Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 10

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Seri Pertama, Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 10 Karya Stevanus S P

Semua orang di ruangan itu serempak berlutut dan menghormat, "Banswe! Banswe!"

Setelah Kaisar berlalu, semuanya mengundurkan diri dari ruangan itu. Tanpa bertegur sapa dengan Puteri Tiang- ping atau para perwira, Co Hua-sun dan para thai-kam pengiringnya pulang ke bangsalnya sendiri.

Setelah keluar dari halaman bangsal Cun-hoa-kiong yang diawasi kelompok Gi-cian Si-wi, Bu Goat-long mempercepat langkahnya menjajari Co Hua-sun dan bertanya, "Kong-kong, kira-kira gawatkah posisi kita?"

Tanpa menoleh sambil terus melangkah, Co Hua-sun menjawab, "Hari ini mereka mendapat keuntungan dan boleh besar kepala, tetapi kita juga tidak bisa dibilang rugi seluruhnya."

"Maksud Kong-kong?"

"Kelompok penentangku selama ini tersembunyi di balik tabir. Mereka kasak-kusuk dan aku tidak tahu siapa sumbernya. Namun kini mereka sudah menunjukkan tampang mereka, nah, jadi aku sudah tahu siapa saja yang harus kulenyapkan, he-he-he...."

"Ah, jadi posisi kita belum berbahaya?"

"Berbahaya kalau kita diamkan saja. Tapi kalau kita imbangi dengan langkah-langkah yang tepat, kejadian tadi hanya gejala pasang-surut yang normal dalam pergulatan kelompok kita dengan kelompok mereka. Masih terlalu pagi untuk mengatakan siapa kalah siapa menang."

"Apa Kong-kong punya rencana?"

"Laskar pemberontak semakin kuat, jadi kita haruslah bertindak cepat untuk menguasai istana, sebelum keburu dilindas pasukan pemberontak."

"Boleh kami tahu rencana Kong-kong?"

Terhadap orang-orang kepercayaannya memang Co Hua-sun suka bicara terang- terangan, "Kita terima tawaran Pangeran To Ji-kun."

Wan Hoa-im yang juga berjalan di samping Co Hua-sun, nampak agak kaget. Desisnya, "Mengganti Kaisar dengan orang yang lebih gampang kita dikte?"

"Ya."

"Itu berarti pertarungan terbuka! Apakah tidak ada jalan selain itu?"

"Kalau waktunya cukup, cara lain pasti ada. Namun karena sekarang waktunya sudah mendesak, kita ambil jalan pintas dengan sedikit ambil resiko. Gulingkan Kaisar dan ganti dengan yang baru, tentu saja dengan rencana yang cermat. Tergesa-gesa tetapi tidak gegabah."

"Dan siapa akan kita calonkan sebagai Kaisar baru?"

"Pangeran Seng-ong."

"Dia... dia agak tolol..."

"Makin tolol makin baik."

Wan Hoa-im dan Bu Goat-Iong tertawa mendengar jawaban Co Hua-sun itu. Calon yang disebut itu bukan lain adalah adik Kaisar Cong-ceng sendiri. Seorang tokoh penakut dan berpendirian lemah, namun diam-diam punya ambisi. Hanya saja, ambisinya tetap menjadi ambisi tanpa ada keberanian untuk memperjuangkannya.

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

Namun Co Hua-sun agaknya berhasil mencium niatnya, dan bukannya dilaporkan kepada Kaisar, malah diam-diam "dipupuk" dan dipersiapkan sebagai salah satu unsur dalam rencana cadangannya. Pangeran Seng-ong tanpa sadar dirinya hanya diperalat, segera ikut dalam rencana yang dirasanya akan mewujudkan ambisinya. Demikianlah, sebagai seorang pemain catur yang lihai, Co Hua-sun sudah memperhitungkan beberapa langkah di depan.

"Kong-kong, apakah hanya orang-orang kita saja akan mampu untuk mendukung Pangeran Seng-ong sampai ke singgasana?"

"Tidak. Orang-orang kita terlalu kecil jumlahnya untuk suatu gerakan pergantian tahta. Tetapi ...he-he-he..." Co Hua-sun terkekeh sebelum lanjutnya, "Pangeran To Ji-kun berjanji akan memberi bantuan pasukan, berapapun yang kubutuhkan, asal aku membantu kelancaran penyusupan lewat perbatasan."

"Kalau begitu, rencana ini benar-benar matang."

"Tentu saja. Memangnya kalian kira aku suka bertindak setengah-setengah? Nah, untuk itu kalian berdua mendapat tugas. Bu Goat-long."

"Aku siap Kong-kong."

"Tugasmu ialah mendekati perwira-perwira dari pasukan-pasukan istana, silaukan mata mereka dengan emas kita. Jangan sayang memberi hadiah. Mungkin di antara mereka ada orang-orang sok suci yang kebal sogokan, tapi jumlahnya tentu tidak banyak. Sebagian besar tentu akan bisa kita beli. Ingat, jangan tanggung-tanggung menawarkan hadiah, sebab tabunganku cukup untuk itu."

"Baiklah, Kong-kong."

"Dan untukmu, Wan Hoa-im, panggil Pangeran Seng-ong untuk menghadap aku di bangsalku."

"Baik."

Begitulah. Mestinya Co Hua-sun yang harus menghadap Pangeran Seng-ong, sebab Co Hua-sun resminya hanya kepala para abdi keraton, sedangkan Pangeran Seng-ong adalah adik Kaisar. Tetapi pertalian kepentingan antara mereka telah menjungkir-balikkan tata krama. Sampai si Kepala Abdi Istana dengan enak bisa suruhan orang untuk memanggil si Adik Kaisar agar datang ke tempatnya.

Demikianlah rencana Co Hua-sun yang tergolong darurat dan penuh resiko itu, sebab ia hendak mengundang pasukan asing untuk ikut campur dalam negerinya. Tapi apa boleh buat. Demi meluapkan ambisinya, apapun berani dia lakukan termasuk menjual negara.

Yang paling membuat Co Hua-sun merasa goyah posisinya ialah masuknya Tan Wan-wan, penari cantik dari Soh-ciu, hadiah Ciu Kok-thio kepada Kaisar. Perempuan itu sudah masuk ke istana dan menggeser kedudukan Tiau Kui-hui yang selama ini diperalat Co Hua-sun. Untuk itulah Co Hua-sun merasa perlu bertindak cepat sebelum kedudukannya makin buruk.


Helian Kong keluar dari istana diiringi teman-temannya, para perwira yang membenci Co Hua-sun. Namun Helian Kong kaget ketika melihat di lapangan di depan istana itu ada pasukan besar yang bersiaga dengan senjata lengkap.

"Apa ini?" tanya Helian Kong kaget.

"Pasukan kami..." sahut Tio Tong-hai. "Kalau tidak dengan cara ini, mana bisa kami memaksa pihak istana untuk membebaskan Helian Cong-peng? Kalau kami harus mengajukan permohonan tertulis lewat prosedur yang bertele-tele, mungkin sepuluh tahun lagi kami baru dapat menghadap Kaisar, dan yang kami bawa keluar pun hanyalah tulang belulang Helian Cong-peng."

Helian Kong menarik napas, "Dengan cara memaksa seperti ini, tidakkah kalian seperti menantang istana? Memberi contoh untuk tidak lagi menghormati kewibawaan istana?”

Para perwira berpandangan satu sama lain, lalu Bu Sam-kui berkata, "Saudara Helian, mari kita ke rumahmu dulu. Di sana kita bisa bicara lebih leluasa."

Lebih dulu para perwira itu membubarkan pasukan masing-masing untuk pulang ke tangsi mereka sendiri-sendiri, kemudian para perwira itu berbondong-bondong ke rumah Helian Kong. Sambil berjalan para perwira dengan gembira membicarakan betapa Co Hua-sun kali ini harus dipaksa mengalah kepada mereka.

