Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 07

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Seri Pertama, Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 07 Karya Stevanus S.P

Kaisar Cong-ceng sampai lupa martabatnya sebagi Kaisar, hampir saja ia berdiri dari kursinya karena kagumnya, selandainya ia bukan Kaisar tentu malah akan berdiri di atas kursi. Mulutnya melongo. Di ruangan itu diangapnya sudah tidak ada orang lain lagi kecuali perempuan muda yang muncul dari pintu samping itu.

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

Langkahnya lembut, kecantikannya cemerlang. Setelah menyembah Kaisar dengan gerak yang luar biasa cengkraman pesonanya, diapun bergabung denpan enam belas penari terdahulu, dan mulai menari.

Mata Kaisar Cong-ceng tak berkedip dari penari yang satu ini. Tadi sebelum dia muncul, keenambelas penari terdahulu nampak cantik, tapi sekarang mereka cuma nampak sebagai latar belakang belaka bagi si kembang jelita yang baru muncul ini. Kaisar Cong-ceng mabuk kepayang.

Ciu Kok-thio lalu mendekatkan mulutnya ke kuping menantunya itu dan bertanya berbisik, "Tuanku, bagaimana kalau dibandingkan dengan Tiau Kui-hui?"

Tidak ada jawaban, sukmanya sedang melayang-layang. Ia begitu terpesona oleh penari itu. Ciu Kok-thio tertawa dalam hati, ia bertukar pandang dengan Siangkoan Hi, dan seperti bertukar persetujuan bahwa siasat mereka kali ini ada harapan berhasil. Mereka akan merebut Kaisar dari tangan Co Hua-sun, tidak dengan kekuatan pasukan bersenjata, tapi dengan kecantikan seorang perempuan.

Kemudian Ciu Kok-thio mengulangi pertanyaan tadi kepada Kaisar dengan suara lebih keras, "Tuanku, bagaimana kalau ditandingkan dengan Tiau Kui-hui?"

"Eli... ya... eh, apa?" Kaisar tergagap. Terpaksa Ciu Kok-thio harus mengulang lagi, biarpun sungkan kepada Co Hua-Sun yang telah melotot ke arahnya. "Tuanku, bagaimana dia kalau dibanding kan dengan Tiau Kui-hui?"

"Hem, dia menang jauh dalam segala-galanya."

"Dia siapa? Penari itu atau Tiau Kui-hui?"

"Sudah tentu... penari itu."

"la seorang yang patut dikasihani. la seorang gadis desa yang dipaksa dikawinkan, setengah di jual oleh kakak sepupunya sendiri kepada seorang pemuda dari Soh-ciu. Ternyata suaminya adalah seorang pemalas yang tidak bertanggung jawab, ketika kehabisan uang karena judi, hampir saja isterinya dijual ke tempat pelacuran. Tapi berhasil diselamatkan oleh orang-orang hamba yang kasihan melihat nasibnya."

Biarpun Kaisar Cong-ceng mengangguk-angguk, sesungguhnya penjelasan mertuanya itu terdengar hanya seperti serentetan bunyi tanpa makna. Mana mungkin Kaisar memperhatikannya selagi seluruh perhatiannya tercurah kepada si penari cantik?

"Kalau Tuanku menghendaki, dia bisa hamba suruh ke istana."

Kata-kata inilah yang membuat Kaisar menoleh kepada mertuanya dan mencari penegasan, "Benar?"

"Tentu saja benar, Tuanku."

"Gak-hu, kau tidak menyukainya?"

Ciu Kok-thio tertawa pelan, "Ah, Tuanku, hamba sudah terlalu tua untuk urusan macam itu. Yang terpikir oleh hamba sekarang hanyalah membahagiakan Tuanku, agar Tuanku berhasil menjalankan pemerintahan dengan jiwa dan semangat yang segar."

"Kalau begitu, kirim dia ke istana secepatnya."

"Hamba berbahagia sekali bila tuanku berkenan menerima persembahan hamba."

Namun Co Hua-sun yang sejak tadi hanya mendengar dengan hati yang panas, tiba-tiba tak dapat menahan kata-katanya lagi, "Ampun Tuanku, hamba rasa kurang pantas kalau seorang perempuan yang diambil dari rumah pelacuran tiba-tiba dibawa ke istana. Itu akan nembual malu seluruh keluarga kerajaanan."

Cepat-cepat Ciu Kok-thio menyanggah, "Harap Kong-kong tidak salah dengar penjelasanku tadi. Perempuan itu belum sampai menjadi pelacur karena orang-orangku di Soh-ciu cepat-cepat menebusnya demi rasa kemanusiaan."

"Nah, Kok-thio, sekarang ketahuan niatmu." sergah Co Hua-sun. "Kau menebusnya di Soh-ciu lalu dibawa jauh-jauh ke Pak-khia ini, dipamerkan kepada Sri Baginda, apa maksudmu d ibalik semua ini?"

Ciu Ko-thio pun tertawa dingin, "Harap Kong-kong tidak menganggap diriku sebagai orang yang suka memanfaatkan kecantikan perempuan untuk meraih kekuasaan dan pengaruh."

Dalam kata-kata itu terkandung sindiran kepada Co Hua-sun, kontan membuat wajah si pemimpin kaum thai-kam itu merah padam. Bibir Co Hua-sun sudah gemetar dan siap mendamprat, namun Kaisar Cong ceng mendahului berkata dengan keras,

"Aku di sini mau menikmati arak dan tarian, bukan pertengkaran!"

Co Hua-sun dan Ciu Kok-thio Lalu sama-sama bungkam. Namun Ciu Kok-thio yakin bahwa rencananya akan berhasil. Ia tahu Kaisar mulai tertarik kepada penari itu. Berarti ada harapan untuk menyingkirkan Tiau Kui-hui dari samping Kaisar, yang berarti juga melepaskan Kaisar dari pengaruh Co Hua-sun.

Sedangkan Co Hua-sun mulai merasa posisinya terancam. Pesta itu tak dapat dinikmatinya, sebab olaknya sedang berputar keras mencari jalan untuk menyelamatkan posisinya. Namun baik Co Hua-sun maupun Ciu Kok-thio sama-sama bungkam.

Seiring dengan musiknya, penari, Soh-ciu itu melontarkan puncak pesonanya yang membuat Kaisar Cong-ceng sampai seperti orang linglung. Justru di saat-saat puncak itulah musiknya malah melembut suaranya, para penari beriringan masuk dengan gerakan gemulai seperti mega terbawa angin.

Kaisar Cong-ceng masih-menatap pintu samping yang tirainya masih bergetar lembut, dimana ketujuh belas penari tadi baru saja menghilang. Kalau saat itu Kaisar ditanyai sedang sadar atau sedang mimpi, tentu sulit menjawabnya. Suara tepuk tangan yang meledak di ruangan itulah yang menyentak Kaisar dari lamunannya, lalu diapun ikut bertepuk tangan, bahkan paling keras. Sementara macam-macam komentar berhamburan di ruangan itu untuk taraan tadi.

"Tarian langit!"

"Tarian para bidadari!"

Dan macam-macam lagi. Di ruangan itu tak seorangpun tahu bahwa si penari cantik melangkah ke dalam dengan perasaan pedih. Perasaan yang tadi harus disembunyikan dalam-dalam di balik wajah cerahnya dan keindahan tariannya. Namun kepedihan yang tak menemukan jalan keluar itu menghantam ke bagian dalam jiwanya, mengiris hatinya dengan kejam.

Ia merasa, betapa sejak memasuki bahtera perkawinan maka yang didapatinya malahan hanya malapetaka demi malapetaka. Dipaksa menikah dengan laki-laki yang tidak dicintainya, pria pemalas yang ternyata tidak bertanggung jawab, dan hampir saja menjual dirinya ke tempat pelacuran di Soh-ciu. Ketika itulah muncul orang-orangnya Ciu Kok-thio yang sedang ditugaskan oleh majikan mereka untuk berkeliling negeri, mencari perempuan yang bisa mengungguli kecantikan Tiau Kui-hui.

