Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 16

Kecantikan memikat, tahta menggiurkan, dan intrik mematikan. "Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 16" adalah cersil Mandarin karya Stevanus S.P

Ting Hoan-wipun berkau-tau penuh gaya, dan kembali To Ceng-liong berkata, "Ah, ketua Tiat-eng-bun yang kesaktiannya terdengar di mana-mana itu ternyata masih begini muda, benar-benar mengagumkan,"

Kata-kata "Kesaktiannya terdengar di mana- mana" itu agak menggelikan juga, sebab Ting Hoan-wi mulai mengaku-aku sebagai Ketua Tiat-eng-bun sejak ia berhasil mencuri pedang pusaka Tiat-eng Po-kiam dan kitab Tiat-eng Pit-kip dari Helian Kong, belum lama berselang.

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

Memang ia kemudian mengalami peningkatan ilmu silat, namun belum pernah melakukan apa-apa yang menggemparkan dunia persilatan, bahkan lebih banyak bersembunyi karena kuatir diKetemukan oleh Helian Kong. Jadi ucapan To Ceng-liong tadi lebih banyak sebagai pelicin bibir saja.

Namun toh Ting Hoan-wi menikmati betul- betul peranan palsunya sebagai tokoh persilatan terkenal. Baik gaya duduknya maupun ucapannya betul-betul sudah klop dengan peranannya.

Setelah Bu Goat-long memperkenalkan kedua jago yang bersamanya, diapun menunggu Pangeran To Ceng-liong juga memperkenalkan kedua orang dikiri kanan nya yang nampak angker itu. Namun ternyata To Ceng-liong tidak melakukannya, malahan bertanya, "Bu Kong-kong, apakah keadaan Co Kong-kong sehat- sehat saja?"

"Sehat, Pangeran, semangatnya juga selalu tinggi. Sejak mengadakan persekutuan dengan pihak Pangeran, Co Kong-kong selalu yakin akan adanya masa depan yang cerah."

To Ceng-liong tersenyum, "Syukurlah. Lalu kedatangan tuan-tuan bertiga ke tempat ini ada keperluan apa?"

Sejenak Bu Goat-long memperbaiki siKap duduknya, lalu berkata, "Kami ditugaskan Co Kong-kong untuk bertanya kepada Pangeran, sejauh mana hasil yang telah dicapai oleh Pangeran selama ini, Co Kong-kong ingin mengetahuinya."

Kata-kata Bu Goat-long itu terputus oleh dengusan marah Kat Hu-yong, "Hem, apakah Pangeran dan kami semua ini bawahan Co Kong-kong, sehingga harus setiap kali melaporkan kepada Kong-kong?"

Kata-kata yang cukup tajam itu membuat air muka Bu Goat-long bertiga jadi berubah masam. "Siapakah tuan ini?" tanya Bu Goat-long karena tadi Pangeran To Ceng-liong belum memperkenalkannya.

Cepat-cepat To Ceng-liong memberi isyarat gerak tangan kepada Kat Hu-yong dan berkata tanpa memberi kesempatan kepada Kat Hu- yong untuk menjawab pertanyaan Bu Goat-long. Katanya, "Maafkan orangku ini, Bu Kong-kong."

"Siapa dia?" tanya Bu Goat-long yang masih penasaran karena dilihatnya Kat Hu-yong tidak nampak seperti orang sembarangan. Sepasang mata di bawah sepasang alis yang sewarna dengan kapas itu terlalu tajam dan pintar sorotnya, tubuhnya juga tetap ramping dan segar meskipun umurnya sudah enam puluh tahunan. Ini bukan tampang seorang pengawal biasa, maka Bu Goat-long jadi ingin mengetahuinya.

Tapi To Ceng-liong ternyata menyembunyikannya, malah jawabannya berusaha mengalihkan perhatian Bu Goat-long, "Tidak ada artinya, Kong-kong. Oh ya, kenapa Kong-kong begitu terburu-buru mengetahuinya, apakah ada kejadian gawat yang mengancam rencana kita?"

"Ah, tidak, Co Kong-kong tetap kuat kedudukannya di samping Kaisar...." bual Bu Goat-long. "Tapi beliau memang ingin mengikuti jalannya operasimu itu tahap demi tahap, supaya Co Kong-kong bisa menyesuaikan setiap langkahnya dengan tiap tahap perkembangan. Pihakmu dan pihak kami bersekutu bukan? Masing-masing pihak haruslah saling mengetahui apa yang diperbuat pihak lainnya."

Tak terasa To Ceng-lioug tertawa dingin, tapi cepat-cepat diubahnya sikapnya supaya nampak ramah kembali. Katanya, "Baik, laporkan kepada Co Kong-kong. Yang berhasil kami gulung di Han-tiong ini bukan sekedar cuma teri-terinya seperti yang di Pak-khua, tetapi kakap besar. Mula-mula kami berhasil menjebak dua orang pentolan pemberontak yaitu Oh Kui-hou dan seorang pemuda yang entah siapa namanya."

Ucapan pangeran itu terputus oleh suara keras Ting Hoan-wi yang tiba-tiba saja menegakkan punggungnya dari sandaran kursi, "Oh Kui-hou? Apakah orangnya kecil, kurus dan bersenjata cambuk kulit sepanjang tiga meter?"

"Ya, julukannya Thai-lik-ku-hoti (Macan Kurus Bertenaga Besar), apakah Bun cu (Ketua perguruan) kenal orang itu?"

Sebutan "Bun-cu" terdengar merdu di telinga Ting Hoan-wi, membuatnya agak bangga. Jawabnya, “Benar, Pangeran. Pernah orang itu menyerbu rumahku bersama gerombolan Hong-ho yang dipimpin Phoa Kim-go yang berjuluk Biat bwe-hou (Buaya Buntut Besi). Aku dikeroyok mereka berdua. Tapi kalau mereka berdua tidak cepat-cepat lari dari hadapanku, tentu sudah kupotong-potong mereka dengan pedangku. Waktu itu mereka.."

"Bual Ting Hoan-wi Si "Ketua Tiat-eng-bun" itu tentu akan berkepanjangan, seandainya si pangeran tidak cepat-cepat menukasnya, "Ya, kami semua tentu saja percaya kehebatan Bun-cu. Nah, sekarang Oh Kui-hou dan keempat gembong mata-mata Pelangi Kuning lainnya sudah meringkuk di dalam sel di kota Han-tiong."

Lebarlah senyum Bu Goat-Iong mendengar ini, "Kalau begitu, kami mengucapkan selamat. Ternyata Pangeran sekalian bekerja dengan bagus. Kalau sampai Co Kong-kong kelak bisa menghadapkan sendiri para gembong mata- mata musuh itu ke hadapan Kaisar tentu akan makin kokohlah kedudukannya di hadapan Kaisar. Makin kokoh berarti makin lancar rencana kita."

"Itulah yang kami harapkan."

"Kalau begitu, pangeran, kami bertiga akan segera berpamitan. Kami harus ke Han-tiong untuk melihat tawanan-tawanan itu, kemudian kalau perlu ikut mengawal mereka sampai ke Ibu kota."

"Silakan."

Tidak lama kemudian di luar rumah itu terdengarlah derap tiga ekor kuda, di kesunyian malam suara itu menjauh menuju ke arah kota Han-tiong. Setelah mereka pergi, berkatalah To Ceng- liong kepada orang-orangnya, "Nah, sekarang arenanya pindah kembali ke Pak khia..."

"Apakah kita akan jalan bersama-sama, Pangeran?"

"Tidak. Kat Kun-su, aku mohon agar kau diam-diam membuntuti rombongan pembawa tawanan itu dari Han-tiong, untuk membantu bilamana mereka menemui hambatan. Tapi kalau perjalanannya lancar, Kun-su lebih baik tidak menampakkan diri. Maklumlah, kita tidak bisa mempercayakan pengawalan tawanan-ta- wanan penting itu hanya kepada si babi tolol Kwe Hian, biarpun ditambah dengan ketiga badut pembual itu."

"Baik, Pangeran. Hamba sekarang juga akan kembali ke Han-tiong secara diam-diam."

"Jangan lupa, setibanya di Pak-khia langsung temui aku di tempat biasanya. Kalau aku belum tiba, tunggu."

"Baik, Pangeran."

Kat Hu-yongpun melangkah keluar, kemudian dia bergerak seperti hantu terbang untuk masuk kembali ke Han-tiong.


