Dewa Linglung - Gadis itu duduk dihadapan laki-laki tua itu dengan kepala menunduk, dan wajah sebentar pucat sebentar merah. Sementara hatinya berdebar tak menentu. Yang jelas perasaan takutlah yang menghantuinya, hingga tak terasa tengkuknya dibasahi oleh keringat dingin.
Ternyata sikap gadis itu tak luput dari tatapan mata laki-laki tua itu, seperti telah mengetahui isi hatinya dia berkata. "Manisari...! Tahukah kau apa maksudku aku menyuruhmu datang menghadapku hari ini?"
Gadis ini menggeleng seraya menyahut. "Murid tidak mengetahui, Guru..."
Si kakek perdengarkan suara tertawa terkekeh. Kemudian mengulangi pertanyaannya. "Maksudku apakah kau mengetahui apa tujuanmu datang ke tempat ini?"
Si gadis tampaknya agak heran mendengar pertanyaan itu. Dia mengangkat wajahnya seraya menatap pada sang Guru. "Tentu saja kedatanganku untuk berguru, mengapa Guru menanyakan hal itu?" tanyanya tak mengerti.
Laki-laki tua itu manggut-manggutkan kepala. "Bagus, kalau kau mengetahui maksud dan tujuanmu. Baiklah, kini yang akan kutanyakan adalah, apakah kau sudah mantap pendirianmu untuk menuntut ilmu serta mematuhi setiap persyaratan yang dibebankan di atas pundakmu?"
"Demi tercapainya tujuanku, aku bersedia memenuhi syarat apapun yang dibebankan di atas pundakku..." menyahut si gadis dengan suara mantap.
"Bagus! Nah kini yang kutanyakan, sudah berapa lama kau berada di tempat ini?"
"Sudah lebih dari satu bulan, Guru..." sahut Manisari.
Kembali si kakek manggut-manggutkan kepala. Lalu berkata. "Dalam lubang sumur Jalatunda ini ada empat buah goa, seperti yang kau lihat dan ketahui. Kau tak usah mengkhawatirkan nasib dua gadis kawanmu. Mereka telah menempati goa kedua dan ketiga, karena mereka telah datang terlebih dulu dari kau. Dan hari ini adalah saatnya kau pindah ke goa kedua. Sedangkan kedua gadis kawan seperguruanmu berturutturut dua hari yang lalu sudah pindah ke goa ketiga dan ke empat!"
Manisari tertegun sejenak, kemudian bertanya. "Sampai berapa lama kami menuntut ilmu, Guru? Apakah sampai melewati goa ke empat baru selesai?"
Wiku Ampyang manggut-manggutkan kepala. "Benar! setiap goa harus dilalui dengan bertapa selama empat puluh hari empat puluh malam. Dan jatah makanan akan selalu berubah setiap pindah ke goa baru. Hal itu tak perlu kau ketahui dan makanan apa yang bakal kau makan untuk menangsal perutmu nanti kau akan mengetahui sendiri!"
Keringat dingin tampak menetes didahi gadis ini. Selama empat puluh hari empat puluh malam dia duduk bersila di lubang goa kesatu saja rasanya sudah tidak tahan. Dia hanya dibolehkan bersantap sehari dua kali. Itupun hanya merupakan dua gumpal nasi putih, dan sekendi air untuk menangsal perut. Dan semakin lama tentu bukan semakin mudah setelah beberapa kali berpindah goa. Lamunan gadis ini lenyap, ketika laki-laki tua itu berkata.
"Untuk memasuki goa kedua harus dengan syarat yang cukup berat, dan harus dijalani dengan ikhlas seperti dua gadis seperguruanmu SARITI dan LELANI!"
"Apakah syarat itu, Guru?" tanya Manisari dengan kerenyitkan kening.
"Hm, mandilah yang bersih dan temui aku selewat senja diruangan goa kamarku!" kata laki-laki tua ini seraya bangkit berdiri, dan bagaikan tak percaya gadis itu melihat tubuh si kakek lenyap menembus dinding batu goa lenyap tak berbekas.
Manisari melangkah keluar goa dengan terpekur menunduk. Ada rasa bimbang dihatinya untuk meneruskan berguru pada kakek bernama WIKU AMPYANG itu. Tapi keraguraguan itu seketika lenyap ketika teringat akan dendamnya pada orang yang sangat dibencinya.
"Tidak! Aku harus tetap berguru sampai selesai!" berkata Manisari dalam hati. Dan setengah berlari dia menuju ke mata air.
Hari telah berangsur senja ketika dia menanggalkan pakaiannya dibalik batu. Kemudian membasahi tubuhnya dengan air pancuran. Sambil membersihkan tubuh dia berkata dalam hati. "Ah, sungguh hebat ilmu Wiku Ampyang. Seandainya aku memiliki ilmu sedemikian rupa, tentu dengan mudah aku dapat melakukan apa saja tanpa seorangpun melihatku..."
Tapi seketika wajahnya berubah memerah dan terasa panas ketika dia membayangkan bukankah saat itu gurunya dengan mudah dapat melihat dirinya dalam keadaan tak berpakaian tanpa sepengetahuannya?
"Apakah maksud guru menyuruhku membersihkan tubuh, dan menghadapnya selepas senja? Ah... aku selalu berperasangka buruk saja. Jelas persyaratan itu aku tak mengetahui kalau belum berhadapan dengannya!"
Manisari cepat-cepat mengenakan pakaian, lalu merapikan rambutnya. Tak lama dia sudah meninggalkan mata air. Langkahnya agak lambat ketika dari jauh telah terlihat cahaya dari pintu kamar Wiku Ampyang. Disisi pintu kamar gadis ini tegak berdiri seperti ragu untuk melangkah masuk.
"Heheh...heh... apa yang kau ragukan muridku? Ketahuilah! keraguraguan hanya akan menghambat tujuan dan citacitamu. Masuklah! Dan bersihkan hati dari pikiranpikiran kotor. Luruskan tekad dan siap untuk melakukan syarat apapun yang dibebankan di atas pundakmu!" terdengar suara dari dalam ruangan kamar goa Wiku Ampyang.
Gadis ini mendadak seperti mendapat keberanian. Kata-kata Wiku Ampyang telah membangkitkan semangatnya untuk siap menjalankan perintah apapun harus dikerjakan. Bukankah dua gadis kawan seperguruannya telah sanggup mengerjakannya? Diapun cepat melangkah masuk...
Tertataplah oleh Manisari, Wiku Ampyang duduk bersila di atas pembaringan bertilamkan kulit harimau. Diatas meja dekat pembaringan tampak sebuah tengkorak kepala manusia dan bermacam tulang lainnya tergantung dinding batu goa. Belasan ikat akarakaran berbau harum yang menyengat serta sebuah tempat pedupaan dari kuningan terletak disudut meja.
"Duduklah!" kata laki-laki tua itu sambil mengelus jenggotnya. Sebelah tangannya menjulur menunjuk pada sebuah bangku batu tak jauh dari pembaringan ditengah ruangan. Manisari melangkah mendekati bangku batu.
"Duduklah dengan bersila...!" kata Wiku Ampyang sambil turun dari pembaringan, lalu menghampiri meja. Lengannya menjumput tempat pedupaan. Sementara Manisari segera turutkan perintah sang guru dengan duduk bersila di atas bangku batu.
Wiku Ampyang masukkan rempahrempah ke dalam tempat pedupaan, lalu membakarnya. Tak lama asap pedupaan yang menimbulkan bau harum segera tercium dalam ruangan kamar itu.
Manisari duduk bersila sambil memejamkan matanya. Bau asap pedupaan itu benar-benar menyesakkan pernapasan, tapi mau tak mau gadis itu harus tetap duduk bersila tak berani menggerakkan tangan untuk menutupi hidungnya. Cuma sekali gadis ini menahan napas.
"Tetaplah duduk demikian, dan kosongkan pikiran. Bersihkan hati dari sesuatu yang bakal menghambat masuknya ilmu yang akan kumasukkan ke dalam bathinmu..." kata Wiku Ampyang sambil duduk kembali di atas pembaringan. Sepasang matanya terus menatap ke arah sang gadis itu, sebentar terkatup sebentar terbuka. Sementara lengannya terus mengelus jenggotnya yang panjang sejengkal.
Manisari segera konsentrasikan diri untuk mengikuti petunjuk Wiku Ampyang. Entah beberapa saat lamanya diapun berhasil mengosongkan pikiran dan mulai merasa nyaman dengan duduk bersila demikian. Di saat itulah telinganya seperti mendengar suara perintah orang tua itu.
"Kini bukalah matamu...!"
Perlahanlahan Manisari membuka kelopak matanya. Aneh! dia tak melihat orang tua itu berada dihadapannya. Tapi telinganya kembali mendengar suara yang membisik ditelinganya.
"Dan kini... bukalah semua pakaianmu...!"
Lagi suatu hal yang aneh. Karena tampaknya Manisari tak dapat menolak apa yang diperintahkan gurunya. Cepat dia bangkit berdiri, lalu membuka pakaian penutup tubuhnya satu persatu. Hawa malam yang dingin didasar sumur Jalatunda itu menyentuh kulitnya. Manisari merasakan ada sesuatu yang menjulur dan menelusuri lekuk liku tubuhnya.
Sentuhan-sentuhan aneh itu membuat dia merasakan sesuatu yang membangkitkan berahi hingga sekujur tubuhnya mencucurkan keringat. Tanpa terasa mulutnya mengeluarkan suara, desahan-desahan. Darahnya terasa mengalir lebih cepat, dan pancaran mata gadis ini mulai meredup.
Hawa rangsangan tampak semakin kuat mencengkeram si gadis. Kini sesuatu yang sangat menyeramkan dalam pandangan mata orang biasa akan melihat sesosok mahkluk menyerupai seekor ular bertubuh manusia menjelma di hadapan gadis itu.
Akan tetapi dara ini seperti tak merasa takut, bahkan dengan gelora berahi yang menggebu-gebu, dia bergelinjangan dalam pelukan makhluk itu, sementara jilatanjilatan lidah mahkluk berkepala ular itu pada lehernya membuat gelora berahinya semakin memuncak.
Manisari pejamkan mata ketika makhluk itu memondongnya, dan meletakkannya di atas pembaringan bertilam kulit harimau. Dan apa yang terjadi selanjutnya adalah sukar untuk diceritakan, karena gadis itu kini tenggelam dalam berahi yang membawanya kepuncak relung paling dalam yang direguknya dengan kepuasan menggebugebu...
RUMAH kayu beratap daun kelapa itu masih dicekam oleh suara isak tangis seorang wanita yang tampaknya masih belum bisa menghilangkan kesedihan hatinya. Perempuan berambut kusut masai ini membenamkan mukanya pada kedua lengannya yang basah oleh air mata.
Seorang laki-laki kira-kira berusia empat puluhan tahun, tampak mondar-mandir diruang depan membiarkan wanita itu tenggelam dalam isak dengan menelungkup dibalai-balai bambu. Tampak keningnya bergaris-garis karena kerutan kulit yang mulai mengendur. Suara isak tangis wanita itu tampak mulai membuat dia mulai bosan mendengarnya.
Sesaat dia menatap pada wanita yang masih menelungkupkan wajahnya itu, kemudian menghampiri. Agak lama dia berdiri memperhatikan pundak perempuan itu yang bergerakgerak dalam isak tangisnya.
"Sudahlah adikku...! Aku akan mencoba ke Kadipaten menemui Adipati KAYOMAN! Walau bagaimanapun kau adalah bekas isterinya. Peristiwa hilangnya MANISARI akan kuberitahukan pada Adipati. Hm, siapa tahu anakmu berada disana..."
Wanita itu mengangkat mukanya. Tampak sepasang matanya basah oleh air mata. Wajahnya tampak sembab karena terlalu banyak menangis. Sesaat lamanya dia menatap laki-laki itu.
"Tapi, kakang... Aku khawatir kau akan menemui kesulitan, karena selama ini kau telah dicap sebagai orang buronan Kerajaan! Jangan-jangan hal ini adalah suatu perangkap agar kau muncul di Kota Raja..." berkata wanita ini.
"Hm, kalau memang aku akan ditangkap, biarlah mereka menangkapku. Akan tetapi sebelumnya aku akan membongkar kejahatan Adipati Kayoman yang telah memfitnahku! Apakah karena BARONG ALAS adalah bekas seorang sahabatku maka aku dituduh telah turut bersekongkol dalam perampokan harta benda Kerajaan pada sepuluh tahun yang silam itu?" sahut laki-laki ini dengan wajah berubah merah padam.
"Tapi, kakang.... ketentuan berada ditangan orang-orang yang berkuasa. Kita ini rakyat jelata! Bukankah kau sendiri telah lama menyadari hal itu" sanggah perempuan itu sambil bangkit berdiri.
Laki-laki ini sejenak terdiam membisu. Tapi tampak dadanya turun naik seperti menahan gejolak amarah yang lama tersimpan. Namun tak lama dia kembali berkata.
"Memang aku pernah mengatakan demikian, adikku...! Tapi apakah aku akan terus mandah saja dicap sebagai seorang penjahat hingga sampai akhir hayatku? Kemudian aku akan mati dengan membawa kecemaran dalam keluarga kita? Tidak, adikku...! Sudah saatnya aku muncul di Kota Raja! Aku akan langsung menghadap Ki Patih HARYO TUNGGAL untuk menyerahkan surat yang akan membongkar semua rahasia Adipati Kayoman!"
Perempuan ini tampak kerenyitkan keningnya. "Surat apa yang kau serahkan itu?" tanyanya heran.
"Surat yang ditulis oleh BARONG ALAS mengenai keterlibatan Adipati Kayoman dalam perkara perampokan harta benda Kerajaan!" sahut laki-laki ini.
Tampak wajah wanita ini berubah kaget. Sepasang matanya membelalak lebar menatap laki-laki itu. "Kakang BALAWA... benarkah apa yang kau katakan? Bukankah kudengar Barong Alas telah tertangkap dan telah dihukum gantung di Kadipaten tiga tahun yang lalu?" berkata wanita ini.
"Haha... mungkin benar bila kau mendengar beritanya. Tapi pada kenyataannya Barong Alas sampai saat ini masih hidup, walau keadaannya dalam keadaan tanpa daksa. Dia telah mengalami siksaan setengah mati setengah hidup akibat perbuatan Adipati KAYOMAN!
"Dia tak mungkin bisa bicara, karena lidahnya telah dipotong. Yang lebih mengenaskan adalah urat-urat kakinya telah diputuskan. Aku menolongnya dari siksaan dua pengawal suruhannya. Mengapa aku menolongnya? Karena aku perlu keterangan dari Barong Alas. Sebabnya adalah karena aku dituduh telah terlibat dalam peristiwa perampokan itu.
