Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 18

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong seri pertama, Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 18 karya Stevanus S.P

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 18

"Ah, entahlah. Tapi aku dan keluargaku sedang pikir-pikir untuk pindah ke Jiat-ho saja." "Ah, bukankah Jiat-ho ibu kotanya bangsa Manchu? lalu kau kelak juga menguncir rambut seperti mereka? tinggal di tengah-tengah orang biadab dan diperintah oleh raja biadab mereka?"

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

"Hem, keponakanku bersuami orang Manchu, dan aku pernah mengunjunginya di Jiat-ho. Mereka hidup senang, tidak seperti di sini."

"Tapi betapapun kita adalah orang Han, bangsa yang berkebudayaan luhur sejak berabad-abad!"

"Huh, berkebudayaan luhur kok saling bunuh terus, perang terus, pemerintahan semrawut, perdagangan semrawut, peradilan juga semrawut, lalu kita orang-orang kecil ini siapa yang melindungi? di Jiat-ho lebih enak, biarpun setiap pemuda diwajibkan latihan militer, tapi semuanya tertib, tidak kacau."

Percakapan itu berlangsung di pasar, antara seorang penjual buah-buahan yang tidak segar lagi karena sudah didasarkan beberapa hari tapi belum laku-laku juga, dengan seorang pedagang pecah belah di sebelahnya. Pembeli sepi, malahan sebentar-sebentar datang pengemis menadahkan tangan.

Tengah mereka bertukar gerutuan kesal, tiba-tiba perhatian mereka tertarik ke suara di jalanan depan pasar. Di sana datang serombongan perajurit, yang langsung membuat semacam lingkaran di pinggir jalan persis bakul jamu siap menggelar dagangannya. Seorang prajurit naik dan berdiri di atas sebuah bangku yang sembarangan dirampasnya dari seorang pedagang kecil lalu diapun menabuh gong bertalu-talu.

Si bakul buah-buahan bertanya, "Eh, ada apa itu?"

"Pengumuman. Mudah-mudahan bukan pengumuman kenaikan pajak lagi," sahut si tukang sayur di sampingnya tanpa minat.

Tapi si tukang buah yang sudah jemu menunggui dagangannya yang cuma dikerumuni lalat, justru nampak berminat, "Ayo kita dekat dan dengarkan, siapa tahu malah penurunan pajak."

"Ah, kau saja sana dengarkan. Kalau pajak turun, kabari aku. Kalau naik, tidak usah bilang aku, aku mau pura-pura tidak tahu saja."

"Kalau begitu tolong jagakan daganganku," dan si tukang buah telah bangkit dan menuju kerumunan itu, lalu berdesak-desakan dengan orang lain untuk mendengarkan pengumuman.

Tapi begitu mengenali prajurit yang tengah berdiri di atas bangku sambil menabuh gong itu, terkejutlah si penjual buah-buahan. Ketika menoleh, di sebelahnya adalah orang yang sudah dikenalnya, maka berbisiklah ia, "Tidak kelirukah mataku? Bukankah yang berdiri di atas bangku itu adalah penjual obat kutu busuk yang tiga hari yang lalu masih berjualan di sudut pasar?"

"Betul."

"Sejak kapan dia jadi perajurit?"

"Mana aku tahu? Coba dengar dulu apa yang mau dia umumkan."

Prajurit di atas bangku itu menabuh gongnya terus sampai terkumpullah kerumunan pendengar yang cukup banyak, lalu terdengarlah suaranya lantang, "Saudara-saudara, saat ini terbuka lebar kesempatan bagi kalian untuk menunjukkan darma bakti kepada kekaisaran! Daftarkanlah nama kalian sebagai prajurit, masa depan gemilang menunggu kalian!

"Kalau kalian cukup berjasa, siapa tahu tiga tahun kemudian ada di antara kalian yang jadi jenderal dan berhasil menjunjung tinggi leluhur kalian! Ayo, ramai-ramai daftarkan diri! Asal saudara adalah lelaki sehat berumur tujuh belas tahun sampai empat puluh tahun, hampir pasti diterima akan diterima! Ayo, ayo, jangan lewatkan kesempatan ini!"

Berkat pengalamannya sebagai bekas penjual obat kutu busuk, ia nampak luwes sekali dalam pidatonya. Kalau beberapa hari yang lalu ia berteriak, "Dalam tiga hari tanggung semua kutu busuk lenyap dari kasur kalian!" maka sekarang, "Dalam tiga tahun bisa jadi jenderal!"

Terus saja dia memukul gong sambil berteriak-teriak membujuk, mencoba membakar semangat, benar-benar tak ubahnya menawarkan dagangannya. Dan jerih payahnya tidak sia-sia. Dari tengah-tengah kerumunan penonton muncul seorang lelaki kekar bertubuh pendek, bajunya buntung untuk memperlihatkan belitan otot-otot lengannya, matanya merah, mulutnya bau arak, rambutnya awut-awutan.

Sambil mendesak maju diapun bertanya, "Aku boleh daftar?"

Para pedagang kecil di jalan itu sudah kenal siapa dia. Penganggur tapi doyan arak, uang pembeli arak diperolehnya dari memeras para pedagang kecil. Kini dia agaknya menemukan lapangan kerja. berambil mendesak maju diapun bertanya, "Aku boleh daftar”

Namun orang-orang yang melihatnya jadi cemas. Dulu si penganggur itu sudah bersikap begitu galak, entah bagaimana bertambah galak kalau sudah berseragam prajurit kelak, apa lagi kalau sampai "jadi jenderal"?

Namun si tukang teriak tidak peduli, pokoknya ada sambutan. Maka diapun mengobral pujian, persis kalau ada kawan sekongkolnya yang pura-pura memborong obat kutu busuknya, "Bagus! Bagus! Saudara ini benar-benar seorang pencinta tanah air yang patut kalian teladani! Tentu saja saudara diterima silakan mendaftarkan nama di meja yang di sana."

Lalu gongnya kembali dipukul berirama. "Nah, saudara-saudara rakyat Kerajaan Beng yang setia, apa kalian akan tinggal diam melihat negeri ini diancam kaum pemberontak Pelangi Kuning serto bangsa Manchu? Tidak rela bukan? Ayo daftarkan diri, ayo... ayo.... siapa lagi?"

Muncul satu "calon jenderal" lagi. Kurus, pucat, agak bungkuk, jalannya sambil terbatuk-batuk, dan biarpun sempoyongan dia menuju ke meja pendaftaran.

Perwira penerima pendaftaran pun mengerutkan alis melihat orang macam ini juga mau jadi perajurit. Tapi kalau ditolak, ia kuatir yang lain-lain akan patah semangat. Terpaksa diapun tulis saja nama orang itu sambil membatin dalam hati, "Lumayan untuk latihan memanah."

Kemudian beberapa orangpun susul-menyusul mengikuti jejaknya, termasuk si penjual buah-buahan yang semula cuma berniat menonton. Dulu ia sering ditendang pantatnya oleh para prajurit, sekarang dia Ingin pindah, masuk golongan yang menendang, bukan lagi ditendang. Si penabuh gong makin semangat. Makin lantang pula saaranya menyerukan slogan-slogan yang membuat tengkuk merinding.

Hanya saja, di antara orang-orang yang berkerumun itu ada yang merasa sedih dan malu. Dialah Helian Kong. Setelah berhasil meloloskan diri dari tawanan kaum pemberontak di Tong-koan, Helian Kong lalu berusaha menemukan kembali pasukannya untuk disusun kembali, tetapi ternyata gagal.

Sejak Tai-goan dan Hun-ciu jatuh, pasukannya sudah tercerai berai, banyak perajurit yang melarikan diri dan tidak mau lagi kembali ke induk pasukan. Ada yang jadi berandal di gunung, dan ada yang kabur dengan mencopot seragamnya, entah ke mana. Hanya sebagian kecil yang tetap setia, meskipun harus ditarik mundur untuk memperkuat pertahanan di Han-tiong.

Maka Helian Kong pulang sendiri ke Pak-khia dalam keadaan compang-camping dan akan melapor ke Peng-po Ceng-tong (Kantor Perang) siap ditugaskan kembali. Selain itu, ia juga akan berusaha mengusulkan kepada Kaisar agar pasukan-pasukan dari selatan ditarik ke utara untuk membendung kemajuan tentara pemberontak yang luar biasa.

