Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 08

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Seri Pertama, Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 08 Karya Stevanus S P

Sementara itu, di ruangan pertama Hui-hun dan Helian Kong belum bertemu siapapun kecuali dua orang dayang. Kepada mereka Hui-hun berkata dengan ramah, "Cici berdua, aku membawa pesan Puteri Tian-ping untuk menghadap....”

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

Kali ini mereka cuma mendapat jawaban, "silakan masuk.....”

Tak lama kemudian merekapun tiba di sebuah ruangan indah dengan prabotan serba indah pula. Ada sehelai tirai tipis yang memisahkan dua bagian ruangan itu. Di balik tirai itu samar-samar memang nampak bayangan seorang berjubah kuning sedang berjalan hilir mudik. Cepat-cepat Hui-hun berlutut,

"Hamba mohon beribu ampun, Tuanku. Tanpa dipanggil hamba telah berani menghadap Tuanku, namun hamba diperintah oleh tuan Puteri..."

Helian Kong pun ikut berlutut. Dari balik pintu terdengar suara yang serak seperti orang sedang pilek, "Siapa yang bersamamu itu Hui-hun?"

Hui-hun menoleh kepada Helian Kong dan memberi sebuah anggukan. Helian Kong merasa tibanya pelaksanaan tugas yang dipercayakan oleh rekan-rekannya. "Hamba Helian Kong, perwira berpangkat Hu-ciang."

"Kenapa kau menghadap aku dengan cara ini?"

"Hamba mohon ampun, Tuanku. Dengan cara lain pastilah hamba tidak akan berhasil menghadap Tuanku untuk menyampaikan sesuatu yang penting."

"Urusan soal apa ingin kau katakan kepadaku?"

"Urusan-urusan itu sebenarnya bukan urusan hamba secara langsung. Ada tiga soal. Pertama dari Li Tiang-hong, bawahan Jenderal Thio Hian-tiong di Secuan. Kedua dari Liong Tiau-hui dan Bu Sam-kui, bawahan-bawahan Jenderal Ang Seng-tiu di Sa-hai-koan. Ketiga dari Jenderal Sun Toan-t.eng di Tong-koan. Ketiga laporan itu dititipkan kepada hamba untuk disampaikan kepada Tuanku karena tidak bisa menembus jajaran orang korup di Peng-Po Ceng-tong."

“Ya. Katakan satu persatu.”

"Baik, Tuanku,...'' sambut Helian Kong gembira sekali. "Pasukan Jenderal Thio Hian-tiong saat ini berhadapan di front barat-daya dengan laskar pemberontak, di sepanjang perbatasan propinsi Se-cuan. Pemberontak hendak merebut Se-cuan sebagai daerah perbekalan. Tapi ditahan oleh Jenderal Thio. Kedua pihak boleh dibilang seimbang, tidak mau mundur, namun juga sama-sama tidak bisa maju. Jenderal Thio menghitung, untuk bisa menerjang ke jantung wilayah pemberontakan di Siam-sai, ia butuh pasukan tambahan. Maka, Jenderal Thio mohon ijin Tuanku untuk meminjam pasukan jenderal Su Ko-hoat di Yang-ciu. Sedang dalam urusan perbekalan, tidak ada masalah bagi Jenderal Thio. Beras di Se-cuan melimpah. Jenderal Thio malah sanggup mengirim beras kedaerah-daerah lain."

"Jenderal goblok!" orang di balik tirai itu tiba-tiba berkata dengan sengit. "Apa Goan-swe Thio Hian-tiong tidak tahu bahwa posisi Su Ko-hoat adalah sebagai cadangan kekuatan yang tiap saat dapat ditarik untuk membantu mempertahankan propinsi Ho-pak? Kalau sebagian pasukan Su Ko-hoat malah ditarik ke barat-daya, bukankah makin jauh dari Pak-khia? Makin sulit didatangkan kemari kalau dibutuhkan? bukankah si maling besar Li Cu-seng itu akan bersorak kegirangan dan segera menyerbu kemari?”

Diam-diam Helian Kong heran mendengar jawaban yang begitu lancar. Salah sekali dugaan selama ini bahwa Kaisar tidak tahu apa-apa kecuali urusan perempuan? Bagaimanapun, yang dihadapi Helian Kong saat itu menggembirakan Helian Kong.

"Kaisar ternyata bisa diajak berunding..." pikirnya. "Otaknya cukup jalan. Seandainya dia menolak usul Thio goan-swepun, setidak-tidaknya akan memikirkan jalan pemecahan lain, asal bukan jalan pemecahan yang diusulkan Co Hua-sun..."

Karena pikiran itulah maka Helian Kong jadi berani mengajukan pertimbangan, "Ampun Tuanku. Menurut perhitungan, Kalau Jenderal Thio bergabung dengan Jenderal Su menggempur pemberontak dari wilayah barat daya justru kaum pemberontak takkan sempat berpikiran untuk menerjang kemari. Pasti Li Cu seng akan buru-buru mengerahkan sebagian besar kekuatannya untuk menahan wilayah barat-daya. Itulah justru kesampatan bagi Jenderal Sun Yang selama ini cuma bertahan di Tong-koan, untuk balik menggempur ke barat. Jadi Li Cu-seng akan digempur dari dua arah. Jenderal Thio Mohon agar Tuanku...."

"Tidak! " Bentak orang dibalik tirai itu. "Su Ko-hoat adalah seorang berhati serong, makin jauh dari Ibu kota tentu makin berkembang pikiran serongnya untuk berkhianat kepada kerajaan. Karena itu Su Ko-ho-at dan pasukanya Tidak boleh meninggalkan posnya di Yang-ciu! Satu jengkal pun tidak boleh!"

Keruan Helian Kong berkeringat dingin mendengar itu. Jenderal Su Ko-hoat adalah seorang yang setia, tidak pernah mendendam kepada Kaisar meskipun pernah dikirimi arak beracun. Kini justeru pembesar setia itu dikatakan berhati serong dan hendak berontak…

“Jahanam, pikiran ini pasti hasil hasutan Co Hia-sun..." geram Heliang Kong dalam hati. "Sungguh terbalik. Jenderal Su Ko-hoat dikatakan serong, orang macam Co Hua-sun malah dianggap penasihat terpecaya, serta nasehatnya dituruti…”

Sesuai suasana di ruangan itu sunyi. Helian Kong hanya bisa mendengar desir langkah orang dibalik tiria itu, dan suara degup jantungnya sendiri yang seperi bedug raksasa dilabuh seorang pemabuk. Lalu terdengar suara dari balik tirai "Helian Kong tugasmu hanya melaporkan dam menjawab pertanyaanku. Bukan untuk mengusulkan ini itu, sebab bukan wewenangmu. Paham?"

“Hamba mengerti, Tuanku. Hamba mohon beribu-ribu ampun."

"Nah, laporan kedua soal apa?"

"Laporan JenderaI Ang Seng-tiu dari San-hai-koan, Tuanku. Pasukan di San-hai-koan kekurangan perbekalan padahal posisi San-hui-koan amat penting untuk menjaga wilayah kita dari pasukan Manchu yang terus menekan dengan hebat. Mohon agar pusat segera mengirimkan bantuan."

"Hem. Ang Seng-tiu selalu begitu sejak dulu. Membesar-besarkan kesulitannya sendiri dan merengek-rengek seperti bocah cengeng. Tapi aku akan mempertimbangkan laporannya. Nah, laporan ketiga?"

"Laporan dari Jenderal Sun Toun-leng di Tong-koan, agaknya Jenderal Sun juga membutuhkan bantuan dalam perjuangannya menghadapi laskar pemberontak."

"Inipun akan kupikirkan."

Kembali suasana sunyi beberapa saat. Terdengar dehen-dehem dari balik tirai, seperti seorang pilek yang sedang melegakan tenggorokannya. Lalu terdengar pertanyaan, "Helian Kong, bagaimanapun juga aku bangga dalam Tentara Kerajaan masih ada orang macam kau, yang begitu setia, berani mempertaruhkan nyawa untuk menyampaikan laporan kepadaku. Tapi aku tidak tahu, apakah perwira-perwira macam kau masih cukup banyak jumlahnya untuk dihimpun sebagai kekuatan untuk menyelamatkan negara?”