"Adipati Kayoman sengaja tak membunuhnya, karena merasa kasihan memandang dia telah turut membantu dalam usaha licik yang mengikut sertakan tenaganya. Tujuan Adipati adalah untuk menutup rahasia! Tapi... dia keliru besar! Walau Barong Alas tak bisa bicara, namun dia masih bisa menulis dengan tangannya.
"Dan dua pengawal itu mana berani melapor pada Adipati kalau yang sudah siap dilemparkan kedalam jurang itu telah ditolong oleh ku tanpa mengetahui siapa yang telah menolongnya, karena aku dalam penyamaran. Selanjutnya Adipati Kayoman sendiri melapor pada Baginda Raja bahwa Barong Alas telah dihukum gantung sesuai perintah!"
Apa yang dituturkan sang kakak membuat wanita bernama RESMINI ini terpaku dengan mata menatap Balawa. Selang sesaat dia berkata. "Apakah kau yakin Gusti Patih akan percaya pada surat itu?"
"Percaya atau tidak itu urusan nanti. Yang penting aku akan menunjukkan surat itu padanya. Kalau perlu akan kutunjukkan dimana adanya Barong Alas yang masih hidup untuk saksi hidup!" sahut Balawa tegas.
"Jadi kau tak pergi ke Kadipaten, kakang...?"
"Aku akan datang dengan menyamar saja, mencari berita dari para pengawal Kadipaten di sudut-sudut Kota Raja mengenai ada atau tidaknya anakmu Manisari disana...." kata Balawa setelah terdiam sejenak.
"Terserahlah dengan keputusanmu, aku tak dapat menghalanghalangi. Tapi kuharap kau berhati-hati!" Wanita ini menghela napas.
Tampaknya dia sudah tak dapat lagi menahan sang kakak yang sudah bertekad dengan keputusannya. Akan tetapi diam-diam dalam hati dia mengeluh. Karena bukanlah suatu hal yang mudah untuk melakukan hal itu.
Balawa memang berhak membersihkan nama baiknya. Dia seorang laki-laki yang punya martabat dan harga diri. Tapi bagi dirinya yang lemah, hal itu cuma bisa disimpan dalam hati. Baginya yang penting adalah keselamatan diri. Dan hal itu tak mungkin terjadi pada diri Balawa.
Wanita ini terpekur menundukkan kepala. Pada ingatannya terlintas kebahagiaan ketika masih hidup bersama suaminya Panjirono. Walau Panjirono cuma menjabat seorang prajurit biasa di Kadipaten, tapi cukuplah bagi Resmini untuk hidup sederhana bersama anak dan suaminya. Panjirono masuk dalam laskar Kadipaten ketika usia Manisari baru menjelang dua tahun.
Rupanya adipati Kayoman sangat baik hati mengetahui keadaan prajuritnya yang satu itu. Panjirono sering pulang dengan membawa oleholeh dari sang Adipati, sejak diketahui Panjirono mempunyai seorang isteri cantik dan seorang bocah perempuan yang mungil. Kebanyakan para prajuritnya adalah masih jejaka dan belum mempunyai isteri.
Ternyata kebahagiaan mereka terenggut, ketika Resmini mendengar berita suaminya tewas dalam menjalankan tugas diwilayah utara. Sejak itu Resmini hidup dalam nestapa. Untunglah Adipati Kayoman sering membantunya mengirim uang dan bahan makanan melalui utusannya. Suatu hal yang tak disangkasangka oleh Resmini, ternyata Adipati Kayoman mengingini dirinya untuk menjadi isterinya yang kedua.
Resmini saat itu tengah berduka dan baru berjalan empat puluh hari sepeninggal kematian suaminya. Namun dia tak dapat menolak lamaran Adipati untuk mempersuntingnya. Resmilah dia menjadi isteri kedua Adipati Kayoman. Namun rumah tangga dengan Adipati itu cuma berjalan tiga tahun.
Resmini diceraikan oleh Adipati Kayoman. Alasannya karena kakak kandung Resmini terlibat perampokan harta benda Kerajaan. Karena khawatir menjatuhkan martabat Ke Adipatiannya, maka Adipati Kayoman menceraikan istri keduanya itu.
Ketika Resmini minta diri untuk kembali pulang ke desanya dengan harapan yang tipis, Balawa cuma mengantarnya sampai kepintu pondok. "Tak usah kau merisaukan anakmu, adikku...! Aku akan suruh kawankawanku untuk juga mencari jejaknya!" kata Balawa.
Resmini hanya mengangguk, lalu bergegas melangkah pergi meninggalkan halaman pondok tempat berdiam kakaknya dikaki gunung disudut desa terpencil itu.
BALAWA masih berdiri diteras depan pondoknya. Matanya memandang jauh kedepan seperti membayangkan masamasa mendatang yang akan dilaluinya. Perlahan-lahan tampak senyumnya mengembang diantara kedua belah bibirnya. Terdengar suaranya menggumam diantara kesenyapan yang mencengkam disekitar tempat sepi itu.
"Hm... Untuk mencapai sesuatu yang mahal harus memerlukan pengorbanan besar. Aku telah memulai langkah baru untuk tujuan dan cita-citaku. Aku kasihan pada Resmini yang menderita, karena diceraikan suaminya. Untuk sementara terpaksa aku harus menutup rahasia. Terpaksa aku mengorbankan Manisari untuk mencapai tujuanku. Adipati keparat itu akan merasakan kehidupan yang lebih sengsara kelak sebagai pembalasan dendamku! Satu-satunya harapanku adalah pada Wiku Ampyang! Tiga bulan mendatang kukira aku sudah mendapat berita bagus mengenai hasil yang di terapkan pada Manisari. Dan aku bisa mempergunakan tenaga bocah perempuan itu untuk mencapai tujuanku..."
Mengingat hari-hari mendatang yang bakal dijalani, Balawa tertawa menyeringai. Kemudian beranjak masuk kedalam ruangan kamarnya. Tak lama telah keluar lagi dengan berpakaian ringkas. Sebuah keris di sembunyikan dibalik bajunya. Keris yang tak pernah tinggal dan selalu dibawanya kalau dia pergi.
Saat berikutnya Balawa telah melangkah ke luar pondok, dan setelah mulutnya berkemat-kemit seperti membaca mantera seperti kebiasaannya lalu kaki kirinya dijejakkan tiga kali ke tanah. Tak lama tubuhnya telah berkelebat cepat menyusup masuk kedalam hutan.
BULAN KETIGA MUSIM PENGHUJAN TELAH TIBA. Di saat waktu hampir tengah hari, tampak seorang penunggang kuda memasuki sebuah desa disebelah selatan Kota Raja. Penunggang kuda hitam itu seorang laki-laki gagah berpakaian warna biru gelap. Pada pinggangnya tampak sebuah pedang bersarung bagus. Gagang pedangnya tersembul disebelah kiri pinggang.
Langit agak mendung, dan gerimis turun rintik-rintik. Pemuda berpakaian serba biru dengan ikat pinggang warna kuning itu hentikan kudanya didepan sebuah kedai. Setelah memandang sesaat ke arah pintu kedai diapun melompat turun.
Seorang laki-laki setengah umur agak gemuk bergegas keluar. Wajahnya tampak sunggingkan senyuman ketika melihat siapa yang datang.
"Gusti Anom SURA BANGA...! Ah, selamat datang..." katanya seraya menjura dalamdalam dengan membungkukkan tubuhnya. Seorang laki-laki berbaju putih gombrong tongolkan kepala dari pintu kedai. Saat itu si laki-laki gemuk melihatnya.
"Eh, kacung! Cepat kau bahwa kuda ini ke samping. Kemudian bersihkan meja untuk tetamu...!" teriak si laki-laki gemuk sambil menggapaikan tangan.
"Baik! Baik, paman...!" sahut pemuda berambut gondrong itu sambil melangkah keluar pintu. Kemudian membawa kuda pemuda gagah berpakaian serba biru itu ke samping kedai untuk diikat disitu.
"Mari...! Mari, Gusti Anom, silahkan masuk!" kata si laki-laki gemuk mempersilahkan tamunya dengan sikap sangat hormat.
Diam-diam si kacung melirik. Dalam hati dia berkata. "Hm, siapakah tetamu gagah ini? Dalam satu hari ini tampaknya banyak pengunjung kedai. Kalau tadi yang datang adalah tiga laki-laki berangasan, kini pemuda gagah dengan menunggang kuda..."
Akan tetapi si kacung ini tak dapat lama-lama berdiri disitu, karena si laki-laki gemuk telah memberi isyarat dengan kedipan matanya. Bergegas dia kembali memasuki pintu kedai untuk membersihkan meja tamu. Ketika lewat dibelakang pemuda gagah itu tiba-tiba entah sengaja entah tidak pemuda gagah baju biru itu membalikkan tubuh. Akibatnya sungguh diluar dugaan, karena tahu-tahu kacung itu perdengarkan seruan kaget, dan... Bruk! Dia jatuh terjerembab mencium tanah.
"Kau... kau... apa-apaan, kacung? Mengapa kau berjalan tak pakai mata?" bentak si laki-laki gemuk sambil melompat memburu ke arah pemuda pembantunya.
"Aku... ah, kakiku tersandung batu...!" sahut si kacung sambil menyeringai kesakitan memegangi dadanya yang terbanting terlebih dahulu ketanah. Takut dimarahi lagi, cepat-cepat dia bangun berdiri dan beranjak terbungkuk-bungkuk masuk kedalam kedai.
"Oh... maafkan ketololan kacungku, Gusti Anom..." kata si laki-laki gemuk sambil menjura di hadapan tamunya. Sementara sang tamu cuma tersenyum masam. Namun hatinya agak mendongkol karena percikan tanah becek telah mengotori pakaiannya.
"Sudahlah! Tak mengapa! Hm, apakah dia kacung baru?" berkata si pemuda gagah sambil menjentik-jentikkan jarinya membuang tanah yang melekat mengotori bajunya.
"Benar, Gusti Anom! Baru du hari dia bekerja disini. Pembantu yang lama sedang sakit...!" sahut si laki-laki gemuk.
Beberapa tetamu yang sedang makan sama menjulurkan kepala dari dalam kedai. Walau hatinya geli, tapi mereka tak berani tertawa melihat pakaian si pemuda gagah yang kotor terkena cepretan tanah becek. Ketika pemuda gagah itu melangkah masuk, semua yang berada diruangan kedai tak satupun ada yang berani mengangkat kepala untuk memandang laki-laki itu.
Kacung muda itu terbungkuk-bungkuk meninggalkan meja yang baru saja dibersihkan dan diganti dengan taplak meja baru. Ketika tiba didapur, habislah dia dicaci maki oleh si laki-laki gemuk yang memarahinya dengan berbisik-bisik dengan mata melotot dan wajah merah padam.
"Bodoh! Kau jalan tak hati-hati. Untung saja nasibmu bagus, Walau Gusti Anom SURA BANGA tak memberimu hukuman, tapi kau telah membuat malu aku! Haih! Bajumu pun kotor! Cepat kau ganti pakaian. Biar aku sendiri yang menyuguhi makanan...!" bentak laki-laki gemuk ini dengan berdesis. Tanpa berkata apa-apa si kacung bergegas kebelakang.
"Sekali lagi harap Gusti Anom memaafkan kacungku..." kata si laki-laki gemuk dengan menjura didepan pemuda gagah itu yang masih berdiri dekat mejanya. "Oh ya! Si....silahkan duduk, Gusti Anom! Ah, maafkan aku. Pembantu baruku itu kusuruh berganti pakaian. Biarlah aku melayani Gusti Anom. Oh, eh... Gusti Anom mau pesan minuman atau makanan apa...?"
"Berilah aku air putih saja. Dan suruh kacungmu menghadapku!" sahut pemuda gagah ini.
"Baik... Gusti Anom!" sahut laki-laki gemuk dengan sikap kaku. Tampak wajahnya sedikit berubah. "Celakalah kau kacung tolol..." katanya dalam hati. Tapi baru saja dia balikkan tubuh untuk beranjak pergi, mendadak terdengar suara bergedubrakan.
Alangkah terperanjatnya si laki-laki gemuk ini melihat bangku yang diduduki pemuda itu tiba-tiba pecah berantakan, dan yang lebih terkejut adalah pemuda gagah tetamunya itu dalam keadaan jatuh terjengkang. Belum lenyap terkejutnya tahu-tahu meja tamu doyong ke kiri.... Dan Brakkk! Meja itupun pecah berhamburan. Potongan-potongan kakinya ternyata telah terlepas.
Tentu saja wajah si pemuda gagah seketika berubah merah padam. Sekali enjot tubuh dia telah melompat berdiri, dan... tahu-tahu lengannya telah terjulur mencengkeram leher baju si laki-laki gemuk.
"Keparat! Gombloh! kau mau mempermainkan aku?" bentak pemuda ini.
"Ampun, Gusti Anom... sekali-kali tidak, Gusti Anom ! Tapi..."
PLAK!
Satu tamparan keras telah membuat laki-laki gemuk ini mengaduh kesakitan dan terjungkal ke lantai. Melihat demikian para pengunjung kedai yang sedang makan jadi tersentak kaget. Merekapun sama terheran mengapa kaki kursi dan meja bisa berlepasan demikian?
"Cepat panggil kacungmu!" bentak pemuda ini dengan uraturat leher menggembung menahan kemarahan yang luar biasa.
Sementara itu paria pengunjung diam-diam angkat kaki dari pintu samping kedai. Mereka tahu pemuda gagah itu adalah putera Adipati KAYOMAN yang bernama Raden Anom Sura Banga. Pemuda gagah ini baru pulang dari tenggara setelah berguru disana selama empat tahun lebih, dan baru beberapa pekan berada diwilayah Kota Raja. Kedai disudut kota itu adalah tempat persinggahannya. Agaknya dia telah kenal baik dengan si pemilik kedai yang bernama GOMBLOH.
Tanpa harus dibentak untuk kedua kali, laki-laki gemuk itu merangkak pergi sambil memegangi pipinya yang merah sembab. Tiba dibelakang seorang pembantu wanita juru masaknya berlari keluar. Hampir saja bertubrukan dengan laki-laki gemuk ini.
"Ada apa, juragan? Kunaon eta pipi meuni barium tepi kakitu?" ("Ada apa, juragan? Kena apa itu pipi sampai bengkak begitu?")
"Diam kau! Cepat cari si kacung tolol itu! Cepat...!" bentak Gombloh dengan mata mendelik dan mulut meringis menahan sakit.
"Dimana nyarinya, gan?" pembantu asal Majalengka ini justru panik dan ketakutan dibentak-bentak demikian rupa.
"Dimana, dimana ... dikamarnya, tolol, goblok! Dia disuruh menghadap Gusti Anom SURA BANGA!" teriak Gombloh.
"Ka… kamarnya lupa lagi, gan? Apa... di kamar bekas pembantu yang lama?" tanya wanita pembantu ini dengan bingung sambil menahan langkah. Sementara kedua lengannya mengangkat kain tak terasa terlalu tinggi, hingga kelihatan kulit pahanya.
