Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 14

Cerita silat Mandarin Serial Helian Kong seri pertama, kembang jelita peruntuh tahta jilid 14 karya Stevanus S.P

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 14

"Tapi, tidakkah suheng (kakak seperguruan) merasa bahwa si pendek kurus itu seakan-akan juga meneliti kita dengan tatapannya yang tajam? Mungkinkah dia percaya bahwa kita hanyalah saudagar keliling dan seorang kacungnya?"

"Kalau kita mencurigai mereka dan mereka mencurigai kita, berarti permainan kucing dan tikus sudah dimulai."

"Siapa jadi kucing dan siapa jadi tikus?"

"Peranan kucing dan tikus bisa berubah dalam sekejap kalau kita membuat kesalahan langkah. Tapi, sudah tentu aku ingin kitalah kucingnya dan merekalah tikusnya."

"Jadi?"

"Kita jalan sampai ke persimpangan di bawah bukit, lalu bersembunyi di sana. Kalau mereka lewat, kita buntuti mereka diam-diam."

"Apakah benar mereka orang-orang yang cukup penting untuk menyita waktu, tenaga dan pikiran kita?"

"Aku menduga begitu. Kalau cuma kaum keroco pengikut Joan-ong, sepak terjangnya pasti serba kasar, namun si kurus pendek tadi kelihatan dingin, terkendali, dan aku yakin ilmu silatnya mungkin tidak di bawah aku."

Si "kacung" mengangguk-angguk, "Kalau mereka tidak lewat persimpangan di kaki bukit itu bagaimana? Bukankah akan sia-sia kita menunggu di sana?"

"Itulah jalan satu-satunya meninggalkan tempat ini ke arah timur. Mereka pasti lewat sana..."

Sementara itu, Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi menghabiskan makanan mereka tanpa banyak bicara, lalu pergi ke aula untuk menghormati Buddha, meninggalkan uang derma untuk perawatan Wihara, mengucap terima kasih kepada para hwe-shio, lalu melanjutkan perjalanan ke arah timur, ke Pak-khia.

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

Tempat terpencil penuh kedamaian itupun mereka tinggalkan, menuju kembali ke kancah kemelut untuk memusuhi dan dimusuhi. Sambil berjalan menjauhi wihara, Oh Kui-hou berkata kepada Yo Kian-hi dengan nada menggerutu,

"Sute, kalau kau tidak bisa mengendalikan emosimu, pastilah dalam perjalanan ini kau hanya akan membuat repot aku, bukan meringankan bebanku."

Yo Kian-hi tahu suhengnya jengkel karena sikapnya di hadapan saudagar keliling tadi. Katanya, setengah mengaku salah tapi juga setengah membela diri, "Ya, aku memang kurang dapat mengendalikan perasaan, lain kali pastilah aku berusaha lebih menahan diri. Tapi sikapku tadi karena aku tidak tahan mendengar saudagar keliling itu hampir-hampir menyamakan Joan-ong dengan pemerintahan bobrok, hampir ia berkata bahwa antara kita dan budak-budak busuk pemerintah itu sebagai dua anjing berebut tulang. Perjuangan Joan-ong begitu mulia, mana bisa disamakan dengan pemerintah korup sekarang ini?"

"Nah, lihat, emosimu sudah keluar lagi...." tegur Oh Kui-hou. "Sudah tentu akupun tidak rela orang mencaci Joan-ong. Tapi ingat, tugas kita kali ini adalah tugas sandi, harus tetap terselubung, tidak boleh menarik perhatian orang! Kita tidak boleh terpancing oleh omongan orang! Kalau mendengar orang mencaci-maki Joan-ong, kalau perlu kita harus ikut mencaci maki, supaya orang tidak tahu siapa kita!"

Yo Kian-hi garuk-garuk kepala, "Tapi... yang tadi itu tidak apa-apa kan? Orang tadi kan cuma saudagar keliling yang bersama kacungnya yang tidak tahu apa-apa. Hi-hi-hi..."

"Jangan membiasakan melihat orang seperti kelihatannya saja," kata Oh Kui-hou. "Aku justru tidak percaya kalau kedua orang tadi hanyalah pedagang obat keliling dan kacungnya, mereka terlalu tidak cocok tampangnya. Apalagi si saudagar itu, nampaknya ia sengaja memancing terus dengan halus."

Yo Kian-hi terkesiap kaget, "Jadi, menurut suheng mereka itu juga mata-mata seperti kita? Dari pihak mana?"

"Pasti dari pihak Kerajaan, dari mana lagi kalau bukan dari sana?"

"Sute, jangan setolol itu. Jangan terlalu menyederhanakan persoalan. Dalam kemelut sekarang ini, memang pihak yang terlibat langsung dalam konfrontasi terbuka hanyalah pihak kita melawan pihak Kerajaan. Tapi ada banyak pihak, entah dari mana saja, yang ikut campur tangan secara tidak langsung untuk mengambil keuntungan bagi pihaknya sendiri-sendiri. Misalnya pihak Manchu, sedang dari pihak kita sendiri juga ada Jenderal Gu Kim-sing yang selalu tidak sepaham dengan Jenderal Li. Terlalu banyak pihak terlibat dan saling membelit, jadi jangan gegabah menentukan."

Kembali Yo Kian-hi garuk-garuk kepala. Selama ini tak terpikir kalau yang terjadi "di bawah permukaan" itu ternyata begitu rumit. Sedang tadinya ia hanya tahu angkat senjata maju ke medan laga membela panji-panji Joan-ong.


Beberapa hari kemudian mereka tiba di kota Han-tiong. Kota itu belum termasuk garis depan yang langsung menghadapi laskar pemberontak, belum seperti Hun-ciu atau Thai-goan misalnya, tetapi di kota Han-tiong pun nampak kesiagaan tinggi dari pasukan kerajaan. Di sekitar kota nampak kemah-kemah kaum pengungsi yang tidak diijinkan masuk kota karena bisa mengganggu ketertiban.

Di sekitar kota juga bertebaran pos-pos keamanan berkekuatan cukup, untuk memeriksa orang-orang lewat, ditambah regu-regu peronda yang hilir mudik. Melengkapi suasana perang itu, di atas tembok kota nampak prajurit-prajurit bersiaga. Panah, lembing, batu besar dan potongan-potongan balok kayu ditimbun dalam jumlah besar di atas tembok kota, untuk berjaga kalau pemberontak menyerbu.

Supaya dapat memasuki kota, Oh Kui-hou mengaku sebagai seorang guru silat yang sedang bepergian menengok familinya yang sakit. Tapi ia hampir-hampir tidak diijinkan lewat. Untung Oh Kui-hou punya semacam "surat jalan" yang berlaku kapan saja dan dimana saja, yaitu uang. Maka lewatlah dia dan Yo Kian-hi.

Merekapun masuk ke kota Han-tiong. Kota tidak nampak berubah dengan ketika Oh kui-hou melewatinya beberapa bulan yang lalu. Yang nampak berubah hanya suasananya, kini nampak lebih banyak prajurit bersenjata lengkap hilir mudik di jalanan, mengawasi orang-orang yang berlalu lalang dengan tatapan curiga.

"Kita punya orang-orang di sini....." bisik Oh Kui-hou kepada Yo Kian-hi sambil melangkah. "Berita-berita dari Pak-khia, sebelum sampai ke tanganku tentu lebih dulu melewati tangan orang-orang kita di kota ini. Setidak-tidaknya ganti kuda atau burung merpati surat."

Yo Kian-hi mengangguk-angguk. Kakak beradik seperguruan itu berjalan di antara sibuknya lalu lintas kota, tanpa merasa bahwa di belakang mereka, berjarak puluhan langkah, juga berjalan si saudagar keliling yang menuntun keledai bermuatan kotak-kotak kayu, serta "kacung"nya yang juga menuntun keledai pula.

Tengah Oh Kui-hou berdua melangkah santai, tiba-tiba dari sebuah lapangan yang agak menjorok jauh dari jalan raya, terdengar suara tetabuhan yang biasa sebagai pengiring pertunjukan wayang potehi, boneka kayu dan kain yang untuk menjalankannya dimasuki tangan da langnya. Segera banyak orang yang berbelok langkah karena tertarik, sehingga terbentuklah arus manusia ke arah lapangan kecil itu.