Fajar baru saja merekah, suasana masih remang-remang, cahaya pagi masih terlalu lemah untuk mengusir sisa kuasa malam yang masih bertahta di sebagian besar kubah langit. Namun pintu timur kota Han-tiong tiba-tiba sudah terbuka, dan muncullah Kwe Hian bersama seribu prajurit pilihannya untuk mengantarkan kelima tawanannya ke Pak-khia.

Kelima tawanan itu dibawa dalam gerobak-gerobak kerangkeng, seluruh tubuh dalam gerobak dan hanya kepala mereka yang diluar gerobak. Kaki tangan mereka dirantai. Kwe Hian berkuda paling depan, nampak gagah dalam seragam tempurnya, namun wajahnya agak masam.

Soalnya semalam ia kedatangan tiga orang utusan Co Hua-sun yang sudah mendengar tentang tertangkapnya gembong-gembong mata-mata pemberontak itu, dan langsung saja ketiga utusan itu menyatakan akan ikut mengawal sampai ke Pak-khia.

Maka Kwe Hian jadi murung, sebab pahala yang seharusnya untuk dirinya semua, sekarang harus dibagi dengan orang-orangnya Co Hua-sun. Tapi Kwe Hian tidak berani menolak kemauan Tong Hin-pa, Bu Goat-long dan Ting Hoan-wi, karena sadar betapa berkuasanya Co Hua-sun.

Karena hari masih pagi, pasukan itu pun masih segar dan jalannya cepat. Tidak lama kemudian kota Han-tiong sudah tertinggal belasan li di belakang. Kwe Hian membawa pasukannya menyusuri jalan raya yang dianggapnya paling aman, sebab sepanjang jalan itu bertaburan pos-pos keamanan tentara kerajaan. Ia pantang melalui jalan-jalan pintas yang biarpun lebih pendek, namun amat besar resikonya akan dihadang kaum pemberontak.

Namun Tong Hin-pa yang berkuda di samping Kwe Hian tiba-tiba mengajukan usul, "Cong-peng, bagaimana kaiau lewat jalan itu saja? Kita bisa menghemat hampir separo jarak kalau lewat situ." Dengan cambuk kudanya Tong Hin-pa menunjuk sebuah jalan yang sepi cabang dari jalan raya yang sedang dilewatinya. Jalan itu menghunjam jauh masuk ke padang ilalang.

Kwe Hian menggeleng kepala, "Tong Lo-eng-hiong, di tempat sunyi itu para penjahat lebih mudah membuat perangkap, kenapa harus ambil resiko yang tidak perlu?"

Tong Hin-pa tertawa, terang-terangan mentertawakan sikap takut Kwe Hian itu. "Jangan kuatir, Cong-peng. Kalau ketemu orang jahat, senjataku akan mencabut nyawa mereka sepuasnya."

Disusul suara Ting Hoan-wi tidak kalah besarnya, "Rupanya Cong-peng lupa kalau dalam rombongan ini ada kami bertiga? Lupa kalau aku Ini Ketua Eng-jiau-bun?"

Dasar memang Kwe Hian sendiri bukan seorang yang kuat pendiriannya, maka setelah dibujuk-bujuk oleh ketiga utusan Co Hua-sun yang menepuk dada sebagai jagoan-jagoan tangguh itu, akhirnya Kwe Hian menurut juga. Lagipula kalau terus-terusan menolak, ia kuatir ketiga jagoan Co Hua-sun itu akan mentertawakan terang-terangan di hadapan pasukannya, menganggap dirinya pengecut.

"Baiklah, tapi harus hati-hati...." akhirnya ia setuju.

Pasukan itu lalu berbelok mengambil jalan di tengah-tengah padang belukar itu. Ketika matahari sampai ke pundak bukit, jalanan itu makin sepi, orang-orang yang berpapasan dengan pasukan itupun hampir tidak ada. Kalaupun ada yang nampak sekali-sekali hanyalah orang orang berdandan seperti pemburu atau pencari hasil hutan lainnya. Itu menandakan kalau di depan sana adalah hutan.

Meskipun menurut anjuran Tong Hin-pa, namun Kwe Hian sebenarnya masih was-was. Dihentikannya seorang pencari kayu yang berjalan dari depan, dan dita-nyainya, "He, sobat, kau dari dalam hutan itu?"

Melihat pasukan pembawa tawanan itu, si pencari kayu nampak takut dan berjongkok, "Betul, taijin..."

"Jalan itu kalau terus akan sampai ke mana?"

"Menembus hutan, lalu sampai ke sebuah simpang tiga. Belok kanan ke Pak-khia, belok kiri ke Han-tiong."

"Apa bisa dilewati gerobak-gerobak seperti ini?" tanya Kwe Hian lagi, sambil menunjuk kereta-kereta kerangkeng.

"Bisa, Taijin. Orang-orang kampung terdekat sering menggunakan gerobak untuk mengangkut hasil bumi ke kota. Kalau kereta besar yang ditarik dua kuda memang tidak bisa lewat, tapi kalau gerobak bertubuh sempit, seperti itu tentu bisa."

"Keadaan hutan saat ini aman?"

"Aman, Taijin."

"Tidak ada jejak orang jahat?"

"Tidak, Taijin. Hanya para pemburu dan beberapa pencari hasil hutan yang sudah saling kenal dari kampung-kampung sekitar sini..."

"Kau sendiri dari kampung mana?"

"Kampung Jing-tiok di sebelah utara hutan itu, Taijin...." sahut orang itu dengan wajah berseri-seri karena mengharap sedikitnya akan mendapat hadiah untuk keterangannya itu.

Tak terduga, wajah Kwe Hian menjadi bengis ketika berkata, "Bagus, akan kuingat-ingat nama kampungmu itu. Tadi kau bilang dalam hutan keadaannya aman, tapi kalau sampai kami temui hambatan dari orang jahat, berarti kau bohong, berarti pula kelak kampungmu akan kudatangi dan ku bumihanguskan!"

Wajah si pencari kayu kontan memucat. Sementara Kwe Hian memerintahkan pasukannya untuk maju lagi. Pohon ilalang tumbuh semakin tinggi, beberapa pohon besar juga mulai terlihat yang makin lama makin rapat. Di tanah yang dilewati memang nampak jejak lama roda-roda gerobak.

Ketika sampai ke daerah naungan pohon-pohon besar, para prajurit seakan merasa segar kembali, karena kini mereka lewat tempat yang teduh. Namun setelah agak jauh memasuki hutan, rintanganpun muncul. Di depan tiba-tiba terdengar teriakan mengguntur,

"Berhenti!"

Suara itu menimbulkan getaran begitu hebat, sehingga Tong hin-pa yang ilmunya paling tinggi di antara rombongan itupun kaget, sadar kalau orang yang berteriak itu berilmu amat tinggi. Sedangkan Kwe Hian langsung cemas akan tawanan-tawanannya, perintahnya kepada pasukannya,

"Siap! Jaga tawanan!"

Beberapa saat orang yang berteriak itu belum menampakkan batang hidungnya, kemudian nampaklah seseorang melompat dari atas sebatang pohon yang tinggi, tepat di depan rombongan tentara kerajaan itu. Seorang tua berumur kira-kira enam puluh tahun, tubuhnya gemuk bundar seperti gentong sehingga seolah-olah tidak punya leher dan pinggang karena banyaknya daging yang menutupi kedua bagian tubuh itu, tangan dan kaklnyapun nampak pendek-pendek.

Tubuh seperti itu tentu lebih berat dari dua karung beras dijadikan satu. Tapi ketika melayang turun dari pohon, ternyata gerakannya seperti daun kering, ketika kakinya menyentuh tanah, tidak sedikitpun menimbulkan debu yang mengepul atau daun terinjak gemersik. Seolah dia dikerek dan diletakkan pelan-pelan.

Melihat orang tua ini, Oh Kui-hou dan Yo Kian-hipun serempak berseru kegirangan, "Suhu!"

Dengan mata berkilat-kilat menakutkan kakek gendut itu membentak Kwe Hian, "Bebaskan kelima tawanan itu, supaya kalian bisa lewat tanpa kuganggu. Tapi kalau kau keras kepala, pohon inilah contohnya."

Lalu kakek gendut itu mendekati sebatang pohon besar, dicengkeramnya dengan kedua tangan, dan setelah mengumpulkan tenaga sebentar, diapun mencabut pohon itu mentah-mentah bersama akar-akarnya. Belum cukup dengan pameran kekuatan itu, si kakek gendut dengan kedua tangannya mengangkat batang pohon itu melintang, lalu membenturkan jidatnya. Batang pohon sebesar paha itu-pun patah dua.

