasa gembira di dalam hatinya dan semenjak saat mengunjungi Sim Tek Kun. Ia selalu merasa berdebar tegang dan juga senang sekali. Telah terlupa olehnya kekecewaan dan kesedihan hatinya karena asmara gagal, terganti oleh keinginan hendak melihat Lian Hong berbahagia.

Malam harinya menjelang tengah malam, Lian Hong dengan senjata ditangan dan pakaian ringkas telah bersembunyi di dalam taman bunga di belakang rumahnya. Siapa yang akan datang lebih dulu, pikirnya, tunangannyakah ataukah Kun-lun Siauwhiap!

Bagaimanakah wajah tunangannya yang terkenal di kota raja itu dan sampai di mana tingkat kepandaiannya? Hatinya berdebar kalau merenungkan hal ini kemudian menjadi perih kalau teringat kepada Kun-lun Siauwhiap yang hendak membunuh tunangannya.

Siang Lan juga berada di situ mengawaninya dan tiba-tiba Hwe-thian Moli berbisik, “Nah, itu calon pembunuhnya datang. Hati-hati kau menghadapinya, adikku!”

“Jangan ikut-ikut, enci Lan. Biar dia kuhadapi sendiri!” kata Lian Hong yang segera melompat keluar dan tiba-tiba turun dihadapan Kun-lun Siauwhiap.

Melihat gadis itu yang telah memegang pedang di tangan kanan dan selendang merah di tangan kiri. Kun-lun Siauwhiap nampak terkejut dan cepat mencabut pedangnya.

“Kun-lun Siauwhiap, manusia sombong. Sampai di manakah kepandaianmu maka kau berani sekali datang berlagak?” seru Lian Hong yang segera menyerang dengan hebatnya.

Kun-lun Siauwhiap terkejut dan cepat menangkis lalu membalas dengan celaannya. “Hwe-thian Sianli, apakah kau juga berhati kejam dan ganas seperti Hwe-thian Moli?”

Akan tetapi Lian Hong menjadi makin marah dan segera keduanya bertempur seru. Karena ia didesak hebat dengan serangan-serangan maut, terpaksa Tek Kun tidak mau mengalah begitu saja dan membalas pula dengan serangan-serangan hebat. Diam-diam ia mengeluh mengapa gadis yang tadinya ia kagumi dan yang diam-diam ia cintai ini telah berobah menjadi seorang gadis liar yang kejam dan ganas.

Siang tadi ia diberitahu oleh Hwe-thian Moli bahwa Hwe-thian Sianli karena mencintainya, telah mendengar tentang pertunangannya dan malam nanti hendak menyerbu rumah tunangannya dan membunuhnya. Tadinya ia tidak mau percaya dan tidak memperdulikan ucapan Hwe-thian Moli ini.

Akan tetapi setelah malam tiba, hatinya merasa tidak enak juga. Secara iseng-iseng ia lalu keluar dari rumah, membawa pedangnya dan sekalian ia hendak mencari kesempatan melihat tunangannya yang tidak disukainya.

Demikianlah, Hwe-thian Moli yang merasa kecewa dalam cintanya itu telah sengaja memancing agar Lian Hong dapat bertemu dengan tunangannya dalam cara yang lucu sekali. Bahkan gadis gagah ini diam-diam setelah melihat keduanya bertanding, lalu cepat menuju ke rumah Pangeran Sim Liok Ong dan dengan kepandaiannya ia dapat memasuki kamar pangeran itu.

“Celaka, Sim-taijin. Puteramu Sim Tek Kun sedang bertempur dengan tunangannya di taman bunga Ciok-taijin!”

Mendengar ini, Pangeran Sim Liok Ong menjadi terkejut dan marah. Ia lalu mengumpulkan para perwiranya dan cepat berkuda menuju ke rumah gedung Ciok-taijin. Akan tetapi Siang Lan telah mendahului mereka dan langsung mengetuk kamar Ciok-taijin.

“Taijin, lekas bangun! Adik Lian Hong sedang bertempur mati-matian melawan putera Pangeran Sim!”

Tentu saja Ciok-taijin menjadi terkejut sekali, apalagi ketika ia mendengar pintu gerbang depan digedor orang dan ketika dibuka oleh penjaga, yang datang adalah Pangeran Sim Liok Ong sendiri beserta para pengawalnya. Sebelum kedua orang tua ini bicara, Siang Lan telah mendahului mereka.

“Lekas....! Lekas pergi ke kebun belakang! Lian Hong dan Tek Kun sedang bertempur mati-matian... ah, celaka!”

