Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 17

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong seri pertama, Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 17 karya Stevanus S.P

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 17

Berkerutlah alis Kaisar Cong-ceng mendengar pengaduan itu. Ia menduga, pembenci itu kalau bukan Ciu Hong-hou (permaisuri Ciu) yang sudah lama tidak dijamahnya, tentunya ya Tiau Kui-hui (selir Tiau) yang memang tersingkir dari sisi Kaisar sejak kedatangan Tan Wan-wan.

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

"Siapa?" Kaisarpun bertanya, agar tidak menduga-duga saja.

"Hamba tidak berani menyebut namanya, sebab bukan kata-kata hamba sulit dipercaya oleh Tuanku, hamba juga tidak mau menyulitkan Tuanku. Kalau hamba sebutkan orang itu, hanya akan merisaukan perasaan Tuanku, sebab tuanku takkan berani... eh, maaf, maksudku takkan... menindak orang itu."

Memang lihai mulut Tan Wan-wan ini. Ia tahu Kaisar Cong-ceng berwatak lemah, namun punya juga "harga diri" sebagai Kaisar dan lelaki, meskipun yang disebut "harga diri" itu hanyalah harga diri yang dangkal dan kekanak-kanakan. Lelaki mana di dunia ini yang di depan kekasihnya sudi dikatakan "tidak berani"? Apalagi seorang kaisar? Tidak ada. Tidak juga Kaisar Cong-ceng. Biarpun sebenarnya takut ya terpaksa harus berlagak berani.

"Hah, apa katamu? Kau bilang aku tidak berani menindak orang itu? Kau lupa aku ini siapa? Aku Kaisar negeri ini, kekuasaanku mutlak atas mati-hidupnya semua penghuni negeri ini, kenapa aku harus takut menindak orang itu? Katakan siapa orang itu, aku akan membelamu."

Begitulah Kaisar yang berusia setengah abad itu tingkahnya jadi seperti pemuda kencur belasan tahun, yang pacarnya dicolek orang di pasar.

Cepat-cepat Tan Wan-wan tinggalkan kursinya untuk berlutut dan berkata, "Ampunilah kelancangan mulut hamba, Tuanku. Hamba memang manusia rendah yang tak tahu diri."

"Katakanlah nama orang itu!" perintah Kaisar dengan gagah.

Sambil tetap berlutut, Tan Wan-wan membiarkan air matanya mengalir. Itulah senjata penakluk yang sulit diragukan keampuhannya untuk membuat Kaisar, atau lelaki pada umumnya, bertekuk lutut dan seringkali berhasil memaksa kaum lelaki lalu memaksakan diri jadi pahlawan. Kata Tan Wan-wan di sela-sela isak tangisnya yang memelas, "Tuanku, orang itu adalah Co Kong-kong. Dia agaknya berusaha keras memisahkan hamba dari Tuanku."

Semula Kaisar berdiri gagah dengan tinju terkepal, namun begitu mendengar nama Co Hua-sun disebutkan, kontan mukanya memucat dan sepasang pundaknya menurun kendor. Dengan lemas ia duduk kembali di kursinya, tergagap ia berkata dan lupa sejenak untuk berlagak jadi pahlawan, "Wah, kalau... urusan ini aku... aku... benar-benar... wah, bagaimana ya?"

Tentu saja ia tidak mengakui terang-terangan bahwa ia takut kepada Co Hua-sun, tetapi nyatanya memang takut.

Tan Wan-wan memperdengarkan helahan napasnya dalam sikap berlutut, "Hamba paham, Tuanku tentu tak bisa membela hamba. Memang Co Kong-kong adalah orang penting di istana ini, mana mungkin Tuanku melawan dia hanya demi perempuan hina macam hamba ini? Tanpa dia, mana mungkin pemerintahan negara bisa berjalan lancar?"

"He, bicaramu ini pun keliru. Kendali pemerintahan ada di tanganku sebagai Kaisar, dan Co Hua-sun cuma membantu aku."

"Oh ya, maaf, Tuanku. Maksud hamba... maksud hamba... kalau Tuanku sampai kehilangan seorang pembantu yang begitu berharga seperti Co Kong-kong, tentu lebih besar kerugiannya dari kehilangan seribu Tan Wan-wan sekalipun. Karena itu biarlah Tuanku anggap tidak ada semua keluhan hamba tadi, biar hamba tanggung sendiri nasib hamba yang tanpa pembela ini."

"He, bukan itu maksudku..." buru-buru Kaisar Cong-ceng berkata. Ia benar-benar mabuk kenikmatan jasmaniah yang pernah diberikan Tan Wan-wan kepadanya, sehingga kenangan dan pengalaman itu membelenggunya. "Bukan maksudku aku tidak mau membelamu."

Suasana sunyi beberapa waktu, hanya isak lirih Tan Wan-wan yang terdengar. Lalu Kaisar bertanya, "Sebenarnya apakah yang telah diperbuat oleh Co Hua sun terhadapmu? Menghinamu? Menyakiti dengan kata-kata, atau apa?"

"Tidak Tuanku. Co Kong-kong kalau di hadapan hamba, apalagi kalau ada Tuanku, tentu bersikap pura-pura amat hormat. Tetapi sungguh berbahaya kalau sampai Tuanku mempercayai sikapnya, hamba amat kuatir dia akan berusaha menyingkirkan hamba. Bahkan mungkin juga akan menyingkirkan Tuanku sendiri. Karena itu...."

"He, kenapa bicaramu malah melantur ka sana ke mari? Aku kan hanya bertanya, apa yang sudah diperbuatnya atas dirimu?"'

"Tuanku, Co Kong-kong saat ini sedang menyusun sebuah rencana rahasia untuk menyingkirkan hamba. Belakangan ini dia sedang menyiapkan saksi-saksi palsu yang disiksa dan diancamnya agar kelak dapat memberatkan hamba. Begitu pula, ia mengumpulkan bukti-bukti palsu, agar kelak dapat menuduh hamba dengan tuduhan yang tentunya tuduhan palsu juga."

"Begitukah prasangkamu terhadap orang baik semacam dia?"

"Ampun Tuanku, hamba tidak berani hanya sekedar berprasangka. Beberapa dayang dan abdi istana pernah melihat suatu kegiatan rahasia di bangsal kediaman Co Kong-kong, dan sasaran utama dari rencana rahasia itu adalah hamba. Menyingkirkan hamba."

"Jadi kau menempatkan pengintai-pengintai di bangsal Co Kong-kong?"

Pertanyaan itu membuat Tan Wan-wan agak gelagapan gugup. Namun cepat-cepat ditenangkannya dirinya lalu menjawab, "Ti.... tidak, Tuanku. Mana berani hamba dengan sengaja memata-matai Co Kong-kong? Dayang-dayang dan abdi-abdi istana yang melapor itu pun tidak hamba minta, melainkan atas kemauan mereka sendiri karena bersimpati kepada nasib hamba yang malang ini. Merekapun mendengar rencana Co Kong-kong itu hanya karena kebetulan, bukan sengaja mencuri dengar."

"Hem, kalau urusannya cukup jelas, mana bisa kubiarkan orang mencelakaimu tanpa salah?" kata Kaisar Cong-ceng. "Tapi aku sebagai Kaisar harus memberi contoh dalam menjalankan hukum, mana boleh aku sembarangan menghukum hanya berdasar desas-desus para dayang dan abdi istana yang belum tentu kebenarannya? Siapa tahu desas desus itu pun hanyalah karangan iseng para dayang di waktu nganggur."

Saat itu di luar terdengar suara langkah kaki mendekat, lalu ketukan perlahan disertai suara seorang yang amat menghormat, "Tuanku...."

"Siapa?" tanya Kaisar.

"Hamba disuruh Co Kong-kong."

"Ada urusan apa?"

"Co Kong-kong mohon diperkenankan menghadap Tuanku, karena ada hal penting yang hendak disampaikan."

Sekejap Kaisar Cong-ceng menoleh kepada Tan Wan-wan dengan pandangan kosong, lalu katanya kepada orang di luar itu, "Aku tidak mau menemuinya di sini. Persilakan Co Kong-kong menunggu di ruangan Gi-si-pong.

"Baiklah Tuanku, hamba mohon diri ..." lalu suara langkah kaki menjauh. "Wan-wan, aku akan menemui Co Kong-kong dulu."

Wajah Tan Wan-wan kelihatan cemas, namun ia tidak dapat mencegah Kaisar selain, "Silakan, Tuanku."