Helian Kong bersorak kegirangan dahan hati. Ia pikir kaisar harus dibakar semangatnya agar niat-baiknya itu tidak cuma hangat-hangat tahi ayam. Dengan penuh semangut, Helian Kong berkata, "Tuanku, selama ini hamba dan teman-teman yang sepaham memang telah berhimpun dalam sebuah kelompok, biarpun tidak resmi. Kami takut kalau dikira hendak berontak. Setelah mendengar kata-kata Tuanku, hamba sanggup bersama teman-teman hamba untuk diperintah langsung oleh tuanku, demi membersihkan negeri ini dari pembesar-pembesar korup!"

“Sekarang aku cuma ingin tahu, siapa saja perwira-perwira yang menjadi temanmu itu? Ini perlu kuketahui agar aku tahu seberapa besar kekuatan yang bisa kugunakan untuk... untuk membersihkan pemerintahan."

Masih dengan semangat, tinggi, Helian Kong berkata, "Baik, Tuanku. Perlu Tuanku ketahui bahwa rekan-rekan yang siap mendukung Tuanku dalam pembersihan nanti, antara lain adalah..."

Tiba-tiba si dayang Hui-hun yang selama ini bungkam di samping Helian Kong, kini mencengkeram lengan Helian Kong sambiI berkata dengan panik, "Hu-ciang. dia bukan Kaisar!"

"Ap... apa?" Helian Kong menoleh kepada Hui-hun. Kaget. Tidak mudah menjaga jiwa tetap seimbang, selagi berpisah dari gelombang kegembiraan yang begitu hebat menjadi rasa kaget dan tidak percaya yang begitu mendadak, seperti berusaha membelokkan perahu secara tajam di tengah-tengah arus yang deras.

Hui-hun ternyata seorang dayang Puteri Tiang-ping yang setia, dalam keadaan seperti itu ia tidak menggubris keselamatannya sendiri ketika berteriak, "Orang di balik tirai itu bukan Kaisar! itu Co Hua-sun!”

Kalimat tetap selasai biarpun dari balik tirai tiba-tiba sebilah belati menyambar dan menancap telak di ulu hati Hui-hun. Dayang itu kontan roboh dengan baju bagian depan bersimbah darah. Kiranya selama ini Hui-hun diam bukan berarti tak barbuat apa-apa. Ia mendengarkan, dan terasa perubahan suara orang dibalik tabir itu.

Ia kenal suara Kaisar Cong-ceng maupun suara Co Hua-sun. Ketika mendengar suara serak pertama kali, ia mengira itulah suara Kaisar Cong-ceng dalam keadaan pilek. Namun pelan-pelan suara itu berubah jadi melengking kebanci-bancian, seperti suara kaum thai-kam rata-rata.

Maka jelaslah bahwa orang itu adalah Co Hua-sun yang agaknya minum semacam obat untuk merubah suaranya. Namun setelah bicara sekian lama, agaknya khasiat ramuan itu kendor dan suaranya yang aseli mulai kedengaran. Dan Si dayang Hui-hun harus membayar dengan nyawanya untuk penyingkapan rahasia itu.

Robohnya dayang itu membuat Helian Kong tersentak sadar. Benarkah sekian lama ia bicara panjang lebar itu bukan dengan Kaisar Cong-ceng, melainkan denga Co Hua-sun yang justru ingin disingkirkannya dari pemerintahan?

Sementara dari balik tabir terdengar tertawa dingin dan kata-kata, "Helian Kong, tak ada gunanya menentangku. Lebih baik tunduk kepadaku, maka masa depanmu akan penuh keuntungan dibawah bimbinganku."

Helian Kong melompat bangun dari berlututnya sambil menghunus pedang. Pandangannya yang marah ganti-berganti menatap mayat Hui-hun dan bayangan di balik tabir itu. Geramnya, "bangsat. Benarkah kau Co Hua-sun?"

Lalu menerkamlah ia bersama pedangnya kepada bayangan it,u. Tirai terbelah koyak, dan nampaklah orang di belakang tabir itu memang Co Hua-sun. Dandananya memang begitu rupa, sehingga kalau dilihat dari balik tabir bisa disangka Kaisar Cong-ceng sendiri.

Kemarahan Helian Kong meledak. Dia melompat ke balik tirai itu untuk menikam orang yang amat dibencinya itu namun segera sebuah telapak tangan menyelonong dari samping untuk menampar pedang itu dengan cepatnya sehingga berbalik arah, menyusul telapak tangan lainnya turun menghantam ke ubun-ubun Helian Kong.

Helian Kong agak kaget. Tidak menduga kalau Co Hua-sun ternyata didampingi seorang pengawal tangguh yang pandai tidak kelihatan dari balik tabir. Namun Helian Kong sempat menggulingkan dirinya ke samping. Telapak tangan penyergap yang luput itu lalu menghantam remuk kursi yang tadinya di duduki Co Hua-sun.

Semantara Helian Kong melompat bangkit kembali, bayangan penyerang yang tak sempat dilihat wajahnya itu Justru berkelebat ke sebelah luar tirai, sedangkan Co Hu sun juga lenyap entah kemana.

"Bangsat!" kembali Helian Kong berteriak Gusar. Namun di ruangan itu tiba-tiba berhembus asap kuning tebal yang memusingkan kepala. Suasana Jadi remang-remang. Kuatir dalam keadaan itu akan ada serangan gelap, Helian Kong mengobat-abitkan pedangnya namun tak terasa, ia menyedot asap kuning itu beberapa seotan. Itulah serangan gelap yang sebenarnya ada.

Dengan agak panik Helian Kong melompat ke bagian luar tirai itu, namun pengaruh asap kuning itu segera terasa. la merasa kepalanya puyeng dan tenaganya susut banyak. Ketika melihat jendela, ia segera melompatinya untuk keluar.

Biasanya, tembok setinggi empat atau lima meter pun bisa dilompatinya dengan gampang. Tapi sekarang, ambang jendela setinggi kurang dari satu meterpun gagal di lompati, sebab sepasang kakinya sepasang kakinya seperti tidak bertenaga. Ia malah terjungkal jatuh dan jidatnya nyeri terbentur ambang jendela.

Kemudian ia lihat para thai-kam berhamburan masuk ke ruangan itu dengan senjata-senjata terhunus. Mereka nampak tidak terpengaruh oleh asap kuning itu, rupanya, karena sudah lebih dulu mengulum obat pemunahnya. Dalam sekejap mata tubuh Helian Kong sudah diringkus dengan tali-tali yang kuat.

Helian Kong masih pusing dan lemas, namun tetap sadar. Kalaupun ia mengeluh dalam hati, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk nasib negara yang bakalan lebih lama lagi dibawah kendali Co Hua-sun. Para pelayan kebiri itu menyeret Helian Kong kembali ketengah ruangan, dekat mayat Hui-hun, lalu mereka membentak-bentak,

"Pembunuh! Mau berniat jahat terhadap Kaisar ya?"

Seperti sudah diatur dalam sandiwara, semua Thai-kam lain memperdengarkan cacian yang sama kepada "pembunuh" itu. "Ternyata dia berusaha membunuh Kaisar?"

"Benar! Buktinya dia menyelundup kedalam istana dengan membawa senjata!"

“Untung Co Kong-kong amat lihai, sebelumnya sudah mencium adanya usaha jahat ini. Sehingga beliau menyiapkan perangkap untuk menangkap pembunuhnya dan sekaligus menyelamatkan Kaisar!"

Demikianlah para thai-kam berceloteh tentang Helian Kong, sedang Helian Kong cuma bungkam saja. Mau membantah bagaimana lagi? Sampai mulutnya robek pun ia takkan berhasil menghapuskan tuduhan yang memang sudah direncanakan lebih dulu sebelum kejadiannya.

Kelompok Co Hua-sun amat mahir memutihkan yang hitam dan menghitamkan yang putih dalam semua Urusan. Tuduhan bisa diadakan dulu, setelah itu "bukti-bukti" bisa diada-adakan lalu disusulkan.

Di ruangan itu kemudian muncul seorang lelaki setengah baya yang bertubuh kekar dan bermuka bengis, rambut, jenggot, dan pakaiannya awut-awutan, begitu pula segalanya yang ada padanya. Inilah orangnya yang menjaga keselamatan Co Hua-sun tadi.