"Sudah! Sudah! pergi sana kau ke belakang!" bentak si laki-laki gemuk dengan berang. Setengah berlari dia menuju kamar si kacung yang berada disamping tempat penampungan ampas isi perut.
BRAK!
Pintu kamar ditendang hingga menjeblak terbuka. Tapi kamar itu kosong. Si kacung tak berada didalam. Dan jendela kamar tampak menjeblak terbuka. Mata Gombloh melotot besar melihat ke atas meja. Tampak terdapat guratan pada papan meja yang bertulisan:
"PAMAN GOMBLOH, TERIMA KASIH ATAS KESEDIAANMU MEMBERIKAN AKU MENUMPANG MAKAN DAN MENGINAP SELAMA DUA HARI. AKU MINTA BERHENTI!"
Selesai membaca, lengan Gombloh meraba papan meja yang menampakkan bekas guratan tangan. Keringat dingin mendadak mengembun ditengkuknya. Guratan aneh, dan seperti tak masuk akal. Karena papan meja tampak seperti hangus pada setiap bekas guratan itu.
"Edan! Apakah dia bukan manusia? Hah! Jangan-jangan dia seorang yang berkepandaian tinggi yang menyamar. Celaka! Aku telah menghukumnya untuk bekerja dikedaiku selama satu pekan, karena dia tak mampu membayar makanan yang telah dimakannya..." desis Gombloh dengan mata membelalak. Seketika tubuhnya menggigil bagai diserang demam. Dan detik itu juga dia menghambur keluar dari kamar.
Akan tetapi dia mendapatkan pemuda gagah putera Adipati Kayoman sudah berangkat pergi. Masih terdengar suara derap kaki-kaki kuda ditelinganya. Ketika dia memburu keluar, laki-laki gemuk ini sempat melihat punggung Raden SURA BANGA di atas punggung kuda hitam mencongklang cepat ke arah timur.
"Walah, walah... celaka besar aku hari ini. Persoalan ini pasti akan berbuntut panjang. Karena aku pasti dituduh telah menyembunyikan seorang perusuh yang telah membuat malu besar pada putera Adipati Kayoman! Tapi... aku akan berterus terang, bahwa aku benar-benar tak mengetahui sama sekali tentang anak muda itu..." berkata Gombloh dalam hati. Kemudian balikkan tubuh untuk membenahi ruangan kedainya yang porak poranda.
BERHENTI…! Bentakan menggeledek merobek udara. Dan sosok tubuh laki-laki gagah berpakaian serba biru itu melayang dari atas kuda hitam tunggangannya. Sekejap dia telah tegak berdiri didepan pemuda berbaju putih gombrong yang pada sebelah lengannya membawa sebuah kain buntalan bertambal.
Pemuda gondrong kacung laki-laki gemuk pemilik kedai bernama Gombloh itu tenang-tenang berdiri menatap pemuda gagah dihadapannya. Tampak baju gombrongnya pada bagian dada masih terlihat kotor bekas tadi terjatuh terjerembab ditanah becek.
"Kacung keparat! Kau harus menerima akibatnya atas perbuatanmu membuat malu aku!" bentak Raden Sura Banga.
"Lho? Apa salahku?" tanya pemuda ini sambil menggaruk-garuk tengkuknya.
"Apa salahmu? Hm, perlu kuceritakan lagi. Katakan siapa kau sebenarnya. Kau akan menyesal dengan perbuatanmu! Kau kira semudah itu meloloskan diri?!" bentak pemuda ini seraya maju dua langkah. Kedua lengannya terkepal.
Akan tetapi dengan sikap tenang, pemuda kacung itu menyahut sambil tertawa. "Haha... kalau aku terjatuh karena tersandung batu itu tidak aneh. Tapi kalau tak hujan tak angin ada orang jatuh terjengkang, itulah yang lucu! Haha...haha..."
Merah seketika wajah Raden Sura Banga seperti kepiting direbus. Dan detik itu juga lengannya telah mengirim tinju yang meluncur deras ke arah dada pemuda gondrong itu. Pukulan bertenaga dalam ini tidaklah seperti waktu dia menampar pipi si laki-laki gemuk Gombloh. Karena pukulan ini bisa meremukkan tulang dan menghancurkan isi dada orang yang terkena pukulannya.
Akan tetapi ketika tinjunya mengenai dada pemuda kacung itu, tiba-tiba pemuda gagah itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa langkah, Wajahnya menyeringai menahan sakit. Pucatlah seketika wajah Raden Sura Banga karena terkejut. Dia merasakan lengannya seperti menghantam besi panas. Bahkan ada suatu tenaga yang sangat kuat mendorong tubuhnya hingga terhuyung ke belakang beberapa langkah.
"Heh!? Katakan siapa kau sebenarnya?" sentak pemuda ini dengan terkesiap, dan wajah masih menyeringai kesakitan. Tak terasa kakinya kembali menyurut mundur setindak.
"Namaku Nanjar! Jangan khawatir, aku tak ada hubungannya dengan manusia yang membuat kerusuhan di Kadipaten seperti yang kudengar dari tiga manusia berangasan yang berkunjung ke kedai pak Gombloh itu!" sahut pemuda ini yang tiada lain dari si Dewa Linglung adanya. Selesai berkata, Nanjar segera balikkan tubuh dan melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Raden Sura Banga menatap dengan mata mendelong pada pemuda kacung itu. Diam-diam dia merasa penasaran. Sikap pemuda kumal itu seperti tak memandang mata padanya. Walaupun pemuda kumal itu mengatakan bahwa dirinya bukanlah orang yang ada hubungannya dengan kerusuhan di Kadipaten, tapi rasa kepanasaran hatinya tetap menyelinap didalam hati.
Dia baru saja turun gunung setelah belajar ilmu kedigjayaan. Hal itupun karena dia dipanggil oleh ayahnya Adipati Kayoman untuk datang ke Kota Raja berkenaan dengan kejadian dan kerusuhan dibeberapa tempat di Kota Raja termasuk digedung Kadipaten. Pertama dua orang prajurit penjaga tewas tanpa ketahuan siapa yang membunuhnya.
Dan kedua adalah lenyapnya perhiasan milik ibunya didalam lemari dalam kamar yang terkunci rapat, tanpa ketahuan siapa yang telah mencurinya. Tentu saja kemunculan dia diwilayah Kota Raja adalah untuk mencari jejak si perusuh dan menangkapnya.
GOMBLOH adalah bekas seorang juru masak di kadipaten, yang telah berhenti dari pekerjaannya, kemudian membuka kedai didesanya. Tentu saja Raden Sura Banga mengenalnya, karena laki-laki itu sudah membuka kedai sebelum kepergiannya menuntut ilmu empat tahun yang lalu.
Selama dua pekan diwilayah Kota Raja, Raden Sura Banga telah tiga kali berkunjung ke kedai Gombloh. Disamping itu Gombloh juga diperintahkan untuk diam-diam mengawasi para pengunjung kedai, siapa tahu ada tanda-tanda atau berita mengenai siapa yang membuat kerusuhan digedung Kadipaten itu.
"Tunggu...!" Pemuda gagah putera Adipati Kayoman ini berkelebat melompat mengejar pemuda gondrong bertampang kumal itu.
"Apakah maksudmu menahanku, sobat?" Tanya Nanjar sambil menahan langkah. Tatapan matanya beradu dengan tatapan Raden Sura Banga yang menatap tajam.
"Apakah kau telah mengetahui siapa adanya aku?" berkata pemuda ini.
Nanjar mengangguk sambil tersenyum. "Ya, aku mengetahui, kau adalah anak adipati Kayoman, namamu Sura Banga!" sahut Nanjar.
"Bagus! Tadi kau mengatakan bahwa kau tak terlibat dengan yang membuat kerusuhan di gedung Kadipaten! Bagaimana aku bisa membuktikannya?" Raden Sura Banga mencaricari alasan.
"Hm, apakah kaupun bisa membuktikan bahwa aku memang orang yang membuat kerusuhan, atau aku ada hubungan dengan orang yang membuat kerusuhan itu?" balik bertanya si Dewa Linglung.
Sejenak pemuda ini tak bisa menjawab. Tapi segera berkata. "Kau memiliki ilmu tenaga dalam yang hebat, sobat Nanjar! Aku tak mencurigaimu, tapi aku bisa bertanya, mengapa kau sembunyi dikedai pak Gombloh, dan berpura-pura menjadi seorang kacung?"
"Pertanyaan yang bagus!" menyahut si Dewa Linglung. "Secara kebetulan dua hari yang lalu perutku lapar, dan aku singgah dikedai paman gemuk itu. Karena aku tak punya uang untuk membayar makanan, aku diharuskan menjadi kacungnya selama satu pekan. Karena aku merasa bersalah, aku tak menolak, disamping aku merasa kasihan padanya karena kacungnya yang biasa membantu sedang sakit...!" kata Nanjar menceritakan sejujurnya.
Raden Sura Banga tersenyum manggut-manggut. "Baik! Aku percaya pada ceritamu. Lalu siapakah tiga laki-laki berangasan yang membawa berita kerusuhan di Kadipaten itu?" tanya Sura Banga.
"Hm, tampaknya kau ingin mendapatkan penjelasan yang sejelas-jelasnya dalam usahamu melacak si pembuat kerusuhan. Mengapa tak kau tanyakan pada si gemuk paman Gombloh? Bukankah dia orangmu?" kata Nanjar.
"Benar! Dia memang kutugaskan untuk mengawasi setiap pengunjung kedainya untuk maksudku itu. Kalau kau bisa memberi keterangan, aku tak perlu lagi menanyakan pada si gemuk pemilik kedai itu!" sahut pemuda ini.
"Mereka, ketiga laki-laki berangasan itu menamakan dirinya si Tiga Harimau dari Selatan!" sahut Nanjar yang sambil melayani tetamu memang memasang telinga mendengarkan pembicaraan pengunjung kedai.
"Bagus! Mereka adalah orang-orang yang dipanggil ayah untuk melacak jejak si perusuh! Apakah kau melihat mereka menuju kejurusan mana, atau kau mengetahui mereka akan berangkat kemana?" tanya Sura Banga.
"Sayang aku tak begitu memperhatikan kemana mereka pergi, dan aku hanya kebetulan saja melewati wilayah ini. Aku tak tahu urusan segala kerusuhan di Kadipaten!" sahut Nanjar sambil beranjak melangkah lagi.
"Tunggu, sobat Nanjar!" berkata pemuda baju biru ini sambil menghadang.
"Apa lagi maumu? Aku sudah memberikan segala keterangan. Mengapa kau masih juga menahanku?" tanya si Dewa Linglung.
"Hm, setidak-tidaknya kau telah mendengar kerusuhan itu, dan kau pun memiliki ilmu kepandaian. Mengapa kau tak mau membantu kami?"
"Haha... hal itu bukan urusanku. Sudah kukatakan aku seorang yang kebetulan lewat diwilayah ini. Mengenai segala kerusuhan di Kadipaten dalam wilayah ini bukanlah urusanku!" Dewa Linglung menyahut seenaknya.
Berubahlah seketika wajah pemuda ini. Mendadak dia tersenyum sinis. "Heh! Apakah kau sudah merasa cukup memberikan keterangan, dan memamerkan kehebatan tenaga dalammu, juga setelah membuat malu aku didalam kedai lalu seenaknya saja bisa berlalu begitu saja?" kata Sura Banga.
"Apa maksudmu, sobat?"
"Hem, kau hadapilah beberapa jurus pukulanku. Ingin sekali aku mengetahui kehebatanmu!" Sura Banga berkata dengan suara dingin.
"Haih! Mana mampu aku menghadapinya? Kalau aku punya ilmu kepandaian tak nantinya aku jatuh tersungkur ketika kau mengait kakiku..."
Akan tetapi Sura Banga yang memang penasaran untuk menguji kehebatan pemuda bertampang tolol itu, telah membentak keras sambil mendahului menyerang. Sepasang lengannya bergerak saling susul melakukan hantaman.
Satu ke arah dada dan satu ke arah perut. Akan tetapi serangan itu adalah serangan pancingan belaka. Dia hanya ingin tahu apakah Nanjar akan mengelak atau membiarkan dada dan perutnya terkena pukulan.
Ternyata si Dewa Linglung terhuyung ke arah kiri. Jelas kalau dia tak menahan serangan seperti tadi. Tapi itulah yang ditunggunya. Mendadak dia menahan serangan, dan kakinya menendang ke arah lambung pemuda gondrong itu. Jurus tendangan yang telah dipersiapkan ini telah diisi oleh kekuatan tenaga dalam tiga kali lipat dari serangan pukulan tangan seperti yang pertama kali dilakukan ketika menghantam dada Nanjar.
Aneh! Tendangan yang disangka bakal menemui sasaran ternyata lolos, karena mendadak tubuh si pemuda lawannya terhuyung ke belakang seperti mau jatuh.
WHUK! WHUK!
Dia memburu dengan serangan susulan kedua tinju, dan serangkaian serangan telah dipersiapkan lagi. Namun beberapa kali serangannya tak satu pun mengenai sasaran. Pemuda kumal itu cuma terhuyung kesana-kemari seperti orang mabuk karena kebanyakan minum tuak. Namun setiap kali terhuyung serangannya selalu luput.
Merahlah seketika wajah Sura Banga. Mendadak dia berseru keras. Tubuhnya membuat gerakan memutar. Tahu-tahu uap biru meluncur ke arah Nanjar susul-menyusul. Ternyata Sura Banga mulai merobah serangan, dan menggunakan jurus-jurusnya yang berbahaya.
Serangan uap biru itu tak dapat dielakkan dengan cuma melangkah dengan terhuyung saja. Nanjar tahu jurus langkah Dewa Mabuk cuma untuk menghindari serangan pukulan biasa. Uap biru yang mengandung kekuatan dahsyat itu tak dapat dianggap enteng.
Bhlar! Bhalar! Dess!
Udara membiaskan cahaya biru yang menimbulkan asap panas, dan membuat tiga buah lubang ditanah. Namun serangan itupun tak mengenai sasaran, karena si Dewa Linglung telah gunakan lompatan Kera Sakti untuk menghindari serangan lawan.
Semakin menggebu Sura Banga melancarkan serangan-serangan mengurung Nanjar. Hatinya semakin penasaran untuk menjatuhkan lawannya. Belasan jurus telah berlalu. Dijurus kedua puluh Sura Banga tak dapat menahan kesabarannya untuk mencabut pedangnya.
"Sobat Nanjar! Hadapilah pedangku!" bentak pemuda ini sambil menukik dari udara, lengannya menghantam dengan pukulan terakhir. Uap biru menyambar dahsyat ke arah di Dewa Linglung. Lagi-lagi tubuh si pemuda kumal melesat berjumpalitan dengan gerakan seekor kera.