Di selatan masih ada Jenderal Su Kho-hoat di Yang-ciu, Jenderal The Ci-liong di Hok-kian, Jenderal Thio Hong- gan di Ciat-kang, Jenderal Thio Hian-tiong di Se-cuan, Jenderal Li Teng-kok di Kui-ciu, semuanya masih memiliki pasukan yang besar, segar dan terlatih.

Memang usul itu pasti akan ditentang oleh Co Hua-sun yang takut kepada "jenderal-jenderal selatan" itu, namun Helian Kong merasa bahwa Kaisar harus dibujuk sampai menerima usul itu. itu lebih baik daripada merekrut orang-orang di jalanan, tak ubahnya berjualan jamu saja, dan entah macam apa pasukan yang akan terbentuk kelak dengan cara ini?

Dengan perasaan kacau, merasa kebanggaannya sebagai prajurit dilukai, Helian Kong meninggalkan kerumunan itu. Tengah ia berjalan, tiba-tiba dilihatnya di antara orang-orang yang lalu lalang di jalanan itu ada seorang yang seperti sudah dikenalnya.

Bentuk tubuhnya dan wajahnya kalau dilihat dari samping sekilas nampak seperti sahabatnya, Liong Tiau-hui, perwira San-hai-koan yang sejak keributan di depan gedung Ciu Kok-thio dulu lalu menghilang tak tentu rimbanya.

Kini ia dengan heran melihat orang itu tidak lagi memakai seragam perwira, malahan berpakaian dekil seperti gelandangan. Kepalanya memakai topi rumput bertepian lebar yang ingin digunakannya untuk menyamarkan dirinya.

"Liong Tiau-hui atau bukan?" tanda tanya muncul di hati Helian Kong. Karena ingin tahu, tak terasa ia mulai membuntuti orang itu.

Mula-mula semuanya berjalan biasa, orang yang dibuntuti itu menoleh sekali ke belakang, lalu mempercepat langkahnya. Helian Kong juga mempercepatnya, dilihatnya orang itu berhenti beberapa kali untuk berbicara dengan beberapa orang. Kecurigaan Helian Kong makin tebal.

Orang yang dibuntuti itu tiba-tiba berbelok masuk sebuah gang. Di mulut gang ada dua gelandangan yang makan sambil berjongkok, menggunakan mangkuk butut menyuapi mulut hanya dengan jari-jarinya. Ketika melewati orang itu, orang yang sedang dibuntuti Helian Kong itu berbisik sambil terus berjalan, "Aku dibuntuti. Cegah dia...."

Kedua gelandangan itu tiba-tiba meletakkan mangkuk-mangkuk mereka, lalu bicara satu sama lain dengan keras, seolah-olah bertengkar. Dan aneh, tingkah mereka itu seperti suatu aba-aba untuk munculnya suatu gelombang keributan. Seorang yang semula duduk tenang di pinggir jalan, tiba-tiba melompat ke tengah jalan, tertawa berkakakan, mengayun-ayunkan tongkat berteriak-teriak tak keruan, berlagak gila.

Suasana jadi kacau seketika. Terutama perempuan dan anak-anak yang berlari-lari ketakutan, tapi banyak juga kaum lelaki yang berhamburan dan banyak yang menabrak- nabrak tubuh Helian Kong sehingga terhambat langkahnya.

Dan keributan-keributan lain muncul serempak. Mendadak ada penjual sayur yang berkelahi dengan pembelinya, ada orang lewat tersiram air panas dari warung, ada yang kepalanya kejatuhan genteng, ada kambing lepas yang melompat-lompat mengamuk dan menanduk kian kemari.

Helian Kong terjebak di tengah kekacauan itu, dan iapun kehilangan jejak buruannya. Helian Kong berpendapat bahwa semuanya itu disengaja. Nalurinya yang tajam mengatakan itu. Maka Helian Kong pun mulai bersikap keras, la mendesak di antara kekacauan itu dengan menggunakan tenaganya, sehingga banyak orang terpelanting roboh. Tentu saja tidak banyak orang yang mampu menandingi kekuatannya.

Tapi keributan menghebat dan jelas semakin diarahkan kepada Helian Kong. Seolah-olah tidak sengaja, tetapi makin banyak orang yang hendak mementung kepala Helian Kong dengan pikulan bambu atau dengan bandul timbangan. Ada juga yang berlagak panik terus hendak melindas kaki Helian Kong dengan gerobak roda satu.

Helian Kong habis sabarnya. Ia melompat tinggi di atas kepala orang-orang itu, meluncur langsung ke dalam gang tadi sambil berharap mudah-mudahan masih bisa mengikuti jejak orang yang mirip Liong Tiau-hui tadi.

Namun terlambat, lorong itu sudah kosong. Dengan geram Helian Kong kembali ke jalan besar, dan tercengang melihat keadaan jalan itu sudah tenang kembali, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Gelandangan-gelandangan meneruskan makannya, yang bertengkar sudah damai kembali, meskipun suasana jadi lebih sepi karena banyak pembeli yang tadi sudah keburu kabur dan tidak kembali.

Namun suasana tenang itu justru membuat Helian Kong merinding. Kini jelaslah, sebagian besar orang yang ada di situ adalah sekomplotan, dan Helian Kong menduga merekalah orang-orangnya Pelangi Kuning. Berapa sebenarnya jumlah mereka di seluruh Pak-khia, Helian Kong tidak dapat memperkirakan. Yang jelas, kaum pemberontak ternyata menyiapkan "penyambut dari dalam" apabila kelak mereka menyerbu Pak-khia.

Ia jadi ingat betapa Tong-koan, Hun-ciu dan Thai- goan jatuh begitu gampang dengan cara lebih dulu menghasut penduduk agar melawan tentara kerajaan dan membukakan pintu untuk laskar pemberontak. Dan kaum pemberontak rupanya merencanakan hal yang sama untuk Pak-khia.

Bersahut-sahutan suara para pedagang itu, menawarkan dagangan kepada Helian Kong, namun di kuping Helian Kong, suara mereka tak ubahnya ejekan. Helian Kong melangkah lebih cepat meninggalkan tempat itu.

"Secepatnya semua panglima di kota ini harus segera tahu kalau kota ini sudah kesusupan entah berapa banyak orang-orangnya kaum pemberontak. Kalau tidak segera ada tindakan, Pak-khia akan gampang sekali kelak direbut Li Cu-seng."

Namun semangat tinggi yang didasari kemauan baik pun seringkali terbentur kenyataan pahit yang tak terduga. Begitu Helian Kong sampai ke rumahnya, ia kaget melihat pintu rumahnya tertutup rapat ditempeli kertas bersilang segel bercap istana.

Tertempel pula pengumuman singkat yang menyatakan bahwa Helian Kong sudah berkhianat kepada kekaisaran, berkomplot dengan kaum pemberontak, maka semua pangkatnya dicopot, hartanya dirampas, bahkan dinyatakan sebagai buronan yang harus ditangkap hidup atau mati.

Helian Kong termangu-mangu, sulit mempercayai kenyataan itu. Dia pertaruhkan nyawa di garis depan, biarpun mengalami kekalahan tapi tidak setitik-pun ada niat khianat terhadap kekaisaran. Setelah berhasil kabur dari Tong-koan, ia buru-buru pulang ke Pak-khia untuk bersiap menerima tugas baru. Ternyata "sambutan" macam inilah yang ditemuinya di Pak-khia.

Tiba-tiba ada ledakan di langit, lalu hujanpun turun dengan derasnya. Orang-orang di jalanan berlari-lari mencari tempat berteduh, begitu pula Helian Kong. Tetapi ia tidak berani masuk ke rumahnya yang disegel, hal itu dianggap tidak menghargai pemerintah dan akan menyediakan bahan fitnahan tambahan bagi pembenci-pembencinya.

Maka diapun hanya dapat berteduh di emperan rumah di seberang rumahnya, berjejal-jejalan dengan peneduh-peneduh lain. Bedanya, kalau orang-orang itu nanti hujan reda masih bisa pulang ke rumah, Helian Kong tidak, sebab tidak punya rumah lagi.

