Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 12

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Seri Pertama, Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 12 Karya Stevanus S P

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 12

"Tetapi apakah tidak...."

"Helian Cong-peng, aku sudah lama bertugas di sini dan situasi di sini jauh lebih tahu dari Cong-peng!"

Helian Kong terpaksa angkat bahu dan bungkam. Memang benar Kam Seng yang berkuasa di kota itu, dan Helian Kong tidak mau membantahnya, bisa menimbulkan keretakan dalam pasukannya. Keretakan yang hanya akan menguntungkan Li Cu-seng.

Tetapi mendengar betapa Kam Seng maupun Gui Su-hong sudah menyebut rakyat sebagai "keledai-keledai" Helian Kong menyimpan kekuatiran besar bahwa Hun-ciu kelak jangan-jangan akan mengulangi kejadian yang sama dengan Tong-koan?

"Baiklah kalau demikian keputusan Kam Cong-peng." Helian,Kong mengalah. "Aku hanya mengutarakan pikiranku, karena tidak ingin kekeliruan di Tong-koan terulang di sini."

Ternyata kata-kata ini pun menimbulkan salah paham, kali ini dari pihak Gui Su-hong, "Helian Cong-peng, apa yang kaumaksudkan dengan kekeliruan di Tong-koan itu? Kau anggap dirimu lebih pintar dari jenderal Sun yang kau anggap membuat kekeliruan?"

Kali ini Helian Kong mengeluh dalam hati. Kalau begini sempit pemikiran semua panglima tentara kerajaan mana bisa memenangkan perang? Perang menghadapi kaum pemberontak itu meliputi banyak segi kehidupan, tetapi orang-orang macam Kam Seng dan Gui Su-hong hanya menghitungnya dari segi militer saja.

Kembali Helian Kong mengalah untuk menghindari perpecahan, "Mana berani aku mengritik Jenderal Sun yang lebih senior, dan juga telah menunjukkan kesetiaannya dengan mengorbankan nyawa? Bukan maksudku menyalahkan beliau, tapi alangkah baiknya kalau rakyat di pihak kita karena mencintai pelindung-pelindungnya. Tentu mereka takkan gampang dihasut kaum pemberontak untuk melawan kita."

"Hem, menurut aku justru yang keliru adalah..."

"Sudahlah, Gui Hu-ciang!" buru-buru Kam Seng mencegat omongan Gui Su-hong. Kiranya Kam Seng takut kalau sampai Helian Kong disudutkan sehingga merasa malu dan gusar, dia bisa meninggalkan Hun-ciu bersama lima puluh ribu prajuritnya. Helian Kong berhak berbuat demikian karena dia bukan bawahan Kam Seng.

Padahal pasukan sebesar itu benar benar dibutuhkan untuk menghadapi kedatangan kaum pemberontak. Jumlah pasukan Helian Kong lebih besar dari pasukan Kam Seng' dan pasukan Gui Su-hong digabung jadi satu.

Karena itulah biarpun Kam Seng tidak sependapat dengan Helian Kong, ia tidak ingin Helian Kong membawa pasukannya pergi dari Hun-ciu, kecuali kalau lebih dulu menyerahkan pasukan ke tangan Kam Seng maka Helian Kong mau minggat kemanapun ia takkan ambil pusing.

"Kita berbeda pikiran, tetapi jangan sampai bertengkar," kata Kam Seng dengan gaya seorang pendeta bijaksana. "Helian Cong-peng, jangan sampai soal ini menjadi ganjalan di hatimu."

"Tidak apa-apa..." sahut Helian Kong sambil menarik napas. Betapapun juga, sulit melenyapkan sama sekali kecemasan yang menghantuinya. Kedua perwira teman bicaranya itu bersikap terlalu mengabaikan terhadap kekuatan rakyat yang diam. Diam yang mereka anggap lemah dan tolol.

Sementara itu, tanpa menangkap perasaan Helian Kong, kedua perwira lainnya melanjutkan perbincangan. Tanya Kam Seng kepada Gui Su-hong, "Gui Cong-peng, setelah Tong-koan jatuh, apakah hanya kau dan pasukanmu yang selamat?"

"Aku tidak tahu pasti. Waktu itu keadaan begitu kacau. Begitu Jenderal Sun gugur, boleh dikata setiap perwira bawahan dan pasukan masing-masing mengambil keputusan sendiri-sendiri. Mungkin ada yang menakluk kepada pemberontak, sedang yang melakukan gerakan mundurpun tidak searah. Kudengar Jin Cong- peng dan pasukannya menempuh jalan ke arah Thai-goan, mungkin akan bergabung dengan tentara kita di sana."

"Bagus!" Helian Kong tiba-tiba berkomentar.

"Apanya yang bagus, Helian Cong-peng?"

"Andaikata ditarik antara Hun-ciu dan Thai-goan, sepanjang garis itu bisa kita bangun pos- pos pertahanan dengan mengikut sertakan penduduk yang masih setia kepada pemerintah kerajaan. Rasanya Thai-goan harus dihubungi."

"Saat ini setiap saat di luar tembok kota tidak aman, pengikut Li Cu-seng bebas berkaliaran. Siapa yang sanggup pergi ke Thai-goan."

Tanpa pikir panjang, Helian Kong berkata, "Serahkan kepadaku."

"Berapa prajurit akan Cong-peng bawa?" tanya Kam Seng, sambil diam-diam mengharap dalam hati supaya Helian Kong tidak membawa terlalu banyak prajuritnya, sebagian besar biar ditinggalkan di Hun-ciu saja untuk menguatkan posisinya.

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

Dan jawaban Helian Kong malahan jauh melebihi yang diharapkan oleh Kam Seng, "Kam Cong-peng, supaya perjalanan cepat, biar aku membawa kedua perwiraku saja. Kok Siau-eng dan Yok-liang. Ilmu silat mereka juga lumayan. Selain mereka, kami hanya perlu kuda-kuda yang larinya cepat."

"Kalau ketemu para pengacau bagaimana? Misalnya dalam jumlah besar......" kata Gui Su-hong cemas. Meskipun dia berwatak kasar, ternyata ada juga rasa setia kawannya kepada Helian Kong, mencemaskan nasibnya.

Tetapi sebelum Helian Kong menjawab, Kam Seng sudah lebih dulu, "Gui Cong-peng, jangan memandang rendah ilmu silat Helian Cong- peng. Gerombolan-gerombolan kecil pemberontak saja pasti takkan dapat membendung langkahnya, dan kalau ketemu musuh yang terlalu banyak, tentunya bisa menghibur. Betul tidak, Helian Cong-peng?"

Helian Kong mengangguk. "Kami akan menyamar sebagai pengembara biasa, mudah-mudahan bisa sampai ke Thai-goan dengan selamat."

"Kalau demikian, kuharap Helian Cong peng berhati-hati."

"Jangan kuatir. Sambil berjalan ke Thai-goan, aku juga akan mencoba mencari pecahan- pecahan pasukan Jenderal Sun yang tercerai-berai lari dari Tong-koan. Mengarahkan mereka agar dapat bergabung dengan kubu-kubu pertahanan yang masih ada."

Semua yang akan dilakukan Helian Kong itu tak lain karena prihatin melihat musuh yang mencapai kemenangan demi kemenangan, sedang tentara kerajaan terus mengundurkan garis pertahananya.

"Kapan Helian Cong-peng berangkat?"

"Besok pagi-pagi. Sementara aku pergi, pimpinlah pasukanku ada di tangan wakilku, Lau Yan-beng. Tetapi dia akan kupesan agar menyesuaikan langkah dengan Kam Cong-peng!"

Helian Kong kemudian pamitan untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Malam itu juga ia menemui tiga perwiranya, Lau Yan-beng, Kok Siau-eng dan Wan Yok-liang untuk mengutarakan Hasil perundingannya dengan Kam Seng dan Gui Su-hong.

Tetapi rencana baru rencana, belum sempat dilaksanakan dan sudah muncul peristiwa lain. Esok harinya, Helian Kohg kaget ketika pintu kamarnya diketuk dengan keras, dan suara Kam Seng terdengar gugup,

"Helian Cong-peng! Helian Cong-peng!"