Maka Tan Wan-wan, isteri yang malang itu, tertolong dari rumah pelacuran, namun pertolongan itu ada pamrihnya. Tan Wan-wan diboyong ke Pak-khia, dan ia tahu kalau kecantikan dan tubuhnya hanya akan digunakan sebagai "alat politik" bagi Ciu Kok-thio. Tan Wan-wan merasa kemanusiaannya direndahkan, dirinya hanya dianggap barang yang bisa dipindah-tangankan semaunya, semuanya begitu leluasa berlangsung atas dirinya.

Karena itulah ia tidak gembira ketika dibalik pintu ia disambut seorang perempuan setengah baya yang langsung menghamburkan pujian, "Hebat sekali tarianmu, Nona Wan-wan. Kaisar nampaknya terpesona sekali olehmu."

Perempuan itu seorang abdi digedung kediaman Ciu Kok-thio. Sejak Tan Wan-wan datang dari Soh-ciu, ialah yang meladeninya dan mengajarinya dalam banyak hal agar kelak tidak mengecewakan kalau "dihadiahkan" kepada Kaisar. Tapi perempuan setengah baya itu sekaligus juga mengawasi agar Tan wan-wan tidak bertindak di luar rencana. Tarian malam itu memang amat memuaskan, maka perempuan itu gembira membayangkan akan mendapat mendapat hadiah besar dari Ciu Kok-thio.

Tan Wan-wan tidak menggubris pujian perempuan yang dipanggilnya bibi Siok itu. la berjalan melewati Bibi Siok, terus ke kamarnya sendiri di halaman belakang, di samping sebuah kolam ikan emas. Bibi Blok terus mengikuti Iangkahnya sambil tak henti-hentinya menyerocos,

"...Nona wan-wan, ketahuilah bahwa keberuntungan besar sudah tinggal beberapa langkah di depanmu. Nona sadar tidak? Kaisar senang kepadamu, nona akan diambil oleh istana! Oh. sungguh, ini keberuntungan yang oleh gadis gadis lain diimpikan saja tidak berani! Tapi kuharap kelak Nona Wan-wan tidak lupa kepada jasa Cu-jin (majikan ) kami yang telah menolongmu dari Soh-ciu. Juga jangan lupa kepadaku lho."

Tan Wan-wan bergegas masuk ke kamarnya. Disitulah ia tumpahkan kesedihannya dengan menelungkupkan wajahnya di meja. Bibi Siok yang menyusulnya-pun tertegun di ambang pintu. Heran, akan mendapat "keberuntungan besar" kok malah menangis sesedih itu?

Pelan-pelan ia melangkah masuk lalu memegang pundak Tan Wan-wan dari belakang, lembut, seolah yang disentuh nya adalah sebuah boneka yang begitu indah, namun juga begitu rapuh. "Nona Wan-wan, kenapa menangis?"

Penari cantik itu terus menghabiskan tangisnya tanpa memberi jawaban, melegakan perasaannya. Kemudian suara tangisnya mereda pelan, guncangan pundaknya berhenti. "Nona Wan-wan..." kembali bibi Siok memanggil.

Tan Wan-wan mengangkat wajahnya, menunjukkan wajah maha indah yang kini justru basah air mata, "Bibi Siok, benarkah aku perempuan yang paling beruntung? Benarkah?"

"Itu jelas. Kalau Nona di istana, kemungkinan bisa diangkat setidak-tidaknya menjadi Selir Kaisar, bisa mendapat kekuasaan besar. Bagaimana bisa dibilang tidak beruntung?"

"Tidakkah aku ini sebenarnya seorang yang paling malang?"

"Lho, kenapa bicara macam itu?"

"Sebab aku ini dianggap bukan manusia, hanya barang. Diambil dan dilepas semaunya, seakan aku tidak punya kehandak sendiri. Apakah nasib seperti itu dikatakan beruntung? Tidakkah lebih beruntung seorang gadis jelita, yang biarpun miskin tapi bisa memilih sendiri calon suaminya, melahirkan dan mengasuh anak-anaknva, dan hidup bahagia dengan keluarganya tanpa ada yang memaksakan kehendak?"

Bibi Siok mengaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal, bingung mencarikan jawaban. Celaka kalau sampai Tan Wan-wan tiba-tiba nekad membangkang dan tidak mau dikirim ke istana, majikannya bisa marah besar kepadanya.

Setelah beberapa saat kebingungan, tiba-tiba ia menemukan jawaban yang dijiplaknya dari tukang-tukang cerita pinggir jalanan, "Kehendak kita dan garis nasib saling membelit, Nona Wan-wan. Kadang nasib yang lebih kuat, sehingga kehendak kita tak berdaya mengatasinya. Namun ada saat kehendak dan rencana kita sendirilah yang sepenuhnya menentukan apa yang akan kita alami, bukan arus nasib.

"Kalau kita waspada melihat kapan kita harus pasrah nasib, dan kapan lagi berontak menyalakan kehendak di saat yang tepat, kita bisa mencapai kejayaan di masa depan. Ingat lah riwayat Bu Cek-thian Setelah suaminya, Kaisar Li Si-bin mangkat, ia hampir tak berdaya di bawah tekanan nasib. Dia diharuskan menghabiskan umur sehagai biarawati di kuil kerajaan, padahal saat itu ia masih muda dan cantik.

"Namun biarpun ia kelihatan hanyut oleh nasib buruk, ia mencari kesempatan. Ia berhasil keluar dari kuil dan memikat Kaisar Ko-cong, dan akhirnya menguasai kekaisaran dalam genggamannya.

"Dialah searang Kaisar wanita pertama dalam sejarah Cina. Coba dia putus asa sewaktu dirundung nasib buruk, pasti sejarah dinasti Tong takkan berhias wanita seperkasa dia. Pastilah dia hanya akan menghabiskan umurnya dengan menangis saja di dalam kuil kerajaan. Contohlah semangatnya, Nona Wan-wan"

Kisah Bu Cek-thian memang dikenal luas, tukang-tukang cerita upahan yang sering membawakannya. Kadang dibumbui sedikit "filsafat jalanan" yang kadang dapat menghibur orang-orang yang berpi ir tak terlalu mendalam.

Kini Tan Wan-wan mendengarnya pula dan cukup terhibur. Tangisnya sudah reda, namun kesedihannya belum lenyap sama sekali, la ingin menumpahknn isi hatinya kepada Bibi Siok yang selama ini bersikap cukup baik kepadanya, biarpun dengan pamrih mendapat hadiah dari Ciu Kok-thio.

"Bibi, hidupku nmang cuma rentetan kesedihan. Setelah kuterima kabar bahwa lelaki yang kucintai gugur di peperangan, kedua orang tuakupun berturu-turut meninggal dunia. Oleh kakak sepupuku yang harusnya melindungi aku, malahan aku dijual kepada seorang pemuda tak bertanggung jawab dari Soh-ciu. Memang dia menikahiku, namun ketika uangnya habis di meja judi, diapun hampir menjual aku di rumah pelesiran. Dari sana aku ditolong, dibawa ke Pak-khia, dan di Pak-khia ini aku agaknya hanyalah sekeping mata uang untuk jual beli kepentingan-kepentingan orang-orang berkuasa."

Bibi Siok termenung, memang dia mata duitan, tetapi sebagai perempuan dia tersentuh juga hatinya oleh nasib salah seorang kaumnya ini. Namun bisa apa dia selain menghibur "Nona wan-wan, inilah saatnya dimana kehendakmu seolah ditenggelamkan oleh arus nasib yang amat kuat. Tapi tetaplah kuat, percayalah, ada saatnya arus nasib itu melemah atau bahkan tak terasa sama sekali. Itulah saatnya kau bangkit menentukan rencanamu sendiri, tapi kalau sekarang memberontak kepada garis nasib ya percuma. Tunggulah saatnya."

Tan wan-wan mengusap-usap matanya dan berusaha untuk tenang, Tanyanya kemudian, "Dimana Paman A-hok?"

"Ah, Nona, buat apa kau tanyakan mahluk aneh yang sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan manusia itu?"

"Di mana Paman A-hok?"

