Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 19

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong seri pertama, Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 19 karya Stevanus S.P

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 19

Ting Hoan-wi pun mengambil kitab dari balik bajunya dan dilemparkan pula kepada Helian Kong. Habis itu ia terus berputar tubuh untuk pergi, tak peduli lagi teman-temannya yang masih bertempur. Namun langkahnya terhenti oleh bentakan Helian Kong, "Tunggu!"

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

"A-kong, bukankah kau sudah berjanji akan....."

"Ya, aku cuma ingin berpesan agar kau menjauhi Co Hua-sun, sebab aku akan menumpasnya. Dan jangan sampai kau ikut tertumpas."

"Ya.... ya...."

Tingkah Ting Hoan-wi itu tentu saja membuat teman-temannya sendiri di arena itu jadi gusar. Seru Tong Hin-pa, "Ting Hoan-wi, jangan jadi pengecut! Kenapa kau begitu ketakutan kepada Helian Kong? Dia pengkhianat, dan kau akan mendapat hadiah besar kalau berhasil menangkapnya!"

Tapi Ting Hoan-wi sudah punya rencana sendiri, maka diapun meninggalkan gelanggang tanpa peduli caci maki temannya sendiri. Tong Hin-pa lalu melompat meninggalkan lawan-lawannya yang semula, dan kini menghadapi Helian Kong. Pikirnya, "Kalau Ting Hoan-wi bernyali terlalu kecil untuk membuat pahala, baiklah aku saja."

Kepada Helian Kong ia berkata, "Pengkhianat, ternyata kau masih punya keberanian muncul dan mengacau di Pak-khia ini, ya? Sekarang akulah yang akan meringkusmu!"

Helian Kong tertawa dingin dan menjawab, "Siapa yang pengkhianat? Aku? Apakah aku bekerja sama dengan orang Manchu untuk menggerogoti negeriku sendiri?"

Sindiran balik itu mengejutkan Tong Hin-pa dan kedua orang lainnya. Serempak mereka berlompatan mundur menghentikan pertempuran agar dapat mendengarkan kata-kata Helian Kong lebih lanjut. Saat itu rencana Co Hua-sun yang didukung orang Manchu telah mendekati pelaksanaan, yaitu akan menggulingkan Kaisar Cong-ceng untuk digantikan adiknya, Pangeran Seng-ong, yang bakal menjadi Kaisar boneka belaka di tangan orang Manchu.

Namun demikian rencana itu masih dianggap tertutup rapat oleh Co Hua-sun dan para sekongkolnya. tak heran mereka kaget mendengar Helian Kong mengucapkannya selantang itu. Darimana Helian Kong mengetahuinya?

Helian Kong sendiri pernah mendengar tentang persekongkolan Co Hua-sun itu dari mulut Li Giam, kurang jelas, dan Helian Kong juga kurang percaya, dianggapnya hanya rekaan Li Giam untuk menarik dirinya memihak pemberontak, namun setelah melihat reaksi orang-orangnya Co Hua-sun itu, Helian Kong menduga jangan-jangan yang dikatakan Li Giam itu memang benar, Co Hua-sun bukan cuma memfitnah kiri kanan, tapi sudah membentuk persekongkolan untuk menyerahkan negara kepada orang Man-chu?

"Benar-benar mulutmu harus dibungkam!" sikap Tong Hin-pa malahan kelewat keras, dan justru menunjukkan ketakutan pihaknya kalau sampai rahasia itu tersiar. Tong Hin-pa melompat, tangannya menggapai ke pinggangnya untuk melolos cambuk Kat-bwe-pian (Cambuk Ekor Kalajengking) yang beracun. Seperti halilintar cambuknya menyambar dengan tipu Cun-ma-toat-kiang (Kuda Melepaskan Pelana).

Ujung cambuk berujud sepit besi itu menderu datang. Helian Kong dengan tenang dan tajam menatap gerak lawan, ia tidak mau dibingungkan oleh macam-macam gerak tipuan, tapi mencari gerak intinya. Lalu pedangnya bergerak dalam gerakan Tan-hong-tiau-yang (Burung Hong Sendirian Menghadap Matahari), sasaran ujung pedangnya bukan tubuh Tong Hin-pa, melainkan genggaman tangannya yang menggenggam tangkai cambuk. Sasaran yang terus bergerak dan tersembunyi di balik bayangan cambuknya yang berlapis-lapis.

Ketepatan incaran Helian Kong yang hampir mencapai tahap "pedang adalah semangat dan semangat adalah pedang" menjadikan pedang itu sendiri berjiwa karena seolah menjadi bagian tubuhnya sendiri yang dituntun langsung oleh niat jiwanya. Karena itulah ujung pedangnya seperti seekor lalat yang terus mengejar genggaman tangan Tong Hin-pa, tak peduli sasarannya bergerak dan bersembunyi.

Terdengar Tong Hin-pa berteriak, campuran antara kemarahan dan kepanikan. Usahanya untuk menyelamatkan tangannya jadi mengacaukan gerak cambuknya yang melingkar-lingkar tak keruan. Sementara tubuhnya masih meluncur ke arah Helian Kong, maka kakinya menjejak sebuah bong-pai yang mencuat tinggi untuk membelokkan luncurannya demi keselamatan dirinya.

Begitulah, dengan satu kali gerakan balasan Helian Kong, serangan Tong Hin-pa jadi kedodoran. Helian Kong pun membentak, suaranya menindih suara Tong Hin-pa. Tubuhnya yang semula sekokoh bukit cadas, tiba-tiba berubah seperti angin puyuh yang melanda Tong Hin-pa, sesuai dengan nama jurusnya, Tai-bok-liu-soa (Pasir Terbang di Gurun).

Darah Tong Hin-pa serasa berhenti mengalir karena kaget menerima sergapan secepat itu, tak ada waktu untuk mengantisipasi serangan itu secara memadai. Upaya perlawanannya lebih bersifat untung-untungan daripada perhitungan cermat. Cambuknya disabet-sabetkan sekuat tenaga, tangan kiri menjotos, kaki ikut menendang.

Toh perlawanan serabutan itu gagal. Tong Hin-pa melolong kesakitan karena tangan kanannya sebatas siku terbabat putus pedang Helian Kong. Potongan tangan itu jatuh dengan masih menggenggam tangkai cambuknya. Tong Hin-pa melolong kesakitan karena tangan kanannya sebatas siku terbabat putus pedang Helian Kong.

