Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 13

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Seri Pertama, Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 13 Karya Stevanus S P

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 13

Sebagian besar tenaga Helian Kong sudah terkuras, matanya sudah berkunang-kunang. Menghadapi gerak cambuk penuh tipuan itu, Helian Kong cuma menyabet-nyabetkan pedang dengan kalap tapi luput semua, malah tubuhnya terhuyung-huyung seperti kebanyakan arak.

Detik berikutnya ketika Oh Kui-hou membentak dan menyerang lagi, pedang dan lengan Helian Kong berhasil dibelit kencang. Saat itulah Yo Kian-hi dan teman-temannya berbareng menyergap dari segala arah, sehingga Oh Kui-hou berteriak memperingatkan sekali lagi,

"Jangan dibunuh! Ini perintah Li Ciang-kun!"

Helian Kong meronta-ronta, tapi segera roboh ketika belakang lututnya digebuk toya, disusul pukulan tangan kosong Yo Kian-hi yang menghempas tengkuknya, membuat Helian Kong roboh tak sadarkan diri.

"Ikat kuat-kuat!" perintah Oh Kul-hou.

Maka panglima yang gagah berani itu pun dalam waktu sekejap telah dilibat tali-tali sebesar ibu jari, tak berkutik lagi. Kemudian Oh Kui-hou minta kepada Yo Kian-hi agar sisa pasukan kerajaan yang sudah terjepit babak belur di tepian rawa itu dilepaskan saja.

Yo Kian-hi menurutinya. Ia meneriakkan aba-aba dan seluruh laskarnya pun mundur. Sisa pasukan Helian Kong segera mundur, ke Hun-ciu, meninggalkan begitu banyak teman mereka yang gugur, dan panglima mereka yang tertawan musuh.

Laskar pemberontak lalu membenahi keadaan, pulih sedikit sosok kemanusian mereka karena merekapun mengobati yang terluka, entah kawan entah lawan. Sedang mayat-mayat yang begitu banyak lalu dikubur saja dalam satu lubang besar. Sedang Helian Kong digiring ke Tong-koan, yang sudah dikuasai pemberontak sejak pecahnya pasukan Jenderal Sun Toan-teng.


Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

Ketika seluruh Tong-koan mendengar berita itu, baik laskar pemberontak maupun penduduk biasa segera menyiapkan penyambutan. Sorak sorai sudah membubung langit ketika dari kejauhan sudah nampak bendera besarnya Li Giam. Suatu sambutan yang pantas untuk sebuah pasukan yang pulang membawa kemenangan.

Di tepi jalan, rakyat bersorak-sorak, menaburkan bunga, memasang pita-pita kertas berwarna-warni. Tidak sedikit yang terang- terangan menggelar meja sembahyang komplit, bersyukur kepada Langit untuk kemenangan- kemenangan Jenderal Li Giam yang namanya semakin harum.

Biarpun sebagai tawanan, Helian Kong ada dalam pasukan yang disambut meriah itu. Ia menunggang kuda dengan tangan terbelenggu, kendali kuda dipegangi seorang pesilat dari pihak pemberontak yang berkuda di sebelahnya. Melihat sambutan penduduk Tong-koan kepada laskar pemberontak, Helian Kong menjadi masygul hatinya,

"Kenapa Tentara Kerajaan tidak penah disambut seperti ini? Kenapa orang-orang macam Kam Seng dan Gui Su-hong masih juga bersikeras tidak mau mengakui rakyat sebagai sumber kekuatan?"

Di depan pintu kota, sederetan hulubalang Pelangi Kuning sudah berdiri menunggu kedatangan Li Giam. Kalau kebanyakan laskar pemberontak masih berpakaian apa adanya, belum berseragam, maka para hulubalang laskar umumnya sudah punya seragam, entah membuat sendiri entah merampas dari pasukan kerajaan.

Maka penampilan mereka jadi cukup rapi, tidak mirip pentolan-pentolan pemberontak, melainkan tak ubahnya perwira-perwira dari suatu kerajaan. Memang kaum Pelangi Kuning sudah menganggap wilayah barat laut yang mereka kuasai itu sebagai suatu kerajaan sendiri yang lepas dari Kerajaan Beng. Li Cu-seng sudah disebut Joan-ong dan dianggap benar-benar raja.

Laskarnya sudah tersusun dalam jenjang-jenjang kepangkatan dari jenderal sampai serdadu paling rendah, seperti angkatan perang sebuah kerajaan. Juga sudah terbentuk pejabat-pejabat pemerintahan sipil, seperti kantor- kantor pengadilan dan sebagainya. Pendeknya Li Cu-seng benar-benar siap mendirikan pemerintahan baru sebagai pengganti pemerintah Kerajaan Beng kalau runtuh kelak.

Setelah Li Giam dekat, para "pembesar" Pelangi Kuning itu berlutut menghormat, salah seorang dari mereka berkata mewakili rekan- rekannya, "Kami mengucapkan selamat atas kemenangan Ciang-kun."

Li Giam tersenyum lebar sambil mengusap kumisnya, "Terima kasih, tapi jangan menganggap kita sudah menang sebelum seluruh negeri berhasil kita rebut dari tangan pemerintah korup yang sekarang ini. Bagaimana situasi di pospos kalian masing-masing?"

"Semua berjalan sesuai yang kita inginkan. Desa-desa dibenahi kembali, dibentuk pemerintahan-pemerintahan desa. Rakyat di pihak kita."

"Syukurlah. Ada laporan lain?"

"Hanya laporan-laporan rutin yang tidak mendesak. Kami sarankan agar Ci-angkun beristirahat dulu, begitu juga semua serdadu yang baru saja menguras tenaga dalam perjuangan, terutama yang terluka."

"Baiklah."

Iring-iringanpun masuk ke Tong-koan. Laskar yang terluka segera dirawat dan dihibur. Li Giam sendiri kembali ke markasnya yang merupakan bekas Jenderal Sun Toan-teng, sebuah gedung besar di tengah-tengah kota Tong-koan.

Helian Kong melihat, di beberapa bagian kota ada tiang-tiang gantungan yang banyak jumlahnya, semuanya jelas kalau baru saja dibuat. Ada yang talinya terayun-ayun kosong, tapi masih ada juga yang "ditempati" sesosok mayat yang belum diturunkan.

Dilihatnya mayat-mayat itu umumnya berpakaian bagus, orang dari kalangan berada. Merekalah yang disebut sebagai "penindas", dan menjadi sasaran balas dendam setelah laskar Pelangi Kuning merebut Tong-koan lalu memanjakan rakyat kecil berbuat semaunya.

Batasan benar dan salah jadi kabur. Kaum "tertindas" tiba-tiba merasa diperbolehkan berbuat apa saja setelah Tong-koan dikuasai kaum Pelangi Kuning, yang mengaku sebagai pembela mereka. Tapi untuk meluapkan kemarahan harus ada sasarannya, maka sasarannyapun ditentukan saja secara gampang-gampangan, yaitu orang-orang kaya.

"Orang kaya pasti jahat," kata si penganjur yang anjurannya segera menyebar luas. Pukul rata saja. Tidak peduli orang-orang kaya yang dermawan dan suka menolong, mendapat kekayaan dengan cara halal karena keu- letannyapun ikut dihantam.

Sedang di antara si miskin itu ada yang miskin karena ulahnya sendiri, misalnya gila judi, atau dagangannya selalu curang sehingga tidak dipercaya lagi dan akhirnya bangkrut. Dan ketika mereka jatuh miskin, mereka menyalahkan golongan kaya yang mereka tuduh sewenang-wenang dan sebagainya.

Ketika laskar Li Cu-seng menguasai kota, glandangan-gelandangan mempersenjatai diri untuk bergabung, lalu merampok dan menggantung orang-orang kaya, harta mereka disita "untuk perjuangan".

Sungguh amat sulit mencari pejuang pembela rakyat kecil yang tulen. Kebanyakan cuma pejuang gadungan yang membonceng arus untuk mencari keuntungan saja.

