Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 11

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Seri Pertama, Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 11 Karya Stevanus S P

Beberapa rumah ikut terbakar karena kena lemparan api yang kurang tepat. Tapi keadaan yang menjadi terang-benderang itu jadi mempermudah membedakan kawan dan lawan. Kaum pemberontak kalah jumlahnya, namun menunjukkan semangat tempur yang menyala- nyala. Tujuan utama mereka bukan mengalahkan pasukan itu, sebab mereka sadar tidak mungkin mengalahkan pasukan yang jauh lebih besar itu.

Cukup asal bisa memusnahkan sebagian dari perbekalan yang akan dikirim ke Tong-koan itu. Pihak pemberontak tidak mau membiarkan pasukan Jenderal Sun yang sudah "senin kemis" itu menjadi segar kembali karena bantuan dari Pak-khia itu, maka mereka berusaha menghancurkan kiriman itu di tengah jalan. Tidak heran kalau pertempuran paling sengit terjadi di sekitar gerobak-gerobak beras itu ditempatkan.

Kaum pemberontak menyerang, pasukan kerajaan berusaha menghalau. Selain perang dengan senjata, juga ada perang api melawan air. Api yang dilemparkan oleh kaum pemberontak terus-terusan menghujani gerobak-gerobak beras, sedang para prajurit berusaha menyiraminya dengan air dari beberapa sumur penduduk yang terdekat. Maka biarpun beras itu selamat dari api, namun karena kena air dan minyak, entah bagaimana rasanya kelak kalau jadi nasi.

Melihat itu, Helian Kong merasa tidak perlu sungkan-sungkan lagi. Ia menggunakan pedangnya untuk membabat kawanan pemberontak yang berusaha mendekati gerobak perbekalan. Di hadapan orang berilmu setinggi Helian Kong, kawanan pemberontak itu jadi seperti helai-helai jerami yang dilewati angin prahara. Mereka bertebaran dan bertumbangan setiap kali Helian Kong melewati mereka sambil mengayun pedang.

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

Namun dari antara kaum pemberontak pun muncul Yo Kian-hi yang bersenjata sepasang pedang tebal, berbeda dengan kakak seperguruannya yang bersenjata cambuk panjang. Ia mengganas merobohkan banyak prajurit kerajaan, terutama yang mempertahankan gerobak-gerobak perbekalan.

Sepasang pedang itu tidak kalah dahsyatnya dengan pedang tunggal Helian Kong, dengan tenaganya yang besar maka sabetan-sabetan sepasang pedang Yo Kian-hi tidak cuma merobek kulit tapi mampu memotong tulang juga. Tak terhindari pertempuran ulang antara kedua lawan setimpal ini, Helian Kong dan Yo Kian-hi.

Helian Kong melompat, seperti seekor elang yang dengan sayap-sayapnya yang kokoh tanpa gentar masuk langsung ke pusat prahara, dengan gerak Hui-eng-coan-hun (Elang Menembus Mega), melompat dan menusuk dan atas. Begitu kokoh lengannya menggenggam pedang, sehingga deru putaran" sepasang pedang Yo Kian-hi tak mampu menggoyahkan arah pedangnya sejaripun, ujung pedang tetap mengincar ke leher Yo Kian-hi.

Yo Kian-hi semuda lawannya, darahnya juga darah muda yang selalu bergairah untuk menguji ilmu silatnya. Makin ketemu lawan tangguh, makin menyala semangatnya. Ia bergeser mundur, sepasang pedangnya tiba-tiba berkelebatan menjadi cahaya silang menyilang rapat. Yo Kian-hi tidak hanya ingin menangkis pedang lawgn, tapi sekaligus juga memotong lengan lawan.

Helian Kong tidak menarik mundur serangannya, justru mempercepat luncurannya di udara, pedangnya dijulurkan sepanjang- panjangnya, seolah mau berkata kepada lawannya, "Boleh kaupotong tanganku dan akan kupotong lehermu."

Hal itu mengejutkan Yo Kian-hi. Tapi pemuda inipun trampil dalam menggunakan sepasang pedangnya. Melihat pedang Helian Kong meluncur deras menembus pertahanannya, Yo Kian-hi melejit ke samping sambil menebaskan pedang kanan ke siku Helian Kong. Tapi seperti seorang tukang sulap saja Helian Kong memindahkan pedang ke tangan kiri sambil menggulingkan badan, lalu membabat sepasang kaki Yo Kian-hi.

Kedua pemuda sebaya itu memang bergerak sama cepatnya, sama kuatnya, namun agaknya Helian Kong unggul dalam membuat gerakan- gerakan yang di luar perhitungan. Sedang lawan masih terlalu lugu memainkan jurus demi jurus ajaran perguruannya. Maka Yo Kian-hi segera beralih posisi menjadi pihak yang kena serang terus-menerus, ujung pedang Helian Kong mengejarnya terus.

Rupanya Helian Kong mengandalkan unsur kecepatan untuk mengincar bagian-bagian tak terjaga, bagian tubuh yang belum tentu mematikan namun buat sebuah pedang tajam tentu tak ada bagian yang percuma untuk dikenai. Biarpun bukan bagian mematikan yang luka, tentu akan mengalirkan darah terus dan melemahkan keseluruhan perlawanan.

"Keparat! Anjing Kaisar, kau terlalu sombong!" Yo Kian-hi memekik jengkel dan sepasang pedangnya diputar sekuat tenaga untuk membuat pertahanan.

Saat Yo Kian-hi sekuat tenaga memutar senjata dilambari kekuatan Tit-siang-kin-hoat (Ilmu Kekuatan Melempar Gajah), justru gerakan pedang Helian Kong melembut. Pedangnya dengan jurus Sam-goan-seng-goat (Tiga Gelang Menjerat Rembulan), gerak putaran pedangnya halus semacam tarian tanpa kekuatan, dan tahu-tahu sepasang pedang Yo Kian-hi malahan sudah tercongkel lepas dari tangan.

Rupanya Helian tidak menghadang kekuatan lawan secara kekerasan, melainkan mengikuti, mendorong dan mempercepat gerak lawannya sampai tak terkendali oleh lawan sendiri, lalu dimanfaatkan untuk keuntungannya sendiri.

"Pemberontak menyerahlah!" bentak Helian Kong sambil menubruk lawannya yang baru saja kehilangan senjata.

Terpaksa Yo Kian-hi melakukan perlawanan tangan kosong dengan Ban-siang-kun-hoatnya. Biarpun gigih, namun karena tak bersenjata dia jadi terdesak terus. Tenaganya yang besar juga jadi kurang berguna menghadapi kecepatan Helian Kong, ia seperti terkurung di bawah cahaya pedang.

Sementara itu, meskipun para pemberontak terus menyerbu dengan gigih ke arah kereta-kereta perbekalan, namun jumlah mereka yang terlalu sedikit akhirnya membenturkan mereka kepada pertahanan tak tertembus dari pasukan kerajaan. Setelah kedua pihak sama-sama kehilangan banyak teman, akhirnya banyak kaum pemberontak yang terbunuh atau melarikan diri.

Tujuan kaum pemberontak itu terhitung gagal, sebab mereka tidak berhasil memusnahkan semua perbekalan, hanya berhasil merusak sebagian kecil saja. Sergapan itu semula direncanakan dengan cepat lalu menghilang. Begitu rencananya, lain pula kenyataannya. Dalam jumlah sedikit kaum pemberontak malah terlibat pertempuran berlarut-larut yang tentu saja tidak menguntungkan mereka. Tak heran mereka terpukul mundur.

Yo Kian-hi yang terdesak oleh He lian Kong itupun nampaknya ingin segera kabur, tapi Helian Kong tidak memberinya kesempatan. Di saat kritis itulah tiba-tiba dari antara kaum pemberontak muncul seorang bersenjata Kau-lian-jio (Tombak Berkait), dia menerjang Helian Kong untuk menyelamatkan Yo Kian - hi pemimpinnya. Ternyata ilmu silatnya cukup tangguh.