Helian Kong pun berhenti menerjang. Katanya sambil tertawa dingin, "Hem, hanya seperti ini saja jagoan yang mengaku nomor satu di bangsalnya Co Hua-sun? Aku bisa membunuhmu sekarang tapi Hari ini sudah banyak yang kubunuh. Pergilah!”

Kernyit-kernyit wajah Tong Hin-pa lebih hebat dari kulit pala yang dijemur. Tertatih-tatih ia melangkah pergi membawa kekalahannya. Ngo Tat cepat-cepat hendak membantu Tong Hin-pa berjalan, tapi ia tertegun ketika melihat adik seperguruannya tidak juga beranjak pergi. Tanyanya, "Sute, apalagi yang kau tunggu? Ayo pergi.”

Sek Hong-hua memain-mainkan ruyung tiga ruasnya sambil tertawa dan berkata, '’Suheng pergilah dulu Aku masih ingin di sini."

Kata-kata itu mencengangkan semua orang, kecuali Ngo Tat yang sudah hafal benar watak adik seperguruannya itu. Sambil geleng-geleng kepala, Ngo Tat berkata, "Sute, belum hilang juga sifat main-mainmu?"

"Ini bukan main-main, Suheng. Mana bisa ilmu silat menemukan rahasia-rahasia terdalamnya kalau tidak diuji melawan musuh tangguh? Pedang baja mana bisa tajam kalau cuma diasah dengan lempung atau gabus?”

"Sute, sekarang bukan saatnya."

Sambil bicara kepada kakak seperguruannya, Sek Hong-hua menunjuk Helian Kong, "Kalau tidak sekarang, kapan lagi kutemukan lawan sekaliber orang ini?”

Dalam kata-katanya terkandung rasa percaya diri yang tebal, juga nyalinya yang besar dan tekadnya yang teguh. Maka tahulah semua orang yang di situ bahwa pemuda ini seorang yang "kecanduan berkelahi" dan takkan melewatkan setiap kesempatan kalau bertemu lawan yang dianggapnya seimbang.

Tak terasa timbul kekaguman Helian Kong, sekaligus sadar bahwa diluar dugaan malam itu ia akan mendapatkan "teman bermain" yang tidak tanggung-tanggung. Ngo Tat sendiri tak pernah bisa mencegah keinginan adik seperguruannya kalau sudah berniat demikian, biarpun kadang-kadang merepotkan.

Tapi ia juga tidak tega membiarkan adik seperguruannya sendirian di tengah sekian banyak musuh di kuburan itu. Terpaksa ia berkata kepada Tong Hin-pa, "Sobat Tong, terpaksa kau harus pulang sendiri. Sewa joli kalau perlu."

Namun beberapa orangnya Pelangi Kuning tadi sudah menjadi korban Tong Hin-pa, tentu saja sekarang mereka takkan membiarkan Tong Hin-pa pergi begitu saja. Begitu Tong Hin-pa mulai beranjak pergi, orang-orang Pelangi Kuning itupun serempak bergerak hendak mencegah.

Namun gerak mereka berhenti ketika Ngo Tat melompat melindungi Tong Hin-pa, sambil berkata kepada orang-orang Pelangi Kuning itu, "Kalian tetap di tempat. Bukankah lebih asyik nonton dua pemuda berilmu tinggi mengadu ilmu, daripada membuntuti orang buntung?"

Habis berkata demikian Ngo Tat menebaskan telapak tangannya ke sebuah bong-pai. Batu nisan yang keras dan tebal dari batu granit itupun terbelah dua dan ambruk. Orang-orang Pelangi Kuning tak dapat meneruskan langkahnya, sadar bahwa rintangan yang satu ini takkan tertembus oleh mereka.

Ngo Tat tertawa, kemudian berkata kepada Tong Hin-pa, "Sobat Tong, pergilah. Kawan-kawan kita dari Pelangi Kuning ini agaknya mudah diberi pengertian."

Tong Hin-pa mengangguk sambil menyeringai kesakitan. Lengannya yang buntung sudah diikat erat dengan bantuan Ngo Tat, untuk mencegah darah mengalir terus. Namun rasa nyeri takkan tercegah oleh apapun juga sampai hilang sendiri nanti.

Dalam hatinya Tong Hin-pa mengutuk Sek Hong-hua yang selagi keadaan gawat kok masih sempat-sempatnya hendak "mengasah ilmu" segala. Tapi ia tidak berani mengatakannya, lalu tertatih-tatih melangkah pergi di antara gundukan-gundukan kuburan yang masih licin habis kehujanan. Terpaksa Tong Hin-pa harus jalan pulang sendirian.

Belum jauh dari kuburan itu, ketika lewat sebuah jalan gelap yang kiri kanannya ditumbuhi pohon-pohon, Tong Hin-pa terkesiap melihat sesosok bayangan melangkah dari balik pohon dan menghadangnya. Namun ia lega ketika mengenali suara Ting Hoan-wi,

"Tong Toako, bagaimana dengan lukamu?"

Semula Tong Hin-pa memang jengkel kepada temannya yang kabur terbirit-birit hanya karena digertak Helian Kong. Namun saat itu adalah lebih baik mendapatkan seorang teman berjalan, daripada lawan bertengkar. Terpaksa iapun bersikap ramah, "Aduh, lukaku sakit sekali.... Ting Hiante, bantulah aku berjalan..."

Ting Hoan-wi mendekati sambil berkata, "Ah, kasihan... mari kutolong Toako..."

Dan pertolongan Ting Hoan-wi benar-benar tidak disangka Tong Hin-pa. Itulah sebilah belati tajam yang dihunjamkan telak ke punggung Tong Hin-pa yang sama sekali tak menduga. Ketika Tong Hin-pa terkulai roboh, ia masih berdesis, "Ke... kenapa kau..."

Sahut Ting Hoan-wi dingin, "Aku belum mau kehilangan kedudukanku di hadapan Co Kong-kong karena pengaduanmu."

"Bangsat...." rintih Tong Hin-pa. "Tapi masih ada Ngo Tat dan Sek Hong-hua yang akan menceritakan kepada Co Kong-kong tentang kelakuan pengecut mu tadi. Dan kau takkan mampu membunuh kedua perwira Manchu itu, dengan cara selicik apapun."

"Mereka akan mati, biarpun bukan oleh tanganku. Ketika tadi aku bersembunyi di sini, kulihat kakek gendut yang pernah menghadang kita di luar Han-tiong itu menuju ke kuburan. Kedua perwira Manchu itupun pasti mati."

Habis bicara demikian, dengan dingin Ting Hoan-wi menginjak leher Tong Hin-pa supaya "beres". Lalu di atas mayat itu diletakkannya sehelai ikat kepala kuning yang biasanya dipakai oleh orang-orang Pelang Kuning, pengikut Li Cu-seng. Lalu pergilah Ting Hoan-wi.