"Jangan cemas. Aku takkan gampang mempercayai omongannya, seandainya dia mencoba menjelek-jelekkan kau. Tapi kukira yang hendak dia bicarakan itu adalah urusan lain."

"Terima kasih, Tuanku."

Kaisar Cong-ceng pun berlalu dari ruangan itu. Diam-diam Tan Wan-wan mendengarkan suara langkah Kaisar yang menjauh, bahkan juga membuka pintu dan menjenguk keluar untuk memastikan bahwa Kaisar benar-benar tidak akan kembali lagi ke situ.

Setelah yakin, buru-buru ia masuk kembali dan menutup pintu rapat-rapat, lalu memanggil dayang kesayangannya, dayang yang bukan asli dari istana itu, namun dibawa sendiri oleh Tan Wan-wan sejak sebelum masuk istana. "Cun-hoa, Siau-hoa, kemari!"

Dua dayangpun muncul. Mereka berusia kira-kira baru enam belas tahun, tapi sinar mata mereka kelihatan cerdik dan bernyali besar.

"Siau-hoa, di Gi-si-pong akan ada pembicaraan antara Kaisar dan Co Hua-sun, usahakan untuk mengetahui isi pembicaraan itu. Tapi jangan kau sendiri yang melakukan, pakailah orang lain. Sebab semua orang di istana ini sudah tahu kalau kau adalah dayangku."

"Baik, enci Wan..." sahut Siau-hoa yang segera keluar..

"Enci Wan, apa tugas untukku?" tanya Cun-hoa.

"Kirim peringatan kepada semua kawan-kawan kita di seluruh Pak-khja, agar waspada karena Co Hua-sun berusaha menggulung jaringan-jaringan operasi kita. Kalau perlu, gantilah tempat persembunyian, dan ganti pula kata-kata sandi untuk saling berhubungan."

"Baik," dan Cun-hoa pun segera "terbang" selincah kupu-kupu keluar ruangan itu.

Kembali Tan Wan-wan sendirian di jantung istana itu. Ia duduk menghadap jendela yang terbuka, pandangannya menyeberangi kolam teratai dan menatap burung kuning-hijau yang melompat-lompat dalam kurungannya di seberang kolam itu. Ciap-ciap burung itu terasa menyayat hati Tan Wan-wan, seolah ia mengerti bahasanya.

Mahluk itu terkurung justru karena keindahan suaranya dan hulunya, karena kecantikannya. Karunia yang berubah jadi malapetaka. Karena siapa sudi memelihara burung gagak yang bulunya jelek dan suaranya menakutkan itu? Hanya burung-burung berbulu indah dan bersuara merdulah yang ditangkap orang.

Tan Wan-wan merasa senasib dengan burung itu. "Seandainya dulu ia tidak dilahirkan secantik ini. Ah, yang sudah lewat tak perlu kusesali...." tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya keras-keras, mengusir angan-angan masa lalunya.

"Tanpa kukehendaki, aku sudah terjerumus ke pusat kemelut yang akan menentukan arah sejarah negeri ini. Aku harus sekuat Bu Cek-thian agar hidupku tidak sia-sia dan sekedar hanyut tanpa daya di tengah pusaran kemelut. Lumpur yang diinjak-injak di sawah dan dicampuri dengan kotoran hewanpun masih bisa mempersembahkan beras yang harum di meja-meja para bangsawan.

"Tubuhkupun boleh jadi lumpur, tetapi ingin kupersembahkan kepada penduduk negeri ini di bawah panji-panji kemenangan Joan-ong yang bijaksana. Untuk itu aku tidak peduli namaku ditulis dalam sejarah atau tidak, dan kalau ditulispun aku juga tidak peduli dengan pujian atau dicaci maki, hanya saja dalam hidupku ini aku harus berbuat sesuatu dan tidak pasrah nasib saja." Ia hampir menangis, tapi ditahan kuat-kuat. Dikuatkannya hatinya agar tidak cengeng.

Sementara itu, salah satu "biji catur" Tan Wan-wan, si dayang Siau-hoa, dengan lincah dan ceria menuju ke kebun bunga. Dengan pakaiannya yang tipis dan berkibar, ia jadi seperti seekor kupu-kupu raksasa yang terbang di antara ratusan kuntum bunga warna-warni.

Bagaimanapun penting tugas yang dibebankan Tan Wan-wan kepadanya, Siau-hoa belum kehilangan sifat kekanak-kanakannya sama sekali, maklum baru enam belas tahun. Dia kagum akan keindahan kebun bunga itu, maka apa salahnya menjalankan tugas sambil bermain-main, sambil menunggu seseorang yang akan ditemuinya di tempat itu.

Di tengah lautan bunga itu ia tidak berjalan biasa, tapi gabungan dari berputar, berjingkat atau merentang tangan seperti terbang menari. Tidak jarang didekatkannya hidungnya ke kuntum bunga untuk mencium baunya. Sekali diciumnya sekuntum kembang dan seekor lebah melompat keluar dari dalam kembang itu, tapi Siau-hoa cuma kaget sebentar dan kegembiraannyapun tidak berkurang.

Namun kagetnya datang lagi ketika di balik serumpun bunga ia temui sesosok tubuh berjongkok bersembunyi. Seorang dayang istana pula. Keduanya hampir menjerit bersamaan, tapi tidak jadi karena kemudian keduanya saling mengenal.

"Siau-hoa...." desis dayang yang semula berjongkok dibalik rumpun bunga itu, usianya sedikit lebih tua dari Siau-hoa sehingga sikapnyapun nampak lebih tenang dan terkendali.

"Eh, enci Pek-hong, kenapa berjongkok di situ? Apakah sedang.... sedang... hi-hi-hi." Siao-hoa tidak melanjutkan kata-katanya dan buru-buru menutup mulut dengan telapak tangannya.

"Hus, ngawur, masa di sini?" Pek-hong mengibaskan telapak tangannya dengan wajah merah padam. "Kalau ada lelaki lewat, bagaimana?"

Karena Siau-hoa memang tidak dibesarkan dalam istana, bahkan baru sebentar di dalam istana, maka pengaruh kehidupan luar istana yang "Kurang adat" itu masih dibawanya. Katanya sambil tertawa, "Kenapa kalau lelaki? Di istana ini yang lelaki sejati cuma Kaisar dan Putera Mahkota. Para thai-kam itu ya kelihatannya saja lelaki, tetapi... hi-hi-hi... seandainya mereka lihat enci Pek-hong jongkok di sinipun tidak apa-apa. Mungkin mereka kepingin tapi tak berdaya, jadi aman....."

"Hus, tambah ngawur! Aku tidak buang air kecil di sini. Lihat, tanahnya tidak basah ya? Aku sedang mencarikan kembang untuk Tuan Puteri Tiang-ping..."

"Lalu, kenapa jongkok?"

Pek-hong memang dayangnya Puteri Tiang-ping yang setia. Sudah tentu kepada Siau-hoa ia takkan mengaku bahwa jongkoknya itu sebenarnya karena bersembunyi menghindar ketika melihat Siau-hoa memasuki kebun itu. Sialnya, malah kepergok dan ditanyai macam-macam. Maka iapun melihat-lihat ke tanah dan pura-pura mencari sesuatu, sambil berkata. "Tadi aku cuma ingin menangkap seekor jangkrik. Eh, kemana jangkrik itu? Wah, sudah lari dia...."

Siau-hoa mengira Pek-hong betul-betul sedang mencari jangkrik, maka dia-pun ikut membungkuk-bungkuk mencari dengan bersungguh-sungguh. Sedang Pek-hong yang memang cuma pura-pura, malahan jadi kalah bersungguh-sungguh.

Dalam hatinya Pek-hong gelisah. Ia ingin agar Siau-hoa cepat pergi, karena di kebun bunga itu ia ingin bertemu empat mata dengan seseorang, tak terduga malah Siau-hoa datang dan ikut "mencari jangkrik" segala, entah kapan perginya.

Akhirnya Pek-hong berkata, "Sudahlah, Siau-hoa. Jangkriknya pasti sudah lari. Kau pasti ada pekerjaan lain, silakan tinggalkan saja aku di sini."

Ternyata Siau-hoa juga sedang mencari alasan untuk lebih lama berada di situ karena menunggu seseorang. Maka diapun balas mengusir secara halus, "Enci Pek-hong, bunga-bunganya tentu sudah ditunggu oleh Puteri Tiang-ping, kenapa enci masih berlama-lama di sini?"