Rasa gentar menyusup ke setiap nyali dalam rombongan tentara kerajaan itu. Penghadangnya memang cuma satu orang, namun yang satu orang itu berkemampuan sedahsyat itu. Belum cukup dengan pameran kekuatan itu, si kakek gendut dengan kedua tangan nya mengangkat batang pohon itu melintang, lalu membenturkan jidatnya.

"Kong-thau-siang (Gajah Berjidat Baja) Ko Ban-seng...."

Tong Hin-pa berdesis gentar. Sebagai seorang tokoh persilatan, ia dapat segera mengenali ciri-ciri tokoh-tokoh sakti yang tidak banyak jumlahnya, dan salah seorang adalah yang sekarang berdiri di hadapannya. Dalam hati Tong Hin-pa diam-diam juga menyesal, tadi telah mengusulkan kepada Kwe Hian untuk melewati jalan itu.

Si kakek gendut Ko Ban-seng melempar jauh- jauh kedua potongan pohonnya, lalu melangkah maju dengan sikap mengancam. "Nah, kalian mau menurut atau tidak?"

Kwe Hian yang sudah membayangkan akan mendapat kenaikan pangkat itu, mana rela membiarkan tawanan-tawanan diambil begitu saja? Maka biarpun sudah melihat kehebatan si kakek gendut, ia keluarkan perintah juga untuk pasukannya, "Serbu!"

Terpaksa para prajurit menyerbu, seperti laron menyerbu api. Atau seperti nyamuk-nyamuk yang hendak menghisap darah dari seekor badak, sebab ketika senjata-senjata mereka mengenai tubuh si kakek gendut, ternyata hanya mampu merobek-robek pakaian Ko Ban-seng, tapi tak membekaskan luka sedikitpun di tubuh si kakek gendut.

Ko Ban-seng melangkah maju sambil terbahak-bahak, membiarkan senjata-senjata menghujani kulitnya, seperti seekor babi hutan melangkah di antara batang-batang ilalang. Namun ketika para prajurit mencoba menusuk ke mata atau telinga, bagian tubuh yang tidak mungkin dibuat kebal, Ko Ban-seng merasa agak terganggu.

Tiba-tiba sepasang tangannya bergerak-gerak dengan cepat, mencengkeram dan melemparkan, mencengkeram lagi dan melemparkan lagi, terus begitu berkali-kali. Tiap kali dua prajurit "diambil dan dibuang" jauh-jauh, maka sebentar saja sudah puluhan prajurit terhempas babak belur.

Saat itu sesungguhnya Ko Ban-seng belum menunjukkan jurus-jurus silat sebenarnya. Ia baru menunjukkan kekuatan dan kekebalan, sedang gerak menangkap dan membuang itu lebih tepat disebut gerak sembarangan saja, bukan silat. Toh sudah menimbulkan kerugian yang berarti di pihak tentara kerajaan.

Namun sebelum ada perintah mundur dari panglima mereka, para prajurit tetap berusaha menghadang, biarpun hanya untuk berpelantingan tersapu tangan-tangan si kakek gendut. Kwe Hian jadi panik melihat keadaan itu. Ia menoleh kepada Tong Hin-pa dan berkata dengan nada menyalahkan.

"Tong Sianseng, bagaimana sekarang? Tadi Sianseng yang mengusulkan untuk melewati jalan ini."

"Jangan kuatir.... jangan kuatir...." sahut Tong Hin-pa, namun suaranya sendiripun gemetar cemas.

Si "Ketua Tiat-eng-bun" Ting Hoan-wi juga tidak kalah cemasnya. Rasanya lebih senang menghadapi segerombolan penjahat biasa, daripada menghadapi satu orang tetapi sehebat si kakek gendut.

Sementara Ko Ban-seng sudah mendesak maju lagi belasan langkah setelah merobohkan puluhan prajurit. Melihat itu, Kwe Hian dengan cemas bertanya kepada Tong Hin-pa, "Sianseng, daripada kita celaka, bagaimana kalau kita serahkan saja tawanan-tawanan itu?"

"Jangan! Co Kong-kong amat membutuhkan tawanan-tawanan itu untuk memperkuat kedudukan politisnya di hadapan Kaisar!" Cegah Tong Hin-pa dengan kaget, lalu ajaknya kepada Bu Goat Long dan Ting Hoan-wi, "Mari kita hadapi bersama-sama!"

"Baik!" terpaksa Ting Hoan-wi harus berlagak gagah sambil mencabut pedangnya, pedang Tiat-eng Po-kiam yang tajam, lambang kepemimpinan perguruan Tiat-eng-bun. Ia mencoba membesarkan hatinya sendiri, bahwa selama inipun ia sudah sedikit-sedikit mempelajari isi kitab Tiat-eng Pit-kip sehingga ada peningkatan ilmunya.

Bu Goat-long juga mencabut pedang. Biarpun gerak-geriknya kebanci-bancian, namun sebagai orang kepercayaan Co Hua-sun, dia mempunyai ilmu silat yang tangguh. Sudah sering ia melakukan tugas sebagai pembunuh gelap terhadap orang-orang yang tidak disenangi Co Hua-sun, dan Bu Goat-long melakukannya dengan tangannya sendiri demi kerahasiaannya. Sebagai algojo macam itu, sudah tentu ilmu silat Bu Goat-long tidak dapat dipandang enteng.

Melihat kedua kawannya sudah bersiap, Tong Hin-pa menjadi besar hati. Dari pinggangnya iapun mengurai senjatanya yang istimewa, yang dinamainya Kat-bwe-pian (Cambuk Ekor Kalajengking), karena di ujung cambuknya memang dipasangi sapit besi tajam seperti ekor kalajengking, hitam keungu- unguan karena dipolesi racun tajam.

Tong Hin-pa bertigapun melangkah maju mendekati si kakek gendut, sedangkan para prajurit tanpa diperintah sudah mundur menjauhi Ko Ban-seng. Para prajurit itu merasa kebetulan kalau "bencana" itu diambil alih oleh ketiga jago dari istana Co Hua-sun itu.

Melihat majunya ketiga lawan itu, Ko Ban-seng berhenti melangkah. Tajam ditatapnya ketiga lawannya yang maju dengan membentuk barisan segitiga. Satu di tengah dan satu di masing-masing sayap. Menatap Tong Hin-pa, Ko Ban-seng tertawa dingin,

"Bu-eng-jiat-pian (Cambuk Maut Tanpa Bayangan), he-he-he... kiranya kau sudah menjadi anjing peliharaannya Co Hua-sun sekarang?"

Tong Hin-pa bungkam, ia lebih suka memusatkan perhatiannya untuk menghadapi pertempuran, daripada memecah pikiran dengan saling mengejek. Biarpun pihaknya ada tiga orang bersenjata, tetapi Tong Hin-pa belum berani menentukan bahwa kemenangan sudah pasti dipihaknya.

Sementara itu Ko Ban-seng lalu menatap Ting Hoan-wi. Bukan tampang Ting Hoan-wi yang diperhatikannya, sebab tampang itu sama sekali bukan tampang yang dikenal di kalangan persilatan, namun pedang di tangan Ting Hoan-wi itulah yang menarik perhatiannya.

"He, bocah yang memegang Tiat-eng Po-kiam, Tiat-eng (si Elang Besi) Nyo Hong dari Teng-hong itu apamu?"

Seperti biasa, Ting Hoan-wi selalu menjawab dengan kebohongan yang sudah "siap pakai" di bibir, "Akulah muridnya yang mendapat kepercayaan meneruskan kepemimpinan perguruan Tiat-eng-bun!"

"Ah, Nyo Hong rupanya semakin pikun menjelang kematiannya." suara Ko Ban-seng seperti keluhan, sambil geleng-geleng kepala. "Bagaimana mungkin bocah macam ini diwarisi kedudukan Ketua Tiat-eng-bun? Hancurlah jerih payah leluhur Tiat-eng-bun selama berabad- abad."

Sementara itu, biarpun dibelenggu dalam gerobak tawanan, Oh Kui-hou senantiasa memperhatikan perkembangan sekitarnya. Ia heran mendengar Ting Ho-an-wi mengaku sebagai Ketua Tiat-eng-bun, padahal setahunya Ketua Tiat-eng-bun adalah Helian Kong yang saat itu sedang disekap Jenderal Li Giam di Tong-koan.