Sejenak orang itu menatap Helian Kong sambil terkekeh-kekeh. "Boleh juga bocah ini, tidak percuma si tua bangka Nyo Hong memilihnya sebagai murid pewaris."

Mengertilah Helian Kong bahwa orang itu memusuhinya karena dendam kepada gurunya almarhum, suatu urusan lumrah dalam dunia persilatan. Dan Saat itu ternyata urusan dendam rimba-persilatan serta ambisi politik Co Hua sun bergabung dalam satu arus yang menghanyutkan Helian Kong.

Mendengar ucapan para Thai-kam itu, timbul juga rasa heran Helian Kong. Jelas bahwa perangkap itu memang disiapkan khusus buatnya, khusus buat Helian Kong yang diketahui bakal menghadap Kaisar malam itu. Itu berarti sebelum Helian Kong sampai ke situ, maksudnya sudah diketahui, sudah ada yang lebih dulu membocorkan rencananya. Siapa yang mengkhianatinya?

Dengan mata menyala Helian Kong menatap manusia semrawut itu "Siapa kau?"

Orang itu tidak menjawab, malahan mengerutkan alisnya dan berkata, "Ha, jadi kau masih bisa bicara? Itu tidak boleh terjadi.”

Jari-jarinya terulur untuk menotok urat Ah-hiat di tubuh Helian Kong. Maka jadilah Helian Kong orang bisu untuk sementara. Co Hua-sun lebih senang menghadapkan orang-orang bisu kehadapan Kaisar, agar tidak bicara macam-macam. Kalau tidak bisu ya setidak-tidaknya hanya menjadi "penyambung lidah" Co Hua-sun belaka.

Dua Orang thai-kam masuk menggotong kursi baru sebagai pengganti kursi yang remuk tadi. Dua kursi, yang satu diletakkan di tengah benar, yang lainnya agak ke pinggir. Kemudian orang-orang diruangan itu mentertibkan diri.

Muncullah kemudian Kaisar Cong-ceng yang aseli, diiringi Co Hua-sun yang wajahnya cerah dengan senyum kemenangan. Semua orang berlutut menghormati kedatangan Kaisar lalu duduk di kursi yang di tengah, dan Co Hua-sun di sebalahnya, setingkat lebih rendah.

Kata Kaisar, "Bangunlah..."

"Terima kasih, Tuanku!" para thai-kam dan si manusia semrawut menyahut serempak sebelum mereka berdiri dengan tertib.

Kaisar mengamat-amati Helian Kong. Sedangkan Helian Kong mencoba "bicara" dengan sinar matanya, namun rupanya Kaisar tak bisa menangkap maksudnya, perasaanya terlalu tumpul. Helian Kong menunduk sedih. Ia ingin menghadap Kaisar dengan bebas, bicara empat mata, melaporkan, membeberkan situasi, mengajukan usul, tanpa Kaisar dipengaruhi Co Hua-sun.

Namun akhirnya "menghadap seperti inilah yang diperolehnya. Di belenggu, tak bisa bicara, dituduh sebagai pembunuh, sepatah- katapun tak bisa membantah omongan Co Hua- sun dan orang-orangnya.

"Jadi inikah pembunuh itu?" tanya Kaisar Cong-cong memecah kesunyian ruangan itu.

"Benar, Tuanku..." sahut Co Hua sun.

"Sudah ditanyai?"

"Sudah kau tanyai dia, Tong Hin-pa?' Co Hua-sun meneruskan pertanyaan Kaisar itu kepada si manusia semrawut. Ternyata namanya Tong Hin-pa, dikenai dengan julukan Bu-eng-jit-pian(cambuk maut tak berbayangan).

Tong Hin-pa cepat-cepat berlutut dan berkata “Tuanku, pembunuh ini benar-benar bandel, rupanya dia mau melindungi orang yang menyuruhnya. Sudah hamba tanyai, dia tetap bungkam."

Tentu saja dalam hatinya Helian Kong menjerit membantah kata-kata itu. Namun totokan pada urat. Ah-hiatnya masih tersumbat. Kini dirasakannya sendiri bagaimana seorang yang tanpa daya mengalami perlakuan semena- mena tapi tidak dapat melawan, bersuarapun tidak dapat. Entah di kehidupan sehari-hari, entah di depan pengadilan...

"Benarkah dia tidak mau bicara?" Co Hua- sun pura-pura tidak segera mempercayai kata- kata Tong Hin-pa. "Coba tanyai lagi, barangkali sekarang pendirian ya sudah berubah setelah berhadapan dengan Sri Baginda. Lihat,dia mengalirkan air mata."

Maka berlangsunglah sandiwara untuk mengelabuhi Kaisar. Tong Hin-pa pura-pura menanyai Helian Kong, siapa yang menyuruh, dibayar berapa, dengan maksud apa dan sebagainya. Tentu saja Helian Kong tetap bungkam karena tortotok.

"Bandel orang ini, Tuanku." Kata Tong Hin-pa. "Sampai matipun dia takkan bicara."

"Aku tidak percaya ada orang yang mampu menahan siksaan di ruangan bawah tanah." Kata Co Hua-sun dingin. "Seret dia kesana dan paksalah bicara, nanti laporkan kepadaku, lalu akan kulaporkan kepada Sri baginda, agar kita semua tahu siapa yang menyuruhnya berusaha membunuh Sri Baginda."

Segera Helian Kong diseret pergi. Mayat Hui-hun juga disingkirkan. Setelah tinggal berdua saja dengan Kaisar Cong-ceng di ruangan itu, berkatalah Co Hua-sun, “Tuanku, apa yang selama ini hamba perkirakan, agaknya memang betul. Biarpun pembunuh itu mengunci mulutnya rapat-rapat, namun menurut penyelidikan hamba sebelum ini, rasanya hamba sudah tahu siapi yang menyuruhnya untuk membunuh Tuanku."

"Siapa?"

"Su Ko-hoat."

Kaisar menarik napas mendengar nama itu, alisnya berkerut. Gumamnya, "Ah," dia masih mendendam kepadaku gara-gara urusan arak beracun dulu itu? Dia mengira aku yang menaruh racun, dan biarpun selama ini sikapnya tidak terang-terangan kepadaku, tapi bertahun-tahun dia tidak pernah lagi ke ibu kota untuk menghadap aku. Sikapnya dingin. Padahal aku sama sekali tidak tahu kalau dalam arak itu ada racunnya.”

Co Hua-sun menghasut, "Tuanku, dengan atau tanpa peristiwa itu, Su Ko-hoat memang sudah berjiwa pengkhianat dan patut disingkirkan!"

Tiba-tibu Kaisar Cong-ceng menoleh dan menatap tajam kepada Co Hua-sun, "Kong-kong, apakah dulu kau yang menaruh racun dalam arak itu? "

Cepat-cepat Co Hua-sun membuang muka, menghindari tatapan tajam Kaisar cong-ceng. Tapi ia tidak gugup. Malah Kemudian berkelit dengan licinnya, "Terlalu banyak orang yang setia kepada Tuanku yang ingin mencekik mampus Su Ko hoat, bukan hanya hamba saja."

Membentur masalah pelik, seperti biasa Kaisar Cong-ceng yang lemah itu pun putus asa. Urusan arak beracun itu kalau diusut mungkin akan melibatkan banyak pihak, jadi baiknya dikubur saja. Maka ia cukup menarik napas santai mengeluh,

"Bagaimanapun juga Su Ko- hoat adalah seorang yang berpengaruh, di Yang- ciu ia punya pengikut yang kuat. Kenapa ada yang berusaha membunuhnya dengan lancang tanpa minta peritimbanganku lebih dulu?"

"'Tuanku, hamba ulangi lagi, dengan atau tanpa peristiwa arak beracun itu, Su ko-hoat tetap seorang pengkhianat yang membahayakan kekuasaan 'Tuanku. Dia harus dilenyapkan!"

“Darimana kau berkesimpulan demikian?"

"Menurut penyelidikan teliti orang-orang hamba, ada gejala-gejala Su Ko-hoat bersekongkol dengan Thio Kian tiong di secuan untuk berontak kepada tuanku. Buktinya mereka acuh tak acuh kepada Jenderal Sun Toun-teng yang susah payah sedang membendung majunya pemberontakan di Tong-koann. Su Ko-hoat dan dan Thio Kian-tiong memang bangsat semua, rupanya mereka malah akan senang kalau laskar pemberontak segera ke mari.”

