Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 15

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Seri pertama, Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 15 karya Stevanus S P

"Terima kasih...." mau tidak mau Oh Kui-hou berseru kesel seberang, ke arah orang yang bersikap aneh itu. Bukan musuh benar-benar tapi cuma "setengah musuh".

Dupa itu asapnya harum dan benar-benar mengusir nyamuk-nyamuk. Tapi bukan nyamuk-nyamuk saja yang terusir, melainkan juga kesadaran Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi yang tidak waspada, bahwa keharuman asap itu ternyata memperhebat kantuknya.

Mereka mengira bahwa kantuk yang menyerang mereka hanya karena kelelahan, maka tanpa prasangka mereka menguap lebar, meluruskan kaki, menyandarkan punggung di dinding, dan sekejap kemudian sudah pulas.

Justru setelah Oh Kui-hou berdua memperdengarkan dengkur halus, Ngo Tat yang semula nampak tidur, tiba-tiba membuka mata lebar-lebar. Lalu dia memanggil-manggil untuk menguji, "He, kalian sudah tidur?"

Oh Kui-hou maupun Yo Kian-hi tidak menjawab, kepala mereka sudah miring ke samping. Panggilan diulangi dan hasilnya sama. Ngo Tat tertawa dan bertukar pandangan dengan Sek Hong-hua yang juga sudah membuka mata. Mereka bertukar anggukan, sama-sama puas akan keampuhan dupa pembius yang disamarkan sebagai obat nyamuk itu.

Bagian depan sel-sel itu adalah kantor Panglima Han-tiong sendiri. Meskipun malam sudah larut, nampak masih banyak prajurit-prajurit bergerombol berjaga, biarpun sambil ngobrol dan makan kuaci. Penjagaan nampak lebih meningkat dari biasanya, sebab siang harinya Panglima Han-tiong mendapat kisikan dari pihak yang tidak dikenal.

Bahwa sudah banyak pengikut Li Cu-seng yang menyelundup ke dalam kota dan siap mengacau. Biarpun tidak diketahui siapa pelapornya, namun pihak penguasa militer tidak mau ambil resiko, maka penjagaan diperketat, apalagi di tempat itu sedang ada orang-orang tangkapan berilmu tinggi.

Ketika itulah seorang lelaki setengah abad berjenggot putih, berjubah seperti umumnya kaum saudagar kaya, melangkah mendekati prajurit-prajurit yang berjaga itu. Dia diikuti seorang pemuda berusia dua puluh tahunan yang berdandan sebagai bujang, berjalan sambil mem bawa keranjang rotan.

"Pak tua, ada apa malam-malam begini kau keluyuran? Apa tidak tahu kalau keadaan sekarang kurang aman?"

"Aku minta tolong agar tuan-tuan menyampaikan permohonanku untuk menghadap Kwe Cong-peng."

"Siapa kau, pak tua?"

"Aku warga biasa, ingin menghadap beliau untuk memohon kebijaksanaannya."

"Nama? Tempat tinggal? Pekerjaan?"

"Namaku Ong Hu-yong, tinggal di kampung sebelah selatan kota ini, pedagang obat-obatan."

Para prajurit sudah mencium bau uang mendekat. Kalau seorang pedagang mengaku ingin ketemu panglima mereka untuk "mohon kebijaksanaan" pastilah tidak datang dengan tangan kosong. Dan kalau sang panglima mendapat rejeki cukup banyak, para prajuritpun sering kecipratan sedikit.

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

Maka seorang prajurit dengan giat berlari masuk dan melapor kepada Kwe Hian, panglimanya. Panglimanya setuju untuk menerima tamu itu, siapa tahu benar-benar membawa rejeki, maka tidak lama kemudian orang tua itu bersama kacungnya sudah ada di hadapan Kwe Hian di ruang dalam. Si saudagar yang mengaku bernama Ong Hu-yong duduk, sedang kacungnya berdiri di belakang kursi dengan membawa keranjang rotannya.

"Ada keperluan apa Ong Tai-pan menemui aku malam-malam begini?" tanya Kwe Hian amat ramahnya.

Ketika itulah seorang lelaki setengah abad berjenggot putih, berjubah seperti umumnya kaum saudagar kaya, melangkah mendekati prajurit-prajurit yang berjaga itu "Cong-peng Taijin, kudengar siang tadi Taijin menangkap beberapa orang, apakah di antara mereka ada yang bernama Ngo Tat dan Sek Hong-hua?"

"Benar, mereka sudah kutanyai, dan memang mengaku bernama demikian. Yang dua orang lagi agaknya memakai nama palsu, besok akan kugebuki mereka agar bicara yang benar."

"Taijin, bolehkah aku tahu kesalahan apa yang diperbuat Ngo Tat dan Sek Hong-hua sehingga ditangkap?"

"Siang tadi kami mendapat laporan, kami tidak tahu siapa yang melaporkan, sebab laporannya hanya ditulis pada kertas yang diikatkan pada tangkai sebilah belati yang ditancapkan di pintu gerbang. Laporannya mengatakan bahwa kota ini sudah kesusupan banyak mata-mata pemberontak yang bersarang antara lain di warung arak di seberang tangsi tentara, rombongan wayang potehi, penjual buah-buahan dekat gerbang timur.

"Kami cek laporan itu dengan menggerebek tempat-tempat itu, ternyata memang kami temukan banyak hal mencurigakan. Biarpun orang-orangnya sudah kabur semua, tapi kami temukan antara lain catatan-catatan dengan kode-kode rahasia, denah kota dengan letak tangsi-tangsi tentara, terowongan-terowongan bawah tanah, senjata-senjata dalam jumlah besar dan sebagainya."

"Oh, apakah Taijin lalu mencurigai Ngo Tat dan Sek Hong-hua sebagai anggota komplotan?"

"Mereka berkelahi dengan dua orang lainnya di jalanan di luar gerbang timur. Ilmu silat mereka amat tinggi, ini mencurigakan. Maka kami tahan mereka berempat untuk pemeriksaan besok pagi. Kalau tidak bersalah ya akan kulepaskan."

"Apakah Ngo Tat berdua melawan petugas ketika hendak. ditangkap?"

"Tidak, mereka menyerah dengan baik-baik. Kalau dihitung-hitung malahan mereka membantu kami. Sebab sebelum menyerah, mereka berdua lebih dulu menundukkan dua orang lainnya yang berilmu tinggi juga."

"Nah, Taijin, itu membuktikan Ngo Tat dan Sek Hong-hua bukan anggota komplotan. Mana ada anggota komplotan mata-mata yang mau ditangkap petugas kok malah mengulurkan tangan? Merekalah warga baik, taat kepada hukum."

"Tapi ilmu silatnya tinggi."

"Apakah karena ilmu silatnya tinggi lalu harus dicurigai? Sebagai seorang pedagang keliling yang berjalan ke tempat-tempat jauh, ilmu silat diperlukan untuk mengamankan perjalanannya, apalagi jaman sekarang di mana-mana rusuh. Apa anehnya dia membekali diri dengan Ilmu bela diri?"

"Sudahlah, Ong Tal-pan, apa maumu?"

"Aku mohon Cong-peng Taijin membebaskan mereka berdua."

"Tai-pan kenal mereka?"

"Kenal sekali, karena Ngo Tut sering kulak bahan obat-obatan dari tempatku, ia pedagang yang baik, menjunjung tinggi kepercayaan, tiap tiba tanggalnya tentu membayar kontan tanpa ditunda-tunda lagi, la juga rajin berkeliling mencari langganan baru. Kalau dia ditahan, benar-benar merupakun pukulan buat usahaku."

Orang yang sudah tahu bagaimana "caranya” bicara dengan seorang pembesar kerajaan. Tidak cukup dengan mulut saja, betapapun fasihnya mengemukakan alasan. Maka sambil bicara, tangannya pun hilir mudik antara keranjang rotan dengan meja di depannya.

Tiap kali tangannya masuk keranjang dengan kosong, keluarnya sudah memegang potongan emas lima tahilan. Lima kali tangannya pulang pergi dan lima potongan emas itu berbaris rapi di atas meja, berkilat-kilat kena cahaya lampu seperti sebuah pasukan kehormatan yang siap diperiksa tamu kehormatan pula.