Karena pertolongan itulah Yo Kian-hi akhirnya berhasil mundur bersama orang-orangnya yang sudah tidak utuh lagi. Helian Kong melarang pasukannya mengejar. Tugas utamanya adalah melindungi perbekalan dengan selamat sampai ke Tong-koan. la tidak mau meninggalkan perbekalan yang menjadi tanggung jawabnya itu, apalagi ia tidak tahu apa yang menunggu di balik tabir hitam malam.

Sambil membenahi pasukannya, Helian Kong juga menghitung kerugian di pihaknya. Puluhan prajuritnya gugur oleh senjata, tapi lebih banyak lagi yang tewas karena diracun, sebab merekalah yang disuguhi makanan atau minuman oleh "penduduk desa" yang berlagak ramah sore tadi. Puluhan lagi luka-luka, dan puluhan karung beras rusak, tak bisa dimakan lagi. Meskipun demikian, sebagian besar pasukan dan sebagian besar perbekalan masih dapat meneruskan perjalanan ke Tong-koan.

"Bangsat-bangsat pemberontak itu benar-benar bernyali besar," geram He-lian Kong. "Mereka menyusup jauh melebihi garis pertempuran untuk menimbulkan banyak gangguan. Mereka tidak sekedar ingin menguasai suatu wilayah, namun benar-benar ingin merebut negara!"

Keesokan harinya, ketika pasukan itu siap berangkat, barulah diketahui bahwa sebagian besar dari ternak-ternak yang memperlancar perjalanan, seperti kuda, keledai dan kerbau penarik gerobak, ternyata juga sudah mati diracun. Berarti banyak gerobak yang harus didorong oleh para prajurit, sehingga perjalanan akan lebih lama. Helian Kong membanting kaki dan mengepal tinju dengan geram ketika mendengar laporan itu.

"Mudah-mudahan Jenderal Sun mampu bertahan sedikit lebih lama untuk menunggu kita," harapnya. "Eh, kota Hun-ciu masih berapa jauh di depan kita?"

"Kira-kira tiga puluh li, Cong-peng."

"Mudah-mudahan hari ini kita bisa mencapai Hun-ciu, tidak peduli malam sudah tiba. Di Hun- ciu kita akan mendapatkan kuda-kuda baru untuk mempercepat perjalanan ke Tong-koan."

Perwira bawahannya yang diajak berunding itu nampak ragu-ragu, namun memberanikan diri berkata, "Kalau berjalan terus ya bisa. Tapi harap Cong-peng ingat bahwa pasukan kita sudah tidak sesegar ketika berangkat dari ibu kota. Meskipun ke Hun-ciu hanya tiga puluh li, tapi prajurit-prajurit kita harus berjalan sambil mendorong gerobak. Selain itu aku yakin kaum pemberontak takkan membiarkan kita berjalan tanpa halangan."

"Kalau begitu, akan kukirim lebih dulu dua kurir berkuda ke Hun-ciu, minta bantuan agar mereka menyongsong dengan membawa kuda dan hewan-hewan pengangkutan lainnya!"

Helian Kong lalu menulis surat untuk panglima Hun-ciu, diserahkan kepada kurir-kurir berkuda yang segera berpacu ke Hun-ciu mendahului pasukan. Setelah selesai pembagian ransum makan pagi, pasukan itupun bergerak kembali. Memang jadi lebih berat, sebab sebagian besar gerobak-gerobak pengangkut beras harus maju dengan didorong para prajurit.

Untuk menjaga semangat pasukannya, Helian Kong tidak mau enak-enak menunggang kuda, namun berjalan kaki. Bahkan tak lelah-lelahnya ia hilir mudik sepanjang pasukannya, sebentar berjalan ke ujung pasukan, sebentar ke buntut barisan. Tak segan-segan ia ikut mendorong gerobak-gerobak sambil mengucapkan kata-kata pengobar semangat.

Untung pula jumlah prajurit amat banyak sehingga gerobak-gerobak bisa didorong bergantian. Menjelang tengah hari, belum ada sepuluh li yang berhasil mereka tempuh, semakin kecillah harapan untuk memasuki Hun-ciu sebelum matahari terbenam. Ketika pasukan itu lewat sebuah jalan yang diapit lereng-lereng gunung di kiri kanannya, Helian Kong mewaspadakan seluruh pasukannya.

Dalam Peng-hoat (Ilmu Perang), tempat seperti itu dikenal mudah untuk menyergap musuh yang berjumlah jauh lebih besar. Karena itulah sebelum memasuki selat, Helian Kong memisahkan pasukannya menjadi dua kelompok, masing-masing berjumlah sepuluh ribu prajurit, masing-masing dipimpin seorang cam-ciang, untuk berjalan agak memisah diri dari pasukan induk.

Pasukan mereka juga dibebaskan dari tugas mendorong-dorong gerobak agar tetap segar pada saatnya diperlukan. Naluri Helian Kong tepat. Ketika pasukannya tiba di tengah selat gunung, mendadak dari lereng-lereng kiri kanan terdengar sorak-sorai, lalu suara gemuruh batu-batu besar dan batang-batang pohon yang digelundungkan ke arah pasukan kerajaan.

Tanpa menunggu komando lagi, prajurit- prajurit mengambil tindakan sendiri-sendiri. Sebagian lari ke depan, sebagian lari ke belakang, atau mencari perlindungan di tempat-tempat yang memungkinkan. Toh ada juga yang tak sempat menyelamatkan diri sehingga binasa oleh batu dan kayu yang seolah longsor dari atas itu.

Ketika longsoran reda, ternyata terlihat puluhan gerobak beras terbalik, isinya tumpah berceceran di antara mayat-mayat prajurit, batu-batu besar dan batang-batang pohon yang malang-melintang. Semuanya menjadi hambatan gerobak-gerobak yang di belakang untuk maju ke depan. Mendidih darah Helian Kong melihat itu. Kembali pihak musuh berhasil menimbulkan kerugian atas pasukannya. Sekaligus dikutuknya Panglima di Hun-ciu,

"Bangsat benar si Kam Seng itu, kenapa tidak diawasinya jalan ini, padahal tempat itu masih termasuk wilayah kekuasaannya? Rupanya dia sudah menjadi kura-kura yang cuma berani berlindung di bagian daiam tembok Hun-ciu, tidak berani keluar dan membiarkan kaum pem berontak malang-melintang di sebelah luar dinding kota Hun-ciu."

Namun diapun tidak tinggal diam. Ia berlari-lari sepanjang pasukannya sambil berteriak, "Atur barisan! Jaga gerobak-gerobak yang masih utuh!"

Tergopoh-gopoh para prajurit mengatur diri di kedua sisi yang menghadap kedua lereng. Sebagian prajurit mendapat tugas membersihkan balok, batu dan mayat-mayat atau reruntuhan gerobak agar tidak menghambat majunya gerobak-gerobak di belakangnya. Prajurit-prajurit yang luka dinaikkan begitu saja ke gerobak-gerobak beras yang masih bisa jalan, tanpa diobati lebih dulu.

Tameng-tameng rotan yang tadinya hanya digendong di punggung para prajurit, kini dipegang dengan tangan kiri, siap menyambut musuh. Para pemanah dan pelempar lembing juga siap dengan alat perang masing-masing.

Helian Kong agak terhibur melihat kesigapan pasukannya, yang biarpun mendapat sergapan hebat namun tidak panik dan cerai-berai. Biarpun pasukannya memang menderita kerugian, namun jelas tidak gampang buat musuh untuk menghancurkan atau menghentikan pasukan yang dilatih keras oleh Helian Kong sendiri itu.

"Tetap maju dan awasi kedua sisi!" suara Helian Kong memantul di lereng-lereng kiri-kanan jalan itu.

Maka pasukan itupun bergerak maju kembali, perlahan, karena masih tetap harus mendorong gerobak-gerobak beras. Helian Kong tahu, tindakannya itu tentu menjengkelkan musuh, dan mereka tentu akan menyerang lagi. Benar saja. Dari kedua lereng mendadak terdengar sorak gemuruh, bendera-bendera berwarna kuning polos muncul berkibar-kibar. Ribuan orang yang berikat kepala kuning dengan senjata-senjata berkilat muncul dan menyerbu tentara kerajaan, didahului dengan lontaran panah dan lembing.