Padahal yang oleh Co Hua-sun disebut "penyelidikan teliti" itu adalah apa yang didengarnya dari Helian Kong tadi, lalu diotak- atik sendiri kemudian "dihidangkan" kembali kepada Kaisar. Tentu saja sudah kebanyakan bumbu dari Co Hua-sun sendiri. bumbu yang namanya keuntungan priUuli dan golongannya sendiri, iri, dengki, kebencian.

Dan seperti biasa Kaisar "menyantap" hasil olah-pikir Co Hua-sun itu tanpa sikap kritis. Otaknya sudah terlalu malas untuk memikir yang ruwet-ruwet. Semua urusan sudah "diborongkan kepada Co Hua-sun. Sikap Kaisar itu tercermin dari pertanyaan, "Lalu bagai mana baiknya sekarang?"

Dan Co Hua-sun sudah terlalu lama siap dengan jawabannya, "Panggil Su Ko-hoat ke Pak-khia dengan alasan untuk mendapat tugas atau kenaikan pangkat, Begitu sampai di ibukota ini, habisi dia. Pengikut.-pengikutnya di Yan-ciu akan seperti ular tanpa kepala, kebingungan dan tak bisa berbuat apa-apa."

Bagaimanapun juga Kaisar terkejut mendengar usul itu, "Kong-kong, ketika dulu aku menghukum mati Jenderal Wan Cong-hoan atas usulmu, sampai sekarang pun gejolaknya belum benar-benar reda. Apakah aku akan membeberkan lagi gejolak dengan membunuh Su Ko-hoat?"

"Tuanku, gejolak itu pasti hanya sebentar. Ketika Wan Cong-hoan mati memang ada gejolak, namun toh lama-lama akan reda dan di lupakan orang. Begitu pula kalau Su Ko-hoat kita...."

"Tidak!" bantahan Kaisar kali ini di luar dugaan Co Hoa-sun, karena biasa nya menurut saja "Soal Su Ko-hoat akan kuselidiki dan kuputuskan kelak. Tapi aku sekarang belum bisa melakukan seperti usul Kong-kong!"

Co Hua-sun terperangah. Tiba-tiba ia bangkit dari kursinya untuk berlutut di depan Kaisar sambil berkata dengan nada memelas. "Kalau demikian Tuanku sudah tidak mempercayai hamba lagi. Hamba sudah tidak dianggap becus menyajikan, laporan yang benar kepada Tuanku. Dari pada hamba merasa sedih karena anggapan itu perkenankanlah hamba mengundurkan diri sekarang juga."

Kaisar terkejut, cepat-cepat ia mengangkat bangun Co Hua-sun dengan kedua tangannya sendiri, lalu dituntunnya thai-kam tua. itu duduk kembali di kursinya. "Aku minta maaf kalau ucapanku telah menyinggung hati Kong-kong. Mana bisa aku tidak didampingi oleh Kong-kong yang begini setia dan penuh nasehat-nasehat berharga? Jangan mengundurkan diri, Kong-kong, tetaplah di sampingku."

Sambil duduk di kursinya, Co Hua-sun diam-diam tertawa dalam hati, tertawa kmenengan, sebab ia pasti bahwa Kaisar akan bersikap seperti itu. Kaisar pasti tidak mau ditinggalkan olehnya. Namun wajah Co-hua-sun pura-pura tetap menunjukkan sikap menyesal dan sedih,

"Barangkali memang hamba benar-benar sudah makin tua dan makin tidak berguna lagi. Barangkali tuanku sudah melihat orang lain yang lebih muda lebih pandai bekerja dibandingkan hamba, lebih setia. Hamba tak akan menghalang-halanginya kalau Tuanku...."

"Ah, Kong-kong, yang lebih muda memang banyak, tapi mana yang bisa lebih kupercayai dari Kong-kong? Kong-kong lah yang pernah menyelamatkan aku dari pengkliianat Gui Hiati-tiong, budi Kong-kong kepadaku setinggi gunung dan sedalam lautan. Tetaplah di sampingku, Kong-kong."

Memang ada sebabnya kenapa Kaisar Cong- ceng begitu tergantung kepada Co Hua-sun. Ketika Kaisar Cong-ceng baru saja menggantikan Kaisar Hicong, ia masih hijau dalam pengalaman dan belum tahu apa-apa. justru saat itu timbul pemberontakan dalam istana oleh Gui Hian-tiong seorang thai-kam berpengaruh, yang hampir-hampir berhasil merebut kekuasaan. Waktu itu Co Hua-sun tampil sebagai pembela Kaisar, sehingga pemberontakan dapat ditumpas dan Gui Hian- tiong dipenggal kepalanya.

Peristiwa hebat di awal kedudukannya itulah yang membuat Kaisar Cong-ceng tidak percaya diri sendiri, terlalu menyandarkan segalanya kepada Co Hua-sun yang dianggapnya serba pintar untuk semua urusan. Kaisar jadi tak ubahnya anak manja yang tak berani lepas dari gandengan tangan ibunya.

Tidak berani ambil keputusan sendiri, malas berpikir dan maunya serba beres saja. Itulah peluang besar buat Co Hua sun untuk menyebar dan memupuk pengaruhnya sendiri sehingga tumbuh begitu kokoh saat itu.

saat itu Co Hua-sun masih menunjukkan sikap yang sedih, "Apa yang selarut ini hamba lakukan hanyalah demi Tuanku demi dinasti Beng yang jaya, tak sedikitpun buat kepentingan pribadi hamba. Tetapi banyak orang benci kepada hamba, sungguh hamba tak mengerti apa kesalahan hamba ini’?'

Bicara sampai di sini, Co Hua-sun berhasil mencucurkan air matanya, sehingga Kaisar berkata, "Kong-kong tetap penasehat yang kupercayai dari siapapun. melebihi anggaota-angauta keluargaku sendiri."

"Kalau Tuanku mempercayai hamba, biarpun hamba hancur lebur akan rela demi kewibawaan Tuanku."

"Sudanlah, sekarang.. .Oh, ya bagainana dengan keadaan Jenderal Sun Toan-teng di Tong-koan?"

'Dia baik-baik saja, pertahanannya amat kuat, gerombolan Li Cu-seng benar-benar kena batunya sekarang."

"Bagus, tapi kenapa hanya bertahan di Tong-koan? Kenapa tidak berusaha merebut kembali wilayah-wilayah yang sudah direbut pemberontak?"

"Untuk menukul balik laskar pemberontak, itu urusan lain. Jenderal Sun butuh tambahan pasukan."

"Tambahan pasukan?" Kaisar merenung sebentar, lalu katanya dengan ragu-ragu, "bagaimanan kalau Su Ko-hoat saja kita tugaskan membantu di Tong-koan? Meskipun dia...dia berhati serong, seperti kata Kong-kong tadi, namun asal kekuasaannya kita taruh di tangan Jenderal Sun Toan-teng, Su Ko-hoat hanya sebagai pendamping, rasanya tidak berbahaya malah bisa dimanfaatkan. Dan lebih baik daripada terlalu lama bercokol di Yang-ciu untuk memperkua pengaruh."

Co Hua-sun kaget, karena ia paling takut kepada Jenderal Su yang Jujur, setia dan berhati bersih itu. Buru-buru ia mencegah, "Kalau Tuanku masih bisa mempercayai hamba, janganlah bertindak demikian. Su Ko-hoat dan pasukannya takkan membantu Jenderal Sun, bahkan akan menjadi beban tambahan. Ya beban perbekalan, ya beban pikiran, dan ia tetap merugikan ancaman bagi ki... eh, Tuanku. Seekor serigala tidak akan berubah jadi kanbing biarpun diber i makan nriput."

"Ada jalan lain?"

Co Hua-sun bungkam beberapa saat, berpikir keras, lalu berkata, "Tuanku, hamba mengajak Tuanku membuat suatu perhitungan untung-rugi berani sedikit berkorban untuk mencapai keuntungan besar jangka panjang."

“Maksud Kong-kong?"