Di kuburan, ketegangan baru mencekam. Semuanya siap menyaksikan adu ilmu antara Sek Hong-hua dan Helian Kong. Helian Kong menggenggam erat pedangnya dengan tatapan matanya tajam. Ia menyadari beratnya lawan kali ini, meskipun umurnya baru sebaya dengannya.

Sementara dalam diri Sek Hong-hua penuh gairah tempur yang meluap-uap, namun iapun harus mengendalikan diri karena tahu Helian Kong bukan lawan empuk.

"Kita mulai!" bersama dengan bentakannya itu ruyung sam-ciat-kun Sek Hong-hua menyabet ke kaki Helian Kong. Ruyung itu dipegangi pada salah satu ruas ujungnya, sehingga menjadi panjang jangkauannya, disertai kecepatan dan kekuatan yang menuntut segenap perhatian.

Tetapi Helian Kong agaknya malah ingin mengadu kekuatan, sekaligus mencari keuntungan dari ketajaman pedangnya yang baru kembali dari tangan Ting Hoan-wi. Dengan gerak Pek-ho-keng-ih (Bangau Putih Menyisik Bulu) ia menangkis ke bawah, tebasan disongsong tebasan.

Kedua senjata itu berbenturan begitu keras sehingga berdentang memekakkan kuping, kedua petarung sama-sama kaget dan berlompatan mundur. Ketajaman Tiat-eng Po- kiam ternyata tidak bisa memotong penampang ruyung itu, bahkan lengan Helian Kong tergetar. Sebaliknya Sek Hong-hua juga kaget karena ruyungnya terpental balik hampir melukai dirinya sendiri.

Tetapi pemuda yang sama-sama berilmu tinggi dan bernyali besar itu tidak jera oleh benturan pertama. Mereka kembali melompat saling terjang, dalam waktu kurang dari satu detik, gemerincing beradunya senjata mereka terdengar belasan kali. Cahayanya bergulung dan menimbulkan gelombang udara yang menggoncangkan pepohonan di sekitar arena.

Orang yang menyaksikan pertarungan. itupun jadi kagum, tak terkecuali Ngo Tat yang menjadi kakak seperguruan Sek Hong-hua sendiri. Pikirnya, "Sute memasuki perguruan tujuh tahun lebih lambat dari aku, namun sekarang tingkatan ilmunya sudah selapis di atasku, biarpun selama inipun aku tidak mengabaikan latihanku. Aku memang jelas kalah berbakat, tidak salah kalau suhu mempercayakan masa depan perguruan ke tangannya, bukan ke tanganku yang lebih tua."

Meskipun demikian, Ngo Tat tidak iri kepada adik seperguruannya itu, malah ikut bangga. Cuma satu sifat adik seperguruannya yang sering memusingkannya, yaitu kalau melihat ada pesilat lain yang tangguh, tentu segera gatal tangan untuk mengajak bertarung. Entah ada persoalan atau tidak, pokoknya cari gara-gara untuk bertarung.

Begitu pula malam itu, ketika melihat begitu cepatnya Helian Kong mengakhiri perlawanan Tong Hin-pa, maka nafsu bertempur Sek Hong-hua pun bangkit untuk "menjajal" Helian Kong. Tetapi kekaguman Ngo Tat melimpah juga kepada Helian Kong, yang sama umurnya dengan Sek Hong-hua namun sama tangguhnya.

L Katanya dalam hati, "Pangeran To Ji-kun mengutus aku ke Tiong-goan untuk melakukan hubungan rahasia dengan Co Hua-sun, tak disangka kalau sekaligus juga menemui pendekar-pendekar muda Tiong-goan yang tangguh. Dalam waktu singkat sudah kutemui dua orang, pertama Yo Kian-hi dan sekarang Helian Kong. Jadi tiga kalau ditambah adik seperguruanku. Tapi sayang, tiga pendekar muda berbakat ini berdiri di tempatnya sendiri-sendiri, di tengah-tengah pihak-pihak yang berperang."

Sementara pertarungannya sendiri makin dahsyat, keduanya makin meningkatkan semangat, membulatkan pikiran untuk tidak memikirkan apa-apa lagi kecuali pertempuran itu. Jurus-jurus dan perhitungan-perhitungan lain sudah "jalan sendiri" sehingga gerak merekapun makin cepat.

Maka di tengah arena seolah nampak beberapa Helian Kong, beberapa Sek Hong-hua, belasan batang pedang berkilauan berhadapan dengan gulungan cahaya sam-ciat-kun yang seperti naga bersisik perak yang tengah menundukkan samudera.

Di sela-sela cahaya pedang lawannya, Sek Hong-hua tiba-tiba mengulur jarak, lalu ruyungnya menyabet dengan gerakan Oh-liong-boan-jiu (Naga Hitam Membelit Pohon), menyabet ke pinggang Helian Kong. Helian Kong melompat menghindar dan balas menikam ke lengan dengan gerak sama cepatnya.

Secepat bayangan hantu, Sek Hong-hua bergeser, ujung ruyungnya yang luput menyabet itupun disendai balik lalu ditangkap dengan tangan kiri, ujung lain dilepaskan, lalu kembali menyabet ke arah kepala dengan Siok-lui-kek-ting (Geledek Menyambar Kepala).

Itulah kelebihan sam-ciat-kun yang bisa dipegang bolak balik, dengan tangan kiri atau kanan, maka tidak heran kalau di arena itu seolah hampir penuh bayangan ruyungnya yang seakan bergerak serempak. Semuanya itu juga berkat kemahiran Sek Hong-hua yang sudah bertahun-tahun melatih diri tak kenal lelah. Latihan silat buat orang lain barangkali akan merupakan "siksaan" karena beratnya, tetapi buat Sek Hong-hua justru menjadi kegemarannya.

Namun Helian Kong tidak bingung, biarpun harus amat hati-hati. Sambil menunduk menyelamatkan kepalanya, ia merunduk terus balas menikam. Kembali kedua senjata itu berbenturan hebat, dan kedua petarung pun kembali sama-sama melompat mundur.

"Hebat!" pujian yang sama-sama tulus keluar dari mulut mereka masing-masing.

"Sudah puas belum?" tanya Helian Kong. "Puas, bagaimana kalau kita anggap seri dulu?"

"Boleh di antara kita memangnya siapa yang menang?"