Para prajurit kerajaan mengangkat perisai, dan di antara mereka banyak yang cukup berani untuk memanjat lereng menyongsong musuh, sambil berlindung di balik perisai. Sedang pemanah-pemanah dari pasukan kerajaan mulai beraksi pula. Memang kalah menguntungkan memanah dari tempat yang lebih rendah, namun lebih baik daripada tidak membalas sama sekali. Kemudian kaum pemberontak melepaskan pula panah-panah berapi, sasarannya adalah gerobak-gerobak beras.

Namun pasukan itu tetap merambat maju, pendorong-pendorong gerobak dilindungi oleh rekan-rekan mereka yang membawa perisai. Helian Kong tahu kalau lorong diapit lereng itu hanya sepanjang kira-kira dua ratus meter, habis itu akan keluar ke tanah datar di mana kaum pemberontak takkan dapat menarik keuntungan apapun. Karena itulah Helian Kong memerintahkan maju terus. Mundur berarti menjadi sasaran terus menerus, begitu juga berhenti.

Selain itu, Helian Kong juga memberi isyarat suitan kepada dua pasukan di bagian belakang yang sudah dipersiapkan sebelum memasuki selat itu. Kedua perwira berpangkat cam-ciang itu, masing-masing adalah Kok Siau-eng yang bersenjata sepasang Kong-pian (Ruyung Baja) dan Wan Yok-liang yang bersenjata kampak bertangkai sepanjang tangkai tombak. Keduanya dikenal Helian Kong dalam kemahiran "perang gunung” mereka.

Begitu mendengar isyarat Helian Kong, keduanya bersama pasukan masing-masing segera bergerak serempak. Kok Siau-eng memanjat lereng utara dan Wan Yok-liang memanjat lereng selatan, tapi dari arah mulut selat. Tempat yang landai. Seperti yang sudah diperhitungkan, mereka pun mendapat hambatan ketika naik ke tebing.

Mereka diserang dengan panah dan lembing, tapi kelandaian tanah di situ tidak memungkinkan bagi pihak musuh untuk menggelingkan batu-batu dan balok-balok kayu. Panah dan lembing ditangkis dengan perisai tanpa menghambat gerak maju pasukan.

Dan tak lama kemudian, pasukan Kok Siau-eng maupun Wan Yok-liang sudah terlibat pertempuran jarak dekat dengan laskar pemberontak di atas tebing. Karena merasa unggul dalam jumlah, Kok Siau-eng maupun Wan Yok-liang menebar pasukannya agar jangan ada prajurit yang menganggur di garis belakang, jadi semua prajurit "dapat kerja".

Perlahan tapi pasti pasukan kerajaan berhasil menggiring mundur kaum pemberontak di atas tebing sebelah-menyebelah. Mundur menyusuri tebing memanjang. Hasil di kedua sayap itu terasa di pasukan Helian Kong. Serangan dari atas tebing sebelah menyebelah mengendor, pihak musuh harus membagi perhatian, pasukan Helian Kong dapat maju lebih cepat.

Begitulah, majunya pasukan kerajaan dalam tiga jalur itu seperti sebuah trisula. Jalur tengah adalah Helian Kong yang mengawal gerobak- gerobak perbekalan dengan jumlah pasukan terbanyak. Jalur utara Kok Siau-eng dan jalur selatan Wan Yok-liang. Pasukan kerajaan tidak lagi terjepit, tapi mendesak.

Selat itu memang tidak panjang. Setelah hampir ke ujung selat, jalanan bahkan agak melandai turun sehingga gerobak-gerobak dapat menggelinding lebih lancar. Kini para prajurit malahan harus agak menghambat gerobak-gerobak agar tidak meluncur terlalu cepat.

Setelah keadaan membaik buat pasukannya, Helian Kong mengirim lagi dua perwira dengan pasukan masing-masing untuk memanjat ke tebing utara dan selatan, untuk membantu Kok Siau-eng dan Wan Yok-liang mempercepat penyelesaian. Maka kedua tebing sebelah menyebelahpun seolah kini ditaburi prajurit kerajaan. Kaum pemberontak yang kalah jumiahpun makin cepat terdesak mundur.

Namun dari luar selat sebelah barat, tiba-tiba terdengar sorak gemuruh, ratusan bendera kuning berkibar menghadang di depan. Sebuah pasukan yang nampaknya cukup kuat muncul, dengan berani mereka menghadang pasukan He-lian Kong secara Frontal, berhadapan langsung, menandakan kalau merekapun mengandalkan jumlah yang besar. Bahkan mereka juga mengembangkan sayap ke tebing-tebing, melebarkan garis pertempuran.

"Maju!" sambil berteriak, Helian Kong berjalan paling depan sambil mengangkat tinggi-tinggi pedangnya.

Laskar pemberontak yang menghadang ini tergolong besar, bukan sekedar regu-regu kecil untuk tugas-tugas kecil, namun benar-benar disiapkan untuk menghambat bantuan bagi Jenderal Sun Toan-teng yang sedang mereka gencet di Tong-koan. Di antara bendera- bendera kaum pemberontak, nampak sebuah bendera memanjang ke bawah bertulisan dua huruf besar yang bisa dilihat dari kejauhan, "Li Giam".

Itulah nama seorang "jenderal"nya kaum pemberontak yang kenamaan di garis depan. Membaca huruf-huruf pada bendera di kejauhan itu, Helian Kong malahan berkobar semangatnya. "Bagus, sudah jemu aku hanya menghadapi keroco-keroco pengikut Li Cu-seng, sekarang biar kutangkap pentolannya!"

Di bawah bendera besar kaum pemberontak itu nampak seorang penunggang kuda yang berpakaian perang. Memakai sisik-sisik logam pelindung pundak dan lengan, memakai logam pelindung ulu hati, namun topinya ternyata hanyalah caping petani biasa, sehingga dandanan kelihatan agak janggal.

Memang demikiankah dandanan "jenderal-jenderalnya" kaum pemberontak. Topi petani itu maunya dijadikan lambang bahwa mereka sedang berperang untuk membela rakyat kecil, dengan demikian mengharap bisa mendapat dukungan luas dari rakyat.

Diiringi sekelompok pengawal berkudanya, Li Giam maju ke depan, tangan kirinya memegang kendali kuda dan tangan kanannya mengempit tombak panjang, siitapnya gagah. Setelah cukup dekat, ia berseru kepada Helian Kong "Cong-su (orang gagah), berhentilah meng abdi kepada pemerintahan Kaisar Cong-ceng yang menyengsarakan rakyat, bergabunglah dengan Joan-ong untuk menyelamatkan negeri!" Helian Kong berhenti melangkah dan menyarungkan pedangnya.

Namun bukan untuk menyerah, sebab ia tiba-tiba merebut sebuah busur dan sebumbung anak panah dari seorang prajurit di sebelahnya. Dan sekejap kemudian beterbanganlah anak- anak panahnya ke arah Li Giam. Panah yang dilepas Helian Kong meluncur lebih hebat dari prajurit-prajurit biasa, selain lebih cepat juga membawa desing lebih keras dan mencapai jarak lebih jauh.

Maka guguplah pengawal-pengawal Li Giam melindungi atasan mereka. Memang Li Giam seorang tokoh penting dalam barisan Li Cu- seng, seorang ahli strategi perang, namun ilmu silatnya justru termasuk hanya golongan "Pas-pasan," karena itulah panah-panah Helian Kong menjadi ancaman serius buatnya.

Beberapa pengawal mengajukan perisai ke depan Li Giam. Tetapi kekuatan panah Helian Kong terlalu hebat, sehingga pengawal-pengawal itu berhasil melindungi Li Giam tapi tak berhasil melindungi mereka sendiri. Panah Helian Kong menembus tameng-tameng rotan itu dan sekaligus "memaku"nya dengan tangan- tangan yang berada di belakang tameng. Beberapa pengawal bahkan bertumbangan dari kuda karena panah Helian Kong langsung ke tubuh mereka.