"Tidak, masih terlalu sedikit...." sahut Pek- hong sambil menunjuk keranjang yang belum penuh, sementara dalam hatinya masih gelisah. "Keranjang itu harus penuh, dan masih kuperlukan beberapa jenis bunga lagi. Masih lama aku di sini. Siau-hoa, kau tentu sedang punya keperluan lain, ayolah pulang, jangan bermain-main di sini saja."

Maka kegelisahanpun kini "tidak memihak" melainkan terbagi rata antara kedua dayang yang berusaha saling mengusir itu. Siau-hoa juga gelisah, karena Pek-hong tidak mau pergi, padahal sebentar lagi orang yang ditunggunya tentu akan tiba di situ. "Enci Pek-hong, bunga macam apa lagi yang masih dibutuhkan? Biar kubantu kau mencarinya, agar cepat selesai pekerjaanmu."

"Ah, tidak usah. Bunga itu begitu istimewanya sehingga hanya aku yang hanya bisa menemukannya, tepat seperti yang dikehendaki Puteri Tiang-ping. Kalau tidak cocok sedikit saja, tentu aku akan dimarahinya habis-habisan."

"Bagaimanapun istimewanya, tentu bisa kubantu mencarinya...." sahut Siau-hoa.

Sikap bersikeras Siau-hoa itu menggelisahkan Pek-hong, dan dari kegelisahan itu muncul prasangka dalam hatinya, "Jangan-jangan Siau-hoa memang sudah tahu tujuanku yang sebenarnya di sini, lalu sengaja dia hendak mengawasi gerak-gerikku?"

Dan prasangka yang sama tumbuh pula di hati Siau-hoa, "Jangan-jangan Puteri Tiang-ping sengaja menyuruhnya untuk mengawasi gerak- gerikku? Dalih mencari jangkrik atau mencari kembang tadi pastilah hanya untuk menutupi niat yang sebenarnya untuk mengintip aku...."

Sesaat kedua dayang remaja itu kehilangan senyum ceria mereka, dan mereka saling tatap penuh curiga. Akhirnya Pek-hong lalu menggunakan semacam siasat agar dapat mengusir Siau-hoa cepat-cepat pergi dari situ, "Baiklah, Siau-hoa, kalau kau ingin membantuku. Bunganya yang kuning dan lebar, bundar, petikkam saja beberapa dan nanti biar aku sendiri yang menyortirnya. Ayo cepatlah..."

Siau-hoa pun menjawab, "Baiklah..." Tetapi dalam hatinya diapun berkata, "Setelah kutemukan bunga-bunga itu tidak ada lagi alasan buatmu untuk terus bercokol di sini." Karena itulah Siau-hoa cepat bekerja.

Sebentar saja ia sudah berhasil mengumpulkan belasan kuntum bunga yang dimaksud. "Enci Pek-hong, sudah ada seperti yang dimaksudkan Puteri Tiang-ping?"

"Sudah, sudah. Terima kasih. Sekarang kau boleh pergi..."

"Ah, aku tidak sedang sibuk kok. Silakan enci Pek-hong serahkan kepada Puteri Tiang-ping, nanti beliau menunggu-nunggu. Sedang aku sendiri masih mau bermain-main di sini."

"Celaka, setan cilik ini agaknya benar-benar berniat mengacau urusanku..." keluh Pek-hong dalam hati setelah mendengar jawaban itu. Karena kehabisan akal, akhirnya diapun nekad ngotot berkata, "Aku juga main-main di sini dulu."

"Lho, tidakkah Puteri Tiang-ping akan gelisah menunggumu?"

"Tidak. Bukan soal penting kok."

Gantian Siau-hoa yang mengutuk dalam hati, "Sialan! Enci Pek-hong ini agaknya memang disuruh oleh Puteri Tiang-ping untuk mengawasi kami."

Begitulah, kedua dayang itu sama-sama habis akal untuk mengusir dengan halus. Maka merekapun jadi sama gelisahnya, bahkan karena usia muda mereka, mereka jadi panik.

Selagi kedua orang muda itu sama-sama kehabisan akal, muncul seorang thai-kam cilik berusia tiga belas tahun, yang di bagian istana itu dikenal dengan nama Siau-ging-cu. Melihat kedua dayang itu, Siau-ging-cu tertawa dan bertanya riang, "Hi-hi, kakak berdua sudah lama menunggu aku ya? Maaf, karena aku harus lebih dulu menyelesaikan tugasku."

Ternyata, orang yang ditunggu oleh kedua dayang dari bangsal yang berbeda itu sama orangnya. Kedua dayang itu kaget dan semakin was-was satu sama lain. Sedang Siau-ging-cu tanpa prasangka terus berkata, "Kali ini apakah kalian akan...."

"Siau-ging-cu!" tanpa berjanji, kedua dayang itu membentak berbareng, kuatir kalau si thai-kam cilik mengoceh terus dan melucuti kedok mereka masing-masing. Namun bentakan bersamaan itu malahan membuat mereka saling mengetahui kalau pihak lain juga punya hubungan rahasia dengan Siau-ging-cu.

Sekejap Pek-hong dan Siau-hoa bertukar pandangan sambil menyeringai canggung. Kemudian Pek-hong pun berkata kepada si thai-kam cilik, "Aku di sini karena sedang disuruh mencari bunga oleh Puteri Tiang-ping."

Sambil berkata, ia juga diam-diam memberi isyarat kedipan mata kepada si gandek kecil agar mendukung kebohongannya. Namun dalam hati Pek-hong mendongkol juga kepada Siau-ging-cu. Semula dikiranya Siau-ging-cu hanya berhubungan dengan pihaknya, tak tahunya sekarang terbukti kalau Siau-ging-cu juga berhubungan dengan orang-orang dari bangsalnya Tan Wan-wan.

"Oh,iya... iya..." si thai-kam cilik lalu mengangguk-angguk agak takut ketika melihat sekilatan cahaya kemarahan di mata Pek-hong.

Sementara Siau-hoa pun melakukan hal yang sama dengan Pek-hong, katanya, "Dan aku juga cuma main-main di sini, kebetulan saja bertemu dengan enci Pek-hong...." sambil mengedip-ngedipkan matanya pula diam-diam kepada Siau-ging-cu.

"Ya.... ya...." kembali cuma itu yang bisa diucapkan Siau-ging-cu sambil mulai kebingungan. Maklum, usianya baru tiga belas tahun, dan ia tak menyangka kalau kedua dayang dari bangsal yang berbeda itu, yang sama-sama membuat janji pertemuan di tempat itu, ternyata kini ingin saling menyembunyikan niatnya.

Selagi keadaan lagi macet, Pek-hong nekad mengambil tindakan. Tiba-tiba ia menyambar tangan Siau-ging-cu untuk digandeng pergi menjauhi Siau-hoa, sambil berkata manis, "Yuk aku tunjuki bunga yang bagus di sebelah sana."

Sambil melangkah cepat menyeret Siau-ging-cu, Pek-hong berkali-kali menoleh ke arah Siau-hoa seolah kuatir kalau dibuntuti. Tapi kali ini Siau-hoa tidak membuntutinya, ia tetap di tempat sambil membungkuk-bungkuk pura-pura mengamati bunga-bunga di situ meskipun gayanya agak salah tingkah.

Sementara itu, setelah berjarak puluhan langkah dari Siau-hoa, Pek-hong berbisik gusar kepada Siau-ging-cu, "Dasar ular kepala dua, kau bekerja juga untuk pihak lain?"

Siau-ging-cu menjawab tergagap, "Aku kira dia itu.... aku kira....."

"Sudahlah, tak perlu membantah!" potong Pek-hong. "Yang penting mulai sekarang kau harus bekerja untuk kami saja, tidak boleh untuk pihak lain. Kalau perlu kami akan melipat-gandakan hadiah untukmu. Mengerti?"

Sejenak mata Siau-ging-cu berputar cerdik,. mirip sekali dengan mata Co Hua-sun kalau sedang mencari akal busuknya, bedanya yang satu tua dan yang lain masih bocah. Lalu mengangguklah Siau-ging-cu dengan gaya yang meyakinkan, "Baiklah, enci Pek-hong."

Kejengkelan Pek-hongpun sedikit mereda. "Nah, ada pekerjaan untukmu."