Terhadap Helian Kong, Oh Kui-hou bermusuhan namun ada rasa hormatnya karena pribadi Helian Kong yang kesatria. Sedang terhadap Ting Hoan-wi, melihatpun Oh Kui-hou sudah jemu. Dinilainya Ting Hoan-wi banyak lagak, bicaranya besar tapi kosong.

Sementara itu, Ko Ban-seng berkata pula, "Aneh juga, kenapa sekarang Tiat-eng-bun punya dua ketua?"

"Apa katamu?" Ting Hoan-wi kaget.

"Di Tong-koan sekarang ada tawanan bernama Helian Kong yang juga Ketua Tiat-eng-bun, nah, mana yang betul?"

"Tentu saja akulah Ketua yang aseli, karena akulah yang memiliki tanda-tanda kekuasaan Tiat-eng-bun..." sahut Ting Hoan-wi nekad. "Tapi aku ingin tahu, bagaimana nasib Helian Kong di tangan pemberontak?"

"Dia dalam penjagaan pengawal-pengawal Jenderal Li!"

Sesaat otak Ting Hoan-wi berputar, lalu berkatalah dia, "Hem, Helian Kong adalah saudara seperguruan yang berilmu tinggi, ilmunya hanya selapis di bawahku. Kalian mengurung dia sama saja dengan mengurung macan liar, sekali lengah, macan itu akan menerkam tengkuk kalian! Dan kuharapkan hal itu cepat terjadi!"

Dengan kata-kata itu, kedengarannya memang Ting Hoan-wi membela dan membanggakan Helian Kong, padahal tujuannya ialah menakut-nakuti pihak pemberontak agar segera mereka menghukum mati Helian Kong. Sebab selama Helian Kong masih hidup, Ting Hoan-wi merasa belum tenteram benar hidupnya, ia terlalu banyak kesalahannya terhadap Helian Kong.

Tapi Ko Ban-seng menjawab keras, "Jenderal Li tahu apa yang harus diperbuatnya dan tidak perlu mendengarkan mulut anjing seperti kau! Sekarang yang penting, bebaskan kelima tawanan itu atau kalian takkan berhasil melewati jalan ini!"

Ting Hoan-wi gentar juga melihat kegarangan si kakek gemuk, la mundur selangkah sambil melintangkan pedang di depan tubuh.

"Ayo bebaskan!" kembali suara kakek gemuk mengguntur.

"Tidak!" yang menjawab adalah Bu Goat-long. Thai-kam inilah yang telah mendapat pesan bersungguh-sungguh dari Co Hua-sun, bahwa setiap tawanan mata-mata Li Cu-seng harus jatuh ke tangan Co Hua-sun saja, sebab mereka dibutuhkan untuk "senjata politik"nya.

Ko Ban-seng melirik Bu Goat-long dengan pandangan menghina, "Mendengar suaramu, tentu kau manusia sejenis dengan Co Hua-sun. Buat apa kau ikut bicara, sedang kau cuma budak kebiri?"

Kata-kata tajam tepat mengenai bagian paling peka dari perasaan Bu Goat-long, kontan kemarahannya berkobar dan menggantikan rasa gentarnya. Disertai lengkingan seperti anjing diinjak ekornya, ia menerkam dan pedangnya membabat leher dengan tipu Pek-hong-koan-jit (Pelangi Menutupi Matahari).

Tapi Ko Ban-seng menangkis pedang itu begitu saja dengan tangannya tanpa terluka, berbarengan tangan lain mengepal dan membalas menjotos ke dada Bu Goat-long, yang pasti akan membuat thai-kam itu mampus seketika kalau kena.

Tong Hin-pa tidak tinggal diam. Biarpun merasa agak gentar, dia merasa bertanggung jawab juga untuk keselamatan Bu Goat-long sebagai orang kesayangan Co Hua-sun. Kalau sampai Bu Goat-long celaka tanpa pembelaan, maka kepercayaan Co Hua-sun terhadap dirinya bisa merosot dan berarti rejekinya juga akan makin seret. Karena itulah bagi Tong Hin-pa, membela Bu Goat-long adalah kewajiban yang berarti juga membela rejekinya sendiri.

Karena itulah bersamaan dengan serangan balik si Gajah Jidat Besi kepada Bu Goat-long, sepit beracun di ujung cambuk Tong Hin-pa pun melayang ke mata Ko Ban-seng, bagian tubuh yang tak mungkin dikebalkan. Si Kakek gemuk menunduk menyelamatkan matanya, lalu tiba-tiba melejit menyerudukkan kepalanya ke arah dada Tong Hin-pa. Tong Hin-pa lompat menghindar, ia tidak mau mati oleh serudukan maut itu.

Sementara Bu Goat-long maju kembali, kali ini dibarengi Ting Hoan-wi dari arah lain yang menggunakan Tiat-eng Po-kiam untuk menikam ke pinggang. Begitulah jadinya ketiga kaki tangan Co Hua-sun itu bertempur serempak.

Masih percaya akan kekebalan kulitnya, Ko Ban-seng menangkis pedang Tiat-eng Po-kiam dengan kebasan lengan ke bawah, sementara tangan lain sudah mengepal dan siap menggodam lawan, jurus-jurusnya nampak sederhana sekali. Namun kali ini si kakek gendut kaget merasakan lengannya pedih, buru-buru ia melompat mundur menjauhi ketiga lawannya. ia kaget melihat kulit lengannya robek sejengkal dan mengucurkan darah.

Nyata kalau pedang Tiat-eng Po-kiam bukan sekedar lambang kekuasaan Ketua Tiat-eng-bun, tapi juga senjata tempur yang ampuh. Kulit si Gajah Jidat Besi boleh kebal terhadap senjata biasa, namun Tiat-eng Po-kiam tidak termasuk yang biasa itu. Ting Hoan-wi makin besar hati, apa lagi ia yakin bahwa ilmunyapun sudah meningkat.

Sambil membentak, dua jurus berturut-turut dia lancarkan. Tai-mo-liu-soa (Pasir Berhamburan di Gurun) pedangnya melingkar membentuk piringan perak yang hendak memotong tubuh bundar lawannya tepat di perut. Ketika lawannya mengelak mundur, dengan gagah Ting Hoan-wi melompat melancarkan Hui-eng-mo-hun (Elang Menyentuh Mega) untuk menikam dari atas. Cahaya melebar pedangnya lenyap digantikan cahaya lurus gemerlapan yang menghunjam dari udara.

Memang ilmu silatnya maju, tapi semangatnya yang berlebihan membuat penilaiannya atas perbandingan ilmunya sendiri dan ilmu lawannya jadi kurang tepat. Dalam jurus Hui-eng-mo-hun dia sudah yakin seratus persen kalau lawannya pasti akan dikenai, maka ia tidak siap akan gerak lain sebagai cadangan. Tapi serangannya ternyata luput.

Ko Ban-seng melakukan salto rendah dekat tanah. Ketika pedang Ting Hoan-wi meluncur sejengkal dari badannya dan tak mungkin diubah arahnya, Ko Ban-seng menggunakan sepasang telapak tangannya untuk menumpu tanah dan sepasang kakinya menjejak tubuh Ting Hoan-wi vang masih mengapung di udara.

Dan kena. Tubuh Ting Hoan-wi seperti sebuah bola yang melambung. Sebelum jatuh, dengan panik Ting Hoan-wi mencoba berbagai gerak di udara untuk mencari keseimbangan dan jatuh dengan kakinya. Memang berhasil, tetapi mukanya sudah pucat karena kaget dan dadanya masih terasa sesak oleh tendangan lawan.

Sementara si Gajah Kepala Besi menyerbu kembali dengan murka. Maka Tong Hin-pa, Ting Hoan-wi dan Bu Goat-long bertigapun harus bekerja keras menanggulangi amukan si pendekar tua. Tiga orang bersenjata melawan satu orang bertangan kosong, tapi makin lama terasa makin beratnya tekanan pendekar tua itu. Tidak peduli ujung cambuk Tong Hin-pa beracun dan pedang Ting Hoan-wi pedang pusaka.

Ternyata si kakek bertubuh gentong besar itu tidak cuma mengandalkan tenaganya yang besar dan kulitnya yang keras. Tadi menghadapi para prajurit memang belum nampak jurus-jurus istimewanya, masih menggunakan gerak semba-rangan saja. Namun kini ia menunjukkan silatnya yang disebut Ban-siang-kun-hoat ( Silat Selaksa Gajah).