Tindakan balas dendam kaum miskin yang tak terkendali dan tanpa pandang bulupun makan korban amat banyak. Orang-orang, asal mengikat secarik kain kuning di kepala mereka, tiba-tiba berubah menjadi hakim dan algojo yang boleh berbuat semaunya, atas nama "kaum tertindas". Kesewenang-wenangan yang satu dirobohkan untuk digantikan kesewenang-wenangan yang lain, cuma ganti bendera.

Helian Kong melihat itu dan meludah dengan sengit, sehingga hulubalang yang menjaganya menoleh dan bertanya, "Ada apa?"

Helian Kong menjawab, "Kalau kalian tidak bisa menertibkan keadaan, akan tiba saatnya orang-orang yang mabuk kemenangan dan kekuasaan ini akan menghancurkan kalian sendiri. Kalau hukum yang lama kalian singkirkan, segera sodorkan hukum yang lebih baik. Jangan lepaskan kekang hukum dari rakyat. Kalau mereka sudah ketagihan tindakan tanpa hukum, kelak kalian akan sulit mengekang mereka...."

Sihulubalang pengawal Helian Kong melotot gusar, "Kau bilang begitu karena kau segolongan dengan para penindas itu. Kau tentu merindukan jaman di mana hukum bisa dibeli dengan uang untuk digunakan menindas kami secara sewenang-wenang, begitu bukan? Sekarang lihat, rakyat sudah bangkit melawan kesewenang-wenangan."

Kata-kata hulubalang itu terputus oleh tertawa Helian Kong yang bernada mengejek, "Aku punya kata-kata yang lebih tepat, mau dengar tidak?"

Si hulubalang tak menjawab. Maka Helian Kong melanjutkan, "....kalian bukan berjuang melawan kesewenang-wenangan, itu hanya kedok untuk mendapat banyak dukungan, melainkan berjuang untuk menjadi pihak yang bisa bertindak sewenang-wenang, menggantikan pihak yang kalian kalahkan. Benar tidak?"

"Tutup saja mulutmu, anjing Kaisar. Kau cuma anjing pelindung golongan orang kaya, aku jemu mendengar gonglonganmu."

Helian Kong tertawa pendek dan tidak membantah Lagi. Dengan sedih dilihatnya sekawanan orang, agaknya beberapa keluarga hartawan termasuk perempuan-perempuan dan anak-anak, digiring ke tiang gantungan di sebuah lapangan. Yang menggiring mereka adalah sekelompok lelaki garang, semuanya memakai ikat kepala kuning.

Yang hatinya terusik ternyata bukan cuma Helian Kong, melainkan juga tokoh-tokoh Pelangi Kuning sendiri, Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi yang berkuda di kiri kanan Li Giam sendiri. Mereka mengerut alis melihat betapa banyak hukuman mati dijatuhkan oleh "pengadilan kilat" oleh orang-orang yang mabuk dendam karena miskin. Keputusan "pengadilan" yang diwarnai kemarahan dan kebencian macam itu, mana bisa mencerminkan keadilan?

Kedua kakak beradik seperguruan itu saling bertukar pandangan dan sama-sama menarik napas, lalu mereka menatap Li Giam yang berkuda di tengah. Mereka melihat wajah Li Giam pun tidak gembira.

"Apakah ada yang tidak berkenan di hati Ciang-kun?" Oh Kui-hou memberanikan diri bertanya.

"Ya..." sahut Li Giam pelan, "kita dulu mulai berjuang demi suatu gagasan luhur, memperjuangkan keadilan untuk semuanya, yang kaya dan yang miskin. Merombak keadaan dimana si kaya mencoba menunggangi hukum dan si miskin mencoba meniadakan hukum, dua sikap yang sama buruknya. Aku tidak rela sekarang kita menjadi seperti sekawanan perampok yang menjarah kota yang dikalahkan, biarpun dilakukan atas nama perjuangan."

Oh Kui-hou mengangguk-angguk, "Aku sependapat. Harus segera ditertibkan, jangan dibiarkan orang-orang kita menjadi liar seperti ini."

Li Giam menarik napas, "Itu keinginanku. Sulitnya, tidak semua pasukan di kota ini adalah bawahanku. Sebagian dari mereka adalah bawahan Jenderal Gu Kim-sing, dan hanya tunduk kepada perintah Gu Kim-sing." Orang yang disebut oleh Li Giam itu adalah juga seorang "panglima" pemberontak, yang dalam banyak hal berselisih pendapat dengan Li Giam.

Mereka tiba di markas. Helian Kong menduga dirinya sebentar lagi akan digebuki, diadili lalu digantung pula. Di luar dugaan, Li Giam malah memerintah orang- orangnya untuk menyediakan tempat yang baik di sebuah ruangan di bagian belakang markas. Belenggunya dilepas, biarpun dia tetap dijaga ketat oleh sekawanan pesilat, namun dia diperlakukan lumayan "terhormat" oleh Li Giam.

Namun Helian Kong tidak suka hal itu, "Aku lebih suka digebuki daripada dimanjakan oleh bangsat-bangsat ini."

Sekilas timbul pikiran untuk menerjang lolos dari situ, kalau perlu bertempur mempertaruhkan nyawa. Namun pikiran itu kemudian dihapuskannya sendiri karena muncul pikiran lain, "Kaum-pemberontak menawan aku hidup-hidup, entah apa maunya? Baiklah aku tetap di sini untuk mengetahui apa maunya mereka."

Karena pikirannya sudah bulat, mati hidup dinomor duakan, Helian Kong malah jadi "santai" dalam kurungannya itu. Seperti acuh tak acuh. Ada tabib datang mengobati luka, ia menurut. Ada laskar mengantarkan makanan, diapun lahap habis tanpa takut diracun.

Sementara itu, setelah istirahat satu hari, Li Giam mengadakan suatu sidang militer di aula gedung bekas markas Jenderal Sun itu. Di depan gedung, bendera Jit-goat-ki, bendera Kerajaan Beng, sudah diganti benderanya Li Cu-seng yang juga berwarna kuning namun tidak bergambar bulatan matahari merah dan bulan sabit putih.

Para hulubalang Pelangi Kuning sudah hadir dan berderet tertib di kedua sisi ruangan. Kursi untuk Jenderal Li Giam yang berlapis kulit macan itu masih kosong. Namun tak lama kemudian terdengar suara langkah dari samping ruangan, lalu muncullah Li Giam dengan dandanan khas Pelangi Kuning. Memakai seragam seorang panglima, namun kepalanya justru cuma memakai caping petani yang begitu sederhana.

Para hulubalang serempak menghormat. Li Giam duduk di kursi kulit macan, mencopot capingnya untuk diletakkan di meja, dan katanya ramah, "Terima kasih atas kehadiran saudara-saudara."

Dan cukup dengan tatapan matanya yang tajam, Li Giam mengabsen perwira-perwiranya, ternyata lengkap. Di antara mereka adalah kakak beradik seperguruan, Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi, yang tidak memakai seragam seperti lain-lainnya melainkan hanya berpakaian seperti pesilat-pesilat pengembara.

Li Giam paham. Kakak beradik seperguruan itu memang pernah bilang, mereka bergabung dengan Joan-ong bukan untuk mencari kedudukan, tapi hanya mencarikan keadilan bagi orang banyak yang menderita di bawah korupnya pemerintah Kerajaan Beng.

Jika kelak Joan-ong berhasil menyatukan negeri di bawah pemerintahan barunya, kakak beradik seperguruan itu tidak mau menduduki jabatan apa-apa, hanya ingin melanjutkan kehidupan sebagai pesilat-pesilat pengembara seperti sebelumnya. Hidup bebas seperti burung di udara.

Namun Li Giam mengakui, jasa kakak beradik seperguruan itu cukup besar dalam hal menyusup jauh ke garis belakang tentara kerajaan dan menyadap rahasia kerajaan sebanyak-banyaknya, terutama rahasia militernya. Beberapa saat ruangan besar itu dicekam

kesunyian, sampai terdengar Li Giam berkata, "Aku mau mendengar laporan-laporan, siapa akan mulai?"