Namun perlindungan para pengawal setia itu terhadap Li Giam betul-betul gigih. Menggantikan pengawal-pengawal yang roboh, pengawal-pengawal lain maju melindungi Li Giam tanpa memikir keselamatan mereka sendiri. Sementara sebagian dari pengawal-pengawal itu menganjurkan Li Giam agar men jauhi garis benturan.

Sadar akan bahaya yang mengancamnya, Li Giam menurut diajak mundur, kemudian para pengawalnyalah yang mencoba membendung Helian Kong. Diiringi sorak-sorai kedua pasukan yang berlaga di mulut selat itu, pertempuran makin berkobar hebat. Yang paling sengit ialah di bagian jalur tengah, di mulut selat. Di situ laskar pemberontak mencoba membendung tentara kerajaan, sebaliknya tentara kerajaan mendesak untuk mencari jalan.

Tetapi di kedua lerengpun sayap-sayap kedua pihak saling menekan dan mendesak. Masing-masing pihak sadar, kalau berhasil menguasai tebing miring melandai itu, tentu akan bisa menekan lawan dari lambung, dari kedudukan yang lebih menguntungkan. Maka dari kedua pihak, selain korban-korban senjata yang berjatuhan juga ada korban-korban yang terguling ke bawah tebing untuk "hadiah" kurang hati-hatinya mereka melangkah.

Kaum pemberontak begitu bersemangat, sebab dipimpin sendiri oleh Li Giam, tangan kanan Li Cu-seng sendiri. Tiap laskar ingin menunjukkan semangat juang dan kemampuan yang setinggi-tingginya di hadapan Li Giam. Namun pasukan kerajaan juga melawan amat ulet, semangat merekapun berkobar karena diberi contoh oleh Helian Kong sendiri, yang tidak cuma berteriak-teriak dari garis belakang, melainkan menyusup garis pertahanan musuh yang paling depan.

Memang tidak keliru pepatah "di bawah panglima yang kuat tidak ada prajurit yang lemah". Prajurit-prajurit Helian Kong ini benar-benar tidak mengecewakan orang yang selama ini melatih mereka, yaitu Helian Kong sendiri. Memang tentara Kerajaan kalah segar kondisinya setelah kelelahan sekian lama. Namun kelelahan itu sirna ditelan semangat yang berkobar.

Pasukan kerajaan saat itu menempati posisi lebih tinggi, tetapi ada juga kerugiannya, yaitu karena saat itu mata hari sudah tiga perempat garis edarnya, sudah agak rendah di sebelah barat. Padahal pasukan kerajaan itu menghadap ke barat, satu atau dua jam lagi pasti mereka akan disilaukan langsung oleh cahaya matahari.

Helian Kong menyadari hal itu, maka dikirimnya dua kurir untuk menyampaikan perintahnya kepada sayap utara dan sayap selatan yang dikomandani masing-masing oleh Kok Siau-eng dan Wan Yok-liang agar lebih hebat menekan musuh, harus dapat merebut posisi menguntungkan selatan utara sebelum matahari terbenam.

Helian Kong sendiri bukan cuma main perintah, tapi menyerbu paling depan, tanpa ragu-ragu menerjang lapisan laskar pemberontak yang terdepan, laskar pemanah dan pelempar lembing. Begitu hebat amukan Helian Kong sehingga laskar-laskar musuh lapisan pertama itu banyak yang roboh bergelimpangan dibabat pedangnya, sebelum mereka sempat mengganti busur-busur dan lembing-lembing mereka dengan pedang atau tombak.

Lapisan pertama berantakan, segera Helian Kong menghantam lapisan kedua yang bersenjata perisai dan pedang, atau tombak panjang. Baru saja Helian Kong mengamuk lagi hendak menghancurkan lapisan musuh yang di situ, mendadak terdengar gemuruh derap kuda mendekat, muncullah pengawal-pengawal Li Giam yang semuanya menunggang kuda. Mereka langsung berderap menyerbu Helian Kong.

Berbeda dengan laskar biasa yang belum memakai seragam kecuali ikat kepala warna kuning, maka pengawal-pengawal Li Giam ini semuanya sudah berseragam prajurit yang cukup mentereng, biarpun rampasan dari tentara pemerintah.

Melihat itu, Helian Kong beringas, la melompat seperti elang menyusur langit, tanpa gentar menyongsong kelompok orang berkuda itu. Seorang lawan terdepan bersenjata golok Ceng-liong-to, golok yang diberi gagang sepanjang tangkai tombak, sambil duduk tegak di pelana kuda ia menyambarkan senjatanya untuk membelah tubuh Helian Kong.

Di udara Helian Kong menangkis dan menjejak dengan kaki, kecepatannya tak tertandingi, sehingga lawannya terjungkal dari kuda. Ketika pedang Helian Kong sekali lagi membabat, lawan itupun habis riwayatnya. Namun pengikut-pengikut Li Giam itu berani mati. Matinya seorang teman mereka tidak menjadikan mereka ciut nyalinya yang lain-lainnya mendesak maju sambil mengajunkan senjata yang bermacam-macam, umumnya senjata panjang.

Namun Helian Kong tiba-tiba meluncur turun dari udara dan melakukan gerakan Gun-te-tong di tanah yang miring itu, bergulingan dan menjadikan kaki kuda sebagai sasaran. Maka kacaulah para pengawal Li Giam, tak bisa mengarahkan senjata mereka, sebab Helian Kong seperti "amblas" dan tahu-tahu malah beroperasi di bawah perut kuda-kuda mereka. Menggelundung ke sana ke mari seperti bola karet saja.

Beberapa kuda roboh terbabat kakinya, penunggang-penunggangnya ikut berpelantingan ke bawah dan termakan pusaran pedang Helian Kong yang membentuk cakram perak raksasa yang berpusar cepat. Belum lenyap kebingungan mereka, kembali Helian Kong melompat meninggalkan tanah dan berubah seperti elang yang menyambar-nyambar dari angkasa.

Dilihat dari luar arena, Helian Kong nampak seperti seekor naga yang timbul tenggelam di gelombang samudra. Sebentar melayang-layang di atas kepala musuh-musuhnya, di lain saat amblas menyusup-nyusup di bawah perut-perut kuda. Tiap kali menimbulkan korban.

Li Giam melatih kelompok berkuda yang dapat bergerak cepat agar kelak dapat dijadikan pasukan penggempur gerak cepat. Kini ternyata orang-orang yang dilatihnya itu telah terhambat majunya hanya menghadapi satu orang saja. Kuda-kuda tunggangan mereka malah berputar-putar panik dan saling tabrak, sama bingungnya dengan penunggang-penunggang mereka yang seoiah menghadapi sesosok hantu yang bisa menghilang dan muncul semaunya.

Mereka bertambah kacau ketika Helian Kong menunjukkan cara bertempur yang baru lagi. Kini ia menggunakan pepohonan yang banyak tumbuh di tempat itu. Ia berlompatan dari pohon ke pohon seperti tupai atau kera raksasa dan makin banyak musuh yang dirobohkannya. Di mulut selat itupun bergelimpanganlah mayat kuda dan tubuh manusia yang menghalang-halangi majunya laskar pemberontak.

Prajurit-prajurit kerajaan bersorak penuh semangat melihat kehebatan panglima mereka. Merekapun ikut menyerbu lebih hebat lagi. Begitulah, baik pertempuran di mulut selat maupun di kedua tebing, kedua pasukan saling terjang, saling desak, saling menyebar dan mencoba mengurung seperti dua gelombang yang bertemu arus dan berpusar.

Bendera-bendera dikibar-kibarkan untuk menambah semangat, sorak yang gemuruh membuat hati terbakar dan semakin tidak kenal takut. Korban-korban yang jatuh tak sempat diurus lagi, dilangkahi atau bahkan diijak begitu saja. Tidak sedikit yang terluka dan mestinya masih bisa ditolong, akhirnya matinya justru karena terinjak-injak.