Suatu ilmu tangan kosong yang tidak cuma mengandalkan kekuatan dan kekebalan, tapi dilengkapi kecepatan langkah dan lompatan lincah ke sana ke mari. Akibatnya segera terasa oleh Tong Hin-pa bertiga. Ketiganya merasakan pandangan mereka kabur, seolah mereka menghadapi lawan yang biasa muncul di mana saja untuk menghilang lagi dan muncul lagi di tempat lain.

Selain itu, gerak dahsyat lawan menyebabkan tekanan udara dahsyat yang menyesakkan napas, tak peduli atas diri Tong Hin-pa yang ilmunya paling tinggi di antara mereka bertiga. Berulang kali Tong Hin-pa berteriak untuk memadukan perlawanan bersama kedua rekannya. Ia ingin menjepit Ko Ban-seng di satu titik, lalu Ting Hoan-wi dengan ketajaman pedangnya harus berusaha menyelesaikannya.

Kalau tidak bisa satu kali serangan telak, ya sedikit-demi sedikit tentu harus menimbulkan luka-luka yang menguras tenaga. Begitu maunya, tapi lain kenyataannya. Lawan tak pernah bisa dipojokkan ke satu titik, namun selalu berpindah seperti angin puting beliung di padang pasir. Bahkan lama-lama Tong Hin-pa bertiga mulai merasakan betapa mereka bertigalah malahan yang terkurung oleh lawan yang cuma satu orang.

Bu Coat-long yang ilmunya paling rendah, paling awal pula merasakan datangnya kesulitan. Matanya mulai kabur, napasnya sesak, keringat membasahi pakaiannya sampai lapisan yang paling luar, langkahnya sempoyongan dan ayunan pedangnya mulai lebih banyak ngawurnya. Tidak cermat dan mengambang.

Dalam kerja sama segitiga itu, sudut Bu Goat-long inilah yang nampaknya bakal jebol lebih dulu. Merasakan gelagat buruk di pihaknya, Tong Hin-pa menyerang bertubi-tubi dengan cambuknya untuk menyelamatkan posisi pihaknya. Dan tiba-tiba ia membalikkan gagang cambuknya untuk dihadapkan ke muka si kakek gemuk yang digdaya itu.

Gagang cambuknya itu ternyata berongga di bagian dalamnya, ketika ditekan maka menyemburlah bubuk kuning halus seperti asap, ke muka Ko Ban-seng. Itulah bubuk kuning yang dulu pernah juga melumpuhkan Helian Kong ketika menyelundup ke istana.

Suatu serangan curang, namun buat Tong Hin-pa apapun sah dilakukan asal bisa menang. Kalau tidak demikian wataknya, mana tahan bergabung dengan kelompok Co Hua-sun yang juga terdiri dari orang-orang berwatak demikian?

Ko Ban-seng kaget dan mengibaskan sepasang lengan bajunya yang longgar itu di depan wajahnya, sambil melompat mundur. Bubuk kuning beracun itu terhambur buyar dan sebagian malahan menyembur ke muka Bu Goat-long yang tengah menyerang dari sudut lain.

Celakalah si Thaikam yang daya tahannya memang sedang anjlog itu kena serangan nyasar tak disengaja dari rekannya sendiri, la sempoyongan lalu terjungkal pingsan. Demikianlah, bukannya Tong Hin-pa berhasil mempercepat kemenangan melalui kecurangannya, malahan temannya sendiri jadi korban.

Maka kacaulah kerja sama Tong Hin-pa dan Ting Hoan-wi, sebab si kakek gemuk lawan mereka gencar menghujani dengan serangan bertubi-tubi. Orang tua itu gusar karena menurut wataknya ia amat membenci tindakan licik seperti yang diperbuat Tong Hin-pa tadi.

Pontang-pantinglah Tong Hin-pa serta Ting Hoa-wi di bawah tekanan pukulan yang seolah hendak menggencet mereka hingga gepeng. Karena kalah tenaga dalam, cambuk Tong Hin- pa jadi sulit dikendalikan. Cambuk itu hanya mampu berkibar seperti sehelai selendang di tengah angin ribut, tanpa daya, tanpa kekuatan, bahkan sering hampir menyabet mukanya sendiri.

Begitu juga Ting Hoan-wi. Pedangnya pedang pusaka, ilmunyapun tidak rendah, namun dia hanya galak kalau ketemu lawan empuk. Begitu ketemu lawan yang keras sedikit, nyalinya susut dengan cepatnya. Bukannya lebih giat sedikit untuk meringankan beban Tong Hin-pa, malahan lebih sering ia bersembunyi di belakang tubuh Tong Hin-pa untuk menyelamatkan diri dan membiarkan Tong Hin-pa sendirian membendung amukan musuh.

"Teman seperjuangan" macam itu tentu saja membuat Tong Hin-pa bukan main mendongkolnya.

Yang jantungnya hampir copot ialah Kwe Hian. Kalau Tong Hin-pa dan Ting Hoan-wi gagal menahan musuh, siapa lagi bisa menahannya? Dia dan prajurit-prajuritnya bisakah menahan orang tua bertenaga gajah dan berkulit kebal senjata itu? Karena itulah Kwe Hian hanya pasrah menunggu bagaimana nanti akhir pertempuran itu. Kalau pihaknya menang ya syukur, kalau kalah ya serahkan saja tawanan-tawanan itu. Apa gunanya bintang jasa kalau diterima secara anumerta?

Sementara itu Ko Ban-seng sudah ingin segera mengakhiri pertempuran. Waktu itu ia tiba-tiba berdiri kokoh dengan kuda-kuda Co-ma-she (Sikap Menunggang Kuda), dengan tubuh gembrotnya agak membungkuk ke depan, sehingga sepintas lalu jadi seperti seekor kodok raksasa yang siap melompat ke depan. Tapi dia tidak bermaksud melawak, sebab sikapnya itu justru menimbulkan firasat buruk dalam diri kedua lawannya.

Wajah si pendekar tua merah padam, tiba-tiba sepasang telapak tangannya membuat gerak seperti menepuk dari dua sisi. Gerakannya memang terlalu jauh dari lawan-lawannya, sehingga lawan-lawannya tidak langsung kena. Namun mereka langsung merasakan akibat dari jurus Hong-sui-kui-hai (Banjir Kembali ke Samudra) itu.

Dua arus tenaga dahsyat menyapu bersilang ke depan, seperti sebuah gunting raksasa tapi tak berwujud. Namun tekanannya terasa mengerikan, mengguncangkan pohon-pohon di sekitar arena dan merontokkan daun-daunnya, sehingga di tempat itu seperti terjadi hujan daun.

Tong Hin-pa pasang kuda-kuda dan mencoba bertahan, namun ia tetap terhuyung-huyung ke kiri seperti diombang-ambingkan dua arus gelombang raksasa yang berlawanan arah. Ting Hoan-wi, seperti biasa, ingin mencari tempat aman di belakang punggung Tong Hin-pa, dia melompat. Namun ia kurang memperhitungkan bahwa lompatannya itu tepat memotong aliran tenaga hebat tak berujud dari lawannya.

Sehingga diapun terpental seperti layang-layang putus benangnya. Tubuhnya membentur batang pohon lalu merosot ke bawah dan muntah darah. Akhirnya ia cuma duduk kempas kempis di bawah pohon, wajahnya pucat, untuk sementara tidak ada kekuatan untuk bangkit kembali.

Ko Ban-seng tertawa dingin. Melihat Tong Hin-pa masih nekad bertahan, dia-pun membentak, "Lumayan Juga latihan kuda-kuda dan tenaga dalammu, he-he-he.... tapi cicipilah jurusku yang ini!"

Kuda-kudanya lalu digeser menjadi Co-cian-ma dengan sebelah kaki maju ke depan, sepasang telapak tangan ditarik dulu ke pinggang lalu menyodok sejajar seperti mendorong gerobak, itulah pukulan Kiap-kok- thai-hong ( Badai Melintasi Ngarai). Tong Hin-pa menjerit karena tidak mampu lagi bertahan, kali Ini diapun terangkat "terbang" seperti Ting Hoan-wi tadi, untuk terkapar kempas-kempis di tanah.