Seorang perwira berwajah merah, dengan hidung besar yang lebih merah lagi, segera maju, "Ciangkun, aku akan melaporkan tentang pasukan Sun Toan-teng yang tercerai-berai ketika kota ini kita rebut."

"Silakan."

"Pecahan pasukan Jenderal Sun yang sebagian lari ke Hun-ciu, sebagian lagi ke Thai- goan setelah menyeberangi Sungai Hoang-ho. Ada sebagian prajurit yang bercerai berai tanpa pimpinan, mereka melepaskan seragam mereka dan membuang senjata serta lari entah ke mana."

Li Giam mengangguk-angguk, "Baik, laporanmu kuterima. Ada pendapat?"

Perwira berwajah merah itu lalu berkata dengan semangat berapi-api, "Ciangkun, aku minta diijinkan untuk menggempur Thai-goan."

"Kuharap kau tidak gegabah. Thai-goan dilindungi anak sungai Huang-ho, dalam keadaan biasa gampang diseberangi, namun dalam keadaan seperti sekarang ini, tentu sungai itu dimanfaatkan sebaik-baiknya sebagai sarana pertahanan oleh pasukan musuh. Tindakan gegabah kita hanya akan menghancurkan diri sendiri."

Perwira bermuka merah itu menjadi penasaran, "Kalau begitu, apakah musuh lalu akan kita diamkan saja, dan mereka enak-enak kembali menyusun pertahanan di seberang sungai?"

"Tentu takkan kita biarkan mereka demikian. Kita rebut Hun-ciu lebih dulu, setelah itu kita pikirkan bagaimana membereskan Thai-goan."

"Kalau begitu, ijinkan aku menggempur Hun-ciu!"

"Kuharap kau tidak gegabah. Memang, Hun-ciu harus kita rebut cepat atau lambat untuk merintis jalan ke Pak-khia, tapi jangan tergesa-gesa. Biarkan laskar kita istirahat dulu beberapa hari dan menjadi segar kembali. Lagipula harus diingat bahwa dalam kota Hun-ciu saat ini padat dengan prajurit yang entah berapa jumlahnya. Banyak sekali. Ada pasukan Hun-ciu sendiri, ada pasukan pelarian dari Tong-koan, ada pasukan tambahan dari Pak-khia, semuanya terpusat di Hun-ciu. Kita harus merebutnya, tapi dengan siasat yang masak, bukan asal gempur saja.

"Tetapi sejak pasukanku dikirim kemari oleh Jenderal Gu Kim-sing, belum pernah aku sempat bertempur dan mendirikan pahala buat Joan-ong."

Gu Kim-sing adalah tangan kanan Li Cu-seng, si pimpinan tertinggi pemberontak, jadi Gu Kim-sing bisa dikata orang nomor dua di bawah Li Cu-seng sendiri. Dan perwira muka merah itu adalah bawahan Gu Kim-sing yang diperbantukan Li Giam, sekaligus juga untuk mengekang dan memata-matai Li Giam.

Sebab Gu Kim-sing diam-diam iri kepada Li Giam yang namanya terus melambung, kuatir kalau suatu saat Li Giam lebih berpengaruh dari dirinya. Jadi dalam barisan pemberontakpun ternyata tidak sekompak seperti yang kelihatan dari luar.

Ada persaingan untuk menjadi "siapa yang nomor dua", bukan yang nomor satu, sebab si nomor satu adalah Li Cu-seng sendiri.

Li Giam diam-diam menarik napas. Ia tahu perwira itu sengaja membawa-bawa nama Gu Kim-sing untuk memaksakan usulnya. Namun Li Giam tidak mau ditekan, ia bertanggung jawab untuk keselamatan tiap nyawa dalam barisannya. Kalau ada yang harus gugur dalam tugas, gugurnya harus untuk suatu tindakan yang bisa dipertanggungjawabkan, bukan sekedar, misalnya, hanya untuk cari muka terhadap atasan.

Karena itulah Li Giam tetap menggeleng, "Tidak. Kelak akan kuberi kau kesempatan untuk berjasa buat perjuangan, tapi kali ini tidak. Istirahatkan pasukan sambil memikirkan cara untuk menang dengan pengorbanan sedikit mungkin. Pasukan kita adalah sukarelawan yang bergabung karena percaya bahwa kitalah pengayom mereka, kita tidak boleh membuang- buang nyawa mereka secara sia-sia."

"Tetapi..."

"Sudah. Aku punya pertimbangan sendiri!"

"Tapi Gu Ciang-kun sudah berpesan agar..."

Saking jengkelnya karena perwira muka merah itu terus mendebat, Li Giam menepuk meja keras-keras sambil berkata, "Jenderal Gu pasti menugaskanmu di sini untuk membantu aku, bukan untuk menggantikan aku sebagai pimpinan di garis depan. Benar tidak?"

Wajah perwira yang aslinya sudah merah itu jadi bertambah merah sehingga hampir-hampir kelihatan ungu, namun ia tidak berani membantah dan cepat-cepat masuk ke dalam deretan. Ia amat mendongkol karena nama pamannya, Jenderal Gu Kim-sing, yang "dikibarkan"nya ternyata tidak dapat menakut-nakuti Li Giam. Pikirnya,

"Tidak keliru kecurigaan Paman kepada orang she Li ini. Tenyata di garis depan ini dia menjadi penguasa tunggal, tidak mau mendengar pesan-pesan Paman yang berkedudukan lebih tinggi. Hem, Paman Gu harus kubisiki agar waspada terhadap orang she Li ini. Nampak begitu besar nafsunya untuk mencari muka kepada Joan-ong dengan cara memborong semua pahala hanya untuk pasukannya sendiri...."

Sementara itu, setelah mendengar berapa laporan lagi, dan memberi serangkaian petunjuk kepada perwira-perwira bawahannya, Li Giam lalu membubarkan pertemuan. Dalam petunjuknya antara lain agar para perwira mengendalikan anak buah masing-masing, tidak mengobral hukuman mati secara tidak berperikemanusiaan terhadap orang-orang kaya yang belum tentu korup.

Banyak di antara mereka adalah pedagang yang jujur, ulet, mengumpulkan kekayaan dari sedikit, namun tiba-tiba diseret ke tiang gantungan karena dituduh sebagai "tuan tanah jahat", tuduhan yang diada-adakan sekedar untuk mendapat dalih merebut kekayaannya.

Setelah itu Li Giam masuk dan para perwirapun bubar. Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi tidak ikut bubar, sebab tadi mereka telah mendapat pesan dari seorang pengawal Li Giam, bahwa setelah rapat selesai mereka harus segera menemui Li Giam di ruang belakang. Ketika mereka ke ruang belakang, mereka sebentar menunggu Li Giam berganti pakaian. Tak lama kemudian Li Giam muncul, memakai jubah yang sederhana rambutnya diikat dengan saputangan.

Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi cepat memberi hormat. "Ada perintah apa Ciang-kun memanggil kami?"

"Aku butuh kalian sebagai pengawal pribadiku, sebab aku akan menemui tawanan yang bernama Helian Kong itu. Aku kuatir dia masih belum lunak hatinya dan mengamuk begitu melihat aku, pengawal-pengawal biasa belum tentu bisa melindungi aku, maka terpaksa memanggil kalian."

"Kami siap, Ciang-kun. Sekarang biar kami seret dia ke hadapan Ciang-kun."

"Tidak. Akulah yang akan ke tempatnya."

Keruan Yo Kian-hi tercengang, "Kalau Ciang-kun yang menemuinya, apakah pantas? Ciang-kun adalah pimpinan pejuang di garis depan, lambang kehormatan seluruh pasukan, pengawal terdepan panji-panji Joan-ong, kenapa harus merendahkan diri menjumpai seorang tawanan? Apalagi Helian Kong hanya berpangkat Cong-peng, dan sekarang berstatus tawanan yang tidak punya hak..."