Dan serangan itupun lolos. Di saat dia mencabut pedangnya dari pinggang, dan siap melancarkan serangan ke arah lawannya yang membuat hati mendongkol, mendadak dia terkejut karena tak melihat sosok tubuh pemuda gondrong itu.
"Edan! Kemana perginya monyet itu?" sentak Sura Banga.
Ketika itulah dia mendengar suara ringkikan kuda. Pemuda ini tersentak, segera tubuhnya berkelebat memburu ke arah suara itu. Hatinya mencelos karena memikir pemuda konyol itu main gila. Benar saja! Tampak kuda hitamnya berlari cepat ke arah timur. Dipunggung kuda hitam itu menggemblok tubuh si pemuda gondrong.
"Hai! Tunggu...!" teriaknya sambil berkelebatan mengejar. Tapi sudah tak keburu lagi, karena kuda yang ditunggangi si pemuda kumal itu telah membedal cepat. Terlalu jauh untuk bisa menyusulnya. Sura Banga cuma bisa melotot lebar dengan hati mengkal. Lapat-lapat telinganya mendengar suara yang dikirim dari kejauhan.
"Haha... kudamu kupinjam dulu, sobat Sura Banga. Sudah lama aku tak naik kuda!"
Lama pemuda putera Adipati Kayoman ini berdiri terpaku ditempatnya. Terdengar suara helaan napasnya. "Pemuda itu sangat tinggi ilmunya. Tentu dia bukan seorang tokoh persilatan dikalangan biasa... Eh, apakah dia... " Sesaat Sura Banga tertegun. Hatinya tersentak ketika terpikir akan sesuatu. "Aku melihat keanehan pada pemuda itu, apakah dia bukan si Dewa Linglung, si Pendekar Naga Merah?" Suara Banga sekilas melihat ada guratan bergambar seekor Naga pada bagian dada pemuda itu ketika bajunya tersingkap.
Dengan hati masih diliputi pertanyaan, Sura Banga berkelebat dari tempat itu. Dia memutuskan untuk kembali ke Kadipaten. Namun dia tak akan menceritakan kejadian yang memalukan itu pada siapapun termasuk ayahnya....
RESMINI tertegun menatap gadis dihadapannya bagai tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Anakku.... benarkah kau anakku MANISARI...?" sentak wanita ini dengan suara menggeletar dan mata setengah membelalak. Yang ditatap maju selangkah seraya berkata.
"Benar ibu, aku Manisari! Hihi... mengapa ibu tak percaya. Aku anakmu yang hilang itu. Aku masih hidup. Kau dapat melihat kedua kakiku, bukankah menginjak tanah? Aku bukan hantu, ibu..."
Sesaat wanita ini memperhatikan dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Dan menghamburlah wanita ini memeluk gadis itu dengan isak terharu. "Anakku Manisari... Oh, kau datang nak? Kau berjanjilah tak akan meninggalkan ibu lagi..." kata wanita ini dalam tangis kebahagiaannya dan memeluk gadis itu erat-erat.
Manisari membiarkan ibunya memeluk dan menciuminya sepuaspuasnya. Barulah kemudian dia melepaskan sambil berkata. "Sudahlah ibu...! Maafkan kesalahanku yang pergi meninggalkanmu tanpa pamit. Tapi semua itu adalah untuk kebahagiaan ibu," dan Manisari menghentikan kata-katanya. Dia menatap wanita itu dengan mata menyorotkan perasaan kasih sayang, namun dibalik itu ada satu hal yang membuat dia mengalihkan tatapannya memandang ke luar jendela.
"Dan apa anakku? tanya sang ibu.
"Dan untuk kesejahteraan kita bersama, ibu!" sahut Manisari cepat mengalihkan kata-kata yang semula sudah siap dimuntahkan dari mulutnya. "Tidak! aku tak akan mengatakan pada ibu bahwa aku mendendam pada Adipati Kayoman, karena hanya akan menghambat langkahku saja seperti nasihat Uwa Balawa...!" berkata Manisari dalam hati.
"Aku tak mengerti maksud kata-katamu, anakku..." kata wanita ini menatap gadis itu. Manisari tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah buntalan sebesar dua genggaman tangan dari balik bajunya.
"Lihatlah ibu. Aku bawakan sesuatu untukmu...!" katanya seraya menyerahkan buntalan itu pada Resmini.
"Apa ini anakku?" tanya wanita ini dengan heran.
"Kau buka sajalah, ibu..." sahut Manisari.
Membelalak lebar mata wanita ini ketika membuka buntalan kain itu, ternyata penuh dengan perhiasan dari emas dan perak, serta mutu manikam yang tak ternilai harganya.
"Dari mana kau mendapatkannya, anakku?" tanyanya dengan suara gemetar. Seperti tak percaya dia menatap tajam-tajam wajah anak gadisnya.
"Tak usah ibu menanyakan dari mana aku mendapatkannya. Simpanlah benda-benda itu untuk keperluan ibu. Aku ingin membahagiakan ibu! Bukankah selama ini kita hidup menderita, sejak Adipati Kayoman menceraikan ibu? Nah! aku harus pergi lagi, ibu... Dan ibu tinggal menunggu kedatanganku menjemput ibu untuk pindah dari wilayah ini!" kata Manisari lalu beranjak bangun berdiri.
Sebelum sempat wanita ini mengeluarkan kata-kata, gadis itu telah berkelebat keluar dari ruangan kamar. Resmini tertegun seperti patung dengan mata membelalak dan lengan gemetar memegangi buntalan berisi perhiasan itu. Namun dia cepat bangkit berdiri, lalu mengejar keluar kamar.
"Manisari, anakku... tunggu!"
Akan tetapi dia tak melihat lagi gadis itu. Sesaat wanita ini jadi berdiri terpaku. Hatinya berdebar tak menentu. Apakah gerangan yang telah terjadi pada anaknya? Dan dari mana perhiasan sebanyak itu?
Sementara itu disebuah pondok ditepi sungai disebelah timur perbatasan Kota Raja seorang laki-laki berbaju hitam dengan ikat kepala lebar yang juga berwarna hitam, duduk di atas tikar pandan dengan sebentar-sebentar menoleh ke arah pintu depan. Orang ini adalah Balawa.
Tampaknya dia seperti tengah menunggu seseorang. Yang ditunggu-tunggupun tak lama muncul. Terdengar suara tertawa terkekeh dari arah luar pondok. Ketika Balawa menoleh tampak seorang kakek berjubah abu-abu telah berdiri dimuka pintu entah dari mana munculnya.
"Ah, selamat datang Wiku..." kata laki-laki ini seraya bangkit berdiri menyambut kedatangan laki-laki tua.
"Heheh...heh... sudah lama kau menanti, Balawa?" tanya kakek ini sambil melangkah masuk.
Balawa tersenyum mempersilahkan laki-laki tua itu duduk. "Sejak pagi tadi. Guru..."
"Kemanakah Manisari?" tanya Wiku Ampyang.
"Dia pergi mengantarkan perhiasan untuk ibunya, Guru...! Mungkin sebentar lagi kembali." sahut Balawa.
Kakek ini manggut-manggut. Lengannya mengelus jenggotnya yang cuma sejumput itu. Kemudian berkata. "Keponakanmu itu sangat menyayangi ibunya. Akan tetapi kau harus waspada. Balawa! Walaupun dia telah dibekali ilmu keghaiban bukan mustahil kalau jejaknya bisa tercium orang-orang kerajaan. Dan bukan mustahil kalau ada orang yang juga memiliki ilmu ghaib yang bisa mengetahui dan menghancurkan cita-citamu...!"
Balawa manggut-manggutkan kepala. "Aku mengerti, Guru...! Aku akan berusaha untuk bertindak hati hati!" sahut laki-laki ini.
"Aku telah mengabulkan keinginanmu untuk menguasai gadis keponakamu itu. Namun satu hal yang harus kau penuhi setelah kau berhasil menyingkirkan Adipati Kayoman, kau harus penuhi janjimu untuk menyetorkan seorang gadis setiap satu bulan sekali ke Sumur Jalatunda!"
"Tentu, Guru...! Aku tak akan melupakan itu!" sahut Balawa.
"Karena aku telah mewakilkan kau, pada setiap malam yang diperlukan itu untuk melayani kehendaknya...! Kau paham, bukan?"
"Aku mengerti. Guru...! Dan terima kasih atas bantuamu selama ini."
Si kakek manggut-manggut sambil tertawa terkekeh. "Bagus! Untuk berhasilnya tujuanmu, kau telah kubekali dua makhluk jejadian yang berasal dari kedua orang murid perempuanku, SARITI dan LELANI!" kata Wiku Ampyang sambil mengangkat tangannya.
Tampak mulutnya membaca mantera-mantera. Tak lama terjadi sesuatu keghaiban yang luar biasa. Dua gumpal asap tampak mengepul dikiri dan kanan tubuh sikakek. Asap putih itu menjelma menjadi dua sosok makhluk aneh. Dialah dua orang gadis cantik berkepala manusia bertubuh ular. Tentu saja Balawa terkejut tak terhingga, hingga dia beringsut mundur dengan mata membelalak.
"Heheh...heh... jangan takut, Balawa! Keduanya akan menjadi pembantumu...!" kata Wiku Ampyang dengan tertawa terkekeh-kekeh.
Wiku Ampyang memberi isyarat menyuruh dua makhluk itu duduk disudut ruangan. Dengan patuh dua makhluk itu menggelosor ke tempat yang ditunjuk kakek itu. Lalu keduanya duduk melingkar.
"Guru...apakah mereka tak dapat menjadi manusia biasa lagi?" tanya Balawa dengan menelan ludah.
"Hehe...heh ... kekuatan ilmu ghaibnya berada disumur JALATUNDA! Mereka dapat menjadi manusia lagi bila cukup syarat-syarat yang diperlukan untuk itu!" sahut Wiku Ampyang. "Tapi satu hal lagi yang harus kau ingat! Kau tak boleh mencintai salah seorang dari mereka! Dan kau harus menghindarkan diri dari perempuan!" sambung Wiku Ampyang.
"Aku... aku mengerti. Guru...!" sahut Balawa dengan keringat menetes didahinya. Syarat itu cukup berat, tapi dia akan berusaha untuk mematuhinya.
"Nah! Kuserahkan dua makhluk ini padamu. Kau ingat nama-nama mereka?" tanya Wiku Ampyang.
Balawa mengangguk. "Sariti dan Lelani!"
"Hehe... he... benar!" kata Wiku Ampyang sambil tertawa mengekeh.
KUDA HITAM BERPENUNGGANG PEMUDA GONDRONG itu mendadak berhenti ketika berpapasan dengan seorang gadis berbaju kembang-kembang warna putih dijalan kecil yang dilaluinya.
"Eh, gadis manis jalan sendiri tak ada yang mengawal. Siapa dia?" bergumam Nanjar sambil menyengir sendiri. Mendadak dia putar kudanya lalu kembali ke arah belakang, dan membedalnya dengan cepat memburu ke arah gadis itu.
Gadis yang tengah melangkah cepat ini menepi ketika mendengar suara derap kaki kuda dibelakangnya.
"Eh, adik manis! Boleh aku tahu kemana tujuanmu? Tampaknya kau begitu tergesa-gesa sekali, tentu ada suatu urusan yang sangat penting..." bertanya Nanjar, sambil merendengi dara itu dengan langkah kuda diperlambat.
Gadis ini menoleh. Siapa adanya dara ini tak lain dari Manisari. Dara ini tak menjawab, tapi hanya mengerling si penanya yang duduk di atas kuda. Nanjar garuk tengkuknya yang tidak gatal. Entah mengapa dia merasa penasaran ingin mengetahui siapa adanya gadis cantik itu. Mendadak dia melompat dari punggung kuda. Sekejap telah berdiri didepan gadis itu.
"Hm, siapa kau? Mengapa mengganggu orang sedang berjalan?" berkata Manisari. Mau tak mau dia terpaksa menahan langkahnya.
"Ah, jangan marah, adik! Aku tak mengganggumu. Tapi cuma mau bertanya saja. Maksudku... kalau kau tak keberatan aku bisa mengantarmu ke tempat tujuan!" sahut Nanjar sambil tersenyum.
"Terima kasih atas kebaikan hati anda! Biarlah aku berjalan kaki saja!" menyahut Manisari.
"Tapi..." kata Nanjar.
"Minggirlah! Jangan menghalangi jalan!" kata Manisari memotong.
"Tunggu! Oh, ya! Boleh aku mengetahui namamu? Dan akan kemanakah tujuan nona?" tanya Nanjar tanpa menggeser tubuhnya. Dia memang masih penasaran untuk mengetahui siapa dara itu.
Manisari sejenak menatap pemuda dihadapannya. Seperti meneliti wajah pemuda itu. Hatinya berkata. "Hm, tak mengapa kalau aku memberitahukan namaku. Tampaknya dia pemuda baik-baik... Dan aku tak boleh terlalu curiga pada setiap orang!" Setelah terdiam sesaat, dia menyahut.
"Namaku Manisari...! Aku... aku hendak kerumah saudaraku dibalik hutan itu!"
Nanjar tercenung sesaat seperti memikir. "Dibalik hutan itu? Hm, apakah yang kau tuju adalah sebuah rumah disisi sungai?" tanya Nanjar. Pertanyaan itu diajukan karena dia memang barusan melewati jalan dibalik hutan sebelah timur tersebut, dan melihat ada sebuah pondok disisi sungai berbatu-batu.
Manisari sejenak tertegun. Rumah yang dimaksudkan Nanjar memang benar rumah itu yang ditujunya. Dia memikir untuk tak memberitahu, tapi sudah terlanjur mengangguk. "Benar! Itu... itu rumah saudaraku..." sahutnya pendek dan agak tergagap.
Nanjar kembali tersenyum. "Jalan kesana cukup jauh, adik Manisari! Lagi pula harus menyeberangi sungai berair deras. Sebaiknya aku mengantarmu! Jangan khawatir aku bukan pemuda hidung belang yang suka mempermainkan perempuan cantik!" kata si Dewa Linglung.
"Tidak! terima kasih! Biarlah aku berjalan kaki saja!" sahut Manisari menolak. Nanjar jadi geleng-geleng kepala.
"Kalau begitu baiklah! Nah, silahkan lewat adik manis!" kata Nanjar sambil menghela napas dan melangkah ke sisi jalan.
Gadis itu melangkah cepat, dan tanpa menoleh lagi terus berjalan menyusup masuk ke jalan setapak dengan mengambil jalan membelok dari jalan besar. Nanjar sejenak memandang ke arah punggung gadis itu. Pada saat itu dikejauhan terdengar derap suara kaki-kaki kuda mendatangi.
Dewa Linglung kerutkan keningnya memikir. "Hm, siapa mereka?"