Sekilas terpikir oleh Helian Kong untuk menumpang di rumah perwira yang menjadi temannya, tapi akhirnya diapun singkirkan gagasan itu dari benaknya. Selama tuduhan terhadap dirinya belum dicabut, ia bisa menyulitkan teman-temannya, dan ia tidak mau itu. Terpaksa untuk sementara ia harus jadi gelandangan, bahkan gelandangan yang diburu-buru.

Tiba-tiba di jalanan itu ada seorang penunggang kuda yang berpacu sambil membungkuk, tanpa menghiraukan hujan lebat. Seorang berseragam panglima, dan Helian Kong mengenalnya. Bu Sam-kui. Keruan Helian Kong jadi heran,

"Bukankah Bu Sam-kui bertugas menjaga San-hai-koan untuk membendung orang Manchu? Kenapa sekarang muncul kembali di ibu kota? Apakah ia bernasib seperti aku, mengalami kehancuran pasukan dan terpaksa kembali ke ibu kota?"

Tak tertahan lagi rasa ingin tahu Helian Kong sehingga ia lupa segala-galanya. Ia melompat ke tengah jalan, dan teriakannya mengatasi suara gemuruhnya hujan, "Saudara Bu!"

Bu Sam-kui mendengarnya, sehingga diapun kuat-kuat menarik kekang kudanya sehingga meringkik sambil menggapai-gapaikan sepasang kaki depannya ke langit. Namun Bu Sam-kui dengan tangkas memutar kudanya dan berhenti menghadap Helian Kong.

"Saudara Helian!" Bu Sam-kui tercengngang ketika melihat siapa yang memanggilnya, lalu sambil menunjuk pintu rumah yang disegel itu, ia bertanya keras agar tidak tenggelam oleh suara hujan, "Bukankah itu rumahmu? Kenapa kau malah berteduh di emperan rumah orang lain?"

Helian Kong mengangkat pundak dan menjawab dengan nada pahit, "Sekarang bukan rumahku lagi. Tidakkah saudara baca tulisan di pintu itu?"

"Yah, belakangan ini di Pak-khia memang kudengar desas-desus tentang dirimu. Pasti ulah si keparat tua Co Hua-sun. Saudara Helian, jangan kecil hati, aku dan teman-teman lain pasti akan berusaha menjernihkan urusan ini."

"Terima kasih. Tapi urusanku bukanlah yang paling penting tidak perlu sampai terjadi ribut-ribut yang hanya menguntungkan musuh-musuh kekaisaran. Keselamatan negara harus dinomor-satukan."

Kata-kata itu seolah-olah menampar Bu Sam-kui, sehingga mendadak ia jadi tersipu-sipu lalu menatap ke arah lain, sambil berkata, "Benar, akupun harus menjunjung keselamatan negara."

"Kenapa saudara ada di Pak-khia dan bukan di San-hai-koan?"

"Eh... begini ya... eh, memang aku sedang ada keperluan sedikit di Pak-khia. Ya keperluan penting."

"Apakah ada yang lebih penting daripada menjaga tapal batas negara di San-hai-koan?"

"Oh, tentu saja. Tapi sebelum kutinggalkan, urusan di San-hai-koan sudah kuatur dulu. Tidak apa-apa kalau cuma kutinggal sebentar."

Helian Kong mencemaskan nasib benteng San-hai-koan lebih dari mencemaskan dirinya sendiri. Maklum, sekali San-hai-koan jatuh, berarti terbukalah jalan bagi pasukan Manchu untuk menyerbu wilayah pedalaman. Ia kurang mengerti, bagaimana Bu Sam-kui berani meninggalkan pos yang begitu penting untuk "keperluan sedikit"nya di Pak-khia? Namun karena Bu Sam-kui bukan bawahannya, Helian Kong tidak berani menegur.

Beraninya cuma bertanya, "Bagaimana keadaan pasukan saudara di San-hai-koan?"

"Aman, kokoh. Pasukan Manchu takkan mampu maju sejengkalpun."

"Bagaimana dengan Jenderal Ang Seng tiu yang ditawan orang Manchu? Apa berhasil dibebaskan?"

Tiba-tiba Bu Sam-kui menarik napas, "Lebih buruk daripada mati."

"Lho, kenapa?"

"Dia tunduk akan bujukan kemuliaan dan kedudukan yang ditawarkan bangsa Manchu, maka dia menakluk dan sekarang dia adalah panglima Manchu."

"Hah? Kalau demikian saudara Bu sebaiknya tetap berada di tengah-tengah pasukan saudara. Pembelotan Jenderal Ang itu bisa menurunkan semangat prajurit-prajurit kita di garis depan, harus nya saudara tetap di tengah pasukan untuk menjaga semangat mereka."

"Setelah urusanku di Pak-khia selesai, aku secepatnya akan kembali ke San-hai-koan."

"Urusan apa, saudara Bu? Bisa aku bantu agar cepat selesai?"

"Ah, urusannya agak pribadi sifatnya, bisa kuselesaikan sendiri. Maaf, saudara Helian, aku sedang tergesa-gesa." Habis berkata demikian, Bu Sam-kui terus memutar kudanya untuk berderap pergi. Namun sempat juga melambaikan tangan kepada Helian Kong yang masih berdiri di bawah hujan lebat. Beberapa saat kemudian, Bu Sam-kui-pun lenyap di tikungan sana.

Helian Kong baru menoleh setelah di sampingnya terdengar suara langkah berkecipak di jalanan yang tergenang air. A-liok, si bocah tanggung yang pernah tinggal bersama Helian Kong itu mendekatinya sambil membawa payung, matanya cerah menatap Helian Kong.

"Helian Toako."

"A-liok!"

A-liok menyerahkan payungnya. He-lian Kong menerimanya, lalu merangkul pundak A-liok diajak menepi. Sambil melangkah, A-liok bertanya, "Toako, benarkah desas-desus yang mengatakan bahwa Toako mengkhianati kekaisaran?"

"Kau percaya tidak?"

"Aku bisa percaya matahari muncul dari barat, tapi tidak bisa percaya Toako menjadi pengkhianat."

Helian Kong tertawa dan mendekap kepala A-liok lebih berat. Dan sambil berpayung melangkah ke suatu arah, Helian Kong tiba-tiba bertanya, "Sekarang aku mau kau bawa ke mana?"

"Ke rumah kita."

"Yang disegel itu?"

"Bukan, maksudku rumah baru kita."

"Rumah baru?"

Akhirnya merekapun tiba di "rumah baru" yang dikatakan A-liok Itu, dan Helian Kong terharu melihatnya. Tempat itu di sebuah gang, di atas sebidang tanah sempit yang dulu untuk pembuangan sampah, terjepit di antara dua tembok lumutan.

Tapi A-liok telah meninggikan tanahnya dua jengkal sehingga tidak bisa kemasukan air, lalu dilapisi papan-papan bekas sebagai lantai, dilapisi lagi tikar, atapnya juga papan-papan bekas dilapisi jerami campur ijuk, membuat air hujan tak bisa masuk melainkan mengalir ke tepi atap.

Melihat tempat itu, toh Helian Kong merasa hangat dalam hati, ternyata di Pak-khia masih ada sepetak tanah tempatnya berteduh, dihiasi kasih sayang. Mereka harus merangkak untuk memasuki gubuk itu. A-liok lalu meletakkan payungnya yang tetap terbuka, diletakkan sedemikian rupa untuk menahan angin dingin yang berhembus dari luar.

Di tengah ruang sempit itu ada bagian lantai yang dicekungkan pinggirnya ditata dengan batu, tengahnya untuk perapian. A-liok menyalakan perapian untuk mendatangkan sedikit kehangatan di ruang itu. "Toako, duduklah dekat api. Biar pakaian dan tubuhmu kering."

Helian Kong menurut dan menggeser duduknya ke dekat nyala api, sementara A-liok malah merangkak keluar kembali sambil berkata, "Biar aku cari makanan dulu. Toako tentu lapar."

"Hujan-hujan begini cari makanan? Di mana?"

"Aku membantu paman tukang warung di dekat belokan itu, upahnya makanan."