Yang ditanyakan Tan wan-wan adalah seorang abdi tua Ciu Kok-thio yang selama ini baik kepada Tan wan-wan, sehingga Tan Wan- wan sering merasa didampingi oleh ayah kandungnya sendiri. Seorang abdi tua yang berpikiran sederhana, tidak pintar berfilsafat, namun kehidupannya sehari-hari adalah "buku, filsafat" yang patut, disimak oleh semua orang.

Sikapnya terhadap diri sendiri, sikapnya terhadap orang lain, hampir memenuhi takaran yang oleh Khong Hu-cu disebut "manusia susila", Tan Wan-wan sering mendapat kesejukan jiwa dari ucapan maupun sikap si Paman A-hok ini. Sedang si Bibi Siok ini, anehnya tidak cocok dengan Paman A-hok sehingga menjulukinya sebagai "mahluk aneh'".

Namun karena Tan Wan-wan bertanya, terpaksa Bibi Siok keluar sebentar dari ruangan itu untuk menyusul seorang abdi yang lain dan berkata, "He, kau tahu dimana si mahluk aneh itu?"

"Di pondoknya.”

"Suruh kemari. Nona Wan-wan ingin bertemu dengannya.''

Namun Tan Wan-wan sudah menyusul berdiri di ambang pinlu dan berkata, "Tidak usah dipanggil, biar aku yang ke tempatnya."

Terus saja Tan Wan-wan melangkah menuju ke bagian belakang gedung besar itu. Bibi Siok cepat-cepat menyusul selolah menyambar sebuah lampion bertangkai untuk penerang jalan. Tan Wan-wan berhenti dan menoleh, "Tidak usah bibi mengikuti aku, sebab aku tidak mungkin melarikan diri. Jalanan di kota Pak-khia terlalu ruwet dan bercabang-cabang sekian banyaknya, aku tidak mau kesasar dan menjadi perempuan gelandangan."

Bibi Siok agak terperangah, namun ia tidak mau ambil resiko kaburnya Tan Wan-wan. Ia lalu berdalih, "Jalan ketempat si mahluk aneh itu harus melewati kebun, ada pula sumur yang pinggirannya licin, tempatnya gelap."

"Tidak apa-apa, akan kubawa lampion itu."

Merasa terdesak, akhirnya Bibi Siok terus terang, "Maaf, Nona, aku bisa dibunuh oleh Cujin kalau sampai Nona melarikan diri."

"Sudah kukatakan, aku tidak akan kabur karena takut kesasar di kota besar ini. Sini lampionnya."

"Maaf, Nona Wan-wan, kalau tidak mau lari, apa keberatannya kuantarkan?"

"Baiklah..." akhirnya Tan Wan-wan menyerah, namun masih menyindir juga, "Agaknya Bibi adalah bagian dari arus-nasib yang menenggelamkan aku, menghanyutkan tak terlawan."

Wajah Bibi Siok jadi kelihatan sedih, sahutnya sambil melangkah di belakang Tan Wan-wan. "Barangkali. Posisiku sebagai seorang abdi yang hanya menjalankan perintah tanpa berkuasa sedikitpun membantah, itulah arus nasibku. Nona paham bukan?"

Tan Wan-wan menyesal telah menyindir tadi, sehingga menyedihkan Bibi Siok yang selama ini begitu baik. Sesalnya diucapkan lewat pandang mata tanpa kata ketika ia menoleh sejenak kepada Bibi Siok. Keduanya melangkah beriringan.

Di halaman belakang gedung kediaman Ciu Kok-thio masih nampak penjagaan ketat prajurit-prajurit istana yang bersenjata terhunus. Maklum, keselamatan Kaisarlah yang dipertaruhkan. Namun Tan Wan-wan dan Bibi Siok dibiarkan lewat, malah beberapa prajurit bersuit kurang ajar untuk alamat Tan Wan-wan. Seorang prajurit mencoba menepuk pantat Tan Wan-wan, tapi yang kena pantat Bibi Siok yang sekokoh pantat Kerbau.

Setelah melewati tembok halaman belakang, pembatas kediaman Ciu Kok-thio dengan kebun sayur di belakang rumah, barulah tidak ada penjaga lagi. Kebun itu nampak gelap-gulita, namun di pojok kebun nampak kelap-kelip lampu di gubuk rumah A-hok. Biarpun orang itu sudah lama mengabdi kepada Ciu Kok thio, entah kenapa tidak suka tinggal di lingkungan dalam kediaman bangsawan itu, tapi lebih suka menunggui kebun dan sumur di belakang gedung itu.

Tan wan-wan dan Bibi Siok melangkah hati-hati di antara lajur-lajur pohon semangka, labu, kacang dan lain-lainya. Memang gelap, tapi lentera yang dibawa Bibi Siok cukup membnntu.

"Hati-hati, Nona Wan-wan, beberapa langkah lagi di sebelah kirimu ada sumur.”

Baru saja Bibi Siok memperingatkan begitu, tiba-tiba tengkuknya kena sambitan sebutir buah mentah yang entah dari mana arahnya. Diapun roboh tak sadarkan diri, lampion yang dipegangnya lepas dan hampir jatuh ke tanah. Hampir jatuh, namun tidak sampai jatuh, sebab sesosok tubuh muncul seperti hantu menyambar tangkai lampion itu.

Mendengar ada sesuatu dibelakangnya, Tan Wan-wan cepat-cepat memutar tubuh. Ia hampir saja menjerit ketika melihat tubuh Bibi Siok sudah rebah di antara pohon-pohon sayur, sedangkan lampionnya sudah dipegangi orang lain. Tapi ia batal menjerit, sebab pemegang lampion itu sudah dikenalnya.

Seorang laki-laki berusia kira-kira tigapuluh lima tahun, bertubuh agak pendek dan amat kurus, berpakaian sederhana, tapi tatapan matanya tajam bercahaya. "Oh Hiang-cu (hulubalang Oh)....." Tan Wan-wan mendesis.

"Benar, Nona Wan-wan. Maaf aku mengejutkanmu."

"Apakah kedatangan Hiang-cu unluk menemui aku?"

Oh Kui-hou menganggukkan kepalanya. "Benar."

“Membawa pesan dari Joan-ong?"

"Tidak. Namun malah ingin menanyakan beberapa hal kepada Nona untuk dilaporkan kepada Joan-ong.”

Suasana hening sejenak, kemudian Oh Kui-hou bertanya, "Nona, bagaimana sikap Kaisar setelah melihat Nona menari?"

Tan Wan-wan menarik napas. Ia sadar bahwa dibalik pertanyaan sederhana soal tarian itu, ada masalah yang jauh lebih besar di belakangnya. Masalah perang yang belum selesai-selesai antara Kerajaan Beng dengan pemberontak Li Cu seng, yang oleh pengikut-pengikutnya dipanggil dengan sebutan kehormatan "Joan-ong" dan sudah dianggap sebagai raja.

"Kaisar nampaknya senang tarianku." sahut Tan Wan-wan sambil menunduk. "Yang harus diperhitungkan adalah Co Hua-sun, dia kelihatannya mulai tidak suka."

"Hem, si anjing kebiri itu pasti takut kalau pengaruhnya atas diri Kaisar tersaingi. Terus bagaimana? Apakah Nona akan segera diboyong ke istana?"

"Soal ini aku belum ada kepastian kapan waktunya."

"Kapan kepastian itu bisa kami kabarkan kepada Joan-ong?"

"Bukankah sudah ada orang-orang kita dalam istana? Melalui merekalah Hiang-cu akan mendapat kabar itu. Mungkin tidak lama lagi." bicara sampai di sini, tak terasa Tan Wan-wan kembali menunduk dengan hati teriris pedih. Makin terasa betapa dirinya hanya sebuah bidak catur kecil yang dipindah-pindahkan tempat semau si pemain catur bertangan perkasa.

Sementara itu Oh Kui-hou berkata dengan bersemangat, "Kalau Joan-ong kelak mencapai kemenangan, Nona Wan-wan pasti berjasa amat besar dari..." sampai di sini barulah Oh Kui-hou tiba-tiba menghentikan kata-katanya, lalu bertanya sambil meninggikan lentera yang dipegangnya, “eh, Nona Wan-wan, kau menangis?"