Namun Helian Kong tidak ikut bergembira, ia merasa tegang dalam hati, membayangkan sebentar lagi di rumahnya ia akan bertemu dengan Ting Hoan-wi, saudara seperguruannya yang ternyata telah mengkhianatinya. Tak terasa ia mempercepat langkahnya, dan para perwira teman-temannya pun ikut mempercepat langkah.

Tiba di rumahnya, Helian Kong agak tercengang melihat pintu rumahnya terbuka lebar, pintunya dihias kertas-pita berwarna-warni seperti menyambut penganten saja. Helian Kong menoleh heran kepada teman-temannya, dan Bu Sam-kui berkata sambil tersenyum,

"Kami semua sudah yakin saudara Helian akan bebas hari ini juga, dan kami siap menyambut dengan gembira."

Helian Kong pun tersenyum, "Terima kasih. Tanpa pertolongan kalian, aku sudah menjadi daging cincang di piringnya Co Hua-sun."

Dari dalam rumah muncullah Siangkoan Heng, Siangkoan Yan dan A-liok. Ting Hoan-wi tidak nampak. Namun Helian Kong tidak menanyakannya karena kuatir merusak suasana gembira penyambutannya itu.

A-liok si bocah tanggung pembantu Helian Kong, berubah menjadi seperti anak kecil, la terus memeluk Helian Kong dan menangis. Helian Kong menepuk-nepuk kepalanya dan berkata,

"Sudah, sudah. Umurmu hampir lima belas tahun, tidak malukah menangis di depan begini banyak orang? Bukankah aku tidak kurang apa-apa?"

A-liok mengangkat wajahnya dan menyahut sesenggukan. Hampir-hampir aku tak berani mengharap Toako kembali dengan selamat. Toako tentunya mendapat siksaan di sarang penjahat itu?" Rupanya A-liok melihat wajah Helian Kong yang memar di beberapa bagian.

"Hus, istana bukan sarang penjahat."

"Tapi pernah kudengar orang bilang, maling-maling kecil sembunyinya di gubuk-gubuk, sedang yang sembunyi di istana-istana indah adalah maling-maling besar."

"Hus!" Helian Kong berkata demikian namun diam-diam setuju dalam hati.

Kemudian kedua saudara Siangkoan pun menyambut Helian Kong. Seandainya tidak malu, tentu Siangkoan Yan sudah memeluk Helian Kong juga. Beramai-ramai mereka masuk, dan meja di ruangan tengah sudah penuh berbagai macam hidangan dan arak. Semua orang lalu makan-minum dengan gembira.

Selama itu Helian Kong terus celingukan mencari Ting Hoan-wi, yang tetap belum nampak batang hidungnya. Namun ia tetap tidak mau menanyakan atau membicarakannya. Ting Hoan-wi bukan anggauta kelompok perwira anti Co Hua-sun itu, maka Helian Kong menganggap urusannya dengan Ting Hoan-wi adalah urusan intern antara Ketua Tiat-eng-bun yang dikhianati dengan seorang murid yang berkhianat.

Setelah suasana tambah hangat karena arak yang diteguk, Le Koan-wi lalu berkata, "Saudara-saudara, mulai hari ini kita menghadapi Co Hua-sun terang-terangan. Kita harapkan tindakan kita akan membuat Kaisar makin berbesar hati dalam membebaskan diri dari pengaruh Co Hua-sun, karena Kaisar tahu bahwa kita setia mendukungnya!"

"Hidup Kaisar!"

Riuh-rendah suara di ruangan itu, kemudian terdengar suara Bu Sam-kui keras, "Meskipun belum berani terang-terangan, sudah nampak kalau Kaisar tidak mempercayai Co Hua-sun lagi, tidak lagi menuruti semua kata-katanya."

Helian Kong menenggak araknya dan berkata, "Aku amat berterima kasih atas pertolongan kalian, tapi bolehkah aku bicara terus terang?"

Suasana menjadi agak tenang, "Silakan, Saudara Helian."

"Sebelumnya aku minta maaf sekali lagi. Tapi cara kalian mengerahkan pasukan ke depan pintu gerbang istana untuk menekan pihak istana itu, apakah tidak mengurangi kewibawaan pihak istana? Bukankah kita menentang Co Hua-sun justru untuk memulihkan kewibawaan istana?"

Sesaat suasana masih sunyi, terdengar Siangkoan Heng berkata sambil mengeluarkan sesampul surat dari bajunya, "Saudara Helian, gerakan kami ini justru diperintahkan sendiri oleh Kaisar. Inilah surat perintahnya yang oleh Puteri Tiang-ping diselundupkan keluar istana untuk kami."

Helian Kong menerima dan membaca surat itu. Ternyata memang itulah perintah Kaisar agar perwira yang menentang Co Hua-sun mengancam istana dan minta membebaskan Helian Kong. Kiranya Kaisar belum berani terang-terangan menentang Co Hua-sun dalam hal membebaskan Helian Kong, maka disuruhnya perwira-perwira teman-teman Helian Kong yang pura-pura memintanya.

Kertas itu dilipat kembali dan dimasukkan sampul, lalu oleh Helian Kong dikembalikan kepada Siangkoan Heng, komentarnya, "Pertanda yang baik kalau Kaisar berusaha lepas dari pengaruh Co Hua-sun. Kita harus terus menggalang dukungan bagi Kaisar."

Kata-kata itu didukung oleh semua yang hadir. Kemudian suasana di rumah itu menjadi meriah. Helian Kong sendiri larut dalam kegembiraan, karena tugasnya menyelundup ke dalam istana boleh dikata membawa hasil sampingan yang berlebihan.

Tadinya hanya bermaksud menyampaikan tentang laporan-laporan penting yang tertahan di meja birokrasi Peng-po Ceng-tong, ternyata ada "bonus" tambahan berupa terpukulnya pengaruh Co Hua-sun sehingga merosot beberapa tingkat.

Tapi seperti yang dilukiskan dalam lambang thai-kek, di tengah-tengah warna hitam ada setitik warna putih, di tengah-tengah warna putih ada setitik warna hitam. Di tengah kegembiraan, ada juga setitik rasa masygul Helian Kong bahwa seorang sahabat dan saudara seperguruan telah berubah menjadi musuh dalam selimut yang mengkhianatinya. Mungkin setelah mengetahui dirinya akan kembali ke rumah, Ting Hoan-wi jadi ketakutan lalu buru-buru minggat.

"Pengkhianat tetap pengkhianat." Helian Kong menghibur diri dalam hatinya. "Untung kedoknya terbuka sekarang, daripada kelak aku masih terkelabuhi olehnya."

Setelah kegembiraan mereda, para perwira berpamitan pulang. Namun setelah semuanya pergi, ternyata Bu Sam-kui belum pergi juga, sehingga Helian Kong jadi heran. "Saudara Bu, agaknya masih ada yang mau kau katakan?"

"Benar, tapi... aku... agak malu mengatakannya..." Bu Sam-kui tersennyum kikuk dan menunggu sampai A-liok yang sedang membenahi bekas-bekas perjamuan itu pergi ke belakang.

Terpaksa Helian Kong memberi isyarat agar A-liok tinggalkan dulu ruangan itu, mungkin Bu Sam-kui malu u-rusannya didengar orang ketiga. Setelah A-liok menghilang ke belakang, barulah Bu Sam-kui berkata,

"Saudara Helian, aku benar-benar minta maaf bakal merepotkanmu dengan urusan kurang berarti. Begini. Dulu aku ditugaskan oleh Jenderal Ang Seng-tiu dari San-hai-koan kemari, berangkat bersama Liong Tiau-hui. Kami dibekali uang, namun karena laporan kami begitu lama terkatung-katung, maka bekal uang kami pun habis."

"Apakah Saudara Bu butuh uang?"