A-liok lalu membawa payungnya dan berjalan menjauh. Tidak lama kemudian ia pulang kembali membawa bungkusan kertas besar. Setelah meletakkan kembali payungnya di tempat semula, diapun merangkak masuk kembali. Bungkusan dibuka dan yang dibawa A-liok itu adalah kue-kue sisa yang dingin dan tidak mungkin dijual kembali. Ada bakpau yang sudah bekas digigit, ada roti yang kena abu dan sebagainya.

Dengan agak malu-malu A-liok berkata, "Aku minta maaf, Toako, benar-benar tidak pantas sebenarnya aku suguhi Toako makanan macam ini. Tetapi tidak bisa kudapatkan lainnya, sebab aku tidak mau menjadi pengemis atau menyusahkan orang lain.”

"Tidak. Makanan ini cukup pantas untuk seorang panglima yang perangnya kalah melulu..." Helian Kong berusaha melegakan hati A-liok dan menyambar bakpau dingin bekas digigit itu, langsung dilahapnya sampai habis. "Malahan terlalu pantas untuk seorang yang sudah dicap sebagai pengkhianat."

Dan tiba-tiba Helian Kong tertawa keras sampai mendongak, suara tertawanya penuh kepahitan. Dua lajur air mengalir melewati pipinya sebelum jatuh di tikar. A-liok melihatnya, namun ia bersikeras dengan pendapat bahwa yang menetes itu tentu cuma air hujan dari rambut Helian Kong, bukan air mata. Sebab A-liok tidak mau melihat pahlawannya menangis.

"Sekarang, apa yang akan toako lakukan di hari-hari mendatang ini?"

"Aku akan membereskan suatu urusan dulu, kemudian pergi dari Pak-khia. Udara ibu kota sudah terlalu sumpek dan memuakkan, bau napas Co Hua-sun tercium di mana-mana, lebih busuk dari bau bangkai tikus. Dan pihak istana juga tak mau memberikan tempat sejeng- kalpun buatku di sini."

"Pergi ke mana?"

"Ke Yang-ciu, bergabung dengan Jenderal Su Kho-hoat yang bersih dan jujur."

"Aku benar-benar sulit memahami Toako."

"Apa yang tidak kau pahami?"

"Pemerintah bersikap buruk terhadap Toako. Tidak kenal budi, tidak menghargai jasa dan kesetiaan Toako, kenapa Toako masih juga bersikeras membela kekaisaran?"

Helian Kong menarik napas dan menjawab, "Kekaisaran ibarat sebuah rumah besar tempat kita bernaung. Biarpun rumah itu jelek, kita harus menjaganya jangan sampai roboh atau dirobohkan orang lain."

"Aku kurang setuju."

"Lho..."

"Kalau rumahnya sudah terlalu jelek, ya dirikan saja rumah baru daripada tambal sulam."

Helian Kong kaget, "A-liok, dari mana kau dapatkan pikiran sesat macam itu?"

"Dari pengalaman. Dua hari yang lalu gubuk ini hampir diterbangkan angin dan bocor di mana-mana, air masuk, alangkah susahnya aku. Tambal sini, bocor sana. Tambal sana, bocor yang lain lagi. Seandainya aku punya tempat lain, tentu kutinggalkan tempat ini dan mencari tempat berteduh yang lain."

Mula-mula hampir saja Helian Kong menyangka A-liok sudah kena hasutan kaum Pelangi Kuning. Namun kemudian ia tertawa sendiri, karena A-liok barulah berumur lima belas tahun, apa yang dikatakannya masih jujur dan tidak dimasudkan untuk mempunyai arti ganda. Hanya otak Helian Kong yang "keracunan politik" sajalah yang hampir saja menerima kata-kata A-liok dalam arti simbolis untuk situasi jaman.

Sementara A-liok berkata lagi, "Toa-ko, kalau Toako kelak pergi ke Yang-ciu, aku harus ikut. Aku tidak mau sendirian di Pak-khia."

Dengan rasa sayang Helian Kong mengusap kepala A-liok, "Tentu saja."

"Kudengar Yang-ciu itu tempatnya indah?"

"Ya, amat indah. Tahu sebabnya?"

"Karena musim seminya lebih hangat daripada di sini?"

"Salah."

"Kenapa?"

"Karena di sana tidak ada Co Hua-sun."

Langit makin gelap. Karena awan hitam merata di langit, jadi sulit diketahui saat itu masih siang atau sudah sore. Hujan dan angin belum reda juga, langit seperti belum kehabisan persediaan air untuk membasah-kuyupkan Pak-khia. Tiba-tiba angin bertiup kencang, payung yang diletakkan di depan gubuk itupun digiring angin sehingga menggelinding seperti roda yang lepas. Cepat A-liok melompat keluar gubuk untuk mengejar harta yang berharga di musim hujan itu.

Namun begitu tiba di luar gubuk, segera A-liok melihat sesuatu yang jauh lebih menakutkan daripada sekedar hujan lebat atau halilintar di langit. Air hujan membentuk tirai yang menghalangi pandangan, namun mata A-liok masih cukup tajam untuk melihat bayangan-bayangan yang bergerak mendekat dari kedua ujung lorong, banyak sekali orang-orang membawa pedang dan tombak. Mereka berseragam prajurit- prajurit istana bergerak mendekati gubuk.

Lupa akan payungnya, A-liok berteriak sekuatnya ke dalam gubuk, "Toako, lari! Cepat!"

Teriakannya tidak selesai, dari balik tirai air melompat sang pencabut nyawa dengan pedangnya. Tubuh si jejaka cilik teriris telak dari pundak kiri sampai ke pinggul kanan, dengan irisan sedalam hampir setengah jengkal. Tubuh A-liok ambruk, darahnya yang muncrat ke udara dan ke tanah segera bersih disapu air hujan.

Helian Kong begitu kaget, ia mendengar teriakan A-liok tetapi tak sempat berbuat apa-apa. Puluhan prajurit istana muncul di depan gubuk itu dengan senjata-senjata terhunus. Namun pusat perhatian Helian Kong masih terpaku ke diri A-liok. Sepotong makanan yang masih dipegangnya lalu dilempar begitu saja, bersamaan dengan tubuhnya yang melontar keluar sehingga gubuk darurat itupun ambruk berantakan.

Langsung dipeluknya tubuh A-liok, didekapnya ke tubuhnya, dengan gerak tak keruan ia mencoba menutup lubang luka yang panjang itu. Luka yang semula merah namun dalam sekejap menjadi putih seperti daging ikan karena tercuci air hujan. "A-liok, bertahanlah.... bertahanlah... kau pasti sembuh...."

"Toako...." suara lemah keluar dari bibir pucat itu. "Aku ikut ke Yang-ciu..... di Pak-khia orangnya jahat-jahat."

"Ya... ya... sekarang juga kubawa kau ke Yang-ciu.... tapi bertahan ya! Ayo bertahanlah, lawan maut itu..."

Kekuatan terakhir A-liok hanya cukup untuk membentuk seulas senyum tipis di bibir, sebelum kemudian terkulai ke samping. Helian Kong tahu artinya sang maut melangkah tanpa tercegah. Otaknya bisa menerima, tapi hatinya tidak. Salah apa anak ini sehingga harus menjadi korban pedang orang-orang istana? Salah apa?

"Salah apa dia sehingga kalian bunuh?" raungan kemarahan Helian Kong meledak mengatasi gemuruh air hujan. Para prajurit istana yang dibentaknya itupun terkesiap kaget dan berdesakan mundur. Halilintar di langit pun meledak dahsyat bersahutan, seakan ikut murka.

"Salah apa anak ini? Salah apa?" Helian Kong berdiri dengan mata berapi-api, membuat Song Thian-oh, komandan pasukan itu jadi ngeri.

Namun di hadapan anak buahya, ia tidak mau unjuk kelemahan, ia berusaha garang pula, "Helian Kong! Kau berdosa besar terhadap kekaisaran! Menyerahlah untuk menerima hukuman!"

"Jawab dulu, salah apa dia?" teriak Helian Kong sambil menuding tubuh A-liok yang kini meringkuk beku di tanah yang becek tergenang air. Tak ubahnya bangkai anjing. "Dia seorang anak yang baik, rajin, jujur, pantang menyusahkan orang lain!"