Biarpun umurnya baru tiga belas tahun, tapi Siau-ging-cu adalah bocah dengan "daya tangkap" yang tinggi. Sudah terlalu sering dilihat para thai-kam yang lebih tua memanfaatkan segala kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi. Itulah yang dicontohnya. Maka diapun tidak mau terus- terusan jadi "sukarelawan amatir" saja, begitu mendengar Pek-hong bilang "ada pekerjaan", terus tangannya menadah ke depan dengan gerak reflek.

"Huh, ini benar-benar Co Hua-sun cilik..." gerutu Pek-hong dalam hati, namun memang begitulah aturannya. Dari dasar keranjang yang atasnya penuh kembang, ia keluarkan perak potongan lima tahil untuk ditaruh di telapak tangan Siau-ging-cu.

"Mana cukup?" kata Siau-ging-cu tanpa menarik tangannya.

“Cukup pekerjaan kali ini ringan saja."

"Apa?"

"Di ruang Gi-si-pong, Kaisar sedang bicara dengan Co Hua-sun, nah, dengarkan yang mereka bicarakan lalu katakan kepadaku. Mengerti?"

"Mengerti tapi sulit dijalankan. Biasanya aku yang bertugas melayani menuangkan teh di samping Co Kong-kong, tapi kali ini dikerjakan orang lain."

"Ya minta tolonglah temanmu yang bertugas melayani itu."

"Bisa. Tapi dia pasti minta upah."

"Huh, kalian mata duitan semua. Nanti setelah laporannya kuterima, baru upahnya kutambah. Kerja dulu sajalah."

"Ah, benar-benar pelit...." keluh Siau-ging-cu sambil mengantongi uang itu dan memutar tubuh hendak berlalu.

"Eh, tunggu!"

"Kenapa lagi?"

"Nampaknya kau sering bekerja untuk Siau-hoa juga ya?"

Ternyata Siau-ging-cu yang lebih muda dari Pek-hong maupun Siau-hoa, justru lebih mahir dalam berbohong atau bicara berbelit-belit. Dengan mimik dan gaya meyakinkan dia menjawab, "Apa anehnya? Tiap orang di istana ini sedikit banyak pernah saling menolong sekali dua kali. Kenapa kau keberatan kalau aku bicara dengan Siau-hoa?"

"He, setan kebiri cilik, jangan berlagak bodoh di depanku. Pasti Siau-hoa juga sering memberimu uang untuk menguping ke sana ke mari, benar tidak?"

Siau-ging-cu tertawa saja. Keruan Pek-hong makin penasaran dan mendesak, "Benar tidak?"

Siau-ging-cu tetap bungkam, matanya berputar-putar licik. Pek-hong tahu caranya untuk mendongkel mulut itu agar terbuka, ya terpaksa ia keluarkan lima tahil perak lagi untuk dijejalkan ke tangan Slau-ging-cu. "Nah, jawab sekarang, benar tidak?"

"Memang benar, di istana ini tidak ada yang sebaik aku dalam urusan macam ini, itulah sebabnya banyak orang minta tolong kepadaku."

"Dia pernah menyuruhmu menguping siapa saja?"

"Co Kong-kong."

"Co Kong-kong dengan siapa?"

"Co Kong-kong dengan Kaisar, dengan orang-orangnya sendiri, dengan tamu-tamu yang aneh. Dan enci Siau-hoa tidak seperti kau, ia tidak pelit memberi hadiah."

Pek-hong merenung sebentar, lalu, "Baiklah. Kalau kerjamu memuaskan aku, kutambah nanti hadiahnya."

Siau-ging-cu kembali hendak melangkah pergi. Tapi Pek-hong tiba-tiba berkata lagi, "He, jangan lewat situ!"

"Kenapa?"

"Situ ada Siau-hoa, lewat sana saja!"

"Hi-hi, rupanya enci Pek-hong kepingin memonopoli aku. Baik, aku lewat sana untuk menghindarinya."

Lalu thai-kam cilik itu benar-benar berjalan ke arah yang berlawanan dengan tempat Siau-hoa, sedang Pek-hong buru-buru kembali ke bangsal Puteri Tiang-ping. Sambil berjalan, diam-diam dayang itu merencanakan apa yang akan dikatakannya kepada Puteri Tlang-ping,

"Tuan Puteri harus diberi tahu, ternyata Tan Wan-wan bukan sekedar kembang hiasan di istana ini. Entah apa tujuannya dengan menyuruh dayangnya menyelidiki ke sana ke mari, terutama terhadap Co Kong-kong?"

Sementara itu, Siau-ging-cu benar-benar berjalan ke arah lain. Tetapi begitu ia yakin bahwa Pek-hong sudah tidak melihatnya lagi, diapun putar haluan untuk kembali menemui Siau-hoa. Sambil melangkah mendekat, diapun cengar-cengir, "Sudah lama menunggu ya?"

Tidak menjawab, Siau-hoa malah balik bertanya dengan tajam, "Apa yang kau bicarakan dengan enci Pek-hong?"

"Bukan urusanmu, tapi enci Siau-hoa mau memakai tenagaku apa tidak?"

"Ya, cari tahu apa yang akan dibicarakan oleh Kaisar bersama Co Kong-kong di ruang Gi-si-pong, lalu beritahukan aku....."sambil berkata demikian,tahu-tahu Siau-hoa sudah meletakkan lima tahil perak di tangan Siau-ging-cu.

Seperti ketika menghadapi Pek-hong, begitu pula ketika menghadapi Siau-hoa, Siau-ging-cu bersikap jual mahal, "Wah, pelit amat. Tidak seperti enci Pek-hong yang royal sekali memberi hadiah...."

Sambil menggerutu, toh potongan perak itu tahu-tahu sudah amblas ke dalam kantongnya. Kemudian Siau-ging-cu pun mulai menjalankan tugasnya. Kepada thai-kam cilik yang akan bertugas mendampingi Co Hua-sun selama pembicaraan berlangsung, Siau-ging-cu menawarkan diri untuk menggantikannya. Tentu saja temannya itu malah merasa kebetulan, karena lalu bisa beristirahat.

Dan sementara melakukan hal itu, dalam pikiran Siau-ging-cu sempat muncul pula niat serong, "Kalau kulaporkan ulah Pek-hong dan Siau-hoa itu kepada Co Kong-kong, bisa jadi aku akan mendapat hadiah tambahan yang cukup besar dari Kong-kong...."

la melakukan hal itu tanpa perasaan bersalah sedikitpun, yang dipikirkan ya cuma hadiah saja. Maklum, tiap hari dengan matanya sendiri ia menyaksikan betapa tokoh-tokoh pemerintahan yang menepuk dada sebagai "orang-orang terhormat" itu juga melakukan kecurangan-kecurangan yang jauh lebih besar, tidak jarang dengan mengorbankan orang lain.

Contoh-contoh itulah yang oleh Siau-ging-cu dapat digunakan untuk membenarkan diri sendiri, "kalau mereka boleh, kenapa aku tidak boleh"? Situasi dalam istana itu memang tempat subur untuk berkembang biaknya "ular kepala dua", bahkan juga yang berkepala tiga atau empat. Semuanya hidup bercampur aduk dan siap saling menggigit di "pusat peradaban" itu.

Sementara itu, dayang Tan Wan-wan lainnya yang bernama Cun-hoa, yang disuruh mengirim pesan rahasia keluar istana, ternyata tidak perlu harus susah-susah sendiri keluar istana, sebab hal itu bisa menimbulkan kecurigaan. Pesan itu cukup disampaikan kepada orang thai-kam gadungan, yang kalau dibuka celananya pasti ketahuan kalau sebenarnya dia bukan thai-kam.

Lalu si thai-kam gadungan menyampaikannya kepada seorang pengawal istana, dan si pengawal keluar sebentar tanpa dicurigai untuk meneruskan pesan itu kepada seorang pengemis di lapangan di depan istana. Si pengemis lalu tertatih-tatih pergi dari depan istana, dan setelah tiba di tempat yang tidak lagi dilihat oleh pengawal-pengawal istana maka pengemis itupun lari secepat kijang liar di padang perburuan.

Dalam waktu kurang dari dua jam, seluruh jaringan mata-mata kaum Pelangi Kuning yang berada di Pak-khia, sudah mendapat peringatan agar berhati-hati. Sebab Co Hua-sun, entah mendapat bantuan dari mana, tiba-tiba saja dengan gesit berusaha mengerahkan orang-orangnya untuk menangkapi para mata-mata itu.