"Tidak, cukup asal diperbolehkan numpang di sini sampai pulang ke San-hai-koan, dan aku lancang sudah tidur semalam di sini sebelum sempat bilang kepadamu sekarang ini."

Begitu tegang Helian Kong menunggu apa yang bakal dikatakan Bu Sam-kui, ternyata hanya urusan semacam itu, keruan ia geli. Sambil diam-diam juga menilai dalam hati bahwa Bu Sam-kui ini memang gerak-geriknya sering agak aneh. Kadang-kadang seperti linglung, kadang-kadang kalau diajak bicara malahan melamun.

Dan sering juga kelihatan kikuk menyembunyikan sesuatu. Namun Helian Kong menganggap sifat orang toh lain-lain, Bu Sam-kui ini toh betapapun juga adalah seorang yang dengan berani menentang Co Hua-sun.

Kata Helian Kong sambil merentangkan kedua tangannya, "Rumah ini terbuka lebar buatmu, saudara Bu. Gratis dan sampai kapan pun tugasmu di sini selesai."

Bu Sam-kui lega, "Kalau begitu, aku tidak perlu sampai jadi gelandangan di Pak-khia ini."

Helian Kong tertawa makin keras dan Bu Sam-kui ikut tertawa. "Oh, ya, saudara Bu, di mana Liong Tiau-hui sekarang?"

"Sejak keributan di depan rumah Paduka Ciu Kok-thio itu aku tidak pernah melihat dia lagi...." sahut Bu Sam-kui sambil menghindar dari tatapan mata Helian Kong. "Sudah kucari dia ke sana ke mari, dengan bantuan teman-teman juga, tapi ia seperti lenyap ditelan bumi."

"Jangan-jangan dia tertangkap orang-orangnya Co Hua-sun, lalu dilenyapkan secara diam-diam tanpa bekas?" tanya Helian Kong kuatir, bagaimanapun juga Liong Tiau-hui adalah teman seperjuangan, tak mungkin ia acuh tak acuh saja terhadap mati-hidupnya.

"Apa perlu kita datang lagi ke istana untuk meminta dia dari Co Hua-sun?"

"Belum tentu di tangan Co Hua-sun, lebih baik kita hubungi dulu Puteri Tiang-ping untuk menyelidiki dalam istana apakah Liong Tiau-hui tertangkap Co Hua-sun atau tidak... setelah ada kepastian barulah kita pikirkan tindakan lanjutannya."

Bu Sam-kui hanya mengangguk-angguk. "Nah, saudara Bu, istirahatlah di sini, jangan sungkan. Aku mau mengganti obat-obat lukaku dulu."

"Silakan, saudara Helian."

Helian Kong lalu memasuki kamarnya sendiri, sedangkan Bu Sam-kui akan "ditampung" di kamar yang dulu ditempati Ting Hoan-wi. Begitu Helian Kong masuk ke kamarnya, mula-mula ia merasa tidak ada sesuatu pun yang berubah di kamar itu. Namun ketika ia melihat ke arah dinding tempat dia dulu menggantungkan pedang Tiat-eng Pokiam, darahnya serasa berhenti mengalir karena pedang itu sudah lenyap!

Detik berikutnya Helian Kong melompat ke pembaringannya, dengan gerak cepat yang panik ia membalik-balik kasur, selimut, mencari kitab Tiat-eng Pit-kip warisan almarhum gurunya. Lenyap pula! Lemaslah tubuh Helian Kong sampai ia jatuh terpuruk di lantai. Pedang dan kitab itu memang dulu tidak dibawa menyelundup ke istana.

Sebab pasti akan digeledah oleh penjaga-penjaga istana. Maka ditinggalkannya saja di rumah. Lagipula waktu itu ia masih mempercayai Ting Hoan-wi sebagai sahabat dan saudara seperguruan yang jujur. Tapi sekarang...

Sebenarnya Helian Kong bukan orang yang suka mengeramatkan barang-barang mati seperti pedang atau kitab, namun ia merasa amat bersalah kepada almarhum gurunya yang telah mempercayakan benda-benda itu kepadanya. Kedua benda itu bisa jadi bibit urusan besar kalau jatuh ke tangan yang keliru.

Pedang adalah lambang kekuasaan seorang Ketua dalam perguruan Tiat-eng-bun. Memang Tiat-eng-bun bukan perguruan besar yang banyak anggautanya, kalau dikumpulkan dari seluruh negeri ya paling banyak seratus orang, namun dari jumlah yang tidak seberapa itu ada pendekar-pendekar tangguh, misalnya dua orang Susiok (paman guru) Helian Kong, dan mereka dapat diperintah oleh si pemegang pedang.

Sedang dalam kitab Ti-at-eng Pit-kip terdapat jurus-jurus rahasia khusus untuk seorang Ketua, tidak untuk murid biasa. Jurus-jurus penakluk kalau ada murid yang menyeleweng. Namun sejak Helian Kong menerima kitab itu dari gurunya, ia terlalu sibuk dan belum mempelajari satu halaman pun kitab itu. Kini malah kitabnya sudah jatuh ke tangan orang macam Ting Hoan-wi.

Lama sekali Helian Kong terlongong-longong duduk di lantai. Kejadian itu adalah musibah, bukan cuma untuk dirinya pribadi, tapi juga untuk seluruh anggauta Tiat-eng-bun. Tapi ke mana hendak menemukan Ting Hoan-wi di kota seluas dan sepadat Pak-khia? Apalagi ada kemungkinan Ting Hoan-wi sudah meninggalkan kota itu, siapa tahu?

"Mampus kau sekarang, manusia goblok, teledor!" Helian Kong memaki diri sendiri sambil menjambak-jambak rambutnya sendiri. "Diberi kepercayaan di Tiat-eng-bun saja tidak becus, tapi mau berlagak jadi penyelamat negara segala. Mampus kau! Mampus kau!"

Waktu itulah di luar pintu terdengar A-liok dan Bu Sam-kui memanggil-manggil. "Toako, ada apa?" suara A-liok cemas.

"Saudara Helian, kau tidak apa-apa?" tanya Bu Sam-kui pula.

Rupanya mereka mendengar Helian Kong mencaci-maki diri sendiri lalu menanyakannya. Buru-buru Helian Kong menenangkan dirinya, lalu membukakan pintu. Sambil tersenyum ia berkata, "Ah, tidak ada apa-apa... tidak ada apa-apa..."

Ia bertekad akan menjadikan urusan itu urusan intern perguruan Tiat-eng-bun, tanpa melibatkan orang lain. Bu Sam-kui dan A-liok sama-sama menampilkan wajah heran, namun tidak berani tanya-tanya lagi. Bu Sam-kui balik ke kamarnya, sedang A-liok diperintah oleh Helian Kong,

"A-liok, ambil kotak obatku di ruang latihan silat, bawa kemari."

"Baik, Toako..."

Tidak lama kemudian A-liok sudah kembali membawa obat-obatan. Ia membantu Helian Kong membuka baju, dan membantu pula membersihkan obat-obat lama untuk digantikan obat-obat baru. Melihat luka-luka bekas cambuk berpaku itu, A-liok berkata dengan menahan amarah,

"Toako, siapa yang sejahat ini memukulimu sampai begini?"

"Orang-orang jahat."

"Hem, ternyata di istana ada orang orang jahat juga?"

"Ya."

"Justru yang di istana itu jauh lebih jahat dari maling atau copet yang sering kau lihat tertangkap di pasar atau di jalanan. Maling-maling kecil itu dihajar kelewat berat untuk sebungkus nasi atau sehelai jemuran yang mereka curi. Namun maling-maling di istana kerajaan menimbulkan kerugian jutaan kali lebih besar, toh para penegak hukum tak berani menghajar mereka, malahan merunduk-runduk menjilat mereka..." kata Helian Kong.