Ucapan Yo Kian-hi dihentikan oleh isyarat gerak tangan Li Giam, lalu kata Li Giam, "Demi keselamatan negeri leluhur dari ancaman komplotan Co Hua-sun yang siap menjual negeri, aku rela merendahkan diri sampai bagaimanapun. Saat ini aku ingin merebut simpati Helian Kong, dan ini tidak mungkin kalau harus mendatanginya dengan angkuh."

Yo Kian-hi termangu-mangu, sedang Oh Kui-hou mengangguk-angguk setuju.

"Mari..." ajak Li Giam kemudian.

"Tapi ingat, di depan Helian Kong biar aku saja yang bicara, dan tugas kalian berdua hanyalah menjaga keselamatan-ku."

"Baiklah, Ciangkun."

Ketiga orang itu kemudian menuju ke tempat Helian Kong dikurung. Mereka melewati beberapa bagian gedung yang sudah berujud puing dan masih membekas pertempuran sengit, ketika Jenderal Sun dan pengawal- pengawal fanatiknya beberapa hari yang lalu bertahan sampai titik darah penghabisan.

Tak lama kemudian, mereka tiba di tempat tujuan. Nampak kurang lebih lima puluh orang pesilat yang harus menjaga Helian Kong. Jumlah yang terlalu banyak untuk menjaga tawanan yang cuma satu orang, tapi bisa dimaklumi karena tawanannya adalah Helian, Kong yang sepuluh kali lipat lebih berbahaya dari macan gunung. Pimpinan regu penjaga di situ menyambut kedatangan Li Giam dengan hormat.

"Bagaimana dengan tawanan itu?" tanya Li Giam.

"Tidak ada masalah, Ciang-kun."

"Tidak mengamuk atau berusaha melarikan diri?"

"Sejauh ini tidak. Cuma makannya banyak sekali."

"Satu pribadi yang menarik...!" kata Li Giam sambil tersenyum. "Buka pintu Aku mau bicara dengannya."

Komandan penjaga itu kaget, "Ciang-kun, kalau Ciang-kun mau bicara dengannya, tidakkah lebih aman kalau borgolnya dipasang dulu?"

"Tidak usah," sahut Li Giam. "Aku dikawal Oh dan Yo Hiang-cu."

Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi memang tidak punya "pangkat" dalam pasukannya Li Cu-seng, maka selalu disebut saja sebagai Hiangcu. Setelah penjaga membuka gembok pintu tebal itu, Li Giam dan kedua pengawalnyapun melangkah masuk.

Di dalam, Helian Kong sedang berbaring sambil bersiul-siul kecil. Sepasang tangannya mengganjal belakang kepala, sepasang kakinya naik ke pembaringan tanpa mencopot sepatu, satu kakinya ditumpangkan menyilang di atas lutut kakinya yang lain.

Ketika mendengar pintu tebal yang dirantai dari luar itu berderit terbuka, Helian Kong tetap menatap ke langit-langit ruangan, sebab dikiranya yang datang itu tentu cuma pengantar makanan seperti biasanya.

Tapi ia kaget ketika mendengar suara Li Giam, "Lagu yang membawa kenangan dari kampung halaman, ya?"

Helian Kong menoleh dan siulannya terhenti. Melihat Li Giam yang dikenalnya sebagai seorang tokoh penting di jajaran pemberontak, Helian Kong tidak mengubah sikap tidurnya, telapak kakinya digoyang-goyangkan dengan sikap acuh tak acuh.

Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi mendongkol melihat sikap itu, namun mereka tidak berani bertindak atau berkata melancangi Li Giam sendiri. Mereka hanya mengambilkan kursi untuk diduduki Li Giam, lalu mereka sendiri berdiri di kiri kanan bersikap menjaga. Kalau Yo Kian-hi berpostur gagah, tegap dan tampan, sebaliknya Oh Kui-hou nampak "memelas dalam penampilannya yang kurus, pendek, kusut dan berwajah mengantuk.

Namun kaum persilatan yang berani memandang rendah kepadanya pasti akan kena batunya, sebab manusia bertampang remeh itulah pemilik julukan Thi-lik-ku-hou, Macan Kurus Bertenaga Raksasa, yang namanya ditakuti di kawasan barat laut.

Setelah duduk, berkatalah Li Giam dengan ramah, "Kenapa kau hentikan lagumu, sobat? Lagu itu juga lagu kampung halamanku di Kam-siok. Mengetahui kau memakai nama keluarga Helian, aku tahu kau orang Kam-siok asli, sama dengan aku. Nah, jadi kita ini satu kampung halaman."

Itulah cara Li Giam "mendekati" Helian Kong. Namun Helian Kong bangkit untuk duduk di tepi pembaringannya, lalu menjawab dengan kasar, "Jangan berputar-putar. Tentu kau mau bilang bahwa tiang gantungan untukku sudah siap bukan?"

Oh Kui-hou, dan terutama Yo Kian-hi, makin mendongkol melihat sikap itu, tapi Li Giam tetap tersenyum dengan sabarnya. "Kampung halaman yang indah tetapi bagaimana perasaanmu sekiranya kampung Halaman itu tiba-tiba diduduki orang asing, orang Manchu misalnya?"

Helian Kong tiba-tiba melompat bangun, teriaknya gusar, "Apa? Jadi untuk mencapai ambisinya, kalian akan bekerja sama dengan orang Manchu untuk menjepit kami dari barat dan timur?"

Kerajaan Beng saat itu memang sedang menghadapi dua ancaman, pemberontakan Li Cu-seng di barat laut dan politik ekspansi Kerajaan Ceng (Mancuria) di timur laut.

Li Giam menggoyang-goyangkan tangan dan berkata tenang, "Duduk dan dengarkan dulu kata-kataku sampai selesai, sobat. Melihat sikapmu itu, aku yakin kaupun tidak suka negeri ini dijajah orang Manchu. Itu bagus. Berarti di antara seribu perbedaan kita, ada satu persamaan kita, Yaitu tidak senang orang Manchu merebut kampung halaman kita."

"Hem, bicaralah langsung, jangan bertele-tele!"

"Baik, dengar baik-baik. Menurut laporan orang-orang kami di Pak-khia, saat ini Co Hua-sun sedang menjalin hubungan rahasia dengan To Ji-kun, Pangeran Manchu yang biasa disebut Kiu-ong-ya (Pangeran ke Sembilan) dan saat ini berkedudukan sebagai Wali Kaisar Sun-ti yang belum dewasa. Co Hua-sun siap menjual negeri kepada orang Manchu, sementara Kaisarmu yang goblok itu masih saja kena dibodohi dan tidak tahu apa yang dilakukan Co Hua-sun. Kalaupun diberi tahu juga tidak akan percaya sebab otaknya kelewat bebal!"

Helian Kong terperanjat. Bukan cuma isi beritanya yang mengejutkan, namun juga kata-kata pembukaan Li Giam "menurut orang-orang kami di Pak-khia" itu tidak kalah mengagetkan. Itu artinya para mata-mata Li Cu-seng punya jaringan yang rapi di Pak-khia untuk menyadap semua rahasia negara.

Persekongkolan Co Hua-sun itu harusnya pihak kerajaan yang lebih dulu tahu, tapi nyatanya Helian Kong sama sekali belum pernah mendengarnya, malahan pihak pemberontak yang tahu lebih dulu. Itu artinya "intel" pihak kerajaan kalah lihai kerjanya dengan intel-intelnya Li Cu-seng.

Tak terasa ia lalu bangkit dan berjalan hilir mudik dekat pembaringan sambil menundukkan kepala, berpikir keras. Pikirnya, "Pantas perjalanan pasukanku dari Pak-khia dilakukan serba cepat dan melewati jalan yang dirahasiakan, toh mereka tetap dapat melakukan penghadangan di tempat-tempat yang kulalui. Hal itu tidak mungkin mereka lakukan kalau jauh hari sebelumnya mereka tidak lebih dulu mendengar berita dari Pak-khia."