Kwe Hian tersenyum sambil mengangguk- angguk, katanya pura-pura sungkan, "Wah, Tai-pan kok jadi repot-repot. Sebetulnya asal terbukti kedua teman Tai-pan Itu tidak bersalah, ya tentu akan kubebaskan, sebab aku ini punya rasa keadilan yang tebal."

Inilah sejenis "kalimat belut" yang sering diucapkannya dalam urusan penegakan hukum. "Akan dibebaskan kalau dia terbukti tidak bersalah", demikian ucapnya setiap kali. Cuma, untuk "terbukti tidak bersalah" itu toh tergantung juga dari tebal tipisnya kantong si tersangka.

Repotnya lagi, banyak tersangka yang sebenarnya tidak melanggar hukum, tapi malahan "dilanggar hukum". Tapi untuk pelanggar hukum atau si terlanggar hukum, Kwe Hian pukul rata saja dengan satu cara yang mudah. Bayar dan bebas. Tidak bayar ya tidak bebas.

Terpengaruh potongan emas yang berbaris di depannya, Kwe Hian makin yakin bahwa hukum itu amat luwes. Bisa ditekuk ke kiri, bisa ditekuk ke kanan, dipasang jungkir-balikpun bisa. Tak perlu susah-susah, bukankah hukum tidak bisa jalan sendiri tapi dijalankan manusia?

Hukum tidak perlu makan, tapi manusianya kan butuh makan? Kalau tukang sulap dengan sekali "sim salabim" bisa menggubah tongkat jadi bunga, kenapa hukum tidak boleh menjadi acara sulapan! yang tak kalah menakjubkan?

Sikapnyapun tambah ramah, "Melihat ketulusan Tai-pan, aku percaya semua kata-kata Tai-pan tadi. Baiklah, aku bebaskan kedua temanmu itu sekarang juga."

Lalu dia memanggil seorang prajurit mendekat dan berkata, "Kita ternyata salah tangkap. Lepaskan dengan hormat tuan Ngo Tat dan tuan Sek Hong-hua."

Sekejap penjaga itu melirik deretan potongan emas di atas meja dan ia amat bisa memaklumi keputusan atasannya itu. Namun dengan sikap prajurit teladan, ia menjawab dengan tegas, "Baik, Cong-peng."

Prajurit itupun berlalu. Tidak lama kemudian ia keluar bersama Ngo Tat dan Sek Hong-hua. Semua barang-barang milik Ngo Tat termasuk kedua ekor keledainya dikembalikan, uang yang dalam kotak sudah agak berkurang isinya, sebetulnya tentu bisa dilacak ke mana lenyapnya. Namun tidak perlu repot-repot, lebih baik pura-pura tidak tahu demi hubungan baik. Jaman susah itu mencetak begitu banyak "orang bijaksana".

Ong Hu-yong mengucapkan banyak terima kasih kepada Kwe Hian lalu berpamitan bersama kacungnya dan dua orang yang baru saja ditebusnya. Ketika mereka berjalan cukup jauh dari markas Cong-peng Taijin dan sampai di tempat sepi, Ngo Tat dan Sek Hong-hua tiba-tiba berlutut menghormat. Bukan kepada Ong Hu- yong yang telah membayar tebusannya, tetapi malahan kepada si kacung muda yang mengiring Ong Hu-yong itu.

"Hormat kami berdua kepada Pwe-lek (Pangeran)...." kata Ngo Tat bersama dengan Sek Hong-hua, lalu melanjutkan sendirian, "Kami berdua minta maaf, gara-gara kami telah merepotkan Pwe-lek turun tangan sendiri."

Setelah itu barulah mereka berdua memberi hormat biasa kepada Ong Hu-yong yang mereka panggil "Susiok" (paman guru). Kemudian sambil melanjutkan perjalanan, bertanyalah Ong Hu-yong, "Kenapa kalian menyerah begitu saja ketika hendak ditangkap babi-babi rakus Kerajaan Beng itu?"

Sambil tertawa Ngo Tat berkata, "Kenapa Susiok juga tidak dengan kekerasan saja menerjang kantor Cong-peng itu untuk membebaskan kami? Padahal pasti akan berhasil, sebab aku yakin babi-babi tolol itu takkan mampu mencegah Susiok yang berilmu sakti. Kenapa Susiok harus pura-pura merunduk-runduk dan mengorbankan dua puluh lima tahil emas?"

Ong Hu-yong tertawa, "Karena aku ingin membebaskan kalian tanpa ribut-ribut. Aku ingin penyamaranku tetap terjaga, sehingga semua operasi kita tetap lancar tanpa menimbulkan riak gelombang di permukaan."

"Nah, kami pun punya pertimbangan demikian." Sahut Ngo Tat. "Kamipun tidak mau menimbulkan riak gelombang di permukaan. Bisa saja aku dan sute (adik seperguruan) melawan prajurit-prajurit itu, namun perhatian orang pasti akan segera tertarik kepada jaringan perdagangan obat yang kita susun susah payah untuk menyelubungi hilir mudiknya kita di wilayah musuh ini. Itu tidak kita kehendaki bukan?"

Semuanya tertawa, sedang si "kacung" yang dipanggil "Pangeran" tadi lalu berkata, "Ngo Cong-peng (Panglima Ngo), bagaimana dengan dua orang yang bertempur melawanmu tadi?"

"Mereka masih di balik terali besi, Pangeran."

"Bukan itu maksud pertanyaanku. Maksudku begini, kedua orang yang kalian buntuti itu apakah benar-benar orang penting dalam barisannya Li Cu-seng, ataukah sekedar sepasang pesilat pengembara yang tidak ada peranannya sedikitpun dalam pergolakan ini?"

"Hamba terus mengamati mereka sejak meninggalkan Tong-koan, Pangeran. Mula-mula hamba ragu-ragu, tetapi setelah hamba dengarkan percakapan mereka di ruang belakang warung seberang tangsi itu, hamba yakin sepenuhnya bahwa dialah pentolan mata-matanya Li Cu-seng. Namanya Oh Kui-hou, sedang yang muda itu aku tidak tahu namanya."

Si Pangeran mengangguk puas, katanya, "Kalau benar, operasi kita ini boleh dibilang mendapat hasil besar. Tentu dia jauh lebih berharga dibandingkan keroco-keroco yang selama ini berhasil kita bereskan di Pak-khia. Mudah-mudahan terhambatlah gerak maju gerombolan bandit-bandit Li Cu-seng itu sehingga babi-babi tolol keluarga Cu (maksudnya dinasti Beng) masih dapat bertahan, sampai suksesnya rencana kita."

Kata-kata Pangeran yang menyamar itupun tiba-tiba terhenti, karena Ong Hu-yong tiba-tiba menghentikan langkahnya sambil bersuara kaget dan memandang ke suatu arah. Yang lain-lainnya pun serentak menoleh ke arah yang sama, tapi mereka tidak melihat apa-apa lagi karena terlambat.

"Ada apa, Su-siok?" tanya Ngo Tat.

"Ada orang-orang bersenjata mengendap-endap dan menghilang di lorong gelap itu, gerakan mereka secepat tikus." desis Ong Hu-yong.

"Apakah mereka sudah tahu siapa kita sebenarnya, lalu hendak menyerang kita?" tanya Sek Hong-hua sambil siap-siap menghunus ruyung tiga ruasnya.

"Aku rasa bukan, ada tujuan mereka yang lebih penting dari pada cuma mengincar kita."

"Apa?"

"Mereka akan membebaskan tokoh-tokoh mereka yang ditahan. Mereka pastilah pengikut-pengikut Li Cu-seng."

"Apakah babi-babi rakus itu perlu diberitahu, agar mereka sempat bersiaga dan jangan sampai tawanan-tawanan itu lolos?"

"Rasanya perlu, sebab babi-babi itu goblok semuanya. Siang tadi kalau tidak kukirimi mereka pesan tentang mata-mata Li Cu-seng sudah menyebar ke segenap pelosok kota, tentu mereka masih goyang kaki sambil makan kuaci. Lalu aku kirimi pesan, kutancapkan di pintu gerbang mereka, barulah mereka bergegas menyerbu tempat-tempat yang kutunjukkan dalam pesan itu. Itupun masih terlambat, sehingga mereka hanya mengobrak-abrik tempatnya tapi tidak berhasil menangkap orang-orangnya."