Tadinya dia mau melompat ke punggung kuda tanpa memikirkan gadis itu lagi. Tapi menampak beberapa penunggang kuda dikejauhan mendatangi yang tampaknya seperti laskar Kerajaan, dia melompat ke dalam semak, dan menghilang. Diantara tujuh penunggang kuda itu, tiga orang adalah tiga laki-laki berangasan yang pernah dilihat Nanjar dikedai Gombloh si laki-laki gemuk itu. Sedangkan empat penunggang kuda lainnya adalah laskar Kadipaten.
"Eh! bukankah itu kuda Raden Anom Sura Banga?" teriak salah seorang prajurit. Serentak para penunggang kuda itu menghentikan kudanya masing-masing.
"Benar! Ini kuda Raden Anom Sura Banga!" sahut prajurit kawannya.
"Mengapa ditinggal ditempat ini?" sela kawan lainnya.
"Hm kukira telah terjadi sesuatu, karena ketika aku tadi melihat Raden Anom Sura Banga memasuki pintu gerbang Kadipaten tanpa menunggang kuda. Sedang kepergiannya tadi pagi mengendarai kuda..." Prajurit pertama memberi penjelasan. Tiga prajurit kawannya manggut-manggut.
"Bagaimana baiknya kalau kita bawa saja kuda ini ke Kadipaten?" tanya salah seorang.
"Tapi, kita sedang mengantar utusan Kangjeng Gusti Adipati ke Baluran...!" menyahut seorang prajurit sambil menatap pada ketiga laki-laki penunggang kuda. Ketiga laki-laki ini adalah tokoh persilatan yang bergelar si Tiga Harimau Selatan.
"Cukuplah dua orang yang turut mengantar kami untuk penunjuk jalan. Kalian berdua boleh kembali!" berkata salah seorang dari ketika tokoh gagah berperawakan kekar dan ratarata berpakaian bagus warnawarni itu.
"Kalau begitu baiklah! Kami berdua kembali sambil membawa kuda ini ke Kadipaten dan kalian berdua mengantar ketiga raden utusan Gusti Adipati ini ke Baluran!" kata seorang prajurit.
Dua prajurit kawannya mengangguk. Tak lama mereka berpisah. Dua prajurit meneruskan perjalanan ke Baluran, dan dua prajurit lagi kembali pulang ke Kadipaten dengan mengikat kuda hitam dibelakang punggung kuda yang ditunggangi salah seorang prajurit.
Nanjar tampaknya lebih tertarik untuk membuntuti si gadis bernama Manisari. Cuma sekilas saja dia mendengarkan percakapan para prajurit Kadipaten yang menemukan kuda milik Raden Sura Banga. Diam-diam dia merasa bersyukur telah ada yang mewakilkan mengembalikan kuda milik putera Adipati Kayoman itu.
Mengenai ketiga pendekar berangasan itu, Nanjar tak begitu ambil pusing, karena paling tidak mereka cuma ditugaskan Adipati. Secara diam-diam Nanjar terus membuntuti gadis berbaju putih kembangkembang itu.
Tampaknya dara ini tak merasa kalau dirinya sedang dikuntit. Disuatu tempat dia berhenti melangkah. Lalu memutar tubuh dan menebar pandangan ke sekelilingnya seperti khawatir ada orang yang telah melihatnya. Setelah merasa aman, tampak dia memejamkan mata.
Mulutnya berkemak-kemik seperti membaca mantera-mantera. Selang tak lama terjadilah keanehan. Mendadak tubuh gadis itu berubah menjelma menjadi seekor ular... Binatang itu menggelosor cepat menyusur tanah dan merambas semak belukar.
Tentu saja kejadian aneh itu tak luput dari mata si Dewa Linglung yang melotot besar melihat dengan terperangah kaget. Namun secepat itu pula dia telah berkelebat lenyap dari tempat itu.
"Sudah kuduga, gadis itu sangat aneh... ternyata dia memiliki keajaiban luar biasa. Tentu dia menuju ke pondok disisi sungai itu. Aku akan mendahului ke sana dan bersembunyi tak jauh dari pondok itu! Ingin kulihat siapa gerangan orang yang ditujunya, dan siapa pula adanya gadis bernama Manisari itu?" Berkata Nanjar dalam hati. Dia telah berada di atas dahan pohon besar. Tak lama tubuhnya telah berkelebatan cepat bagai seekor kera, merambas hutan....
Nanjar yang bertujuan mendahului gadis aneh itu ternyata mengambil jalan memutar. Tak berapa lama dia telah berada di bagian belakang pondok disisi sungai itu. Gerakannya ringan tak menimbulkan suara ketika dia jejakkan kaki ditanah setelah melompat dari atas pohon besar yang tumbuh dibelakang pondok. Telinganya dipasang untuk mendengarkan suara. Lapat-lapat terdengar suara parau seperti yang bicara seorang kakek tua.
"Hapalkan mantera-mantera itu untuk keperluan kau menguasai dua makhluk ciptaan ini!"
Terdengar suara lain yang terdengar agak besar. "Aku sudah hapal. Guru...!"
"Bagus...!" terdengar suara si kakek yang tak lain dari Wiku Ampyang menimpal kata-kata Balawa. "Nah! Balawa! Dua makhluk ini akan kukembalikan pada alam halus yang tak kelihatan mata manusia! Kau bisa mempergunakan keduanya untuk kepentinganmu. Merekapun tak ubahnya seperti Manisari. Dapat merubah ujud seperti seekor ular biasa tanpa kepala manusia, dan dapat menjadi makhluk yang bisa membunuh belasan prajurit Kerajaan, dan dapat melenyapkan diri bila kau merapal mantera sesuai dengan kehendakmu..." kata Wiku Ampyang.
"Terimakasih, Guru....! Terimakasih...! Tapi, sampai kapankah syarat aku tak dibolehkan berhubungan dengan perempuan?" kata Balawa.
Tampaknya laki-laki ini merasa syarat itu sangat berat. Karena sebagai manusia yang normal tentu sukar untuk meninggalkan hal yang satu itu. Apalagi dia masih cukup muda. Bahkan gurunya saja yang sudah tua bangka reyot, ternyata setiap bulan minta diantar seorang gadis cantik ke sumur Jalatunda. Dia merasa sang guru kurang kebijaksanaan dan tidak adil.
Mendengar pertanyaan itu Wiku Ampyang tertawa terkekehkekeh hingga tubuhnya terguncang-guncang. "Heh...heh...bila kau telah cukup memenuhi syarat mengantar seorang perawan cantik kesumur Jalatunda setiap satu bulan, selama empat puluh kali, maka kau bebas berbuat sekehendak hatimu!" sahut Wiku Ampyang.
"Selama empat puluh kali. Guru?"
"Ya! jelasnya selama empat puluh bulan. Kalau setahun ada dua belas bulan, berarti kira-kira tiga tahun lebih, baru kau boleh menyentuh perempuan. Dan hehehe... tentunya kau sudah menjadi seorang yang menguasai Kerajaan Pajang, Balawa...!" kata si kakek dengan tertawa mengekeh.
Sesaat lamanya Balawa tercenung. Tapi kemudian tersenyum. Baginya waktu selama itu tidaklah terlalu berat. Dan dia menerima kebijaksanaan gurunya. "Terima kasih. Guru...! Senang sekali hatiku mendengarnya!" berkata Balawa sambil manggut-manggut puas.
Dari sela dinding berlubang Nanjar melihat dengan mata membelalak. Tampak seorang kakek berjubah warna gelap, duduk didekat seorang laki-laki bercambang bauk berhidung besar dengan kulit muka kasar. Dan yang lebih membuat mata Nanjar membelalak lebar adalah dua makhluk aneh berkepala dua gadis cantik, tapi bertubuh ular...
Sejak tadi mendengarkan percakapan ternyata Nanjar penasaran untuk mengetahui. Dengan sangat hati-hati agar tak menimbulkan suara, bahkan dengan menahan napas, Nanjar berhasil mengintip dari sela dinding papan yang berlubang.
"Gila! benar-benar manusia-manusia sesat!" rutuk Nanjar dalam hati. Akan tetapi dia tak dapat bertindak sembarangan, karena khawatir akan membuat dirinya celaka, karena belum mengetahui kekuatan lawan, yang sudah pasti akan mempergunakan ilmu-ilmu iblis!
Saat itu si kakek berkata dengan suara parau. "Dia sudah datang...!"
Hati Nanjar tercekat. Yang dimaksud tentu gadis aneh yang menjelma menjadi seekor ular itu. Akan tetapi Nanjar mulai khawatir kalau kakek tua itu mengetahui kehadirannya ditempat itu. Namun ingin tahu untuk melihat perkembangan selanjutnya, membuat si Dewa Linglung tetap tak beranjak dari tempatnya.
"Balawa! Kau simpanlah dua makhluk yang aku kuasakan padamu ini!" kata Wiku Ampyang.
Balawa mengangguk, lalu membaca mantera mantera. Tak lama terlihat dua makhluk aneh berkepala manusia bertubuh ular itu lenyap jadi dua gumpal asap, dan lenyap dari pandangan mata.
Saat itu sesosok tubuh mendadak menjelma dimuka pintu. Dialah si gadis bernama Manisari. Wiku Ampyang tertawa mengekeh, seraya menatap gadis itu. Melihat adanya kakek itu berada didalam pondok, dara ini segera jatuhkan tubuhnya berlutut.
"Sudahlah, bangun anak manis!" kata Wiku Ampyang.
Gadis ini segera beringsut duduk ditikar pandan tak jauh dari kakek itu. "Ada hal apakah Guru menyusul ke tempat ini?" tanya Manisari mendahului bertanya.
Wiku Ampyang menoleh pada Balawa seraya berkata. "Balawa, kau bisa menjelaskannya agar dia mengetahui!"
Balawa mengangguk, kemudian menatap pada gadis itu. "Manisari..! Guru menginginkan kau kembali dulu ke sumur Jalatunda. Mengenai urusan membunuh Adipati Kayoman serahkan saja padaku! Kelak bila urusan telah beres, aku akan memanggilmu ke Kadipaten. Dan tentu saja bersama ibumu! Karena ibumu adalah adik kandungku sendiri. Kita bisa mengenyam kebahagiaan dan ketentraman setelah aku diangkat menjadi pengganti Adipati keparat yang telah membunuh ayahmu dan mengawini ibumu itu, tapi kemudian menceraikan ibumu karena alasannya aku telah terlibat perkara perampokan beberapa tahun yang silam!"
Gadis ini diam terpaku tak menjawab. Setitik air bening tersembul disudut kelopak matanya. "Tapi, Uwa Balawa...! Izinkahlah aku yang membunuh manusia penipu itu agar hatiku puas! Sayang, ketika aku muncul digedung Kadipaten, aku hanya menjumpai istrinya! Aku hanya merampok perhiasannya dan membunuh dua pengawal. Perhiasan itu telah kuberikan pada ibuku untuk menyenangkan hatinya..."
"Sebenarnya kau telah bertindak terlalu cepat, Balawa! Dan kau Manisari tak seharusnya kau memberikan perhiasan itu pada ibumu... Aku khawatir justru akan menyulitkan langkah kalian nanti!" kata Wiku Ampyang dengan mengerutkan kening.
"Tapi, Guru... aku tak dapat melarangnya untuk menjumpai ibunya. Dan aku kasihan pada adikku yang telah kehilangan anak gadisnya sejak Manisari kubawa ke sumur Jalatunda tempat tinggalmu..." sanggah Balawa dengan tertunduk.
"Hal yang sudah terlanjur tak dapat dirubah lagi. Aku tak mengizinkan kau bertindak sendiri, Manisari! Benar seperti kata Uwamu. Biarlah dia menyelesaikan urusan dendammu! Kau harus kembali ke sumur Jalatunda!" kata Wiku Ampyang seraya menatap tajam gadis itu.
"Untuk apa. Guru...? Bukankah aku telah memiliki ilmu yang cukup? Dan bukankah Uwa Balawa membutuhkan bantuanku?" tanya Manisari.
Gadis ini tampak enggan untuk kembali ke tempat gurunya. Dia sudah tak betah lagi tinggal disana. Bahkan dia telah merencanakan untuk mencari tempat yang baik untuk membawa ibunya pindah ke lain wilayah.
Wiku Ampyang tertawa terkekeh. Lalu berkata. "Ilmu yang kau miliki masih belum cukup, anak cantik! Dan uwamu telah punya dua pembantu penggantimu, mereka kawan seperguruanmu sendiri, Sariti dan Lelani!" sahut kakek tua ini.
"Benar, Manisari...! Sebaiknya kau turutkan kata guru...!" Balawa turut berkata, dan sambungnya. "Kelak pasti aku memanggilmu untuk tinggal bersama-sama digedung Kadipaten. Bahkan, jangan khawatir, aku punya tujuan lebih dari itu yang telah kita rencanakan bersama!"
Kali ini Manisari tak dapat berkata apa-apa selain manggutkan kepala dengan air mata berurai ke pipi. Dia telah dapat mendugaduga, bahwa dengan kembalinya dirinya ke sumur Jalatunda, sama halnya dengan masuk ke dalam neraka, dan mau tak mau dia harus melayani nafsu bejat kakek tua renta itu...
LENGAN WIKU AMPYANG tiba-tiba terangkat. Dan... Dherrr...! Dinding papan rumah itu ambrol dan berserpihan. Diiringi bentakan keras kakek itu berkelebat keluar dari dalam pondok.
"Pengintai licik! Cecurut busuk! Siapa kau...!"
Saat dinding papan pondok itu hancur berserpihan, Nanjar si Dewa Linglung telah berkelebat melesat ke arah semak belukar dibelakang pondok. Balawa turut melompat dari dalam pondok. Diam-diam dia terkejut, karena tak mengetahui kalau ditempat itu ada orang mengintai dan mendengarkan percakapan mereka.
Wiku Ampyang menatap pada Balawa. "Kau cari manusia yang telah mengintai itu sampai dapat, dan bunuh mati. Jangan biarkan sampai dia lolos! Setidak-tidaknya dia telah mendengarkan percakapan kita!" kata kakek ini. Kemudian berpaling pada Manisari.
"Hayo, bocah cantik muridku, kau harus ikut aku dan secepatnya pergi dari sini!"
Sementara itu gadis ini sesaat tertegun. Dalam hati diam-diam dia berkata. "Hm, apakah pengintai itu pemuda penunggang kuda yang bertemu aku di jalan tadi...?" namun dia tak dapat berpikir lebih jauh, karena Wiku Ampyang telah melompat mendekati. Lengan kakek itu terjulur. Dilain kejap dia sudah berada dalam pondongan kakek itu. Dan saat berikutnya dia sudah dibawa berkelebat cepat meninggalkan halaman pondok itu...