Timbul keinginan Helian Kong untuk memancing Li Giam tentang jaringan mata-matanya di Pak-khia. la menghentikan langkahnya dan menatap Li Giam tajam-tajam, "Seandainya komplotan Co Hua-sun benar-benar merencanakan itu, sulit bagi orang di luar komplotan untuk mengetahui rencana mereka, bahkan mustahil. Kini kau mengaku mengetahui apa yang direncanakan Co Hua-sun, pastilah kau cuma omong kosong!"

Li Giam tertawa perlahan sambil mengusap jenggotnya, sahutnya blak-blakan, "Aku percaya kata-kata dalam Kitab Sun-cu, mengetahui musuh sama seperti mengetahui diri sendiri, maka dalam seratus pertempuran kau akan seratus kali menang. Bukannya aku sombong, tetapi perlu kau ketahui bahwa saat ini gerakan sekecil apapun yang terjadi di Pak-khia, bahkan di lingkungan paling dalam dari dinding istana, tak ada yang tak bisa kuketahui. Aku punya sejuta mata dan sejuta telinga yang tersebar di Ibu Kota Kerajaan, di luar istana maupun di dalam istana."

"Omong kosong! Kau cuma mau menakut-nakuti aku agar mudah kau peralat!" Kata Helian Kong cemas, cemas kalau kata-kata Li Giam itu benar-benar kenyataan. Kalau demikian, maka segala gerak-gerik Tentara Kerajaan tidak ada yang tersembunyi di depan mata kaum pemberontak. Semuanya seperti telanjang bulat di bawah kaca pembesar, dan kaum pemberontak benar-benar akan menikmati apa yang dikatakan oleh Sun-cu: seratus kali perang seratus kali menang.

Kata Li Giam tenang, "Kau mau percaya atau tidak, aku tidak bisa memaksa. Cuma, kalau kau tidak mau percaya sekarang, aku kuatir kelak kau dan aku sebagai sesama bangsa Han akan menyesal kalau negeri ini sampai terjual oleh Co Hua-sun kepada orang Manchu."

Dengan gusar Helian Kong menyambar sebuah bangku untuk disambitkan sekuat tenaga kepada Li Giam. Tapi Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi dengan gerak yang sama cepatnya telah melompat ke hadapan Li Giam, serempak mengayunkan tangan-tangan mereka yang sekeras besi untuk menangkis dan menghancurkan bangku itu pecah menjadi serpihan-serpihan kayu.

Tanpa memperdulikan tubuhnya yang luka-luka, Helian Kong hendak menerjang Li Giam, tapi dihadang Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi sehingga mereka bertempur beberapa gebrakan.

Li Giam cepat-cepat berdiri dan berseru, "Berhenti! Helian Kong! Benarkah kau rela mempertaruhkan negerimu ke tangan Co Hua-sun, dengan sikap keras kepalamu yang tidak mau melihat kenyataan dan hanya marah-marah saja?"

"Bangsat! Kau membual macam apa lagi?" Teriak Helian Kong, namun toh ia menghentikan serangan dan melompat mundur beberapa langkah. Sebab yang menyebut Li Giam "membual" cuma mulutnya saja, sedang dalam hati ia bisa percaya. Maklum Co Hua-sun, apapun akan berani dilakukannya untuk keuntungan diri sendiri, termasuk menjual negara.

Li Giam sudah duduk kembali, begitu pula Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi kembali menjaga di kedua sisinya sambil menatap waspada ke arah Helian Kong. Setelah Helian Kong kelihatan tenang, Li Giam lalu melanjutkan, "Belakangan ini sikap Kaisar agak berubah, tak lain karena dukungan terbuka dari perwira-perwira yang membenci Co Hua-sun, antara lain kau. Betul tidak?"

Terpaksa Helian Kor.g mengangguk.

"...dan pengaruh Co Hua-sun atas Kaisar juga mengendor, sejak Tiau Kui-hui tidak dipakai lagi oleh Kaisarmu, benar tidak?"

Kepala Helian Kong seperti diguyur air dingin. Urusan itu tersembunyi jauh di balik dinding istana yang berlapis-lapis, Helian Kong sendiri mengetahuinya karena hubungannya dengan Puteri Tiang-ping. Tapi urusan itu bisa memerosotkan martabat dan kehormatan keluarga istana, sehingga Helian Kong sendiri amat merahasiakannya dan sedikit sekali orang di Pak-khia yang tahu.

Tak terduga Li Giam juga mengetahuinya, bahkan agaknya lebih lengkap dari yang diketahui orang-orang pemerintahan. Helian Kong nampak lesu dan duduk dipinggir pembaringan, sedangkan Li Gi-am berkata pula,

"Karena itu, Co Hua-sun mulai bersekongkol dengan Pangeran Seng-ong, adik Kaisar yang lebih lemah dan lebih goblok dari kakaknya. Pangeran Seng-ong dijanjikan akan menjadi Kaisar dengan dukungan Pengeran To Ji-kun, sedangkan wilayah Ho-pak dan Shoa-tang akan diserahkan kepada Kerajaan Ceng sebagai pembayaran atas bantuan mereka."

Helian Kong sudah delapan puluh persen percaya kata-kata Li Giam itu, namun ia masih mencoba membantah, yang lebih tepat kalau disebut hanya ingin menenteramkan hatinya sendiri, "Omong kosong! Kalau benar Co Hua-sun dan Pangeran Seng-ong membuat komplotan seperti itu, tentu teman-temanku dari satuan sandi sudah menciumnya dan berusaha menghancurkannya. Kau bohong. Tentu kau menceritakan ini kepadaku, agar aku mau bergabung denganmu bukan?"

"Memang ya...." sahut Li Giam tanpa tedeng aling-aling. "Tapi yang kukatakan tadi tidak bohong, aku beberkan ini kepadamu karena aku sayangkan dirimu. Kau seorang pandai, berani, setia, tetapi mengabdi di tempat yang keliru. Hidupmu akan terbuang sia-sia seperti sehelai jerami kering diterbangkan angin."

Helian Kong termangu-mangu. Sementara Li Giam tidak lagi mendesaknya, ia ingin membiarkan Helian Kong berpikir lebih mendalam. Maka diapun bangkit dan siap meninggalkan ruangan itu diiringi Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi.

Tiba-tiba di luar ruangan itu terdengar suara langkah yang bergegas dan suara seorang laki-laki, "Apakah Oh Hiangcu ada di dalam?"

Lalu terdengar jawaban si komandan penjaga, "Benar, bersama Li Ciang-kun. Ada apa?"

"Ada merpati pembawa berita dari Pak-khia, isi berita harus secepatnya diketahuinya."

Percakapan itu terdengar sampai di dalam ruangan, sehingga Oh Kui-hou mengerutkan alis. Li Giam pun tahu ada yang lebih mendesak daripada membujuk Helian Kong saja. "Pikirkan baik-baik omonganku. Tapi kalau kau tidak sudi bergabung dengan Joan-ong, setidaknya pikirkan kemungkinan buruk bahwa Co Hua-sun akan memasukkan tentara asing!" Habis berkata demikian, Li Giam bertiga keluar ruangan.

"Huh, sandiwara gombal..." gerutu Helian Kong sendirian setelah ditinggalkan. "Mula-mula Li Giam membujuk aku, terus seorang anak buahnya diluar bersuara berlagak membawa laporan penting, sengaja supaya didengar aku. Tak lain agar aku percaya, lalu mereka peralat untuk kepentingan mereka. Huh, jangan harap!"

Tapi semakin hebat ia berusaha untuk tidak percaya, semakin gelisah hatinya. Makin terasa bahwa usahanya untuk tidak percaya itu hanya usaha menipu diri sendiri, untuk mencari ketenteraman hati yang palsu. "Benarkah Co Hua-sun siap mengundang masuk tentara Manchu?" suatu suara muncul jauh di dasar hatinya.

"Ah, itu tidak gampang...." suara lainnya membantah. "Tentara Manchu tentu harus melewati San-hai-koan, dan penjaga San-hai-koan adalah sobat baikku, Bu Sam-kui. Tidak mudah Tentara Manchu melewati San-hai-koan yang kokoh dan strategis, meskipun seandainya mereka diundang oleh Co Hua-sun. Mudah-mudahan Bu Sam-kui menjalankan tugas sebaik-baiknya."