Jawaban Helian Kong itu bernada bersih dari permusuhan, sampai lupa kalau pemuda itu datangnya bersama dengan jago-jago kepruknya Co Hua-sun tadi. Sek Hong-hua tertawa puas, lalu membalik tubuh untuk melangkah pergi sambil berkata, "Nah, sekarang aku mau pulang dan tidur."

Namun Liong Tiau-hui tiba-tiba memberi isyarat kepada teman-temannya, mereka bersiaga untuk mencegah kepergian Ngo Tat dan Sek Hong-hua. Kata Liong Tiau-hui, "Tunggu, bangsat. Kau harus kami tangkap untuk ditukar dengan teman-teman kami yang disekap Co Hua-sun!"

Sek Hong-hua berhenti melangkah dan berkata dengan dingin, "Oh, apa kalian bisa menangkap kami berdua?"

Liong Tiau-hui termangu-mangu. Baru saja dilihatnya keperkasaan Sek Hong-hua, maka biarpun ia dan ketujuh temannya yang masih tersisa itu maju serempak, belum tentu bisa menangkap Sek Hong-hua yang masih didampingi kakak seperguruannya yang juga sudah terbukti ketangguhannya.

Tak terasa Liong Tiau-hui menoleh kepada Helian Kong, namun ragu-ragu untuk mengucapkan permintaannya. Dulu memang Helian Kong temannya, tetapi sejak Liong Tiau- hui menjadi pengikut kaum pemberontak, masih maukah Helian Kong membantunya?

Sek Hong-hua pun mentertawakan tingkah Liong Tiau-hui itu, "Kenapa? Bingung? Mau minta tolong perwira Kerajaan Beng yang selama ini kalian musuhi?"

Dengan kata-katanya ini, Sek Hong-hua juga berusaha mencegah terjadinya persekutuan antara orang-orang Pelangi Kuning dengan Helian Kong. Bisa berat buat pihaknya kalau sampai terjadi demikian. Namun akhirnya Liong Tiau-hui berkata juga kepada Helian Kong,

"Saudara Helian, kedua orang ini adalah kaki tangan Co Hua-sun, anggauta komplotan yang siap menjual negara kepada bangsa asing. Memang pihak kami bermusuhan dengan pemerintah, tidak bisakah kita sejenak melupakan permusuhan untuk membasmi bahaya buat negeri ini?"

Helian Kong berpikir keras. Yang berhadapan di tempat itu ada tiga pihak dalam pertikaian segitiga. Masing-masing pihak tentu harus memperhitungkan pihak ketiga demi tercapainya tujuan sendiri. Namun sebelum Helian Kong menentukan sikapnya, tempat itu tiba-tiba bergetar oleh suara tertawa yang penuh tenaga. Disusul kata-kata,

"Liong Tiau-hui, kita pengikut Joan-ong berusaha menyelamatkan negeri ini dengan kekuatan sendiri dan penuh harga diri. Kedua perwira Manchu ini berani seenaknya berkeliran di Tiong-goan, menandakan kalau mereka sudah meremehkan ksatria-ksatria Bangsa Han. Untuk menangkap mereka demi keselamatan negara, tidak perlu mengandalkan pertolongan babi-babi kerajaan Beng yang tidak becus."

Semua orang kaget dan menoleh ke arah suara itu. Nampak seorang kakek gendut duduk seenaknya di atas batu nisan kuburan. Para orang-orang Pelangi Kuning gembira ketika mengenali rang itu sebagai Kong-thau-siang (Gajah Berkepala Baja) Ko Ban-seng, guru dari Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi.

Helian Kong kaget ketika mendengar kakek itu menyebut Ngo Tat dan Sek Hong-hua sebagai perwira-perwira Manchu, sebab tadinya dia mengira kalau mereka berdua cuma jago bayarannya Co Hua-sun. Sikapnya terhadap Sek Hong-hua pun berubah, tatapan matanya tajam, setajam suaranya ketika bertanya kepada Sek Hong-hua,

"Benarkah kau perwira Man-chu yang menyusup ke mari untuk kepentingan negerimu?"

"Mana buktinya?" suara Sek Hong-hua pun mulai bersungguh-sungguh karena ketegangan hatinya, namun masih mencoba menyangkal.

Sementara Si kakek gendut Ko Ban-seng lah yang menjawab, "Minta bukti? Bagaimana kalau kutarik keluar kuncir kalian berdua yang selama ini kalian sembunyikan di balik baju? He, orang-orang Manchu sudah beberapa hari ini kubayangi kalian dan kuamati kalian yang sering menyamar sebagai pedagang-pedagang obat keliling sambil menuntun keledai.

"Kulihat kalian sering menarik-narik leher baju kalian ke atas, tentunya kalian takut kalau pangkal kuncir rambut kalian dilihat orang bukan? Dan kulihat pula betapa sering kalian berhenti di tempat-tempat strategis menurut Peng hoat (Ilmu Perang) untuk menggambar denah tempat itu, tentunya semua ini kalian lakukan untuk persiapan penyerbuan kalian kelak ke negeri ini bukan?"

Kata-kata itu membuat Helian Kong yang sudah menyarungkan pedang, tiba-tiba menghunusnya kembali dan menatap tajam-tajam ke arah Ngo Tat dan Sek Hong-hua. Helian Kong langsung mengambil sikap. Memang kaum pengikut Li Cu-seng adalah musuh, orang Manchu juga musuh.

Namun di dalam permusuhan segi tiga itu Helian Kong memilih untuk lebih dulu bersekutu dengan pengikut Li Cu-seng yang sesama bangsa Han, guna menyingkirkan dulu campur tangan orang-orang Manchu. Helian Kong tidak mau kelak orang Manchu yang memetik buah keuntungan dari perang saudara di Tiong-goan saat itu.

Sementara itu, Ngo Tat dan Sek Hong hua pun sudah siap menghadapi mereka semua, baik pengikut-pengikut Li Cu-seng maupun Helian Kong. Mereka tahu Ko Ban-seng berilmu tinggi, setingkat dengan Kat Hu-yong, paman guru mereka yang baru saja meninggalkan Pak-khia untuk pulang ke jiat-ho.

Karena itu Ngo Tat dan Sek Hong-hua pun tidak bisa mengandalkan lain dari diri mereka sendiri. Mereka adalah perwira-perwira Manchu yang sudah "kontrak mati" saat oleh Pangeran To Ji-kun ditugaskan menyusup ke wilayah Kerajaan Beng, kini mereka siap melawan sekuat tenaga. Mereka sudah berdiri beradu punggung untuk menghadapi musuh-musuh mereka yang mengepung melingkar.