"Helian Kong, aku tidak mau berbantah denganmu. Ulurkan saja tanganmu untuk kami borgol. Cepat!"

"Kalian anjing-anjingnya si anjing tua Co Hua-sun! Kalian anjingnya anjing! Selain menggonggong dan menggigit untuk memuaskan si anjing tua itu? Karena kalian bunuh A-liok, akupun akan membunuh kalian semua!"

Song Thian-oh meremang mendengar kata-kata itu. Dalam pandangannya, Helian Kong jadi nampak seperti sesosok hantu peminum darah yang siap menerkamnya. Untuk mengatasi rasa paniknya, dia mengibaskan pedangnya dan berteriak, "Tangkap dia hidup atau mati!"

Menyerbulah prajurit-prajurit itu. Helian Kong memekik dan berputar bagai gasing, dan malanglah nasib prajurit-prajurit yang maju paling depan. Meskipun Helian Kong bertangan kosong, ketika cakar elangnya menebas kian-kemari, ia menjadi sesosok bayangan maut yang sulit disentuh. Tiga prajurit paling depan ambruk. Satu tercakar wajahnya sehingga remuk sampai kelihatan tulang pipinya, satu hancur lehernya kena cakaran, satu lagi hancur "benda pusaka"nya di selangkangan kena tendangan.

Helian Kong bukan lagi manusia, tapi binatang buas. Tidak perlu para prajurit menyerbu Helian Kong, sebab Helian Kong lah yang menyerbu mereka, seperti prahara berlalu di antara ranting-ranting kering. Ia menerjang dengan tangan dan kakinya, dan kembali ia menambah korbannya tiga orang lagi.

Kematian A-liok yang beberapa menit sebelumnya masih membayangkan kota Yang-ciu, memberi contoh Helian Kong betapa nyawa manusia tidak berharga dalam kemelut ambisi orang-orang istana. Maka Helian Kong mempraktekkan contoh itu sebaik-baiknya, la memungut sebilah pedang dari mayat seorang korbannya, lalu mengamuk dengan hebat.

Prajurit-prajurit Song Thian-oh mulai kocar-kacir. Sambaran pedang Helian Kong kelewat cepat, kelewat bertenaga, luapan kemarahan. Para prajurit panik berdesakan mundur, tapi Helian Kong mengejar dengan buas. Naga-naganya prajurit yang berjumlah lima puluh orang itu akan dihabiskannya semua. Ia menerjang dengan tangan dan kakinya, dan kembali ia menambah korbannya tiga orang lagi.

Song Thian-oh menggigil di tengah pasukannya yang bergerak mundur sepanjang lorong itu. Teriaknya, "Orang ini sudah kerasukan setan, cepat panggil bantuan sebanyak-banyaknya!"

Baru saja selesai teriakannya, empat prajurit di depannya yang menjadi "dinding pemisah" antara dirinya dengan Helian Kong, telah roboh terkapar. Lalu Helian Kong dengan wajah buas menerjang ke arahnya. "Aku cuma menjalankan tugas!" teriak Song Thian-oh gentar.

Ketika pedang Helian Kong turun membabat, Song Thian-oh menangkis ke samping, namun malah pedangnya terpental dan menancap di tubuh seorang prajuritnya, sementara Helian Kong siap mengulangi tebasannya yang kedua.

Dalam paniknya Song Thian-oh tak peduli cara apapun yang digunakan untuk menyelamatkan diri. Sambil menyusup mundur ke dalam pasukannya, ia mendorong tubuh seorang anak buahnya untuk dijadikan perisai terhadap Helian Kong. Ia selamat, tapi anak buahnya yang malang itupun terbelah pedang Helian Kong.

Anak buahnya yang lain jadi patah semangat melihatnya. Komandan mereka tidak memimpin di paling depan, malahan tidak segan-segan mengorbankan anak buah demi keselamatan diri sendiri. Maka biarpun belum ada aba-aba untuk mundur, para prajurit sudah mundur sendiri. Keluar dari gang itu menuju ke jalan besar.

Helian Kong terus mengejar, dan malanglah prajurit-prajurit yang terlambat larinya. Tetapi sasaran utama Helian Kong adalah Song Thian-oh. Ketika melihat panglima kaki tangan Co Hua-sun itu sudah keluar ke jalan besar dan lari, Helian Kong melontarkan pedangnya sekuatnya dengan cara seperti melempar lembing.

Song Thian-oh sudah lari belasan meter, namun tetap tersusul oleh pedang yang meluncur bagai kilat itu. Punggungnya tembus, tubuhnya roboh berkelojotan di tengah jalanan yang becek itu. Ia menggapaikan tangan kepada setiap prajurit yang lewat di dekatnya, mungkin minta tolong supaya dibawa pergi, namun tidak ada yang menggubrisnya. Semua anak buahnya lari sekencang mungkin untuk menyelamatkan diri sendiri.

Helian Kong tidak memburu lagi. Sudah cukup kemarahannya tersalur, kebuasannya seolah luntur untuk menampakkan kembali sifat manusiawinya. Sebagian besar lawannya terbunuh dan cuma belasan orang yang lolos. Sebenarnya mereka masih bisa dikejar, namun Helian Kong sudah puas berhasil membunuh Song Thian-oh.

la berdiri tegak di antara mayat-mayat bergelimpangan, menengadah ke langit yang kelabu tua, menghadapkan wajahnya menerima hempasan butir-butir air yang tak mereda. Perlahan-lahan kesadarannya muncul, la telah membunuh begitu banyak prajurit istana, termasuk Song Thian-oh yang menjadi salah satu orang kesayangan Co Hua-sun. Apapun alasannya, maka cap sebagai "pengkhianat" tentu sulit terhapus lagi.

Perlahan ia kembali ke dalam gang untuk mengangkat mayat A-liok sambil bergumam setengah sadar, "Ayo A-liok, kita cari tempat yang bebas dari incaran anjing-anjing serakah itu. Kita ke Yang-ciu."

Lalu ia melayang berlompatan di atas atap rumah-rumah, sambil tetap membopong A-liok yang makin dingin, makin beku. Hujan berhenti, awan mendung menyingkir. Tapi langit tetap hitam karena saat itu memang sudah beranjak malam. Bintang-bintang muncul berkedip-kedip, seperti mata para gadis yang berusaha menahan air matanya. Sedang bulan bersembunyi entah di mana.


Helian Kong terus melesat sambil bicara komat-kamit sendiri menghibur A-liok. Ia sampai ke bagian kota yang sepi, bukan pemukiman orang hidup namun orang mati. Sebuah kuburan luas. Hitam semuanya. Pepohonan peneduh, batu-batu nisan mencuat di sana-sini, bayangan dari rumah-rumahan yang biasanya merupakan kuburan orang-orang kaya.

Ada sebuah cungkup luas, seandainya di muati orang hidup tentu cukup untuk dua ke luarga. Namun "penghuni" cungkup itu hanyalah sepasang suami isteri yang tidur nyenyak di bawah sepasang nisan pualam.

Terengah-engah Helian Kong membopong A-liok melangkah ke bawah atap cungkup besar itu, sambil bergumam "Nah, di sini hangat, tidak kena angin. Memang gelap, tapi jangan takut, A-liok. Toako mu akan menyalakan api, mencari makanan, lalu kita makan sama-sama ya. Besok kita pergi dari kota busuk ini ya?"

Pelan-pelan dibaringkannya tubuh liok di lantai cungkup, di depan sepasang bong-pai. Helian Kong tidak sadar bahwa kedatangannya mengejutkan sekelompok orang yang sedang bergerombol tidak jauh dari situ, berjarak lebih kurang lima belas langkah. Tadinya orang-orang itu sedang bercakap-cakap dalam kegelapan, namun kedatangan Helian Kong serempak membungkam mulut mereka.

Bahkan dengan isyarat gerakan tangan, mereka lalu bersembunyi di balik gundukan-gundukan kuburan sambil mengintai penuh kewaspadaan ke cungkup yang dimasuki Helian Kong. Salah seorang dari mereka lalu merayap maju amat perlahan, tanpa suara, mendekati tempat Helian Kong, agar dapat melihat dan mendengar lebih jelas, la hati-hati sekali, sebab cungkup yang didekatinya itu tidak berdinding.