Demikian segala kejadian dan perkembangan dalam istana merembes keluar melalui Tan Wan-wan, dan akhirnya akan sampai ke kuping Li Cu-seng, si pemimpin pemberontak. Sementara Kaisar Cong-ceng belum menyadari siapa Tan Wan-wan sesungguhnya, yang diketahuinya barulah kecantikan dan kehangatan-tubuh mulusnya yang digelutinya hampir saban malam.


Ketika Kaisar melangkah masuk ke Gi-si-pong, serempak Co Hua-sun dan beberapa orang lain yang sudah lebih dulu di ruangan itu, bangkit dari kursi masing-masing dan berlutut menyambut. Kaisar merasa agak diluar dugaan melihat siapa saja yang hadir di ruangan itu. Selain Co Hua-sun juga nampak Pengeran Seng-ong, adik Kaisar Cong-ceng sendiri yang jarang bertemu muka biarpun tinggal dalam satu lingkungan istana.

Selain itu nampak si kakek semrawut Tong Hin-pa yang gemar membual, dua thai- kam kepercayaan Co Hua-sun yaitu Wan Hoa-im dan Bu Goat-long, dan dua panglima yang dikenal amat mendukung Co Hua-sun, yaitu Song Thian-oh dan Yo Goan-tong.

Mendadak timbul semacam rasa panik dalam hati Kaisar setelah mengetahui orang-orang di ruangan itu adalah kaki tangan Co Hua-sun semuanya. Sedang Kaisar benar-benar sendirian, seorang pengawalpun tidak dibawanya, karena Gi-si-pong masih berada di lingkungan istana dan dianggapnya terjaga aman.

Ia berdiri bimbang di ambang pintu. Seandainya ia tidak ingat akan martabatnya sendiri, tentu ia sudah berteriak-teriak minta tolong pengawal-pengawal pribadinya, biarpun belum diapa-apakan. Namun di sekitar ruangan itu, belasan thai-kham yang semula tidak nampak, sekarang tiba-tiba bermunculan.

Semuanya memang bersikap hormat, tetapi Kaisar merasa takut sendiri. Tidak seorang-pun kelihatan membawa pedang, sesuai dengan peraturan, namun bukanlah sebilah belati bisa saja disembunyikan di balik jubah longgar para thai-kam itu?

Melihat Kaisar masih ragu-ragu di ambang pintu, Co Hua-sun lalu bertanya, "Ada apa, Tuanku?"

"Apa maksud kalian mengundang aku?" Kaisar malah balik bertanya, dan tetap berdiri di luar ambang pintu.

Co Hua-sun menampilkan wajah heran, "Mengundang Tuanku? Mana berani kami semua berbuat demikian tidak sopan dengan menyuruh Tuanku datang? Bukankah hamba sudah memerintahkan orang untuk mohon menghadap Tuanku, lalu Tuanku bilang agar kami menunggu di ruangan ini? Jadi kami semua di sini karena kehendak Tuanku...."

Beberapa waktu Kaisar jadi salah tingkah mendengar kata-kata Co Hua-sun itu, sadar kalau sikapnya barusan itu menunjukkan prasangka dan ketakutan yang jelas mengurangi kewibawaannya sebagai Kaisar. Maka untuk memperbaiki kekeliruan sikapnya tadi, kini ia berkata dengan sikap yang dipaksakan agar ke lihatan gagah, "Hem, urusan apa yang hendak kau laporkan? Kenapa mesti bersama orang sebanyak ini?"

"Orang-orang ini semuanya adalah hamba setia Tuanku, sengaja hamba ajak kemari untuk memperkuat kesaksian hamba. Tetapi tidakkah lebih baik Tuanku masuk dan duduk, agar bisa mendengarkan laporan hamba dengan tenang?"

Kaisar benar-benar merasa serba salah sekarang. Dalam hatinya ia kuatir kalau dijebak, namun kalau menolak juga berarti memperlihatkan ketakutan yang bisa menurunkan pamornya. Sesaat ia melihat ke sekelilingnya dengan wajah tegang, kakinya belum beranjak dari ambang pintu.

"Silakan, Tuanku..." desak Co Hua-sun.

Terpaksa Kaisar berlagak gagah dan melangkah masuk ruangan untuk duduk di kursi di tengah ruangan itu. Katanya, "Bangunlah..."

Orang-orang yang berlutut itupun berdiri dengan tertib. Sikap hormat mereka itu agak melegakan hati Kaisar. Timbul keyakinan, bagaimanapun juga orang-orang itu takkan berani berontak terang-terangan terhadapnya. Setidak-tidaknya belum.

Kalau Kaisar mau jujur terhadap suara hatinya sendiri, sebetulnya dia sudah mulai kurang percaya kepada Co Hua-sun. Cuma suara hati itu sering ditindasnya sendiri, sebab ia tidak berani membayangkan dirinya mampu mengendalikan pemerintahan tanpa didampingi Co Hua-sun. Ia tidak percaya kepada dirinya sendiri, dan untuk sementara itu hanyalah Co Hua-sun yang dijadikannya sandaran.

Sementara itu Co Hua-sun mulailah berkata, "Tuanku, hamba hanya mewakili tuan-tuan yang sekarang ada di sini untuk menyampaikan sebuah laporan...."

"Ya, katakan."

"Tuanku, rekan-rekan hamba ini telah bekerja keras demi kejayaan negeri ini, dan kewibawaan Tuanku sebagai pewaris dinasti yang jaya itu. Dan mereka telah menyelidiki sebab-musabab kenapa selama ini pasukan kita selalu kalah di garis depan dalam menghadapi gerombolan maling Li Cu-seng itu. Bahkan kita harus kehilangan kota Tong-koan serta Jenderal Sun Toan-teng yang dengan gagah perkasa membela negara..."

"Apa yang berhasil kalian selidiki?"

"Dalam istana ini terdapat seorang mata-mata kaum pemberontak yang senantiasa melaporkan rencana kita ke kaumnya. Karena itu, apa saja yang kita kerjakan, terutama rencana militer, pasti sudah lebih dulu bocor. Akibatnya, gerakan kita selalu gagal karena dapat diketahui lebih dulu oleh musuh...."

"Hah, benarkah itu?"

"Kami siap mengajukan bukti-bukti dan saksi-saksi, Tuanku."

"Siapa yang akan kalian tuduh sebagai mata-mata musuh?"

Sebenarnya Co Hua-sun ingin menunjuk orangnya lalu membujuk Kaisar agar segera menyingkirkannya, tetapi Co Hua-sun kuatir cara demikian hanya akan kedengaran mengada-ada. Maka lebih dulu ia menuduh yang bukan "sasaran utama" namun cukup penting juga.

"Ampun Tuanku, salah seorang pengkhianat yang punya hubungan erat dengan mata-mata musuh dalam istana itu, adalah Helian Kong, orang yang kita kirim untuk membantu Jenderal Sun di Tong-koan.....!"

"Ah, dia seorang muda yang gagah berani pintar dan setia."

Co Hua-sun menarik napas sambil geleng- geleng kepala, "Bukan Tuanku saja yang keliru menilai dirinya, tetapi hamba juga. Hamba pun pernah menyangka dia setia, sehingga hamba usulkan kepada Tuanku untuk menaikkan pangkatnya dari Hu-ciang ke Cong-peng. Tetapi ia ternyata seorang musuh dalam selimut... serigala berbulu domba. Dia hanya setia kepada junjungannya yang aseli, yaitu si gembong maling Li Cu-seng."

"Kenapa dia?"

"Dalam membawa pasukannya ke Tong-koan, sengaja dia berlambat-lambatan jalannya untuk memberi kesempatan kawan-kawannya merebut Tong-koan. Kemudian setelah tiba di Hun-ciu, diapun pura-pura berperang melawan musuh, padahal tujuannya ialah sengaja memasukkan tentara kerajaan yang dibawanya ke dalam perangkap musuh agar dihabiskan musuh dan melemahkan kerajaan.

"Pasukan itu akhirnya memang tertumpas di sebuah dataran berawa-rawa antara Hun-ciu dan Tong-koan. Sedang Helian Kong sendiri pura-pura tertangkap dan dibawa ke Tong-koan, padahal sebenarnya itulah cara dia menemui Li Giam, tangan kanan si gembong maling Li Cu-seng, untuk merundingkan serangan mereka terhadap kita!"