"Ibaratnya dalam sebuah keluarga belum tentu diantara saudara kandung lebih membela kita dibandingkan orang luar. Seringkali malah orang luar bersikap lebih siap membantu kita."

Jawaban yang berputar-putar itu membuat Kaisar Cong-ceng mengerutkan alisnya. Namun ia diam, menunggu Co Hua sun bicara lebih lanjut.

"Tuanku, penberont.akan Li Cu-seng memang menyusahkan, tetapi juga ada hikmahnya buat kita. Kita jadi tahu mana yang setia dan bersungguh-sungguh membela negara, dan mana yang acuh tak acuh. Yang setia cuma Jenderal Sun, sedang selebihnya narus kita ragukan. Terutama jenderal-jenderal diselatan itu adalah bangsat semua, mereka tetap acuh tak acuh di wilayah masing-masing sambil memperkuat diri. Tentu bangsat-bangsat ini sedang menunggu keruntuhan Tuanku, agar mereka dapat mendirikan kerajaan sendiri-sen diri."

"Ah, Kong-kong. tuduhanmu sungguh terlalu berat buat mereka. Entah bagaimana reaksi mereka kalau sampai mendengar kata-katamu ini."

"Tuanku jangan kecil hati. Hamba punya rencana yang tepat untuk bias memperkuat keududukan Tuanku, sekaligus juga mmbuat gentar siapapun yang berniat berontak kepada Tuanku."

"Kong-Kong dari tadi bicara berputar-putar saja, belum mengatakan pokok persoalannya."

"Baiklah, Tuanku. Namun hamba mohon beribu-ribu ampun sebelumnya, kalau tindakan hamba kurang berkenan dihati Tuanku. Hamba merencanakan ini bukan hanya untuk hamba priliadi, tapi demi tuanku dan Dinasti Beng yang jaya!"

"Ya,ya, aku sudah paham."

"Beberapa hari yang lalu hamba dikunjungi tamu yang diluar dugaan."

"Siapa?"

"Utusanya Sit-ceng-ong To Ji-kun, dari Jiat- ho!"

Keruan Kaisar Cong-ceng bagaikan disengat kalajengking ketika mendengar nama itu. Maklum, orang yang disebut namanya itu bukan lain adalah paman dari Kaisar Sun-ti dari Kerajaan Ceng (Manchu), tetangga di sebelah timur-laut yang selama beberapa tahun ini hubunganya tegang dengan Kerajaan Beng.

Ketika itu, Kaisar Sun-ti yang juga bergelar Ceng-si-cou masih terlalu kecil Ketika mewarisi tahta dari Kaisar Thai-cong (1627 - 1636). Maka yang menjalankan pemerintahannya ialah pamannya, Sit-ceng-ong To Ji-kun, berkedudukan sebagai wali sampai kelak Kaisar Sun-ti dianggap dewasa. Sedang kota Jit-ho adalah Ibukota Kerajaan Ceng saat itu.

Kaisar Cong-cong kaget mendengar Co Hua- sun telah menerima utusan dari negara tetangga yang bermusuhan itu tanpa melaporkannya kepadanya sejak dulu. Baru kemarin sore Kaisar menegur Co Hua-sun karena juga tidak melaporkan utusan Hidetada Tokugawa, tak terduga kalau sebelumnya juga sudah ada tindakan yang serupa.

Muncul setitik kesukaran dalam hati Kaisar Cong-ceng karena merasa dirinya diabaikan. Tetapi sadar kalau orang-orang di dalam istana itu sebagian besar sudah menjadi kaki tangan C’o Hua-sun, terpaksa Kaisar harus menahan diri. Maka dia tidak berani mendamprat, cuma menegur,

"Kong-kong, apa sebenarnya maksudmu dengan selalu menyembunyikan kedatangan utusan negara-negara asing?"

"Ampun Tuanku, bukankah sekarang hamba sudah memberitahukannya kepada Tuanku? Hamba tidak menyembunyikan, hamba hanya menunggu saat yang tepat untuk melaporkan kepada tuanku."

"Kalau begitu, suruhlah utusan Pangeran To Ji-kun itu menghadap aku di paseban. Sebagai utusan resmi, dia harus tahu bahwa akulah penguasa negeri ini dan menRhadap aku."

"Ampun Tuanku, utusan itu hanya tinggal satu malam di Pak-khia, dan keesokan harinya terus pulang kembali k jiat-ho."

Kaisar bangkit dari kursinya dan berjalan hilir mudik, susah-payah ia mengendalikan kemarahannya, beberapa kali menarik napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat. Ia merasa wewenangnya terlalu banyak yang dilangkahi oleh Co Hua-sun.

"Kong-kong, kenapa baru kau laporkan setelah utusan itu pergi? Kenapa pula utusan itu hanya menemuimu dan tidak menemui aku? Apa ada urusan yang kau sembunyikan dengan utusan itu?"

Pertanyaan itu masih bernada "tanpa ledakan," lapi Co Hua-sun sudah merasakan adanya kemarahan Kaisar yang di tahan-tahan. Cepat-cepat ia berlutut kenbali dan berkata, “Hamba mohon beribu-ribu ampun Tuanku. Kedatangan utusan itu bertepatan waktunya dengan ketika Tuanku sedang demam beberapa hari yang lalu. Hamba tangani sendiri urusan itu agar tidak mengganggu istirahat Tuanku, supaya Tuanku cepat menjadi sehat kembali.”

"Seperti kata pepatah, "Nasi sudah menjadi bubur," mau marah-marah sampai bagaimanapun tak berguna karena sudah terlanjur. Apalagi memang Kaisar juga tidak berani marah terang-terangan kepada Co Hua-sun yang "menggenggam" keselamatannya. Terpaksa Kaisar Cong-ceng bersikap lebih sabar. "Apa saja yang dikatakan utusan itu?"

"Hamba hanya menyampaikan kata-kata utusan itu, Tuanku, bukan kata-kata hamba sendiri. Kalau ada yang tidak berkenan, janganlah Tuanku marah kepada hamba."

“Kong-kong, kenapa baru kau laporkan setelah utusan itu pergi ? Kenapa pula utusan itu hanya menemuimu dan tidak menemui aku?"

"Ya, katakan cepat!" bagaimanapun juga sulit bagi Kaisar untuk sepenuhnya menyembunyikan kejengkelannya.

"Tuanku, Sit-ceng-ong menawarkan perdamaian antara Kerajaan Beng dan Ceng. Bahkan dia menawarkan bantuan pasukan untuk memadamkan pemberontakan Li Cu-seng. Pasukannya tangguh, karna itulah pasukan yang pernah mengkocar-kacirkan Tentara Jepang di Semanjung Tiau-sian (Korea). Pasukan yang istimewa."

Melengkapi kata-kata terakhir ini , Co Hua-sun mengacungkan dua jempolnya sekaligus. Meskipun baru saja bilang "Bukan kata-kata hamba," toh nada bicaranya berbau promosi, nampak berusaha mendorong agar Kaisar menuruti usul pihak Manchu itu.

Tetapi Kaisar mendengus jengkel, "Hem, mana mungkin bangsat-bangsat Manchu itu mau menolong kita tanpa imbalan apa-apa?"

"Hamba harap Tuanku tidak keliru memandang mereka. Menang mereka kasar dalam tingkah laku, tidak sehalus bangsa Han kita, tetapi mereka lebih blak-blakan juga. Mereka memang minta imbalan, setelah mengalahkan Li Cu-seng, mereka minta wilayah Ho-pak dan Shou-tang, dengan sungai Hong-ho sebagai batasnya."

"Itu permintaan kurang ajar! Pak-khia, ibukota kerajaan kita, terletak di tengah propinsi Ho-pak. Kalau Ho-pak diminta, apakah ibukota kita juga harus digusur pergi? Aku tidak sudi meniru Song-khim-cong yang terbirit-birit dari Pian-liang ketika diserbu bangsa Kim.

Itu noda sejarah buat Dinasti Han, apalagi orang Manchu sekarang ini adalah keturunan orang-orang Kim. Apakah mereka sengaja mengajukan pemintaan ini untuk menghina kita? Mengingatkan kemenangan mereka at as bangsa Han berabad-abad yang lalu?"