Cepat-cepat Tan Wan-wan mengusap matanya sambil mencoleng, “Tadi memang menangis sebentar, sekarang sudah tidak."

"Kenapa?”

Tan Wan-wan geleng-geleng kepala lagi. Namun Oh Kui-hou mendesak, "Kenapa? Apakah Nona Wan-wan tidak suka tugas ini? Kalau tidak suka ya bilang saja terus terang, sebab kami bukan golongan orang yang suka memaksakan kehendak."

"Aku rela, Hiang-cu. Hanya dengan demikian hidupku yang kotor ini jadi sedikit ada harganya buat kaum tertindas yang nasibnya sedang diperjuangan oleh Joan-ong. Aku akan terinjak-injak menjadi lumpur busuk, tapi kiranya kelak di atas lumpur busuk itu akan tumbuh buah-buah kebaikan buat orang banyak."

Tergetar juga hati Oh Kui-hou mendengar kata-kata yang bernada meratap itu, karena Oh Kui-hou bukan seorang yang berhati batu. Dia tahu masa lalu Tan wan-wan di Soh-ciu, tahu pula apa yang akan dialami si cantik ini setelah dalam istana kelak. Dirinya akan menjadi titik pertaruhan nyawa antara Kerajaan Beng dan Pemberontak.

Sekaligus juga mengorbankan tubuhnya menjadi pemuasan nafsu Kaisar Cong-ceng. Oh Kui-hou tahu itu jauh dari impian Tan wan-wan, jauh dari impian perempuan manapun yang masih sadar martabat dirinya. Namun Tan Wan-wan sanggup memikulnya, tak lain demi perbaikan nasib jutaan orang yang menaruh harapan kepada perjuangan Joan-ong.

"Nona Tan Wan-wan, Tak kau katakanpun aku paham penderitaan batinmu, sungguh. Joan-ong pun akan kubuat mengerti betapa hebat pengorbananmu demi perjuangan, karena Nona tetaplah seorang perawan suci dalam jiwa, biarpun tubuh telah ternoda." kata Oh Kui-hou bersungguh-sungguh, berusaha menghibur. "Kita semua sedang berjuang untuk suatu tujuan yang besar. Kemenangan bukan ambisi Joan-ong, kemenangan hanyalah tahapan perantara untuk menegakkan tatanan baru yang lebih adil, pengganti tatanan yang sekarang, yang bobrok dan penuh ketidak adilan."

"Aku paham. Sampaikan hormatku kepada Joan-ong. Juga rasa bangga bahwa beliau sudi mempercayakan tugas itu ke pundak wanita seorang lemah dan penuh noda seperti aku. Mengangkat aku dari hidup tanpa arti kecuali sebagai permainan para lelaki hidung-belang, menjadi sedikit berarti dalam kerangka perjuangan agung Joan-ong."

"Dalam pandanganku, Nona bukanlah seorang yang hina dan lemah, namun seorang yang perkasa dan berjiwa agung dalam berisan pejuang. Nona lebih berarti dari seorang pertapa puncak gunung yang katanya menyucikan diri tetapi menutup mata terhadap jutaan sesama manusia yang sedang memperjuangkan kehidupan yang lebih baik. Nona lebih perkasa dari seorang jenderal di garis depan yang berjuang sekedar karena diperintah atau mengharapkan kenaikan pangkat. Nona adalah pejuang yang tak kalah nilainya dengan pejuang yang manapun juga di dalam barisannya Joan-ong!"

Tan Wan-wan menarik napas. Diusap-usapnya air matanya sampai kering. Kemudian Oh Kui-hou berkata lagi, "Nona wan-wan, kuharap kau meneguhkan jiwa dalam menjalankan lugas terhormat ini. Jangan sampai gagal."

"Baiklah. Sampaikan hoimatku kepada Joan-ong."

"Akan kusampaikan. Aku mohon diri, Nona." Oh Kui-liou dengan sikap hormat menyodorkan tangkai lampion itu kepada Tan Wan-wan. Setelah diterima berkelebatlah tubuh Oh Kui-hou seperti seekor burung, sekejap sudah menghilang kebalik tabir kegelapan.

Tan wan-wan termangu-mangu sejenak, kesedihannya banyak berkurang oleh kata-kata Oh Kui-hui tadi, jiwanya mendapat banyak tambahan kekuatan. Dilawannya gambaran bahwa dirinya cuma seorang perempuan malang yang hanya bisa meratapi nasibnya. Bukan. Ia gambarkan dirinya adalah pejuang, cuma bukan pedang yang digunakannya.

Demikianlah, apa yang tidak diketahui oleh Kaisar Cong-ceng, Co Hua-sun dan balikan Ciu Kok-thio sendiri, tentang diri si penari cantik dari Soh-ciu itu. Kaisar nampaknya akan lepas dari jerat kecantikan Tiau Kui-hui, tetapi tanpa sadar akan dimasukinya perangkap yang lain lagi.

Di pondoknya, A-hok masih sibuk mengobati luka-luka Bu Sam-kui, yang sama sekali belum pernah dikenalnya namun diketemukannya telungkup pingsan di dekat kebun belakang. Tengah ia sibuk dengan obat-obatnya, didengarnya langkah lembut mendekati pintu pondoknya, dan suara berkeriut pelan yang menandakan kalau pintunya sudah didorong terbuka.

"Paman A-hok."

A-hok mengenal suara merdu itu, maka dari ruangan dalamnya dia menyahut, "Aku di sini, Nona Wan-wan, sedang mengobati orang terluka."

Tan Wan-wan langsung ke ruangan dalam sambil bertanya, "Siapa yang luka itu, Paman?"

'Tidak tahu. Dia kutemukan di pagar kebun, dekat sumur. Aku tak tega membiarkan dia mati."

Sejak semula menang Tan Wan-wan kagum kepada pribadi si abdi tua ini, jawaban pendek dan sederhana itu semua menunjukkan betapa perhatian A-hok kepada sesama yang menderita. Sering Tan Wan-wan diam-diam membayangkan, seandainya orang berwatak seperti A-hok ini bukan sekedar seorang hamba, tapi seorang yang berkuasa.

Mungkin tidak perlu ada pemberontakan. Seluruh negara aman-sentosa, keadilan ditegakkan rakyat tidak usah jadi pengungsi atau mendaftarkan diri untuk ikut berperang, karena semua orang bersaudara. Seandainya. cuma seandainya.

Tan wan-wan menarik napas dan berkata, "Ada yang bisa kubantu, Paman?”

"Ah sudah hampir selesai. Nona duduk melihat saja."

Memang terlihat luka-luka orang tidak dikenal itu sudah dibersihkan, dibutohi obat dan dibalut kain bersih dari sobekan baju A-hok sendiri. Wajah si terluka itu seperti tidur nyenyak, cuma kadang-kadang berkernyit sedikit menahan sakit.

"Untung luka-lukanya masih baru dan belum kena kotoran...." kata A-hok sambil membenahi mangkuk-mangkuk obatnya untuk disingkirkan. "Jadi masih gampang diobati."

Tan Wan-wan cuma mengangguk sambil menyapukan pandangan di kamar sempit yang cuma diterangi sebatang lilin itu. Di sandaran kursi tersangkut sebuah baju berlumuran darah kering, agaknya kepunyaan si terluka. Di kursi itu pula tersandar sebatang pedang dalam sarungnya.

Tan wan-wan agak berdebar melihat barang-barang di ruangan itu. Orang terluka, pedang dan berlumuran darah. Semuanya bersangkut-paut dengan sesuatu yang sedang "mode" jaman itu yaitu kekerasan. Padahal Tan wan-wan baru saja mendengar dari para abdi Ciu Kok-thio, katanya tadi ada keributan hebat yang suaranya terdengar sampai ke dalam rumah.