Namun kemudian dirasanya kata-kata itu tentu sulit dicerna bocah seusia A-liok, lalu dihentikannya. Lalu diganti pertanyaan, "A-liok, dari mana kau tahu aku pergi ke istana? Bukankah aku tidak pernah memberimu tahu?"

"Aku diberi tahu Ting Toako."

Darah Helian Kong bergolak mendengar itu, "Hem, dia sudah pergi dari rumah ini?"

"Ya."

"Kapan?"

"Tadi pagi. Ia kelihatan panik, tergesa-gesa membungkus semua barang-barangnya dan terus pergi begitu saja."

"Kau lihat dia membawa sebuah kitab dan sebatang pedang?"

"Kitab entahlah, barangkali dimasukkan ke dalam bungkusannya. Sedang kalau pedang memang kulihat dia membawanya, pedang itu bagus sekali, ada hiasannya burung elang mementang sayap."

"Hem... bangsat!"

"Apakah dia mengambil kepunyaan Toako?"

"Ah, sudahlah. Jangan bicarakan soal itu lagi!"

Beberapa saat suasana dalam ruangan itu sunyi senyap. Pengobatan selesai dan Helian Kong kembali memakai bajunya, sedang A-liok menutup-nutupkan kembali botol-botol obat.

"Toako..." suara A-liok tiba-tiba memecah kebisuan.

"Apa?"

"Apakah orang itu... eh, maksudku Bu Ciangkun akan tinggal di rumah ini?"

"Ya, sampai kembali ke San-hai-koan, setelah tugasnya di ibu kota! ini selesai."

"Oh...emm..." A-liok kelihatan ingin mengatakan sesuatu, tapi ditahan-tahan.

"Ada apa, A-liok?"

Mula-mula memang A-liok takut-takut mengatakannya, namun selama ini Helian Kong sudah dianggap seperti kakak kandungnya sendiri karena A-liok yatim piatu sejak kecil. Akhirnya diapun memberanikan diri menjawab, "Toako, terus terang saja ya? Aku agak takut kepada orang itu."

"Lho, apakah dia pernah berbuat jahat kepadamu?"

"Tidak, tidak. Tapi rupanya dia itu... kurang waras."

Hampir Helian Kong tertawa, apalagi ketika melihat betapa tegangnya muka A-liok ketika mengucapkannya. Namun ia harus menahan tertawanya. Maklum rumah itu kecil, apa yang dibicarakan di satu kamar gampang didengar dari kamar lainnya, biarpun pintunya ditutup.

"A-liok, jangan kurang ajar. Biarpun dia agak aneh, tapi dia seorang perwira yang baik. Dia sampai terlantar dan hampir jadi gelandangan di Pak-khia ini karena setia memikul tugas yang dibebankan oleh atasannya di San-hai-koan."

"Tapi.... memang begitu kok."

"Hus! Apa yang membuat kau sampai mengira dia tidak waras? Jawab, tapi jangan keras-keras."

Sejenak dengan ragu-ragu A-liok menoleh ke pintu, setelah itu baru menjawab dengan setengah berbisik, "Kemarin malam dia sudah tidur di sini. Tengah malam aku terbangun mau kencing, lalu kudengar ia sedang bicara di kamarnya. Kukira ada orang lain lagi. Lalu kuintip dari jendela."

"He, kau mulai belajar mengintip orang ya?"

A-liok tersipu sebentar sambil menggaruk-garuk kepala, namun bicara terus, "....di dalam kamarnya, ternyata dia memeluk bantal amat mesra, menciumi bantal itu, dan bicara kepada bantal itu. Begini... Wahai sang dewi yang merebut seluruh sukmaku, kenapa hanya menemuiku satu kali saja? Tubuhku rela tercincang hancur asal bisa sekali lagi kulihat wajahmu, oh...."

Helian Kong menepuk kepala A-liok agak keras, "Sudah, sudah. Sekarang kembalikan botol-botol obat itu ke tempatnya semula. Lain kali jangan suka mengintip orang, nanti kukatakan kepada Bu Taijin."

"Eh, jangan!"

"Nah, sana kembalikan obat-obat itu!"

A-liok keluar ruangan itu dan Helian-Kong geleng-geleng kepala sambil tersenyum, sejenak lupa akan kesusahannya. Tentu ia takkan bisa tertawa sesantai itu seandainya dia tahu siapa "sang dewi" yang membuat Bu Sam-kui mabuk kepayang itu. Itulah kisah cinta yang bakal menentukan arah sejarah negeri di masa depan.


Beberapa hari lewat tak terasa. Selama itu Helian Kong mengisi waktunya dengan melatih pasukannya, baik pasukan lama maupun pasukan baru yang baru saja diserahkan kepadanya. Kadang-kadang disempatkannya keliling Pak-khia untuk mencari jejak Liong Tiau-hui, dan juga Ting Hoan-wi.

Namun amat tipis kemungkinannya bisa menemui Ting Hoan-wi yang mencuri kitab dan pedangnya itu. Ting Hoan-wi itu kalau tidak bersembunyi serapat-rapatnya, tentunya ya kabur sejauh-jauhnya.

Suatu siang, ketika Helian Kong sedang berbincang-bincang dengan Bu Sam-kui di rumahnya, tiba-tiba pintu depan diketuk orang dengan keras. A-liok yang sedang menyapu halaman, sampai berlari kecil membukakan pintu. Yang muncul adalah Siangkoan Heng.

Putera Menteri Siangkoan Hi itu tegang wajahnya. Langkahnya lebar dan cepat menyeberangi halaman, dan begitu tiba di depan Helian Kong dan Bu Sam-kui, ucapan pertamanya langsung menambah ketegangan sikapnya, "Wah, gawat!"

"Ada apa?"

"Hari ini di kantor Peng-po Ceng-tong sekaligus tiba dua kurir dari garis depan. Satu dari San-hai-koan, satu lagi dari Tong-koan!"

Helian Kong dan Bu Sam-kui jadi ikut-ikutan tegang. Maklum, kedua kota yang disebutkan itu adalah pos-pos paling penting yang menyangkut mati hidupnya Kerajaan Beng. San-hai-koan di timur laut adalah pemusatan pasukan Jenderal Ang Seng-tiu yang menjaga wilayah kerajaan dari serbuan Kerajaan Ceng (Mancu). Sedang Tong-koan di sebelah barat adalah markas besar Jenderal Sun Toan-teng yang sedang berusaha membendung majunya laskar pemberontak Li Cu-seng.

Siangkoan Heng mengusap keringat di jidatnya, lalu mulai dengan isi berita kejutannya, "Jenderal Ang Seng-tiu telah tertawan oleh musuh!"

"Apa?!" hampir menjerit Bu Sam-kui mendengar berita itu.

"Apakah San-hai-koan juga sudah jatuh ke tangan Manchu?" tanya Helian Kong tidak kalah paniknya. Kalau San-hai-koan jatuh berarti pasukan Manchu yang kuat itu akan mendapat jalan lapang untuk langsung menggempur Pak-khia, walaupun selama ini mereka terhalang oleh Tembok Besar.

Sahut Siangkoan Heng, "San-hai-koan belum jatuh, tapi keadaannya cukup gawat. Pasukan Jenderal Ang Seng-tiu bertahan mati-matian, bahkan rakyat pedesaan juga dikerahkan dan dipersenjatai, biarpun tugas mereka hanyalah melempar-lemparkan batu dari atas benteng ke arah pasukan musuh. Sampai kurir itu pergi, San-hai-koan masih di tangan kita, tapi kalau bantuan sampai terlambat dikirimkan, susah dibayangkan akibatnya."

"Ini akibat kelambanan kerja orang-orang Peng-po Ceng-tong yang rakus uang suap itu! Bangsat!" Bu Sam-kui tiba-meledak kemarahannya. "Kalau laporan kami diperhatikan sejak dulu, tentu takkan terjadi seperti ini. Harus kubunuh pegawai-pegawai korup di Peng-po Ceng-tong itu demi membalaskan sakit hati Jenderal Ang!"