Dalam keadaan Helian Kong yang normal, betapapun hati-hatinya gerak orang itu, tentu ia akan dapat diketahui oleh Helian Kong. Tapi saat itu Helian Kong sedang bingung, sedih, marah dan kecewa bercampur aduk, sehingga menumpulkan pendengarannya.

"A-liok, kenapa diam saja? Astaga, kau mati ya?"

Tiba-tiba Helian Kong melompat bangun dan berteriak kalap, "Bangsaaaat! Kalian membunuh orang tak bersalah! Hai Co Hua-sun! Suatu saat pasti akan kucincang tubuhmu, kukirim arwahmu untuk menjadi jongos A-liok di dunia orang mati!"

Masih banyak yang diteriakkannya sampai ia serak dan terengah-engah. Sementara orang yang mengintainya itu kembali bergeser maju dengan jauh lebih berhati-hati.

Sementara Helian Kong kembali terduduk sedih di samping jasad A-liok, "Inikah pertanda negara hampir runtuh? Penjahat-penjahat kebiri bertengger di puncak kekuasaan, sewenang-wenang menyebar kaki tangan untuk memburu orang orang yang benar-benar setia kepada negara?"

Ia terkejut ketika mendengar gemerisik ilalang tidak jauh dari cungkup. Ia melihat seorang bertiarap beberapa langkah dari tempatnya, diapun melompat bangun dengan waspada. "Bagus! Apakah kau juga anjingnya Co Hua- sun yang belum puas membunuh A-liok? Kalau benar, bersiaplah. Aku akan mengirim pulang bangkaimu ke hadapan anjing tua kebiri itu!"

"Saudara Helian..." suara orang itu ternyata bernada rendah, tanpa mengandung nada permusuhan. Perlahan-lahan ia bangkit. Helian Kong melongo, karena suara Itu dikenalnya, "Saudara Liong Tiau-hui."

"Benar...." orang itu melangkah mendekat. "Aku Liong Tiau-hui. Lebih dulu aku minta maaf atas kejadian siang tadi, waktu kau mengikutiku dan kemudian direpotkan oleh teman-temanku. Waktu itu aku menyangka kau akan menangkapku, jadi terpaksa aku berbuat begitu...."

"Ah, jadi orang yang kubuntuti siang tadi memang benar dirimu, saudara Liong?"

Kedua sahabat itu saling lebih dekat lagi, lalu saling berjabat tangan dan menepuk pundak. Mereka pernah dalam satu barisan dalam menentang pengaruh Co Hua-sun. Biarpun dalam kegelapan, kini Helian Kong melihat keadaan Liong Tiau-hui tak ubahnya dirinya sendiri. Dekil dan lusuh mirip gelandangan kelaparan.

Mengherankan, sebab Liong Tiau-hui adalah perwira seangkatan Bu Sam-kui, sama-sama bawahan Jenderal Ang Seng-tiu yang ditugaskan ke Pak-khia, untuk memintakan perhatian pemerintah pusat terhadap urusan tapal batas San-hai-koan. Kini selagi Bu Sam Kui menanjak bintangnya sampai menjadi panglima penjaga tapal batas di San- hai-koan, kenapa malah Liong Tiau-hui jadi seperti gelandangan yang malam-malam berada di kuburan?

Sebaliknya Liong Tiau-hui juga heran melihat keadaan Helian Kong. "Saudara Helian, bukankah kau ditugaskan ke Tong-koan untuk membantu Jenderal Sun Toan-teng ? Kenapa sekarang malahan di sini? Dan kenapa kelihatannya kau sedih dan marah sekali?"

Helian Kong menarik napas, duduk kembali di samping mayat A-liok, mengelus jidat A-liok dengan sedih. "Duduklah, saudara Liong."

Liong Tiau-hui pun duduk dan lebih dulu bersiap sebagai pendengar. Sedangkan Helian Kong merasa mendapat kesempatan mencurahkan isi hatinya, "Saudara Liong, baru tadi pagi aku masuk Pak-khia. Kembali dari Tong-koan setelah berhasil meloloskan diri dari kurungan Jenderal Li Giam. Sepanjang perjalanan pulang aku berusaha menghubungi dan menghimpun sisa-sisa pasukanku. Semuanya kulakukan dalam keadaan kurang makan, kurang tidur, mempertaruhkan nyawa. Untuk apa semua itu kulakukan?"

Bicara sampai di sini, suara Helian Kong meninggi, menandakan kalau ia kembali mulai emosional. "Demi apa kulakukan semua itu tanpa menghiraukan diriku? Demi kekaisaran yang kuabdi! Tapi apa balasan orang-orang istana kepadaku? Aku diuber-uber seperti anjing geladak, lihat anak yang tidak bersalah inipun ikut dibunuh! Kenapa dia diperlakukan keji? Karena ia memberiku tempat berteduh di gubuk reyotnya, karena dia mencarikan aku makanan! Dia dibunuh karena tidak pintar menjilat orang-orang istana! Sekarang yang berhak hidup hanyalah mereka yang pintar menjilat pantat orang-orang di atasnya!"

Suaranya makin berapi-api, penuh luapan kemarahan, sampai Liong Tiau-hui pelan-pelan menepuk-nepuk pundaknya, "Memang, itulah pemerintah yang sudah buta sehingga tidak dapat membedakan mana pahlawan dan mana pengkhianat. Lihat saja nasib Menteri Him Teng-pek alias Him Keng-liok dan Jenderal Wan Cong-hoan, yang dihukum mati karena mereka jujur membeberkan kenyataan supaya negara diselamatkan. Tapi di kuping Kaisar pastilah yang lebih merdu adalah suara Co Hua-sun yang pintar membubui kata-katanya untuk mengaburkan kebenaran. Maka matilah abdi- abdi setia itu."

Helian Kong menunduk. Sementara Liong Tiau-hui meneruskan, "Aku terlalu kecil dibandingkan Menteri Him atau Jenderal Wan, tetapi akupun pernah hampir bernasib sama dengan mereka. Ketika Kaisar mengunjungi gedung Ciu Kok-thio, pernah aku nekad menghadap Kaisar untuk memintakan perhatian atas pasukan di San-hai-koan yang keadaannya senin-kemis, apalagi sejak tertangkapnya Jenderal Ang-Seng-tiu oleh tentara Manchu. Apa reaksi Kaisar? Dia malah menuruti anjuran Co Hua-sun untuk mencincang aku di tempat itu juga. Untung aku ditolong."

Sejenak Liong Tiau-hui berhenti agar kata-kata berikutnya lebih mendapat tekanan, "....dan sejak itu aku memutuskan takkan kembali ke dalam tentara kerajaan. Percuma. Negeri ini harus diselamatkan sebelum dicaplok orang Manchu, maka pemerintahan bejat yang sekarang bercokol di istana harus ditumbangkan. Itulah sebabnya sekarang aku bekerja buat Joan-ong Li Cu-seng!"

Coba saja kata-kata Liong Tiau-hui itu diucapkan dua puluh empat jam yang lalu, tentu Liong Tiau-hui akan diterkam dan dicekik oleh Helian Kong. Tapi sekarang Helian Kong cuma pelan-pelan mengangkat wajahnya dan memandang Liong Tiau-hui dengan tatapan kosong, sudah itu lalu menunduk lagi.

Dan itu membuat Liong Tiau-hui lebih berani, "Hanya dalam barisan Joan-ong ada cita-cita yang tulus untuk menolong rakyat. Mengabdi kepada Kerajaan Beng berarti hanya mengabdi kepada segelintir orang she Cu yang sama sekali tidak menggubris nasib rakyat, apalagi dikotori campur tangan Co Hua-sun, buat apa dipertahankan terus? Joan-ong juga berambisi, tapi ambisinya adalah menyelamatkan negeri, bukan ambisi pribadi. Karena itulah ia didukung rakyat dan tidak lama lagi pasti menang!"

Begitu terang-terangan Liong Tiau-hui mengecam pemerintah kerajaan dan menyanjung Li Cu-seng, ternyata Helian Kong hanya bungkam saja. Karena itulah Liong Tiau-hui kemudian berkata, "Saudara Helian, bergabunglah dalam perjuangan Joan-ong!"