Oh Kui-hou pun segera ikut membelokan langkah, sambil berkata singkat kepada Yo Kian-hi, "Kita lihat."

Yo Kian-hi heran. Selagi ada urusan penting, kenapa suhengnya tiba-tiba malah tertarik untuk nonton wayang potehi? Tapi ia tak sempat bertanya dan ikut saja.

Di lapangan yang tidak luas itu, berdiri sebuah panggung wayang potehi yang tertutup rapat, tidak sedang ada pertunjukan. Bunyi gembreng dan tambur tadi hanyalah untuk menarik perhatian orang banyak ke arah seorang lelaki yang berdiri di atas sebuah kotak kayu besar, agaknya ingin mengumumkan sesuatu.

Setelah kerumunan orang terbentuk, tetabuhan pun berhenti, dan lelaki di atas tong itupun berkata nyaring, "Tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang terhormat, saudara-saudara sekalian, adik-adik semuanya! Kunjungilah pertunjukan kami nanti sore, akan kami sajikan lakon yang menarik! Itulah lakon Kaisar Beng-ong dari dinasti Tong, seorang Kaisar yang tolol dalam mengurus pemerintahannya, karena hidupnya hanya dihabiskan untuk berfoya-foya dengan si cantik Nyo Gi-ok-goan! Saksikanlah lakon An Lok-san berontak dan merobohkan Kaisar Bengong! Jangan salah paham saudara-saudara, nama Beng-ong memang tertulis dalam sejarah dinasti Tong, tidak bermaksud menyindir Kaisar yang manapun juga!"

Gemuruhlah suara tertawa orang-orang yang berkerumun di situ. Biarpun orang yang berdiri di atas kotak kayu itu berulang kali menjelaskan kalau pihaknya "tidak menyindir siapa-siapa," namun penjelasannya itu malahan merupakan sindiran pula. Nama Kaisar Bengong memang ada dalam sejarah Dinasti Tong, dan huruf "Beng"nya langsung dihubungkan dengan nama Dinasti yang berkuasa saat itu, Dinasti Beng, biarpun menuliskan hurufnya berbeda.

Sedang kelakuan Kaisar Cong-ceng saat itu tak ubahnya kelakuan Kaisar Beng-ong berabad-abad sebelumnya, gila perempuan sehingga pemerintahannya kacau. Kalau dulu ada pemberontakan An Lok-san, sekarang ada Li Cu- seng. Jadi ucapan "tidak menyindir siapa-siapa" itu malahan seperti "mengingatkan" orang akan banyak kesamaan antara Kaisar Beng-ong dan Kaisar Cong-ceng.

Oh Kui-hou di tengah-tengah kerumunan itupun menahan senyumnya sambil geleng-geleng kepala, pikirnya, "Memang lihai mulut si Giam Lui ini."

Sementara orang yang berdiri di atas kotak kayu itu kembali berteriak nyaring, "Karena itu, saudara-saudara sekalian, datanglah nanti malam beramai-ramai menonton pertunjukan kami! Jangan takut, sebab kami adalah abdi-abdi kesenian yang tulus ikhlas tanpa bermaksud menyindir."

Belum habis kata-kata itu, kembali orang-orang tertawa keras, sehingga orang di atas tong itu harus menunggu sampai reda kembali baru melanjutkan,

"Nanti malam kunjungilah kami! Ajak sanak keluargamu, tetangga-tetanggamu, siapa saja yang belum mendengar pemberitahuan ini! Tontonannya dijamin seru!"

Ternyata serunya tidak perlu menunggu sampai malam, saat itu juga sudah seru. Sebab sepasukan prajurit tiba-tiba menyerbu dari pinggir lapangan ke arah kerumunan orang-orang itu. Orang-orang dihalau dengan jotosan, tendangan, gebukan gagang tombak dan bentakan-bentakan bengis.

"Bubar! Bubar!" Bentak komandan regu itu.

Orang-orangpun bubar tak keruan arahnya, perempuan-perempuan dan anak-anak menjerit-jerit ketakutan. Tidak sedikit yang jidatnya benjol, giginya rontok, atau roboh dan terinjak-injak.

Yo Kian-hi gusar melihat tingkah prajurit- prajurit itu) "Sungguh sewenang-wenang anjing-anjing Kaisar itu terhadap rakyat yang tak bersalah!"

Sambil menggeram demikian, ia sudah mengepal tinjunya dan siap menghajar prajurit-prajurit galak itu. Tapi Oh Kui-hou buru-buru memegang lengannya untuk mencegah, sambil berbisik, "Jangan muncul di kota penuh tentara ini, sama dengan bunuh diri. Lebih baik menyingkir."

"Tapi anak wayang itu akan...."

"Aku kenal mereka, mereka akan dapat meloloskan diri lebih baik dari kita."

Yo Kian-hi tak kuasa membantah kakak seperguruannya itu. Mereka segera ikut lari bersama-sama orang yang ketakutan itu. Yang dituju oleh para prajurit ternyata adalah rombongan wayang potehi itu. Teriak komandan pasukan, "Tangkap anggota rombongan wayang itu, mereka menghina Kaisar!"

Namun yang hendak ditangkap sudah kabur semua, membaurkan diri dengan keributan, meninggalkan panggung wayang serta perabotannya yang tak sempat dibawa lari.

"Bakar habis! Biar jadi pelajaran keras buat penghasut-penghasut yang berkedok seniman atau apa saja!" Perintah si komandan.

Maka panggung dan perabotnyapun segera jadi kobaran api raksasa. Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi bersembunyi tidak jauh dari lapangan itu, di sebuah lorong sempit. Melihat sepak terjang para prajurit itu, Yo Kian-hi tersenyum sinis dan berkata,

"Anjing-anjing Kaisar itu rupanya tahu kalau majikan mereka disindir dengan kisah kaisar Bengong!"

"Tapi kasihan Giam Lo-ji (Giam Kedua), peralatan wayangnya habis dibakar."

"Siapa itu Giam Lo-ji?"

"Orang yang berteriak-teriak tadi, dia orang kita."

"Oh, begitu? Tapi ada hasilnya juga. Ia memancing tentara untuk bertindak keras, dengan demikian menghasilkan pandangan buruk dari rakyat kota Han-tiong. Dia mempersiapkan rakyat kota ini untuk menyambut iaskar Joan-ong kelak!"

"Benar."

"Sekarang kemana dia?"

"Mungkin sekali lari ke warungnya Giam Lo-toa (Giam ke Satu), kakaknya. Ayo kita juga ke sana."

Jalan-jalan maupun gang-gang di sekitar lapangan itu jadi agak sepi sehabis keributan. Namun Oh Kui-hou yang cukup hapal jalan di sekitar Han-tiong mencari jalan lain ke warung Giam Lo-toa. Ternyata di bagian kota yang lain, semuanya berjalan seperti biasa, tidak terpengaruh oleh keributan di salah satu bagian kota tadi.

Warung Giam Lo-toa letaknya justru tepat berseberangan dengan tangsi tentara utama di Han-tiong, tidak heran kalau warungnya dipenuhi oleh prajurit-prajurit yang sedang tidak bertugas, mereka ngobrol dan minum arak dengan bebas di situ, dengan pakaian seragam yang acak-acakan. Maka setibanya di depan warung itu, Oh Kui-hou danYo Kian-hi jadi ragu-ragu untuk masuk.

Selagi begitu, tiba-tiba Giam Lo-toa atau Giam Hong yang berjenggot seperti kambing itupun melangkah keluar dan berkata dengan ramah, "Masuklah, tuan-tuan. Di dalam masih ada tempat."

Itulah "lampu hijau" untuk Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi. Mereka masuk melewati meja prajurit-prajurit yang tengah makan minum tanpa menggubris mereka berdua. Oleh Giam Hong malahan mereka dibawa langsung ke sebuah kamar tertutup di bagian belakang warung.

Setelah menutup pintu, bertanyalah Giam Hong dengan tegang, "Hiang-cu, ada urusan mendesakkah sehingga datang sendiri ke mari?"

Oh Kui-hou tertawa untuk menghilangkan ketegangan Giam Hong, la malahan balik bertanya, "Baru saja di lapangan dekat pintu barat kota, kulihat adikmu diuber-uber anjing-anjing Kaisar, apakah dia tidak kemari?"