Namun Ko Ban-seng tiba-tiba berkata kepada orang-orangnya, "Kalian jaga di luar arena saja, biar aku saja yang turun tangan untuk menangkap hidup-hidup kedua tikus Manchu ini. Agar bisa memaksa Co Hua-sun menukarnya dengan kedua muridku serta tiga saudara Giam."

Habis berkata demikian, Ko Ban-seng melangkah maju sambil menggosok-gosok sepasang telapak tangannya, "Nah, tikus-tikus Manchu, menyerah sajalah sebab aku tidak ingin membunuh kalian, hanya menangkap hidup-hidup."

Sek Hong-hua yang berdarah panas dan tak kenal takut, tiba-tiba menyerang dengan ruyung tiga ruasnya. Si kakek gendut seolah tidak cukup cepat untuk menghindar, sehingga jidatnya tepat kena gebukan keras ruyung Sek Hong-hua yang terbuat dari baja itu.

Tak terduga si kakek gendut ternyata hanya berteriak, "Haiya, benar-benar keras."

Habis itu diapun mengusap-usap jidatnya yang benjol sedikitpun tidak. Sek Hong-hua kaget bukan kepalang padahal ruyungnya mampu menghancurkan batu dengan pukulan sekeras itu.

Ketika itulah Ko Ban-seng tiba-tiba membentak gemuruh sambil mengayunkan sepasang telapak tangannya dengan jurus Hong-sui-kui-hai (Banjir Kembali ke Samudra) yang membawa tenaga jarak jauh amat dahsyat. Ngo Tat dan Sek Hong-hua kontan terhuyung-huyung.

Kedua perwira Manchu itu sadar telah bertemu lawan yang ilmunya setingkat dengan guru mereka. Tapi mereka tidak mau menyerah dan bersiap melawan habis-habisan. Apa mau dlkata, biarpun mereka bersemangat tinggi, ilmu Ko Ban-seng memang jauh di atas mereka. Mereka menyerang tetapi tidak pernah sampai berhasil mendekat si kakek gendut itu.

Setiap kali tentu terpental mundur kembali oleh sapuan angin dahsyat dari tiap gerakan si kakek gendut. Di lain saat mereka seperti diangkat dari tanah dan dibanting, dan di lain saat lagi mereka seperti diputar secepat gasingan saja, sampai mereka megap-megap dan tenaganya menyusut cepat.

Melihat kesaktian kakek gendut itu, diam-diam Helian Kong kagum, la sadar seandainya ia ikut terjun ke arena menghadapi kakek gendut itu, pasti dirinya pun akan mengalami nasib sama dengan kedua perwira Machu itu. Maka diam-diam Helian Kong bertekad, mulai malam itu ia akan meluangkan waktu setiap saat untuk mempelajari kitab Tiat-eng Pit-kip.

Ia tidak mau mengulangi sikapnya di masa lalu, di mana setelah mendapat kitab dari gurunya lalu dikantonginya saja, sampai akhirnya dicuri Ting Hoan-wi. Untung kini berhasil didapatkannya kembali.

Sementara dalam benaknya muncul pertimbangan lain, setelah kakek gendut itu berhasil menangkap kedua perwira Manchu itu, tidakkah dirinya akan menjadi giliran berikutnya? sebab dirinyapun adalah perwira Kerajaan Beng yang gigih menentang pemberotak. Karena itu, sebelum si kakek gendut selesai menangkap kedua perwira Manchu itu, tidakkah lebih baik ia pergi dari tempat itu?

Namun pikiran lain muncul. Dari pada dirinya terombang-ambing tak menentu, tidakkah lebih baik kalau saat itu sedikit ambil resiko untuk pura-pura tertarik ikut kaum pemberontak, sambil diam-diam menyelidiki hal-ihwal mereka? dan mungkin juga "membantu" mereka untuk menggasak agen-agen Manchu yang berkeliaran di Pak-khia sebab agen-agen pemerintah sendiri tumpul dan tak mampu mengimbangi ulah musuh-musuh mereka. Karena itulah Helian Kong tidak beranjak dari situ.

Sementara di arena, Ko Ban-seng memang jago angkatan tua yang hebat. Biarpun dikeroyok dua orang bersenjata, dengan serangan-serangan jarak jauhnya yang beraneka ragam tekanannya, lebih dulu ia berusaha menguras habis tenaga kedua lawannya.

"Bukannya aku sebagai orang tua menganiaya orang muda, tetapi dalam urusan keselamatan tanah air, maaf saja kalau aku bertindak tegas terhadap kalian!" Kata Ko Ban-seng, lalu menubruk secepat kilat ke arah Ngo Tat. Kini ia bukan cuma melancarkan serangan jarak jauh, tapi menerjang langsung dan hendak menotok pinggang Ngo Tat.

Untuk pendekar-pendekar seangkatannya, Ngo Tat terhitung mahir juga menggunakan serangan ujung jari, bahkan serangan itu sering didukung pula oleh ilmunya yang lain, Thong-pi-kong (Ilmu Memulurkan Lengan) dan pernah mengalahkan Oh Kui-hou yang berjulukan Thai-Iik-ku-hou (Macan Kurus Bertenaga Raksasa). Namun kali ini yang dihadapinya adalah gurunya Oh Kui-hou.

Maka ia tidak sempat menghindar karena gerakannya kalah cepat, terpaksa secara nekad ia songsongkan dua jari untuk menusuk mata lawan dengan tipu Ji-liong-jio-cu (Dua Naga Berebut Mutiara), "bahkan terdengar lengannya gemeretak dan mulur sejengkal lebih.

Tapi Ko Ban-seng terus menubruk lurus tanpa membuat gerakan lain, sehingga Ngo Tat kaget, apakah biji mata kakek gendut ini juga sudah bisa dibikin sekebal jidatnya? Ternyata begitu dekat si kakek gendut menundukkan kepala sehingga matanya tidak kena, terjangannya tetap lurus menyeruduk seperti kerbau. Bukan kerbau biasa, tapi agaknya "kerbau sembrani" karena cepatnya.

Ngo Tat coba membanting diri ke samping, tetap masih kalah cepat. Pundaknya terbentur jidat baja si kakek gendut dan terpental, pinggangnya juga kena totok sehingga tubuhnya lumpuh sementara.

"Ikat dia!" perintah Ko Ban-seng.

Liong Tiau-hui dan pengikut-pengikut Li Cu-seng lainnyapun segera meringkus Ngo Tat dengan tambang-tambang besar.

"Suheng!" Sek Hong-hua gusar melihat kakak seperguruannya diperlakukan demikian. Diapun menerjang Ko Ban-seng seperti angin puyuh. Tapi serangannya cuma beberapa jurus, sesudah itu dia juga berhasil dilumpuhkan dan diringkus.