Helian Kong cepat melompat ke pintu dan membukanya, "Ada apa?"

"Laskar pemberontak mendekati kota dan menantang perang!"

Maka Helian Kong jadi cuma sempat cuci muka secara tergopoh-gopoh dan berkumur dengan secangkir teh dingin. Bergegas pula dikenakannya pakaian tempurnya, lalu berlari keluar menjinjing pedangnya ke halaman, menyusul Kam Seng yang sudah lebih dulu ke sana.

Di halaman markas, Kam Seng sudah duduk di atas seekor kuda, sementara masih ada dua kuda yang dipegangi oleh seorang prajurit dan sudah dipasangi pelana. Tentu dua kuda itu disediakan untuk Helian Kong dan Gui Su-hong. Helian Kong melompat naik ke atas salah seekor kuda dan bertanya kepada Kam Seng, "Masih menunggu siapa lagi?"

"Gui Cong-peng....."

Ketika itulah dari kejauhan di luar kota terdengar suara terompet tanduk kerbau memanjang, mengalun, menggetar dan menghangatkan udara pagi yang masih dingin. Helian Kong jadi tidak sabar karena Gui Su-hong tidak muncul-muncul juga. Katanya, "Kam Cong-peng, lebih baik tinggalkan pesan saja agar nanti Gui Cong-peng menyusul. Sekarang ini mungkin pasukanmu di atas tembok kota membutuhkan kehadiranmu, jangan sampai terlambat."

"Baik," kata Kam Seng, lalu disuruhnya seorang prajurit menyampaikan pesan kepada Gui Su-hong, kemudian Kam Seng berdampingan dengan Helian Kong berderap berkuda ke tembok kota.

Ketika mereka lewat jalanan kota, nampaklah kota Hun-ciu sudah berobah menjadi "kota tentara", sebab di mana-mana nampak prajurit bersiaga menunggu perintah. Di jalan-jalan, di halaman-halaman, di tempat-tempat kosong. Entah pasukan Hun-ciu sendiri, entah pasukan Helian Kong ataupun sisa pasukan dari Tong-koan.

Tiba di tembok kota, kedua Cong-peng itu berlompatan turun dari kuda, lalu dengan setengah berlari mereka menuju ke atas tembok lewat undakan batu. Di atas tembok, nampak pasukan Hun-ciu sudah bersiaga sepanjang tembok dengan panah, lembing, kaitan, batu besar, balok-balok kayu yang siap digunakan mempertahankan benteng.

Seorang perwira bawahan Kam Seng langsung menyongsong panglimanya itu dan melapor, "Musuh menantang perang, namun kami baru bersikap bertahan karena menunggu perintah Cong-peng."

Kemudian Kam Seng dan Helian Kong berdiri di atas tembok kota, maka terlihatlah dataran di luar tembok kota itu seperti pemandangan sawah menjelang panen. Dataran itu seolah dipulas warna kuning. Bukan warna kuning padi, melainkan karena ribuan manusia bersenjata, berikat kepala kuning, baju kuning, bendera-bendera kuning.

Dan ujung-ujung senjata yang berkilat-kilat tertimpa sinar matahari muda serapat ujung ilalang di padang liar. Laskar pemberontak Pelangi Kuning! Melihat munculnya Helian Kong di atas tembok kota, dari antara laskar pemberontak itu muncul seorang penunggang kuda yang dengan beraninya mendekati ke bawah tembok.

Orang itu membawa sepasang pedang tebal, sedang untuk mengendalikan kudanya ia tidak menggunakan tangan, tapi hanya dengan cara mengikatkan kendali kuda pada sabuk di perutnya, dibantu jepitan sepasang kakinya. Orang itu bukan lain adalah Yo Kian-hi. Sambil menjalankan kudanya hilir mudik di depan tembok kota, orang itu men dongak, melambai-lambaikan sebelah pedangnya sambil berteriak,

"He, anjing-anjing keluarga Cu! Kenapa kalian cuma berani bersembunyi di belakang tembok? Mana nyali kalian? Mana kegarangan kalian ketika dulu menginjak-injak rakyat yang lemah? Hayo, keluarlah dan lawanlah kami!" Suaranya keras mengguntur. Semua yang di atas tembok kota dapat mendengar kata-katanya.

Sementara Yo Kian-hi terus mengejek, "Sungguh kasihan si bandot tua Cong-ceng yang telah mengeluarkan begitu banyak biaya hanya untuk menggaji pengecut-pengecut macam kalian! Ayo keluar dan hadapilah kami!"

Prajurit-prajurit di atas tembok kota tetap bungkam. Ketika Helian Kong memandang mereka, terasa betapa semuanya menyembunyikan rasa takut atau putus asa. Rupanya kabar kejatuhan Tong-koan sudah mempengaruhi semangat mereka, padahal pasukan Jenderal Sun itu jauh lebih kuat dari pasukan di Hun-ciu, toh telah kalah berantakan.

Diam-diam Helian Kong lalu membatin, "Celaka, kalau tentara kerajaan mengalami krisis kepercayaan diri, tentu keadaan akan makin parah. Harus kulakukan sesuatu untuk membangkitkan kembali semangat mereka."

Sementara Yo Kian-hi semakin tajam caci makinya, membuat para prajurit semakin ciut nyalinya. Helian Kong tak tahan lagi lalu berkata kepada Kam Seng, "Kam Cong-peng, ijinkan aku memukul mundur bandit-bandit itu dengan pasukanku!"

"Ah, Helian Cong-peng, buat apa repot-repot meladeni omongan itu? Toh dia cuma bisa menggonggong di luar pintu, tak mungkin bisa masuk ke tembok ini. Dia hanya..."

"Kam Cong-peng! Tidakkah kau sadari kalau kata-katanya berpengaruh buruk buat prajurit-prajurit kita? Bisa melemahkan semangat. Mereka harus mendapat pukulan untuk mengikis kesombongan mereka dan sekaligus meningkatkan semangat tentara kita!"

"Ah, kalau kita ladeni tantangannya berarti kita harus membuka pintu kota, berarti menjadi sangat berbahaya. Laskar mereka begitu kuat, sanggupkah kita melawan mereka di luar tembok kota?"

Keruan Helian Kong mengerutkan alis mendengar ucapan itu. Rasa tidak percaya diri itu ternyata juga menghinggapi Kam Seng sebagai, panglima Hun-ciu, sebagai pimpinan di garis depan! Bagaimana mungkin menaruh harapan di pundak seorang panglima yang tidak percaya kepada kekuatan sendiri?

"Kam Cong-peng, bandit-bandit itu bukan malaikat, bukan dewa, bukan iblis, kenapa tidak bisa dikalahkan? Si mulut besar itu sudah pernah aku kalahkan dua kali, kakak seperguruannya yang bernama Oh Kui-hou juga pernah aku kalahkan."

Helian Kong mengatakan itu bukan untuk menyombongkan diri, tapi untuk membakar semangat rekannya itu. Namun tetap saja Kam Seng menarik napas sambil menggeleng-geleng kepala, "Helian Cong-peng, ini perang antar pasukan, bukan pertarungan antar pesilat perorangan."

"Kam Cong-peng, Li Giam pernah menghadang pasukan di mulut selat itu dengan kekuatan besar, tapi aku memukul mundur pasukannya sehingga kocar-kacir."

"Helian Cong-peng!"

Helian Kong habis sabarnya, dengan suara meninggi ia memutuskan ucapan Kam Seng, "Kam Cong-peng, biar aku keluar dengan sepuluh ribu prajuritku sendiri, setelah itu tutuplah pintu kota rapat-rapat. Nasib kami menjadi tanggung jawab kami sendiri. Biar para pemberontak itu tahu bahwa kemenangan tidak terus menerus di pihak mereka!"