Giam Hong tertawa terkekeh, "Adikku dijuluki si Belut, tidak gampang untuk menangkap dia. Sekarang dia sudah sembunyi di gudang kayu bakar di belakang."

"Dan anggota-anggota rombongannya?"

"Berpencar dan bersembunyi, pokoknya aman semua."

Oh Kui-hou pun tertawa, "Lihai mulutnya, selain berhasil menimbulkan ketidak-senangan penduduk terhadap pemerintah kerajaan, dia juga berhasil memancing kemarahan para prajurit. Aku yakin apa yang telah dihasilkannya tidak kecil artinya bagi perjuangan Joan-ong!"

"Mudah-mudahan. Sekarang Hiang-cu kemari, apakah ada pesan dari jenderal Li"

"Tidak, kami sedang menuju ke Pak-khia. Apakah pesan-pesan dari Pak-khia masih lancar sampai kemari?"

"Inilah yang membingungkan. Orang-orang kita di Pak-khia tiba-tiba kacau kerjanya, banyak di antara mereka bahkan hilang lenyap tanpa jejak. Kukirim orang dari sini untuk melihat keadaan di Pak-khia, malah orang-orangku pun ikut hilang. Aku jadi bingung."

"Mungkinkah gerak-gerik orang-orang kita di Pak-khia sudah tercium oleh anjing-anjingnya Kaisar?" Tanya Oh Kui-hou. "Ada tanda-tanda ke arah itu?"

"Aku tidak berani memastikan, hanya menduga-duga...." sahut Giam Hong.

"Kalau gerak-gerik kita sudah diketahui tentara Kerajaan, tentu sarang-sarang kita di sepanjang jalur Hun-ciu ke Pak-khia sudah digrebek semua, tapi nyatanya tidak. Pasukan kerajaan seperti digerakkan pihak lain, diberi tahu, baru bertindak. Pasukan Kerajaan hanya seperti diperalat, sementara otak yang sebenarnya masih tertutup di belakang layar."

"Kita ketemu lawan berat yang belum tahu dari pihak mana...." Oh Kui-hou menarik napas. "Selama ini kita hanya berhadapan dengan begundal-begundal tolol pemerintah kerajaan, yang gampang kita permainkan, namun sekarang muncul lawan yang benar-benar rapi kerjanya, sehingga orang-orang kita yang belum siap lalu jadi kebingungan."

"Untuk inikah Hiang-cu berdua hendak ke Pak-khia?"

"Ya."

Ketika itulah pintu diketuk, ketika dibukakan oleh Giam Hong, masuklah lelaki yang di lapangan tadi bicara kepada banyak orang dengan berdiri di atas tong kayu. Begitu masuk, langsung ia memberi hormat kepada Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi.

Sambil tertawa Oh Kui-hou menyambutnya, "Nah, bangkrut sekarang rombongan wayangmu, mau main pakai apa?"

Giam Lui, si "belut", itu menyeringai sambil menjawab, "Tugas utamaku bukan sebagai dalang, tapi menyiapkan penduduk kota ini untuk menyambut Joan-ong sebagai pembebas mereka. Kalau penduduk sudah siap, Joan-ong akan mengambil kota ini sama gampangnya ketika mengambil Tong-koan dulu. Biarpun anjing-anjing Kaisar mempertahankan mati-matian, namun rakyat akan membuka pintu kota untuk kita!"

"Sejauh mana hasilnya?"

"Lakon-lakon wayangku berbasil membakar semangat rakyat untuk melepaskan diri dari kebobrokan pemerintahan kerajaan, biarpun yang kupentaskan selalu mengambil sejarah dari dinasti lain. Tapi sayang juga, lakon Kaisar Beng-ong terbuai kecantikan Nyo Giok-goan sehingga negara direbut An Lok,-san, tak sempat kupentaskan."

"Giam Loji, sebaiknya untuk sementara kau bersembunyi dulu, jangan-muncul di hadapan umum. Memang kau tidak takut, tapi kalau sampai tertangkap kan menyusahkan teman-teman seperjuangan lainnya?"

"Hiang-cu jangan kuatir. Kalau aku tertangkap, daripada buka mulut menunjukkan teman-temanku, aku lebih suka mati!"

"Semangatmu mengagumkan, tapi kalau masih bisa hidup ya tidak perlu cari mati untuk disebut pahlawan. Pergilah ke Tong-koan dan bilang kepada Jenderal Li bahwa aku yang menyuruhmu. Perjuangan Joan-ong memang harus menang, tetapi korban di pihak kita juga harus sejauh-jauhnya dihindari. Tugas-tugas di tempat lain masih menunggumu, Giam Loji."

Giam Hong yang juga mencemaskan nasib adiknya, ikut mendorong, "Dik, kata-kata Oh Hiang-cu cukup beralasan, turuti sajalah. Joan-ong membutuhkan dukungan orang-orang hidup, bukan orang-orang mati."

Akhirnya Giam Lui mengangguk puas, tanyanya kemudian kepada Giam Hong, "Giam Lotoa, dulu kau kutugaskan mencatat keadaan kota ini, terutama yang bersangkut paut dengan segi militernya. Nah, bagaimana?"

Giam Hong bangkit menuju ke sebuah lemari besar di sudut kamar, dari dalam lemari ia keluarkan sebuah buku besar, lalu dibawanya untuk diletakkan di depan Oh Kui-hou. "Banyak keterangan yang berhasil kupancing dari perwira-perwira yang mabuk dan banyak ngebon di warungku, maupun yang diam-diam kuselidiki sendiri. Karena begitu banyak, aku kuatir otakku tak sanggup mengingatnya semua, maka kucatat di buku ini."

Oh Kui-hou membalik-balik halaman-halaman buku itu sambil lalu, dan Yo Kian-hi menjulurkan leher untuk ikut melihatnya. Ternyata di buku itu tercatat denah kota Han-tiong, lengkap dengan letak tangsi-tangsi tentara, parit-parit yang bisa dilalui orang, dilengkapi catatan jumlah prajurit, jam-jam pergantian jaga, tempat-tempat peronda, hubungan antara pos-pos penting dan sebagainya.

"Kata Suncu : tahu musuh seperti tahu diri sendiri, seratus kali bertempur akan seratus kali menang pula...."

Oh Kui-hou tersenyum sambil menutup kitab itu, lalu didorong ke arah Giam Lui, "Dengan mengantongi ini, sebenarnya Jenderal Li sudah mengantongi kota Han-tiong. Giam Loji, kalau nanti malam kau ke Tong-koan, serahkan catatan-catatan ini kepada Jenderal Li."

Giam Lui menerima buku itu dan memasukannya ke dalam baju. Dengan sikap lega Oh Kui-hou menyandarkan punggungnya di kursi, katanya memuji, "Kerja kalian di Han-tiong bagus sekali. Giam Lotoa berhasil membuat catatan-catatan kemiliteran penting, sedang Loji berhasil menyiapkan penduduk kota ini untuk bersimpati kepada Joan-ong. Aku yakin Losam (si ketiga) juga menghasilkan yang sama baiknya dengan kalian. Kini tinggal kubereskan urusan di Pak-khia."

"Apa Hiangcu perlu beberapa orang-orangku di sini?"

"Tidak. Biar tiap kelompok bekerja sebaik-baiknya di wilayah kerja masing-masing. Urusan di Pak-khia itu kalau terlalu banyak yang mengurusnya, malah akan menimbulkan gerakan yang mencurigakan pihak lain. Cukup kami berdua."

"Siapa kira-kira yang menjahili kita?"

"Kalau aku sudah tahu, tentu tidak akan susah-susah pergi ke Pak-khia."

Begitulah, sementara mereka berempat berbicara di ruang belakang, maka di ruang depan yang dijadikan warung, telah datang dua orang tamu. Masing-masing menuntun seekor keledai beban bermuatan kotak-kotak kayu. Mereka mengikatkan keledai-keledai dipatok kayu di muka warung, lalu mengangkat kotak-kotak kayu mereka dan melangkah masuk dengan wajah ramah, wajah pedagang. Prajurit-prajurit yang sedang makan minum di warung itupun tidak menggubris kedua orang bertampang saudagar keliling dan kacungnya itu.