Perlawanan ketiga jago bawahan Co Hua-sun itupun habis sudah. Ko Ban-seng lalu dengan santai mendekati kereta-kereta tahanan sambil tertawa terkekeh- kekeh, "Nah, sekarang aku ambil murid-muridku dan teman-teman mereka ini...."

Kwe Hian dan prajurit-prajuritnyapun diam saja, tak bersemangat untuk merintangi. Namun di lorong di tengah hutan itu mendaduk terdengar suara lain yang berat bergema, "Tahan!"

Kedengarannya orang yang bersuara biasa tanpa ngotot, namun ada getaran hebat yang membuat dedaunan sekali lagi berguguran. Ko Ban-seng sendiripun kaget dan menghentikan langkahnya. Semua mata serempak dialihkan ke asal suara itu, kelihatanlah ada seorang yang duduk di ranting sebuah pohon.

Ranting itu lebih kecil dari jari kelingking, namun nampaknya tidak berat menahan bobot tubuh orang itu, malahan berayun naik turun. Sayang wajah orang itu tidak nampak karena mukanya ditutupi selembar kedok.

Tetapi Kwe Nian sudah kegirangan setengah mati sebab orang itu dikenalnya sebagai si "Dewa Penolong" yang telah mencegah kaburnya para tahanan dari penjara kota Hun-tiong. Sementara Ko Ban-seng dengan geram membentak, "Siapa kau?"

Orang di atas pohon itu tertawa terkekeh, "Kalau kubiarkan setiap orang mengetahui siapa diriku, buat apa susah-susah kupakai kedok ini? Benar-benar pertanyaan tolol!"

"Hem, kau mau pakai kedok atau tidak, itu urusanmu, tetapi membebaskan murid- muridku dan teman-temannya adalah kewajibanku, kau jangan coba-coba menghalangi!"

"Aku justru akan menghalangi."

"Apa hubunganmu dalam urusan ini?"

"Tidak perlu kau ketahui, pokoknya aku harus menghalangi membebaskan mereka!"

Gusarlah Ko Ban-seng mendengar jawaban itu. Lalu dengan langkah lebar dia mendekati kereta-kereta pesakitan itu, seolah mau menantang, "Halangilah! aku kalau kau mampu."

Namun cahaya hijau tiba-tiba bertebaran menyongsong Ko Ban-seng diiringi desis angin tajam. Tanpa sempat memperhatikan lebih jelas benda yang menyambarnya, Ko Ban-seng cepat menggulung tubuhnya seperti trenggiling untuk bergulingan menjauh, lolos dari serangan itu.

Ketika ia melompat bangkit, tercenganglah ia melihat yang menyambarnya tadi ternyata cuma pucuk-pucuk ranting muda yang belum keras benar, yang agaknya direnggut sembarangan saja oleh si orang berkedok lalu disambitkan. Tapi sambitan-nya itulah yang tidak sembarangan, sebab ketika "senjata rahasia" itu luput dan menerjang semak-semak di belakang Ko Ban-seng, maka semak-semak itu seperti ditebas rontok.

Sadarlah Ko Ban-seng bahwa rintangan yang lebih berat sudah tersedia di depannya. Rintangan yang pasti lebih berat dari rintangan- rintangan sebelumnya, biarpun ujudnya hanya satu orang.

Orang berkedok di atas pohon itu terkekeh, tubuhnya sekonyong-konyong melejit ringan dan tahu-tahu telah berdiri lima langkah di depan Ko Ban-seng. la mulai menukar peranannya dari penonton menjadi pemain langsung, sedang Tong Hin-pa bertiga berganti dari pemain menjadi penonton.

Orang berkedok itu mengawasi Ko Ban-seng tanpa berkedip, tidak berani lengah sedikitpun, namun kata-katanya ditujukan kepada Kwe Hian, "Cong-peng Taijin, teruskan langkahmu dan jangan takut kepada si gemuk ini. Dia urusanku."

Ko Ban-seng murka, cepat ia pasang kuda- kuda kembali, sepasang tangannya-pun dari kanan-kiri seperti hendak bertepuk tangan, hendak mengulangi jurus Hong-sui-kui-hai tadi. Kembali pepohonan di sekitarnya bergoyang oleh tenaga yang hebat, ranting-ranting berpatahan dan daun-daun berguguran seperti tadi. Kini bahkan lebih hebat sebab Ko Ban-seng lebih bersungguh-sungguh, mengingat akan bobot lawanya.

Arus tenaga dahsyat bersilang kembali membanjir, seperti gunting raksasa tak berwujud yang hendak menjepit remuk lawan di tengah. Orang berkedok itu berdiri dengan kaki renggang, kedua tangannya mendekap pundak seolah kedinginan, matanya mencorong. Orang berkedok itu berdiri dengan kaki renggang, kedua tangannya mendekap pundak seolah kedinginan, matanya mencorong.

Tubuhnya nampak bergetar terlanda arus pukulan lawan, namun sepasang kakinya tetap kokoh di tempatnya, tidak "hanyut" atau terpental seperti Tong Hin-pa dan Ting Hoan-wi tadi. Nyata kalau orang berkedok itu memang lain kelasnya.

Si Gajah Kepala Besi makin penasaran, ia membentak mengerahkan tenaganya dan secepat kilat menggantinya dengan jurus Kiap- kok-thai-hong, sepasang telapak tangpnnya menghantam ke depan dengan kekuatan berlipat ganda.

Arus bersilang yang semula tiba-tiba merapat menjadi satu arus dan menggempur langsung ke tubuh lawan. Pinggang orang berkedok itu nampak agak melengkung ke belakang menghadapi tekanan berat dari depan. Satu kakinya mundur selangkah, untuk menjaga supaya tidak roboh.

Ko Ban-seng terus menekan tanpa ingin memberi kesempatan lawannya untuk membalas. Biarpun sedang marah, namun Ko Ban-seng tidak kehilangan akal sebagai pesilat ulung, yaitu mengawasi dan mengamati di mana kiranya kelemahan lawan.

Ketika dua jurusnya sudah gagal merobohkan lawannya yang berdiri sekokoh karang itu, maka si kakek gendut segera menyimpulkan kalau kuda-kuda lawannya yang perlu "diurus" lebih dulu, bukan bagian atasnya.

Maka jurus ketiga Ko Ban-seng adalah gerakan kaki Ban-siang-keng-te (Selaksa Gajah Menggetar Bumi). Sepasang kakinya bergantian menghentak bumi dengan kekuatan dahsyatnya sambil meraung-raung dahsyat. Dalam garis tengah sepuluh langkah, bumi seolah diguncang gempa kecil yang bergelombang panjang.

Bukan si orang berkedok saja yang kelihatannya bergoyang-gontai hendak roboh, bahkan Tong Hin-pa sekalian dan para prajurit juga ikut terhuyung-huyung seperti orang mabuk. Tidak sedikit prajurit yang benar-benar roboh.

“Hebat!" pujian itu keluar dari mulut di balik kedok itu. la tidak menunggu sampai tubuhnya benar-benar roboh, ia melejit melambung ke udara. Sepasang telapak tangannya tiba-tiba membacok di udara berulang kali, seperti golok, ke arah lawannya sambil membentak, "Sekarang giliranku!"

Ko Ban-seng tidak berani menganggap remeh tebasan telapak tangan yang dari kejauhan itu. Ia melompat mengelak, dan banyak pepohonan di belakang Ko Ban-seng tertebas ranting-rantingnya seperti kena golok tajam, tapi tak kelihatan.

Potongannya rapi. Dan bukan cuma ranting-ranting kecil, tapi juga yang sebesar lengan. Tak lama kemudian pohon itu jadi rajin seperti pohon dalam taman yang habis dicukur tukang kebun.

"Bu-heng-to-hoat (Ilmu Golok Tanpa Ujud)..." desis Ko Ban-seng terkesiap ketika mengenali jenis ilmu lawannya.

"Benar!" sahut si orang berkedok sambil mengeluarkan lagi serentetan serangan dari berbagai arah. Meskipun disebut "ilmu golok", tapi yang digunakan adalah telapak tangan dan jangkauan bacokan-nya yang tidak kelihatan itu ada enam langkah dari ujung jari tangannya.

Ko Ban-seng tidak lagi punya kesempatan untuk mengguncang-guncang tanah dengan kakinya, sebab ia harus berpindah-pindah tempat menghadapi "golok" lawan. Lagipula percuma mengguncang tanah sebab lawannya sudah "beterbangan" dan tidak lagi menginjak tanah.