Helian Kong ikut mengganas dalam suasana demikian itu. Agar negara selamat, pasukan Jenderal Sun di Tong-koan harus selamat, dan agar pasukan jenderal Sun selamat, pasukannya yang hendak menolong pasukan itupun harus selamat, hanya itu pikiran Helian Kong. Karena itu, mustahil ia bersikap "baik hati" terhadap laskar pemberontak yang juga kuat itu. Ia bersikap sama haus darahnya dengan kawan maupun lawan. Bahkan karena ketinggian ilmu silatnya, dia menjadi malaikat maut buat kaum Pelangi Kuning itu.

Setelah memporak-porandakan pengawal- pengawal didikan Li Giam, Helian Kong sendirian menyuruk ke tengah-tengah pasukan lawan. Dibilang sendirian, sebab pasukannya tertinggal dan tak sempat mengikuti langkahnya, maka Helian Kong seperti setitik kecil di tengah-tengah hamparan orang-orang berikat kepala kuning.

Namun ia tidak tenggelam, ia mengamuk. Pedangnya berkilat-kilat terayun ke sana ke mari, memantulkan cahaya surya yang makin miring ke barat, memuncratkan darah dan memotong tubuh-tubuh musuh. Ke mana dia melangkah, ia seperti melangkahnya seekor ular besar yang merobohkan batang-batang ilalang. Helian Kong benar-benar memburu waktu sebelum pasukannya disilaukan oleh matahari, karena itulah ia merusak pasukan musuh sehebat-hebatnya.

Agak jauh di garis belakang, Li Giam dikelilingi pengawal-pengawal berkudanya. Karena tempat mengamuknya Helian Kong di tanah yang miring letaknya, agak tinggi, maka Li Giam dapat melihat sepak terjang Helian Kong.

"Hebat dia...." gumam Li Giam. "Orang itukah yang namanya Helian Kong, seperti laporan orang-orang kita di Pak-khia?"

"Benar, Goan-swe....," sahut seorang pengawal di sampingnya. "Menurut laporan itu pula, dia adalah Ketua Tiat-eng-bun (Perguruan Elang Besi)."

"Pantas sedemikian hebat ilmu silatnya. Tapi kenapa pesan dari Pak-khia itu memohon kepadaku agar Helian Kong ditangkap hidup-hidup dan jangan dibunuh? Apa maksud pesan itu?"

"Teman-teman kita di Pak-khia hanya mengusulkan, dengan pertimbangan bahwa Helian Kong adalah seorang yang berpengaruh di kalangan perwira penentang Co Hua-sun di Pak-khia. Kalau dia bisa bekerja untuk kita, pastilah lebih menguntungkan kita daripada cuma kita dapatkan mayatnya. Namun keputusannya terserah kepadat Ciang-kun...."

"Pesan dari Pak-khia itu sulit dijalankan. Bukan karena aku tidak mau menggunakan pengaruhnya, tapi karena orang macam dia aku yakin sulit disuruh menggubah pendirian...."

"Terserah kepada Ciangkun...."

"Baik. Sekarang siapa diantara kalian yang bisa membunuh atau menangkapnya, jasanya akan kulaporkan kepada Joan-ong!"

Yo Kian-hi yang masih penasaran karena semalam dikalahkan Helian Kong, maju dan berkata, "Ciang-kun, ijinkan aku mencobanya."

"Baik, tapi hati-hati!"

Dengan membawa sepasang pedang tebalnya, Yo Kian-hi menyuruk maju, minta jalan kepada para laskar untuk menyongsong Helian Kong. Setelah sampai di depan, dilihatnya laskarnya di bagian itu sudah berantakan gara- gara Helian Kong seorang. Dan garis pertempuran sudah mundur berpuluh-puluh langkah, pasukan kerajaan sudah berhasil keluar dari selat sembari menekan dari kedua sayap.

Yo Koan-hi tidak membuang waktu, la melompat langsung ke depan Helian Kong, sepasang pedangnya langsung menikam dengan gerakan Tai-peng-tian-ih (Sepasang Sayap Rajawali). Helian Kong yang waspada cepat memutar tubuh dan balas menikam, sambil mengejek, "He, belum jera juga? Minta tambah pelajaran dari aku karena yang semalam belum cukup?"

"Anjing Kaisar, tutup saja mulutmu dan bersiaplah menerima kematianmu dengan pasrah!"

Kedua pemuda itu kembali bertempur dengan gigih. Sepasang pedang Yo Kian-hi mendesis-desis membelah udara, berkelebatan seperti seribu petir merobek langit. Terjangannya yang penuh tenaga seperti seribu gajah yang mengamuk berbareng.

Tapi meskipun Helian Kong sendiri adalah seorang bertenaga besar, ia pantang memboroskan tenaga dengan membentur-benturkan pedangnya ke pedang musuh hanya sekedar agar tidak dianggap takut. Ia lebih suka mengandalkan kelincahan dan kelenturan tubuhnya untuk bergerak cepat. Kelebatan pedangnya tidak sedahsyat kelebatan sepasang pedang lawannya, melainkan melingkar-lingkar dengan cepat berusaha menyusup ke pertahanan lawan seperti ribuan tawon beterbangan.

Setelah Helian Kong bertemu lawan setimpal, laskar pemberontak di garis depan berkesempatan menyusun pertahanan yang tadinya compang-camping dirobek-robek Helian Kong. Pertempuran makin seru, arena perkelahian melebar ke mana-mana. Pasukan kerajaan masih mencoba memanfaatkan keunggulan jumlah untuk menyebar dan mengepung. Laskar pemberontak terus didorong mundur ke arah barat.

Biarpun masih penasaran ingin membalas kekalahan, Yo Kian-hi mau tidak mau harus ikut bergeser mundur mengikuti laskarnya. Ketika pasukan kerajaan secara serempak memperhebat gempuran, laskar pemberontakpun terpukul mundur. Menyusul aba-aba dari Li Giam sendiri yang tidak melihat ada kemungkinan menang, laskar itu mundur diiringi sorak sorai prajurit-prajurit kerajaan. Mundur ke pegunungan sebelah barat laut.

Helian Kong tidak menyuruh pasukannya mengejar, yang penting baginya adalah menembus kepungan Tong-koan untuk menolong Jenderal Sun. Dan meskipun pasukan kerajaan boleh dibilang menang dalam pertempuran itu, namun yang tewas dan luka-lukapun mencapai ribuan orang, sedang di pihak laskar pemberontak lebih banyak lagi.

Karena mendesaknya waktu, Helian Kong memerintahkan agar mayat-mayat prajuritnya dibawa saja ke Tong-koan, tidak sempat dikuburkan di situ. Yang luka-luka diobati. Laskar pemberontak yang iuka-luka pun diberi obat, namun diancam pula agar tidak bergabung kembali dengan laskar pemberontak. Banyak diantara laskar pemberontak yang tadinya memang rakyat biasa yang cuma ikut-ikutan karena janji "perbaikan nasib". Mereka tidak punya pendirian yang kuat, diajak perang ya menurut saja.

Ketika pasukan Helian Kong siap untuk melanjutkan perjalanan, matahari sudah menyentuh garis kaki langit sebelah barat, sebentar lagi tentu akan gelap. Helian Kong berunding dengan perwira-perwiranya untuk merundingkan kemungkinan berkemah atau meneruskan berjalan. Akhirnya Helian Kong menetapkan,

"Kota Hun-ciu tidak sampai dua puluh li, kalau kita jalan terus, tidak sampai tengah malam tentu sudah masuk kota itu. Kita lelahkan sekalian hari ini, besok kita beristirahat sehari penuh di kota itu!"

Ketika diumumkan, kata-kata "istirahat sehari penuh" itu ibarat obat kuat mujarab bagi para prajurit, lagi pula semangat mereka sedang meningkat sehabis kemenangan itu. Maka setelah istirahat makan minum sebentar, barisan panjang itupun kembali berbaris ke Hun-ciu. Tenggelamnya matahari malah menyegarkan semangat mereka karena tidak panas. Mereka terus berjalan sampai hampir tengah malam.