Melihat sikapnya, Helian Kong yakin kalau Bu Sam-kui berani melaksanakan ancaman itu. Cepat-cepat Helian Kong dan Siangkoan Heng mencegah Bu Sam-kui yang hampir saja melangkah keluar, dan mengajak Bu Sam-kui duduk kembali di kursinya.

"Sabarlah, Saudara Bu. Kita semua takkan tinggal diam, tapi tindakan kita harus tepat, bukan sekedar memuaskan emosi secara ngawur." Bujuk Siangkoan Heng.

"Sabarlah, berkepala dinginlah!"

Bu Sam-kui terengah-engah dengan wajah merah padam, katanya gemetar, "Laporan yang sekarang ini kalau disampaikan lewat Peng-po Ceng-tong, tidakkah akan sama saja dengan laporan yang dulu? Ditahan berlama-lama untuk tawar menawar uang sogokan? Pasti begitu! Seandainya San-hai-koan dibobol musuh pun mereka takkan peduli!"

"Hal itu sudah aku perhitungkan..." kata Siangkoan Heng. "Agar Kaisar segera mengetahui perkembangan ini, akan segera kusuruh adik Yan menghubungi Puteri Tiang-ping, dan puteri Tiang-ping langsung melapor kepada Kaisar."

Bu Sam-kui jadi sedikit reda mendengar itu. Kemudian Helian Kong dengan tidak sabar bertanya, "Saudara Siangkoan, bagaimana dengan Tong-koan?"

"Juga berita buruk. Para pemberontak belum mampu merebut kota, namun banyak wilayah pedesaan yang selama ini menjadi sumber perbekalan pasukan kerajaan, telah diduduki pengikut-pengikut Li Cu-seng. Jadi Tong-koan seperti dikepung dari kejauhan. Pasukan Jenderal Sun kelaparan. Pasukan-pasukan kerajaan dari Thai-goan dan Hun-ciu sudah berusaha menolong memecahkan kepungan itu, tapi gagal. Hubungan dengan Tong-koan putus, dan kalau tidak segera dibantu maka jatuhnya Tong-koan hanya soal pagi-sore saja."

"Mari kita menghadap Kaisar sekarang juga!" Helian Kong tiba-tiba bangkit. "Kita desak agar Kaisar bertindak cepat!"

"Baik!" sahut Siangkoan Heng dan Bu Sam-kui serempak.

Tapi sebelum mereka beranjak, di depan pintu halaman yang terbuka tiba-tiba muncul seorang petugas istana berseragam mentereng, dikawal empat prajurit Gi-lim-kun. Orang itu melangkah masuk dengan gagah, tangan kanannya mengangkat tinggi-tinggi dua gulungan sutera kuning, sambil berseru, "Perintah Kaisar!"

Cepat-cepat Helian Kong, Bu Sam-kui dan Siangkoan Heng berlutut menghormat. Petugas istana itu membuka gulungan pertama dan membaca keras-keras, "Titah Yang Dipertuan! Untuk Bu Sam-kui, pangkat Cong-peng, agar segera sehari setelah perintah ini dibacakan berangkat ke San-hai-koan membawa lima puluh ribu prajurit dan lima ratus gerobak bahan makanan, untuk mempertahankan perbatasan dan menolong Jenderal Ang Seng-tiu. Sementara Jenderal Ang masih dalam tawanan musuh, Cong-peng Bu Sam-kui adalah pimpinan tertinggi pasukan di San-hai-koan! Harap dilaksanakan!"

"Ban-swe! Ban-swe!" Bu Sam-kui berseru menghormat dengan semangat meluap. Sambil tetap berlutut, ia menerima gulungan surat itu sebagai tanda untuk mendapatkan apa yang diperlukan.

Kemudian utusan istana itu membuka gulungan kedua. "Titah Yang Dipertuan! Untuk Helian Kong, pangkat Cong-peng, agar sehari setelah perintah ini dibacakan berangkat ke Tong-koan dengan lima puluh ribu prajurit dan lima ratus gerobak bahan makanan, untuk menempatkan diri di bawah komando Jenderal Sun Toan-teng! Harap dilaksanakan!"

"Ban-swe! Ban-swe!" sambut Helian Kong. Setelah menyerahkan gulungan itu kepada Helian Kong, utusan istana itu-pun berpamitan dan pergi. Dengan menggenggam surat perintah di tangan masing-masing, Helian Kong dan Bu Sam-kui bertatapan dengan mata bersinar-sinar meluapkan gelora semangat. Tiba-tiba pula mereka tertawa berbahak-bahak bersamaan, lalu saling berpelukan. Siangkoan Heng ikut tertawa pula.

"Tak terduga kali ini Kaisar bertindak cepat, jauh berbeda dengan waktu-waktu sebelumnya."

"Ini pasti hasil kerja Puteri Tiang-ping yang cekatan, mungkin dia berhasil meyakinkan ayahandanya betapa gawat situasinya."

"A-liok! Ambil arak!"

Ketiga lelaki yang tengah bergelora dalam semangat itupun kemudian mengangkat cawan untuk minum bersahabat. Setelah itu Helian Kong berkata, "Kita hanya diberi waktu satu hari untuk menyelesaikan segala persiapan. Karena itu baiknya kita jangan membuang waktu."

"Aku juga," kata Bu Sam-kui.

"Selamat bekerja," kata Siangkoan Heng. Ketiganya meninggalkan rumah itu ke arah yang berbeda-beda. A-liok yang sendirian di rumah itupun menggerutu, "Ah, bakal sendirian lagi di rumah, entah sampai kapan."


Hari berikutnya, fajar baru saja merekah, namun dua pasukan sudah berangkat meninggalkan ibu kota Kerajaan Beng itu. Helian Kong memimpin pasukannya kearah barat, sedangkan Bu Sam kui ke timur laut. Bersamaan dengan pasukan-pasukan yang bergerak ke garis depan itu, seekor burung merpati terbang pula ke udara kota Pak-khia yang masih remang.

Melesat ke arah barat. Di kaki burung merpati itu diikatkan sebuah bumbung yang kecil dan ringan berisi surat singkat. Di langit yang begitu luas dan remang-remang, terbangnya merpati itu tak terlihat oleh Helian Kong. Mengingat betapa gawat pasukan Jenderal Sun Toan-teng yang tengah menghadapi tekanan kaum pemberontak.

Maka Helian Kong seolah "melecut" pasukannya agar berjalan secepat-cepatnya ke Tong-koan. Selama ini ia cukup keras menggembleng pasukannya, dan berharap daya tahan masing-masing prajuritnya akan cukup tangguh dalam perjalanan panjang itu.

Pasukannyapun berjalan dari fajar sampai senja. Makan siang yang berupa ransum kering itu bahkan dimakan sambil berjalan. Tiga hari perjalanan. Menjelang sore hari ke tiga, Helian Kong melihat sebuah desa di kaki pegunungan. Mengingat letaknya, Helian Kong ingat kalau desa itulah yang pernah dilewatinya bersama Ting Hoan-wi dulu, di mana terjadi kerusuhan dari pengungsi-pengungsi kelaparan yang kemudian ditumpas secara ganas oleh Ong Go.

Helian Kong menarik napas mengingat kejadian itu, suatu tanda betapa antara Tentara Kerajaan dan rakyat terdapat jurang yang makin lama makin lebar. Kesenjangan yang dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh kaum pemberontak untuk merebut dukungan rakyat. Itulah sebabnya kaki tangan Li Cu-seng leluasa bergerak di antara penduduk seperti ikan di dalam air. Sedang Tentara Kerajaan seperti minyak di permukaan air, mengambang, tak pernah benar-benar bersatu dengan air itu sendiri.