Wajah Kaisar nampak sedikit memucat mendengar itu, jari-jarinya mencengkeram pegangan kursinya kuat-kuat. Ia bungkam.

Sekejap Co Hua-sun melirik ke wajah Kaisar, lalu dengan berani melanjutkan, "Karena Helian Kong tentunya telah bicara banyak kepada Li Giam, maka tentunya gampang saja para pemberontak untuk mengalahkan tentara kita. Semalam ada kabar dari garis depan, bahwa kota-kota Hun-ciu dan Thai-goan juga telah jatuh ke tangan pemberontak, dan sekarang kaum pemberontak memecah diri menjadi dua pasukan untuk mulai mengincar Han-tiong dan Ji-lim."

"Keparat Helian Kong, tak kusangka dia seorang pengkhianat!" Kaisar memukul lengan kursinya dengan wajah merah padam.

Sebenarnya yang dikatakan Co Hua-sun tentang Helian Kong itu bohong belaka, tetapi ada juga kebenarannya, yaitu soal jatuhnya Hun-ciu dan Thai-goan itu memang kenyataan.

"Aku segera akan mengeluarkan maklumat untuk memecat Helian Kong dan menyatakan dia sebagai buronan negara!"

"Hamba mendukung sepenuhnya keputusan Tuanku. Itulah tindakan pembersihan yang akan menyelamatkan negara dari rongrongan pemberontak. Kalau hamba boleh usul, sebaiknya teman-teman Helian Kong yang masih bercokol di Pak-khia dan memegang kedudukan-kedudukan penting, sekalian disapu bersih saja. Percuma kalau hanya menyapu Helian Kong tapi melewatkan mereka."

Dalam mengucapkan ini, nampak Co Hua-sun kelewat bersemangat dan bergembira, sehingga Kaisar terkejut dan mulai sangsi jangan-jangan Co Hua-sun hanya ingin melenyapkan lawan-lawan politiknya di ibu kota?

Co Hua-sun sendiri cepat merasa bahwa dia telah bicara berlebihan, dan ia pun jadi menyesal sendiri. Maka terpaksa dilunakkannya suaranya, "Tetapi kalau Tuanku rasa tindakan pembersihan besar-besaran itu terlalu hebat gelombangnya, maka hamba hanya menyerah kebijaksanaan Tuanku. Bisa juga hal itu diselidiki lebih dulu, sebab hambapun pasti akan sangat menyesal kalau sampai keliru membunuh orang tidak bersalah."

"Aku pikirkan. Tapi tadi kau sebut-sebut seorang mata-mata dalam istana, sedang Helian Kong adalah dari kalangan luar istana. Jadi siapa yang kau maksudkan dengan mata-mata musuh dalam istana itu?"

"Hamba minta maaf, kalau hamba sebutkan orang itu maka hamba kuatir akan menggusarkan Tuanku, sebab orang itu adalah orang dekat dalam keluarga Tuanku."

"Kong-kong, jangan sembarangan bicara. Kau tuduh salah seorang anggauta keluargaku ada yang menjadi mata-mata Li Cu-seng?"

"Ampun Tuanku, hendaknya jangan Tuanku salah paham terhadap kata-kata hamba. Yang hamba curigai bukan anggauta keluarga Tuanku, tapi dia... dia memang cukup dekat dengan Tuanku. Orang yang baru saja datang dari luar istana, namun langsung menjadi kesayangan Tuanku."

"Siapa?"

"Hamba benar-benar tidak berani menyebutnya, Tuanku."

"Katakan!"

"Ampun Tuanku, orang itu adalah Tan Wan-wan."

Kaisar merasakan semangatnya seperti dihempaskan runtuh. Napasnya tiba-tiba terengah dan pikirannya jadi kacau, antara percaya dan tidak percaya akan pengaduan Co Hua-sun itu. Tan Wan-wan, perempuan yang nampaknya begitu patut dikasihani, begitu pasrah dalam gelombang nasibnya yang kejam, itulah yang dituduh Co Hua-sun sebagai mata- mata Li Cu-seng di dalam istana? Bahkan mata- mata utama?

Beberapa saat di dalam ruangan itu orang-orang seperti takut bernapas, suasana sunyi mencekam. Ketika itu muncullah seorang thai-kam cilik yang membawa nampan yang di atasnya ada poci dan cangkir-cangkir teh. Siau-ging-cu. Dengan sikap sopan dan amat terjaga, ia berlutut dulu menghormat kaisar.

Lalu dengan langkah lembut ia meletakkan hidangannya di meja kecil di samping tempat duduk Kaisar. Setelah itu barulah si thai-kam cilik berdiri sopan di pojok ruangan, sikapnya tidak menarik perhatian, namun diam-diam dibukanya kupingnya lebar-lebar.

Kemudian suara Kaisar mengakhiri kesunyian itu, "Kita memang harus meningkatkan kewaspadaan, tapi jangan keterlaluan sampai dihantui pikiran seolah-olah orang-orangnya Li Cu-seng gentayangan di sekitar kita. Itu berlebihan. Mana bisa seorang perempuan serapuh Tan Wan-wan oleh Li Cu-seng dibebani tugas seberat itu?"

Co Hua-sun geleng-geleng kepala, "Ampun Tuanku, apakah kita harus menyangka kalau Li Cu-seng menyelundupkan mata-mata seorang lelaki, yang kalau berjalan harus mengendap-endap sambil matanya jelalatan seperti maling ayam kelas teri? Ampun Tuanku, justru mata-mata semacam itu akan gampang kita bekuk, tapi yang seperti Tan Wan-wan itulah yang kelewat licik!"

Tetapi Kaisar tetap geleng-geleng kepala, sehingga Co Hua-sun berkata lagi, "Tuanku, hamba mohon Tong Hin-pa diperkenankan bicara. Dialah yang hamba tugaskan untuk menyelidiki jaringan mata-mata pemberontak."

"Baiklah."

Tong Hin-pa lalu maju dengan hormat dan berkata, "Tuanku, hamba menemukan jejak mata-mata musuh ketika menyelidiki ke kota Han-tiong. Berkat kerja keras hamba, hamba berhasil membongkar komplotan itu. Lima pentolan pemberontak berhasil hamba tangkap dengan sepasang tangan hamba sendiri, di kota Han-tiong itu. Bukan cuma keroco-keroco, tetapi benar-benar tokoh-tokoh penting mereka itu."

Tanpa malu-malu Tong Hin-pa mengakui semuanya sebagai hasil kerjanya sendiri, apalagi memang oleh Co Hua-sun dia diperintah demikian. Co Hua-sun harus menyembunyikan hubungannya dengan para mata-mata Manchu kiriman Pangeran To Ji-kun, yang selama itu berhasil meringkus orang-orangnya Li Cu-seng.

Co Hua-sun tidak ingin Kaisar mencium hubungan rahasia itu, sebab hal itu tidak disetujui Kaisar. "Apa hubungan orang-orang yang ditangkap itu dengan Tan Wan-wan?" sambil berkata demikian, Kaisar jadi ingat keluhan Tan Wan-wan bahwa Co Hua-sun berusaha memojokkannya dengan menangkapi "orang-orang yang tak ada hubungannya" untuk menuduhnya.

"Tuanku, salah seorang dari kelima tawanan itu tidak tahan kami siksa, akhirnya dia mengaku bahwa segala rahasia negara yang penting-penting, didapatkannya dari Tan Wan-wan."

"Dia pasti hanya mengaku karena disiksa, bukan karena benar-benar mengetahui!" Kaisar masih bersikeras membela Tan Wan-wan.

"Tuanku..."

"Sudah! Aku pusing mendengar laporan yang tak keruan ini, aku mau istirahat!" habis berkata demikian, Kaisar terus bangkit dan meninggalkan ruangan itu. Langkahnya terlihat agak lesu. Orang-orang di ruangan itupun terpaksa berlutut mengantarkan perginya Kaisar.

Setelah Kaisar pergi, Co Hua-sun bertukar pandangan dengan orang-orang komplotannya itu. Pangeran Seng-ong lalu memperdengarkan suaranya, "kelihatannya Kakanda Kaisar tidak gampang menerima omongan kita. Bagaimana sekarang baiknya?"

"Aku yakin dia mulai mencurigai Tan Wan-wan, hanya masih disembunyikan. Titik inilah yang akan terus kita tekan, sampai Tan Wan-wan berhasil kita singkirkan dari istana ini, karena diapun agaknya sedang mengintai gerak-gerik kita."