Song-Khim-cong yang disebut oleh Kaisar Cong-ceng itu adalah Kaisar ke sembilan dari Kerajaan Song?, berkuasa tahun 1126-1127, jadi cuma setahun. Di jamannya Kerajaan Kim menyerbu, sehingga Song-khim-cong lari dari ibukota Pian-liang (atau Kai-hong). Saudaranya bertahta dan memindahkan ibukota ke Lim-an, dan kemudian saudaranya itu bertahta dengan gelar Song-ko-cong (1127-1163).

Kerajaannya disebut Lam-song (Son selatan) karena pemindahan ibukota itu. Hal itu dianggap memalukan untuk sejarah bangsa Han. Kini Kaisar Cong-ceng yang juga bangsa Han itu marah mendengar usul Co Hua-sun itu, apalagi kalau ingat bahwa Kerajaan Ceng tak lain adalah "Kelanjutan" Kerajaan Kim, sehingga sering disebut juga. Pua-kin (Kim Baru), sedang Kerajaan Song sebagai negerinya bangsa Han. Agaknva inilah dendam antar bangsa, biarpun pemerintahan atau dinasti masing-masing pihak sudah berganti setelah ratusan tahun.

Tapi Co Hua-sun tidak buru-buru menyerah oleh penolakan Kaisar Cong-ceng bujuknya lagi, "Harap kita berpikir dengan otak yang tetap dingin, Tuanku. Jangan tergesa-gesa menurut emosi saja."

"Karena permintaan mereka keterlaluan. Kalau kita turuti, namaku akan dicatat dalam buku sejarah sama buruknya dengan Song-kim-cong! Kalau utusan itu datang lagi, bilang saja bahwa kita mampu menumpas Li Cu-seng tanpa bantuan pasukan Asing!"

"Sabar, Tuanku. Permintaan pihak Manchu tadi masih bisa ditawar bisa dirundingkan."

"Tidak! Sekali orang-orang machu itu masuk negeri kita kau pikir mereka hanya puas menguasai Ho-pak dan Shou-tang? Mereka pasti akan merebut semuanya sampai tak tersisa sejengkal tanahpun buat kita. Lagi pula mengajak berunding hanyalah menunjukkan sikap lemah!"

"'Tuanku, lihatlah kenyataan. Situasi negeri kita yang seperti ini jangan dibiarkan berlarut-larut. Keadaan gawat."

"Sekarang kau bilang begitu, tapi dulu apa yang kau laporkan kepadaku? Kau bilang dimana-mana aman sejahtera, rakyat bekerja dengan gembira, sandang-pangan berlimpah. Sekarang kau tiba-tiba bilang situasi demikian gawat sehingga kita harus dibantu orang Manchu. Omonganmu mana yang benar, Kong-kong?" Suara Kaisar makin lama makin keras karena jengkel.

Tetapi Co Hua-sun tetap tenang-tenang saja yakin bahwa pada akhirnya toh Kaisar akan menuruti omongannya, seperti biasanya. Seperti "ibu gurita" tahu benar kalau anaknya rewel hanya sebentar, tetapi takkan berani lepas dari gandengan tangannya.

"Tuanku, situasi menyeluruh sekarang ini pun sebetulnya tidak menguatirkan. Persekutuan kita dengan Manchu hanya langkah sementara. sebagai pecinta tanah air, mana rela menyerahkan sejengkal tanahpun kepada orang Manchu? Tidak, hamba tidak rela."

Kaisar Cong-ceng jadi agak tenang mendengar itu. Sementara Co Hua-sun berkata lagi, "Setelah Ho-pak dan Shoa-tang kita serahkan untuk sementara, kita bisa diam-diam memperkuat diri dan berusaha mengusir kembali mereka ke Liau-tong, negeri asal mereka."

"Kau pikir gampang mengusir macan yang sudah di dalam rumah?"

"Kita gunakan akal. Pertama, kita pura-pura bersahabat dengan mereka tapi sambil memperkuat diri diam-diam. Jenderal-jenderal kita yang kesetiannya meragukan seperti Su Ko-hoat, kita singkirkan, kita gantikan dengan orang yang patuh kepada kita, agar pasukan mereka tiap saat bisa digerakkan. Kedua, kita tahu Hidetada Tokugawa mendendam kepada Manchu karena dirampasnya Tiau-sian. Nah. kita kipasi permusuhan mereka. Kalau perlu kita ajak Jepang bersekutu untuk menggempur Manchu dari dua arah. Negerinya dibagi dua."

"Hem, enak benar omonganmu."

"Hamba mohon Tuanku pertimbangkan!"

"Keputusanku tidak harus sekarang bukan?"

"Makin cepat makin baik."

"Harus kupikirkan masak-masak dulu."

"'Tuanku, tapi sebaiknya...."

"Sudahlah, Kong-kong! Aku lelah lahir batin dan butuh istirahat!" habis berkata demikian, Kaisar Cong-ceng bergegas bangkit dari kursinya dan langsung meninggalkan Co Hua-sun diruangan itu, tidak mau diajak bicara lagi.

Ketika Kaisar melangkah keluar, Co Hua-sun berlutut menghormat. Tapi begitu Kaisar menghilang di balik pintu, ia berdiri sambil menatap ke pintu. Geramnya sengit, "Orang goblok tapi berlagak pintar. Hem, lihat saja, bisa berbuat apa kau tanpa aku?"

Co Hua-sun pun kemudian melangkah keluar, diluar, nampak beberapa thai-kam berbaris tertib. Kepada mereka Co Hua-sun bertanya, "Kemana Kaisar?"

“Mungkin ke bangsalnya. Kong-kong, kelihatannya dia marah."

Co Hua-sun tertawa dan berkata," "Sebentar lagi kalau melihat kecantikan Tiau Kui-hui, kemarahannya akan segera lumer di atas ranjang."

Para Thai-kam tertawa. "Memang di depan Kaisar mereka berlutut pura-pura menghormati tetapi begitu Kaisar berlalu, mereka mulai cengengesan.

Kata Bu goat-long salah satu thai-kam andalan Co Hua-sun, "Mungkin marahnya juga cuma pura-pura, supaya kelihatan sedikit ada wibawa. Tapi aku berani taruhan potong telinga, besok dia pasti kembali merengek agar Kong-kong yang menyelesaikan segala urusan yang tidak bisa diselesaikannya sendiri. Karena dia tidak becus!"

Kembali para thaikam tertawa, termasuk Co Hua-sun, Sampai Co Hua-sun mengisyaratkan agar mereka berhenti tertawa, “Sudahlah, tawanan tadi sudah kita urus ?”

Aman kong-kong sepenuhnya, kita kuasai. Kaisar sendiripun tak akan berani mengambilnya tanpa ijin Kong-kong.”

“Bagus!”

“Kong-kong, apakah Kaisar menolak persekutuan dengan Pangeran To Ji-kun?"

"Semula begitu."

"Lantas?"

"Dia belum sadar di tangan siapa kekuasaan sebenarnya berada. Kalau dia tahu bahwa terhadap nyawanya sendiri pun tidak berkuasa, dia pasti merubah sikapnya.” Co Hua-sun terkekeh.


Kaisar Cong-ceng melangkah dengan hati yang panas, apalagi sayup-sayup di belakangnya terdengar suara tertawa para thai-kam. Ia mempercepat langkahnya ke bangsalnya sendiri. "Hem, bangsat-bangsat kebiri itu pasti sedang mentertawakan aku," geramnya dalam hati. "Tapi kalau aku terus menerus didekte oleh Co Hua-sun, dilancangi dalam segala tindakan seperti sekarang ini, agaknya aku memang pantas menjadi bahan tertawan generasi-generasi berikutnya. Dalam buku sejarah, namaku akan dicatat sebagai Kaisar tidak becus. Sejajar dengan Tong-beng-ong dari dinasti Tong atau Song-khim-cong dari ahala Song."

Langkahnya makin cepat. Tidak digubrisnya beberapa pengawal, Thai-kam atau kiong-li (dayung) yang berlutut ketika dia lewat. "Aku harus berbuat sesuatu. Memang Co Hua-sun kubutuhkan untuk tukar pikiran, tapi aku harus berhenti menjadi bonekanya."