Angan-angan Helian Kong terkoyak oleh suara seorang perwiranya yang berkuda di sampingnya, "Cong-peng, matahari hampir lenyap, di mana kita akan mengistirahatkan pasukan?"

"Di desa yang di depan itu," sahut Helian Kong.

Perwira itu kemudian membalikkan kudanya, menyusuri barisan panjang itu ke arah belakang, sambil meneriaki setiap komandan regu, "Jalan lebih cepat, kita akan beristirahat di desa yang di depan itu."

Pasukan yang panjang dan deretan gerobak-gerobak pengangkut bahan makanan itu menggeleser kelelahan di pinggang pegunungan, seperti seekor ular raksasa yang kekenyangan. Namun begitu mendengar di depan ada tempat beristirahat, mereka jadi bersemangat dan melangkah lebih cepat.

Helian Kong tidak mau kehilangan kewaspadaan. Maka diserahkannya sementara pimpinan pasukan itu kepada wakilnya, seorang perwira berpangkat cam-ciang bernama Lau Yan-beng. Lalu Helian Kong sendiri bersama sepuluh prajurit berkuda lebih dulu berpacu ke arah desa itu, untuk memeriksa apakah desa, itu benar-benar aman untuk istirahat pasukannya.

Teringat peristiwa yang lalu, ia harus waspada karena di desa itu pernah kesusupan orang- orangnya Li Cu-seng untuk menghasut penduduk melawan pemerintah. Sambil berkuda, dilihatnya di ujung desa itu puing-puing bekas rumah yang dulu dibakar para pengungsi yang mengamuk. Seisi rumah itu mati terbakar.

"Biar reruntuhan ini menjadi peringatan bagi penguasa desa yang sekarang...." pikir Helian Kong.

Ketika memasuki desa, Helian Kong melihat bangunan-bangunannya tidak berubah, suasana nampaknya tenteram-tenteram saja. Namun yang sering kelihatan di luar rumah hanyalah lelaki-lelaki dewasa, entah sedang menyapu halaman, entah memanggul cangkul pulang dari ladang, menggiring kambing dan sebagainya. Tidak nampak perempuan, anak-anak atau orang-orang tua di luar rumah. Ketika rombongan Helian Kong lewat, orang-orang itu ada yang mengangguk hormat dan ada pula yang acuh tak acuh.

Helian Kong lega melihatnya, pikirnya, "Kalau perempuan, anak-anak dan orang-orang tua tidak nampak di luar rumah, bisa dimaklumi, sebab suasana perang tentu sudah terasa di tempat ini. Apalagi hari hampir gelap." Demikianlah Helian Kong tidak berprasangka.

"Suasana membaik..." nilai Helian Kong dalam hati. "Mungkin Ong Go berubah sikap terhadap penduduk, hingga berhasil mewujudkan ketenteraman."

Tiba di rumah besar di tengah desa yang dijadikan sebagai markas tentara, Helian Kong melambatkan lari kudanya. Lalu masuk ke halaman yang luas itu. Prajurit-prajurit yang berjaga di pintu gerbang tidak menghalang-halangi, bahkan membungkuk hormat.

Baru saja Helian Kong turun dari kuda, dari dalam gedung melangkah keluarlah seorang perwira berusia sebaya dengan Helian Kong, berubuh ramping dan tegap, bahkan lebih tegap dari Helian Kong, matanya tajam. Dia bukan Ong Go. Ia mendekati Helian Kong dengan langkah lebar dan lurus, lalu memberi hormat dan memperkenalkan diri, "Aku Yo Kian-hi, berpangkat Cian-bu, memberi hormat kepada Helian Cong-peng. Selamat datang di desa ini."

Helian Kong agak tercengang karena perwira itu sudah tahu namanya. "Mana Ong Go?" tanyanya.

Yo Kian-hi menjawab dengan lancarnya, "Karena Panglima kami di Hun-ciu menganggap kepemimpinan Ong Go hanya menimbulkan kegelisahan, maka Ong Go ditarik ke Hun-ciu dan aku menggantikannya."

Helian Kong menepuk pundak Yo Kian-hi sambil berkata, "Kulihat desa ini tenteram, rupanya penduduk tidak lagi menganggap prajurit kerajaan sebagai momok yang menakutkan lagi. Tapi, Yo Cian-bu, aku merasa pernah bertemu denganmu, kapan dan di mana, ya?"

Yo Kian-hi tersenyum, "Tentu saja pernah, Cong-peng. Aku dulu bawahan Ong Cian-bu, bukankah Cong-peng pernah lewat desa ini?"

Karena Helian Kong sendiri memang tidak ingat benar, maka penjelasan perwira muda itu dianggapnya saja benar. Ada urusan yang lebih penting daripada sekedar mengingat-ingat, katanya, "Aku hanya ingin melihat dulu keadaan desa ini sebelum pasukanku masuk ke mari. Aku merencanakan beristirahat semalam di sini sebelum melanjutkan perjalanan ke Tong-koan!"

"Tempat ini sudah siap, Cong-peng. Bagian dapur umum akan segera kuperintahkan untuk...."

"Tidak usah, kami bawa bekal sendiri!"

"Tidak apa-apa, Cong-peng. Perbekalan kami cukup."

"Tidak, kami tidak mau memberatkan pihakmu. Mendapat tempat istirahat saja sudah untung!"

Yo Kian-hi tidak mendesak lagi, akhirnya ia berkata, "Kalau begitu terserahlah kepada Cong-peng. Tapi kami siap menerima kedatangan pasukan Cong-peng."

"Terima kasih. Sekarang akan kujemput dulu pasukanku ke mari."

"Silakan, Cong-peng."

Helian Kong dan sepuluh pengawalnya kembali untuk menyongsong pasukan mereka. Ketika hari sudah gelap dan cahaya kemerahan di ufuk barat pun makin menghitam, pasukan Helian Kong yang berjumlah besar itupun sudah masuk ke desa itu.

Desa itu tidak besar, maka kedatangan lima puluh ribu prajurit dan lima ratus gerobak perbekalan dan entah berapa ratus kuda dan keledai beban, tentu saja jadi sibuk sekali. Namun Yo Kian-hi dengan amat gesit bekerja mengatur penempatan mereka. Gerobak-gerobak perbekalan yang akan dikirim kepada Jenderal Sun itu dikumpulkan di satu tempat, sedang para prajurit dipencar-pencar tempatnya. Ada yang di tanah lapang, di halaman-halaman rumah, di kebun-kebun kosong, bahkan di sepanjang jalan desa.

Melihat betapa bersemangatnya Yo Kian-hi bekerja, Helian Kong diam-diam memuji dalam hati, "Kalau semua perwira bersemangat seperti ini, kaum pemberontak akan mengalami kesulitan berat biarpun hanya ingin merebut sejengkal wilayah."

Kemudian Yo Kian-hi mendekati Helian Kong, "Sekarang kami persilakan Cong-peng istirahat di markas, sudah kami sediakan ruangan untuk Cong-peng."

"Tidak. Aku minta tikar saja, aku mau tidur di sini saja."

Kiranya Helian Kong benar-benar menguatirkan perbekalan yang menjadi "nyawa" pasukan Jenderal Sun, maka ia ingin menjaga sendiri gerobak-gerobak perbekalan itu.

Yo Kian-hi tak berani mendesak, lalu berpamitan pulang ke markas. Namun sebelumnya dia berkeliling memeriksa keadaan sekali lagi, terutama sekitar gerobak-gerobak beras itu, dan sebelum pergi Yo Kian-hi mengunjungi beberapa rumah penduduk namun lewat pintu belakang.

Sementara itu, terdorong rasa aman karena Yo Kian-hi memperlihatkan kerja sama yang baik, Helian Kong menggelar tikarnya di kolong sebuah gerobak, lalu beristirahat. Angin malam begitu sejuk lembut, mengantarkan Helian Kong lebih cepat terbang ke alam mimpi karena kelelahannya.