Lawannya berlompatan seperti tupai yang lincah di atas ranting-ranting pohon, tetapi sekali waktu menerkam dengan buas seperti rajawali dari angkasa. Nyata orang berkedok itu mencoba mengandalkan keunggulannya dalam ilmu meringankan tubuh untuk mengimbangi keunggulan lawan dalam kekuatan raksasanya.

Namun Ko Ban-sengpun bukan tokoh ingusan yang gampang dipecundangi dengan taktik macam itu. Tubuhnya yang gemuk bundar memang tidak selincah lawannya, tapi gelombang pukulannya memenuhi arena. Kadang arus tenaganya lurus, kadang menyilang, tidak jarang pula berputar seperti puting beliung.

Sekali orang berkedok itu salah langkah dan masuk perangkap, maka dia akan ditekan oleh kekuatan ribuan kati yang tak terlihat dari segala arah. Namun sebaliknya sekali Ko Ban-seng keliru memperhitungkan arah "bacokan” jarak jauh lawannya, maka tubuhnyapun akan jadi "lebih langsing" karena terpotong menjadi beberapa bagian.

Begitulah, akibat pertempuran mereka maka hutanpun jadi berantakan. Pepohonan kalau tidak roboh kena pukulan dahsyat Ko Ban-seng, atau tercabut dan terlempar malang melintang, tentunya kena tebasan "golok gaib" lawannya yang memotongi pepohonan tak kalah merusaknya. Tanah jadi terbalik seperti dibajak.

Kedahsyatan pertempuran itu membuat Tong Hin-pa bertiga, yang selama ini menepuk dada sebagai jagoan-jagoan istana, kini merasa kecut hatinya. Selain itu, mereka juga heran karena orang berkedok itu tanpa alasan yang jelas memihak Kwe Hian. Jagoan-jagoan istana itu jadi cemas.

Jangan-jangan orang berkedok itu adalah jagoan baru yang diundang Co Hua-sun? Kalau demikian, maka kedudukan sebagai jagoan nomor satu di samping Co Hua-sun akan digeser oleh orang itu. Tak terasa Tong Hin-pa jadi masgul sendiri.

Diam-diam ia bergeser mendekati Kwe Hian lalu bertanya, "Kwe Cong-peng, siapa orang berkedok itu? Kenapa kelihatannya kau sudah mengenalnya?"

Setelah menarik napas beberapa kali, Kwe Hian menyahut, "Dialah penolong misterius yang pernah kuceritakan kepadamu, Tong Thai-hiap. Pemberi peringatan dan juga penolong di saat para tahanan hampir berhasil kabur dilarikan pengikut-pengikut Li Cu-seng. Tanpa dia, tak mungkin kita berjalan ke Pak-khia dengan muka terang."

Tong Hin-pa agak tersinggung. Ucapan Kwe Hian itu seolah membandingkan ketidakbecusan dirinya dengan kehebatan orang berkedok itu. Tak terasa timbul kedengkin Tong Hin-pa terhadap si orang berkedok, tak peduli orang itu tengah menyabung nyawa di pihaknya. Dengusnya, "Hem, seorang yang bersembunyi di balik kedok dan berlagak hantu-hantuan macam itu, mana mungkin bertindak tanpa pamrih? Kwe Cong- peng, apakah kau tahu pamrihnya?"

"Tidak, Thai-hiap."

"Ah, kau sungguh gegabah. Kenapa orang yang tidak jelas asal-usulnya maupun tujuannya, sudah kau anggap sebagai penolong di pihakmu?"

"Tapi nyatanya dalam tiga kali tindakannya, dia menolong aku."

"Pasti tidak betul ini." Tong Hin-pa geleng-geleng kepala. Seandainya disuruh membuktikan apanya yang "tidak betul" pada diri orang berkedok itu, tentunya ia akan kebingungan karena memang tidak punya bukti apapun. Sikapnya hanya dilandasi rasa jelus, karena ia mengira orang berkedok itu adalah jagoan barunya Co Hua-sun yang bakal mendesak kedudukannya.

Sementara itu pertempuran makin hebat. Kedua pendekar tua itu sudah mengerahkan kekuatan, kecepatan, tipu-tipu silat dan segala macam taktik yang dipunyai, dan setelah lewat puluhan jurus masih saja sulit menentukan siapa bakal menang. Arena pertempuran yang semula teduh karena banyak pohon, kini telah menjadi terang benderang karena banyak pohon roboh terkena tangan kedua jago tua itu.

Sudah tentu bukan tujuan mereka untuk membuka hutan, tetapi mengalahkan lawan. Ko Ban-seng gemas ingin meremukkan tulang- tulang si orang berkedok, sedang si orang berkedok juga sudah geregetan ingin merajang tubuh gemuk lawannya dengan golok tanpa wujudnya. Tapi apa mau dikata, serangan kedua belah pihak belum kena-kena juga ke tubuh lawan masing-masing.

Namun ada satu hal kecil yang perlahan- lahan mengubah. keseimbangan. Ibaratnya di atas sebuah neraca yang sudah seimbang betul, jarum penunjuk angkanya sudah persis di tengah, namun ketika selembar bulu ditaruh di salah satu piringan neraca, tentu sedikit demi sedikit akan miring juga neraca itu.

Luka kecil di lengan Ko Ban-seng akibat goresan pedang Ting Hoan-wi tadi, semula dianggap hal sepele oleh Ko Ban-seng. Namun ketika pertempurannya dengan orang berkedok itu tetap saja seimbang dan berlarut-larut, maka luka kecilnya yang semula dianggap tak berarti sehingga tidak dibalut itu, terus menerus meneteskan darah.

Ketika kemudian nampak lengan Ko Ban-seng juga kuyup oleh darah, maka Ko Ban-seng juga merasa bahwa ia akan makin lemah dan akhirnya kalah. Ko Ban-seng sadar pula bahwa keinginannya untuk menolong kedua muridnya dan tiga saudara Giam itu akhirnya menemui tembok pertahanan yang tak tertembus. Kalau ngotot terus, jangan-jangan dirinya sendiripun malah akan tertawan pula.

Karena itulah biarpun rasa penasaran dan kecewa mengaduk di hatinya, Ko Ban-seng masih punya sisi sedikit akal sehat untuk memutuskan mundur dulu. Murid-muridnya hanya bisa ditolong oleh orang hidup, bukan orang mati. Karena itu setelah menangkis serentetan pukulan lawannya, Ko Ban-seng tiba-tiba menghentikan serangannya sambil berteriak, "Sebentar!"

Lawannyapun menghentikan serangan dan bertanya, "Kau mau apa?"

"Aku mau pergi dari sini, apakah kau akan merintangi aku?" sahut Ko Ban-seng dengan enaknya. Biasanya kalau seorang pesilat ingin kabur dari gelanggang, haruslah mencari peluang sebaik-baiknya agar tidak sempat diketahui dan dicegah lawan, tapi kini Ko Ban-seng malah terang-terangan berpamitan.

Dan dengan gaya yang sama enaknya orang berkedok itu menjawab sambil tertawa, "Mau pergi ya sana pergilah. Memangnya aku kurang kerja sehingga mengurusi orang macam kau saja?"

"Baik, tapi aku harus bicara dulu dengan murid-muridku."

"Asal jangan coba-coba membebaskan mereka, agar akupun tidak mengajakmu bertempur sampai tuntas."

"He, jangan boleh dia mendekati tawanan-tawanan itu!" Tong Hin-pa berteriak dengan panik, apalagi ketika melihat Ko Ban-seng telah melangkah mendekati kereta-kereta pesakitan. "He, cegah dia! Cegah dia!"

Bukan cuma Tong Hin-pa, tetapi yang lain-lainnyapun panik, benar-benar kuatir kalau si kakek gemuk mengambil tawanan-tawanan itu. Namun apa mau dikata tak seorangpun berani mencegah si kakek gemuk karena hal itu sama saja dengan mempertaruhkan nyawa.

Hanya si orang berkedok yang kelihatan dingin, berpeluk tangan dan berkata dengan santai, "Nanti kalau dia coba melepaskan orang, barulah aku turun tangan. Kalau cuma bicara saja ya tidak apa-apa."

Setelah dekat kereta pesakitan, ternyata Ko Ban-seng memang tidak melakukan apapun kecuali bicara kepada kedua muridnya dan tiga saudara Giam, "Kali ini aku gagal menolong kalian karena ada rintangan tak tertembus, aku terang-terangan saja. Tapi kalian jangan putus asa, dan kalian boleh berharap pertolonganku di lain kali."