Pada saat itu, seisi rumah Ciok-taijin telah bangun semua dan mendengar ucapan ini, mereka semua terkejut sekali dan cepat berlari-lari ke kebun bunga di belakang gedung. Malam itu bulan sedang purnama dan keadaan cukup terang.

Ketika tiba di belakang, mereka melihat cahaya pedang berkelebatan dan dua bayangan orang lenyap terbungkus gulungan sinar pedang, seakan-akan menjadi satu. Orang-orang tua itu masih dapat mengenal dua orang muda yang bertempur hebat dan cepat Ciok-taijin membentak marah.

“Lian Hong...! Tahan senjatamu!”

Seruan ini tidak saja membuat Lian Hong terkejut dan melompat mundur, juga Tek Kun menjadi terkejut dan mencelat mundur. Ia menjadi lebih terkejut lagi ketika melihat ayahnya telah beradadi situ, maka cepat ia menghampiri ayahnya dan berseru. “Ayah, kau di sini...??”

“Tek Kun, kau malam-malam datang mengacau di sini apakah maksudmu?” ayahnya membentak marah.

Hampir berbareng, Ciok-taijin menegur cucunya, “Lian Hong, tengah malam buta kau bertempur di dalam taman, apakah artinya semua ini?”

Hampir berbareng pula, kedua orang muda itu menjawab, “Ayah, gadis kejam dan ganas ini hendak membunuh mati Ciok-Siocia, tunanganku!”

“Kong-kong, pemuda sombong ini hendak membunuh mati Sim-kongcu, tunanganku!”

Ketika Lian Hong mendengar ucapan pemuda itu, ia menjadi pucat, demikianpun Tek Kun. Keduanya saling pandang dengan bengong sedangkan orang-orang tua yang berdiri di situ memandang lebih hebat lagi.

“Tek Kun, apakah kau mendadak sudah menjadi gila? Kau bilang tunanganmu Ciok-siocia hendak dibunuh oleh gadis ini?? Ayaaa... apalagi yang lebih gila dari pada ini....??”

Juga Ciok-taijin berseru keras. “Lian Hong, apakah kau sedang ngelindur? Bagaimana pemuda ini bisa membunuh Sim-kongcu? Dia sendirilah Sim Tek Kun tunanganmu!”

Baik Lian Hong maupun Tek Kun merasa seakan-akan tanah yang diinjaknya tiba-tiba amblas. Mereka berdiri bengong, saling pandang dengan perasaan tidak karuan. Mereka merasa malu, terkejut, heran, dan juga girang setengah mati.

“Kau... kau.... nona Lian Hong tunanganku...?” kata Tek Kun hampir berbisik.

“Kun-lun Siauwhiap.... kaulah sebenarnya Sim kongcu...?” kata Lian Hong.

Tiba-tiba meledaklah suara ketawa dari Pangeran Sim Liok Ong dan Ciok Taijin. Orang-orang tua ini yang telah berpengalaman dapat menebak dengan jitu apa yang terkandung dalam ucapan perlahan ini. Mereka saling pandang, lalu Pangeran Sim melangkah maju, menggandeng tangan Ciok taijin diajak masuk ke gedung sambil berkata.

“Ah.... urusan anak-anak muda! Sim taijin, agaknya pernikahan perlu dipercepat! Ha, ha, ha....!”

Tak lama kemudian, Tek Kun dan Lian Hong ditinggalkan berdua di taman itu. Mereka masih berdiri saling pandang, penuh perasaan, penuh kebahagiaan, pandangan yang mesra. Bibir mereka bergerak-gerak karena geli hati memikirkan keadaan mereka dan akhirnya meledaklah suara ketawa Sim Tek Kun. Lian Hong juga tidak dapat menahan kegelian hatinya dan tertawa-tawalah dia sambil menutupi mulut dengan punggung tangan.

“Lian Hong... kau... kau nakal!”

Gadis itu cemberut dan menahan ketawanya. “Siapa...? Bukan aku, kaulah yang nakal!”

“Salah, bukan kita, manisku. Hwe Thian Moli yang menjadi biang keladi dan gara-gara semua ini!”

Akan tetapi yang dibicarakan pada saat itu telah pergi jauh dan kalau kita mengikutinya, kita hanya melihat bayangannya yang bagaikan seorang iblis wanita melayang-layang seorang diri di tengah hutan di sebelah selatan kota raja. Terdengar ia tertawa-tawa seorang diri dengan geli hati dan gembira, akan tetapi apabila kita melihat pipinya, kita akan melihat betapa sepasang pipinya telah basah oleh air mata.

TAMAT

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.