Seorang pegawai warung mendekati dan menanyai kedua tamu itu, pedagang itu memesan makanan dan minuman yang agak murah. Kemudian mereka membetul-betulkan leher bajunya di bagian tengkuk, meninggikan leher bajunya untuk menutupi leher belakang mereka.

Bisa dimaklumi kalau cuacanya sedang dingin, tapi saat itu cuaca kota Han-tiong sedang hangat karena matahari sedang bersinar tepat di pusat langit. Gerak gerik membetul-betulkan leher baju itu jadi kelihatan agak tidak sesuai, tapi tidak ada yang memperhatikannya. Kecuali si pegawai warung yang adalah anak buah Giam Hong sebenarnya, cuma perhatiannya sambil lalu saja.

Setelah yakin dengan pakaiannya, si saudagar keliling tiba-tiba bangkit dan berkata kepada salah seorang pelayan warung, "Saudara, boleh aku menumpang ke kamar kecil sebentar?"

Si pegawai menjawab tanpa curiga, "Silakan."

"Di mana tempatnya?"

"Mari tuan kuantar."

"Oh, tidak usah, jangan. Jangan sampai mengganggu tugas saudara melayani tamu-tamu di sini. Beritahu saja tempatnya, aku akan sendiri ke sana."

"Baik, silakan masuk lorong di samping itu, nanti kalau ketemu halaman belakang terus berbelok, yang di dekat sumur itulah kamar kecilnya. Tetapi..."

"Ada apa, saudara?"

"Bukan karena apa-apa, kuharap tuan langsung saja ke kamar kecil itu dan kembali kemari, melihat apapun tidak usah digubris."

Kepala si saudagar keliling mengangguk-angguk patuh. "Tentu....... tentu.....keperluanku toh hanya untuk buang air kecil, buat apa mengurusi hal-hal lainnya?"

"Silakan...."

"Terima kasih....."

Saudagar itupun melangkah masuk kelorong yang ditunjukkan, sikapnya biasa-biasa saja, namun sebetulnya indera pendengarannya telah ditajamkan sampai tahap tertinggi, ibaratnya daun jatuhpun akan terdengar olehnya. Pikirnya sambil berjalan terus, "Tadi kulihat mereka masuk kemari, tak salah lagi. Entah dimana mereka sekarang?"

Lorong habis dilewati, biarpun melewati dua pintu, namun si pedagang keliling tak mendengar apa-apa di balik pintu-pintu itu. Dia sampai ke halaman belakang. Ketika berpapasan dengan seorang pegawai warung sedang membawa setumpuk mangkuk kotor ke dapur, si saudagar mengangguk dengan ramah sambil menjelaskan maksudnya, "Numpang ke kamar kecil..."

Si pegawai menyahut ramah pula, "Silakan, di dekat sumur itu."

Namun ketika itulah kuping tajam dari si saudagar keliling mendengar suara orang yang dibuntutinya sejak dari wihara terpencil di pegunungan itu. Suara dari balik sebuah pintu tertutup di samping halaman. Di sebelah kamar tertutup itu ada sebuah ruang terbuka yang digunakan untuk menumpuk arang. Sebagian lagi berceceran di lantai.

Maka gerak lamban si saudagar berubah jadi secepat dan seringan hantu. Dalam waktu kurang dari satu detik matanya menilai situasi setempat, ternyata aman, lalu dia melejit bagaikan kilat dan tahu-tahu sudah berjongkok di belakang keranjang-keranjang arang di sebelah kamar tempat Oh Kui-hou berempat sedang bicara.

Banyak arang berceceran di tempat itu, namun tak sepotongpun remuk terijak kaki orang itu, bahkan bergulir sedikitpun tidak, menandakan kalau tubuh pengijaknya seperti sudah berubah seringan balon angin. Kini si saudagar keliling itu dengan seksama mencoba menguping pembicaraan Oh Kui-hou berempat di kamar sebelah.

Tapi belum lama, tiba-tiba seorang pegawai warung datang mendekat membawa keranjang kecil, agaknya hendak mengambil arang untuk dibawa ke dapur. Ia kaget melihat ada orang asing berjongkok di situ. Tapi yang dapat dilakukannya ya hanya sekedar kaget saja, tidak lebih dari itu, sebab orang yang berjongkok itu secepat kilat menotok pinggangnya, sehingga si pegawai warung mendadak berubah jadi seperti patung.

Sementara saudagar keliling itu sendiri cepat-cepat meninggalkan tempat itu ke ruang depan. Tidak menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang hebat, melainkan berjalan biasa sambil mengangguk ramah kepada siapapun yang berpapasan dengannya. Tiba-tiba di ruang depan, dilihatnya "kacung"nya sedang makan dengan lahap.

Si saudagar mendekatinya dan membisikinya, "Secepatnya pergi dari sini."

Si "kacung" tidak membantah. Ia menutup makannya dengan menenggak semangkuk besar arak, sementara si saudagar memanggil pelayan untuk membayar dan segera mereka berlalu bersama keledai-keledai dan kotak-kotak kayu mereka.

Ada alasannya kenapa saudagar itu cepat-cepat ingin pergi, pegawai warung yang ditotoknya itu dalam waktu singkat pasti akan ditemukan oleh kawan-kawannya. Kalau diselidiki siapa yang dicurigai, tentulah saudagar itu akan jadi satu-satunya tersangka sebab hanya dialah yang "numpang ke kamar kecil".

Memang, tukang masak di dapur mulai menggerutu karena temannya yang disuruh mengambilkan arang itu tidak datang-datang juga. Lalu ia menyusul ke tempat arang, dan terkejut menyaksikan temannya itu hanya berdiri saja seperti patung.

Terjadi keributan. Giam Hong diberi laporan. Dan ketika Giam Hong, Oh Kui-hou dan lain-lainnya sampai ke tempat itu, sadarlah mereka bahwa pembicaraan mereka tadi tentu sedikit atau banyak sudah disadap oleh pihak lain, karena tempat itu tepat bersebelahan dengan kamar tempat berunding.

"Totokan selihai ini hanya bisa dilakukan seorang yang memiliki tenaga dalam tingkat tinggi...." komentar Oh Kui-hou sambil membebaskan anak buah Gi-am Hong itu dari totokannya. "Ilmu meringankan tubuhnya juga hebat, karena dia melakukan ini tanpa terdengar olehku yang ada di kamar sebelah."

"Bagaimana dugaan Hiangcu?" tanya Giam Hong dengan wajah tegang.

"Orangmu ini mungkin memergoki si penotok sedang menguping pembicaraan kita, lalu orangmu itu ditotok agar tidak berteriak atau melakukan tindakan yang mengganggu. Itu artinya, seluruh atau sebagian pembicaraan kita berhasil didengar oleh orang itu, yang entah dari pihak mana."

Wajah Giam Hong, Giam Lui dan Yo Kian-hi makin tegang mendengar dugaan itu. "Kau kenal orang itu?" Tanya Giam Hong kepada anak buahnya yang baru saja bebas dari totokan.

Orang itupun menjawab, "Dia seorang lelaki berusia kira-kira tiga puluh lima tahun, berkulit bersih dan nampak terpelajar, berpakaian gaya saudagar dalam perjalanan. Gerakannya seperti hantu cepatnya, begitu aku melihatnya, aku mau berteriak tapi tidak sempat. Sebab jari-jarinya cuma menyentuh ringan di tubuhku dan tahu-tahu tubuhku kaku semuanya, tak ada yang bisa bergerak biarpun cuma ujung jariku."

Salah seorang pegawai lain yang ikut berkerumun di tempat itu, tiba-tiba berkata, "Ya, tadi ketika aku membawa mangkuk kotor ke dapur, aku lihat orang itu. Dia bilang mau numpang ke kamar kecil. Orangnya memang ramah nampaknya, sama sekali tidak menimbulkan kecurigaan."

Dan pegawai lain lagi, yang tadi melayani di ruang depan, tiba-tiba ikut menyumbang keterangan pula, "Orang itu bersama seorang yang nampaknya seperti kacungnya. Mereka masing-masing menuntun seekor keledai beban untuk mengangkut kotak-kotak kayu yang seperti kotak obat."

"Ah!" Tak terasa berbarengan Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi berdesah kaget, lalu bertukar pandangan.