"Siapa akan memberi tahu babi-babi itu?"

"Biar hamba saja, Pangeran...." sahut Ong Hu-yong. Lalu ia mencopot jubah luarnya untuk dititipkan kepada Ngo Tat.

Setelah itu, sungguh amat berlawanan dengan gerak-geriknya yang serba lamban ketika menyamar sebagai saudagar tua tadi, kini dia bergerak serba cepat. Begitu selesai kata-katanya, tubuhnya telah melesat seperti burung dan hinggap di sebuah atap rumah di pinggir jalan. Gerak berikutnya melenyapkan diri dari pandangan lain-lainnya, benar-benar tubuhnya seperti hantu gentayangan saja.

"Ayo kita jalan terus...." ajak Pangeran itu.

Sambil melangkah, Ngo Tat memberanikan diri bertanya kepada Pangeran itu, "Pangeran, ampuni pertanyaan hamba kalau tidak berkenan di hati Pangeran. Kenapa kita susah payah menangkapi orang-orangnya Li Cu-seng yang tidak bermusuhan langsung dengan kita? Bahkan Li Cu-seng dan kita sama-sama lawan Kerajaan Beng, bisa dibilang kalau Li Cu-seng bisa diajak bersekutu. Namun dengan operasi kita ini, malahan kita seperti melemahkan Li Cu-seng dan membantu Kerajaan Beng, kenapa?"

"Ada dua keuntungan kita berbuat begini, biarpun dua-duanya bukan keuntungan langsung...." sahut Pangeran itu. "Apakah aku belum pernah memberi tahu Cong-peng?"

Dari panggilan si Pangeran itu, nyata kalau Ngo Tat cuma saudagar gadungan, dia bahkan punya pangkat Cong-peng (setara brigadir jenderal), suatu pangkat yang lumayan tinggi.

"Boleh hamba mengetahui, Pangeran?"

"Boleh saja, agar kau dapat bekerja lebih cermat berdasar garis kebijaksanaan yang dirancang sendiri oleh ayahanda ini. Belakangan ini gerak maju laskar pemberontak cukup mencemaskan, tentara Kerajaan Beng seperti terlalu lemah membendung gerak maju musuhnya. Kalau sampai pemerintah kerajaan Beng roboh sebelum rencana kita berhasil berarti rencana kita sama sekali tertutup peluangnya. Karena itu, pemerintah kerajaan Beng harus tetap berdiri sampai berhasilnya rencana kita, jangan sampai Li Cu-seng merebut Pak-khia lebih dulu dari kita. Lebih gampang kita merebut Pak-khia dari pemerintah bobrok yang sekarang daripada dari tangan Li Cu-seng yang didukung seluruh rakyat!"

Kepala Ngo Tat pun terangguk-angguk setuju, "Hamba paham. Jadi kita lebih suka berhadapan dengan babi malas yang kekenyangan, daripada dengan anjing kelaparan yang galak bukan? Maka si anjing lapar Li Cu-seng tidak boleh sampai ke Pak-khia lebih dulu, jadi pemerintah Beng harus dibantu diam-diam dengan cara mempreteli jaringan mata-mata Li Cu-seng bukan?"

"Nah, tepat. Tapi ingat, tujuan akhir adalah kepentingan kita sendiri, yaitu merebut seluruh wilayah kerajaan Beng ke tangan kita." Mereka berjalan sambil bercakap-cakap.


Kwe Hian sedang gembira memikirkan rejekinya malam itu, yang didapatnya dari si "saudagar tua" Ong Hu-yong. Selagi ia berangan-angan sambil tersenyum-senyum sendiri, tiba-tiba dari luar pintu ada angin berhembus kuat sekali, sedetik lamanya lilin di ruangan itu mengecil apinya sampai hampir padam.

Dan sedetik itu pula Kwe Hian merasa seolah-olah ada orang lain diruangan itu. Namun semuanya itu tak lebih dari satu detik. Ketika nyala lilin membesar kembali sehingga ruangan itu menjadi terang kembali, ternyata tidak ada siapa-siapa. Percakapan para prajurit yang berjaga di luar masih kedengaran.

"Hem, cuma angin."

Namun mata Kwe Hian terbelalak kaget ketika melihat di mejanya telah tergeletak secarik kertas bertulisan, entah darimana datangnya. Hampir sama dengan kejadian tadi pagi, ketika di depan kantornya tahu-tahu tertancap sebatang belati bergantungan tulisan yang memberi tahu tentang tempat-tempat dalam kota yang menjadi sarang mata-mata pemberontak.

Tidak diketahui siapa pengirim pesan Itu. Ketika la menyerbu tempat-tempat Itu, ternyata benar, tempat-tempat itu memang menunjukkan tanda-tanda tempat beroperasinya orang-orang yang menentang pemerintah, tapi sayang, gagal menangkap orang-orangnya. Kini pemberitahuan misterius itu muncul lagi.

Dengan tangan agak gemetar ia memungut dan membaca kertas bertulisan itu. Tulisannya singkat dan nampaknya ditulis dengan terburu-buru. "Para pemberontak akan menyerbu penjara untuk membebaskan tokoh-tokoh mereka."

Dan seperti siang tadi, tidak ada tanda tangan, gambar atau simbol atau tanda-tanda lain dari si pengirim. Namun Kwe Hian tidak berani tidak mempercayainya. Ia segera berlari keluar ruangan sambil memanggil penjaga. Si penjaga berlari masuk dengan wajah berseri, mengira akan kebagian sedikit dari "rejeki" yang tadi.

Ternyata perintah yang didapatnya. "Pergi ketangsi, dan bawa dua ratus lima puluh prajurit lagi ke mari, dan perintahkan kesiagaan penuh di seluruh kota!"

Sebuah leng-pai (papan perintah) dilemparkan kepada prajurit itu, yang segera diterima dan dibawa berlari keluar. Baru saja prajurit itu berlalu, dari halaman samping telah kedengaran teriakan,

"Kebakaran! Kebakaran!"

Seorang prajurit lain berlari-lari menghadap dan melapor dengan napas nggos-nggosan, "Cong-peng, gudang perbekalan di sayap kanan gedung ini terbakar!"

Kwe Hian langsung pucat mukanya, "Celaka, gedung itu tempat menyimpan meriam dan bubuk peledaknya. Cepat kalian...."

Kalimat itu tak sempat selesai sebab dari halaman samping terdengar ledakan hebat, mengguntur, sampai ruangan itu-pun ikut bergetar dan banyak lukisan di dinding yang melorot jatuh.

Di halaman samping, beberapa prajurit yang semula menyiramkan air ke gudang yang terbakar itu, ketika terjadi ledakan maka malanglah prajurit-prajurit yang terdekat, mereka terpental hangus. Sedang prajurit-prajurit lain cuma berlarian bingung ke sana ke mari, dengan pedang dan tombak terhunus, berteriak-teriak saling memperingatkan, namun musuh belum kelihatan seorangpun. sementara bangunan di sayap kanan itu sudah menjadi api unggun raksasa.

Saat kepanikan memuncak, muncullah tiba-tiba sekawanan orang-orang bersenjata yang mukanya tertutup kedok, di atas dinding-dinding halaman yang belum terancam api. Langsung saja mereka melepaskan panah, pisau terbang, dan berbagai jenis senjata bidik lainnya, membuat belasan prajurit roboh dan lain-lainnya tambah kebingungan.

Orang-orang berkedok yang jumlahnya cuma belasan itu berlompatan turun dari dinding, dengan berani mereka langsung menyerbu para prajurit. Pertempuran berkobar di halaman kanan dan halaman depan, memancing datangnya prajurit-prajurit dari bagian-bagian gedung yang lain untuk membantu teman-teman di situ.

Di tengah-tengah suasana ribut itu, Kwe Hian sadar apa yang harus diperbuatnya, apalagi sebelumnya sudah mendapat peringatan. Segera dipanggilnya seorang perwira rendahan berpangkat tui-thio dan diperintahnya, "Jaga tahanan-tahanan, jangan sampai dibawa lari. Serangan ini membuktikan bahwa kedua tahanan itu adalah tokoh-tokoh penting di kalangan pemberontak. Kalau tidak penting tentu kawan-kawan mereka takkan bersusah payah berusaha membebaskan."