Waktu mengucapkan ini, Helian Kong sudah kehilangan pertimbangannya yang cermat, yang ada tinggal kemarahan dan kejengkelannya mendengar tantangan musuh dan juga melihat sikap penakut Kam Seng. Apa boleh buat, Kam Seng tidak berani mencegah lagi. Perintahnya kepada bawahannya, "Siap membuka pintu kota! Helian Cong-peng akan meladeni tantangan musuh!"

Helian Kong sendiri segera turun dari tembok kota untuk segera melompat ke atas kudanya. Tidak banyak waktu yang digunakan untuk menyiapkan pasukannya yang memang sudah siap. Tidak lama kemudian, pasukan itu bergerak mendekati pintu kota, Helian Kong berkuda paling depan dengan pedang di tangannya. Pintu gerbang dibuka, dan keluarlah Helian Kong menyongsong musuh.

Melihat keluarnya pasukan itu, laskar pemberontak mundur sampai hampir mencapai lereng bukit di luar kota, setelah itu mereka berhenti dalam formasi tempur. Yo Kian-hi memutar kudanya menghadap Helian Kong dan berkata,

"Bagus, nyalimu paling besar di antara orang-orang bernyali tikus itu. Dua kali kau mengalahkan aku, sekarang akan kulihat sampai di mana kemahiranmu dalam pertempuran berkuda!"

Tanpa menunggu kata-kata jawaban lawannya, Yo Kian-hi menjepit keras perut kudanya, sehingga kudanya meringkik dan menyerbu ke depan secepat terbang. Sepasang pedangnya sudah diangkat. Dengan cerdik Yo Kian-hi menerjang sudut kiri Helian Kong, sisi di mana hanya ada tangan kiri Helian Kong yang memegangi kendali, kuda, sedang pedang Helian Kong ada di sisi kanan.

Helian Kong belum sempat memutar kudanya, sebab terjangan Yo Kian-hi menderu bagaikan kilat. Ia hanya bisa memutar pinggang sambil bertahan dengan pedangnya untuk menangkis bacokan bertubi-tubi dari sepasang pedang Yo Kian-hi. Jauh lebih gencar daripada orang memukul tambur pada perayaan Kiau-kai-cal orang-orang Hui.

Pintu gerbang dibuka, dan keluarlah Helian Kong menyongsong musuh Merasa dirinya sudah di atas angin, Yo Kian-hi merapatkan kudanya dengan sepasang pedang tambah gencar menghantam. Sasarannya bukan cuma tubuh Helian Kong, tapi juga tubuh kudanya.

Helian Kong benar-benar repot bertahan, sebab dengan pedang di tangan kanan dia harus membela di sisi kirinya, lagi pula satu pedang melawan dua pedang. Dirasakannya pula kehebatan tenaga Yo Kian-hi, sehingga Helian Kong merasa pegal lengannya. Ia menilai Yo Kian-hi lebih tangguh dari kakak seperguruannya, Oh Kui-hou.

Terpaksa Helian Kong menjepit perut kudanya dan melonjakkan kudanya untuk menghindar menjauh, mencoba memperbaiki posisinya yang serba canggung. Yo Kian-hi berteriak dan memburu dengan kudanya, tetap ia berusaha menghantam dari sebelah kiri lawan.

Dua kuda perang dengan dua manusia perang di punggungnya berderap searah. Helian Kong yang di depan, berusaha memperhitungkan garis lintasan kudanya dan kuda lawannya, setelah itu, dengan tak kentara dia mulai sedikit memperlambat lari kudanya. Sambil menyiapkan siasatnya.

Dengan amat benafsu Yo Kian-hi memburu, menyiapkan pedangnya sambil berteriak mengejek, "He-he, kuda sejelek itu dibawa-bawa ke medan perang, sungguh memalukan!"

Begitu kudanya berhasil menjajari kuda Helian Kong di sebelah kirinya, pedang kanan menyabet deras ke punggung Helian Kong, sementara pedang kiri siap dengan serangan susulan. Namun sabetan yang begitu dahsyat itu ternyata hanya kena angin, sebab sasarannya tiba-tiba "hilang".

Ternyata Helian Kong dengan tangkas menjatuhkan diri ke samping, tubuhnya menempel erat di sisi kanan tubuh kudanya. Dan lewat bawah perut kuda, pedangnya menjulur seperti lidah ular, melukai perut kuda Yo Kian-hi yang sejajar rapat dengan kudanya.

Ketika Helian Kong melonjak dan duduk kembali di pelana kudanya, maka kuda tunggangan Yo Kian-hi justru sedang melonjak-lonjak kesakitan karena lukanya, tak terkendali. Helian Kong memutar kuda dan kini dialah yang menyerang dari sudut pilihannya sendiri, sudut yang menguntungkan. Yo Kian-hi sebetulnya mahir bertempur di atas kuda, namun tidak menduga akan jurus lawannya macam itu, sehingga kini ia kena dirugikan dalam posisi.

Kini ia seperti menghadapi dua musuh berat. Pertama adalah pedang He-lian Kong, yang menyambar-nyambar seperti kilat. Kedua adalah kuda tunggangannya sendiri yang seolah-olah "memihak" lawannya, karena melonjak-lonjak tak terkendali, seolah ingin melempar penunggangnya dari punggungnya. Kemahiran tempur berkuda Yo Kian-hi jadi kehilangan banyak daya gunanya.

Namun dengan keras kepala Yo Kian-hi tetap melawan, tidak peduli dipontang-pantingkan kudanya. Hatinya panas mendengar sorak sorai prajurit kerajaan di atas tembok kota yang tadi diejeknya. Akibat sikap keras kepalanya itu, beberapa saat kemudian lengan kanan Yo Kian-hi tergores pedang Helian Kong. Disusul hantaman keras pedang Helian Kong ke pedang kanan Yo Kian-hi sehingga terpental lepas.

"Bangsat!" teriak Yo Kian-hi sambil berusaha menjauhkan kudanya yang binal. Tetapi ujung pedang Helian Kong tiba-tiba berhasil melukai kembali kuda Yo Kian-hi, sehingga tambah tak keruan tingkah hewan itu.

Sorak sorai prajurit kerajaan makin menggemuruh. Yang keluar pintu kota maupun yang di atas tembok kota. Keinginan Helian Kong tercapai sebagian, yaitu membangkitkan semangat tentara kerajaan setelah mereka mengalami kekalahan demi kekalahan selama ini.

Demi tujuan itulah Helian Kong merasa tak perlu berbelas kasihan kepada Yo Kian-hi. Ia mendesakkan kudanya, pedangnya terayun deras dan kembali pedangnya berhasil mementalkan pedang kiri Yo Kian-hi, maka lawannya itu jadi tidak bersenjata.

Setelah itu, Helian Kong menyarungkan pedang, lalu secepat kilat melompat meninggalkan kudanya untuk menubruk Yo Kian-hi dengan sepasang cengkeraman terbuka. Itulah serangan khas perguruannya, Tiat-eng-bun, mengandalkan kekuatan jari-jari tangan yang amat terlatih untuk khusus menciderai persendian-persendian tulang. Helian Kong mencoba untuk meringkus hidup-hidup tokoh muda pemberontak itu.

Yo Kian-hi melompat meninggalkan kudanya dan bergulingan di tanah untuk menghindari serangan itu. Sedang Helian Kong memantulkan kakinya di kepala kuda binal itu untuk terus memburu Yo Kian-hi. Dalam urusan meringankan tubuh, Helian Kong setingkat lebih unggul dari lawannya.

Cengkeraman kanan mengarah leher, cengkeraman kiri mengincar pundak. Yang digunakan hanyalah jari telunjuk, jari tengah dan jempol seperti cengkeram an elang. Sedang dua jari sisanya dilipat rapi.

"Anjing keluarga Cu, benar-benar bertingkah kau!" Yo Kian-hi berseru gusar karena merasa dipermalukan di depan orang banyak. Dia pasang kuda-kuda. Tubuh Helian Kong yang menerkam dari atas disongsongnya dengan sepasang tinju dalam gerakan Siang-long-jut-hai (Sepasang Naga Keluar Samudra) dengan a-ngin menderu kencang menandakan kehebatan tenaganya.