Balawa membaca mantera-mantera. Seketika itu juga dua makhluk pembantunya menjelma menyerupai dua ekor ular sepanjang dua depa. "Cepat cari jejak manusia keparat itu! Dan bunuh mampus bila kalian menemukannya!"
Elang raksasa itu meluncur cepat merambah angkasa, dan lenyap ketika menyusup masuk ke dalam hutan lebat. Elang itu adalah si Dewa Linglung yang menggunakan ilmu terbang dengan menggunakan kedua lengannya. Sementara itu sebuah bayangan kuning memburu dari arah barat hutan. Ketika Nanjar jejakkan kakinya dibawah pohon beringin hutan, bayangan kuning itupun tiba ditempat itu.
"Siapa kau?" benak Nanjar dengan terkejut melihat tahu-tahu sesosok tubuh berjubah kuning muncul dihadapannya.
"Sobat pendekar gagah, mari kita bahu-membahu membekuk manusia-manusia iblis itu!" berkata orang berjubah kuning itu. Ternyata dia seorang laki-laki kurus berkepala gundul bermata seperti orang mengantuk. "Aku si tua Lo Sam dari gurun Go Bi! Kaum Kang Ouw menjuluki aku si Dewa Mengantuk!" kata orang tua itu sambil menjura di hadapan Nanjar.
Tentu saja Nanjar terheran mendengar nama yang aneh, juga nama tempat yang baru pernah didengarnya. "Namamu aneh..!? Julukanmu juga lucu! Dimana itu Gurun Go Bi?" tanya Nanjar sambil garuk tengkuknya.
"Hehe... Gurun Go Bi ada didataran Tiongkok! Sangat jauh dari wilayah ini. Harus mengarungi lautan luas!" sahut orang tua itu sambil tersenyum dan menjawab ramah.
Nanjar jadi tertegun. Bagaimana tokoh asing sejauh itu bisa sampai ke wilayah ini! Namun diam-diam dia bergirang hati mendengar niat baik orang tua itu. "Hm, senang sekali berkenalan dengan anda, orang tua Lo Sam! Namaku Nanjar! Julukanku tak usah kusebutkan..."
"Hehe... bukankah anda yang bergelar si pendekar Naga Merah? Dan punya julukan si Dewa Linglung?" potong laki-laki tua ini.
"Ah, dari mana kau bisa mengetahui?" tanya, Nanjar.
"Haiyaaa...! Sudahlah! Tak usah tanyakan dari mana aku bisa mengetahui. Bukankah kau pewaris pedang mustika Ang Liong Kiam, atau pedang mustika Naga Merah?" sambar laki-laki asing bernama Lo Sam ini dengan tersenyum.
Lagi-lagi Nanjar tertegun, dan menatap laki-laki itu dengan terheran. Belum lagi Nanjar menjawab, Lo Sam sudah meneruskan berkata.
"Tak usah risaukan diriku, sobat pendekar gagah! Tujuanku kemari adalah mencari jejak seorang pencuri kitab sesat yang harus kumusnahkan. Ternyata kitab sesat itu telah dipelajari oleh orang yang bernama Wiku Ampyang! Aku telah mengetahui tempat sembunyi manusia itu. Sayang aku tak menemukan dia ketika aku ke tempat dia berdiam selama ini!
"Secara kebetulan aku mengetahui dirimu adalah pendekar gagah pewaris pedang mustika Naga Merah. Tentu saja tujuanku adalah akan turut bekerja sama melenyapkan si pengacau itu! Bukankah kaupun tak akan membiarkan manusia sesat itu membuat kerusuhan diwilayah ini?"
Penuturan dan penjelasan serta pertanyaan si orang tua Lo Sam membuat Nanjar mau tak mau jadi tersenyum girang. "Bagus! Melenyapkan kejahatan adalah tugas mulia seorang pendekar. Kalau kau orang tua Lo Sam mau membantu perjuangan kaum golongan lurus, tentu saja aku tak menolak...!" sahut Nanjar.
"Hehe... bagus! bagus! Kita sama-sama punya gelar Dewa! Kau Dewa Linglung dan aku Dewa Mengantuk! Aku senang bersahabat denganmu sobat gagah! Eh, ya panggil saja aku Supek atau paman Lo Sam!" kata laki-laki ini sambil tertawa.
"Baiklah paman Lo Sam! Kini apa rencanamu untuk membekuk manusia iblis Wiku Ampyang itu?"
"Mari ikut aku mengejar Wiku Ampyang ke sumur Jalatunda! Biar manusia itu aku yang menghadapi, dan kau selamatkan gadis yang telah terkena jeratan ilmu iblisnya itu...!" kata Lo Sam.
"Aku setuju...! Tapi bagaimana dengan muridnya yang bernama Balawa dan dua gadis yang telah dijadikan makhluk jahat menyerupai ular itu? Mereka pasti akan melakukan rencana jahatnya membunuh Adipati dan mengacau Kota Raja. Paman Lo Sam telah mengetahui rencana mereka bukan?"
"Benar! Mereka memang punya rencana jahat! Akan tetapi lebih jahat lagi adalah manusia bernama Wiku Ampyang. Karena dialah manusia yang menjadi sumber kejahatan mereka..,!" sahut Lo Sam.
"Apakah sebaiknya kita bersama-sama menumpas si Balawa murid Wiku Ampyang itu terlebih dulu, kemudian mengejar kakek iblis itu! Bukankah dia pasti pergi menuju ke lubang sumur Jalatunda yang telah kau ketahui tempatnya?" berkata Nanjar memberi pendapat.
"Hehe.. Dewa Linglung! Pendapatmu salah! Menumpas kejahatan harus biangnya terlebih dulu! Sama seperti membunuh ular atau binatang berbisa, harus kepala dulu baru ekor!” laki-laki asing ini menjelaskan pada Nanjar.
Dewa Linglung jadi tersipu sambil garuk-garuk tengkuk. "Haha... kau benar, paman Lo Sam! Mari kita kejar iblis tua itu!" kata Nanjar sambil berkelebat terlebih dulu.
Laki-laki tua dari gurun Go Bi itu berkelebat menyusul. Gerakannya sangat cepat, bagaikan angin yang melintas. Dalam waktu beberapa kejap saja kedua sosok tubuh berkepandaian tinggi itu telah lenyap tak kelihatan lagi...
WIKU AMPYANG melompat turun ke sumur Jalatunda. Kakek ini merasa hatinya kurang tenteram dan berpirasat buruk. Dia tak langsung memasuki goa tempat berdiamnya, akan tetapi menuju kesebelah kiri goa yang tak berjauhan dengan empat buah goa didalam sumur raksasa itu.
Setelah menurunkan Manisari, kemudian merapal mantera dengan mulut berkemak-kemik. Selang tak lama dinding batu dihadapannya mendadak mengepulkan asap putih tipis. Dan tahu-tahu terlihat sebuah lubang goa kecil diantara kepulan asap kabut.
Dia perintahkan gadis itu memasuki lubang goa rahasia tersebut, kemudian kembali merapal mantera. Goa tersebut secara aneh kembali lenyap tak berbekas, seolah-olah cuma dinding batu tanpa lobang... Itulah sebuah penjara rahasia yang hanya dipergunakan bila dalam keadaan yang sangat diperlukan untuk menyembunyikan diri atau tawanannya.
Kemudian dengan bergegas dia memasuki goa khusus yang digunakan sebagai kamarnya. Dalam ruangan ini dia menyiapkan sebuah pedupaan. Lalu membakar kemenyan dan rempahrempah. Sebentar saja asap berbau kemenyan segera terendus hidung. Pedupaan itu diletakkan di atas tengkorak manusia. Dan dia duduk bersila di hadapan pedupaan tersebut.
"Aneh! Naluriku mengatakan bahwa ada orang yang tengah mengejarku... Siapakah dia?" berkata Wiku Ampyang dalam hati. Namun segera mengkonsentrasikan diri untuk mendapat petunjuk lebih jelas.
Lewat sepenanak nasi, tampak keringat memenuhi dahi laki-laki tua ini. Sesaat dia membuka matanya. Bibirnya mendesis. "Aneh! Gelap pekat! Aku tak melihat apa-apa sedikitpun! Hal ini baru sekali ini aku rasakan..."
Mendadak telinganya lapat-lapat mendengar suara kelenengan dikejauhan. Makin lama suara kelenengan semakin jelas terdengar dan tampaknya semakin mendekati permukaan sumur Jalatunda.
Saat itu juga tampak wajah Wiku Ampyang berubah agak pucat. Tiba-tiba dia merobah sikap duduknya. Kini kedua lengannya terangkat ke arah pedupaan. Sementara bibirnya tiada henti merapal mantera.
BHUSSS...!
Mendadak asap pedupaan seperti meletup dan menimbulkan asap hitam bergulung-gulung. Suara kelenengan semakin jelas ditelinga Wiku Ampyang, dan semakin cepat pula kakek ini membaca mantera-mantera. Asap hitam yang bergulung-gulung kian lama kian bergumpalan didalam kamar.
Tiba-tiba terjadilah keanehan. Asap hitam itu berubah menjadi berates-ratus kelelawar. Dalam waktu tak lama ratusan kelelawar itupun beterbangan keluar dari kamar dengan suara riuh mencicit-cicit, dan menebar keluar dari dalam lubang sumur itu.
Pada saat yang sama diluar sumur Jalatunda tampak dua sosok tubuh berjalan cepat merambah semak belukar. Mereka tiada lain dari si laki-laki tua Lo Sam dan si Dewa Linglung. Nanjar merasa aneh melihat Lo Sam membunyikan kelenengan terbuat dari perunggu yang dibawanya. Dan sambil berjalan cepat mendahului Nanjar sedikitpun tak pernah mengajak berbicara, karena mulutnya tiada berhenti membaca entah mantera apa.
Selang sesaat tampak dia menghentikan langkah. Kepalanya menengadah dengan mata yang setengah mengantuk itu agak terbuka lebar. Terkejut Nanjar ketika melihat ratusan kelelawar diangkasa bagaikan segumpalan awan hitam yang terlihat olehnya.
"Bersiaplah untuk menghadapi serbuan kelelawar ciptaan Wiku Ampyang, sobat Dewa Linglung!" berkata Lo Sam.
"Kelelawar ciptaan? Ah, berarti kita telah hampir tiba dilubang sumur Jalatunda?" sentak Nanjar.
"Benar! Sumur Jalatunda telah tak jauh di depan kita! Agaknya iblis tua itu telah mengetahui kedatanganku..!" tukas Lo Sam.
Laki-laki asal gurun Go Bi itu simpan kelenengannya, lalu keluarkan sebuah kebutan berwarna kuning dari balik jubah. Kemudian berkelebat ke arah depan. Nanjar segera mengikuti dengan hati kebatkebit. Namun diapun telah siap untuk menghadapi apa yang bakal terjadi.
Suara cicit memekakkan telinga dari ratusan kelelawar itu membuat kelengangan jadi sirna. Mendadak ratusan kelelawar yang menghitam bagai gumpalan awan itu menukik ke bawah ke arah mereka. Lo Sam keluarkan bentakan keras. Kebutannya mengibas ke udara. Cahaya kuning membersit, menyambar ke arah gerombolan kelelawar yang menyerbu itu.
Bhusss! Bhusss...!
Ketika cahaya kuning itu menerpa, maka terjadilah letupan-letupan yang menimbulkan suara bagai bara yang dicelupkan ke dalam air. Puluhan kelelawar lenyap berubah jadi gumpalan asap hitam. Namun ratusan kelelawar lainnya menyerbu.
Nanjar tak berlaku ayal untuk menghantam dengan pukulan-pukulan Inti Api. Setiap kali serangannya dilontarkan ke udara, puluhan kelelawar lenyap berubah jadi gumpalan asap hitam. Sibuklah kedua pendekar itu menghadapi serbuan binatang-binatang ciptaan itu.
Udara dipenuhi asap hitam, dan entah beberapa ratus kelelawar yang terhembus hangus dan lenyap jadi gumpalan asap oleh pukulan dan hantaman kebutan aneh Lo Sam. Nanjar tak sabaran lagi, karena kelelawar ciptaan seperti tak ada habisnya. Detik itu juga dia cabut pedang mustika Naga Merah dari sarungnya.
Cahaya lantas saja menyambar-nyambar dahsyat diudara bagaikan amukan seekor naga kecil yang menghalau buyar asap hitam tersebut. Dalam waktu tak lama semua asap hitam lenyap tak berbekas. Langit menjadi bersih seperti sedia kala.
"Bagus! Mari kita gempur manusia iblis penyebar bala itu!" teriak Lo Sam dengan girang. Lalu mendahului berkelebat. Dewa Linglung masukkan lagi pedang mustika Naga Merah ke dalam serangka, lalu berkelebat menyusul dengan bersemangat.
Pada saat itu Wiku Ampyang telah melompat keluar dari dalam goa. Kepalanya mendongak menatap ke permukaan sumur. Mendadak wajahnya berubah memucat, karena tak melihat seekorpun kelelawar berada diudara. Di saat itulah tiba-tiba terdengar bentakan nyaring diiringi berkelebatnya dua bayangan.
"Iblis tua Wiku Ampyang! Kau tak dapat lolos dari hukuman karena telah mencuri kitab sesat, dan menyebar kericuhan!"
Tahu-tahu dihadapannya telah berdiri dua sosok tubuh. Yang satu adalah seorang pemuda baju gombrong berwarna putih, dan seorang lagi adalah laki-laki tua bermata seperti orang mengantuk. Laki-laki tua jubah kuning yang mencekal kebutan itulah yang membuat dia tersentak kaget.
"Paderi gurun Go Bi, si Dewa Mengantuk, Lo Sam...! Edan! Angin apa yang telah meniupnya sampai ke wilayah tanah Jawa ini?" sentak Kakek ini dalam hati. Diam-diam hatinya mencelos, karena tahulah dia kalau dirinya dalam bahaya besar. Namun dengan tertawa terkekeh menutupi kerisauan hatinya, dia berkata.
"Hehe..hehe... bagus! Keledai gundul jauh-jauh datang dari gurun Go Bi agaknya mau minta mampus di negeri orang!?"
"Hehe..hehe..! Bukan mau minta mampus di negeri orang, tapi mau menggebuk pantat setan tua gundul yang tepos, dan menggantung jerangkongnya di dasar lubang ini untuk tumbal para iblis!" Nanjar menyahuti kata-kata Wiku Ampyang sambil menirukan suara tertawa si kakek.
"Hm, apakah bocah sinting ini muridmu, Lo Sam?" Wiku Ampyang menunjuk pada Nanjar dengar mata melotot karena dirinya disebut setan tua pantat tepos.
"Haha... matamu ternyata cuma digunakan untuk melihat perempuan cantik, Wiku Ampyang! Apakah kau tak mengenali dirinya? Dialah seorang pendekar muda yang gelarnya telah menggemparkan seantero pulau Jawa dan mendapat tempat terhormat dimata para pendekar gagah penegak keadilan!"