"Hiangcu kenal orang itu?" Tanya Giam Hong.

"Kenal tidak, tapi pernah bertemu...." Sahut Oh Kui-hou.

"Giam Lotoa, Giam Loji, tempat ini agaknya sudah tidak aman lagi untuk basis operasi kalian. Lebih baik cepat-cepat pindah tempat, atau kalau perlu hengkang dari Han-tiong. Kerja kalian sudah cukup berhasil dan tidak perlu lebih lama di sini untuk menambah resiko."

"Hiangcu sendiri....."

"Aku dan sute akan coba mengejar orang-orang itu, barangkali ada hubungannya dengan pihak yang menggagalkan kerja orang-orang kita di Pak-khia."

Maka bergegaslah pengikut-pengikut Joan-ong itu membenahi urusannya masing-masing. Warung itu ditutup mendadak, para tamu dimohon pulang, membayar atau tidak membayar dibiarkan saja dan ternyata lebih banyak yang tidak membayar sesuai dengan "hukum alam". Lalu Giam Hong dan Giam Lui bergegas menghubungi teman-teman mereka yang tersebar di seluruh Han-tiong, mengisyaratkan tanda bahaya.

Sementara Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi mengejar, setelah bertanya-tanya kepada orang-orang sepanjang jalan tentang dua orang penuntun keledai. Dan mereka mendapat petunjuk kalau orang itu pergi ke arah timur, sudah keluar dari kota Han-tiong.


Di jalan sebelah timur kota Han-tiong, si saudagar keliling dan "kacung"-nya tengah melangkah bergegas menuntun keledai-keledai mereka. Wajah mereka nampak bersungguh-sungguh, dan sering bertukar beberapa patah kata singkat dan bersungguh-sungguh pula.

Tiba-tiba dari belakang mereka terdengar derap orang berlari-lari mengejar, disertai bentakan-bentakan, "He, tunggu!"

Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi mengejar dengan menggunakan ilmu lari cepat mereka. Si saudagar dan kacungnya menoleh, dan air muka mereka berubah ketika melihat siapa yang menyusul mereka, namun kemudian wajah-wajah itu tenang kembali. Mereka berhenti dan membalik badan, menanti pengejar-pengejar mereka dengan sikap ramah.

Ketika Oh Kui-hou berdua berhenti di depan mereka, si pedagang gadungan menyambut ramah dan langsung menyerocos, "Ah, dunia benar-benar sempit! Baru beberapa hari yang lalu kita bertemu di wihara terpencil itu, sekarang kita sudah bertemu lagi. Ada keperluan apa tuan-tuan memanggil-manggil kami? Butuh obat? Kalau begitu tuan-tuan menemui alamat yang tepat! Kami menyediakan macam-macam obat, mulai dari obat panu, kurap, gatal-gatal, pusing, sakit perut, demam, panas tinggi, keseleo, salah urat, badan lesu, juga untuk penyakit dalam seperti...."

"Diam!" Oh Kui-hou membentak agar mendapat kesempatan bicara. "Benar katamu bahwa dunia ini sempit. Bukankah kurang dari sejam yang lalu, kalian juga berada di warung di seberang tangsi tentara di Han-tiong? Lalu di sana kau pura-pura ke belakang, namun ternyata bertingkah seperti maling dengan mencuri pembicaraan kami!"

Oh Kui-hou bicara dengan gusar, suara keras, wajah merah padam dan telunjuk menuding-nuding. Apalagi Yo Kian-hi yang sikapnya sudah seperti seekor banteng yang di depannya ada kain merah dikibar-kibarkan.

Namun si saudagar gadungan nampak tersenyum-senyyum saja, dan "kacung"-nya yang tentu saja juga gadungan itu, nampak acuh tak acuh. Si saudagar gadungan ternyata tidak membantah, "Benar. Maksudku memang ke kamar kecil, tapi mendengar pembicaraan kalian, aku-pun jadi tertarik untuk mencuri dengar. Ya maaf saja, he-he-he...."

"Kau benar-benar seperti maling!"

Jawaban si saudagar gadungan ternyata mengejutkan, "Ya, kita ini maling ketemu maling. Yang kita colong bukan harta benda, tetapi keterangan-keterangan penting dari pihak musuh. Bukankah orang-orangmu di Pak-khia juga giat sekali menggerayangi keterangan-keterangan penting tentang Tentara Kerajaan, lalu hasil colongannya disetorkan kepada si maling besar Li Cu-seng?"

Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi kaget, naluri mereka memperingatkan bahwa pihak yang selama ini dianggap "musuh tidak jelas" agaknya mulai bisa "dipegang buntutnya" meskipun belum diketahui siapa kepalanya. Selain merasa beruntung karena berhasil menemui orang itu, yang nyalinya begitu besar sehingga berani mengucapkan itu, Oh Kui-hou juga waspada karena orang bernyali besar biasanya mengandalkan ilmu yang tinggi.

Sambil "mendinginkan" kemarahannya karena dirasa kurang menguntungkan, Oh Kui-hou berkata, "Bagus, sobat. Kau sudah menyingkap sedikit kedokmu, tetapi masih kurang cukup untuk melihat wajah aslimu. Kalau kau benar-benar lelaki sejati, tentu kau akan memberitahu di pihak mana kau berdiri, mungkin kesalah pahaman bisa dihindari....."

"Ah, aku hanya pedagang, hanya menginginkan keuntungan...."

Alis Oh Kul-hou berkerut mendengar kata-kata itu, mencoba menafsirkan kata-kata itu, agak mendalam, "Pedagang? Kau menjual keterangan kepada pihak manapun dengan imbalan uang?"

Begitu Oh Kui-hou lebih bersungguh-sungguh, malahan saudagar gadungan itu Kembali cengengesan, "Bukan, cuma pedagang obat. Obat panu, obat kudis, kurap, mules, demam......"

"Bohong! Kau mencoba mempermainkan aku? Kalau cuma pedagang obat, buat apa memiliki ilmu silat begitu tinggi? Buat apa pula membuntuti kami sejak dari wihara terpencil itu? Tapi kalau benar-benar kau cuma mata-mata yang bekerja demi uang, tidak harus kita jadi musuh. Bekerjalah buat Joan-ong dan kau bisa mendapat bayaran tinggi...."

"Kami jualan obat saja, sungguh, Kalau kami dicurigai, agaknya kau perlu mencurigai beribu-ribu orang lainnya!"

Dalam hal "silat lidah" ternyata Oh Kui-hou kalah jauh dari orang yang mengaku saudagar keliling itu. Sengaja orang itu bicara tak keruan, namun yang agak keruan itu hanya untuk memancing kata-kata Oh Kui-hu tentang hubungannya dengan Li Cu-seng, dan rupanya Oh Kui-hou benar-benar kena terpancing.

Setelah Oh Kui-hou terpancing, orang itu kembali ngotot bahwa dirinya cuma "bakul obat", padahal tadinya sudah bicara soal "maling ketemu maling" yang berarti mengaku bahwa dirinya seorang mata-mata pula. Hanya, ia masih mampu menyembunyikan di pihak mana dia bekerja, sedang Oh Kui-hou sudah terlanjur menunjukkan hubungannya dengan Li Cu-seng.

Oh Kui-hou sendiri sadar, kalau adu "silat kata" dengan orang itu maka dirinya akan makin kedodoran. Akhirnya Oh Kui-hou merasa perlu untuk menempuh cara kekerasan. Katanya, "Bicaramu yang berputar-putar makin mencurigakan. Sekarang kau harus ikut ke tempat kami, dan baru akan kami lepaskan kalau kecurigaan kami sudah hilang."

"Yah, kalau tuan-tuan berminat kepada obat-obatan kami, tinggalkan saja alamatnya. Kelak kami akan mengunjungi tuan-tuan, tapi kalau sekarang ya belum bisa. Maklum, banyak pesanan, hi-hi-hi."

Suara tertawanya terputus karena Oh Kui-hou melompat maju. Sepasang telapak tangannya mengibas di depan wajah lawannya untuk mengelabuhi, lalu sepasang pangkal telapak tangan itu pula diputar untuk disodokkan ke sepasang rusuk dengan tipu Tui-jong-bong-goat (Mendorong Jendela Melihat Rembulan).