Katanya ada pengacau mau membunuh Kaisar, tetapi dapat dipukul mundur oleh pengawal-pengawal Kaisar. Mungkinkah orang terluka yang terbaring di ka mar A-hok itu salah seorang dari kawanan pengacau itu? Sungguh hebat akibatnya kalau sampai orang-orang dalam gedung itu tahu ada "pengacau" disembunyikan, bahkan dirawat lukanya oleh A-hok yang baik hati. Tan Wan-wan mencemaskan A-hok, tapi juga orang yang luka itu.

Tanpa menperhatikan muka Tan wan-wan, A-hok menumpuk mangkuk-mangkuk kotor itu untuk dibawa keluar dan dicuci dipinggir sumur. Kemudian dari arah sumur terdengar suara kelitak-kelitik A-hok mencuci mangkuk-mangkuk itu. Sedang dalam kamar, Tan wan-wan mengamat-amati orang terluka itu. Seorang lelaki muda yang tampan dan bertubuh gagah, kelihatan tangguh juga. Namun saat itu ia tidur seperti bayi yang kekenyangan.

Tiba-tiba kenangan masa lalu membanjir masuk angan-angan Tan wan-wan, teringat kekasihnya sendiri yang sangat mirip dengan si terluka ini. Namun kekasihnya itu dikabarkan telah gugur dalam peperangan. Seandainya tidak yakin kekasilinya gugur, diancam dengan kematianpun belum tentu Tan Wan-wan sudi dinikahkan dengan lelaki lain.

Keluhan tertahan dari si terluka itu membuat Tan wan-wan tersentak dari lamunannya. Dilihatnya kepala si terluka itu bergerak-gerak gelisah di atas bantal, mulutnya menggumam lirih, "Air... air..."

Hampir saja Tan Wan-wan meneriaki Paman A-hok dari jendela, agar datang menolong. Namun melihat A-hok masih sibuk, Tan Wan-wanpnn mengambil keputusan, kalau cuma memberi minum si terluka saja rasanya tidak perlu merepotkan A-hok.

Rintihan si terluka makin keras. Bergegas Tan Wan-wan menuangkan secawan air dingin ke mangkuk, lalu dibawa mendekat ke pembaringan, tangan kiri hati-hati menyangga kepala Bu Sam-kui untuk diangkat sedikit, tangan kanan meminumkan cawan air ke mulutnya. Namun karena kepalanya kurang terangkat, lebih banyak air yang tumpah berceceran daripada yang masuk ke mulut.

"Air...." rintih Bu Sam-kui dengan mata terpejam, lidahnya menjilat-jilat sekitar mulutnya.

Tan Wan-wan bingung sebentar, lebih dulu ia letakkan kepala orang itu di bantal untuk ditinggal mengambil air lagi, lalu ia balik ke pembaringan. Kali ini agar orang itu bisa minum dengan baik, ia mengangkat dan memangku kepala Bu Sam-kui serta dipeluk dengan lengan kirinya.

Wajah Tan Wan-wan sedikit merah ketika kepala itu menyandar ke dadanya. Dengan hati-hati ia meminumkan air dengan tangan kanannya. Kali ini cuma sedikit yang tumpah, sebagian besar isi mangkuk berhasil dininumkan.

Mula-mula Bu Sam-kui merasa antara sadar dan tidak, rubuhnya amat panas seperti terbakar, tenggorokannya seolah sisi-sisinya saling melekat satu sama lain karena keringnya. Namun setelah mulutnya kemasukan semangkuk besar air, badannya jadi agak segar, kesadarannyapun sedikit demi sedikit mulai kembali.

Justru saat itulah ia heran akan bau harum yang memasuki hidungnya, sementara kepalanya bersandar di dada yang lembut seorang gadis, membangkitkan kenangan lamanya ketika masih bayi dan bersandar nyaman di dada ibunya.

Bu Sam-kui membuka matanya, dan hampir-hampir terpekik tak mau percaya ada wajah begitu jelita hanya sejengkal di atas wajahnya. Seorang perempuan muda yang masih dalam dandanannya sebagai penari, ditambah harumnya tubuhnya, membuat Bu Sam-kui mengira kalau dirinya sudah mati dan sampai di tempat tinggal para bidadari.

"Apakah aku sudah... sudah...” rintih Bu Sam-kui tanpa sekejappun la kehilangan kenikmatan indera penglihatannya saat itu. “Apakah aku sudah di kahyangan?"

Tan wan-wan menjadi merah tersipu wajahnya. Pelan-pelan diletakkannya kepala Bu Sam-kui kembali ke bantal, katanya, "Istirahatlah dan jangan berpikir yang bukan-bukan. Mau minum lagi?"

"Apakah kau bidadari?" tanya Bu Sam-kui sambil dengan susah menggapaikan tangan, ingin menyentuh Tan wan-wan, tapi cuma kena tepi pembaringan.

"Ah, ngaco..." betapapun juga Tan Wan-wan sebagai wanita merasa bangga kecantikannya dikagumi. Sejenak melupakan lainnya, kecantikan itu pulalah yang menyebabkan rentetan nasib buruknya. la melangkah keluar dengan niat memanggil Paman A-hok, sementara di belakangnya masih didengarnya Bu Sam-kui memanggil-manggil lirih,

"Oh sang dewi... jangan pergi. Tetaplah bersamaku manusia yang hina ini…”

Apa mau di kata "sang dewi" sudah menghilang di balik pintu. Harum tubuhnya masih tertinggal di ruangan itu, dan Bu Sam-kui menyedot bau itu sekuat-kuatnya. Yang muncul kemudian malah seorang lelaki tua, wajahnya buruk namun cahaya matanya sangat menyejukkan. Dalam pikiran Bu Sam-kui yang masih kacau itu, orang ini pun tentu sejenis dewa atau malaikat.

"Di mana bidadari tadi? Di mana?" Bu Sam-kui berusaha bangkit sambil mengigau.

A-hok tertawa terkekeh, cepat-cepat ia maju memegangi tubuh Bu Sam-kui agar tidak jatuh dari pembaringan, sambil berkelakar, "Bidadarinya sudah pulang ke langit, naik bunga teratai."

"Apakah aku juga sudah di... di langit?"

"Masih di bumi."

"Jadi.... jadi aku masih.... masih..."

"Bet uI, masih hidup."

"Kau yang menolongku?"

"Ya."

"Terima kasih."

"Istirahatkan tubuh dan pikiranmu, lukamu tidak berat."

Bu Sam-kui tidak berkata apa-apa lalu berbaing saja sambil berangan-angan, sampai rasa kantuk menyerbu dan menguasai seluruh tubuhnya, la tidur dan mengimpikan "sang dewi” tadi.


Hari itu penjagaan di Istana Kerajaan lebih ketat dari biasanya. Setelah kemarin sore terjadi keributan hebat di tempat kediaman Ciu Kok-thio, mertua Kaisar, maka pihak istana merasa perlu meningkatkan pengamanan. Banyak yang menduga kalau pengikut-pengikut si pemberontak Li Cu-seng sudah menyusup ke ibu kota negara.

Namun Co Hua-sun diam-diam punya dugaan lain. Bukan cuma pengikut-pengikut Li Cu-seng yang dicurigai, tapi iapun tahu ada sekolompok perwira Tentara Kerajaan yang tidak puas melihat pengaruh dirinya atas diri Kaisar. Namun hal itu belum pernah diutarakan oleh Co Hua-sun kepada Kaisar, kuatir kalau Kaisar tanya panjang lebar, siapa saja yang tidak suka, kenapa tidak suka, mana buktinya dan sebagainya, yang tentu akan merepotkan Co Hua-sun untuk menjawabnya sampai Kaisar dapat diyakinkan.

Saat itu Co Hua-sun merasa lebih laik diurus sendiri saja, dengan caranya sendiri. Bagaimana pun ketatnya penjagaan istana, namun ketika Sinshe Hong datang diiringi seorang kacung pemikul kotak obatnya di dekat pintu Hou-ci-mui di belakang istana, para penjaga langsung mengijinkannya masuk. Para penjaga sudah hapal kepada Sinshe yang sering memeriksa Puteri Tiang-ping yang sejak kecil bertubuh sakit-sakitan itu.