Sementara pertempuran di halaman depan dan samping mulai minta korban di kedua pihak. Para penyerbu cuma belasan orang, tetapi mereka gigih, nekad, bahkan bersikap berani mati menghadapi kawanan prajurit yang berjumlah beberapa kali lipat.

Kwe Hian sendiri menganggap yang paling penting adalah menjaga dua tawanan yang ditangkapnya siang tadi. Penyerbuan malam itu memperkuat dugaannya bahwa kedua tawanan itu adalah tokoh-tokoh Pelangi Kuning yang berkedudukan cukup penting, dan para penyerbu itupun bukan gerombolan biasa.

Gerombolan biasa takkan punya nyali untuk menyerbu sebuah kantor tentara di tengah kota, sebab motif mereka biasanya hanya uang. Yang berani mempertaruhkan nyawa membela teman tentulah orang-orang yang jiwanya diisi keyakinan bersama yang dianut, bukan sekedar mencari keuntungan materi. Orang-orang macam itu pasti orang-orang Pelangi Kunning.

Tumbuh ambisi dalam diri Kwe Hian. Kalau ia bisa "setor" dua tokoh penting Pelangi Kuning ke Pak-khia, bisa jadi ia akan dipertimbangkan untuk naik pangkat. Karena itulah ia bertekad takkan membiarkan "setoran"nya direbut dari tangannya. Dengan pedang terhunus ia melangkah ke ruang belakang, tempat sel-sel tahanan.

Ternyata serangan di bagian itu lebih hebat dari pada bagian-bagian lainnya, makin jelas kalau tujuan para penyerbu memang ingin membebaskan Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi. Yang menyerbu bagian ini ada tiga puluh orang, dan tiga pimpinan mereka sudah dikenai oleh orang-orang Han-tiong.

Tiga saudara, masing- masing adalah Giam Hong si tukang warung, Giam Lui si Pemimpin rombongan wayang potehi dan Giam Ih si bakul buah-buahan dekat gerbang timur. Mereka muncul tanpa kedok, dan saat itu harus menghadapi rintangan prajurit yang berjumlah cukup banyak.

Di lorong sempit antara dua deretan sel yang saling berhadapan, Giam Hong dengan toya besinya mengamuk, menerjang dan menginjak para prajurit yang sudah dirobohkannya. Para prajurit mundur kewalahan, lorong yang sempit itu tidak memungkinkan mereka untuk membuat kepungan melebar. Maka cukup Giam Hong sendiri yang menahan para prajurit, sedang Giam Lui dan beberapa anak buahnya memeriksa sel demi sel sampai menemukan Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi.

Tapi mereka kaget melihat Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi tidur pulas dalam posisi duduk, sama sekali tidak terusik oleh hiruk-pikuk pertempuran di sekitarnya, suatu keadaan yang cukup janggal mengingat Oh Kui-hou berdua adalah pesilat-pesilat tingkat tinggi yang punya pendengaran tajam. Nampak pula dua batang dupa "Obat nyamuk" tertancap di sel itu, dan terbakar hampir habis.

Giam Lui dan beberapa anak buahnya masuk ke sel setelah merusak rantainya, lalu mereka memanggil-manggil sambil mengguncang- guncang tubuh Oh Kui-hou berdua. Ternyata kakak beradik seperguruan itu tetap saja mendengkur dengan pulasnya.

Maka gusarlah Giam Lui, teriaknya, "Keparat! Anjing-anjing Kaisar itu rupanya membius Hiangcu berdua!"

Sesaat mereka kebingungan, lalu Giam Lui memerintahkan dua anak buahnya yang bertubuh besar, "Angkat mereka!"

Baru saja kedua orang itu hendak mengangkat Oh Kui-hou berdua, tiba-tiba merekapun agak sempoyongan sambil memegangi kepala. Kiranya merekapun tak sadar telah menghirup asap "obat nyamuk" itu beberapa hirupan dan terpengaruh. Bahkan Giam Lui sendiripun mulai merasa agak pening.

"Asap pembius! Cepat keluar dari sini!" teriaknya.

Dua anak buahnya itu ternyata masih mampu mengangkat tubuh Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi, lalu keluar dari sel itu. Di bawah perlindungan teman-teman mereka yang lain, mereka menerobos keluar dari lorong itu, ke arah bagian luar yang temboknya sudah digempur berlubang oleh kawanan itu. Di luar lorong, suasana terang-benderang karena api yang menyala melahap bangunan sayap kanan. Di sinipun kawanan pengikut Li Cu-seng harus bertahan melawan tekanan para prajurit.

Sedangkan Kwe Hian mengejar melalui lorong, dan mereka menjadi pusing ketika menghirup asap "obat nyamuk" yang tak pandang bulu itu. Namun mereka tidak roboh karena hanya menghirup sepintas lalu saja.

"Hati-hatilah!" toh Kwe Hian memperingatkan prajurit-prajurit yang mengikutinya.

"Para bandit agaknya menggunakan asap pembius untuk mencoba melemahkan kita!" Begitulah, kawanan Pelangi Kuning menuduh "anjing-anjing Kaisar" yang menggunakan asap pembius, sebaliknya para prajuritpun mencurigai mereka. Ke dua pihak belum menduga adanya pihak ketiga yang melakukan itu.

Sementara itu, dari tangsi lain datang bantuan. Pengepungan segera dilangsungkan di bawah pimpinan Kwe Hian, Panglima Han-tiong sendiri. Karena jumlah prajurit kini jauh lebih banyak, maka kini para pengikut Li Cu-seng seperti tikus-tikus kecemplung air, hanya berputar-putar saja di tempat itu, namun tidak mampu pergi dari situ.

Kwe Hian tertawa terbahak-bahak ketika mengenali tiga orang pemimpin penyerbuan. Melihat Giam Hong, dia mengejek, "He, inikah si tikus besar yang selama ini menyamar sebagai tukang warung di seberang tangsi utama? He-he-he.... mau apa datang malam-malam begini? Mau menagih prajurit-prajuritku yang masih ngebon di warungmu?"

Giam Hong tidak peduli ejekan itu, yang penting harus segera menyelamatkan orang-orangnya. Teriaknya, "Bawa dulu Hiangcu berdua, yang lain melindungi!"

Orang-orang Pelangi Kuning yang ikut menyerbu malam itu terpilih bukan cuma karena berani, tapi juga karena ketangkasan mereka. Kali ini mereka menghadapi hal di luar perhitungan, yaitu terbiusnya Oh Kui-hou berdua, padahal tadinya mereka berdua diharapkan akan ikut mendobrak keluar dengan kepandaian mereka yang tinggi. Kini malah mereka berdua menjadi beban, sebab dalam keadaan pulas dan harus digendong.

Namun kawanan itu adalah laskar-laskar pilihan dari pasukan Jenderal Li Giam sendiri, yang tak gampang berputus asa menghadapi kesulitan itu. Di bawah pimpinan Giam Hong bertiga, kawanan itu mencoba berkumpul, tidak lagi bertempur sendiri-sendiri dan berpencaran.

Kini mereka mencoba membentuk suatu kelompok kecil yang tak mudah dipatahkan, lalu mereka bergerak bersama ke arah tembok halaman dengan sikap membelakangi kobaran api, membuat lawan-lawan mereka harus silau karena menghadapi cahaya api.

Dua orang yang dilindungi teman-teman mereka, cepat mengeluarkan gulungan tali panjang yang ujungnya dipasangi kaitan. Ujung tali diputar-putar sejenak, lalu dilontarkan dan dengan mantap segera mencangkol bagian atas dinding setinggi tiga meter itu.

"Bagus!" Giam Hong bersemangat melihat tali-tali itu sudah terpasang. Dia dan kedua adiknya sanggup melompati tembok tanpa tali, namun tidak semuanya anggota kelompoknya mampu melakukannya.

Dua orang anggota Pelangi Kuning segera memanjat ke atas setangkas kera dipegunungan. Setibanya di atas tembok, mereka segera melepas busur yang semula melintang di punggung, lalu dengan panah mereka berusaha "membebaskan" beberapa teman mereka dari kepungan lawan agar sempat memanjat keatas pula.