Helian Kong waspada. Dirinyakah sasaran berikutnya dari si kakek gendut itu? Tapi ia tidak pergi, sebab ia tetap pada niatnya semula untuk "berjudi" dengan situasi. Kaum Pelangi Kuning dan orang-orang Manchu ibarat dua arus dahsyat, namun Helian Kong ingin mencoba bermain di antara kedua arus itu untuk mencapai tujuannya sendiri.

Untuk menggempur Co Hua-sun, ia ingin mencoba memanfaatkan orang-orang bawah tanahnya Li Cu-seng yang menyelundup di Pak-khia ini. Setelah itu, tentu saja giliran orang-orang Li Cu-seng inilah yang harus dibereskan.

Sementara Ko Ban-seng telah memerintahkan orang-orangnya, "Kalian pergilah dulu, bawa tawanan-tawanan itu dan sembunyikan sebaik-baiknya!"

Sebelum pergi, Liong Tiau-hui mendekati Ko Ban-seng dan berbisik, "Lo-cian-pwe, orang itulah yang namanya Helian Kong, yang menurut pesan Jenderal Li Giam bisa kita manfaatkan untuk..."

Kata-kata Liong Tiau-hui terputus karena Ko Ban-seng mengibaskan tangannya sambil berkata, "Aku tahu apa yang harus kuperbuat dengan dia. Jenderal Li juga sudah memberi petunjuk kepadaku."

Liong Tiau-hui pun mengangguk lega dan berlalu dengan kawan-kawannya. Setelah orang-orang itu menghilang di pinggiran kuburan, Ko Ban-seng menghadapi Helian Kong dan bertanya dengan tajam, "Kenapa kau kabur dari Tong-koan, dan menolak ajakan Jenderal Li Giam untuk bergabung dalam perjuangan kami?"

Helian Kong mundur setapak sambil menyilangkan pedangnya di depan tubuh, dan menyahut tegas, "Karena aku tetap prajurit Kerajaan Beng! Apa yang kalian sebut perjuangan, bagi aku tetap merupakan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah!"

"Benar-benar prajurit setia tapi tolol!" ejek Ko Ban-seng. "Pihak istana sudah mengeluarkan maklumat yang menyatakan kau sebagai pengkhianat, kau diburu-buru oleh tentara Kerajaan sendiri!"

"Itu karena fitnah Co Hua-sun. Bangsat kebiri tua itulah yang harus aku benci, bukan pemerintah. Dan karena peristiwa itu, jangan harap terus aku bisa kau paksa untuk menyeberang ke pihak Li Cu-seng!" dan menyahut tegas.

Mendengar jawaban keras itu, ternyata Ko Ban-seng bukannya marah, malah tertawa terbahak-bahak, "Bagus! Di depanku kau berani bersikap seperti ini, tidak mencla-mencle, benar-benar lelaki sejati! Tidak salah pandangan Jenderal Li Giam atas dirimu!"

Perubahan sikap itu keruan membuat Helian Kong agak bingung. Sehabis dimaki sebagai "prajurit tolol", tiba-tiba sekarang berbalik dipuji sebagai "prajurit sejati" segala. Apa maunya si kakek gendut ini? Apakah juga ingin membujuknya agar bergabung dengan pemberontak?

Ternyata terdengar suara Ko Ban-seng, "He, bocah, aku menghargai keteguhan sikapmu. Coba kau dengan gampang menyerah dan bergabung dengan kami, tentulah kami hanya bisa memperalatmu tapi tidak mungkin menghargaimu. Namun sikap teguhmu menandakan bahwa kau pantas dijadikan ujung tombak untuk merontokkan persekongkolan Co Hua-sun dengan orang Manchu!"

"Hem, pihakmu mau memperalat aku?"

"Untuk membela tanah airmu sendiri, apakah kau merasa diperalat oleh kami?" balasan Ko Ban-seng membuat Helian Kong bungkam.

Ko Ban-seng tidak lagi menunjukkan sikap siap tempur, melainkan duduk dengan sikap santai. Tapi Helian Kong tidak mengendorkan kewaspadaan sedikitpun, maklum tokoh yang dihadapinya terlalu digdaya, bisa saja menyerang secara tiba-tiba. Namun Helian Kong jadi panas mukanya, ketika mendengar Ko Ban-seng tertawa terkekeh-kekeh sambil berkata,

"Buat apa kau terus pasang kuda-kuda seperti itu? Duduklah dan santai. Kalau aku ingin menangkapmu, tidak perlu aku pura-pura duduk untuk melengahkanmu lalu menyergap. Tidak perlu begitu. Terang-terangan saja, kau takkan mampu menyelamatkan diri lebih dari lima jurus."

Itu bukan ucapan takabur, tapi cuma menyodorkan kenyataan. Seperti seorang ayah tidak takabur kalau bilang kepada anaknya bahwa ia mampu membelikan layang-layang sekaligus sepuluh buah, sebab ya memang mampu. Helian Kong pun menyarungkan. Tiat-eng Pokiam lalu duduk.

Ko Ban-seng pun berkata, "Anak muda, kita berbeda sikap sehingga pihakmu dan pihakku berhadapan di medan laga. Tapi kita sama-sama anak negeri ini, kita sama-sama tidak rela kalau ada orang yang ingin menjual negeri ini kepada orang asing. Benar tidak?"

Helian Kong mengangguk. "Co Hua-sun maksudmu?"

"Ya. Seribu urusan kita boleh berbeda pendapat, dan memperjuangkan tujuan kita masing-masing sekalipun dengan senjata. Tapi satu urusan ini, kuharap kita sejalan."

"Kenapa tidak kalian lakukan sendiri? Kenapa memilih aku?"

"Jawab dulu, setuju atau tidak?"

"Kalau tidak setuju bagaimana, kalau setuju bagaimana?"

"Kalau tidak setuju, berarti kita tidak sejalan dan tetap musuh dan malam ini takkan kubuang kesempatan untuk meringkus seorang musuh macam kau. Kalau kau setuju, kita teman biarpun hanya dalam urusan ini, sedang dalam urusan selebihnya tetap musuh."

"Kalau aku berkomplot dengan pemberontak, apa bedanya aku dengan Co Hua-sun? Dia berkomplot dengan bangsa asing, aku dengan pemberontak, apa bedanya? Sama busuknya."