Tapi kacung Sinshe liong itu agak menarik perhatian penjaga, sebab bukan orang biasanya. Itu seorang lelaki muda bermuka pucat kekuning-kuningan, kalau menyeringai kelihatan giginya yang coklat-coklat itu dan pakaiannya kedodoran.

“Sinshe, ke mana kacungmu yang lama.” tanya seorang penjaga yang sudah kenal tabib itu.

“Oh, maksudmu si A-bun? Dia sedang pulang kampung.” Sahut Sinshe Hong sambil tertawa terkekeh, "Ini pembantuku yang lain, namanya A-kong. He, A-kong, berilah hormat kepada tuan-tuan ini."

"Kacung" itupun meletakkan kotak obat yang dicangklong di pundaknya, lalu memberi hormat kepada penjaga-penja ga pintu Hou-cai-mui itu.

Kata si komandan penjaga, "Sinshe, biarpun kau sudah kami kenal baik, tapi kami tetap harus menggeledah kotak obatmu. Kami harus menjalankan keawajiban sebaik-baiknya.”

"Ooo, silakan... silakan. A-kong buka kotaknya!"

Penggeledahanpun berlangsung, tapi tidak lama. Dalam kotak obat maupun pada tubuh Sinshe Hong dan A-kong tidak terdapat sesuatu yang patut dicurigai. Maka mereka pun di ijinkan.

"Silakan jalan terus, sin-she, perlu kami antar sampai bangsal tuan puteri?"

"Tidak usah, terima kasih. Aku sudah sering ke mari dan sudah hapal jalannya."

Tabib itu kemudian memasuki kompleks istana yang disebut Ci-kim-shia (Kota Terlarang). Sebuah kumpulan kediaman yang terdiri dari entah berapa ratus rumah, lorong, gang, bangsal, pasiban, pondok, kolam hias, taman bunga, jalan setapak, air terjun buatan, pagoda-pagoda, menara jaga, perpustakaan dan sebagainya yang semuanya tersusun serba rapi, nyaman dan indah.

Maklumlah, kota terlarang itu bukan hasil kerja sehari dua hari saja tapi sudah berabad-abad. Sejak jaman Kerajaan Liao menguasai belahan utara daratan cina, Pak-khia disebut Lam-khia (ibu kota selatan), sedang di jaman dinasiti Beng itu kalau menyebut Lam-khia ya langsung kesebuah kota di selatan, tidak jauh dari Hang-ciu di muara Sungai Tiang-Kang.

Kemudian ketika dinasti Liao digantikan Kin, kota itu disebut Tai-toh, ketika dinasti Goan berkuasa, ganti nama lagi dalam bahasa Mongol “Kambuluk", lalu dinasti Beng sejak Kaisar Yung-lo. Ratusan Kaisar pernah menghuni istana itu. Tiap kali ada yang diperindah atau ditambah, maka sampai jaman Kaisar Cong-ceng itu sudah demikian luasnya sehingga seperti sebuah kota. Kota di dalam kota.

Kacung Sinshe liong itu bukan lain adalah Helian Kong yang menyamar, sesuai dengan pesan Puteri Tiang-ping. Sudah lama Helian Kong tinggal di Pak-khia, namun istana itu hanya pernah dilihatnya dari luar dinding, belun pernah memasukinya. Maka setelah kini berkesempatan memasukinya, bukan main ia terheran kagum akan luas dan indahnya bagian dalam istana kekaisaran itu.

Selain itu juga terasa betapa setiap jengkal tanah diamankan dengan ketat. Setiap kali Helian Kong melihat regu-regu pengawal istana yang berseragam mentereng dan memanggul senjata. Mereka terbagi dalam beberapa pasukan seperti Gi-lim-kun, Kim-ih-wi, Han-lim kun, Lwe-teng-wi-su, Gi-cian-si-wi dan sebagainya yang tugasnya berbeda-beda.

Han-lim-kun misalnya, adalah pengawal khusus untuk ruang-ruang dokumen kerajaan serta penyimpanan pusaka-pusaka kerajaan. Gi-cian-si-wi adalah pengawal yang harus selalu berdekatan dengan Kaisar untuk menjaga keselamatannya.

Dan begitu pula pasukan-pasukan lain dengan tugas khususnya masing-masing. Bahkan selain prajurit-prajurit istana itu juga nampak abdi-abdi istana, para thai-kam, menggantungkan pedang di pinggang masing-masing.

Melihat itu, Helian Kong membatin dengan perasaan kurang senang, "Seingatku masih ada peraturan bahwa para thai-kam tidak boleh bersenjata, tapi kulihat mereka semua membawa senjata. Apakah peraturan itu sudah tidak berlaku? Dan kenapa para pengawalpun tidak berani menegur atau mengingatkan para thai-kam itu? Hem, kalau melihat gelagatnya, banyak di antara penghunl istana yang sudah dipengaruhi Co Hua-sun, kalau melihat gelagatnya macam ini, tidak heran kalau Kaisar tak berkutik dalam cengkeraman Co Hua-sun, jadi seperti boneka wayang di tangan dalangnya saja."

Sementara itu ia terus melangkah mengikuti Sinshe Hong belok sana belok sini, entah kapan sampai ke tujuan. Helian Kong membatin, kalau dirinya dilepaskan sendirian di tengah istana itu, pasti akan tersesat. Untung Sinshe Hong agaknya paham tempatnya.

Kemudian mereka masuk kawasan istana yang tidak lagi dijaga para prajurit, melainkan oleh para thai-kam, bersenjata. Mereka berseragam jubah merah tua, ikat, pinggang hitam, topi hitam persegi dengan hiasan bulu burung di tengah jidat, topi itu diikatkan ke bawah dagu dengan tali hitam. Mereka bersenjata semua. Dan senjata itu bukan cuma untuk gagah-gagahan, sebab para thaikam yang berjumlah kira-kira sepuluh ribu orang itu oleh Co Hua-sun diwajibkan ikut latihan silat.

Para thai-kam adalah lelaki yang sudah dikebiri, sehingga mereka tidak mungkin lagi melakukan hubungan jasmani dengan perempuan. Mungkin karena kekurangan itulah mereka jadi bertabiat aneh. Mereka mencari pengganti dari "kenikmatan yang hilang" itu dengan cara menghimpun kekuasaan sebesar-besarnya.

Dan karena sudah tidak lagi memikirkan urusan seks, mereka lebih gigih dalam latihan silat dibandingkan kaum lelaki yang masih "komplit". Karena itulah Helian Kong tidak berani memandang enteng mereka, apa lagi mereka berjumlah besar dan nampak di segala sudut istana.

Memasuki "wilayah kekuasaan" para thai-kam, Sinshe Hong dan Helian Kong kembali digeledah dengan teliti. Agaknya para thai-kam ilu tidak mempercayakan keamanan istana hanya dari hasil-kerja para penjaga di gerbang luar istana. Kemudian mereka di ijinkan lewat dan langsung menuju bangsal Puteri Tiang-ping yang berdekatan letaknya dengan bangsal Permaisuri Ciu Hong-hou.

Bangsal Puteri Tiang-ping begitu indah, seperti sebuah pulau yang terapung di tengah-tengah ribuan teratai dipemukaan kolam yang mengitarinya. Untuk menyeberang, Hong Sinshe dan Helian Kong harus lewat sebuah jembatan yang bersudut-sudut, berpagar ukiran kayu bercat merah.

Para Thaikam hanya berjaga sampai bagian luar jembatan itu, selebihnya adalah wilayah "kekuasaan” dayang-dayang pribadi puteri Tiang-ping sendiri. Maklumlah kediaman puteri Kaisar Cong-ceng sendiri. Tidak sembarangan orang boleh masuk. Namun agaknya Sinshe Hong tergolong ke dalam yang 'tidak sembarangan” itu. dan HeIian Kong mengikutinya.

Mereka tiba di bangsal, dua orang dayang langsung menyambut mereka dan mengantar ke hadapan Puteri Tiang-ping. Puteri Tiang-ping saat itu berdandan benar-benar selayaknya seorang Puteri Kaisar, kecantikannya nampak menyilaukan. Namun ia juga kelihatan begitu rapuh dengan wajahnya yang pucat.