Begitulah selagi hatinya panas, tekadnya memang hebat. Tetapi sementara ia berjalan ke bangsalnya, di mana-mana ia berpapasan dengan para thai-kam bersenjata, orang-orangnya Co Hua-sun. Jumlahnya banyak sekali, di segala sudut istana. Maka kecutlah kembali hati Kaisar. Marah memang tapi berani bertindak itu urusan lain.

Tiba di bangsalnya, Kaisar langsung mendorong pintu dan masuk. Meskipun malam sudah larut, tapi tidak ada keinginannya sedikitpun juga untuk tidur. Gelisah, terombang-ambing antara marah dan takut.. Dayang-dayang di bangsal itupun tidak berani menyapa, mereka cuma berlutut sambil membungkam, menanti perintah.

"Pergi!" Kaisar tiba-tiba membentak dayang-dayang itu. "Kalian memuakkan semuanya! Pergi!"

Begitulah, kemarahan yang tidak berani diungkap kepada yang lebih kuat, lalu disalurkan kepihak yang lebih lemah. Dengan ketakutan dayang-dyang itu mengundurkan diri. Lalu sendirian Kaisar diruangan dengan penerangan yang redup itu sebentar duduk, sebentar berjalan hilir mudik.

Inilah hal yang tidak diperhitungkan oleh Co Hua-sun, bahwa kemarahan Kaisar kali ini tidak cepat lumer, tidak seperti biasanya yang seperti anak manja menangis dan diam setelah diberi mainan. Sekarang tidak. Anak yang paling penurut pun ada kalanya merasa jemu dikekang dan diatur terus oleh ibunya.

Bahkan ketika kemudian Tiau Kui hui muncul karena disuruh oleh Co Hua-sun, Kaisar tidak menggubrisnya. Selir cantik itu masuk ke dalam dengan gayanya yang menggiurkan, lalu berlutut menghormat dengan gemulai. Kaisar cuma meliriknya sekejap, itupun dengan sikap acuh tak acuh.

"Tuanku... suara Tiau Kui-hu berusaha menimbulkan gairah, rada mirip erangan seekor kucing betina yang mengundang jantannya. "Tuanku...."

"Ada apa?" kali ini si "kucing jantan" lagi tidak bergairah rupanya. Sikapnyapun dingin.

"Tuanku, apakah ada yang sedang tidak berkenan di hati Tuanku?"

"Hem."

"Kalau ada yang merisaukan Tuanku, bagilah beban perasaan itu dengan hamba. Biarpun hamba orang bodoh, barangkali saja bisa ikut meringankan beban pikiran Tuanku.''

Biasanya memang begitu. Kalau Kaisar sedang punya pikiran, dia bicara blak-blakan dengan Tiau Kui-hui sebelum atau sesudah bermain cinta. Lalu Tiau Kui-hui diam-diam akan melaporkan semua omongan Kaisar kepada Co Hua sun, sehingga Co Hua-sun seolah tahu seluruh "isi perut" Kaisar untuk menguasainya. Namun kali ini Kaisar bungkam dingin saja menghadapi rayuan Tiau Kui-hui.

Tiau Kui-hui bangkit mendekati Kaisar, membelai lembut pundak Kaisar, menempelkan sebagian tubuhnya yang lembut dan hangat itu ke tubuh Kaisar semacam "jurus penakluk" yang biasanya cukup ampuh untuk membuat. Kaisar terbuai takluk sampai lemas. Tiba-tiba Kaisar menggerakkan lengan dan pundaknya begitu kasar, sehingga selir montok itu terdorong mundur hampir-hanpir jatuh terduduk.

"Tuanku...." Tiau Kui-hui terperanjat. Tak terdengar jawaban Kaisar. "Tuanku bosan kepada hamba?" sekarang Tiau Kui-hui mencampuri rengekannya dengan isak tangis tertahan yang diharapkan keampuhannya.

Kaisar tetap berdiri mematung. Sikap Kaisar itu mengubah tangis buatan Tiau Kui-hui pelan-pelan jadi tangis sungguh-sungguh. Tiau Kui-hui merasa kedudukannya mulai goyah. Selama ini ia merasa "menang" berhasil menyingkirkien Peimisuri Ciu yang lebih dulu di sisi Kaisar, "kemenangan"nya atas wanita nomor satu di kekaisaran. Kini adakah gilirannya tiba untuk minggir pula?

“Tuanku... apakah Tuanku benar-benar sudah jemu kepada hamba?”

Kaisar tetap berdiri membelakangi Tiau Kui-hui Pertanyaan itu tidak didengarnya pikirannya sedang penuh kejengkelan terhadap segala ulah Co Hua-sun selama ini.

Hati Tiau Kui-hui makin tertusuk, "Tuanku rupanya benar-benar sudah tidak membutuhkan hamba lagi. Apakah karena telah melihat penari cantik dari Soh-ciu dirumah Paduka Ciu Kok-thio? penari yang konon lebih cant ik dari bidadari itu?"

Justru karena mengungkit-ungkit soal penari itu, malahan Tiau Kui-hui semakin tidak terpandang di mata Kaisar. Bayangan si penari cantik yang jauh lebih cantik itu semakin mendesak Tiau Kui-hui dari pusat perhatian Kaisar.

Akhirnya Tiau Kui-hui benr-benar putus asa, sambil terisak-isak ia berkata, “Kalau memang demikian, biarlah hamba mengundurkan diri saja karena sudah tidak Tuanku butuhkan."

Siasat inipun masih mengandung setitik harapan agar Kaisar menyesali sikapnya lalu mencegahnya pergi. Ternyata tidak. Kaisar tetap tidak menoleh ketika Tiau Kui-hui berjalan ke pintu, meskipun Tiau Kui-hui yang beberapa kali menoleh dengan langkah tertahan-tahan.

Akhirnya Tiau Kui-hui melangkah keluar ruangan itu dengan hati yang luluh, dengan sikap seorang yang kalah. Namun di luar ruangan, wajah sendunya berubah menjadi bengis seperti iblis, geramnya,

"Ini pastilah gara-gara penari cantik yang di pertontonkan Ciu Kok-thio di rumahnya. Hem, kabarnya penari itu akan diboyong ke istana atas usul si bandot tua itu. Ingin kulihat seberapa hebat kecantikannya."

Itulah sebuah ikrar dendam. Dari seorang wanita yang bangga akan kecantikannya, tiba-tiba tersingkir karena datangnya saingan yang lebih cantik. Rasa bencinya berkobar terhadap Tan Wan-wan yang bahkan belum pernah dilihat wajahnya. Setelah meninggalkan rungan, Tiau Kui-hui langsung mencari Co Hua-sun untuk mengadukan nasibnya.

Sementara itu Kaisar Cong-ceng tetap geIisah tanpa rasa kantuk sedikitpun. Selagi demikian, terdengar kemballi di luar pintu desir langkah lembut seorang wanita, disusul ketukan di pintu yang ragu-ragu.

"Kenapa kau kembali?" bentak Kaisar. "Aku ingin sendirian!"

"Hu-hong (ayahanda Kaisar), ini hamba...." itulah suara Puteri Tian-ping.

Hampir-hampir Kaisar menyuruhnya pergi pula, namun suatu pikiran tiba-tiba lewat dibenaknya. langkah mondar mandirnya terhenti, lalu katanya "Masuklah, Ping-ji."

Pintu dibuka. Puteri Tian-ping melangkah, masuk lalu menutupkan kembali pintunya, agar udara malam yang dingin berembun tidak memasuki ruangan itu. Kaisar melihat puterinya yang bertubuh kuning pucat sejak kanak-kanak itu memakai mantel hangat untuk menahan dingin, langkahnya perlahan, kemudian ia berlutut. “Hamba mohon menghadap Hu-hong."

Sedikit terharu juga Kaisar melihait puterinya ini. Merasa sejak ia tergila-gila kepada Tiau Kui-hui, terlalu sedikit perhatian yang diberikannya kepada puterinya ini. Perasaannya sebagai seorang ayah agak tergugah "Duduk Ping-ji..." katanya lembut. "Bagaimana kesehatanmu?"

"Hamba t idak apa-apa, Hu-hong."

"Malam ini tidak kau temani ibumu?"

Setelah beberapa lama Kaisar Cong ceng mengabaikan permaisurinya itu, maka pertanyaannya yang mengandung sedikit perhatian itu agak menyenangkan juga buat Puteri Tian-ping.