"He, anak muda, pakai otakmu. Jangan memandang soalnya secara garis tebal lurus seperti itu. Kita sama-sama membutuhkan persekutuan sementara, persekutuan taktis, berarti kita tidak mengkhianati garis perjuangan kita masing-masing. Atau kau mau berlagak jadi pahlawan yang amat jujur, lalu kita berperang habis-habisan sementara Co Hua-sun siap memasukkan orang-orang Manchu ke negeri ini? Itu yang akan kaupilih?"

Helian Kong garuk-garuk kepala tanpa menjawab.

"Atau kau mengandalkan orang-orang pemerintah sendiri untuk menumpas Co Hua-sun?"

Helian Kong tetap bungkam. Orang-orang pemerintah pun sudah banyak yang jadi kaki tangan Co Hua-sun, percuma mencoba menggerakkan mereka untuk melawan Co Hua- sun, malah mereka akan membela Co Hua-sun.

Di tengah keraguannya, Ko Ban-seng berkata, "Kalau rumahmu terbakar hampir ambruk, lalu ada orang membawakan air untuk menyiram api, apakah kau berpikir lama lebih dulu untuk menyelidiki asal-usul air itu? Tentu rumahmu akan keburu jadi abu. Tentu kau harus segera menggunakan air itu untuk menyiram api, begitu yang benar bukan? Nah, kami datang membawakan air untuk menyiram negeri yang terancam hangus oleh api ketamakan Co Hua-sun."

"Kenapa kau begitu memperhatikan kelangsungan kerajaan?"

"Apa? Memperhatikan kelangsungan dinasti yang sekarang? Tidak, kami justru ingin merobohkannya!" kata Ko Ban-seng terang-terangan. "Ya, kami akan merobohkannya! Tapi aku bicara soal negeri tumpah darah bangsa Han ini, bukan soal dinasti keluarga Cu! Tanah tumpah darah inilah yang harus kami selamatkan, bukan pemerintah yang sekarang!"

Helian Kong merah wajahnya mendengar orang tua itu begitu leluasa mencaci maki pemerintah kerajaan. Tapi ia bungkam saja. Kemudian kakek gendut itu berkata, "He, kau belum menjawab setuju atau tidak."

"Kenapa memilih aku dan tidak kalian lakukan sendiri?"

"Sebab kami dianggap pemberontak, tidak mungkin secara resmi menghadap Kaisar boneka Co Hua-sun yang nomor satu gobloknya di dunia! Sedangkan kau punya kawan-kawan dalam ketentaraan yang selama ini gigih menentang Co Hua-sun, tapi kalian selalu gagal karena tidak punya bukti tentang pengkhianatan Co Hua-sun! Tapi kami punya bukti-bukti itu, dan kalianlah yang harus menyerahkannya kepada si Kaisar otak keledai itu!”

”Aku akan menolak kerja sama kalau kau terus-terusan bicara kasar tentang Kaisar. Bagaimanapun juga dia adalah junjunganku!

”Oh baik, baik. Kaisarmu itu benar-benar orang paling pandai di dunia, otaknya cemerlang, bijaksana, pendiriannya benar-benar teguh sehingga tidak mudah dihasut. Rakyat hidup tenteram sejahtera di bawah pimpinannya, seluruh negeri aman sentausa dan he, mau pergi ke mana kau?”

Karena dilihatnya Helian Kong telah bangkit dari duduknya dan melangkah pergi. Cepat Ko Ban-seng melesat dan menghadang Helian Kong. "Kau mau pergi ke mana?” bentaknya bengis. "Ingat, menolak kerja sama ini berarti kau membiarkan tanah air mu dimangsa persekongkolan Co Hua-sun!"

"Aku tidak tahan mendengar omonganmu. Kalau mau bicara urusan menumpas Co Hua- sun, bicaralah. Tapi omonganmu jangan melenceng ke sana ke mari seperti orang mabuk saja.”

"Baiklah, aku takkan menyinggung lagi Kaisarmu. Bagaimana?"

"Kau benar-benar punya bukti persekongkolan Co Hua-sun dengan orang Man- chu? Bukti yang bisa menjatuhkan dia?"

"Ya. Kami punya."

"Kalau begitu, aku mau."

"Bagus. Kelak kalau urusan ini selesai, pihakmu dan pihakku boleh bertempur lagi habis-habisan, tapi untuk sementara kita gabungkan niat untuk menutup peluang bagi pihak ke tiga mengambil keuntungan!"

"Jangan omong saja, mana bukti-bukti persekongkolan Co Hua-sun itu?"

"Belum aku bawa. Besok tengah malam datanglah kembali ke mari, aku akan menyerahkannya kepadamu."

Ko Ban-seng kemudian berkelebat pergi dari situ secepat kilat. Helian Kong sebetulnya ingin membuntutinya untuk mengetahui di mana sembunyinya kawanan mata-mata Li Cu-seng yang membahayakan Kerajaan Beng itu, namun melihat betapa cepat gerakan Ko Ban-seng, Helian Kong pun merasa tidak mampu mengikutinya.

Helian Kong kemudian menguburkan A-liok. Habis itu ia merebahkan diri di lantai cungkup makam orang kaya itu. Karena pikirannya bergalau terus, maka setelah hampir fajar barulah datang kantuknya yang mengantarnya ke alam mimpi.

Ia bangun menjelang tengah hari. Namun tempat berbaringnya selamat dari sengatan matahari yang sedang bersinggasana di puncak langit. Bahkan terasa cukup sejuk karena di kuburan itu banyak pohon besar. Helian Kong menggeliat bangun dengan perut lapar, dirabanya sakunya dan dirasanya masih ada sedikit uang.

la pergi ke warung terdekat dan membeli beberapa bakpao untuk makan malam sekalian. Ia tidak berani makan di warung itu. Selain untuk menghemat, juga karena di seluruh kota Pak-khia sedang diadakan perburuan besar-besaran atas dirinya. Kematian Song Thian-oh tentu tidak dibiarkan begitu saja oleh Co Hua-sun.

Karena itulah Helian Kong bawa bungkusan makanannya ke tengah kuburan. Ia merasa lebih aman di tengah-tengah orang mati dari pada orang hidup. Sambil duduk menggigiti bakpaunya, kitab Tiat-eng Pit-kip dikeluarkannya dari kantong lalu digelarnya di lantai cungkup, dibuka-bukanya dan diperiksanya halaman-halamannya.

Ada tiga puluh enam jurus dicatat di situ, terdiri dari delapan belas jurus ilmu pedang dan delapan belas jurus tangan kosong. Jurus-jurus yang hanya boleh dipelajari oleh Ketua Tiat-eng-bun dan bukan oleh murid-murid biasa.