Ketika Hong Sinshe dan Helian Kong menghadap, Puteri sedang membaca buku. Namun ketika tabib dan "kacungnya” itu berlutut di depannya, Puteri Tiang-ping pelan- pelan meletakkan kitabnya. Sambil tersenyum ia mengawasi "kacung" Tabib Hong yang berlutut di sebelahnya itu.

Kemudian dengan gerak tangannya ia menyuruh dayang-dayangnya pergi dari ruangan itu. Para dayang berlutut, homat sobelum berlalu. Hanya dua orang dayang diperintahkan tetap tinggal di situ, merekalah Hui-hun dan Pek hong, yang paling dipercayai Puteri Tiang-ping, meskipun dayang-dayang lain juga cukup dipercayai.

Kini di ruangan itu hanya ada lima orang, lalu berkatalah Puteri Tiang-ping kepada Sinshe Hong dan Helian Kong, "Silakan duduk."

"Terima kasih, Tuan Puteri."

“Hong Sinshe, aku mengucapkan terima kasih atas kesediaanmu membantu rencanaku dengan menjalankan pesanku."

“Hamba gembira bisa membantu Tuan Puteri..."

"Kuharap Sinshe menjaga urusan ini agar tetap dirahasiakan baik-baik. Bersikaplah bahwa Helian Hu-ciang benar-benar kacungmu, paham?"

"Hamba mengerti, Tuan Puteri."

"Nah, Hui-hun, antarlah Hong sinshe ke kamar biasanya dia menginap kalau di istana ini. Helian Hu-ciang tetap di sini."

Hong Sinshe berlutut sekali lagi, kemudian berlalu dengan di antarkan si dayang Hui-hun. Setelah Hong Sinshe lenyap di balik pintu, Puteri Tiang-ping bertanya, "Helian Hu-ciang, bagaimana kesudahan peristiwa keributan di depan rumah kakek kemarin sore?"

"Hamba dan Siangkoan Yan melarikan diri, sehingga tidak tahu bagaimana nasib kedua perwira San-hai-koan itu. Kuat dugaan hamba bahwa mereka dapat menyelamatkan diri musing-masing. Hamba ingin menyelidiki nasib mereka, tapi dikejar waktu untuk memenuhi perintah Tuan Puteri."

"Siapa nama kedua perwira itu?"

"Yang hampir dibunuh orang-orangnya Co Hua-sun itu ternama Liong Tiau-hui, sedang yang bersama kita itu bernama Bu Sam-kui."

"Mudah-mudahan mereka selamat. Keberanian mereka akan menimbulkan semangat penwira-perwira lain yang selama ini juga tidak suka kepada Co Hua-sun.”

“Mudah-mudahan. Tuan Puteri, hamba diberi tugas oleh rekan-rekan hamba untuk menghadap Kaisar dan menyampaikan beberapa laporan penting yang dimohon perhatiannya dari Kaisar sendiri. Laporan-laporan itu sebetulnya sudah ditulis dan disalurkan lewat prosedur resmi di Peng-po Ceng-tong. Namun pegawai-pegawai Peng-po Ceng-tong banyak yang korup dan menjadi kaki tangan Co Hua-sun, sehingga rekan-rekan hamba yakin laporan mereka tentu sudah masuk keranjang sampah, sebab Co Hua-sun tentu tidak mau Kaisar menerima laporan-laporan yang jujur itu. Karena itulah hamba diberi kepercayaan oleh rekan-rekan, dan sekarang sudah ada di sini dengan bantuan Tuan Puteri dan Hong Sinshe."

Puteri Tiang-ping mengangguk. "Aku dengar hal yang kurang lebih sama dari Adik Yan. Namun di istana inipun kaki-tangan Co Hua-sun tersebar di mana-mana, tidak mudah buatmu untuk menghadap Hu-hong (ayahhanda Kaisar) demikian saja. Maka sabar dan sembunyikan dulu dirimu di sini, akan kucarikan waktu dan cara yang tepat untuk bisa menghadap Hu-hong."

Helian Kong termangu sambil mengerutkan alisnya, katanya kemudian, "Hamba mohon ampun kalau kata-kata Hamba tidak berkenan dihati Tuan Puteri. Hamba punya sebuah usul."

"Katakan."

"Ampun Tuan Puteri. Bukan maksud hamba untuk menyuruh-nyuruh Tuan Puterri tetapi tidakkah Tuan Puteri lebih mudah menghadap Kaisar untuk menyampaikan laporan-laporan itu? Bukankah sama saja kalau Kaisar mendengarnya dari mulut hamba atau dari tuan Puteri? Sekali lagi hamba mohon ampun, tuan Puteri!"

Puteri Tiang-ping geleng-geleng kepala sambil menarik napas, "Tidak sama, Hu-ciang. Sudah terlalu sering aku menghadap dan bicara kepada Hu-hong, berusaha menyadarkan betapa perlu memperhatikan situasi di luar istana ini, dan jangan cuma mempercayai laporan penuh kata-kata manis yang diajukan Co Hua-sun. Namun pengaruh Co Hua-sun begitu kuat atas diri Hu-hong. Sedang kata-kataku oleh Hu-hong hanya dianggap omongan bocah ingusan yang sok pintar.”

Helian Kong ikut-ikutan menarik napas. Sementara Puteri Tiang-ping berkata lagi, "laporan itu akan mendpat perhatian lebih dari Hu-hong, kalau kau sendiri yang menyampaikannya, Hu-ciang. Kalau Hu-Hong tahu bahwa kau adalah perwira yang tahu banyak situasi di luar istana,”

Tidak bisa lain Helian Kong terpaksa menyetujui rencana Puteri Tiang-ping itu. Kemudian kata puteri itu. "Nah, sekarang aku persilakan Hu-ciang istirahat dulu bersama Hong Sinshe dan tunggu kabar dariku. Tetaplah dalam samaran itu."

"Baiklah. Hamba dan teman-teman sekalian menyampaikan terima kasih atas peran serta Tuan Puteri yang begitu bersungguh-sungguh."

"Jangan bicara demikian. Justru aku yang patut berterima kasih kepada Hu-ciang dan kawan-kawan Hu-ciang, yang begitu bersungguh-sungguh bekerja demi negara. Mudah-mudahan laporan Hu-ciang akan menyadarkan Hu-hong akan kewajibannya sebagai pemimpin, tidak hanya....”

Bicara sampai di sini, Puteri Tiang-ping menghentikan kata-katanya dan menundukkan wajahnya yang muram. Helian Kong paham benar penyebabnya. Tentu karena kegandrungan Kaisar terhadap Tiau Kui-hui. Sehingga Permaisuri Ciu, ibunda Puteri Tiang-ping, jadi tersisih dan lebih banyak mengurung, dalam kesedihannya. Hanya tampil terpaksa kalau ada acara-acara resmi kenegaraan.

Namun Helian Kong tidak mengungkit soal itu, agar tidak membuat Puteri Tiang-ping semakin bersedih. Helian Kong kemudian sudah bangkit dari kursinya untuk berlutut sebelum pergi, namun Puteri Tiang-ping tiba-tiba mencegahnya.

"Tunggu sebentar, Hu-ciang..."

"Hamba Tuan Putri."

"Apakah Hu-ciang tahu kesudahan perjamuan di rumah Kakek? Eh, maksudku apakah Hu-hong merasa senang dongan acara tarian yang diselenggarakan oleh Kakek?"

Puteri Tiang-ping seboetulnya malu menanyakan soal ini, sebab sama saja dongan membicarakan watak hidung belang Kaisar Cong-ceng, ayahandanya. Tapi ia ingin tahu juga bagaimana hasil dari siasat Kakeknya menyuguhkan penari dari Soh-ciu, untuk memecah hubungan Kaisar dongan Tiau Kui-hui.