Sambaran anak panah dari arah cahaya api yang menyilaukan, apalagi cahaya apipun bergoyang-goyang, membuat tiap anak panah begitu susah ditangkis atau dihindari. Sebagian besar panah kena sasarannya dan merobohkannya, memberi kesempatan kepada dua lagi anggota Pelangi Kuning untuk mencapai ke atas tembok dengan memanjat tali.

Yang tiba di atas segera memanah pula, mencarikan kesempatan agar teman-teman mereka bisa memanjat bergantian. Sementara yang masih bertahan di bawah tembok merasa agak ringan karena hujan panah teman-teman mereka yang sudah di atas itu sedikit banyak mengurangi gencetan prajurit-prajurit keraja- an. Sambil bertahan, kawanan Pelangi Kuning itu terus mundur ke arah tembok.

Taktik kawanan Pelangi Kuning itu membingungkan para prajurit. Cara yang sebetulnya tidak terlalu istimewa, namun nyata kalau sudah disiapkan dengan matang lama sebelumnya. Maka biarpun para prajurit berjumlah jauh lebih banyak, kentara kalau mereka kurang siap menghadapi "acara" itu, mereka seperti bertempur sekenanya saja.

Yang paling tangguh di arena itu adalah Giam Hong, yang sehari-harinya kenai dengan para prajurit, malah banyak prajurit itu yang masih hutang di warungnya. Kalau ada prajurit yang hutangnya terlalu banyak, biasanya Giam Hong memberi keringanan, asal ditukar dengan keterangan-keterangan penting kemiliteran di kota Han-tiong. Si pemberi keterangan selama ini tak pernah curiga, menganggap Giam Hong sekedar tukang warung yang ingin tahu saja.

Kini setelah Giam Hong memperlihatkan siapa dirinya sebenarnya, maka urusannya bukan soal hutang-piutang di warung. Prajurit yang punya hutang boleh lega bahwa hutangnya anggap saja lunas, tapi kalau kurang hati-hati mereka bisa membayar dengan nyawa kena sambaran toya besi si tukang warung yang menderu dahsyat seperti naga mengamuk di samudera.

Di sampingnya ada Giam Lui dengan goloknya yang terkam sana terkam sini seperti singa terluka. Kalau dia, sehari-harinya memang sudah menjadi buruan para prajurit, sering diuber-uber. Karena dialah pimpinan sekaligus "seksi publikasi" rombongan wayang potehinya yang lakon-lakonnya selalu dianggap menghasut rakyat untuk melawan kerajaan, dan juga menyindir-nyindir kebobrokan keluarga istana.

Termuda dari tiga saudara itu adalah Giam Ih yang bersenjata seutas rantai panjang yang ujungnya berbandul bola besi. Sehari-harinya dia menyamar sebagai tukang warung buah-buahan dekat pintu timur kota Han-tiong. Selama ini ketiga saudara itu memakai nama samaran sendiri-sendiri dan tidak pernah berjumpa secara terang-terangan, orang-orang di Han-tiong umumnya tidak tahu kalau mereka bertiga kakak beradik.

Namun sekarang para prajurit tahu kalau ketiga-tiganya adalah pengikut-pengikut Li Cu-seng, yang telah merugikan rahasia militer di kota itu entah berapa banyaknya. Serangan kawanan Pelangi Kuning itu tentu akan sukses besar seandainya tidak ada pemberitahuan misterius yang diterima Kwe Hian. Bahkan gara-gara pemberitahuan itu pula maka jaringan operasi yang mereka bangun cukup lama, akhirnya berhasil diobrak-abrik tentara kerajaan dalam satu hari saja.

Kini kawanan Pelangi Kuning itu mengharap agar bisa menyelamatkan Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi, dua pentolan mereka. Dan nampaknya akan berhasil, sebab pasukan kerajaan nampak kacau menghadapi taktik mundur dari kawanan Pelangi Kuning itu. Tiga bersaudara Giam itulah yang paling gigih melindungi gerak mundur orang orang mereka. Mereka bertahan seperti sebuah garis yang tak tertembus, banyak prajurit menjadi korban mereka.

Sementara itu, makin banyak orang-orang Pelangi Kuning berhasil memanjat ke atas dinding, lalu memanah dari atas. Bahkan tubuh Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi yang masih pulas itupun sudah berhasil dikerek ke atas dan siap dibawa kabur. Naga-naganya Kwe Hian benar-benar akan dipecundangi terang-terangan oleh lawan yang berjumlah lebih kecil.

Namun saat itu terjadilah sesuatu yang di luar dugaan. Baik para prajurit maupun orang-orang Li Cu-seng sama-sama tidak tahu kapan datangnya sesosok bayangan berkedok di atas dinding. Seperti hantu saja, tahu-tahu sudah berdiri di atas dinding.

Mula-mula para prajurit mengira orang berkedok itu pasti seorang anggota Pelangi Kuning pula. Namun orang itu mendadak bergerak seperti angin puyuh, menyusur dinding yang tebalnya hanya sejengkal itu seperti meluncur di tempat lebar saja, seolah-olah masalah keseimbangan bukan masalah lagi buatnya.

Sambil bergerak, sepasang tangannya bergerak cepat tak kenal ampun, orang-orang Pelangi Kuning yang sudah di atas dindingpun tiba-tiba berpelantingan jatuh, tidak jatuh keluar dinding namun ke sebelah dalam. Dan semuanya bernasib buruk. Ada yang muntah darah terpukul dadanya, dilempar ke ujung senjata para prajurit, atau dilempar ke tengah api yang masih berkobar di tempat itu.

Semua pengikut Li Cu-seng dihabiskannya dalam waktu singkat dengan bengis, kecuali Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi yang masih pulas. Orang itu agaknya sadar betapa penting keterangan yang bisa dikorek dari mulut kedua tokoh Pelangi Kuning itu. Orang itu lalu mengempit tubuh Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi di kiri kanannya, lalu melompat turun ke halaman berdarah itu.

Kedua tubuh itu dijatuhkannya di depan Kwe Hian sambil berkata dengan nada memerintah, "Ikat baik-baik, jangan sampai lolos."

"Terima kasih..." sahut Kwe Hian yang masih dicekam rasa kagum dan takjub akan kesaktian orang misterius ini.

Kemudian orang berkedok itu memutar tubuh dan menatap Giam Hong bertiga yang masih melawan dengan gigih. Ketiga bersaudara itu marah dan putus asa ketika mengetahui anak buah mereka telah dihabiskan dengan kejam, dan kedua orang yang hendak mereka tolong malah jatuh kembali ke tangan musuh.

Karena mereka tahu pula bahwa merekapun takkan mampu lolos, mereka menjadi kalap dan nekad, lalu mengamuk hebat. Banyak prajurit menjadi korban trio "tukang warung, pimpinan rombongan wayang potehi dan bakul buah-buahan" ini.

Orang berkedok itu lalu membentak para prajurit yang tengah mengepung Giam Hong bertiga, "Minggir semua! Siapkan saja tali yang kuat untuk ketiga tikus besar ini!"

Suara orang berkedok itu begitu berpengaruh, sehingga para prajurit menurutinya. Mereka berlompatan mundur sehingga terbentuk semacam arena yang cukup lebar di bawah bayangan api yang berkobar. Para prajurit melihat dengan perasaan heran bercampur tegang melihat orang berkedok itu mendekati tiga saudara Giam yang berbahaya itu dengan langkah seenaknya, dan bertangan kosong pula.

Dan kata-katanyapun mengejek, "Kalian pengikut-pengikut Li Cu-seng yang gagah perkasa, tentunya keberatan kalau kusuruh meletakkan senjata dan menyerah, benar tidak? Kalian tentu akan melawan sambil meneriakkan slogan-slogan gombal kalian, benar tidak?"

Itulah gaya bicara yang tidak lebih serius dari seorang ibu-ibu ketika menawar sayuran di pasar. "Karena itu aku akan menangkap kalian bertiga, dan supaya kalian puas, kalian boleh melawan.... meneriakkan slogan juga boleh.”