Ketika itulah tiba-tiba dari arah depan terdengar derap pasukan berkuda mendekat, dan obor-obor bagaikan ratusan kunang-kunang yang terbang mendekat. Malam gelap dan Helian Kong belum tahu pasukan mana yang mendekati pasukannya itu, maka dihentikannya pasukannya dan diperintahnya bersiaga dalam formasi tempur.

Semuanya tegang, haruskah dalam keadaan amat lelah itu mereka bertempur lagi? Helian Kong memerintahkan Lau Yan-beng dan pasukannya melindungi gerobak-gerobak perbekalan. Helian Kong sendiri sebagai pelindung di depan, Kok Siau-eng pelindung kanan dan Wan Yok liang pelindung kiri.

Pasukan berkuda itu makin dekat, dan setelah dekat barulah Helian Kong menarik napas lega. Di bawah cahaya obor, ia kenal penunggang kuda paling de pan adalah Kam Seng, Panglima di Hun-ciu. Bersamanya ada kira-kira seribu pasukan berkuda yang membawa obor-obor.

"Kam Cong-peng!" Helian Kong menyongsong maju.

Kam Seng melompat turun dari kuda untuk memberi hormat, "Helian Cong-peng, aku minta maaf sebesar-besarnya atas kegagalanku mengamankan wilayahku, sehingga kudengar laporan kalau Cong-peng mengalami sedikit gangguan dengan bandit-bandit Pelangi Kuning itu."

Helian Kong menarik napas. Karena urusannya begitu penting, menyangkut kalah-menangnya tentara kerajaan dalam perang menghadapi pemberontak, maka ia tidak sungkan-sungkan menegur Kam Seng,

"Bukan sekedar gangguan kecil, Kam Cong-peng, pemberontak mengerahkan orang yang begitu banyak sehingga hampir berhasil menghentikan pengiriman bantuan untuk Jenderal Sun. Kam Cong-peng jangan lupa bahwa jalan raya dari Tong-koan ke Pak-khia adalah urat nadi amat penting dalam perang ini. Tak kusangka penguasaan tentara kita di jalan raya itu begitu rapuh, sama sekali tidak memadai, ratusan li tidak ada pos-pos penjagaan yang kutemui, sehingga kaum pemberontak bisa muncul dengan leluasa sepanjang jalan raya."

Kam Seng mengerutkan alis, merasa kurang senang terhadap teguran itu, maka ia berdalih, "Harap Helian Cong-peng ketahui bahwa di Hun-ciu hanya ada sepuluh ribu prajurit, dan aku lebih memusatkan kekuatan pada wilayah yang menghadap langsung ke Tong-koan, sehingga wilayah sebelah timur kekurangan tenaga. Pasukanku terlalu sedikit untuk disebar ke tempat seluas ini, nanti hanya akan disergap sedikit demi sedikit oleh musuh. Yang bisa kami lakukan hanyalah meronda dengan tentara berkuda, seperti sekarang ini!"

Ketajaman rasa Helian Kong menangkap nada ketidak-senangan dalam kata-kata Kam Seng itu. Sebagai "orang pusat" wewenang Helian Kong lebih besar dari Kam Seng, namun untuk menjaga kekompakan antara sesama pasukan kerajaan, ia terpaksa mengalah, "Ya sudahlah, tidak perlu lagi kita bicarakan yang sudah lewat. Keadaan kita memang serba terbatas ini."

"Terima kasih atas pengertian Helian Cong-peng, sekarang aku mengucapkan selamat datang di Hun-ciu."

"Akupun berterima kasih. Aku akan mengistirahatkan pasukanku satu hari di Hun-ciu sebelum melanjutkan perjalanan ke Tong- koan."

Kam Seng mengerutkan alis, "Apakah tidak akan terlalu lambat sampai di Tong-koan? Sedang saat ini Jenderal Sun sudah seperti telur di ujung tanduk!"

Helian Kong menarik napas, "Pasukanku tidak melakukan perjalanan biasa sampai ke Hun-ciu ini, melainkan berjalan sambil bertempur. Prajurit-prajuritku kelelahan dan banyak yang luka-luka. Kalau besok pagi kupaksakan meneruskan perjalanan ke Tong-koan, aku kuatir di tengah jalan takkan sanggup menembus kepungan pemberontak atas Tong-koan. Berarti perjalanan kami sama sekali tidak berguna karena tak dapat menolong Jenderal Sun."

"Kalau demikian pertimbangan Helian Cong-peng, dengan senang hati aku persilakan istirahat di Hun-ciu."

Kemudian kedua pasukan itupun bergabung menuju Hun-ciu. Biarpun malam sudah larut, pintu gerbang Hun-ciu dibuka juga untuk menyambut pasukan dari Pak-khia itu. Pasukan Helian Kong beristirahat satu hari di Hun-ciu sambil menyegarkan yang kelelahan dan menyembuhkan yang luka-luka.

Namun di hari istirahat itu Helian Kong sendiri tidak betah diam. Karena ilmunya yang tinggi, dia tidak merasa kelelahan. Maka siang itu juga dia mendampingi Kam Seng, diikuti seribu prajurit berkuda, mereka melihat-lihat desa-desa yang ada di sekitar kota Hun-ciu, terutama yang di sebelah baratnya, yang ke arah kota Tong-koan.

Helian Kong melihat, di desa-desa itu pada siang hari ternyata tidak ada jejak kaum pemberontak, kehidupan berjalan wajar-wajar saja. Namun Helian Kong yang serba sedikit sudah tahu taktik kaum pemberontak, justru cemas melihat ketenangan desa-desa itu. la tahu kaum pemberontak seperti ikan dan rakyat pedesaan adalah air tempat sembunyinya ikan-ikan itu. Tentara kerajaan tak mungkin menangkap "ikan-ikan" itu tanpa mengeruhkan airnya.

Keadaan macam itu adalah akibat korupnya pemerintah Kerajaan Beng, entah di pusat entah di daerah, sehingga penduduk pedesaan banyak yang bersimpati kepada kaum pemberontak. Dan sementara penduduk bersikap demikian, sementara perwira kerajaan masih saja berusaha menegakkan kekuasaan dengan mengandalkan tajamnya senjata dan kuat nya injakkan kepada penduduk. Penduduk dianggap cacing saja.

Sambil berkuda melihat keadaan pedesaan itu, Helian Kong berkata, "Kam Cong-peng untuk bisa mengalahkan pemberontak, agaknya kita perlu mengambil hati penduduk desa!"

"Hah, mengambil hati keledai-keledai itu? selama ini justru mereka menyembunyikan anggauta-anggauta pemberontak sehingga sulit kami tangkap, kenapa sekarang aku harus menyenangkan hati mereka?"

"Kam Cong-peng, mereka memihak pemberontak Karena tidak senang kepada kita. Mungkin selama ini kita terlalu tidak adil atau sewenang-wenang terhadap mereka, sehingga mereka sakit hati. Mereka merasa mendapat penyaluran rasa sakit hati mereka dengan mendukung Li Cu-seng biarpun tidak terang- terangan.”

"Benar, selama ini di pedesaan beredar nyanyian anak-anak, entah siapa yang telah menyebar-luaskannya. Lirik nyanyian itu menyindir kita dan menyanjung si maling Li Cu-seng itu sebagai dewa penolong. Coba pikir, Helian Cong-peng, mereka itu kurang ajar atau tidak?"

"Terus Kam Cong-peng bertindak bagaimana?"

"Aku umumkan, siapa berani menyanyikan lagu itu, tidak peduli hanya kanak-kanak, maka dia akan dihukum mati dan seluruh keluarganya ikut bertanggung jawab. Hem, nyatanya sekarang tidak ada lagi yang terdengar menyanyikan lagu itu."

Helian Kong mengeleng-gelengkan kepala, "Mereka tidak lagi menyanyi dengan mulut, tapi dalam hati..."

"Kenapa?"

"Karena larangan kita yang disertai penindasan brutal hanyalah membenarkan apa yang dikatakan dalam nyanyian itu. Padahal kita harusnya melakukan tindakan bijaksana, untuk memperlihatkan bahwa lirik nyanyian sindiran itu tidak benar, dan menarik simpati penduduk kepada kita."