“Hamba bersama Ibunda Permaisuri mendengar ada keributan di bangsal Cun-hoa-kiong, lalu Ibunda Pemaisuri menyuruh hamba untuk menanyakan keselamatan Hu-hong."

"Kenapa tidak ibumu sendiri yang kemari?"

"Karena Ibunda kurang enak kalau sampai di tempat ini bertemu dengan... dengan " Puteri Tiang-ping agak sulit melanjutkan ucapannya. "....Ibunda hanya merasa kurang enak perasaannya..."

Kaisar paham. Tentu Ciu Hong-hou (atau Ciu Thai-hou) enggan bertemu dengan Tiau Kui-hui yang sekian lama telah merebut perhatian Kaisar sehingga Ciu Hong-hou tersingkir. Kaisar menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Malam ini Tiau Kui-hui tidak di sini."

Puteri Tiang-ping mengangguk karena sudah tahu hal itu. Tadi ketika berjalan ke bangsal itu memang dilihatnya Tiau Kui-hui keluar dari situ, hampir berpapasan, namun sebelum berpapasan Tiau Kui-hui sudah membuang muka dan pura-pura tidak melihat, dan terus membelok ke bangsalnya Co Hua-sun. "Hamba hanya ingin menanyakan keselamatan Hu-hong."

"Tidak apa-apa, aku tidak luka seujung rambutpun. Pembunuh itu rupanya mengincar aku, namun keliru mengira Co Kong-kong sebagai diriku sehingga masuk perangkap dan tertangkap.”

Berita itu mengejutkan Puteri Tian-ping yang menguatirkan nasib He-lian Kong dan Hui-hun, dayang kesayangannya. "Bagaimana dengan orang-orang itu Hu-hong?"

Kaisar tiba-tiba balik bertanya dengan tajam, "Kenapa kau kelihatan mencemaskan mereka? Kau kenal pembunuh-pembunuh itu?"

Puteri Tian-ping tergagap, sejenak bibirnya bergerak tanpa suara, dan akhirnya cuma menunduk membisu.

"Ping-ji, Hui-hun itu dayang yang dekat sekali hubunganya denganmu, bukan?"

"Benar...." jawaban Puteri Tiang-ping lirih.

"Sungguh gegabah tindakannya membawa orang tidak dikenal sampai ke Cun hoa-kiong, salah satu tempat pribadi-ku. Apakah kau yang menyuruh dia?"

"Ampun hu-hong. Hamba harus berterus terang, memang hamba yang mengatur agar orang itu bisa menghadap Hu-hong. dan Hui-hun yang kusuruh mengantar. Namun orang itu sama sekali bersih dari niat jahat kepada Hu-hong. Kalau kepada Co Kong-kong, memang dia benci sekali!"

"Sungguh ceroboh, kau berlagak seolah-olah tahu benar isi hati orang itu. Bagaimana kalau niat jahat itu di sembunyikan rapat-rapat dari pandanganmu? Bagaimana setelah di hadapanku dia berusaha membunuh aku, bukankah aku tak sempat memanggil pengawal?"

"Hu-hong, tidak mungkin dia berniat demikian. Ia setia kepada Hu-hong dan Kekaisaran. Maka hamba mohon agar orang itu dibebaskan."

"Orang itu ditawan Co Hua-sun.”

"Bersama Hui-hun ?"

"Hui-hun sudah tewas."

"Apa?!" Puteri Tian-ping terbelalak dan hampir saja menjerit. Memang hui-hun cuma dayangnya, tapi Hui-hun sudah begitu akrab, hampir seperti saudara kandung, sering saling mengutarakan isi hati masing-masing dengan bebas. Dalam banyak hal, Puteri Tiang-ping bahkan bisa bicara lebih terbuka kepada Hui-hun daripada kepada ayahhandanya yang sulit ditemui. Kini tiba-tiba didengarnya Hui-hun tewas.

Kemudian kesedihan yang luar biasa menyerbu jiwa Puteri Tiang-ping, beberapa saat ia menunduk sambil menangis terisak. Bukan cuma menangisi seorang hamba. Tapi seorang sahabat dekat yang sering begitu memahami isi hatinva. Setelah ledakan perasannya lebih reda, Puteri Tiang-ping tiba-tiba mengangkat wajalinya, matanya bersorotkan kemarahan, "Hu-hong, siapa yang membunuh Hui-hun?"

Ka isar Cong-ceng sendiri kaget melihat matanya yang biasanya lembut, pasrah itu, sekarang seperti mata harimau yang kehilangan anaknya. Kaisar tak tahan menentang tatapan itu, ia berpaling ke arah lain sambil balas bertanya, "Kau mau membalas dendam?"

"Ya, harus. Hamba akan mati tercincang kalau membiarkan kematian Hui-hun dilupakan begitu saja. Sukma Hui-hun pasti belum jauh dari istana ini, biar dia menjadi saksi sumpah hamba.”

Bergidik Kaisar mendengar tekad puterinya itu. Tahu betapa keras watak puterinya, meskipun tubuhnya lemah karena penyakit sejak kanak-kanak. Sumpah itu pasti akan dilaksanakan. Apalagi desau angin malam di luar memberi kesan bahwa "sukma Hui-hun” seolah-olah benar-benar ikut mendengarkan sumpah itu.

Kaisar menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan perasaannya lalu, "Ping-ji. jangan gegabah. Boleh saja kau membela Hui-hun, tapi ingat juga keselamatan ayahmu, ibumu, adik laki-lakimu, dan keluarga kita lainnya. Tidakkah kau tahu betapa setiap jengkal istana ini dikuasai oleh orang-orang nya Co Hua-sun?"

"Hamba menjunjung tinggi pesan Hu-hong. Tapi bolehkah hamba tahu siapa pembunuh Hui-hun?"

"Tong Hin-pa," Kaisar akhirnya menjawab juga.

"Tong Hin-pa…." gemeretak gigi puteri Tiang-ping ketika mengulangi nama itu, mengukirnya dalam ingatan.

Kembali suasana sunyi mencengkam. Suara angin seperti musik sedih untuk mengantar kepergian seorang sahabat. Kadang-kadang ujung ranting-ranting pepohonan melecut genteng atau jendela karena diguncang angin.

Kemudian Kaisar bertanya kepada puterinya, "Ping-ji, kau kenal benar orang yang ditangkap oleh Co Kong-kong itu?"

"Ya, Namanya Helian Kong, berpangkat Hu-ciang. Ia menyelundup ke istana ini dengan bantuan hamba, terus-terang saja. Niatnya memang hanya untuk menghadap Hu-hong tanpa niat buruk sedikitpun. Kalau ingin menghadap dengan prosedur resmi tentu takkan bisa, dihalang-halangi oleh Co Kong-kong yang membenci dan dibenci orang ini."

"Apakah dia ada sangkut-pautnya dengan Jenderal Su Ko-hoat di Yang-ciu?'

"Aii, bagaimana Hu-hong sampai bisa menduga demikian?"

"Jawab dulu."

"Dia tidak ada hubungan dengan Jenderal Su. Selama ini tugasnya hanya di wilayah barat-laut atau di ibukota ini, bagaimana bisa ada sangkut-pautnya dengan Jenderal Su yang bemarkas di selatan?"

"Hem..” Kaisar hanya berdehem sambil mengerutkan alis. Cuma dalam hati ia membatin, "Kurang ajar, mungkin Co Hua-sun telah membohongi aku lagi. Semakin berani saja dia."

Namun ia tidak mengucapkan itu di depan puterinya. Di depan puteri Tiang-ping, ia tetap ingin menjaga sebagai Raja dan ayah yang gagah dan pintar, bukan yang sering dibohongi orang kepercayaannya sendiri. "Ping-ji, apa maksudnya ingin menghadap aku?"

"Untuk menyampaikan laporan-laporan yang benar tentang situasi diluar istana. Laporan-laporan itu penting untuk segera dipertimbangkan demi keselamatan negara, namun ketika disampaikan secara tertulis ke Peng-po Ceng-tong, laporan itu segera dibuang ke keranjang sampah karena tidak disertai uang sogok yang memadai. Banyak soal penting militer di garis depan yang terkatung-katung karena tidak segera ditangani. Inilah yang akan di samapaikan kepada Hu-hong oleh Helian Kong...!"

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.