Begitu sebat gerakan Oh Kui-hou, namun si pedagang yang cengengesan itu ternyata tidak kalah sebatnya, mampu menanggapinya dengan cepat ketika memiringkan tubuh sambil mencengkeram ke arah siku kiri Oh Kui-hou dengan jurus Hek-liong-tam-jiau (Naga Hitam Mengulur Kuku), kalau kena terus hendak dicengkeram.

Namun sejak semulapun Oh Kui-hou sudah sadar akan ketinggian ilmu lawannya, jadi sudah tidak berani memandang rendah. Ia tahu, untuk menyelesaikan lawannya itu diperlukan ratusan jurus, dan setelah ratusan juruspun belum tentu dirinya yang menang. Karena itulah la tidak kaget benar akan reaksi lawannya. Cepat sepasang tangannya ditarik ke dekat badan, lalu ia melompat dan menendang tiga kali bergantian.

Lawannya mundur dengan tetap terkendali geraknya, lalu merunduk dan maju menerkam dengan jari-jari tangannya ke rusuk Oh Kui-hou. Orang ini agaknya amat mengandalkan latihan jari-jarinya. Keduanya saling bertukar beberapa gebrakan dengan cepat, nampak sama tangguhnya. Dan ketika masing-masing merasakan ancaman pihak lawan, maka jurus- jurus simpananpun terpaksa keluar dan terbaca oleh lawan masing-masing.

"Ban-siang-kun-hoat (Pukulan Selaksa Gajah) memang tidak bernama kosong..." desis si pedagang keliling di sela-sela gerak saling sambar dengan lawannya. "Makin yakin bahwa kau memang Thai-lik-ku-hou (Macan Kurus Bertenaga Raksasa Oh Kui-hou."

Kata "makin yakin" itu menunjukkan kalau si pedagang obat sebelumnya sudah bisa menduga siapa yang dibuntutinya, lalu dugaannya diperkuat setelah bergebrak beberapa jurus dengan lawannya.

"Ha-ha.... ternyata makin jelas pula kau cuma pedagang gadungan," sahut Oh Kui-hou. "Karena kau adalah Tiat-jiau soat-ho (Rubah Salju Berkuku Besi) Ngo Tat."

Gebrakan mereka bergeser ke pinggir jalan yang banyak pepohonannya. Jotosan Oh kui-hou yang bertubuh kurus pendek ternyata berhasil merobohkan sebatang pohon sebesar paha, namun diapun harus buru-buru menghindari cakaran Ngo Tat yang bertubi-tubi, yang ketika mengenai pohon membuat batangnya hancur menjadi serpihan-serpihan berhamburan. Mengambil contoh dari pohon-pohon yang malang itu, kedua pihak bertambah hati-hati, sadar betapa berbahaya lawan mereka masing-masing.

Sementara itu, ketika melihat kakak seperguruannya tidak dapat segera menangkap lawannya, hanya seimbang saja, maka Yo Kian-hi habis sabarnya, la lalu menghunus sepasang pedang tebalnya, dikibaskan ke udara, lalu dengan langkah seperti gajah ia mendekati arena sambil berseru, "Suheng, serahkan kepadaku! Atau biarkan aku membantumu menyelesaikan orang yang mencurigakan ini!"

Bukan membual kalau Yo Kian-hi bilang "serahkan kepadaku", sebab biarpun Yo Kian-hi adalah adik seperguruan Oh Kui-hou yang waktu mulai bergurunya berselisih belasan tahun, namun dengan bakat dan latihan kerasnya, Yo Kian-hi akhirnya mempunyai, taraf ilmu yang lebih tinggi dari kakak seperguruannya. Ia juga memilih senjata yang berbeda untuk dilatih.

Kakak seperguruannya melatih cambuk kulit yang panjangnya hampir tiga meter, mungkin untuk menutup kelemahannya di segi postur tubuhnya yang tidak menunjang, sedang Yo Kian-hi yang tinggi dan tegap itu melatih sepasang pedang dengan punggung pedang yang tebal, sehingga pedang- pedang itu jadi berat bobotnya.

Tapi sebelum Yo Kian-hi terlibat langsung di arena, tiba-tiba suatu benda melayang menyambar wajahnya. Cepat Yo Kian-hi menunduk, dan setelah benda itu jatuh setelah membentur pohon, baru terlihat kalau benda itu adalah sebungkus obat-obat kering.

Terdengar suara tertawa haha-hihi dari "kacung" si pedagang obat itu, dan katanya, "Tuan, obat itu untuk tekanan darah tinggi, dibuat dari bahan-bahan kelas satu. Cocok untuk Tuan."

"Bangsat, jadi kau mau ikut campur?" Yo Kian-hi membelokkan langkah untuk menyerang "kacung" itu. Sepasang pedangnya menyabet beruntun amat cepatnya, tapi ternyata si kacung dapat menghindari. Bahkan berturut-turut ia melemparkan lagi dua bungkusan ke wajah Yo Kian-hi tanpa berhenti mengoceh,

"Kalau tidak cocok jangan marah. Kuberi obat lain untuk membetulkan urat syaraf yang terganggu. Untuk langganan baru ada bonus, tiap beli dua bungkus dapat gratis satu bungkus obat mencret!"

Bungkusan-bungkusan ramuan obat jelas bukan benda berbobot berat, namun orang itu mampu menyambitkannya dengan lurus dan deras, terang ilmu silatnya tidak dapat dipandang rendah. Yo Kian-hi menyadari hal itu, namun tidak gentar. Setelah menghindar, dia kembali melompat menyerbu kembali.

Kacung saudagar itu sama gadungannya dengan "majikan"nya, karena merekapun kakak beradik seperguruan, jadi seperti Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi, kebetulan usia masing-masing juga sebanding dengan lawan-lawannya. Si kacung gadungan itu melompat mengambil senjatanya yang disembunyikan di kantung pelana keledainya, karena tidak berani melawan Yo Kian-hi dengan tangan kosong.

Senjatanya adalah sebuah Sam-ciat-kun, ruyung tiga ruas, antara ruas yang satu dengan lainnya dihubungkan dengan cicin-cincin baja. Begitu ruyung di tangan, segera nampak betapa mahirnya pemuda itu memainkannya, mampu mengimbangi serbuan hebat Yo Kian-hi.

Demikianlah terjadi dua arena pertempuran di situ. Pertempuran tangan kosong antara Oh Kui-hou dan Ngo Tat, dan pertempuran bersenjata antara Yo Kian-hi dan si kacung, yang juga adik seperguruan Ngo Tat yang bernama Sek Mong-hua. Jadi petempuran itu seperti permusuhan antara dua perguruan, dan dua aliran silat.

Dengan sepasang pedang tebalnya, didukung tenaganya yang berlebihan, ter- jangan-terjangan Yo Kian-hi benar-benar seperti seekor gajah mengamuk. Gerakannya menimbulkan desis angin, kilatan senjatanya seperti halilintar menyambar-nyambar.

Begitu dahsyat tandang Yo Kian-hi, enak dilihat. Tapi untuk memastikan kemenangan belum bisa ditentukan, sebab lawannya yang sebaya itu ternyata tidak kalah hebatnya. Ruyung tiga tekukannya seperti seekor naga yang meliuk-liuk gusar, kadang memanjang, menyabet datar, atau meliuk-liuk dengan gerak tak terduga. Kedua ujungnya seperti kepala naga berganti-ganti, menyambar bergantian dan kadang bersamaan.

Pertarungan antara Oh Kui-hou dan Ngo Tat juga menampakkan keseimbangan. Biarpun bertangan kosong tapi tidak kalah dengan pertarungan bersenjata, sebab tangan dan kaki mereka ibarat senjata-senjata mematikan pula. Sepasang tangan Oh Kui-hou kalau dikepal akan sekuat martil baja yang sanggup memecah batu, kalau telapak tangannya dibuka akan setara dengan kampak yang dengan mudah dapat menebas pepohonan.

Dalam jarak merenggang, sepasang kakinyalah yang berperanan penting, kalau jaraknya merapat, maka siku-siku tangan bertulang kurus itu tak boleh diabaikan lawannya. Sepak terjang sehebat itu sungguh tidak sesuai dengan bentuk tubuhnya yang pendek, kurus, dengan mata redup seperti orang kurang tidur itu, apalagi dengan pakaiannya yang sembarangan saja menempel di tubuhnya, sama sekali tidak rapi.