Nanjar mau membuka mulut untuk memotong kata-kata Lo Sam. Tapi orang tua dari gurun Go Bi itu telah meneruskan kata-katanya.
"Dialah seorang tokoh muda yang bergelar si Pendekar Naga Merah, dan mendapat julukan si Dewa Linglung!"
Tentu saja penjelasan Lo Sam membuat Wiku Ampyang diam-diam hatinya tersentak kaget. Gelar dan nama julukan pendekar aneh itu memang pernah di dengarnya, tapi dia cuma menganggap sebagai kabar angin yang digembor-gemborkan orang saja. Sudah tidak aneh, kalau dipihak golongan putih ada nama yang menonjol selalu didewa-dewakan orang. Bagi dirinya yang tak tahu urusan orang selain urusannya sendiri, hal itu dianggap angin lalu.
"Heh! Segala nama kosong tak berarti!" berkata dingin Wiku Ampyang. "Kalian telah datang menyatroni aku disumur Jalatunda jangan harap bisa keluar lagi dengan keadaan hidup! Dan kau Lo Sam! Apakah kau mau meminta kitab sesat yang aku dapatkan dengan susah payah dari tangan BOW SIANG KEK? Hm, kitab itu telah aku musnahkan, namun isi kitab sesat itu telah pindah ke dalam otakku! Jangan mimpi untuk kau bisa pulang ke negerimu dengan masih bernyawa! Dan kau bocah sinting! Nama besarmupun akan terkubur dilubang Jalatunda!" berkata Wiku Ampyang dengan tertawa terkekeh.
"Bagus! Aku tak perlu memusnahkan kitab sesat itu lagi, cukup dengan melenyapkan nyawa iblismu, Wiku Ampyang! Bow Siang Kek ditanah leluhur kami telah ditumpas. Namun kami tak akan biarkan pewarisnya hidup untuk menyebar bala dimanapun dia berada!" bentak Lo Sam dengan tetap bersikap tenang.
Diam-diam Wiku Ampyang terkejut mendengar berita mengenai kematian orang yang tak lain adalah gurunya, karena ilmu-ilmunya telah disadap dengan mendapatkan kitab sesatnya. Namun keangkuhan hatinya tetap membuat dia besar kepala. Karena memikir bahwa selain ilmu-ilmu sesat itu, dia juga menguasai ilmu kedigjayaan yang dapat membuat tubuhnya kuat dan kebal dengan macam senjata tajam.
"Tak perlu banyak bacot, Lo Sam! Kau hadapi ilmuku!" bentak Wiku Ampyang. Sambil membaca mantera-mantera, kakek ini silangkan lengan ke depan. Segumpal uap biru tersembul dari ujung lengan. Tahu-tahu lengannya telah mencekal sebuah tongkat ular hidup berkepala dua. Ular aneh bersisik biru itu mengangakan mulutnya menampakkan taringtaring yang runcing tajam.
Sementara itu, Manisari yang disekap didalam goa ghaib, tengah berusaha melepaskan diri. Mata gadis ini yang berkaca-kaca menatap ke sekitar ruangan dinding batu dan lembab. Hatinya bergidik dan tersentak kaget ketika memperhatikan disekitar dinding penuh dengan ratusan kala, kelabang dan binatang berbisa lainnya.
"Celaka..! Aku tak dapat meloloskan diri. Tapi... tapi aku harus mencari jalan keluar dari tempat terkutuk ini..." berkata Manisari dalam hati. Lama dia tertegun dan berpikir keras mencari jalan keluar. Tapi sekeliling lubang berdinding batu itu tak ada sebuah lubangpun yang dapat dimasuki untuk pergi dari ruang celaka itu.
Saat itu lapat-lapat telinganya mendengar suara kelenengan yang terdengar sangat aneh. Namun suara itu lenyap ketika terdengar suara bergemuruhnya kepak sayap dan suara mencicit seperti suara ratusan kelelawar. Suara itupun kemudian lenyap. Kini yang didengarnya adalah bentakan-bentakan keras yang dibarengi sesekali oleh suara bergoncangnya dinding dalam lubang, tempat dia disekap.
Manisari terkejut. Tapi hatinya diam-diam girang, karena dia menduga telah terjadi pertarungan dilubang sumur Jalatunda. "Tentu yang muncul dilubang ini adalah orang yang mengintai dinding rumah ditepi sungai itu. Hei, apakah bukan si pemuda penunggang kuda itu? Jangan-jangan dia... Tapi tampaknya seperti ada dua orang yang menyatroni ke tempat ini... " berkata dalam hati gadis ini.
"Hm, bodoh aku! Mengapa tak kugunakan ilmuku untuk keluar dari tempat celaka ini?" sentaknya. Seketika pikirannya menjadi jernih. Dan Manisari tampak merapal mantera-mantera. Sesaat antaranya tubuhnya lenyap, dan berubah menjadi seekor ular.
Ternyata dengan merubah diri sedemikian rupa, dengan mudah dia dapat menemukan sebuah lubang kecil diantara sela dinding batu. Dan tanpa menemukan kesukaran dia berhasil meloloskan diri dari dalam goa tersebut. Setiba diluar goa, segera tampak olehnya Wiku Ampyang tengah bertarung seru dengan seorang laki-laki tua berjubah kuning. Sedangkan seorang lagi cuma berdiri merapatkan punggungnya ke dinding batu tak turut melibatkan diri dalam pertarungan. Manisari segera mengenalinya.
"Ternyata benar dugaanku! Dialah pemuda berkuda yang mau mengantarkan aku akan menemui uwa Balawa..." Manisari memikir keadaan sangat menguntungkan, selagi Wiku Balawa bertarung, dia berniat melarikan diri dari dalam sumur itu. Maka tanpa merubah diri segera dia merayap, mencari jalan keluar menuju permukaan sumur Jalatunda.
Di saat itulah si Dewa Linglung teringat untuk mencari gadis bernama Manisari itu. Ternyata disaat itu pula Lo Sam mengirim suara padanya, mengingatkan agar mencari gadis itu, sementara dia tengah melayani Wiku Ampyang.
"Cepat kau cari gadis itu, sobat Dewa Linglung! Biar aku menghadapi iblis tua bangka ini!"
Nanjar segera berkelebat memasuki goa dibelakangnya. Satu persatu diantarnya ke empat goa yang terdapat dilubang itu diperiksanya. Tapi dia tak menjumpai Manisari. Kini tinggal lagi goa tempat Wiku Ampyang yang belum lagi diperiksanya.
Di saat Nanjar tengah putarkan pandangan mata ke sekeliling lubang, terlihatlah olehnya seekor ular yang meluncur cepat merayap dinding batu menuju ke permukaan lubang. Hati si Dewa Linglung tercekat. "Ular..!? Apakah ular biasa atau penjelmaan gadis itu..?" sentak Nanjar dalam hati.
Sementara itu pertarungan antara Wiku Ampyang dengan Lo Sam si pendekar asing dari gurun Gobi tengah berlangsung seru. Wiku Ampyang mengerahkan segenap ilmunya untuk membunuh lawannya. Tongkat ular hidupnya menyambar-nyambar dahsyat! Setiap sambaran diiringi meletupnya uap hijau berbau amis dari dua mulut ular yang menganga. Akan tetapi Lo Sam dengan kebutan anehnya dapat menolak serangan lawan dan membuat buyar uap hijau beracun itu.
Mendadak Wiku Ampyang membentak keras. Tongkat ular berkepala dua mendadak lenyap. Manusia berilmu iblis ini perdengarkan suara tertawa terkekeh yang memekakkan telinga. Suara yang punya pengaruh hebat itu dibarengi dengan munculnya berpuluh-puluh sosok tubuh kakek itu, membuat Lo Sam terperanjat kaget.
Dan secara serentak puluhan manusia ciptaannya itu menerjangnya. Repotlah Lo Sam dibuatnya, karena tak mengetahui lagi mana lawan yang asli dan mana lawan yang palsu. Disamping dia harus berkelebatan menghindarkan serangan, juga telinganya dipenuhi suara tertawa yang menyakitkan anak telinga.
Nanjar yang sedianya akan mengejar ular yang dilihatnya merayap naik ke atas lubang, mendadak menahan niatnya. Telinganya mau tak mau mendengar pula suara tertawa Wiku Ampyang yang memukul-mukul gendang telinganya. Dan yang lebih terkejut adalah melihat sosok tubuh kakek itu telah berubah menjadi berpuluh-puluh banyaknya. Melihat demikian, Nanjar segera cabut pedang mustika Naga Merah, karena melihat Lo Sam tampak terdesak dan sangat memerlukan bantuan.
Cahaya merah membias udara. Belasan bayangan tubuh Wiku Ampyang yang mengurung Lo Sam buyar berpentalan ketika Nanjar dengan keras gunakan pedang mustikanya untuk membuyarkan kepungan pada Lo Sam. Namun gempuran Nanjar seperti tak berarti, karena sosok bayangan kakek itu seperti susul menyusul terus bermunculan.
Bahkan suara tertawa terkekeh yang menyakitkan gendang telinga terus bergema. Saat itulah Lo Sam melompat menjauh. Dia mengeluarkan kelenengan perunggu dari balik jubah. Kemudian menerjang maju sambil membunyikan alat aneh itu.
Suara kelenengan semakin nyaring menindih getaran suara tertawa Wiku Ampyang. Hingga lama-kelamaan suara tertawa kakek itupun lenyap. Tampak Wiku Ampyang melompat mundur. Tubuhnya yang berpuluh-puluh itu seketika lenyap, dan kembali menjadi seperti asalnya.
Napas Wiku Ampyang tampak tersengal-sengal. Wajahnya berubah membesi. Kemarahannya tak terbendung, karena dua ilmu yang di gunakannya berhasil dikalahkan lawan. Diam-diam dia mulai memikirkan untuk melarikan diri. Tapi tiba-tiba teringatlah dia pada Manisari yang dikurung didalam goa ghaib.
Whuuuk!
Lengannya mengibas seraya diiringi membaca mantera. Uap putih tampak mengepul didinding batu yang terkena hantaman angin kibasan lengannya. Segera saja tersembul sebuah lubang didinding batu itu.
"Manisari! Cepat keluar dari situ, dan bantu aku menghadapi dua manusia tengik ini!" perintah si kakek dengan mengirim suara ke dalam lubang. Tapi setelah sekian saat ditunggu, tak ada seekor ular atau manusia yang muncul dari lubang itu.
Ketika dia menengadah ke atas lubang sumur, tampak olehnya seekor ular menggelantung dibatu menonjol. Tampaknya ular itu sangat keletihan. Dan ada darah menetes dari kepalanya. Tersentak hati Wiku Ampyang. Sekejap saja dia telah mengetahui siapa adanya ular itu.
"Bedebah! Rupanya kau mau meloloskan diri?" bentak kakek ini dengan suara berdesis marah. Mendadak lengannya bergerak. Dari telapak tangannya menyambar sinar biru...
BHLARRR!
Karena murkanya dia telah menghantamkan pukulan tenaga dalamnya untuk membunuh ular penjelmaan Manisari itu. Akan tetapi didetik itu cahaya merah dan kuning membias udara. Cahaya kuning menahan serangan maut si kakek, sedangkan cahaya merah menabas bagaikan kilatan lidah api menyambar batang leher manusia iblis itu. Terdengarlah suara...
BHLARRR..! DESS...!
Darah merah kehitaman memuncrat diudara. Tampak tubuh Wiku Ampyang terhuyung tanpa kepala, dan roboh terjerembab. Sedangkan buah kepalanya terlempar membentur ke dinding batu sumur Jalatunda. Dilain pihak tampak pula tubuh Lo Sam terhuyung beberapa langkah ke belakang. Kebutannya terbelah menjadi empat bagian, dan terlepas dari tangannya. Disudut bibir laki-laki asal gurun Go Bi ini tampak meneteskan darah.
Nanjar tertegun sesaat. Matanya menatap ke arah Wiku Ampyang yang tak bergerak-gerak lagi, kemudian beralih menatap pada Lo Sam. Mendadak dia melihat sesosok tubuh melayang dari atas lubang sumur. Dewa Linglung tersentak, karena melihat sosok tubuh seorang wanita. Itulah sosok tubuh Manisari, gadis yang tengah dicarinya.
Detik itu juga dia telah berkelebat. Dan nyaris saja terlambat beberapa detik. Dia sempat menyangga tubuh wanita itu dengan kedua lengannya. Sesaat lamanya suasana dalam sumur Jalatunda dicekam keheningan. Kedua pendekar itu saling berpandangan.
Nanjar tersenyum dan berkata lirih. "Kau tak apa-apa, paman Lo Sam...?"
"Syukurlah Thian masih melindungi jiwaku, dan kita berhasil menumpas terkutuk itu!" sahut Lo Sam sambil menyeka bibirnya yang mengalirkan darah rembesan dari mulutnya.
"Tipuannya sangat hebat dan licik! Dia sengaja menghantamkan pukulan maut ke arah ular padahal tujuannya adalah menggempur aku, karena dia sudah dapat menduga kalau aku akan menahan serangan pukulan mautnya. Untunglah, tenaga dalamnya masih berada setingkat dibawahku..." sambung Lo Sam dengan napas tersengal dan mulut agak menyeringai karena menahan rasa sakit pada dadanya. Tampak sebelah lengannya terkulai seperti tak bertenaga.
Nanjar letakkan gadis itu ke tanah, lalu keluarkan bungkusan kain dari balik baju. Dari dalam kain itu dia menjumput dua butir pel. Lalu melemparkan pada Lo Sam. Dengan heran Lo Sam menangkapnya.
"Telanlah! Untuk memulihkan tenaga dalammu...!" kata Nanjar.
"Hehe... terima kasih, Dewa Linglung! Ternyata kau juga seorang tabib yang hebat!" kata Lo Sam sambil tertawa.
Lalu menelan kedua butir pel itu. Sebutir pel juga dijejalkan ke mulut gadis yang tergolek pingsan tak sadarkan diri itu. Tampak dari sudut bibir Manisari juga mengalirkan darah berwarna kehitaman. Juga tampak ada darah yang mengalir dari kedua lubang telinga, dan sedikit menetes dari lubang hidung. Ternyata dia terkena akibat dari suara tertawa Wiku Ampyang yang bertenaga dalam tinggi.
"Tugas kita belum lagi selesai, Lo Sam! Kita harus cepat ke Kota Raja! Dugaanku si Balawa murid kakek iblis ini tentu tengah membuat keonaran disana bersama dua makhluk ciptaan dari dua murid perempuan manusia iblis ini!" berkata Nanjar.
"Benar! Tapi tak seberapa berbahaya. Dan dugaanku dua makhluk ciptaan Wiku Ampyang telah kembali ujud seperti asalnya!"