Helian Kong berputar di udara, sepasang cengkeramannya menyibak dan ganti mengancam sepasang pergelangan tangan Yo Kian-hi, dibarengi kaki kanan menjejak ke arah dada. Begitulah, pertarungan yang semula bergaya panglima-panglima perang, setelah keduanya turun dari kuda lalu berubah menjadi seperti di arena pi-bu (adu silat) dengan tangan kosong. Dalam hal adu silat, sudah dua kali Yo Kian-hi dikalahkan Helian Kong.

Kekalahan yang betapapun juga membekas dalam jiwanya, agak mengurangi keyakinan dirinya. Meskipun dia telah mengerahkan seluruh tenaga dan jurus andalannya, sehingga sepak terjangnya seperti gajah mengamuk, sampai debu mengepul beterbangan, tapi ia tetap kalah cepat dari Helian Kong yang bertubuh ringan.

Terus menerus serangan Yo Kian-hi tak pernah tuntas, sebab senantiasa Helian Kong berhasil lebih dulu menyusupkan serangan mengancam sasaran berbahaya, serangan Yo Kian-hi selalu dihadang dan dipaksa berubah jadi pertahanan lebih dulu. Setelah lima puluh jurus lewat, makin terlihat kalau Yo Kian-hi agaknya akan menelan kekalahan untuk ketiga kalinya.

Waktu itulah dari barisan pemberontak terdengar suara tambur, tiga orang hulubalang pemberontak tiba-tiba berderap maju ke tengah arena dengan menunggang kuda. Salah satu dari mereka menuntun seekor kuda tak berpenum-pang untuk Yo Kian-hi, dan juga hendak memungut sepasang pedang Yo Kian-hi yang jatuh tadi.

Salah seorang hulubalang lainnya agaknya adalah seorang pemanah ulung. Sambil memacu kudanya, ia mementang busurnya dan memanah Helian Kong tiga kali berturut-turut. Panahnya melesat beterbangan seperti burung-burung belibis beriringan. Memang lihai pemanah ini, biarpun tubuh Helian Kong dekat dengan Yo Kian-hi, bahkan keduanya saling berlompatan menyambar toh semua anak panahnya hanya tertuju kepada Helian Kong.

Helian Kong terpaksa melompat menjauhi lawannya untuk menghindari panah. Kesempatan itu digunakan oleh seorang hulubalang pemberontak lainnya untuk menyerahkan kuda dan sepasang pedang kepada Yo Kian-hi. Sementara si hulubalang pemanah sudah siap kembali memanah Helian Kong, namun sebatang anak panah tiba-tiba melesat dari atas tembok kota, langsung menancap di leher orang itu, sehingga terjungkal dari kudanya.

Dari atas tembok kota terdengar suara keras Gui Su-hong, "Maaf aku ikut campur, Helian Cong-peng! Aku tidak bisa membiarkan bandit-bandit itu bermain curang sesukanya!"

Helian Kong mengangguk ke arah tembok kota sebagai ucapan terima kasih, sambil berpikir, "Meskipun kasar dan agak berpikiran dangkal, Gui Su-hong punya rasa setia kawan yang berani diwujudkan dalam tindakannya."

Sementara itu, dua perwira Helian Kong, masing-masing Kok Siau-eng dan Wan Yok-liang juga tidak tinggal diam. Merekapun menderapkan kuda ke tengah arena untuk menolong Helian Kong. Kok Siau-eng dengan sepasang ruyung bajanya langsung menghadang Yo Kian-hi yang siap menyerbu Helian Kong.

Sedangkan Wan Yok-liang dengan kampak yang bertangkai sepanjang tombak, langsung berhadapan dengan hulubalang musuh yang bersenjata golok. Dua lingkaran pertempuran berkuda segera berkobar di dataran di luar kota Hun-ciu itu. Baik Tentara Kerajaan maupun Laskar Pelangi Kuning lalu bersorak adu keras untuk memberi semangat jago mereka masing-masing.

Sementara Helian Kong mendapat kesempatan untuk kembali menunggangi kudanya, dan mendapat lawan seorang hulubalang musuh bersenjata golok panjang pula. Lawan Helian Kong itu nampaknya mahir dalam pertempuran berkuda, namun hanya tenaganya saja yang besar dan ia tidak setangguh Yo Kian-hi dalam hal ilmu silat.

Maka ia cepat menjadi bingung menghadapai pedang Helian Kong yang melingkar-lingkar begitu cepatnya. Tidak lebih dari sepuluh jurus perlawanannya, si hulubalang sudah terjungkal roboh dengan lambung terbelah. Gemuruh sorak prajurit kerajaan menyambut kemenangan itu.

Tapi sedetik kemudian laskar pembe-rontakpun gemuruh bersorak, sebab Yo Kian-hi ternyata juga kelewat tangguh buat Kok Siau-eng. Tubuh perwira bawahan Helian Kong itu berhasil dipotong pedang Yo Kian-hi, hampir bersamaan dengan kematian salah satu hulubalang pemberontak. Sorak sorai kedua pihak makin menghebat menyalakan kemarahan, sebab masing-masing pihak sudah mulai kehilangan orang.

Wan Yok-liang adalah sahabat Kok Siau-eng, sama-sama masuk tentara mulai dari prajurit berpangkat paling rendah, sama-sama mengalami pahit getir medan laga, sama-sama memanjat jenjang kepangkatan. Kini alangkah gusar dan sedihnya melihat Kok Siau-eng terbunuh. Ia memutar kuda meninggalkan lawannya untuk menyerbu Yo Kian-hi sambil berseru,

"Bangsat, ganti nyawa sahabatku!"

Namun Helian Kong tahu Wan Yok-liang pun bukan tandingan Yo Kian-hi, hanya akan menjadi korban berikutnya, dan Helian Kong tidak membiarkannya. Ia berteriak, "Wan Yok-liang! Dia bagianku!"

Bukan hanya membentak, Helian Kong juga lebih cepat memacu kudanya untuk menghadang Yo Kian-hi, sehingga terulang kembalilah pertempuran seperti tadi. Wan Yok-liang terpaksa menumpahkan kegusarannya dalam pertempuran melawan hulubalang yang jadi lawannya semula.

Dari barisan pemberontak terdengar suara tambur dengan irama tertentu, kali ini bukan hanya sorak gemuruh, namun laskar pemberontak menyerbu seperti air bah. Ujung-ujung senjata yang tadinya menunjuk langit, kini ditundukkan di depan tubuh setinggi dada, dibawa lari ke depan. Bendera-bendera diangkat dan digoyangkan untuk menambah semangat.

Helian Kong tidak mau pasukannya kalah ancang-ancang. Sambil tetap bertempur dengan Yo Kian-hi, dia berteriak, "Pasukan maju!"

Tentara Kerajaanpun maju menyongsong lawan-lawan mereka. Seperti dua arus gelombang yang bertabrakan, demikian pula dua arus manusia itu segera terlibat dalam pergulatan sengit antara mati dan hidup. Gemerincing senjata, teriakan aba-aba, ringkik kuda berbaur jadi satu, suaranya amat bising dan mengerikan.

Debu mengepul tinggi, menutupi bendera-bendera kedua pihak. Laskar pemberontak bertempur dengan semangat tinggi, masih dipengaruhi kemenangan mereka di Tong-koan, maka mereka menganggap kali ini hanya berhadapan dengan prajurit-prajurit kerajaan yang sudah kecil nyalinya dan mudah ditumpas.

Tapi mereka salah hitung. Yang mereka hadapi bukan sisa pasukan Jenderal Sun Toan-teng yang masih dihantui kekalahan, melainkan pasukan yang juga masih dalam semangat kemenangan, sebab merekapun baru saja memukul kalah pasukan Li Giam di mulut selat di sebelah timur Hun-ciu.

Jadi kedua belah pihak sama-sama bersemangat, sama-sama bernafsu untuk mengulangi kemenangan mereka. Maka sengit sekali pertempuran itu. Di tengah-tengah hiruk-pikuk itu, perwira-perwira kedua belah pihak masih mencoba mengatur anak buah masing-masing, biarpun suara mereka hampir tenggelam.