Sedang Ngo Tat yang sehari-harinya berpenampilan begitu ramah seperti pedagang tulen, tetapi setelah bertempur ternyata seganas serigala siluman. Jari-jari tangannya kalau ditusukkan akan setajam tombak atau bor, kalau dibengkokkan seperti kaitan besi tajamnya, dan celakalah yang dikenanya. Bukan cuma kulitnya yang bakal terkoyak, tapi juga kulit berikat daging dan tulang-tulangnya pasti remuk. Sebab batang-batang pohonpun berentakan kena cakarannya.

Itulah pertempuran antara kekuatan ketemu kelincahan. Oh Kui-hou yang bertubuh kecil malah terjangannya seperti seribu gajah yang sanggup meratakan hutan. Sedang Ngo Tat lincah dan licin seperti seekor rubah liar di pegunungan. Gerak tubuhnya yang demikian cepat membuat ia sulit disentuh.

Tapi ia tidak cuma menghindar, tapi sering merunduk dan melompat menyerang dengan jari-jari tangannya ditujukan ke tempat-tempat mematikan. Meskipun kedua jago ini membawa senjata, tapi keduanya agaknya tidak tergesa-gesa ingin menggunakannya. Keduanya masih sama-sama asyik untuk mengukur Ilmu tangan kosong.

Tapi keasyikan keempat orang yang ketemu lawan setimpal Itu agaknya akan terganggu, sebab dari pintu gerbang kota Han-tiong tiba- tiba muncul sepasukan prajurit dipimpin seorang perwira. Perwira itu langsung memerintah anak-buahnya,

"Orang-orang yang dicurigai itu barangkali ada di antara mereka yang bertempur itu. Tangkap mereka berempat!"

Prajurit-prajuritnya agak bingung dan ada yang bertanya, "Mana yang ditangkap? Mereka nampaknya terdiri dari dua pihak yang saling bertempur."

"Untuk gampangnya tangkap saja semua, nanti diperiksa satu persatu, yang terbukti tidak bersalah kita lepaskan!"

Memberi perintah memang mudah, pelaksanaannyalah yang susah. Tapi dua ratus prajurit itu segera memecah diri menjadi dua jalur, berlari-lari mendekati arena, lalu berlari-lari dari dua arah sampai akhirnya lingkaran mereka terkatup dan menjadi sebuah gelang besar mengepung empat manusia yang sedang bertempur dan dua keledai yang tenang-tenang saja.

Kedatangan prajurit-prajurit itu membuat Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi gelisah. Maklum, mereka adalah pengikut-pengikut Li Cu-seng, kalau sampai tertangkap dan tersingkap kegiatan politik mereka selama ini, tentu akan celaka. Lagipula tugas yang dibebankan Jenderal Li Giam jadi berantakan dan mempengaruhi perjuangan Li Cu-seng.

Sebaliknya lawan-lawan mereka tidak terpengaruh sedikitpun akan kedatangan pasukan itu. Para prajurit yang datang itu mereka anggap saja sebagai penonton, dan mereka dapat tetap memusatkan perhatian untuk bertempur sepenuh hati.

Oh Kui-hou memutar otak, lalu mencoba menawarkan "gencatan senjata" ke pihak lawan. Ia lalu mengambil kesempatan untuk berbicara, "Sobat, permusuhan kita barangkali hanya karena salah paham, bukan karena urusan yang amat prinsipil. Bagaimana kalau kita lanjutkan lain waktu saja dan lebih dulu pergi dari sini?"

Ternyata Oh Kui-hou salah hitung. Justru pada saat dia menggubah posisinya menjadi bertahan, Ngo Tat tidak mengambil sikap serupa, tapi malahan berusaha menekan sehebat-hebatnya. Ejeknya, "Lho, tadi siapa yang lebih dulu mengajak berkelahi? Kenapa sekarang mengajak berhenti?"

Keruan Oh Kui-hou amat mendongkol, tapi ia masih mencoba membujuk sambil bertahan, “Anjing-anjing Kaisar ini rakus-rakus semuanya. Kalau tertangkap mereka pastilah hanya menderita kerugian. Apalagi kau sebagai pedagang keliling yang bukan orang sini, tentu akan diperas habis-habisan dan dilepaskan lagi hanya dengan celana kolormu yang melekat di badan, percayalah."

Kata-kata itu tetap belum berhasil mengendorkan tekanan Ngo Tat, "Karena kau terlibat gerakan terlarang, tentu kau ketakutan kalau sampai tertangkap tentara kerajaan. Tapi aku berusaha secara halal, tidak pernah melanggar hukum, buat apa takut? Aku pasti bisa menjelaskan dan dilepaskan lagi."

"Dilepaskan sebagai gelandangan yang tidak punya apa-apa lagi!" suara Oh Kui-hou meninggi karena jengkelnya.

"Tidak! Aku tidak salah!"

"Anjing-anjing itu akan mengarangkan kesalahan buatan untukmu."

Ternyata Ngo Tat tidak menggubris tiap gertakan Oh Kui-hou. Sikapnya membingungkan. Kadang-kadang nampak cerdik, tapi kali ini tiba-tiba "kelewat jujur" sehingga nyaris seperti orang tolol. Entah apa yang tersembunyi sebenarnya di balik semuanya itu.

Sementara menduga-duga, Oh Kui-hou kehilangan kesempatan untuk merebut kembali posisi seimbangnya yang tadi dikorbankannya untuk mengajak damai. Posisi unggul kini dipegang lawannya, dan Oh Kui-hou kini hanya bertahan-di bawah hujan serangan lawannya yang membadai.

"Bangsat, pasti kaupun anjing Kaisar!" maki Oh Kui-hou. "Pantas kau tidak takut kepada mereka, sebab mereka sesama anjing denganmu!"

Ketika Itulah Ngo Tat menyergap dengan jurus Sam-jiau-coat-beng (Tiga Cengkeraman Pelenyap Nyawa). Oh Kui-hou menyilangkan dua tangannya sambil coba-coba merebut posisi dengan Liao-kik-jiau-po (Menekuk Lutut Sambil Menggeser Langkah), sambil menghindar rendah juga mencoba memutar ke belakang tubuh lawan.

Namun tubuh Ngo Tat yang masih melayangpun tiba-tiba anjlog dan berputar, sambil mengulurkan sepasang cengkeraman dengan In-hou-kui-san (Menggiring Macan Pulang Gunung). Mencoba mencengkeram sepasang pergelangan Oh Kui-hou, perlahan terdengar sendi pundak dan siku Ngo Tat gemeretak.

Oh Kui-hou menggeser tubuh, dua tangan bergerak untuk menepuk dan menghantam siku lawan sekaligus. Biarpun keadaannya kurang menguntungkan, dia nekad untuk merebut posisinya yang tadi.

Namun lawannya ternyata cukup matang untuk diajak nakad-nekadan. Sergapan Oh Kui-hou luput, sebaliknya terjadi hal yang mengejutkan ketika lengan Ngo Tat tiba-tiba mulur dua jengkal lebih. Ternyata ia menggunakan ilmu Thong-pi-kang (Ilmu Memulurkan Lengan) yang tergolong sulit dilatih itu.

Maka ujung jarinya yang disangka oleh Oh Kui-hou takkan mengenainya, ternyata menyentuh juga dada Oh Kui-hou. Memang tidak telak kena jalan darah yang dituju, namun cukup membuat Oh Kui-hou terhuyung dan agak kacau, Ngo Tat tidak kenal ampun menyusulkan sebuah sapuan kaki yang merobohkan Oh Kui-hou.

Ketika Oh Kui-hou hendak melompat bangkit, kaki Ngo Tat menginjak dadanya, menyusul belasan prajurit maju menodongkan tombak itu juga menodong dada serta punggung Ngo Tat sendiri, Oh Kui-hou segera diringkus dan dirantai oleh para prajurit, matanya menatap gusar ke arah Ngo Tat yang dikiranya kaki tangan kerajaan.

Tapi ia jadi heran ketika melihat Ngo Tat ternyata juga diringkus oleh para prajurit. Dia tidak mau melawan, meskipun dengan ilmunya yang tinggi tentu tidak sulit kalau mau sekedar kabur menyelamatkan diri. Ditangkapnya Oh Kui-hou membuat Yo Kian-hi penasaran, marah, bingung.