Tapi alangkah sulit mempersatukan kedua suara hati itu, sehingga perasaannya makin bergolak. Co Hua-sun kelewat licik. Helian Kong tidak mampu terus menerus menghibur diri sendiri sebab taruhannya kelewat mahal, yaitu keselamatan negerinya.

Sementara itu, yang terjadi di luar ruangan itu ternyata bukan sekedar "sandiwara gombal" seperti yang diduga Helian Kong.

Begitu Li Giam bertiga keluar dari ruangan penahanan Helian Kong, mereka disongsong seorang lelaki yang mengesankan gesit dan cerdik. Lelaki itu memberi hormat kepada Li Giam bertiga, dan berkata, "Aku mohon waktu agar dapat bicara dengan Ciangkun bertiga, ada laporan penting dari Pak-khia."

"Kita bicara di ruangan dalam!" kata Li Giam.

Tidak lama kemudian, mereka berempat sudah berada dalam sebuah ruangan tertutup yang masih dalam lingkungan markas itu juga. Si pembawa laporan itu mengeluarkan secarik kertas tipis dan ringan yang nyata kalau bekas digulung. Kertas macam itulah yang biasanya dimasukkan dalam bumbung kecil yang diikatkan di kaki burung merpati pos untuk mengirim berita.

Oh Kui-hou menyambut kertas itu dan hendak diserahkan kepada Li Giam, namun Li Giam berkata, "Kau saja yang baca, saudara Oh."

Oh kui-hou merentang kertas itu dan membacanya bersuara, "Orang-orang kita di Pak-khia dikacaukan musuh yang tidak jelas, banyak yang hilang."

Singkat dan membingungkan, terutama kata-kata "musuh yang tidak jelas" itu. Sedang pengirim pesan itu seorang perempuan, menilik gaya tulisannya, bahkan perempuan istana karena kertas yang digunakan juga tidak sembarangan. Oh Kui-hou tahu siapa perempuan itu.

"Apa maksudnya?" Suara Li Giam mematahkan kesunyian. "Apa maksudnya musuh tidak jelas? Apakah petugas-petugas sandi Kerajaan Beng sudah mencium kegiatan orang-orang kita, lalu membalas membunuhi orang-orang kita?"

"Kemungkinan itu ada, Ciangkun, tetapi kecil sekali. Selama ini aku sudah mengenal sendiri betapa kedodoran cara-kerja petugas-petugas rahasia kerajaan. Dalam hal ketrampilan, kecerdikan, kerapian kerja maupun kesetiaan kepada atasan, mereka sama sekali bukan tandingan kita. Kali ini orang-orang kita mungkin mendapat tandingan dari pihak lain."

"Pihak mana?"

"Tidak ada gunanya menebak-nebak, Ciang-kun. Orang-orang kita di Pak-khia saja masih kebingungan, sehingga mereka menulis "musuh yang tidak jelas" apalagi kita yang berjarak ribuan U dari Pak-khia? Lebih baik Ciang-kun ijinkan aku pergi ke Pak-khia untuk menyelidiki sendiri urusan ini."

Li Giam memahami kecemasan atau keterikatan Oh Kui-hou dalam urusan itu, sama terikatnya seorang petani dengan sawahnya. Memang, jaringan mata-mata Pelangi Kuning di Pak-khia itu Oh Kui-hou sendirilah yang memilih orang-orangnya, menyusupkan, mengatur tempat, membagi tugas, menentukan cara beroperasinya.

Semuanya dengan perhitungan serba cermat yang memakan banyak tenaga pikiran. Semuanya adalah orang- orang terpercaya yang akrab dengan Oh Kui- hou pribadi. Tentu sekarang Oh Kui-hou tidak mau kehilangan jerih payahnya selama bertahun-tahun.

"Baik!" sahut Li Giam yang juga merasa berkepentingan, sebab selama ini keberhasilan militernya didukung oleh laporan-laporan rahasia jaringannya Oh Kui-hou. "Tapi jangan emosional, tetaplah pakai akal sehat. Apa yang masih bisa diselamatkan, kita selamatkan. Apa yang tidak mungkin diselamatkan, saudara Oh, kau tentu tahu apa yang harus kau lakukan. Bukan karena kita kejam, tapi demi kepentingan perjuangan kita secara menyeluruh!"

Oh Kui-hou menarik napas dalam-dalam dengan agak sedih, la tahu arti kata-kata Li Giam itu. Artinya, kalau ada yang tidak mungkin diselamatkan ya harus dibunuh daripada jatuh ke tangan musuh, tidak peduli orang sendiri yang sudah besar jasanya.

Begitulah resiko para mata-mata, jauh lebih berat dari resiko prajurit biasa. Orang-orangnya Oh Kui-hou itupun sudah tahu dan siap menerima resiko itu. Kalau mereka tertangkap musuh, daripada membocorkan rahasia gerakan, mereka sudah siap membunuh diri.

"Pesan Cian-kun aku junjung tinggi ." sahut Oh Kui-hou. "Tapi ijinkanlah aku lebih dulu berusaha menyelamatkan mereka sebisa-bisanya."

Li Giam mengangguk prihatin, "Tentu boleh. Kau kira aku suka kematian mereka? Betapapun mereka adalah saudara-saudara seperjuangan kita. Aku bicara seperti tadi hanyalah apabila mereka membahayakan rahasia gerakan kita."

"Aku paham, Ciang-kun. Kemenangan perjuangan kita haruslah di atas segala-galanya, termasuk di atas dari keselamatan pribadi masing-masing dari kita. Ini aku pahami, dan dipahami pula oleh orang-orangku yang beroperasi di medan."

"Bagus, jangan sampai timbul kesan bahwa aku menganggap remeh nyawa tiap teman-teman seperjuangan. Tapi kita semua sudah sepakat bahwa perjuangan harus menang demi keselamatan tanah air."

"Aku paham."

Saat itulah tiba-tiba Yo Kian-hi berkata, "Ciang-kun, perkenankan aku pergi mendampingi Suheng."

"Baik. Kapan kalian akan berangkat?"

"Nanti malam, agar tidak ada orang melihat keberangkatan kami. Cuma sebelum berangkat, aku ada permohonan kepada Ciang-kun."

"Katakan."

"Tentang urusan kita dengan Helian Kong, ini semacam perjudian, atau pertaruhan."

"Maksud saudara Oh?"

"Kita berusaha meyakinkan Helian Kong tentang komplotan Co Hua-sun, dengan harapan dia dan teman-temannya di Pak-khia akan bangkit mencegah komplotan itu menjual negara leluhur kepada orang Manchu. Usaha itu kita harapkan berhasil, tapi juga tidak boleh menutup mata akan kemungkinan gagal. Seperti dalam judi, kalau menang mengharap menang banyak, tapi kalau harus kalah ya sedikit mungkin, jangan banyak-banyak. Betul tidak?"

Li Giam tersenyum mendengar kata-kata Oh Kui-hou itu, katanya, "Tentu saja. Tapi jelaskan yang kau maksud dengan jangan kalah banyak-banyak itu?"

"Bukannya aku berlagak sok pintar dan menasehati Ciang-kun, tapi hanya mengingatkan. Bisa jadi Helian Kong pura-pura menerima tawaran untuk bekerja sama menggagalkan rencana Co Hua-sun, lalu dia akan tanyakan dimana saja kita tempatkan orang-orang kita di Pak-khia, bagaimana caranya memberi isyarat untuk menghubungi orang-orang kita dan sebagainya. Semuanya itu membahayakan orang-orang kita. Sebab bagaimana pun juga Helian Kong adalah seorang panglima Kerajaan Beng yang setia, berarti musuh kita!"

"Baik, aku kagum akan kecermatan dan kehati-hatianmu, saudara Oh. Tidak percuma aku memilihmu untuk menyusun jaringan mata-mata kita. Jangan kuatir."

"Kalau begitu, kami berdua mohon pamit untuk membuat persiapan sebelum keberangkatan kami nanti malam."

"Silakan."

Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi menyelundup keluar dari Tong-koan di malam hari, agar tidak dilihat siapa pun. Maklum biarpun Tong-koan sudah dikuasai sepenuhnya oleh laskar pemberontak, tetapi di jaman perang itu bukan mustahil kalau di antara laskar pemberontak pun kesusupan mata-mata dari pihak Kerajaan. Mereka berjalan sepanjang malam ke arah timur, menggunakan bintang-bintang sebagai pedoman arah.

Mereka memilih jalan kecil, supaya lebih kecil pula kemungkinan bertemu dengan orang. Ketika matahari sudah mengintip di sebelah timur, mereka seperti dua ekor semut berjalan di antara lipatan-lipatan kulit bumi berbentuk pegunungan yang menghampar dalam warna biru dan hijau, dibungkus warna hijau hutan-hutan liar yang masih dihuni ribuan jenis burung yang bersahut-sahutan riang menyambut siang.

Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi berdandan seperti dua orang pesilat pengembara, terutama Yo Kian-hi yang tadi kelihatan gagah. Pemuda itu memakai pakaian ringkas untuk tubuhnya yang tegap, ikat, pinggangnya dari kulit lebar mengikat jubahnya sehingga bebas dibawa melangkah. Sepasang pedang tebalnya digendong bersilang di punggungnya, dengan gagang-gagang yang mencuat dari belakang sepasang pundak yang kokoh berotot itu.

Sedang kakak seperguruannya bertampang "memelas" karena tubuhnya yang kurus, pendek, pakaiannya yang kelewat sederhana dan dipakai sembarangan saja. Cambuk kulit panjang yang merupakan senjatanya tidak gampang dilihat, sebab dililitkan ringkas di pinggang dan ditutup-tutupi dengan lipatan bajunya yang kedodoran. Orang takkan menyangka bahwa manusia bertampang demikianlah yang selama ini menjadi otak kebocoran rahasia-rahasia militer Kerajaan Beng, bocor dan sampai ke kuping pihak pemberontak.

"Kita cari warung makan dulu..." kata Oh Kui-hou. "Sepagi ini apakah sudah ada warung yang buka?" Tanya adik seperguruannya. "Apalagi di tengah pegunungan seperti ini."

"Ayo kita jalan saja. Ketemu warung atau tidak terserah peruntungan perut kita."

Mereka berjalan terus, menyusuri lembah- lembah dan lereng-lereng di antara pegunungan yang sepi. Sengaja mereka pilih jalan itu, bukan jalan raya yang tentu dirondai oleh pihak-pihak yang berperang. Oh Kui-hou tidak mau urusannya terhambat, ia ingin secepatnya menyelamatkan jaringan mata-matanya di Pak- khia yang menurut pesan kilat itu, "terancam musuh yang tidak jelas" dan kabarnya banyak orang-orang yang lenyap.

Lagipula, dengan melewati jalan pegunungan yang sepi, mereka dapat bebas menggunakan ilmu meringankan tubuh, sekalian latihan. Tak lama kemudian, Oh Kui-hou melihat asap tipis mengepul di kejauhan. "Lihat, sute! di tempat itu ada rumah orang. Mungkin tempat tinggal seorang pemburu atau peladang terpencil."

"Ayolah, mungkin bisa memperoleh makanan yang agak pantas di sana."

Sebetulnya kakak beradik seperguruan itupun membekal ransum kering, tapi di pagi sedingin itu tentu lebih nyaman kalau perut mereka kemasukan bubur hangat atau daging matang yang empuk dan gurih, mungkin juga arak hangat. Karena itulah langkah mereka tambah bergegas, dipacu rasa lapar mereka.

Namun setelah tahu tempat macam apa yang mengepulkan asap itu, mereka tak berani lagi mengharap daging atau arak, sebab itulah sebuah wihara di tempat terpencil di lereng pegunungan. Hubungan dengan dunia luar hanyalah sebuah jalan setapak yang menjulur menghilang ujungnya di kaki pegunungan sana. Begitu terpencilnya tempat itu, sampai papan namanyapun tidak ada.

Tapi jelas ada orangnya, sebab ketika Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi mendekat, dari sebelah dalam terdengar geme-ramang para hwesio sedang sembahyang pagi, seperti lagu bernada rendah, diiringi bunyi ketukan bok-hi (kentungan kayu kecil berbentuk ikan).

Suasana jadi terasa khidmat, jauh dari hiruk-pikuknya pertikaian yang tengah merebak di segala pelosok. Pintu depan kuil itu juga terpentang lebar, seperti sepasang tangan yang siap menerima siapa saja dengan penuh persahabatan.

Ketika suara doa berhenti, belasan hwesio yang jubahnya sudah dekil-dekil semua, keluar dari aula sembahyang. Ketika mereka melihat Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi terdiri di luar pintu, salah satu hwesio mendekati mereka, lalu menyapa dengan ramah sambil merangkap sepasang telapak tangan di depan dada,

"Apakah tuan-tuan juga bermaksud meneduh di kuil kami ini?" Kata "juga" di tengah kalimat itu menandakan kalau di kuil itu rupanya juga ada orang berteduh lainnya.

Oh Kui-hou membalas hormat dengan cara yang sama dan menyahut, "Maaf kalau kami jadi merepotkan para Suhu di tempat ini. Kami tidak akan menginap, cuma kalau diperbolehkan hanya ingin mendapat makanan sekedarnya sebelum menempuh perjalanan."

"Silakan..." Hwesio itu minggir dari pintu sambil merentang sebelah tangannya. Tapi alisnya sedikit berkerut ketika melihat sepasang pedang yang gagangnya mencuat dari belakang pundak Yo Kian-hi. Pedang, lambang kekerasan, jadi terasa sebagai benda amat asing yang mengusik kebekuan suci di tempat itu.

Hwesio itu mengantar lewat halaman samping menuju ke dapur. Di halaman samping nampak dua ekor keledai beban tertambat di pohon, di dekatnya ada setumpukan kotak-kotak kayu. Tak tertahan Oh Kui-hou bertanya, "Siapa tamu sebelum kami?"

Sebelum menjawab, kembali hwesio itu dengan sorot mata kekuatiran melirik ke gagang pedang di punggung Yo Kian-hi, dan suaranya senada dengan jawabannya, "Cuma dua pedagang obat-obatan keliling, miskin dan lemah, percuma merampok orang seperti mereka."

Rupanya hwesio itu menyangka kakak beradik seperguruan itu sebagai orang-orang jahat, maka lebih dulu diberi tahu kalau tamu lainnya miskin, permintaan terselubung agar mereka jangan dirampok.

Oh Kui-hou tertawa, "Suhu, kami bukan dari kalangan rimba hijau kami justru sering menentang mereka kalau mereka mengganggu orang lemah."

"Jadi tuan-tuan ini termasuk pendekar jalan putih, begitukah?"

"Yah, semacam itulah."

Suara Oh Kui-hou menimbulkan kepercayaan hweshio itu, sehingga ia agak lega. Mereka kemudian tiba di sebuah ruang yang salah satu sisinya terbuka tanpa dinding menghadap halaman samping, letak ruangan itu berdampingan dengan dapur. Di bawah emperannya bertumpuk-tumpuk kayu bakar, keranjang arang, jerami, keranjang sayur dan sebagainya. Kesan kesederhanaan terasa kuat sekali di tempat itu.

Di ruang yang dituju ada meja panjang dari kayu kasar, begitu pula bangku-bangkunya. Itulah ruang makan. Tidak ada hwesio sedang makan di situ, semuanya masih sibuk dengan tugas rutin masing-masing. Tapi di meja itu sedang makan dua orang, yang agaknya adalah pedagang keliling obat-obatan, seperti tadi dikatakan oleh si hwesio pengantar.

Yang tua kira-kira tiga puluh lima, berdandan sebagai saudagar kelas menengah. Oh Kui-hou diam-diam menilai bahwa tampang orang itu terlalu tidak cocok sebagai saudagar keliling. Tubuh di balik pakaian longgar itu terlalu tegap, kulitnya terlalu putih untuk orang yang tiap hari berjalan di bawah cahaya matahari. Dan yang paling menarik adalah matanya yang terlalu tajam dan sikapnya yang terlalu tenang.