Giam Lui menggeram marah, goloknya tiba-tiba terayun tegak lurus dari atas ke arah batok kepala si orang berkedok. Dengan gerakan Thai-san-ap-teng (Gunung Raksasa Menimpa Kepala), dia siap membelah tubuh si orang berkedok menjadi dua bagian. Dibarengi Giam Hong yang menyergap dari samping, menyambarkan toya-nya dari samping ke kepala, jurus Siok-lui-kik-ting (Petir Menyambar Kepala).

Demikianlah batok kepala orang berkedok itu sekaligus menjadi incaran serangan kakak beradik itu. Sementara si bungsu Giam Ih berputar mencari sudut yang menguntungkan untuk mengaktifkan rantai bandulnya yang biasa disebut Lian-cu-tui. Itulah serangan gabungan yang dahsyat, tidak sembarangan jagoan bisa menghadapinya.

Namun ketiga saudara itu seolah sedang menghadapi hantu yang tak punya tubuh, bukan manusia. Sebab gerakan orang itu demikian cepat seperti menghilang saja. Toya Giam Hong dan golok Giam Lui berbenturan sendiri karena sasaran mereka mendadak, lenyap.

Sedangkan si bungsu Giam Ih kaget ketika sesosok bayangan menyambar ke arahnya. Secara reflek ia mundur beberapa langkah agar mendapat jarak, bandulan besi di ujung rantainya dengan mahirnya digerakkan terbang menghantam muka lawan dengan tehnik Hui-seng-kiong-goat (Bintang Terbang Menyerang Rembulan).

Tapi suara tulang-tulang remuk yang diharapkannya tak juga didengarnya. Giam Ih merasa gelagat buruk, hanya sepersekian detik. Tiba-tiba terasa rantainya menegang karena ditarik, ia tertarik selangkah maju, dengan kaget dilihatnya orang berkedok itu telah berhasil mencengkeram rantainya.

Orang berkedok itu tiba-tiba seperti terbang berputar di sekeliling Giam Ih, sambil tetap memegangi ujung rantainya, dan tahu-tahu Giam Ih terbelit oleh rantainya sendiri dengan sepasang lengan merapat di badannya. Ditambah satu sepakan keras di pantat, tubuh Giam Ih mencelat ke hadapan para prajurit yang segera meringkusnya. Tanpa kesulitan, sebab Giam Ih sudah terbelit rantainya sendiri yang "senjata makan tuan".

Giam Hong dan Giam Lui gusar menyaksikan semua itu. Segala rencana yang sudah tersusun rapi jadi berantakan gara-gara munculnya orang berkedok itu. Bukan saja gagal menolong Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi, malah puluhan anak buah ikut jadi korban, dan mereka tiga bersaudara pun nampaknya takkan bias pergi dari situ.

Orang itu menerjang seperti angin puyuh kearah Giam Hong dan Giam Lui. Sambaran golok Giam Lui yang amat cepat itu dengan enak ia tangkap pada punggung goloknya. Ketika Giam Lui ngotot ingin merebut goloknya, orang berkedok itu menyentakkannya ke atas sehingga Giam Lui terpental ke udara seperti bola ditendang.

Lawannya menyusul ke udara untuk memberikan sebuah totokan di pinggang, sehingga tubuh Giam Lui lemas dan terhempas di tanah | tanpa daya. Senasib dengan adiknya, tambang-tambang yang kuat sudah menunggunya. Tinggal Giam Hong.

Saudara tertua dan pemimpin komplotan mata-mata Pelangi Kuning di kota Han-tiong itu benar-benar sudah kebingungan, tak tahu harus berbuat apa. Tahunya cuma mengamuk tapi tanpa harapan meloloskan diri. Toyanya diputar kencang untuk melabrak si orang berkedok, tapi percuma, sebab dalam tiga jurus toyanya berhasil direbut dan diapun diringkus.

Selesailah pertempuran itu. Korban di pihak tentara kerajaan terdiri dari puluhan jiwa dan kerusakan hebat akibat kebakaran. Kini selain harus merawat teman-teman yang terluka, para prajurit juga sibuk memadamkan api.

Sementara Kwe Hian sibuk mengatur kembali kelima tawanannya, dua tawanan terdahulu yang masih tidur pulas dan tiga tawanan baru. Ia merasa korban dari pihaknya cukup setimpal, mengingat lima orang tawanannya adalah pentolan-pentolan Pelangi Kuning yang kalau diserahkan ke Pak-khia akan menghasilkan kenaikan pangkat.

Tiba-tiba ia ingat orang yang jasanya paling besar dalam kemenangan malam ini, yaitu si orang berkedok. Cepat ia mencari orang itu, tapi orang itu sudah lenyap. Kehadirannya yang membekaskan kesan serba perkasa tadi seolah-olah cuma dalam mimpi, seolah-olah tak pernah ada. Begitu datangnya, begitu pula perginya.

Tapi kenyataannya tiga saudara Giam yang tangguh itu ada di tangannya sekarang. Kalau pihaknya harus menangkap tiga saudara itu dengan mengandalkan keroyokan prajurit, maka biarpun berhasil juga akan minta banyak korban karena ketangguhan ketiga saudara itu.

"Orang aneh...." gumam Kwe Hian sendiri. "Banyak membantu tapi menunggu ucapan terima kasih saja tidak. Tapi biarlah, malahan jasa-jasa ini semuanya bisa kuakui sebagai jasaku, hi-hi-hi..."

Malam itu juga persiapan untuk pengiriman tawanan ke Pak-khia disiapkan. Kwe Hian memanggil wakilnya untuk diserahi pimpinan selama Kwe Hian sendiri akan ke Pak-khia "menerima bintang jasa", la tidak menyuruh wakilnya yang ke Pak-khia, sebab kuatir kalau wakilnya itu nanti membual di ibu kota sehingga bintang jasanya bisa nyasar ke diri wakilnya. Jangan sampai itu terjadi, maka Kwe Hian ingin berangkat sendiri.

Malam itu juga, lima buah gerobak dirombak jadi kereta kerangkeng yang kokoh kuat untuk membawa tawanan. Seribu prajurit terbaik yang masih segar disiapkan untuk dibawa besok pagi-pagi benar. Setelah itu barulah Kwe Hian tidur pulas.


Sesosok bayangan "bergerak begitu cepat sehingga seperti terbang di tengah kegelapan malam itu, naik turun melompati genteng-genteng rumah penduduk di Han-tiong, bahkan kemudian tembok kotapun dilewatinya dengan gampang, lalu dilanjutkannya langkah keluar tembok kota.

Dilintasinya tanah-tanah kosong di luar kota, dan sekali-sekali adalah gubuk-gubuk darurat para pengungsi yang letaknya berpencaran tak teratur. Sering terdengar tangis bayi kelaparan dari gubuk itu, namun suara menyayat hati itu tak menghambat sedikitpun gerak laju orang itu. Dianggapnya sudah lumrah di jaman perang itu kalau ada yang jadi korban.

Orang itu berlari cepat ke arah selatan. Makin jauh dari Han-tiong, makin jarang gubuk pengungsi, bahkan tidak ada lagi akhirnya, hanya tanah belukar yang terbentang luas. Namun setelah maju sedikit lagi, di depan nampak bayangan tiga manusia dan dua keledai sedang berjalan perlahan. Orang itu mempercepat langkahnya untuk menyusul bayangan-bayangan di depannya itu.

Setelah tersusul, orang itu membuka kedok mukanya sehingga nampaklah dia adalah Ong Hu-yong, "si pedagang obat" yang tadi menghadap Kwe Hian untuk menebus Ngo Tat dan Sek Hong-hua dari tahanan.

"Bagaimana, Susiok?" sambut Ngo Tat. "Tadi dari jalan tanjakan itu kami lihat cahaya api berkobar dl tengah-tengah kota Han-tiong dan juga suara ledakan, apa yang terjadi?"

Ong Hu-yong menjawab, "Pengikut-pengikut Li Cu-seng benar-benar bernyali besar. Mereka menyerbu kantor tentara, membakar gudang penyimpanan meriam dan bahan-bahan peledaknya."

"Apakah pengikut-pengikut Li Cu-seng itu berhasil membebaskan tokoh-tokoh mereka yang dipenjara?"