Sebaliknya lawannya yang bersenjata sam-ciat-kun itu tetap bertempur sepenuh hati tanpa menggubris sekelilingnya. Ia benar-benar menikmati pertempurannya seasyik orang menikmati musik atau sastra. Ia bersilat dengan gembira, tak peduli di sekelilingnya ada prajurit-prajurit menodongkan tombak.

Menghadapi sikap macam ini, terang yang kelabakan adalah Yo Kian-hi sendiri. Tingkat ilmu kedua seteru berusia sebaya itu sebenarnya bisa dikata seimbang. Namun karena Sek Hong-hua tenang dan Yo Kian-hi tergopoh-gopoh, alhasil Sek Hong-hua yang mendapat keuntungan. Ia makin berhasil mendesak Yo Kian-hi yang geraknya makin tidak cermat karena terganggu rasa marah dan gugup.

Dengan gesit Yo Kian-hi tiba-tiba membacok bertubi-tubi dengan sepasang pedangnya dengan gerak Liong-bun-ko-liong (Main Ombak di Pintu Naga). Desing dan gemerlap pedang-pedangnya membuat para prajurit yang menonton di sekitar arena judi bergidik giris.

Namun Sek Hong-hua yang menghadapinya langsung justru bersikap amat tenang penuh perhitungan. Lebih dulu ia merenggangkan jarak, lalu sam-ciat-kunnya dipegang kedua ruas pinggirnya, dan dengan gerak berbelit-belit yang menakjubkan dia berhasil menghalau semua serangan Yo Kian-hi dengan ruas tengah ruyungnya, serapat perisai besi.

Makin kalaplah Yo Kian-hi, konsentrasinyapun makin berantakan. Saat itulah ruyung lawannya menderu datang seperti kilat. Dipegangi dengan satu tangan pada salah satu ujungnya, senjata itu menderas datar ke rusuk Yo Kian-hi dengan tipu Hek-liong-boan-jlu (Naga Hitam Membelit Pohon).

Cepat-cepat Yo Kian-hi memutar ping gang menghadap samping. Karena hebatnya tenagu serangan lawan, la tidak be-runl menangkis hanya dengan satu pedang, dua pedang sekaligus ditegakkan sejajar untuk menangkis serempak.

Sepersekian detik Sek Hong-hua membuat perhitungan. Kalau ujung terjauh ruyungnya yang kena tangkis, maka serangannya akan habis sampai di situ saja, maka tiba-tiba dia mencondongkan tubuh ke depan, ketika lengannya gemeretak maka lengannya mulur karena diapun memiliki ilmu Thong-pi-kang yang tidak kalah dari kakak seperguruannya.

Maka serangannya jadi berjangkauan lebih panjang. Jadinya yang tertangkis oleh Yo Kian hi bukanlah ruas ujung, tapi ruas tengah. Ruas ujung tertekuk pada cicin penghubungnya dan masih bisa menyabet-keras ke pangkat leher Yo Kian-hi. Yo Kian-hi terhuyung berkunang-kunang matanya.

Sementara lawannya dengan tangkas menangkap ujung lain ruyungnya dan melepaskan ruas yang semula dipegang. Tanpa selisih waktu dia lakukan gerak Peng-pou te-gin (Menggelar Permadani di Tanah), ruyungnya menyambar kaki, kena sepasang betis Yo Kian-hi sehingga roboh. Satu sabetan lagi membuat sepasang pedang Yo Kian-hi terpental dari tangan.

Selanjutnya adalah urusan para prajurit. Yo Kian-hi pun kena ringkus seperti kakak seperguruannya. Sedangkan lawannyapun setelah menang ternyata berbuat seperti Ngo Tat. Tidak berusaha kabur atau melawan, melainkan dengan "jinak"nya menyerah kepada para prajurit. Senjatanya dirampas dan tangannya dibelenggu.

Maka rombongan prajurit itu kembali masuk ke kota Han-tiong, boleh dikata tanpa susah payah mereka berhasil menangkap dan menggiring empat tawanan berilmu tinggi. Hari sudah sore ketika rombongan itu masuk kota. Di pinggir jalan banyak orang- orang menonton penggiringan keempat tawanan itu.

Salah seorang dari penonton-penonton pinggir jalan itu tiba-tiba mendesak maju, lalu berlagak terbatuk-batuk keras sehingga Ngo Tat melihatnya. Dengan tangan diikat, Ngo Tat lalu membuat gerakan menggaruk-garuk pundak kanan, suatu gerak yang tidak membuat curiga para prajurit. Orang yang terbatuk-batuk itupun mengangguk paham, lalu menghilang di antara kerumunan orang banyak.

Tukar menukar isyarat rahasia itu tidak terlihat oleh para prajurit. Juga tidak oleh Oh Kui-hou, sebab Oh Kui-hou-pun sedang memperhatikan seseorang di pinggir jalan. Setelah bertukar isyarat dengan orang itu, lalu orang itupun menghilang ke antara orang banyak.

Karena hari mulai gelap, keempat tahanan itu semuanya dijebloskan ke sel, dan keesokan harinya barulah akan diperiksa. Agar para tahanan tidak berkelahi dan membuat keributan, sel mereka dipisahkan. Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi di satu sel, sedang Ngo Tat dan Sek Hong-hua di sel yang lain. Namun mereka masih bisa saling melihat, sebab sel mereka berseberangan, di antara sebuah lorong, dan penutup sel bukan tembok tapi terali besi.

Penerangan hanyalah sebatang obor yang ditancapkan di ujung lorong, apinya yang bergerak-gerak membuat bayangan-bayangan dalam sel itu bergerak-gerak pula, memanjang dan memendek. Bayangan terali besi ber geser ke kiri-ka-nan jatuh di lantai.

Dari selnya, Oh Kui-hou berkata kepada Ngo Tat di sel seberangnya, "Nah, sekarang percaya omonganku tidak? Kau gagal cari muka terhadap anjing-anjing itu."

Namun Ngo Tat dengan sikap amat santai menjulurkan kakinya panjang-panjang, menyandarkan punggungnya ke dinding, lalu menguap lebar-lebar, lalu berkata, "Sebelum matahari terbit aku akan bebas, sedang kalian berdua, he-he-he... entah bagaimana nasib kalian kalau prajurit-prajurit itu tahu kalian adalah pengikut-pengikut Li Cu-seng...."

"Ya, kalian akan bebas dengan kantong terkuras bersih....." ejek Oh Kui-hou.

Ngo Tat cuma tertawa dan berkata, "Sudahlah, lihat saja buktinya besok. Eh, kalian butuh obat nyamuk tidak?"

Nyamuk dalam sel itu memang amat banyak dan semuanya kelaparan. Tidak heran kalau keempat, tahanan itu sejak dimasukkan ke situ terus-terusan "bersilat" sendiri, tepuk sana tepuk sini, sudah puluhan nyamuk mereka bunuh sampai tangan mereka berlumuran darah. Tapi semboyan "gugur satu tumbuh seribu" agaknya bukan monopoli bangsa manusia saja, bangsa nyamukpun mengenalnya dan mereka terus menyerbu tak henti-hentinya.

Karena itu Ngo Tat kemudian mengngeluarkan empat batang berbentuk dupa lidi dari dalam kantong obat di pinggangnya. Dua batang disulutnya untuk dipakai di selnya sendiri, yang dua batang lagi bersama geretannya dilemparkan melalui sela-sela terali besi, menyeberangi lorong dan jatuh ke dalam sel Oh Kui-hou berdua.

"Nyalakan sebelum darah kalian dihabiakan bangsat-bangsat kecil itu....” kata Ngo Tat kepada Oh Kui-hou.

Sesaat Oh Kul-hou ragu-ragu, kuatir kulau pemberian itupun cuma semacam tipu muslihat. Tapi di lihatnya di sel seberangnya Ngo Tat dan Sek Hong-hua sudah mulai tenang dari serbuan nyamuk-nyamuk, maka kecurigaan Oh Kui-hou berduapun sirna. Ia menyulut dupa obat nyamuk Itu, lalu menancapkannya di sela sela dinding batu...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.