Namun sulit buat Helian Kong untuk mengubah sikap dalam sekejap, sebab yang dibencinya bukan dinasti Beng, melainkan kelompok Co Hua-sun yang dianggapnya biang keladi kebobrokan pemerintahan.

Berbeda dengan pandangan Liong Tiau-hui yang menganggap kebobrokan sudah parah sehingga pemerintah Beng harus dirobohkan sama sekali, bukan cuma menyingkirkan kelompok Co Hua-sun, karena Kaisar Cong-ceng yang berkepribadian lemah itu tetap akan memberi peluang munculnya dorna-dorna baru biarpun Co Hua-sun sudah dibabat.

Kemudian Liong Tiau-hui mendesak lagi, "Sekarang saatnya untuk mengambil keputusan, sebab keadaan berkembang begitu cepatnya dan tidak memberi kesempatan kita untuk berlambat-lambat. Tidak memihak Joan-ong berarti membiarkan negeri jatuh ke tangan Co Hua-sun yang didalangi orang Manchu."

Dengan kata-katanya itu, hanya disodorkan dua pilihan, ikut Li Cu-seng atau ikut Manchu. Pemerintah Beng sudah dianggap bukan apa-apa lagi.

Namun Helian Kong berkelit dari keharusan membuat pilihan itu, "Saudara Liong, jangan paksa aku mengubah pendirian sekarang. Kita sama-sama amat kecewa, tapi jangan memaksa aku menerima pendirianmu."

"Ah, saudara Helian terlalu lamban."

"Terserah pandanganmu. Kelompok Co Hua-sun memang harus dimusnahkan, tapi tidak harus merobohkan pemerintahan yang sekarang."

"Ah, saudara Helian memimpikan sesuatu yang terlalu indah tapi tak mungkin menjadi kenyataan, hanya mengecewakan dan menyakiti hati saja."

Tiba-tiba Liong Tiau-hui menghentikan kata-katanya dan dengan kaget ia menoleh ke tepi kuburan itu. Dari sana terdengar suara burung hantu tiga kali, semacam isyarat. Helian Kong ikut menoleh. Nampak sesosok bayangan berlompatan lincah di atas nisan-nisan, mendekat. Liong Tiau-hui bangkit dan melompat menyambutnya, begitu juga orang-orang yang tadinya bersembunyi, teman-teman Liong Tiau-hui.

Helian Kong tetap duduk di samping mayat A-liok, namun perhatiannya mulai terusik. Setelah ia tahu bahwa Liong Tiau-hui sudah menjadi pengikut Li Cu-seng, maka orang-orang yang berkumpul malam-malam di kuburan itupun tentu orang-orangnya sekaum.

Maka Helian Kong jadi ingin mendengar apa saja yang akan mereka omongkan. Mungkin inilah naluri kesetiaan kepada Kerajaan Beng yang tidak luntur biarpun baru saja terguyur kekecewaan dan kesedihan.

Maka biarpun ia tidak bergerak di tempatnya, ia menajamkan telinga dan matanya. Malam gelap sekali, namun ketajaman mata Helian Kong berhasil mengenali si pendatang baru itu tak lain adalah "orang gila" yang siang tadi membuat keributan di jalanan ketika Helian Kong membuntuti Liong Tiau-hui. Kini orang itu justru nampak waras seratus persen.

Liong Tiau-hui dan kawan-kawannya bicara berbisik-bisik dalam jarak lima puluh meter dari tempat Helian Kong dan mereka mengira Helian Kong tidak mampu menangkap pembicaraan mereka. Tapi mereka salah hitung. Helian Kong tetap mampu menangkap pembicaraan mereka, karena ketajaman telinga yang dilandasi tenaga dalamnya yang tinggi.

"Ada pesan lagi dari balik dinding istana..." kata "si gila" kepada teman-temannya.

Diam-diam 'Helian Kong kaget. Ternyata Li Giam tidak membual, ketika berkata kepadanya bahwa "segala perkembangan di dalam istana kami ketahui semuanya." Kaum pemberontak itu telah mampu menyusupkan orang-orangnya ke dalam istana.

"Isi pesannya?" tanya Liong Tiau-hui.

"Posisi orang-orang kita dalam istana makin terancam oleh komplotan Co Hua-sun yang berusaha membongkarnya, untuk membeberkannya di hadapan si Kaisar Tolol. Tiga saudara Giam, teman-teman kita dari Han-tiong itu, setiap hari disiksa untuk buka mulut. Aku kuatir mereka takkan tahan siksaan dan akhirnya buka mulut."

"Begitu mereka buka mulut, yang paling dulu habis ialah orang-orang kita di istana. Mereka sudah seperti ikan di dalam wajan, begitu wajannya dipanaskan, matanglah ikannya."

Helian Kong yang diam-diam mendengarkan itupun tahu, di dalam istana rupanya kesusupan dua komplotan, komplotan pengikut Li Cu-seng dan komplotan Manchu yang mengikutsertakan Co Hua-sun. Kedua komplotan itu rupanya sedang berusaha saling menelanjangi selubung lawannya. Tapi merekapun sama-sama musuh kerajaan.

"Kita harus menyelamatkan teman-teman kita, yang sudah ditawan Co Hua-sun maupun yang dalam istana, sebelum seluruh jaringan kita terbongkar."

Sementara itu, terdengarlah suara Liong Tiau-hui agak emosional, "Kalau aku sampai tidak bisa menyelamatkan Oh Kui-hou aku malu jadi manusia, lebih baik jadi anjing pemakan tahi saja! Dulu ketika aku hampir mati dicincang Kaisar banci itu, Oh Kui-hou lah yang menolong aku."

"Apakah kita akan bertindak malam ini?"

"Jangan gegabah, ini perlu perencanaan yang matang. Bukan saja kita belum tahu di mana disekapnya teman-teman kita itu, kita juga kekurangan tenaga untuk main kekerasan. Salah-salah kita malah mati konyol pula."

Waktu itulah seorang dari mereka tiba-tiba berseru kaget sambil menunjuk ke satu arah, "Seng Lo-toa, agaknya kau kurang hati-hati. Kau dibuntuti!"

Semua orang dalam kelompok itu serempak menoleh searah, begitu pula He-lian Kong di tempatnya yang terpisah. Nampak ada bayangan-bayangan melompati kuburan. Hanya empat orang, tapi gerak mereka yang tangkas menunjukkan kalau mereka lebih berbahaya dari satu regu prajurit sekalipun. Bayangan-bayangan itu segera berlompatan terang-terangan mendekati kerumunan Liong Tiau-hui dan kawan-kawannya.

Sekilas nampak keributan di kelompok itu, salah seorang berseru keras, "Berpencar dan tinggalkan tempat ini!"

Namun gerakan keempat pendatang itu demikian cepatnya, seolah-olah terbang saja mereka tahu-tahu sudah mengambil posisi di empat penjuru. Kawanan mata-mata Li Cu-seng itu tahu-tahu sudah terkurung, dan merekapun terpaksa menghunus senjata, siap untuk melawan.

Helian Kong karena tempatnya yang jauh, tentu saja jadi berada di luar kepungan keempat pendatang itu. Namun dengan bantuan bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit kelam, ia bisa mengenali dua dari keempat pendatang itu.

Yang satu seorang tua berambut awut-awutan dan berpakaian sembarang-an. Dialah yang pernah menjebak Helian Kong dengan asap beracun, ketika Helian Kong menyelundup ke istana untuk menghadap Kaisar. Dialah Tong Hin-pa yang bergelar Bu-eng-jiat-pian (Cambuk Maut Tanpa Bayangan). Sedang orang yang satu lagi membuat darah Helian Kong mendidih, karena dia bukan lain adalah Ting Hoan-wi yang kini tambah gemuk.

Saudara seperguruannya yang pernah mengkhianatinya dengan membocorkan rencananya untuk menghadap Kaisar secara diam-diam, lalu membawa lari pedang Tiat-eng Pokiam dan kitab Tiat-eng Pit-kip, lambang-lambang kekuasaan Ketua Tiat-eng-bun. Kini dilihatnya pedang itu tergantung di pinggang Ting Hoan-wi.