"Kapan kita menghadap lagi?"

"Tidak perlu kita ajukan permohonan untuk menghadap, sebab dialah yang akan memanggil kita."

"Kong-kong yakin?"

"Pangeran, aku sudah hampir tujuh belas tahun mendampinginya, sejak dia dinobatkan menggantikan Sri Baginda Hi-cong. Aku hapal wataknya. Saat ini tentu dia sedang ragu-ragu, dan dia hanya punya satu tempat untuk bertanya, yaitu aku."

Orang-orang itupun kemudian bubar. Siau-ging-cu si thai-kam cilik juga bergegas meninggalkan tempat untuk mencari Pek-hong atau Siau-hoa untuk melapor, sekaligus mengambil sisa upahnya.

Sementara itu, setelah Kaisar meninggalkan ruangan itu, ia terus ke bangsalnya sendiri, tidak ke bangsal Tan Wan-wan. Sedikit banyak omongan Co Hua-sun itu mempengaruhinya dan membuatnya gelisah. Di bangsalnya, lama sekali Kaisar merenung. Kota-kota Tong-koan, Hun-ciu dan Thai-goan telah jatuh ke tangan pemberontak, dan kini laskar mereka terus merangsek ke Han-tiong dan Ji-im.

Perkembangan yang mencemaskan. Selama ini tentara kerajaan dapat bertahan dengan gigih, tapi kenapa tiba-tiba kedodoran dan dengan gampangnya kehilangan tiga kota? Benarkah gara-gara Tan Wan-wan telah membocorkan keluar istana tentang segala rahasia militer negara?

Akhirnya, apa yang diperkirakan Co hoa-sun terjadi. Kaisar tidak tahan sendirian menanggung beban pikiran seberat itu. Disuruhnya seorang pengawal, "Panggil Co Kong-kong kemari. Tapi sendirian saja, tidak usah ramai-ramai seperti di Gi-si-pong tadi."

Pengawal itupun menjalankan perintah. Tidak lama kemudian Co Hua-sun datang sendirian. Dengan lagak seorang abdi yang setia, ia berlutut dan mengucapkan salam seperti biasanya.

"Duduklah, kong-kong."

"Terima kasih, Tuanku."

"Kong-kong, ucapanmu di Gi-si-pong tadi menggelisahkan aku. Aku ingin Kong-kong lebih menjelaskan lagi."

"Terima kasih, Tuanku. Hamba punya seorang saksi yang tahu kalau Tan Wan-wan punya hubungan erat dengan Helian Kong."

"Siapa saksi itu?"

"Salah seorang pengawal hamba yang bernama Ting Hoan-wi adalah saudara sepupu Tan Wan-wan sekaligus juga saudara seperguruan Helian Kong. Namun ia tidak bisa disamakan Tan Wan-wan dan Helian Kong dalam sikapnya terhadap kerajaan. Dia setia."

"Aku ingin ketemu orang itu."

"Boleh hamba panggil dia ke mari?"

"Baik."

Co Hua-sun bangkit dan menuju ke pintu, kepada seorang thai-kam yang mengiringnya, dia memerintahkan, "Panggil Ting Hoan-wi, bilang kepadanya bahwa Sri baginda yang ingin menemuinya."

Thai-kam itupun bergegas pergi. Beberapa saat kemudian Ting Hoan-wipun muncul. Jubahnya indah, namun sikapnya tidak tenang, matanya menyambar ke sana ke mari dengan cahaya ketakutan, seolah di situ ia kuatir akan bertemu dengan orang yang ditakutinya.

Ada sebabnya ia ketakutan. Ia takut kepada Tan Wan-wan karena merasa amat bersalah. Dulu, tidak lama setelah orang tua Tan Wan-wan meninggal, Ting Hoan-wi yang gemar berjudi dan berfoya-foya itupun menghabiskan harta tinggalan orang tua Tan Wan-wan, padahal seharusnya harta itu adalah hak Tan Wan wan. Dalam keadaan bingung karena kantongnya kempes, ia banyak berhutang kepada seorang anak hartawan dari Soh-ciu yang juga setan pemogoran.

Pemuda itu lalu menjanjikan akan membebaskan Ting Hoan-wi dari hutang dan bahkan memberi tambahan uang banyak, asal boleh mendapatkan Tan Wan-wan. Begitulah, Tan Wan-wan yang seharusnya dilindungi setelah ditinggal orang tuanya, malah "dijual" oleh Ting Hoan-wi. Ting Hoan-wi sendiri berhasil mengembangkan modal untuk penyelundupan garam.

Ketika ikut Co Hua-sun, Ting Hoan-wi merasa aman karena dianggapnya Co Hua-sun orang berkuasa besar di pusat pemerintahan, untuk membuka jalan ia bahkan tega menjual Helian Kong pula. Namun ketika mendengar bahwa Tan Wan wan tiba-tiba sudah menjadi wanita kesayangan Kaisar Cong-ceng, maka Ting Hoa-wi pun merasa tidak tenang, lapun mencari jalan untuk memfitnah Tan Wan-wan dan menjauhkannya dari Kaisar.

Kebetulan Co Hua-sun juga punya tujuan serupa biarpun dengan latar belakang atau dengan alasan yang berbeda. Bagi Co Hua-sun, adanya Tan Wan-wan hanyalah menyaingi cengkeraman pengaruhnya atas diri Kaisar, maka Tan Wan- wan harus disingkirkan.

Ting Hoan-wi semula ketakutan ketika mendengar dirinya dipanggil Kaisar, ia mengira Tan Wan-wan sudah mengadukan dirinya dan dia akan dihukum. Tapi hatinya lega setelah melihat di ruangan itu di samping Kaisar hanya ada Co Hua-sun, majikan dan pelindungnya.

"Masuklah, jangan takut...." kata Co Hua-sun sambil tersenyum.

Ting Hoan-wi masuk dengan agak tenang, lalu berlutut menyembah Kaisar. Co Hua-sun pun menoleh dan berkata kepada Kaisar, "Tuanku, inilah Ting Hoan-wi yang telah hamba katakan tadi. Dia adalah saudara sepupu Tan Wan-wan serta saudara seperguruan Helian Kong. Dialah yang mengetahui hubungan kedua orang itu serta kejahatan-kejahatan-an mereka. Namun dia tidak sepaham dengan mereka berdua."

Kata-katanya seperti ditujukan kepada Kaisar, namun sebenarnya juga semacam "pengarahan" kepada Ting Hoan-wi tentang apa yang harus dikatakannya kepada Kaisar. Ting Hoan-wi cukup paham maksud Co Hua-sun.

Kaisar pun mulai menanyai Ting Hoan-wi, "Benarkah kau saudara seperguruan Helian Kong?"

"Benar,Tuanku...."

"Dan saudara sepupu Tan Wan-wan?"

"Benar, Tuanku."

"Hem, orang bisa saja mengaku-aku, tetapi aku ingin bukti."

"Tuanku, ketika hamba dan Wan-wan masih sama-sama kecil, kami pernah bermain kejar- kejaran, dia jatuh terantuk batu. Bekas lukanya di atas lutut kanan masih ada sampai sekarang."

Kaisar termenung. Bagi wanita biasa, bagian "di atas lutut" itu memang termasuk tabu untuk dilihat sembarang-an orang, bagian yang selalu tertutup. Sudah tentu Kaisar harus dikecualikan, dan ia memang pernah melihat bekas luka itu. Maka jawaban Ting Hoan-wi itu menambah rasa percaya Kaisar.

"Kenapa kau tidak sependapat dengan mereka?"

"Karena hamba sebagai warga kekaisaran ini, tidak setuju kalau mereka bersekongkol melawan pemerintahan yang syah."

"Sejak kapan mereka bersekongkol?"

"Hamba kurang ingat persisnya, tetapi sudah cukup lama. Sejak Helian Kong belum masuk ke dalam Tentara Kerajaan dan masih berguru bersama hamba di Teng-hong, kelihatannya Helian Kong sudah bersimpati sekali mendengar gerakan Li Cu-seng menentang pemerintah."

"Kenapa Helian Kong bersikap demikian, kau mengetahuinya?"

"Samar-samar, Tuanku, yaitu karena alasan kesukuan. Helian Kong itu orang asal wilayah barat laut, kelahiran kota Leng-ciu di Kam-siok sebelum keluarganya pindah ke kampung hamba di Propinsi Ho-pak. Jadi Helian Kong itu merasa satu kaum dengan pentolan-pentolan Pelangi Kuning seperti Li Cu-seng dan Li Giam."