"Kalau penduduk desa bersimpati kepada kita, apakah lalu bersedia angkat senjata untuk membantu kita?"

"Setidak-tidaknya kuping mereka tidak lagi terbuka untuk hasutan orang-orangnya Li Cu-seng, tidak lagi menyembunyikan mata-mata, bahkan akan melaporkan kepada kita sebab mereka menganggap kita sebagai pelindung terpercaya yang tidak boleh kalah. Mereka juga takkan diam-diam menyelundupkan bahan pangan ke pihak pemberontak. Nah, bukankah banyak keuntungannya?"

Namun dalam hatinya Kam Seng menganggap jalan pikiran Helian Kong itu terlalu berbelit-belit. Selagi ada senjata di tangannya, kenapa harus bersusah payah melakukan seperti anjuran Helian Kong itu? Kenapa tidak memilih jalan pintas yang gampang dan cepat saja? Ada penduduk yang kelihatan bersimpati kepada pemberontak? Tangkap dan penggal kepalanya.

Ada yang menyembunyikan mata-mata? Bakar rumahnya. Pasukan kerajaan butuh perbekalan? Perintahkan saja desa-desa menyumbang sekian ratus pikul. Ia anggap rakyat pedesaan tak punya peranan apa-apa dalam perang itu, kenapa harus dimanjakan? Namun hal itu cuma disimpannya dalam hati, tidak dikatakan kepada Helian Kong.

Ketika mereka melewati sebuah bukit di luar kota, Kam Seng tiba-tiba berkata sambil menunjuk bukit itu dengan cambuk kudanya, "Di tempat itu akan kudirikan kubu pengawasan yang kuat, sehingga puluhan li dataran rata sekitar Hun-ciu akan dapat dilihat kalau ada gerakan musuh."

"Kecuali di malam hari...." sahut Helian Kong agak jengkel, sebab kelihatan Kam Seng tidak tertarik gagasannya tentang menarik simpati rakyat tadi.

Kam Seng tertawa dengan angkuh, "Malam hari, pasukan berkuda akan meronda di sekitar kota."

Setelah berkeliling cukup jauh, mereka kembali ke dalam kota yang bertembok. Helian Kong langsung mengunjungi prajurit-prajuritnya yang luka-luka dan membesarkan semangat mereka. Setelah itu ia sendiripun beristirahat. Namun malam harinya, ketika Helian Kong sedang berbincang dengan Kam Seng di markas, tiba-tiba menghadaplah seorang prajurit penjaga benteng dengan tergopoh-gopoh, sehingga mengejutkan kedua Cong-peng yang sedang berbicara itu.

"Ada apa?" tanya Kam Seng.

Lapor prajurit 'itu, "Cong-peng, sebuah pasukan mendekati pintu kota dari arah Tong-koan dan minta diijinkan masuk sekarang juga. Kami tidak berani membuka pintu kota sebelum diijinkan Cong-peng..."

"Bagaimana pakaian mereka?"

"Berseragam tentara kerajaan dan mengibarkan Jit-goat-ki (Bendera Rembulan dan Matahari), bendera kerajaan kita."

Kam Seng menoleh kepada Helian Kong di seberang meja, "Bagaimana, Helian Cong-peng?"

Helian Kong menyahut dingin, "Jangan gampang terkecoh oleh seragam dan bendera. Di sebuah desa, aku pernah tertipu oleh laskar pemberontak yang menyamar sebagai tentara kerajaan, dan kerugianku cukup banyak waktu itu. Lebih baik kita lihat dulu."

"Maukah Helian Cong-peng melihatnya bersama aku dari atas tembok benteng?"

"Mari."

Kedua Cong-peng itu segera meninggalkan markas dan menuju ke pintu kota sebelah barat. Setelah meninggalkan kuda di bawah tembok, lalu mereka naik ke atas tembok dengan melalui undakan batu. Di atas tembok kota prajurit-prajurit Hun-ciu sudah bersiaga dengan panah, lembing, batu-batu dan balok-balok kayu yang siap dihamburkan ke luar tembok. Obor-obor sengaja tidak dinyalakan, agar mereka tidak mudah dibidik oleh musuh, seandainya yang datang itu pasukan musuh.

Komandan mereka menyambut Kam Seng dan Helian Kong. Ketika kedua Cong-peng itu sudah berdiri di atas tembok, kelihatan sebuah pasukan di luar tembok. Di bawah penerangan obor-obor yang mereka bawa sendiri, nampak kalau pasukan itu berseragam tentara kerajaan, membawa bendera Jit-goat-ki, dan nampak pemimpin mereka adalah seorang yang menunggang kuda dan mengempit tombak sabit.

Begitu perwira itu melihat Kam Seng muncul di atas tembok kota, berteriaklah ia dengan nyaring dari bawah tembok, "Kam Cong-peng, aku Gui Su-hong, tolong bukakan pintu!"

"Gui Su-hong..." di atas benteng Kam Seng berdesis kaget.

"Ada apa dengan dia?" tanya He-lian Kong. "Dia salah seorang perwira bawahan Jenderal Sun."

Tak perlu kelanjutan kata-kata itu sudah menimbulkan firasat tidak enak dalam diri Helian Kong dan perwira-perwira lain. Kalau sampai seorang perwira bawahan Jenderal Sun muncul malam-malam di Hun-ciu, hanya ada dua kemungkinan. Kemungkinan Tong-koan sudah jatuh, atau Gui Su-hong yang berhasil menembus kepungan. Namun menilik situasinya, nampaknya kemungkinan pertamalah yang lebih masuk akal.

Sementara itu, Gui Su-hong kembali berseru mengulang permintaannya.

"Buka pintu!" tanpa pikir panjang Kam Seng meneruskannya kepada anak buahnya.

Begitulah, di malam yang sudah larut itu terdengar suara berderit keras ketika pintu kota dibuka untuk Gui Su-hong dan pasukannya. Sedang Helian Kong dan Kam Seng segera turun untuk menjumpai Gui Su-hong. Begitu Helian Kong melihat keadaan pasukan Gui Su-hong itu dari dekat, semakin teballah firasat buruknya.

Dilihatnya banyak prajurit yang seragamnya sudah tidak lengkap lagi, bahkan robek-robek dan kotor, dan tidak sedikit prajurit yang berjalannya harus di papah teman-temannya. Bendera Jit-goat-ki dipanggul begitu rendah oleh seorang prajurit yang nampak amat kelelahan, ujung bendera terseret di tanah sehingga coklat kotor dan juga nampak bekas injakan telapak-telapak sepatu.

Sulitlah kiranya mengharap berita baik dari pasukan macam ini. Dan benar juga. Begitu melompat turun dari kuda, Gui Su-hong yang bertubuh gagah dan berewokan itu tiba-tiba menangis di hadapan Kam Seng, hampir-hampir menjatuhkan dirinya untuk berlutut.

Serempak Kam Seng dan Helian Kong maju untuk menangkap tubuh Gui Su-hong di kiri kanannya, lalu tanya Kam Seng, "Ada apa, Gui Hu-ciang?"

Dengan sedihnya Gui Su-hong menjawab, "Tong-koan sudah jatuh, Jenderal Su Toan-teng gugur bersama seluruh pengawal setianya...."

Berita yang menyedihkan memang, namun tak jauh dari dugaan. Helian Kong amat kecewa, susah payah datang dari Pak-khia untuk memburu waktu, toh terlambat juga, padahal sudah direncanakan esok harinya pasukannya akan melanjutkan perjalanan dan diperhitungkan sorenya tiba di Tong-koan.

Sedangkan Kam Seng menjadi amat cemas. Setelah Tong-koan jatuh, maka sasaran berikutnya dari kaum pemberontak tentulah Hun-ciu, posnya. Dan ia merasakan pekerjaan itu terlalu berat baginya. Pasukan Jenderal Sun yang kuat dan banyak saja bisa dikalahkan, apalagi pasukannya.