Di atas tembok kota, Kam Seng berdampingan dengan Gui Su-hong menyaksikan jalannya pertempuran di luar kota itu. Kam Seng berpeluk tangan, wajahnya dingin tanpa perasaan, namun sebetulnya dalam hatinya bergolak semacam perasaan yang hebat. Ia agak malu terhadap Helian Kong karena tadi tak tertahan telah menunjukkan ketakutannya. Dan kini semua orang seolah diberi pertunjukan bagaimana hebat sepak terjang Helian Kong dan pasukannya.

Rasa iri mulai menguasai hatinya, "Kalau begini terus, lama-lama aku kalah pamor di hadapan para prajurit, namaku akan tenggelam," pikirnya.

Sedangkan di sebelahnya, Gui Su-hong bukan orang yang suka menyembunyikan perasaan, itulah sebabnya ia bersikap seperti anak kecil menonton pertempuran itu. la mengepal-ngepalkan tinju, beberapa kali ia melompat dan bersorak kalau melihat pasukan Helian Kong berhasil mendesak laskar pemberontak.

Ketika matahari sampai ke puncak garis edarnya, terlihat pasukan Helian Kong hampir mutlak menguasai arena. Dimulai dari tekanan- tekanan kecil yang semakin merata, kedua sayap pasukannya berhasil membentuk garis melengkung memanjang untuk menekan kedua lambung laskar musuh, diimbangi gelombang gempuran pasukan tengah yang terus mendorong mundur laskar musuh.

Yo Kian-hi masih bertarung satu lawan satu dengan Helian Kong, namun diapun terdesak mundur sejalan dengan laskarnya. Keunggulan inilah hasil dari Helian Kong selama ini memerintahkan pasukannya untuk terus berlatih, tidak hanya bermalas-malasan di tangsi sambil menunggu tanggal gajian.

Sedang betapapun hebatnya laskar pemberontak dalam semangat, namun kebayakan dari mereka adalah prajurit "amatir" yang belum lama mengalami latihan dari pelatih yang juga setengah amatir. Modal utama mereka hanya keberanian, sambil mencoba mencari tambahan pengikut dengan menghasut rakyat pedesaan.

Maka menghadapi pasukan Helian Kong yang kompak, di mana tiap prajurit adalah mata rantai dari sebuah rantai panjang yang tak mudah diputuskan, bekerja sama dengan rapi, maka laskar pemberontakpun terdesak. Tiap kali kedua sayap laskar pemberontak berhasil ditekan sehingga melengkung ke belakang, kalau dibiarkan terus akan membuat seluruh laskar terjepit hancur dari tiga arah.

Untuk menyelamatkan seluruh pasukan, tidak ada jalan lain kalau pasukan yang di tengah setiap kali harus ikut mundur membentuk garis pertahanan baru, menyesuaikan dengan kemunduran sayap-sayapnya. Sedang Helian Kong terus memimpin pasukannya maju mendesak, makin jauh dari tembok kota Hun-ciu, meninggalkan dataran yang penuh tubuh-tubuh bergelimpangan mati atau luka-luka.

Di atas tembok kota, Gui Su-hong tidak mampu lagi menahan luapan semangatnya. Katanya, "Aku akan membawa pasukanku keluar, untuk membantu Helian Cong-peng menghancurkan musuh lebih cepat. Mudah-mudahan sukma Jenderal Sun masih sempat menyaksikan peristiwa ini."

Merasa dirinya sejajar dengan Kam Seng dan tidak perlu menunggu ijinnya, Gui Su-hong langsung berlari menuruni trap tembok kota. Tak lama kemudian, pintu kota kembali terbuka, dan keluarlah Gui Su-hong beserta pasukannya. Pasukannya sebenarnya masih agak kelelahan jiwa dan raga setelah kelelahan di Tong-koan, namun Gui Su-hong "menyuntik" mereka dengan kata-kata pengobar semangat untuk membalas kekalahan.

Ketika itu laskar pemberontak sudah mundur ratusan langkah. Mendadak dari atas bukit di luar kota, terdengar suara terompet tanduk kerbau ditiup dengan suara mengalun panjang. Laskar pemberontak seperti air kolam yang dibuka sumbatnya ketika mendengar itu, isyarat untuk mengundurkan diri. Mereka langsung balik badan dan melarikan diri ke arah barat. Namun gerak mereka tidak kacau, pemanah dan pelempar lembing segera beraksi melindungi gerak mundur seluruh laskar.

Helian Kong memerintahkan pengejaran, namun tidak terlalu dekat. "Jalan raya ini menuju Ke Tong-koan," kata Wan Yok-liang yang berkuda di samping Helian Kong. "Apakah kita akan mengejar mereka sampai ke sana?"

"Tidak," sahut Helian Kong. "Pasukan kita tidak diperlengkapi untuk pengejaran jarak jauh. Tujuan kita hanya memukul mundur mereka dari sekitar Hun-ciu, untuk membangkitkan keberanian semua prajurit di Hun-ciu."

Secara bijaksana Helian Kong hanya menyebut "semua prajurit di Hun-ciu" tanpa menuding Kam Seng dan pasukannya, untuk menjaga agar jangan sesama pasukan kerajaan ada yang merasa lebih berani atau lebih penakut, lebih berjasa atau lebih tak berguna."

"Agaknya kita berhasil."

Helian Kong memimpin pasukannya mengejar sampai kira-kira dua puluh li (+12 km) dengan pasukan Gui Su-hong membuntuti beberapa li di belakangnya. Ketika dilihatnya laskar pemberontak masuk sebuah desa kecil berkubu, biarpun hanya kubu yang terdiri dari batu dan tanah liat, Helian Kong menghentikan kejarannya dan memerintahkan pasukannya untuk berbalik mundur.

Gebrakan hari itu sudah cukup membuktikan kalau laskar pemberontak juga bisa dikalahkan. Memang hanya itulah tujuannya. Bukan mengejar sampai ke Tong-koan, sebab pengejaran sejauh itu membutuhkan persiapan tertentu dan dukungan memadai di garis belakang untuk melindungi jalur perbekalan. Sedang pasukan Helian Kong saat itu tak memenuhi syarat-syarat itu.

Tapi baru saja pasukan itu berbalik, tiba-tiba dari barisan belakang ada seorang prajurit melapor tergopoh-gopoh, kepada Helian Kong, "Cong-peng, musuh keluar dari desa itu dan menyerang bagian belakang pasukan kita!"

"Bagus kalau begitu, kita hajar mereka!" Kata Helian Kong tanpa pikir panjang.

Pasukan berbalik menghadapi laskar pemberontak yang muncul di desa. Namun mendadak dari tikungan bukit sebelah timur terdengar pekik sorak mem bahana, bendera-bendera muncul berkibar-kibar, ribuan orang bersenjata yang memakai ikat kepala kuning muncul dari balik bukit, menghambur menuruni lereng bukit dan langsung menutup jalan ke arah kota Hun-ciu. Sedang yang ke arah Tong-koan dihadang oleh laskar yang dikejar tadi.

Melihat musuh dari depan dan belakang itu, Helian Kong masih belum gentar, "Ha-ha-ha.... macam-macam saja ulah mereka, mereka pikir bisa mengalahkan kita? Ayo, kita beri pelajaran pahit kepada mereka!"

Dengan mempertimbangkan bahwa laskar musuh yang keluar dari desa itu pastilah dipimpin Yo Kian-hi yang ilmunya lebih tinggi dari Wan Yok-liang, maka Helian Kong justru memerintahkan Wan Yok-liang untuk menghadapi serangan yang dari bukit, "Wan Yok-liang, buka kembali jalan ke Hun-ciu!"

"Baik, Cong-peng!"

Pertempuran kembali berkobar di ruas jalan raya yang terkurung perbukitan itu, tempat yang tidak menguntungkan untuk bertempur sambil berkuda, sehingga Helian Kong terpaksa melompat turun dari kudanya. Jalan raya yang menghubungkan Hun-ciu dan Tong-koan itu biasanya ramai dengan lalu lintas dagang atau pelancongan, tapi sejak perang menghebat di kawasan itu, praktis yang memakai jalan raya pihak-pihak yang ber perang saja.