Tak terasa Kaisar mengangguk-angguk, keterangan itu agak masuk akal. Menurut sejarahnya, wilayah barat laut itu dulunya memang negara tersendiri yang terpisah dari wilayah tengah. Di jaman kerajaan Song menguasai Cina Tengah, di Cina Barat Laut berdiri Kerajaan Se-he yang beribukota Leng-ciu kota kelahiran Helian Kong. Jaman itu yang disebut "bangsa Han" hanyalah rakyat Kerajaan Song, diluar itu tidak dianggap bangsa Han.

Marga Li dan Helian adalah nama keluarga Kerajaan Se-he selama berabad-abad, dan wilayah utara Cina disatukan oleh Kerajaan Kim, disusul Kerajaan Goan dan Kerajaan Beng yang wilayahnya mencakup bekas wilayah kerajaan-kerajaan yang dulunya berdiri sendiri-sendiri maka penduduk barat laut pun lama-kelamaan merasa diri-mereka sebagai "bangsa Han" juga.

Maka obrolan Ting Hoan-wi yang "diracik" kutipan dari buku sejarah itu kedengaran masuk akal di kuping Kaisar. "Terus bagaimana sikapmu sendiri?"

"Hamba ingatkan Heiian Kong agar jangan lagi mengingat-ingat masa kejayaan Kerajaan Se-he. Toh sudah ratusan tahun penduduk barat laut bersatu dengan penduduk bagian-bagian lain negeri sebagai satu bangsa. Juga hamba katakan bahwa pemberontakan Li Cu-seng adalah pengkhianatan yang amat jahat, tidak usah ikut-ikutan."

"Dia terima nasihatmu?"

"Dia malah bilang kalau pemerintah sekarang tidak beres. Maaf, Tuanku, ham ba hanya menirukan kata-katanya waktu itu. Maka dia anggap Li Cu-seng adalah dewa pujaan, yang harus meruntuhkan pemerintahan sekarang dengan kekuatan senjata."

"Nah, kurang ajar tidak, Tuanku?" Co Hua-sun menyambung dengan hasutannya.

Kaisar bungkam di kursinya. "Apakah hamba boleh melanjutkan keterangan, Tuanku?" Ting Hoan-wi memberanikan diri bertanya setelah mendapat isyarat halus dari Co Hua-sun.

"Ya, teruskan."

"Ketika kami sama-sama pulang ke kampung, Helian Kong terus berpacaran dengan adik sepupu hamba, Tan Wan-wan. Tentu saja hamba keberatan karena kuatir kalau Wan-wan ketularan jalan pikirannya yang berbahaya, padahal Wan-wan haruslah hamba jaga seperti adik hamba sendiri karena kedua orang tuanya sudah tiada. Bahkan hamba rela mengorbankan semua harta benda hamba demi masa depannya. Tetapi dia tidak mendengarkan nasihat hamba, terus saja berhubungan dengan Helian Kong."

"Tapi kenapa Helian Kong mengabdi dengan baik dalam Tentara Kerajaan?"

Menghadapi pertanyaan ini, Ting Hoan-wi kuatir kalau jawabannya berselisih dengan jawaban Co Hua-sun. Maka diapun menoleh ke arah Co Hua-sun, Lalu Co Hua-sun lah yang menjawab Kaisar,

"Tuanku, ini gampang dipahami. Tujuan Helian Kong sudah tentu untuk merongrong Tentara Kerajaan demi keuntungan kaum Pelangi Kuning."

"Apa benar begitu?"

Co Hua-sun pun berkata dengan lancarnya, "Tuanku, seharusnya kita curiga segala sepak terjang Helian Kong sejak dulu. Coba diingat, sebelum kita tugaskan Jenderal Sun Toan-teng di Tong-koan, kita pernah tugaskan Helian Kong mengamankan wilayah barat laut.

"Pasukannya kuat dan lengkap, sedang kaum Pelangi Kuning saat itu hanyalah terdiri dari serdadu-serdadu amatir yang belum terlatih, belum tersusun rapi pula, tetapi kenapa justru pasukan kita yang kocar-kacir? kekalahan itu tidak masuk akal.

"Yang masuk akal ialah dugaan bahwa Helian Kong tidak tega berhadapan dengan orang-orang barat laut yang satu suku dengannya, maka disengaja memberikan kemenangan kepada pemberontak, sehingga pemberontak dalam waktu singkat dapat merebut wilayah barat laut yang begitu luas.

"Pulang ke Pak-khia, ia masih rapi bersembunyi di belakang kedoknya. Dia menghasut beberapa perwira untuk menentang hamba, karena dia tahu bahwa hambalah orang yang akan benar-benar membela Tuanku, jadi harus dia singkirkan dulu.

"Dia menyelundup ke dalam istana untuk membunuh Tuanku tapi hamba gagalkan, dan bukan kebetulan pula kalau keributan di depan gedung Yang Mulia Ciu Kok-thio itu juga bertepatan dengan kunjungan Tuanku, karena itu pastilah disengaja untuk mencelakakan Tuanku. Kelambatannya mengirim bantuan ke Tong-koan juga pasti disengaja. Pasti!"

Begitu lancar Co Hua-sun membeberkan "hasil" penyelidikannya" sehingga Kaisar Cong-ceng tak mampu membatalkannya, kecuali mengangguk-angguk terus. Setelah sekian lama, barulah Kaisar menemukan kata-kata,

"Kong-kong, penjelasanmu begitu panjang lebar, tetapi bagaimana dengan Tan Wan-wan? Apakah dia hanya akan dikaitkan saja dengan kejahatan Helian Kong?"

"Tuanku, Wan-wan telah menyusun komplotan mata-mata tepat di jantung pemerintahan ini. Memang hamba belum berhasil membuktikan, tetapi kalau Tuanku tidak mempercayainya, berarti Tuanku mempertaruhkan negara!"

"Co Hua-sun, berani kau berkata seperti itu?"

"Maaf, Tuanku, terpaksa hamba berterus terang. Jaya atau runtuhnya dinasti Beng sekarang tergantung di tangan Tuanku. Silakan Tuanku pilih, lebih berat menyelamatkan warisan leluhur, atau lebih memberatkan Tan Wan-wan?"

"Co Hua-sun, aku panggil kau kemari hanya untuk mendengarkan pendapatmu, sedang keputusan tetap di tanganku. Tidak perlu kau berusaha menghasut atau mendikte aku."

Co Hua-sun diam-diam gusar dalam hati karena Kaisar kali ini menolak usulnya, menandakan betapa pengaruh Tan Wan-wan sudah kuat dalam diri Kaisar. Tapi ia tidak berani membantah lagi, setelah menyembah, maka diapun berlalu bersama Ting Hoan-wi. Dalam hatinya ia semakin bernafsu mempercepat rencananya.

Sementara itu Kaisar lama sekali tertunduk lesu di tempatnya. Pikirannya terombang-ambing. Di satu pihak Co Hua sun menuduh Tan Wan-wan mata-mata pemberontak, dari lain pihak Tan Wan-wan pernah membisikinya bahwa Co Hua-sun diam-diam sering menerima tamu-tamu asing bangsa Manchu dan berkasak-kusuk. Entah mana yang benar?

Seandainya Kaisar tahu bahwa kedua-duanya benar, barang kali ia akan mengakhiri kebingungannya dengan menggantung diri. Di luar istana, kehidupan sehari-hari di ibu kota negara itu masih berjalan wajar. Orang masih berjual-beli, saling berkunjung, bersenang-senang. Suasana perang hanya muncul dalam percakapan ringan di warung- warung atau pasar.

Pengaruh perang terasa pada naiknya harga bahan-bahan makanan pula, yang makin lama makin mendesak minggir kaum miskin dari arena jual-beli. Ada yang sampai jual celana untuk beli beras, tapi kalau barang-barangpun sudah habis dijual, akhirnya banyak yang nekad jaldi maling atau tukang jambret.

"Kapan perang selesai?”

"Kalau salah satu pihak sudah takluk.”

"Kapan salah satu pihak takluk?"

"Tanya saja kepada Kaisar atau Li Cu-seng, kalau berani."

"Payah kalau begini terus. Dagangan jadi sepi karena harga mahal, makin banyak pengemis dan copet gentayangan, dan sebentar lagi kita mungkin juga akan jadi pengemis..."

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.