"Kalau begitu, kuserahkan gadis ini padamu. Tolong kau rawat dia, sekalian kau beristirahat untuk memulihkan tenaga dalammu...!"
Lo Sam terdiam sejenak. Tapi segera menyahut. "Baiklah! Aku setuju...! Tapi..." katanya sambil menatap pada Manisari. "Tampaknya gadis ini tak akan dapat kembali normal lagi!" sambung Lo Sam dengan menghela napas.
"Mengapa? Maksudmu mengenai keadaan lukanya?"
"Benar! Seandainya dia sembuh dari luka dalamnya, dia akan menjadi seorang yang tuli dan bisu. Karena gendang telinganya telah pecah, dan urat suaranya putus akibat tertawa Wiku Ampyang yang mengandung kekuatan hebat itu..."
Sesaat Nanjar tertegun. Kemudian turut menghela napas. Lalu berkata. "Gadis malang bernasib buruk..." desis si Dewa Linglung.
"Paman Lo Sam! Aku akan segera ke Kota Raja! Kau rawatlah dia sebisamu...!" kata Nanjar. Lalu bangkit berdiri, dan setelah mengangguk pada Lo Sam yang membalasnya dengan manggutkan kepala, berkelebatlah si Dewa Linglung dari dasar lubang sumur Jalatunda. Lo Sam menatap kepergian pemuda itu dengan geleng-geleng kepala.
"Pemuda gagah berhati lurus! Semoga Thian melindungi dirimu..!" desisnya dengan suara perlahan.
DUGAAN SI DEWA LINGLUNG TERNYATA TEPAT. Balawa tengah membantai laskar Kadipaten, dengan dibantu dua makhluk ular ciptaan itu. Sayang dia datang terlambat. Karena telah banyak korban berjatuhan. Belasan prajurit kadipaten telah berkaparan dalam keadaan tewas. Terlihat pula tiga laki-laki berangasan yang bergelar Tiga Harimau dari Selatan telah menemui ajal.
Yang dijumpai Nanjar ketika muncul di Kadipaten adalah tengah terjadinya pertarungan Balawa dengan Raden Sura Banga. Dengan pedangnya tampak pemuda putera Adipati Kayoman itu menerjang laki-laki yang pernah dilihat Nanjar didalam pondok disisi sungai, ketika tengah membuntuti Manisari.
Empat orang prajurit kelas satu turut membantu Sura Banga. Ternyata keempat laki-laki hamba kerajaan ini orang-orang yang berani dan tak mengenal takut.
"Biarlah kami menghadapi manusia buronan ini, Raden! Sebaiknya Raden menolong ayahanda Raden dan gusti permaisuri!" kata salah seorang bersenjatakan klewang.
"Haha.. haha... kalian semua tak akan ada yang bisa selamat dari pembalasanku! Kedua manusia ularku akan membantai semua isi gedung Kadipaten!" berkata Balawa dengan tertawa tergelak-gelak.
"Manusia iblis keparat! Dosa apakah yang telah diperbuat keluarga kami dengan perbuatan terkutukmu?" bentak Sura Banga.
"Dosa apa? Hm, kau anak muda tak perlu tahu! Yang jelas kau harus segera kukirim ke neraka!" bentak Balawa dengan suara dingin. Bentakan itu diiringi dengan menyambarnya keris pusaka ditangan Balawa ke arah lambung Sura Banga.
Akan tetapi detik itu juga keempat perwira telah menghadang dan menangkis sambaran keris tersebut. Dua pedang yang digunakan menangkis terpental dibarengi suara teriakan terkejut dua perwira itu.
Di saat itulah keris Balawa kembali membias udara. Darah menyemburat ke udara... Dua perwira Kadipaten itu perdengarkan jeritan menyayat hati. Tubuh mereka berjungkalan roboh, dengan lambung dan leher terkoyak keris pusaka lawan.
Nanjar baru saja akan bergerak melompat untuk mencegah pertumpahan darah lebih banyak. Tapi saat itu tampak seorang wanita berlari-lari memasuki pintu gerbang Kadipaten, dan melangkahi mayat-mayat yang bergeletakan sambil berteriak-teriak.
"Kakang Balawa...! Hentikan perbuatan terkutukmu! Hentikan pertumpahan darah ini!"
Tentu saja teriakan itu membuat Balawa membalikkan tubuh. Wajahnya jadi berubah mengelam ketika mengetahui siapa wanita itu. "Resmini, mau apa kau datang kemari?" bentaknya dengan marah.
Dengan napas tersengal-sengal wanita yang tak lain dari Resmini, bekas istri kedua Adipati Kayoman ini berhenti didepan Balawa.
"Balawa! Mengapa kau membantai orang-orang Kadipaten? Kau... kau sungguh terkutuk telah mengorbankan anakku, keponakanmu sendiri untuk kepentinganmu...!" teriak Resmini dengan suara terisak.
"Keparat kau! Adipati Kayoman adalah orang yang telah membunuh Panjirono! Dia telah membunuh suamimu karena dia menginginkan kau!! Kau telah ditipu mentah-mentah olehnya. Kemudian memfitnah aku berkomplot dengan Barong Alas melakukan perampokan harta benda Kerajaan. Kalau aku membalas dendam karena hal itu, juga karena menebus sakit hatimu, apakah aku dapat disalahkan?" berkata Balawa dengan suara lantang.
"Bohong! Semua tuduhanmu palsu! Aku tak percaya! Semua kata-katamu dusta! Kau hanya menurutkan rasa iri dengkimu saja! Sejak lama kau menginginkan kedudukan sebagai Adipati! Ternyata kau tak lebih dari manusia busuk penyebar fitnah! Semuanya telah dijelaskan oleh Barong Alas...! Kaulah sebenarnya yang telah mengepalai perampokan itu!"
Saat itulah sesosok tubuh tampak berkelebat dari balik tembok gedung Kadipaten.
"Barong Alas...?" sentak Balawa dengan wajah pucat.
"Benar, Balawa! Aku Barong Alas yang pernah menjadi sahabat dan juga anak buahmu! Cukuplah kejahatanmu sampai disini saja, sobat! Sebenarnya aku tidak dihukum gantung, dan pula tak ada siksaan keji hingga membuatku menjadi seorang tanpa daksa, seperti yang kau katakan pada adikmu, Resmini!
"Aku telah dibebaskan oleh Kanjeng Adipati Kayoman, karena aku tak bersalah. Maafkan aku, kawan! Aku terpaksa berpura-pura menjadi anak buahmu karena aku tak dapat menghalangi keinginanmu untuk merampok harta benda Kerajaan! Namun secara diam-diam aku membelot, dan tak turut serta dalam perampokan itu.
"Tadinya aku tak akan mengatakan dimana tempat persembunyianmu, karena aku memandang kau bekas seorang sahabatku. Aku berharap kau sadar dan kembali menjadi orang baik-baik. Tapi, nyatanya kau menjebloskan keponakanmu sendiri pada seorang tokoh hitam sesat bernama Wiku Ampyang untuk tujuanmu yang lebih sesat lagi!
"Sayang aku terlambat memberi laporan pada Kanjeng Adipati! Dua makhluk ciptaan itu adalah bekas dayang-dayang kadipaten yang telah kau bujuk untuk bekerja sama denganmu, dan kau umpankan pada Wiku Ampyang hingga terjerat oleh ilmu iblis kakek cabul itu!" berkata Barong Alas dengan suara lantang.
Sesaat Balawa tertegun dengan muka berubah merah padam. Pada saat itulah muncul Adipati Kayoman dari ruang dalam dengan empat orang prajurit yang menggusur dua orang wanita. Dua wanita itu adalah Sariti dan Lelani. Ternyata dua manusia yang telah menjadi makhluk ganas yang telah membunuhi belasan prajurit itu telah kembali berubah menjadi manusia lagi.
Balawa menggerung keras dengan kemarahan tak berbendung. Kegagalan yang dialaminya tertumpah pada Barong Alas. "Manusia keparat! Sahabat palsu! Kau harus mampus ditanganku!" bentak Balawa dengan menggembor marah.
Keris ditangan Balawa menyambar ganas ke arah leher Barong Alas. Akan tetapi didetik itu pula sebutir batu kerikil telah meluncur cepat bagaikan kilat menyambar ke arah keris yang berkelebat itu.
Trang!
Keris ditangan laki-laki ini terpental. Dan sesosok tubuh berkelebat muncul di hadapan Balawa. Sebelum laki-laki yang tersentak kaget itu menyadari hal selanjutnya, tahu-tahu dia mengeluh pendek dan terjatuh dengan berlutut. Balawa tak mampu mengelakkan gerakan totokan lengan sosok tubuh yang muncul dihadapannya. Tahu-tahu dia merasa kedua tulang lututnya nyeri luar biasa, dan kedua lengannya tak mampu digerakkan lagi hingga dia jatuh dengan berlutut ditanah.
Ketika dia menengadahkan kepala, tampaklah seorang pemuda berambut gondrong, berbaju putih gombrong dengan sebuah guratan bergambar seekor Naga melingkar dibagian dada, tengah menatapnya sambil tersenyum.
"Balawa! Aku percaya Baginda Raja tak akan menghukum gantung padamu. Paling tidak kau dihukum seumur hidup! Terpaksa hal ini kulakukan agar kau bisa bertobat pada Tuhan didalam penjara untuk mencuci dosa-dosa yang telah kau lakukan...!" berkata si Dewa Linglung. Kemudian beranjak melangkah pergi.
Semua yang berada ditempat itu jadi tertegun, karena tak mengetahui dari mana munculnya pemuda aneh itu. Sura Banga lah yang terlebih-lebih terkejutnya, karena mengenali pemuda gondrong itu yang telah pernah bertarung dengannya. Baru saja Nanjar akan berkelebat meninggalkan tempat itu, terdengar suara...
"Dewa Linglung! Haiyaaa...! Jangan pergi dulu! Tunggu aku...!"
Suara teriakan itu disusul dengan berkelebatnya sesosok bayangan kuning. Tahu-tahu didepan si pemuda gondrong telah berdiri seorang laki-laki tua bermata seperti orang mengantuk. Laki-laki ini memondong seorang wanita di atas pundaknya.
"Paman Lo Sam! Kebetulan kau datang. Serahkan gadis itu pada ibunya. Dan, mari kita pergi dari tempat ini...!" berkata Nanjar dengan tersenyum melihat munculnya orang tua itu.
Lo Sam putar pandangan matanya. Lalu tertuju pada Resmini. Tahulah dia kalau wanita itu adalah ibu anak itu. Karena Resmini dengan hati tercekat telah melangkah menghampiri. Cepat-cepat dia menurunkan Manisari dari pundaknya.
"Anakku...!" teriak Resmini sambil menghambur ke arah dara itu, yang sesaat jadi terlongong heran melihat dirinya telah berada dihalaman Kadipaten.
Ketika mendengar suara itu dan melihat ibunya, diapun menghambur ke arahnya. Dan, kedua ibu dan anak ini saling berangkulan dengan bertangisan. Saat itu Adipati Kayoman melangkah menghampiri. Manisari lepaskan diri dari dekapan ibunya. Matanya nyalang menatap Adipati Kayoman.
"Kau... kau telah..." bentak Manisari dengan mata penuh air mata.
Tapi saat itu Resmini cepat berkata. "Manisari, anakku! Semua persoalan telah selesai! Uwamu Balawa telah menebar fitnah keji! Semua ucapannya dusta! Dia telah di tangkap, dan akan mendapat hukuman dari segala perbuatannya! Hayo menghormat pada Kanjeng Adipati...!"
Akan tetapi Manisari hanya terpaku dengan mata membelalak menatap ibunya, lalu beralih pada Adipati Kayoman, dan terakhir menatap pada Balawa yang duduk berlutut dengan mata sayu menatapnya.
"Maafkan aku, Manisari... aku telah menanggung dosa yang amat besar. Kalau tidak karena kemurahan hati pendekar gagah itu, mungkin aku tak dapat menyesali segala perbuatanku. Aku siap menerima hukuman apapun yang akan kujalankan asalkan kalian semua memaafkan kesalahan, dan mengampuni dosaku..." kata Balawa dengan suara parau. Tampak sepasang matanya berkaca-kaca. Tak lama laki laki itupun menyembunyikan wajahnya dengan menunduk.
"Anakku, dan kau Resmini! Kalian semua kini boleh tinggal bersama-sama digedung Kadipaten ini, berkumpul lagi bersamaku...!" berkata Adipati Kayoman.
"Bagaimana dengan Kanjeng gusti ayu, istrimu?" tanya Resmini.
Adipati Kayoman menundukkan kepalanya, lalu menjawab lirih. "Dia telah tewas..."
Ketika itu Dewa Linglung dan si orang tua dari gurun Go Bi telah berkelebat pergi secara diam-diam, tanpa seorangpun mengetahui. Namun seorang pemuda yaitu Sura Banga sempat melihat kepergian dua orang pendekar gagah itu. Dia tak sempat untuk mencegah, karena kedua sosok tubuh itu telah lenyap bagaikan sekilasan angin lewat. Cuma menampakkan bayangan putih dan kuning saja yang berkelebat, dan tahu-tahu lenyap dari pandangan matanya. Diam-diam pemuda itu berkata dalam hati.
"Kiranya dialah si Pendekar Naga Merah, Dewa Linglung! Pantas kalau aku tak dapat mengalahkannya..."
Diantara deretan pohon Jati, jauh disebelah barat perbatasan Kota Raja, dua "Dewa" ini berjalan santai sambil bercakap-cakap.
"Eh, paman Lo Sam...! Katamu gadis itu akan menjadi tuli dan bisu, akan tetapi..."
"Haha... nasibnya ternyata tak seburuk yang ku duga. Agaknya Thian masih melindunginya. Karena gendang telinganya tidak pecah dan urat suaranya tidak putus. Darah itu keluar karena hawa panas, akibat getaran suara tertawa Wiku Ampyang! Lagi pula siapa yang akan menceritakan kematian manusia iblis tua itu, kalau gadis itu tak bisa bicara...?" potong Lo Sam sambil tertawa berderai.
Nanjar hanya tersenyum sambil menggaruk tengkuknya. "Betul paman Lo Sam! Dan ternyata tak semua kaum pembesar bertindak sewenang-wenang...!" kata Nanjar.
"Haiyaaa! betul katamu, Dewa Linglung. Kalau semua pembesar bertindak kejam dan berhati jahat mementingkan diri sendiri, lalu bagaimana negeri bisa makmur? Rakyat akan menderita, dan... wah, wah... sudahlah jangan mengaco bicara. Aku tak tahu segala macam urusan mengenai hal itu. Yang penting sekarang kita cari kedai nasi dulu, perutku dari pagi belum berisi makanan...!"
"Aha, betul paman Lo Sam! Mari kita cari kedai yang masakannya enak...!" sahut Nanjar sambil tertawa. Keduanya segera berkelebat dari tempat itu....