Yo Kian-hilah yang berkata dengan emosional, "guru, sampaikan kepada Jenderal Li Giam, bahwa menghadapi siksaan yang bagaimanapun juga, kami takkan buka mulut. Kami berlima takkan mengkhianati perjuangan Joan-ong bagaimanapun akibatnya bagi kami!"

"Anak baik, jaga dirimu baik-baik..." penuh rasa sayang Ko Ban-seng menepuk kepala Yo Kian-hi sebelum melangkah pergi dengan santai, tidak tergesa-gesa.

Sementara Tong Hin-pa biarpun tidak berani mencegah sendiri, tapi masih berusaha menganjurkan si orang berkedok, "He, kenapa kau biarkan dia pergi? Tangkap dia! Dia juga termasuk gembong pemberontak yang penting!"

Orang berkedok itu menjawab tawar, "Aku lakukan apa yang aku sukai."

"Apa kau tidak ingin mendapat hadiah besar dari Co Kong-kong?" bujuk Tong Hin-pa yang masih mengira bahwa orang berkedok itu adalah "orang baru"-nya Co Hua-sun.

Sambil melangkah pelan menghilang ke dalam hutan, orang berkedok itupun menjawab tanpa menoleh, "Tidak!"

Tong Hin-pa pun garuk-garuk kepala kebingungan, tidak tahu orang berkedok itu punya kepentingan apa dengan sikap dan tindakannya yang membingungkan itu.

Sementara itu anak buah Kwe Hian mendapat kerja tambahan, menyingkirkan pohon-pohon tumbang yang malang melintang di jalanan gara-gara adu ilmu tingkat tinggi yang sengit tadi. Juga meratakan tanah. Kalau tidak begitu, kereta-kereta pesakitan itu takkan bisa lewat. Setelah jalanan cukup memadai untuk dilewati gerobak-gerobak, maka rombonganpun berjalan kembali.

Sampai di sebuah tempat terbuka di seberang hutan, hari sudah sore. Kwe Hian lalu memerintahkan pasukannya beristirahat, makan minum dan merawat prajurit-prajurit yang luka. Kwe Hian percaya malam itu takkan mendapat gangguan, ia benar-benar mengandalkan "dewa penolong"nya yang dibayangi kabut rahasia itu.

Esok harinya, ketika para prajurit sedang bersiap untuk berangkat lagi, Tong Hin-pa bertiga menemui Kwe Hian untuk minta diri, "Kwe Cong-peng, jarak ke Pak-khia tinggal lima puluh li lagi dan jalan makin aman karena banyak pos-pos keamanan yang terjaga kuat. Kami merasa tidak perlu menemanimu lagi. Kami akan mendahului ke Pak-khia, maka kuharap Cong-peng tidak keberatan."

"Oh, tidak, tidak keberatan. Silakan, selamat jalan, sampai ketemu lagi di Pak khia..!" sahut Kwe Hian begitu cepatnya dengan perasaan ringan. Malah dalam hatinya ia menambahkan, "Makin cepat kalian enyah dari depanku, makin baik. Supaya aku tidak lagi mual memandang tampang kalian yang sok pintar, sok kuasa, tukang mengatur, tapi ternyata tidak becus apa-apa kalau ada musuh."

Tong Hin-pa bertiga kemudian berkuda mendahului pasukan Kwe Hian ke Pak-khia. Merekapun sudah siap dengan laporan bahwa mereka telah berhasil melindungi pembawa tawanan yang hampir saja dirampas kaum pemberontak.


Di istana kekaisaran. Kaisar Cong-ceng dengan perasaan ringan dan hati gembira tengah menuju ke kamar ”boneka"nya yang baru, Tan Wan-wan. Sudah dibayangkannya betapa akan lembut dan hangatnya sambutan Tan Wan-wan, seperti biasanya. Begitu dia lupa daratan kalau sudah bermain asmara dengan Tan Wan-wan.

Sehingga sering dari mulutnya dia menceritakan apa saja kepada perempuan molek hadiah Ciu Kok-thio, mertuanya itu. Asal ada yang dibicarakan, dan sering yang dibicarakan kepada Tan Wan-wan itu adalah yang termasuk rahasia negara.

Namun ketika Kaisar mendorong pintu bangsal itu, yang menyambut kedatangannya hanyalah punggung Tan Wan-wan yang menghadap pintu. Nampak punggung itu tersentak-sentak perlahan, menandakan kalau si jelita itu sedang menangis. Dua orang dayangnya nampak sedang menghiburnya.

Melihat Kaisar masuk, para dayang cepat-cepat berlutut menghormat. Tan Wan wan menoleh, lalu iapun cepat-cepat berlutut. Wajah jelitanya yang basah air mata itu menunduk, sehingga titik-titik air kesedihan satu-satu menggelinding lewat pipinya yang merah jambu, kadang-kadang juga ujung hidungnya, terus menetes ke tanah. Dalam keadaan sedihpun Tan Wan-wan tetap mempesona, seperti mawar pagi hari yang masih terbungkus embun.

"Tiau Kui-hui jelas kalah jauh dibandingkan dia..." pikir Kaisar sambil mengelus-elus jenggotnya.

"Selamat datang, Tuanku...." suara lembut merdu itu menarik kaisar dari lamunannya. "Oh...." sesaat Kaisar tergagap, lalu dengan gerakan tangannya ia memerintahkan kedua dayang itu keluar. Maka sejenak kemudian ia sudah berdua saja bersama Tan Wan-wan di ruangan yang indah itu.

Kaisar mengambil tempat duduk, lalu berucap kepada Tan Wan-wan yang masih berlutut, "Bangun dan duduklah."

Tan Wan-wan bangkit dan duduk, tetapi wajahnya tetap menunduk. Bentuk dan gerak tubuhnya ketika bangkit itu mengingatkan Kaisar akan ranting muda pohon itu atau tangkai bunga teratai. "Ah, dia tidak boleh disamakan dengan teratai..." Kaisar cepat-cepat berbantah sendiri dalam hatinya. "Bukankah bunga teratai yang indah sekalipun, akarnya terkubur di lumpur yang kotor?"

Tapi suara lain dalam hatinya mendebat, "Bukankah Tan Wan-wan dulu juga berakar dan tumbuh di tempat kotor? Dia diambil Ciu Kok-thio dari rumah pelacuran di Soh-ciu..."

"Ah, tidak. Dia seorang perempuan yang malang yang patut dikasihani. Memang oleh suaminya yang malas dan tidak bertanggung jawab, dia hampir saja dijual ke rumah pelacuran, namun Gak-hu (Ayah mertuaku) berhasil menyelamatkannya lebih dulu. Dia belum sampai menjadi pelacur."

Begitulah Kaisar Cong-ceng berusaha berbantah sendiri dalam hatinya, berusaha untuk membenarkan tindakannya menempatkan Tan Wan wan dalam istana.

Sementara di luar bangsal itu terdengar kicau burung-burung berbulu indah peliharaan istana. Kicauan itu merdu namun terdengar memelas juga sebab mereka terkurung. Betapapun indahnya kurungan itu, mereka tetap masih iri kepada teman-teman mereka di alam bebas. Kicauan itu seperti keluhan sedih untuk kawan-kawan yang masih bebas.

"Tuanku...." tiba-tiba suara Tan Wan-wan memecah kesunyian. "Apakah hamba diperkenankan mengambil minuman?"

"Oh, tidak usah. Aku melihat hari ini kau menangis sedih, ada apa?"

"Hamba..... hamba....."

"Kau tidak suka di istana ini? Merasa terkurung?"

"Ampun Tuanku, justru hamba merasa bahwa sebagai seorang desa yang tadinya nyaris tenggelam dalam lumpur kehinaan, beruntung sekali mendapat belas kasihan Tuanku sehingga berada di sini. Mana berani hamba masih merasa kurang?"

"Tapi kau menangis."

"Tuanku amat baik terhadap hamba, namun agaknya tidak semua orang di istana ini menyukai hamba. Ada yang membenci dan ingin menyingkirkan hamba...?”

"Ah, apa benar begitu?"

“Benar, tuanku, mana berani hamba bohong? Orang yang membenci hamba itu kentara sekali sikapnya, pandangan matanya penuh kebencian seolah-olah hendak menelan hamba dan mencincang hamba lembut-lembut...”

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.