Tengah malam Helian Kong terbangun karena merasa ingin buang air kecil. Didengarnya seluruh desa itu sudah dicengkeram kesunyian, namun dilihatnya orang-orang yang bertugas jaga tetap membuka mata biarpun kelihatannya begitu kelelahan.

"Sekarang sudah lewat Cu-si atau belum?" tanya Helian Kong kepada seorang penjaga.

"Cu-si" adalah sebutan untuk waktu antara dua jam sebelum tengah malam sampaitengah malam. Di Cina, sehari semalam tidak dibagi dua puluh empat jam, tapi hanya dua belas jam. Untuk memudahkan, ada juga yang menamai kedua belas bagian waktu itu dengan nama-nama hewan cap-ji-shio, sehingga dalam percakapan sehari-hari tidak aneh kalau orang menyebut "jam naga" atau "jam anjing" dan sebagainya. Cu-si yang ditanyakan Helian Kong itu sering juga disebut "jam tikus" (antara 23.00 - 01.00).

Dengan sikap hormat prajurit itu menjawab, "Gembreng tanda waktu belum terdengar, Cong-peng."

"Jangan mengantuk ya? Memasuki Jam Kerbau nanti akan ada pergantian penjaga."

"Baik, Cong-peng."

Lalu Helian Kong mencari tempat untuk kencing. Ketika dilihatnya gerombolan semak di seberang jalan, diapun menyuruk ke dalam semak-semak itu untuk melegakan kandung kemihnya. Kemudian ia tidak segera tidur lagi, melainkan berjalan berkeliling desa untuk melihat-lihat.

Nampak prajurit-prajuritnya bergelimpangan pulas di mana-mana, kelelahan, begitu pulas sampai mereka tidak lagi menghiraukan nyamuk-nyamuk yang berpesta pora dengan butir-butir darah mereka. Helian Kong berjalan sampai ke ujung desa. Kepada yang bertugas jaga, tak henti-hentinya ia berpesan agar hati-hati.

Tiba di ujung desa yang berupa semak-belukar yang gelap, tiba-tiba Helian Kong mendengar dari balik semak-semak ada suara anjing-anjing liar berkelahi dengan ribut, berebut mangsa. Dan semak-semak itu berguncang-guncang keras bagaikan dihantam prahara.

Mestinya itu hal biasa, sebab desa itu memang dekat hutan dan pegunungan, tidak mengherankan kalau anjing-anjing liar berkeliaran dekat pemukiman manusia. Tapi Helian Kong kaget ketika melihat seekor anjing liar berlari menerobos keluar dari semak-semak, dengan moncong menggigit sepotong lengan manusia!

Anjing ini lari ke arah pegunungan dan ada dua anjing lainnya mengejar ingin merebut, sementara dari balik semak belukar masih belum reda suara anjing-anjing berebutan mangsa. Tertarik oleh kejadian itu, Helian Kong lebih dulu lari ke gapura desa untuk mencabut sebatang obor yang ditancapkan di situ, lalu ia lari ke balik semak-semak sambil berteriak-teriak dan mengayun-ayunkan obornya untuk menghalau anjing-anjing liar itu.

Ada belasan anjing, dan mereka rupanya masih mau mempertahankan "rejeki" mereka malam itu, mereka menggeram-geram sambil menyeringai memamerkan deretan gigi mereka kepada Helian Kong. Namun ketika dua ekor di antara mereka roboh mencelat kena tendangan Helian Kong, anjing-anjing itu mundur ketakutan meskipun belum mau pergi.

Helian Kong mengangkat obornya, dan kagetlah ia melihat mayat-mayat di balik semak-semak itu. Tempat itu ternyata sebuah kuburan masal, namun mayat-mayat dikuburkan secara dangkal dan sembarangan saja, tidak heran kalau menarik penciuman anjing-anjing liar itu lalu diacak-acak. Banyak mayat tidak lengkap lagi, karena sebagian tubuhnya sudah dibawa lari pemangsa-pemangsanya.

Namun mayat-mayat itu belum berbau, menandakan kalau belum lama mereka dibunuh, mungkin belum sampai satu hari. Betapapun juga, itu sudah membuat Helian Kong mulai curiga. Ada yang kurang beres di desa itu.

Kini ia berjongkok sambil mengangkat obornya agar dapat melihat lebih cermat, dan alangkah kagetnya ketika melihat satu dari mayat-mayat itu adalah Ong Go, komandan lama dari pasukan di desa itu. Padahal tadinya Yo Kian-hi bilang kalau Ong Go "ditarik ke Hun-ciu", kenapa sekarang mayatnya diketemukan di pinggiran desa ini?

"Ada yang tidak beres dengan Yo Kian-hi!" itulah kesimpulan kabur Helian Kong, la membuang obornya lalu dengan gerakan secepat kilat hendak kembali ke desa.

Namun sesosok bayangan lain berkelebat tak kalah cepatnya, muncul dari arah kegelapan dan ujung jari-jarinya langsung menusuk ke arah tenggorokan! Helian Kong. Helian Kong kaget namun tidak kehilangan peluang. Dengan tubuh masih mengapung di udara, ia membabat lengan lawannya dengan telapak tangannya dan sekaligus balas menjotos ke rusuk orang itu.

"Bagus!" Itulah suara Yo Kian-hi, penyergap itu. Sore tadi suara itu masih bernada ramah dan penuh rasa bersahabat, sekarang terdengar dingin dan penuh permusuhan. Ia menyilangkan kedua lengannya untuk menjepit patah lengan Helian Kong di bagian siku.

Selagi tubuh mereka masih sama-sama mengapung di udara dan melayang turun, kedua anak muda sebaya itu telah sempat saling gebrak beberapa jurus, sama cepatnya, sama kagetnya. Ketika kaki mereka sampai di tanah bersamaan, mereka berlompatan menjauh untuk mengambil posisi.

Kemudian Helian Kong bertanya, "Siapa kau sebenarnya?"

"Perwira bawahan Jenderal Li Gi-am!" sahut Yo Kian-hi blak-blakan dengan sikap menantang.

Laskar pemberontak yang oleh pihak pemerintah dicap sebagai gerombolan liar belaka, namun Li Cu-seng sudah menyusun tentaranya dengan tertib. Ada jenderal, ada perwira, ada prajurit biasa, seperti sebuah angkatan perang suatu negara. Yang disebut Jenderal Li Giam adalah ahli perangnya Li Cu-seng yang berjasa dalam mempersembahkan kemenangan demi kemenangan. Dengan demikian Yo Kian-hi ini adalah seorang tokoh pemberontak.

Itu mengejutkan Helian Kong. Ia cemas akan pasukannya yang sedang tidur lelap dan barang kawalannya. Ternyata desa itu telah disergap dan dikuasai oleh pengikut-pengikut Li Cu-seng, membunuh semua prajurit kerajaan yang di situ, lalu pengikut-pengikut Li Cu-seng itu menyamar sebagai prajurit-prajurit kerajaan untuk menjebak pasukan Helian Kong.

Dan kini ingatan Helian Kong terbuka, ingat kapan dan di mana ia pernah melihat Yo Kian- hi, bukan cuma satu kali, bahkan dua kali. Pertama kali di desa itu juga, waktu Yo Kian-hi menyamar sebagai pengungsi yang menghasut pengungsi-pengungsi lainnya agar timbul kerusuhan, waktu itu Helian Kong gagal menangkapnya karena senjata rahasia Tok bu Kim-ciam Cu-bo-tan.

Kedua kali Helian Kong melihatnya waktu terjadi keributan di depan gedung kediaman Ciu Kok-thio, mertua Kaisar Cong-ceng, di Pak-khia. Waktu itu Yo Kian-hi menaiki gerobak yang ruji-ruji rodanya dipasangi golok, dan kerbau penariknya sebentar-sebentar disundut pantatnya dengan api.