"Hampir berhasil, karena babi-babi tolol di Han-tiong itu ternyata tidak becus menghadapi lawan mereka yang lebih sedikit. Hampir saja Oh Kui-hou dan yang satunya lagi itu berhasil dikerek ke atas dinding untuk..."

"Dikerek?" si pangeran tiba-tiba bersuara heran. "Kenapa tidak jalan sendiri? Apakah Kwe Hian telah berlaku tolol dengan membunuh tawanan-tawanan itu?"

"Benar, Pangeran. Tapi agaknya mereka belum mati, mereka hanya tidur pulas, seperti terbius.”

Saat itulah Ngo Tat tiba-tiba berkata, "Ampuni hamba, Pangeran, hamba lupa menerangkan bahwa selama masih sama-sama dalam sel, hamba pura-pura menawarkan obat nyamuk kepada mereka. Sebenarnya asap obat itulah yang membuat mereka sedemikian pulas."

Serempak si Pangeran dan Ong Hu-yong tertawa mendengar penjelasan Ngo Tat itu. Mereka semua sudah maklum betapa lihainya "obat nyamuk" bikinan Ngo Tat itu, bisa membuat orang pulas dua belas jam penuh, kecuali yang sudah menelan obat penangkalnya.

"Terus bagaimana, Kat Kun-su (penasehat militer Kat)?" tanya si pangeran itu.

Kiranya Ong Hu-yong ini sebetulnya bukan bermarga Ong, namun Kat, atau lengkapnya Kat Hu-yong. Karena marga Kat kedengaran asing bagi orang Han, bisa mengganggu tugasnya sebagai mata-mata di wilayah musuh, maka selama penyamarannya di wilayah Kerajaan Beng, dia mengaku bernama Ong Hu-yong. Marga Ong lajim di kalangan bangsa Han. Sedang kedudukan Kat Hu-yong yang sebetulnya ternyata adalah Kun-su, penasehat militer, dalam angkatan perang Kerajaan Ceng.

Kat Hu-yong menjawab, "Gara-gara obat nyamuk Ngo Cong-peng itu, kawanan Pelangi Kuning jadi kerepotan membawa Oh Kui-hou berdua. Mereka pakai tali segala. Tetapi babi-Babi tolol itu hampir tak mampu menahan lolosnya mereka, benar-benar gentong-gentong nasi yang tak berguna. Terpaksa aku muncul, mencegah larinya kawanan Pelangi Kuning itu."

"Jadi Susiok turun tangan langsung?"

"Ya, tetapi memakai kedok. Bahkan kutangkap tiga pemimpin penyerbuan itu. Sehari-harinya di Han-tiong, ketiga pemimpin itu menyamar masing-masing sebagai tukang warung, pemimpin rombongan wayang potehi, dan pedagang buah-buahan di dekat pintu gerbang timur."

"Dekat pintu gerbang timur?"

"Ya."

"Kalau begitu dekat dengan tempat praktekmu sebagai sinshe gadungan, Kat Kun-su?" tanya si pangeran sambil tertawa.

Kiranya sebagai penyamarannya, Kat Hu-yong selain menyamar sebagai seorang saudagar obat, ia juga menyamar sebagai sinshe yang "buka praktek" persis di sebelah warung buah-buahan Giam Ih. Itulah sebabnya Kat Hu-yong dengan gampang bisa mengamati semua kegiatan di rumah Giam Ih tanpa dicurigai oleh Giam Ih. Lalu hal itu dilaporkan diam-diam kepada Kwe Hian, agar jaringan operasi mata-mata kaum Pelangi Kuning segera digulung habis.

Namun mendengar kelakar pangeran itu, ternyata Kat Hu-yong malahan menarik napas dalam-dalam, "Secara pribadi, aku menyesal juga telah menjerumuskan Giam Ih ke tangan-tangan babi-babi tolol kerajaan Beng itu,dan mungkin dia akan menghadapi hukuman mati di Pak-khia. Padahal Giam Ih adalah seorang tetangga yang baik. Ia sering memberiku buah-buahan segar, sering pula ditolongnya hamba melakukan pekerjaan yang berat-berat karena dia mengira hamba adalah seorang tua yang lemah. Tapi kebaikannya itu malam ini hamba balas dengan menyerahkan dia ke tangan Kwe Hian yang haus kenaikan pangkat, alangkah buruk nasibnya. Hamba ini agaknya orang yang sudah tidak punya perasaan lagi."

Si pangeran terkejut mendengar kata-kata bernada sedih itu. Ia berhenti melangkah dan memutar tubuh menghadapi Kat Hu-yong, tanyanya dengan suara penuh tekanan, "Kat Kun-su, masih sanggupkah kau memikul tugas yang dibebankan oleh Ayahanda?"

Kat Hu-yong tertegun sejenak, lalu buru-buru berlutut di hadapan pangeran itu dan berkata, "Ampun Pangeran, apa yang diperintahkan oleh Kiu-ongya (pangeran ke sembilan) masih tetap hamba junjung tinggi, dan akan hamba laksanakan terus dengan taruhan nyawa hamba demi kejayaan negeri leluhur kita. Maafkan kata-kata hamba tadi, hamba berjanji bahwa kelemahan itu takkan mempengaruhi tugas-tugas hamba selanjutnya."

Pangeran itu menarik napas beberapa kali sambil merenung beberapa saat, lalu katanya, "Aku maklum, Kun-su. Kita manusia, dan hati kita tidak terbuat dari batu atau besi. Ada saatnya hati kita tersentuh kalau menerima kebaikan o-rang lain, tetapi hati-hatilah, jangan sampai perasaan itu tak terkendali dan mengacaukan tugas kita. Saat kita akan berangkat ke wilayah Kerajaan Beng ini, bukankah kita semua pernah bersumpah bahwa kita akan menomor satukan kepentingan negeri kita?"

"Hamba mengerti, Pangeran."

"Bagaimanapun juga, selama ini Kun-su sudah bekerja dengan baik. Banyak komplotan Li Cu-seng berhasil dipereteli oleh babi-babi tolol itu karena pemberitahuanmu. Sementara jaringan operasi kita sendiri tetap rapi tersembunyi dari mata Li Cu-seng maupun Kerajaan Beng, jadi kita tetap bisa bekerja dengan aman dari belakang layar."

"Terima kasih, Pangeran."

"Bangunlah dari berlututmu, Kun-su. Mari kita teruskan perjalanan."

Mereka berjalan lagi, kemudian terdengar Sek Hong-hua bertanya kepada Pangeran itu, "Pangeran, hamba mohon ampun karena ingin menanyakan sesuatu."

"Soal apa, Sek Cong-peng?"

Ternyata Sek Hong-hua yang sehari-hari mengikuti Ngo Tat dalam samaran sebagai "kacung tukang obat" ini juga mempunyai pangkat cukup tinggi dalam angkatan perang Kerajaan Ceng.

"Pangeran, kenapa selama ini kita berusaha menggulung komplotan Li Cu-seng, nanya untuk mencarikan muka buat Co Hua-sun di hadapan si Kaisar goblok Cong-ceng?"

"Hu-ong (ayahanda pangeran) takkan merencanakan sesuatu yang percuma..." sahut si pangeran muda. "Rencana kita untuk mencaplok negeri oangsa Han ini bisa terlaksana dengan bantuan Co Hua-sun yang bekerja dari dalam, dan untuk mendapat posisi yang kuat maka Co Hua-sun harus membuat jasa. Nah, kita membantu Co Hua-sun mendirikan banyak pahala, antara lain dengan menggulung komplotan mata-mata Li Cu-seng. Memang saat ini kelihatannya tidak adil, kita yang bekerja kok Co Hua-sun yang mendapat muka di depan Kaisar tolol, tapi toh akhirnya kita jugalah yang mendapat keuntungan. Lagipula kita tidak butuh tanda jasa dari si Kaisar tolol itu bukan?"

Kat Hu-yong, Ngo Tat dan Sek Hong-hua tertawa mendengar kalimat terakhir si pangeran. Mereka mulai dapat membayangkan garis besar siasat yang sedang dilakukan Sit-ceng-ong To Ji-kun, Pangeran ke Sembilan, ayahanda dari pangeran muda yang bernama To Ceng-liong itu. Dalam Kerajaan Ceng, kedudukan Sit-ceng-ong kuat sekali, sebab dialah wali Kaisar.