Dan untuk ke sekian kalinya, Helian Kong bertempur dengan Yo Kian-hi. Meskipun pasukan kerajaan diserang dari dua arah, mereka tetap bertempur dengan semangat yang tinggi dan yakin akan menang. Pertempuran di dataran yang tidak rata itu berlangsung hebat, kedua pihak belum bosan saling membantai. Korban-korban berjatuhan kembali. Nampak masih seimbang antara kedua pihak.

Dari puncak langit, matahari mulai tergelincir pelan ke arah barat, bayangan pepohonan mulai memanjang ke timur. Selagi kedua belah pihak masih berebut kepastian untuk menjadi pemenang, tiba-tiba dari hutan sebelah utara perbukitan kembali terdengar sorak gemuruh, suara tambur dan terompet tanduk kerbau. Sejumlah besar orang-orang Pelangi Kuning kembali muncul dalam keadaan segar, dan langsung menggempur sisi utara pasukan Helian Kong.

Dengan demikian sekarang pasukan kerajaan menghadapi lawan dari tiga arah. Helian Kong sedang asyik bertempur, ketika seorang kurir meneriakinya, melaporkan perkembangan baru itu. Samar-samar Helian Kong mulai merasa gelagat buruk. Sementara Yo Kian-hi cuma bertahan terhadap serangan-serangan Helian Kong karena ilmunya kalah selapis. Namun sempat juga ia berkata, "Pasukanmu terperangkap!"

Helian Kong membentak, pedangnya menderu dengan jurus Lui-hong-tian-siam (Guntur dan Kilat Mengamuk), cahaya pedangnya berlapis mengepung Yo Kian-hi dari segala arah. Lawannya mundur mencari napas di belakang perlindunan rapat sepasang pedang tebalnya. Puluhan kali pedang-pedang mereka berbenturan, suaranya bergabung dengan geme-rincing ribuan senjata lainnya yang beradu di sekitar mereka.

Sambil mendesak, Helian Kong menggeram, "Pernah kau lihat perangkap kelinci bisa menangkap macan?"

Sambil menangkis beberapa kali lagi, Yo Kian-hi menyahut, "Belum. Tapi kalau perangkap macan membunuh kelinci, rasanya masuk akal kan?"

"He, panglima amatir, jangan keliru membaca situasi. Itu akan menjadi awal keruntuhanmu!" Balas Helian Kong. Helian Kong tetap yakin pasukannya akan lolos dari "perangkap kelinci" itu. Diberikannya perintah-perintah lewat kurir-kurir untuk disebar ke segenap pasukannya.

Tapi ketika matahari makin rendah lagi, segera berdatanganlah laporan-laporan dari kurir-kurirnya, laporan-laporan yang tidak menggembirakan. Kurir pertama berteriak, "Cong-peng, Camciang Wan Yok-liang gugur! Pimpinan diambil alih Cian-bu Boan Se-hiong dan harus bergeser ke selatan menjauhi jalan raya!"

Ini gejala pertama kalau pasukannya tidak sekedar masuk "perangkap kelinci". Kurir kedua menyusup di antara medan yang kisruh itu untuk mendekati He-lian Kong dan meneriakkan laporannya, "Cong-peng, sisi utara mendapat tekanan berat dan pasukan tengah bergeser ke selatan!"

Itu artinya pasukan Helian Kong digempur dari tiga arah, yaitu timur, utara dan barat, lalu digiring ke arah selatan yang tak terjaga. Namun naluri perang Helian Kong memberi isyarat kalau di arah selatan pun tentu "ada apa-apa"nya. Tapi apa boleh buat, pasukannya didorong ke arah itu karena menghadapi banjir bandang laskar Pelangi Kuning yang seperti semut keluar dari sarangnya.

Sebagian pasukan Helian Kong sudah bergeser menjauhi jalan raya, maka Helian Kong suka atau tidak suka harus menyesuaikan diri. Kalau memaksa diri bertahan sepanjang jalan raya, pasukan-nya akan mendapat tekanan tidak seimbang dan patah, seperti kayu yang diinjak di satu ujungnya. Demi mempertahankan pasukannya agar tetap utuh dan tidak tercerai berai, terpaksa Helian Kong pun mengeluarkan perintah agar pasukannya juga bergeser ke selatan.

"Enak ya, perangkap kelinci kami?”

Yo Kian-hi mengejek sambil memimpin orang-orangnya terus mengejar. Disertai sorak gemuruh, laskar pemberontak mendesak terus. Sebelah selatan jalan raya itu adalah dataran ilalang yang bersambung dengan daerah rawa- rawa. Itulah siasat yang dirancang oleh Li Giam untuk menceburkan seluruh pasukan Helian Kong ke rawa.

Li Giam sendiri menyaksikan jalannya pertempuran dari sebuah bukit, di atas punggung kudanya, dengan sebuah teropong Portugis terpegang di tangannya. Ia dikelilingi pengawal-pengawal setianya yang berlapis-lapis. Li Giam mengangguk-angguk puas setelah mengamati lewat teropongnya, "Musuh menuju ke kehancuran!!"

Salah seorang yang berada di dekat Li Giam adalah Oh Kui-hou, "kepala intel"nya Li Giam yang betubuh kurus kecil, kakak seperguruan Yo Kian-hi, pernah pula bertempur dengan Helian Kong dalam urusan garam dulu. Katanya kepada Li Giam, "Harap Ciang-kun mempertimbangkan usulku tadi, bahwa Helian Kong lebih berguna kita tangkap hidup-hidup dari pada kita bunuh dia."

"Aku meragukannya."

"Aku punya pertimbangan, Ciang-kun."

"Apa?"

"Menurut Liong Tiau-hui, Helian Kong adalah...."

"Nanti dulu, siapa Liong Tiau-hui itu?"

Oh Kui-hou menjawab hormat, "Seorang perwira yang pernah kuselamatkan di Pak-khia, ketika hampir dibunuh orang-orangnya Co Hua-sun."

"Lho, bagaimana ceritanya?"

"Ketika aku di Pak-khia, aku menjumpai suatu peristiwa. Ketika itu si Kaisar goblok hendak menghadiri pesta di rumah mertuanya, Ciu Kok-thio, dan tiba-tiba Liong Tiau-hui ini muncul menghadap si Kaisar goblok untuk melaporkan ketidak-beresan kerja pegawai-pegawai Peng-po Ceng-tong. Rupanya rejeki Kerajaan Beng memang sudah habis, bukan laporan yang benar yang didengarkan, malahan hasutan Co Hua-sun yang berusaha melindungi kaki tangannya di Peng-po Ceng-tong. Maka Kaisar malahan memerintahkan untuk membunuh Liong Tiau-hui. Terjadi pertempuran, aku menolong perwira itu."

"Orang itu lalu tahu kau bekerja buat Joan-ong?"

"Tidak langsung seketika. Lebih dulu kuyakinkan isi hatinya, setelah dia benar-benar kecewa melihat kepribadian Kaisar Cong-ceng yang lemah, akhirnya aku terang-terangan kepadanya siapa diriku. Ia kemudian bergabung dengan orang-orangku di Pak-khia, pengetahuannya yang banyak tentang seluk beluk pemerintahan, terutama tentang kemiliteran, membuat dia banyak berguna bagi kita. Menurut dia, Helian Kong adalah anggota kelompok perwira yang membenci Co Hua-sun, bahkan seorang yang berpengaruh."

Li Giam mengangguk-angguk, sedikit banyak mulai paham masalahnya, "Sekarang rasanya bisa kutebak kenapa kau begitu giat membujukku agar menangkapnya hidup-hidup. Maksudmu agar melalui dia, kita bisa merangkul golongan anti Co Hua-sun itu?"

"Kurang lebih begitu..!"

"Apakah orang macam Helian Kong akan begitu mudah dibujuk menuruti kita?"