"Terlambat!!" geram Helian Kong sambil mengepal tinjunya.

Gui Su-hong yang belum mengenal Helian Kong itupun menoleh, lalu bergumam, "Ciang-kun ini..."

Cepat-cepat Kam Seng memperkenalkan, "Inilah Cong-peng Helian Kong yang dari Pak-khia dikirim untuk membantu jenderal Sun."

Begitu mendengarnya, bukannya Gui Su-hong berterima kasih, malah ia tiba-tiba menerkam baju Helian Kong dengan kedua tangan, mengguncang-guncangnya dengan keras sambil berteriak-teriak kalap, "Keparat! Kenapa jalan pasukanmu seperti mengiring pengantin, sehingga malapetaka ini harus terjadi? Kenapa?"

Dan serentetan caci maki lainnya. Cepat-cepat Kam Seng dan perwira-perwira lain memisahkan, menarik-narik tubuh Gui Su-hong agar melepaskan cengkeramannya atas Helian Kong, dan akhirnya berhasil meskipun Gui Su-hong masih mendamprat.

Helian Kong tidak marah, malahan ia tiba-tiba berlutut di depan Gui Su-hong sambil berkata dengan sedih, "Kelambatanku memang mengakibatkan jatuhnya Tong-koan. Aku pantas dihukum berat."

Sebaliknya Wan Yok-liang, perwira bawahan Helian Kong, dengan penasaran membangunkan Helian Kong sambil melotot gusar kepada Gui Su-hong, "Helian Cong-peng, bukan salahmu! Bukan salah kita semua. Kita sudah berjalan sampai kaki hampir patah, sambil bertempur, hampir mati diracun, tapi masih ada juga yang tidak tahu berterima kasih kepada kita!"

Cepat-cepat Kam Seng berusaha meredakan ketegangan, "Rekan-rekan, tenanglah dan kendalikan emosi kalian. Bisa dimaklumi kalau kita semua gusar, sedih dan kecewa, tapi haruskah kita bertengkar dan saling menyalahkan sehingga akan melemahkan persatuan kita dalam menghadapi pemberontak yang sudah di depan hidung kita?"

Gui Su-hong berhenti mencaci-maki, sedang Wan Yok-liang mengertak gigi tanpa kata-kata. Lalu Kam Seng membantu Wan Yok-liang membangunkan Helian Kong dari berlututnya. Katanya, "Bangunlah, Helian Cong-peng. Jangan menyalahkan dirimu sendiri sehingga membuat anak buahmu tidak puas!"

Setelah Helian Kong bangkit, berkatalah Kam Seng kepada Gui Su-hong, "Gui Hu-ciang, tidakkah kau ketahui bahwa perjalanan Helian Cong-peng juga mengalami hambatan sepanjang jalan? Namun Helian Cong-peng dan segenap prajuritnya telah melakukan tugas sebaik-baiknya, gagalnya mencapai Tong-koan tidak merupakan kesalahannya. Dan tidak pantas kalau kita tidak berterima kasih kepadanya."

Gui Su-hong bungkam, namun wajahnya tetap nampak sedih. Sementara Kam Seng berkata lebih lanjut, "Kumohon kalian memandang wajahku sebagai tuan rumah, jangan bertengkar. Gui Hu-ciang, aturlah anak buahmu semestinya. Setelah itu aku mengundangmu dan Helian Cong-peng ke markasku malam ini juga. Kita bahas situasi. Ingat, sekarang Hun-ciu adalah garis terdepan!" Ketika mengucapkan "garis terdepan" itu, suara Kam Seng kedengaran gemetar kecut.

"Baiklah..!" kata Gui Su-hong yang lalu mengatur pasukannya. Malam itu kota Hun-ciu benar-benar padat prajurit, setelah kedatangan pasukan Helian Kong dari Pak-khia, kini ketambahan pula pasukan Gui Su-hong. Maka diaturlah, supaya hanya prajurit-prajurit terluka yang butuh perawatan sajalah yang kebagian tempat tidur di tangsi-tangsi. Prajurit-parjurit yang tidak luka, terpaksa tidur di tempat-tempat seadanya.

Sementara itu di markas, Kam Seng dan Gui Su-hong sudah siap menunggu kedatangan Helian Kong. Setelah mandi air dingin biarpun di tengah malam, agaknya otak Gui Su-hong mulai dingin, terlebih lagi setelah perutnya kemasukan tiga mangkuk nasi hangat. Maka ketika melihat Helian Kong melangkah masuk ke ruangan itu, Gui Su-hong tiba-tiba bangkit dari kursi dan berlutut kepada Helian Kong,

"Aku minta maaf kepada Helian Cong-peng atas sikap kasarku tadi. Benar-benar sikap tidak tahu berterima kasih."

Cepat Helian Kong membangunkannya sambil menghibur, sedang Kam-Seng melihatnya sambil tertawa lega, la mempersilakan kedua perwira itu mengambil tempat duduk. "Nah, Gui Hu-ciang, silakan menceritakan peristiwanya."

Gui Su-hong menarik napas dengan sedih, lalu bertutur, "Sebenarnya pasukan kami masih kuat bertahan di Tong-koan. Laskar pemberontak takkan mampu menembus benteng pertahanan kami. Namun kemarin sore tiba-tiba terjadi sesuatu yang diluar dugaan..!"

"Peristiwa apa?"

"Penduduk kota, yang biasanya begitu menuruti perintah kami. Entah siapa yang menghasut dan menggerakkan mereka, tiba-tiba saja mereka mengamuk, melabrak tentara kerajaan dan merebut penguasaan atas pintu-pintu kota. Dan merekapun membukakan pintu, laskar pemberontak membanjir masuk kota."

Baru siangnya Helian Kong menganjurkan kepada Kam Seng soal pentingnya menarik simpati rakyat, waktu itu Kam Seng menolak. Dan kini ketika mendengar cerita Gui Su-hong, Helian Kong lalu menoleh kepada Kam Seng, seolah dengan tatapan matanya saja ia ingin bertanya kepada Kam Seng, "Nah, benar tidak omonganku?"

Sedang wajah Kam Seng memucat, karena selama ini ia dan pasukannya bersikap kelewat sewenang-wenang terhadap penduduk Hun-ciu dan sekitarnya. Ngeri ia membayangkan kalau suatu saat kaum pemberontak mendatangi Hun-ciu, dan saat itu rakyat justru bangkit untuk melawannya, sehingga ia harus menghadapi dua lawan dari muka dan belakang.

Namun seperti biasa, diapun menemukan jalan gampangan saja. Katanya, "Kalau rakyat bisa menjadi demikian berbahaya, besok kuperintahkan agar di rumah-rumah tidak boleh menyimpan senjata. Akan ada penggeledahan. Dan juga akan kukeluarkan larangan berkumpul lebih dari sepuluh orang, dengan ancaman hukuman mati bagi yang melanggar nya!"

Helian Kong menggeleng-gelengkan kepala dan hampir saja membantahnya, akan tetapi Gui Su-hong sudah mendukungnya, "Tindakan pencegahan yang tepat sekali, Kam Cong-peng! Keledai-keledai dungu itu harus diberangus dulu sebelum menjadi berbahaya. Anak buah Li Cu-seng pintar menghasut penduduk. Lidah mereka tidak kalah berbahayanya dengan pedang mereka."

Setelah Gui Su-hong berkata, barulah Helian Kong berkesempatan mengutarakan pikirannya, "Tindakan pencegahan itu baik, tetapi apakah tidak sebaiknya dibarengi sikap lembut yang menimbulkan simpati?"

Kini Kam Seng yang menggeleng-geleng kepala, "Helian Cong-peng, sungguh kau keliru kalau terlalu baik hati dalam suasana perang ini. Dalam keadaan serba mendesak, mana ada waktu untuk berlemah-lemah dan menarik simpati segala? Dalam situasi macam ini, kita harus tegas, keras, tidak boleh tawar menawar. Hun-ciu sekarang adalah pos terdepan, dan hukum perang berlaku di sini biarpun terhadap orang sipil...!"

Pilih Jilid,

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.