Maka gusarlah Helian Kong, "Hem, kiranya kau begundal Li Cu-seng yang hendak menjebak pasukanku!"

"Benar!" sahut Yo Kian-hi sambil tertawa. "Helian Cong-peng, mata-mata kami di Pak-khia banyak melaporkan tentang dirimu. Seorang perwira yang jujur, bersih, berkepandaian tinggi. Sayangnya mengabdikan segala kelebihannya hanya kepada sebuah pemerintahan bobrok yang sebentar lagi akan diruntuhkan Joan ong! Lebih baik kau bergabung dengan kami, tentu namamu akan dikenang oleh banyak orang dengan perasaan terima kasih!"

"Hem, tidak usah membujuk aku, malam ini aku akan...."

Helian Kong menghentikan kata-katanya, sebab dari arah desa tiba-tiba terdengar riuh rendah suara orang bertempur, dan nampak cahaya api menjulang ke angkasa.

Yo Kian-hi tertawa dingin, "Tidak usah mengkhawatirkan nyawa prajurit-prajuritmu, Cong-peng. Kami tidak mengincar nyawa mereka, kami cuma ingin memusnahkan lima ratus gerobak beras yang akan dimakan Jenderal Sun dan pasukannya."

"Bangsat!" Lompatan pesat Helian Kong "untuk kembali ke dalam desa itu lagi-lagi dihadang oleh Yo Kian-hi. Dua tinjunya berturut-turut menyambar ke pelipis dan ulu hati Helian Kong.

Gerakan keras dan mantap macam itu sudah pernah dikenal oleh Helian Kong, maka sambil menghindar Helian Kong juga membentak, "He, apa hubunganmu dengan Thai-lik-ku-huo (Macan Kurus Bertenaga Raksasa) Oh Kui-huo?"

"Aku adik seperguruannya."

Sambil menjawab, serangan Yo Kian-hi semakin gencar. Yang dimainkannya adalah Ban-sin-kun-hoat (Silat Selaksa Gajah), yang hebat dan keras, angin menderu tiap gerakannya, tiap langkah kakinya seperti menimbulkan gempa kecil.

Ternyatalah biarpun Yo Kian-hi a-dalah adik seperguruan Oh Kui-huo, namun lebih tangguh dari kakak seperguruannya. Pertama, ia lebih berbakat. Kedua, bentuk tubuhnya yang tinggi tegap itu lebih cocok untuk ilmu semacam Ban-siang-kun-hoat.

Seandainya tidak sedang memikul kewajiban beratnya tentu Helian Kong dengan senang hati akan melayani adu ilmu itu. Tetapi ia saat itu sedang memikul tugas penting, ia lebih mementingkan keutuhan barang yang dikawalnya daripada menuruti selera pesilatnya. Ia membentak dan mengerahkan seluruh kemampuannya, tiba-tiba di pundaknya seperti tumbuh berpasang-pasang lengan tambahan.

Bayangan cengkeramannya memenuhi seluruh sudut arena, mengancam semua persendian tulang Yo Kian-hi. Itulah ciri utama perguruan Ti-at-eng-bun, dengan cengkeraman jari-jari tangan yang terlatih berusaha melumpuhkan persendian-persendian. Kalau serangan sudah dekat ke tubuh, serangannya seperti menggerayangi tubuh namun cepat, mirip tukang pijat mencari bagian tubuh yang keseleo. Ini sebaliknya, mencari bagian yang tidak keseleo untuk dibikin keseleo.

Peningkatan perlawanan Helian Kong yang mendadak itu mengejutkan Yo Kian-hi. Saat tubuh Helian Kong melayang menerjangnya, Yo Kian-hi tiba-tiba membanting dirinya telentang, membiarkan lawan melayang di atasnya, dan sepasang tinjunya mencoba menghantam pergelangan kaki Helian Kong, kalau kena pasti remuk mata kakinya dan Heli-lian Kong akan jadi cacad seumur hidup. Namun luput.....!

Helian Kong membuat gerak salto menjauhi lawan, kemudian berlari ke dalam desa sambil berteriak-teriak untuk membangunkan pasukannya, "Ada musuh! Ada musuh! Jaga kereta-kereta perbekalan!"

Alangkah mendongkolnya Yo Kian-hi karena gagal mencegah langkah Helian Kong. Ia bangkit dan memburu ke dalam desa, tapi melalui jalan lain. Arahnya ia sudah tahu, tentu Helian Kong akan ke tempat gerobak-gerobak beras.

Sementara itu, ketika dilihatnya di tempat gerobak beras itu ada nyala api berkobar, Helian Kong memacu langkahnya. Begitu hebat ilmu meringankan tubuhnya, sehingga beberapa prajurit yang dilewatinya hanya merasakan angin berhembus keras di samping mereka.

Beberapa gerobak sudah terbakar dan sedang disirami air oleh para prajurit. Di tempat itu juga sudah berkobar pertempuran sengit, para prajurit berhadapan dengan ratusan orang yang di kepala masing-masing memakai ikat kepala kuning. Terdengar suitan tajam melengking membelah malam.

Lalu pintu-pintu rumah penduduk di seluruh desa itu terbuka, dan bermunculanlah orang-orang yang siangnya dikira sebagai penduduk desa. Ratusan o-rang. Mereka muncul dengan ikat kepala kuning dan senjata di tangan, dengan berani dan tangkas mereka menerjang ke arah tentara Kerajaan yang berjumlah jauh lebih banyak.

Sebagian dari pasukan kerajaan ternyata tak mampu bangkit untuk melawan. Merekalah yang sorenya mendapat "kebaikan hati" penduduk desa gadungan itu berupa suguhan makan atau minum, dan mereka keracunan. Namun yang masih segar dan melawan dengan gigih tetap banyak.

Pengikut-pengikut Li Cu-seng itu sasaran utamanya adalah gerobak-gerobak perbekalan. Setiap ada kesempatan, mereka melemparkan obor-obor yang terdiri dari ruas-ruas bambu berisi minyak. Minyak tumpah dan apinya menyala, makin banyak gerobak terbakar. Tempat itu jadi terang benderang.

Tak terkirakan kegusaran Helian Kong melihat itu. Sekali lompat bagaikan macan lapar, tangan dan kakinya berhasil menggebrak tiga orang pengikut Li Cu Seng sehingga mereka terpental dengan tulang rusuk rontok.

"Lindungi perbekalan!" teriak He-lian Kong. Orang kedua belah pihak berpencaran disegala sudut desa, maka pertempuran pun berkobar di semua pelosok desa. Kaum pemberontak muncul dari setiap rumah. Kemudian ada juga yang menyerbu dari luar desa dengan menghujankan panah-panah dan lembing-lembing.

Serangan luar dalam itu semula memang membuat pasukan Helian Kong panik. Mereka tidak sempat menyusun diri sebagai sebuah pasukan yang kompak seperti dalam latihan, melainkan terpaksa bertempur sendiri-sendiri menghadapi musuh yang muncul dari segala sudut. Dalam kekacauan itu memang banyak prajurit Helian Kong yang menjadi korban "pembukaan" untuk pertempuran yang entah kapan selesainya.

Apalagi ketika dari arah hutan dan pegunungan datang pula pegikut Li Cu-seng bergerombol-gerombol. Hujan panah dan lembing yang mereka lontarkan cukup banyak makan korban pasukan kerajaan. Tetapi ketika para perajurit mulai menggunakan perisai semestinya, maka ancaman panah dan lembing pun dapat diredam.

Pertempuran digantikan dengan menggunakan tombak, pentung, pedang, golok dan sebagainya yang suaranya riuh-rendah. Berlangsung sengit di jalanan, kebun-kebun, halaman-halaman rumah, semak-semak belukar, kandang ternak dan sebagainya...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.