Semua yang "serba terlalu" itu barang kali takkan menarik perhatian orang biasa. Namun buat Oh Kui-hou yang terlalu kenyang pengalaman di kalangan telik sandi, yang terlihat biasa di mata orang lain akan terlihat istimewa di mata Oh Kui-hou. Begitu juga orang yang lebih muda, yang rupanya berusaha keras agar dirinya dikira sebagai kacung si saudagar. Usianya sebaya Yo Kian-hi, kulitnya juga terlalu bersih, benar-benar tidak cocok dengan pakaian lusuh dan kasar yang dikenakannya.

Kedua orang itu tengah makan bubur berlauk sayur rebung ketika Oh Kui-hou berdua masuk ke ruangan itu. Si saudagar keliling mengangguk ramah kepada Oh Kui-hou berdua, sedang "kacung"nya tetap menunduk menyantap bubur hangatnya.

Oh Kui-hou berdua mengambil tempat duduk berseberangan meja dengan kedua orang itu, sementara si hwesio pengantar pergi ke dapur setelah lebih dulu berkata kepada Oh Kui-hou berdua,

"Silakan duduk, tuan-tuan. Sebentar lagi makanan akan diantar, mohon dimaafkan kalau makanannya begitu sederhana karena tempat Ini memang bukan warung."

Oh Kui-hou menjawab hormat, "Kami sudah amat berterima kasih apa yang dihidangkan karena kemurahan hati para Suhu di sini, mana berani kami masih hendak mengecam?"

Hweshio itu mengangguk puas, agaknya dua tamu yang datang pagi inipun cukup sopan, seperti dua tamu yang datang sebelumnya. Lalu hwesio itu melang kah ke dapur.

Setelah hwesio itu pergi, mendadak si saudagar keliling bertanya dengan ramah, "Tuan-tuan ini datang dari mana, dan bertujuan ke mana?"

Sama ramahnya Oh Kui-hou menjawab, "Kami pengembara biasa yang berjalan tak tentu tujuan, sekedar mencari pengalaman."

Saudagar keliling itu tersenyum dan mengangguk-angguk. Menilik seringnya tersenyum dan sikap ramahnya, memang cocok kalau mengaku sebagai saudagar keliling. Kata orang itu pula, "Jaman sekarang situasinya kacau di mana-mana, apakah tuan-tuan tidak kuatir melakukan perjalanan ini?"

"Ah kami hanya pengembara-pengembara melarat yang tidak punya apa-apa, siapa akan merampok kami? Kurasa justru tuan-tuanlah yang harus kuatir, bukankah tuan adalah saudagar keliling yang sedikit banyak memberi kesan banyak duit?"

"Ah, itupun tidak kukuatirkan. Pihak manapun yang sedang berperang di kawasan ini, kalau mau merampokku ya silakan, harta bendaku tidak banyak kok. Tapi kukira mereka pasti lebih mengincar sasaran-sasaran yang lebih gemuk daripadaku."

Kata-kata "pihak yang sedang berperang" itu mengusik perhatian Oh Kui-hou. Tanya Oh Kui-hou hati-hati, "Kalau sasarannya kelihatan gemuk, apakah akan diganggu oleh pihak-pihak yang berperang?"

"Jelas. Kedua pihak yang berperang sama-sama seperti kerasukan setan. Prajurit kerajaan yang mengaku penegak hukum dan pelindung rakyat, bertingkah seperti garong, merampas dan menangkap orang semau-maunya."

Mendengar saudagar ini bicara sampai disini, wajah Oh Kui-hou tetap dingin saja, tidak mau memperlihatkan bagaimana tanggapannya. Sebaliknya Yo Kian-hi yang masih sedikit pengalaman, tak tertahan air mukanya menunjukkan kegembiraan ketika mendengar saudagar itu menjelek-jelekkan tentara kerajaan. Perubahan wajah Yo Kian-hi itu tidak lepas dari pengamatan si saudagar keliling dan "kacung"nya.

Kemudian si saudagar keliling meneruskan kata-katanya,".....sedang pengikut Li Cu-seng yang mengaku memperjuangkan nasib rakyat, ternyata juga hanya mengumbar nafsu balas dendam dan kebencian. Mereka anggap setiap orang kaya pasti jahat, lalu mereka gantung semaunya. Kukira antara tentara kerajaan dan laskar pemberontak itu sama saja, seperti dua ekor anjing berebutan tul...."

Kata-kata itu terputus karena Yo Kian-hi mendadak menggebrak meja dengan gusar, sambil berkata keras, "Omong kosong! Joan-ong sepenuhnya berjuang demi kepentingan kaum tertindas yang selama ini diperlakukan sewenang-wenang! Joan-ong tidak bisa disamakan dengan prajurit-prajurit rakus itu!"

Oh Kui-hou yang berperasaan tajam itu diam-diam mengeluh dalam hati, tahu kalau adik seperguruannya yang berangasan itu sudah terpancing oleh kata-kata si saudagar keliling. Terpancing untuk menunjukkan sikap di pihak mana mereka berdiri. Cepat-cepat tangan Oh Kui-hou di bawah meja meremas keras paha Yo Kian-hi sebagai isyarat.

Sementara wajahnya memperlihatkan ketenangan ketika berkata, "Sute, yang dikatakan oleh tuan itu memang benar, di jaman sekeruh ini memang banyak orang yang memanfaatkan situasi untuk bertindak semaunya."

Yo Kian-hi sadar bahwa ia telah terpancing. Buru-buru ia mengatur sikapnya untuk menutupij sikap emosionalnya tadi. "Oh, iya...maaf...maaf...."

Namun perubahan sikap yang serba kedodoran itu sudah tentu makin memperjelas siapa dirinya. Hal ini dicatat diam-diam oleh saudagar keliling itu dalam hati. Kemudian seorang hwesio datang mengantarkan dua mangkuk bubur hangat, dua mangkuk sayur rebung dan dua mangkuk teh untuk Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi. Bertepatan saatnya dengan selesainya si saudagar keliling dan pengiringnya itu selesai makan.

Mereka bangkit sambil merapikan pakaian mereka di bagian tengkuk. Leher baju di bagian itu ditarik-tarik ke atas, seolah-olah di tengkuk mereka ada panu atau kurap yang malu dilihat orang dan ingin ditutup-tutupi. Ketika si saudagar keliling sadar bahwa kelakuannya dilirik Oh Kui-hou, dia tertawa dan berkata, "Dingin sekali pagi ini, hampir beku rasanya darahku."

Setelah itu, ia berkata dengan hormat sambil melangkah keluar, 'Tuan-tuan, aku berangkat dulu."

Oh Kui-hou membalas dengan anggukan hormat, sedang Yo Kian-hi cuma menyeringai. Di halaman samping, saudagar keliling dan pembantunya itu menaikkan kotak-kotak obat dagangan mereka ke punggung keledai dan mengikatkan kuat-kuat. Setelah berpamitan kepada para hwe-sio, merekapun menuntun keladai-keledai mereka meninggalkan biara.

Tiba di luar, saudagar keliling itu tiba-tiba menoleh kepada pembantunya dan bertanya, "Bagaimana pendapatmu, sute?"

Ternyata saudagar keliling itu memanggil "kacung"nya dengan sute, adik seperguruan. "Mereka bukan pengembara-pengembara biasa, mereka pasti orang-orangnya Li Cu-seng yang sedang menyamar, kalau mereka menuju ke arah timur, mungkin mereka akan menyelidiki hilangnya orang-orang mereka di Pak-khia."

"Aku sependapat denganmu, sute. Memang orang yang lebih tua dan bertubuh pendek kurus itu berusaha menyembunyikan dirinya, tapi yang lebih muda agaknya lebih berangasan dan gampang kupancing dengan kata-kataku tadi. He-he-he... kasihan juga si pendek kurus itu yang berusaha menutup-nutupi."

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.