"Seandainya tidak berpihak kepada kita, setidaknya bisa untuk mencegah meluasnya pengaruh Co Hua-sun yang mulai main mata dengan orang Manchu demi ambisinya."

"Hem, justru ulah Co Hua-sun yang busuk itu menguntungkan perjuangan kita. Kebusukannya memuakkan banyak orang, dengan demikian akan semakin banyak orang memandang perjuangan kita sebagai pilihan tunggal untuk menyelamatkan negara, berarti kita akan makin banyak pendukung."

"Maaf, Ciang-kun, pendapat Ciang-kun itu betul kalau kita cuma sekedar ingin merobohkan pemerintahan keluarga Cu agar digantikan Joan-ong kita. Tapi perjuangan kita bukan hanya merebut kekuasaan, tetapi juga menyelamatkan tanah air bangsa Han!"

"Terus kenapa?"

"Sejak kita berhasil menyelundupkan orang ke istana, Co Hua-sun merasa kedudukannya terdesak lalu menjadi nekad. Ia ingin merebut kekuasaan tetapi kurang pendukung, maka lalu bersekutu dengan negara asing untuk menyokong ambisinya. Tentu saja ulahnya ini membahayakan negeri leluhur kita dan harus dicegah!"

Li Giam terkesiap. Cambuk kuda di tangannya dilecutkan sekali ke udara, "Benarkah itu? Bisa kau jelaskan lebih rinci?"

Sahut Oh Kui-hou, "Baru kemarin malam kuterima burung merpati dari orang-orangku di Pak-khia. Dalam surat yang dibawa burung merpati itu dikatakan bahwa Co Hua-sun semakin kasak kusuk dengan Pangeran Seng-ong, adik si Kaisar goblok yang agaknya berambisi bertahta menggantikan kakaknya. Dan di bangsal Pangeran Seng-ong sering kelihatan orang-orang yang mencurigakan. Orang-orang yang berdandan seperti kita bangsa Han, namun bicara mereka berlogat Liau-tong, karena mereka diduga keras adalah orang-orang Manchu!"

"Bagaimana sikap si Kaisar Goblok?"

"Dia kelewat percaya kepada Co Hua sun."

"Wah, ini berbahaya. Kalau sampai Co Hua-sun berhasil mendatangkan pasukan asing ke Pak-khia, perjuangan kita akan menemui lawan berat. Prajurit-prajurit Manchu berjumlah tidak terlalu banyak, tetapi mereka terkenal dengan daya tempur serta gerak cepatnya yang menakutkan, terutama pasukan berkudanya. Aku bicara bukan karena takut, namun sebagai seorang militer yang secara jujur harus menilai kekuatan lawan yang paling kita benci sekalipun. Tanpa pertimbangan atau penilaian yang jernih, kita bisa salah hitung dan hancur. Persekongkolan Co Hua-sun dengan orang asing itu harus dipatahkan!"

"Itulah, Ciangkun. Bisa-bisa negeri leluhur ini malah dicaplok orang-orang Manchu, entah seluruhnya entah sebagian. Itulah sebabnya bisa kita manfaatkan golongan anti Co Hua-sun di Pak-khia itu, untuk menggagalkan rencana Co Hua-sun. Hal ini tidak mungkin mengandalkan si Kaisar goblok dan lemah itu, juga tidak mungkin kita melakukan sendiri, karena kita terlalu jauh dari Pak-khia. Sedangkan orang-orang kita di Pak-khia terlalu sedikit dan tidak leluasa bertindak."

Li Giam tidak menyahut. Ia mengangkat teropongnya untuk mengamati kerumunan ribuan orang yang masih saling bantai di kejauhan. Pasukan Helian Kong sudah terdorong mundur jauh ke selatan jalan raya, hampir ke ujung dataran ilalang. Sementara matahari makin rendah ke sebelah barat.

Kemudian arah teropongnya digeser ke sebelah timur, di sana terlihat pula laskar Pelangi Kuning sedang menghalau pasukan Gui Su-hong kocar-kacir kembali ke Hun-ciu."

"Saudara Oh, adik seperguruanmu nampaknya bernafsu sekali menceburkan Helian Kong dan seluruh pasukannya ke dalam rawa-rawa," kata Li Giam kemudian sambil menurunkan teropongnya, lalu ia memberi perintah kepada Oh Kui-hou. "Kesanalah untuk mencegah adik seperguruanmu membunuh Helian Kong."

"Mohon Ciang-kun bicara lebih jelas kepada aku yang bodoh ini."

"Aku ingin mencoba resepmu. Menangkap Helian Kong hidup-hidup untuk mencari hubungan dengan golongan anti Co Hua-sun."

"Baik, Ciangkun." Oh Kui-hou lalu menjepit kuat perut kudanya dan melecutnya, menghambur turun dari bukit menuju ke medan pertempuran di dataran ilalang sebelah selatan.

Sementara itu, walaupun Helian Kong memimpin pasukannya dengan gigih sambil mencoba mencari jalan keluar, namun sia-sia saja. Musuh mengepung ketat dari tiga arah dalam jumlah lebih besar.

Dataran ilalang itu penuh tubuh korban dari kedua belah pihak, baik yang sudah membeku diam maupun yang masih merinttih-rintih mohon pertolongan. Tapi siapa peduli rintihan mereka? Itulah saatnya untuk saling menghancurkan, bukan untuk saling berbelas kasihan.

Silih berganti kedua pihak memperdengarkan sorakan. Tak puas-puasnya senjata yang sudah bercelup warna merah itu masih diayunkan, masih haus menghirup darah musuh.

Helian Kong gigih memimpin pasukannya menerjang ke sana ke mari, namun ia dan pasukannya memang telah terjebak. Seperti seekor harimau dalam jaring perangkap. Di sebelah utara, timur dan barat, yang nampak hanyalah lautan manusia berikat kepala kuning yang entah berapa jumlahnya.

Ketika Helian Kong terus memimpin pasukannya mundur ke selatan, mundur sambil bertempur, tiba-tiba terasa bahwa tanah yang dipijaknya itu semakin gembur. Rumput ilalang juga tumbuh lebih tinggi dan lebih hijau dari sebelumnya.

Kepastianpun diperoleh dari laporan seorang anak buahnya, "Cong-peng! Di belakang kita rawa-rawa!"

Itu artinya pihak pemberontak mau mengirim pasukan kerajaan masuk ke negeri belut dan lele. "Bangsat!" Helian 'Kong berteriak geram. Mukanya sudah coklat karena bercelemongan debu yang menempel karena keringat. "Bangsat! Bangsaaaaaat!"

Ia berteriak sekerasnya meluapkan keputus-asaannya, mengurangi tekanan jiwanya yang semakin menghebat. Sudah puluhan kali ia mencoba membobol musuh dan gagal terus, sebab kali ini pihak pemberontak mengerahkan jumlah orang yang berlimpah. Kini Helian Kong agaknya harus menunggu nasib seperti Jenderal Sun Toan-teng yang hendak ditolongnya.

"Cong-peng, kami menunggu perintah...." kata kurir-kurirnya.

"Bunuh saja semua musuh!" Perintah kabur itulah yang diteriakkan Helian Kong, membinggungkan kurir-kurinya.

Yo Kian-hi tertawa terbahak-bahak mengejek, diapun makin bersemangat menempur Helian Kong. Demi kepentingan pengepungan itu, ia tidak melawan Helian Kong sendiri, tapi dibantu seorang hulubalang bersenjata toya yang bertarung dengan gigih. Jadi Helian Kong dikeroyok dua dan cukup kewalahan.

Pada suatu kesempatan Yo Kian-hi-lah yang kemudian meneriakkan perintah kepada kurir- kurirnya, dalam bahasa sandi yang hanya dipahami oleh mereka sendiri. Namun Helian Kong yang mendengarnya lalu menduga kalau perintah itu tentu menyuruh untuk menggempur lebih hebat agar seluruh pasukan kerajaan mencebur ke rawa.