Namun Helian Kong tetap menahan diri dan menyembunyikan diri. Kemudian dua orang lagi yang tidak dikenal Helian Kong, masing-masing adalah lelaki berusia tiga puluh tahun dan dua puluh tahun. Yang lebih tua berdandan seperti saudagar keliling, bertangan kosong, bersikap amat tenang sambil mengusap-usap jenggotnya.

Yang lebih muda bertubuh tegap, berpakaian ringkas, menjinjing senjata yang disebut Sam-ciat-kun (Ruyung Tiga Ruas). Helian Kong pun lebih menajamkan mata untuk memperhatikan lebih baik lagi.

Terdengar Tong Hin-pa tertawa dan menghina, "Nah, tikus-tikus Pelangi Kuning, sekian lama kalian sembunyi dan bertingkah laku merugikan negara. Malam ini berakhirlah kalian, kalian akan kami tangkap dan kami perkenalkan kepada pengalaman baru di tiang gantungan."

Habis berkata demikian, Tong Hin-pa rupanya tidak mau buang waktu lagi, dengan sigap ia segera menerjang lawan terdekat, dengan tendangan beruntun. Lawannya mengayun-ayunkan tongkat agak ngawur untuk membela diri, sambil mundur.

Tong Hin-pa menghindar dengan melingkari sebuah bong-pai (nisan) dan kemudian mendesak makin sengit. Rangkaian jotosannya membanjir dalam jurus In-liong-sam-hian (Naga Muncul Tiga Kali di Awan), sampai lawannya terpukul dadanya, sehingga mencelat terkapar dan kepalanya membentur batu nisan.

Pertempuran dibuka dengan satu korban dulu di pihak orang-orang Pelangi Kuning. Ting Hoan-wi tidak mau kalah dalam pamer kegagahan. Ia menghunus Tiat-eng Pokiam dari pinggangnya lalu mengambil juga satu korban yang rupanya tidak menduga kalau pedang Ting Hoan-wi pedang pusaka. Tetapi dua orang anggauta Pelangi Kuning lain serempak maju untuk menahan keganasan Ting Hoan-wi.

Begitu pertempuran dimulai di tengah malam di tengah-tengah kuburan itu, segera terlihat kalau orang-orang Pelangi Kuning menang jumlah, namun dalam perbandingan ilmu terlalu tidak seimbang, terlalu jauh di bawah lawan mereka yang, cuma empat orang.

Dari tempatnya, Helian Kong melihat Ting Hoan-wi mengalami kemajuan dalam ilmu silatnya. Selain bertambah cepat dan mantap gerakannya, ia bahkan memainkan beberapa jurus baru yang belum dikenal Helian Kong. Tentu jurus dari kitab Tiat-eng Pit-kip, pikir Helian Kong geram.

Tapi kalau Helian Kong ditanya apakah masih mampu mengalahkan Ting Hoan-wi, tanpa ragu-ragu Helian Kong akan mengiakannya. Kitab pelajaran silat yang paling ampuh pun bukan semacam obat ajaib yang begitu akan langsung terasa kasiatnya dalam sekejap. Melainkan butuh banyak ketekunan, pendalaman, latihan dan barangkali juga beberapa kegagalan.

Maka biarpun sudah mengantongi Tiat-eng Pit-kip beberapa bulan, Ting Hoan-wi tetap belum mampu mensejajarkan ilmunya dengan Helian Kong saat itu. Yang lebih mengherankan Helian Kong adalah dua jagoan tak dikenal itu. Mereka nampak bertempur lebih santai, tidak sengotot Tong Hin-pa atau Ting Hoan-wi, tapi nampak kepandaian mereka yang tinggi.

Dalam sikap santai itu, toh kedua orang tak dikenal itu jauh lebih merepotkan orang-orang Pelangi Kuning. Dibantu dua temannya yang berilmu silat lumayan, Liong Tiau-hui menghadapi pemuda bersenjata Sam-ciat-kun itu.

Toh menghadapi lawan yang berkelahi sungguh-sungguh, si pemuda itu nampak seperti bermain-main saja. Kadang-kadang ia malah membuat beberapa gerakan seperti akrobat yang sebenarnya tidak perlu. Toh dihadapi dengan cara main-main itu, Liong Tiau-hui bertiga tetap tak berkutik.

Tiba-tiba semangat tempur Helian Kong bangkit, terdorong oleh dua alasan. Pertama, kebenciannya kepada pengikut-pengikut Co Hua-sun yang baru saja mencelakakan A-liok. kedua, ia ingin merebut kembali Tiat-eng Pokiam dan Tiat-eng Pit-kip dari tangan Ting Hoan-wi. Karena itulah ia tidak bersembunyi lagi. Ia bangkit, lalu dengan langkah lebar mendekati arena pertempuran sambil berseru keras, "A- hoan!"

Waktu itu Ting Hoan-wi dengan rasa unggul tengah mendesak dua lawannya yang selalu berlompatan mundur, dikejar terus oleh ujung pedang Ting Hoan-wi. Namun begitu mendengar suara Helian Kong yang dikenalnya, kagetnya setengah mati, sehingga cepat-cepat ia melompat keluar gelanggang untuk lebih memperhatikan sosok tubuh yang melangkah makin dekat di gelapnya malam itu.

"Helian Kong..." desisnya gentar, setelah dapat memastikan siapa orang itu.

"Benar, ini aku," Helian Kong menatap tajam. "Pengkhianat, kesalahanmu yang dulu belum kau perbaiki, kau sudah menambah kesalahan baru dengan menjadi begundal Co Hua-sun!"

Ketika Helian Kong maju selangkah, Ting Hoan-wi mundur dua langkah. Ia sadar, biarpun ilmu silatnya sudah meningkat, namun tetap belum setimpal kalau dihadapkan kepada Helian Kong. "A-kong, jangan bersikap begitu menakutkan, kita kan teman? Apa maumu?"

Ting Hoan-wi coba mengulur waktu sambil melirik ke kiri kanan mencari bantuan. Dilihatnya yang paling dekat adalah Sek Hong-hua, pemuda yang bersenjata Sam-ciat-kun dan bertempur seperti bermain-main itu, maka Ting Hoan-wi coba menggeser diri semakin dekat ke Sek Hong-hua.

Sementara Helian Kong mengancam, "Kembalikan Tiat-eng Pokiam dan Tiat-eng Pit-kip. Kalau kau menolak, malam ini juga kau akan jadi penghuni tetap tanah pekuburan ini!"

"Kalau kuserahkan?" tanya Ting Hoan-wi sambil bergeser lagi selangkah lebih dekat ke arah Sek Hong-hua, namun jaraknya masih belasan langkah.

"Berhentilah bergeser, A-hoan. Tidak percayakah kau bahwa aku dapat lebih dulu menerkam nyawamu sebelum kau berhasil mendapat pertolongan temanmu itu?" gertak Helian Kong yang rupanya dapat menduga niat Ting Hoan-wi. Maka Ting Hoan-wi-pun berhenti bergeser dengan tubuh menggigil dan kerongkongan kering.

Kemudian suara Helian Kong melunak sedikit, "Kalau kau serahkan kedua benda itu, mengingat persahabatan kita dulu, kubiarkan kau pergi, asal berjanji tidak mejadi begundal Co Hua-sun lagi!"

Ternyata kepengecutan Ting Hoan-wi lah yang lebih berkuasa dalam mengambil keputusan. Apalagi sore itu didengarnya kabar yang mengerikan tentang nasib Song Thian-oh dan pasukannya yang terbantai hampir habis oleh Helian Kong seorang diri. Ketika Helian Kong maju setapak lagi, sukma Ting Hoan-wi rasanya, hampir kabur terbang dari raganya. Apalagi ketika mendengar geram Helian Kong lagi,

"Cepat serahkan!"

"A-kong, benar kau mau biarkan aku pergi kalau kuserahkan pedang dan kitab itu?”

"A-hoan, bertahun-tahun kau kenal diriku, dan kau sendiri tahu aku ini orang macam apa? Tukang menjilat ludah yang sudah di tanah?"

Ting Hoan-wi tak menjawab. Lebih dulu ia sarungkan pedangnya lalu dilemparkan pelan kepada Helian Kong.

"Kitabnya...?"

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.