Saat itu Kaisar Sun-ti masih bocah, maka kendali pemerintahan diwakilkan ke tangan Sit-ceng-ong, pamannya itu, sambil menunggu sampai Kaisar menjadi dewasa. Dan pemuda yang bersama Kat Hu-yong bertiga itu bukan lain adalah putera Sit-ceng-ong To Ji-kun, yaitu To Ceng-liong.

Sambil melangkah terus, To Ceng-liong berkata lagi, "Yang kukatakan tadi adalah tujuan pertama. Masih ada tujuan ke dua dari operasi kita, yaitu menyeimbangkan perang antara pemberontak dan kerajaan Beng, maka pemenang itu haruslah babak belur. Supaya kelak kalau perang selesai, siapapun pemenangnya, mudah kita taklukkan."

"Sungguh amat luas dan jauh ke depan pandangan Kiu-ongya..." komentar Kat Hu-yong sambil mengangguk-angguk. "Memang, perang antara kerajaan Beng dengan pemberontak selama ini kurang seimbang. Laskar pemberontak di atas angin, tentara kerajaan terus terdesak. Kalau dibiarkan tanpa campur tangan kita, maka nemberontak akan menang tidak lama lagi dan dalam keadaan masih segar, dan itu menyulitkan kita untuk maju menguasai negeri ini."

"Nah, soal itu sudah dipikirkan Hu-ong..." kata To Ceng-liong. "Sebab itulah kita bantu pihak kerajaan Beng dengan cara ini, agar perangnya agak seimbang, dan kelak kedua pihak sama-sama babak belur."

Kat Hu-yong kembali memuji-muji rencana jangka panjang yang hebat itu, namun Sek Hong-hua diam-diam menundukkan kepala dengan sedih dan membatin dalam hati, "Itu berarti perang ini sengaja dibuat berlarut-larut, penderitaan rakyat juga sengaja diperpanjang entah sampai kapan. Entah berapa banyak lagi orang tak bersalah yang harus terbunuh. Sungguh mahal harga sebuah ambisi."

Lamunan Sek Hong-hua terusik buyar, ketika Pangeran To Ceng-liong tiba-tiba berkata, "Ada yang masih kurang jelas, Sek Cong- peng?"

"Jelas, Pangeran." sahut Sek Hong-hua melambatkan langkahnya, sehingga ia tidak lagi berjalan sejajar dengan ketiga orang lainnya, melainkan agak ke belakang. Sejajar dengan kedua keledai beban yang berjalan tanpa dituntun.

Terdengar kemudian Ngo Tat bertanya kepada si pangeran, "Pangeran, apakah Co Hua-sun sepenuhnya tahu semua rencana kita?"

"Tentu saja tidak. Dia orang yang tak bisa dipercaya. Dia hanya boleh tahu hal-hal di mana kita butuh bantuannya. Kalau dia tahu semuanya, dia bisa mengkhianati kita!"

Tak terasa mereka tiba di kaki sebuah bukit kecil, di mana ada sebuah rumah yang selama ini dijadikan tempat tinggal Kat Hu-yong dalam samarannya sebagai "pedagang obat," padahal menjalankan kegiatan mata-mata untuk kepentingan Kerajaan Ceng.

Saat itu hari sudah larut malam, tetapi pintu depan rumah itu nampak terbuka lebar dan sorot lampu menerobos pintu. Tiga ekor kuda nampak ditambatkan di depan pintu. Pangeran To Ceng-liong sekalian tertegun, dan menghentikan langkah, tanyanya sambil menoleh kepada Kat Hu-yong,

"Kun-su, siapa yang malam-malam begini mengunjungi tempatmu?"

"Hamba tidak tahu, Pangeran. Tapi kita wajib berhati-hati. Perkenankanlah hamba dan Ngo Tat berjalan di kiri kanan Pangeran ketika memasuki rumah. Sedangkan Sek Hong-hua...."

Sek Hong-hua cepat-cepat menukas, "Susiok, kalau diperkenankan biarlah aku saja yang membawa keledai-keledai itu ke kandang."

"Mintalah ijin Pangeran..." kata Kat Hu-yong.

"Pangeran, hamba..." namun sebelum Sek Hong-hua mengucapkan permohonannya, To Ceng-liong telah berkata,

"Baiklah, kau nampaknya kurang sehat, Sek Cong-peng...."

"Terima kasih, Pangeran." Lalu Sek Hong-hua pun menuntun kedua keledai Itu lewat samping rumah untuk lewat pintu belakang.

Mengandangkan keledai agaknya hanya dalih untuk tidak ikut masuk ke ruang tamu, di mana mungkin akan terjadi pembicaraan yang tidak cocok dengan hati nuraninya. Misalnya pembicaraan tentang memperpanjang perang, yang sama artinya dengan memperpanjang penderitaan orang banyak.

Sementara itu, dengan diapit kedua pengawalnya yang tangguh, Pangeran To Ceng-liong masuk ke ruang tamu yang masih terang benderang itu. Tiga orang sudah duduk di ruang itu, dan di meja mereka ada pula cangkir-cangkir teh yang disuguhkan orang-orangnya Kat Hu-yong. Nampaknya ketiga orang itu sudah menunggu cukup lama.

Ketika melihat To Ceng-liong, ketiga orang itu cepat bangkit menghormat. Orang yang di tengah mewakili teman-temannya berbicara, "Selamat malam, Pangeran. Kami sekalian tidak menduga kalau Pangeran sendiri terlibat langsung dalam operasi ini."

To Ceng-liong membalas hormat sambil tersenyum, "Demi seorang sahabat erat seperti Co Kong-kong, aku tidak segan-segan bekerja sendiri." Pangeran itu mempersilakan ketiga tamu itu duduk, lalu dia sendiri duduk. Pihak tamu dan pihak tuan rumah duduk berhadap-hadapan diantarai sebuah ruangan lebar.

"Sudah lama Bu Kong-kong bertiga menunggu kami?" tanya To Ceng-liong kepada si pembicara dari pihak tamu yang bukan lain adalah Bu Goat-long, salah satu thai-kam kesayangan Co Hua-sun. Cuma kali ini dia tidak mengenakan pakaiannya sebagai abdi istana, melainkan pakaian perjalanan. Mukanya yang kelimis juga ditempeli kumis dan jenggot palsu, agar tidak mudah dikenali kalau dia seorang kebiri. Hanya suaranya yang melengking tinggi itulah yang sulit disembunyikan.

Dengan sikap dan suara yang ramah, Bu Goat-long menjawab, "Tidak ada yang terasa lama untuk menunggu suatu kabar keberhasilan, Pangeran. Oh iya, aku sampai lupa memperkenalkan kedua teman seperjalananku ini."

Lebih dulu ia perkenalkan seorang lelaki berumur kira-kira lima puluh tahun yang duduk di sebelah kanannya. Seorang tua yang rambut, tampang maupun pakaiannya serba awut-awutan, ditambah bau badannya yang menandakan kalau orang itu tidak mandi barangkali satu bulan lebih. Ketika Bu Goat-long memperkenalkan namanya, orang itu berdiri dari kursinya dan melakukan bungkukan menghormat (Kautau) dengan badannya yang tegap itu.

"...Pangeran, Lo-eng-hiong (pendekar senior) ini adalah Tong Hin-pa dari Ou-lam, yang dikenal dengan julukan Bu-eng-jiat-pian (Cambuk Maut Tanpa Bayangan), sekarang mengabdi kepada Co Kong-kong."

To Ceng-liong mengangguk tanpa bangkit dari kursinya, basa basinyapun kedengaran kurang bersungguh-sungguh, "Oh, memang sudah lama kudengar nama Lo-eng-hiong yang termasyhur."

Kemudian Bu Goat-long memperkenalkan orang di sebelah kirinya, seorang pemuda yang usianya mungkin sebaya dengan Sek Hong-hua, tampan, agak gemuk, berkumis rapi, dan pakaiannya perlente sekali, dengan sebatang pedang bersarung indah yang selalu dipangkunya.

"....dan ini adalah saudara Ting hoan-wi, Ketua Tiat-eng-bun (Perguruan Elang Besi)..."

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.