"Lebih baik mati daripada dihina macam itu!" Tekad Helian Kong dalam hati. Sudah terbayang betapa malunya kalau dia harus mandi lumpur seperti kura-kura, sementara kaum pemberontak mung kin akan menyoraki dari tepian sambil memakai galah-galah panjang untuk selalu mendorongnya kembali ke tengah apa bila hendak minggir.

Namun yang terjadi kemudian adalah sebaliknya. Yo Kian-hi tidak akan membuat musuhnya basah kuyup di rawa, tapi justru mengeringkan mereka. Waktu itu matahari sudah tenggelam separuh, cuaca mulai gelap, namun dataran ilalang di tepi rawa itu tiba-tiba menjadi terang benderang karena kobaran api membakar ilalang, membentuk garis memanjang. Laskar pemberontaklah yang menyalakannya atas perintah Yo Kian-hi.

Mereka memilih saat yang tepat untuk menggunakan api. Waktu itu angin berbalik arah dari utara ke selatan, maka begitu api menyala, terus merambat ke selatan, ke arah pasukan kerajaan. Sedang laskar pemberontak berlompatan mundur untuk memberi kesempatan si jago merah "bekerja" buat mereka.

Ilalang memang tidak kering benar, namun dibantu hembusan angin, pasukan kerajaan seolah dikejar garis merah memanjang. Selain kepanasan, asap yang masuk ke mata mereka juga amat mengganggunya. Semandat mereka mulai merosot, kepanikan menyebar. Demikianlah pasukan kerajaan dijepit oleh api di depan dan air di belakang.

Helian Kong dan sebagian prajurit-prajuritnya yang belum panik, justru nekad melompati api untuk mencapai daerah yang hangus dan sudah dilewati api di mana apinya tak mungkin kembali. Sebagian lagi sudah tiba di pinggir rawa-rawa, lalu mencopot topi prajurit mereka untuk menciduk air rawa yang keruh bercampur lumpur, untuk disiramkan ke arah api.

Namun yang ingat berbuat demikian hanya sebagian kecil. Sedang sebagian besar malah saling tubruk dengan paniknya, tidak jarang malahan menumpahkan air yang belum disiramkan ke api. Dada Helian Kong hampir meledak melihat semuanya itu. Maunya ia menghajar laskar pemberontak untuk membangkitkan kembali semangat pasukan kerajaan, malah jadi seperti ini. Kalau pasukan di Hun-ciu mendengar kekalahannya, tentu semangat mereka malah makin menyusut.

Sementara itu, laskar pemberontak memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya. Dari seberang api mereka mengobral panah dan lembing sampai seperti hujan lebatnya. Maka tak terhitung lagi banyaknya korban di antara pasukan kerajaan. Tepian rawa itu benar-benar menjadi ajang pembantaian sepihak.

"Mampuslah anjing-anjing keluarga Cu! Penindas-penindas rakyat!" Laskar Pelangi Kuning menyoraki bencana di pihak lawan dengan gembira.

Dalam perang, semboyan yang digunakan pemimpin masing-masing pihak untuk mengobarkan semangat pengikut-pengikutnya mungkin berbeda-beda, yang terang tentu semboyan itu diselipi kata-kata yang kedengarannya begitu luhur menggetarkan perasaan. Namun setelah sampai ke tahap pelaksanaan oleh pengikut-pengikutnya, ya sama saja coraknya. Kekejaman diumbar sepuasnya, pihak lain dihancurkan, digencet tanpa ampun.

Helian Kong menggeram sengit, "Setan kalian!"

Setelah melompati api, ia berlari menerjang laskar pemberontak. Seorang diri, terpisah dari pasukannya yang kacau-balau. Ia sudah tidak menghiraukan mati-hidupnya sendiri. Hari semakin gelap. Helian Kong memutar pedangnya sederas kincir angin yang diputar prahara. Sabet kanan sabet kiri, kadang-kadang sambil memejamkan mata.

Saling susul jerit maut para pemberontak yang terlanggar pedangnya, semburan darah dari tubuh lawan-lawannya menyebabkan tubuhnya basah kuyup. Ia betul-betul kerasukan nafsu membunuh yang hebat, ingin membunuh sebanyak-banyaknya sebelum dirinya sendiri terbunuh.

Itulah Helian Kong dikuasai keputusasaan, pikirannya gelap, dan menganggap kematian adalah satu-satunya pilihan yang tersedia, tetapi ia ingin membuat kerusakan hebat lebih dulu di pihak musuh. Cukup banyak korbannya. Lalu laskar pemberontak mencoba membendung amukannya dengan alat-alat jarak jauh seperti panah, lembing atau bahkan batu.

Atau tombak panjang, kaitan panjang, atau tali yang dipegangi ujung-ujungnya oleh dua laskar dan mencoba untuk menjirat kaki Helian Kong. Sabet kanan sabet kiri, kadang-kadang sambil memejamkan mata, saling susul jerit maut para pemberontak yang terlanggar pedangnya. Namun usaha itu belum sepenuhnya berhasil menghentikan amukan Helian Kong.

Lalu Yo Kian-hi dan beberapa jago silatnya datang mendekat. Mereka gusar melihat pengrusakan laskarnya. Yo-Kian-hi berteriak memerintahkan laskar-laskar biasa untuk minggir, sedangkan ia dan teman-temannya lalu maju mengepung.

Yo Kian-hi membuka serangannya seperti gajah mengamuk. Sepasang pedangnya membuat gerakan Sip-ji-sik, gerak bersilang untuk menjepit pedang Helian Kong. Serangannya dibarengi seorang pesilat pemberontak lain yang hendak menggebrak lututnya dengan toya panjang,

"Hem..." geram Helian Kong. "Kalian cuma boleh mendapat mayatku!"

Meskipun tubuhnya sudah kelelahan, namun semangatnya yang tinggi adalah juga sumber bahaya yang harus diperhitungkan oleh lawan-lawannya. Pedangnya bergerak licin lolos dari jepitan sepasang pedang Yo Kian-hi, kakinya berhasil menendang pergi toya yang hendak menyerampang lututnya. Kemudian dengan sebuah lompatan berputar ia berhasil menyabet roboh seorang hulubalang Pelangi Kuning.

Helian Kong kalap, tapi Yo Kian-hi yang umurnya sebaya dengannya juga mendidih darahnya. Teriaknya kepada teman-temannya, "Kalau tidak bisa menangkap hidup-hidup, cincang saja!"

Hulubalang-hulubalang Pelangi Kuning itu lalu maju menyerang dari berbagai arah. Yo Kian-hi yang paling tangguh, namun keempat orang yang membantu-nyapun bukan pesilat-pesilat kelas kambing. Maka betapapun nekad dan gigihnya Helian Kong, ia mulai jatuh ke bawah tekanan berat. Baik goresan senjata tajam maupun gebukan senjata tumpul makin sering "mampir" ke tubuhnya, tak peduii ia memutar-mutar pedangnya seperti orang mabuk.

Agaknya ia akan benar-benar dicincang oleh Yo Kian-hi dan teman-temannya, seandainya Oh Kui-hou tidak muncul berkuda sambil berteriak-teriak, "Su-te (adik seperguruan)! Li Ciang-kun memerintahkan agar dia ditangkap hidup-hidup!"

Mendengar itu, Yo Kian-hi dan teman-temannya terpaksa harus menahan kemarahan, mereka tidak berani membantah perintah Li Giam yang disampaikan Oh Kui-hou itu. Oh Kui-hou sendiri melompat dari kudanya, sementara tubuhnya melayang tinggi maka tahu-tahu di tangannya telah terpegang sehelai cambuk kulit panjang berpilin tiga. Cambuk sepanjang tiga meter lebih yang melingkar-lingkar di udara seperti naga terbang.!

Langsung menyerang Helian Kong, mula-mula dengan beberapa gerak lingkar yang membingungkan dan mengaburkan mata, lalu menyabet. Serangan berbahaya, sebab saat itu cuaca sudah gelap, cahaya ilalang yang terbakar juga mulai meredup di dekat rawa-rawa...

Pilih Jilid,

Jilid Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.