Sayang Helian Kong menggelengkan kepalanya. "Setelah terlibat dalam keributan itu, hamba tentu saja tidak berani berada lebih lama ditempat itu! Hamba dan Siangkoan Yan kabur terpisah dengan Bu Sam-kui yang entah ke mana larinya. Jadi hamba tidak tahu bagaimana kesudahannya pesta itu."

Dengan lesu Puteri Tiang-ping menyandarkan punggungnya ke kursi, mere nung beberapa delik lalu berkata, "Hu-ciang, kau boleh mengundurkan diri dan berisitirahatlah."

Kali ini Helian Kong benar-benar mengundurkan diri setelah berlutut menghormat. Dayang Puteri Tiang-ping yang bernama Pek-hong itu mengantarkan Helian Kong ke tempat istirahatnya, agar tidak tersesat di istana yang luas itu.

Seharian penuh kerja Sinshe Hong dan Helian Kong hanya bercakap-cakap di tempat yang disediakan itu, di sayap kanan bangsal Puteri Tiang-ping. Berasa kikuk juga Helian Kong karena di bangsal itu hanya dirinya dan Sinshe Hong yang laki-laki, di tengah puluhan wanita penghuni bangsal.

Tapi menjelang sore, ketika Helian Kong keluar melongok keluar jendela, ia lihat seorang anak lelaki berumur kira-kira sepuluh tahun, berpakaian indah, sedang bermain-main di pinggir kolam dengan diiringi beberapa dayang dan thai-kam.

"Siapa anak itu?" Helian Kong bertanya kepada Sinshe liong.

Lebih dulu Sinshe Hong menjulurkan kepalanya keluar jendela untuk menjenguk, barulah menjawab, "Cu-sam Thai-cu Putera Mahkota."

"Masih begitu kecil?"

"Ya."

"Sungguh memprihatinkan."

Sinshe Hong menoleh heran, "Kenapa memprihatinkan? Negeri tetangga kita, Kerajaan Ceng, kaisarnya juga masih kecil. Kaisar Sun-ti."

Helian Kong diam karena dia tidak mau berbantahan dengan Sinshe Hong. Hanya dalam hatinya ia merasa cemas akan nasib negaranya. Kalau Kaisar Cong-ceng yang saat itu sudah berusia setengah abad tiba-tiba meninggal dunia, dan hal itu bisa terjadi sewaktu-waktu, sedangkan Putera Mahkota masih kecil itu, tidakkah negara akan jadi kacau karena perebutan kekuasaan? Kegelisahan itu teras mengganggunya.

Tak terasa langit sorepun menjadi makin gelap, cahaya membara yang semula masih tersisa di langit, pelan tergulung oleh warna kelam yang makin menguasai langit. Di Komplek istana yang luas itu, segera nampak para abdi istana menyalakan lilin atau lentera di tempat-tempat yang diperlukan. Di pintu-pintu gerbang luar, yang dinyalakan adalah obor-obor besar.

Waktu itulah muncul Hui-hun, dayang kepercayaan Puteri Tiang-ping, dan berkata kepada Helian Kong, "Tuan Puteri mengundang Hu-ciang."

Helian Kong membenahi pakaiannya cepat-cepat, lalu bergegas mengikuti dayang itu. la tidak dibawa ke tempat yang tadi, melainkan ke sebuah ruangan lain yang lebih tertutup. Namun masih termasuk di dalam lingkungan keputren. Begitu masuk ke ruangan, dilihatnya wajah Puteri Tiang-ping lebih cerah dari pagi tadi. Helian Kong lalu berlutut menyatakan hormatnya.

"Hu-ciang, bangunlah." kata Puteri Tiang-ping. Lalu telunjuknya yang lentik menuding setumpuk pakaian dan peralatan bercukur yang terletak rapi di atas sebuah meja kecil. Kuharap kau ganti samaran, dari kacung tabib menjadi thai-kam, karena itu cukurlah kumis dan jenggotmu sampai licin, dan kenakan pakaian itu."

Demi keberhasilan menghadap Kaisar, Helian Kong mau melakukan apa saja. "Baik, Tuan Puteri." jawabnya.

Dengan diantar oleh Hui-hun, ia masuk ke sebuah kamar lain di samping ruangan itu. Beberapa saat kemudian, ketika ia muncul kembali, ia sudah bertampang mirip sekali dengan seorang thai-kam. Karena ia seorang lelaki normal, tentu saja janggut maupun rahangnya tak bisa selicin para thai-kam yang aseli. Namun setelah di pupuri sedikit. Sulitlah ia dibedakan degan para thai-kam lainnya.

Puteri Tiang-ping menahan keluarnya tawa dengan telapak tangannya. Lalu komentarnya, "Penyanaran yang hampir sempurna. Tetapi jalanmu masih terlalu gagah, cobalah sedikit berlenggok seperti thai-kam asli."

Beberapa saat Helian Kong diruangan itu "belajar jalan" kembali seperti masih bayi dulu, sampai Puteri Tiang-ping menganggapnya cukup.

"Hu-ciang, malam ini Hu-hong ada di bangsal Cun-hoa-kiong. Sungguh suatu keberuntungan buatmu bahwa malam ini Hu-hong ingin sendirian, tidak ditemani oleh Tiau Kui-hui. Maka malam ini Hu-ciang bisa ke sana. Hui-hun akan mengantarmu."

Semangat Helian-kong berkobar mendengar itu. la berlutut menghormat lagi, kemduian mengikuti Hui-hun ke Cun-Hoa-kiong. Sepanjang jalan ke Cun-hoa-kiong, mereka berdua banyak berpapasan dengan thai-kam bersenjata, namun tidak ada yang mencurigai Helian Kong. Hui-hun sudah dikenal sebagai dayang pribadi Tian-ping, maka siapa yang curiga melihat Hui-hun jalan beriringan dengan seorang "thai-kam?"

Helian Kong sendiri terbesar hati. la tahu jumlah thai-kam di istana itu begitu banyak dan tidak semuanya saling mengenal. Maka tiap kali berpapasan dengan thai-kam lain, Helian Kong bersikap wajar saja. Akhirnya mereka tiba di sebuah bangsal yang tidak kalah indah dengan kediaman Puteri Tiang-ping tadi. Dan melihat ketatnya penjagaan di tempat itu, Helian Kong menduga kalau sudah dekat dengan tujuannya tempat Kaisar sedang berada.

Helian Kong bukan penakut. Tapi sebagai manusia biasa ia tegang juga menghadapi pertaruhan nasib itu. Kalau Kaisar berkenan kepada laporannya maka tak ada masalah, dirinya akan aman biarpun Co Hua-sun jelas bakal marah dan tidak suka. Bagaimanapun Co Hua-sun takkan berani merebut terang-terangan orang yang dilindungi Kaisar. Tapi bagaimana kalau Kaisar tidak menyukai laporannya?

Tentunya Helian Kong akan menjadi bukan cuma "ikan dalam jaring" tetapi "ikan dalam penggorengan” tinggal menunggu untuk dikremus orang-orangnya Co Hua-sun. Beberapa kali Helian Kong menghirup napas kuat-kuat untuk meredakan debar jantungnya.

"Kami hedak menghadap Kaisar, membawa pesan puteri Tian-ping," dengan kalemnya Hui-hun membohongi beberapa thai-kam yang berjaga di depan bangsal Cun-hoa-kiong itu.

"Silakan masuk” sahut seorang thai-kam, bahkan membukakan pintu.

Helian Kong sendiri tak menduga begitu gampang urusannya, padahal sudah dibayangkan dirinya akan mengalami pemeriksaan dan penggeladahan yang kelewal teliti. Ternyata begitu gampang, bahkan Pedang yang dibawanya pun tidak diminta. Ini menandakan kalau para Thai-kam selama ini sudah biasa menghadap sambil membawa pedang, dan kebetulan saat itu Helian Kong juga sedang berseragam thai-kam.

Helian Kong dan Hui-hun masuk. Ketika pintu ditutupkan kembali di belakang mereka, mereka sejenak bertukar pandangan sambil tersenyum lega. Mereka tidak tahu, begitu pintu di tutup maka para thai-kam yang diluar pintu juga saling bertukar senyumanan dan anggukan kepala...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.