Setelah perutnya kenyang, Helian Kong bangkit mencabut pedang, mencari tempat lapang tapi tersembunyi, lalu mulai belajar jurus pertama ilmu pedang. Perlahan-lahan dan penuh kecermatan. Bukan cuma sikap tubuhnya yang mendapat perhatian, tetapi juga pernapasannya.

Setelah ia melakukan gerakan itu beberapa kali secara cepat dan pelan, segera terasa kalau ilmu pedang itu bukan sekedar "belajar menikam dan membacok", namun juga memupuk tenaga dalam agar semakin kokoh.

Jadi manfaat ilmu pedang itu mirip Thai-kek Kiam-hoat ciptaan Sam-hong Cin-jin, pendiri Bu-tong-pai di jaman awal berdirinya dinasti Beng. Bedanya kalau gerak-gerak Thai-kek Kiam-hoat dilakukan dengan lambat sambil menyalurkan "khi" (hawa tubuh).

Maka ajaran dalam Tiat-eng Pit-kip dapat dilakukan keras dan cepat, hanya di tiap pergantian jurus ada latihan gerak-lambat untuk melambungkan "khi" Itu. Dengan demikian jurus-jurusnya bisa dipakai untuk bertempur secara cepat.

Singkatnya, untuk latihan ketangkasan main pedang sekaligus memupuk tena ga dalam tidak dilakukan sendiri-sendiri tapi sekaligus dalam satu latihan. Sifat kerasnya ilmu ini juga bisa dipahami kalau mengingat Tiat-eng-bun adalah "sempalan" Siau-lim-pai yang juga beraliran keras.

Ketika mulai merasakan manfaat ilmu itu pada tubuhnya, semangat Helian Kong pun meluap-luap. Pikirnya, "Alangkah tololnya aku selama ini. Ilmu sehebat ini dari dulu cuma kukantongi saja dan lupa kupelajari."

Dan kini bulatlah tekadnya untuk mengejar ketinggalan waktu yang terbuang selama ini. Namun ia tidak mau tergesa-gesa maju mempelajari jurus ke dua. Tetap lebih dulu ditekuninya jurus pertama sampai matang betul, bukan cuma hapal dan ingat.

Hari itu ia bertekad akan melatih jurus pertamanya seribu kali. Untuk membantu hitungan, ditaruhnya seribu butir kerikil. Tiap habis satu jurus, dibuangnya satu kerikil. Tiap kali pula ia merasa ada kemajuan, tiap gerak sekecil-kecil-nyapun seperti sudah jalan sendiri.

Hal itu membangkitkan kegembiraan Helian Kong. Sesaat dunianya hanyalah sebatas gerak silatnya dan di luar itu tidak ada apa-apa lagi. Seluruh jiwa raganya tertumpah di situ. Kesedihan dan kekacauan perasaannya yang selama ini mengaduk jiwanya, terusir oleh kegembiraannya bersilat.

Akhirnya kerikil-kerikil pembantu hitungan habis dibuang. Tubuhnya basah kuyup dengan keringat, namun anehnya tidak merasa lelah karena dirasanya tenaga dalamnya lebih lancar mengalir ke sana ke mari, ke segenap tubuhnya. Ia lalu berbaring di "pondokannya" itu untuk membiarkan keringatnya kering.

Ketika hari mulai gelap, ia mandi di sebuah sumur yang terletak di pojok tanah kuburan itu. Dan karena tidak ada ganti pakaian yang dibawanya, terpaksa dipakainya kembali bajunya yang bau keringat Itu. Lalu Ia makan bakpaunya sambil menunggu gelap turun, setelah gelap diapun menjinjing pedangnya untuk meninggalkan kuburan itu.

la menuju ke rumah Menteri Slangkoan Hi, kalau bisa ingin mengatur rencana bersama untuk mengajukan bukti pengkhianatan Co Hua-sun. Bukti itu memang belum didapatkannya dari Ko Ban-seng yang menjanjikan malam nanti baru akan menyerahkannya.

Tapi Helian Kong merasa perlu lebih dulu menyusun rencana penyerahan bukti itu sedini mungkin, dan mulai memilih siapa calon pelaku-pelakunya. Siangkoan Hi hendak dihubungi Helian Kong, sebab menteri tua itu dikenal jujur dan berani menentang Co Hua-sun.

Ketika tiba di rumah Menteri Siangkoan, Helian Kong tidak masuk lewat pintu depan, tetapi melompati tembok belakang rumah. Sambil lebih dulu berjongkok di atas dinding untuk mengamati halaman belakang rumah itu, dilihatnya kamar Siangkoan Heng dan Siangkoan Yan, putera-puteri Menteri Siangkoan, masih menyala lampunya.

Beberapa saat lamanya masih ada pelayan-pelayan rumah yang hilir mudik. Setelah sepi, barulah Helian Kong melayang seperti seekor burung dan langsung merunduk mendekati pintu kamar Siangkoan Heng yang menghadap taman samping, lalu diketuknya pintu itu.

Dari dalam kamar terdengarlah suara Siangkoan Heng, "Siapa?"

"Aku Helian Kong...." baru saja selesai jawaban itu, tiba-tiba terdengar langkah bergegas dalam ruangan itu, lalu Siangkoan Heng membukakan pintu dan memperlihatkan dirinya.

"Saudara Helian...."

Lalu ditariknya tangan Helian Kong masuk kamar, kemudian ditutupnya kembali pintu kamar itu. Suara Siangkoan Heng lirih berdesis menahan luapan perasaannya, "Saudara Helian, hampir-hampir tidak kupercaya kau tiba-tiba muncul di sini."

"Memang, saudara Siangkoan. Yang mengunjungimu malam ini bukan Helian Kong yang hidup, tetapi hanya arwahnya yang gentayangan...." Helian Kong mencoba berkelakar agar Siangkoan Heng tidak terlalu tegang.

Siangkoan Heng mengusap jidatnya, membuang napas, lalu memaksa diri untuk tertawa, "Peristiwa kemarin terlalu hebat dampaknya. Co Hua-sun sudah menyediakan hadiah besar untuk siapapun yang bisa membawa batok kepalamu ke hadapannya, saudara Helian...."

"Saudara Siangkoan tidak berminat?"

"Aku memang ingin dapat uang banyak, tapi tidak dengan menjual kepala temanku sendiri...." sahut Siangkoan Heng yang mulai terpengaruh bersikap santai. Sesaat di dalam ruangan itu sunyi, sampai terdengar Siangkoan Heng bertanya, "Saudara Helian, apakah betul kabar yang mengatakan bahwa kau sudah ikut pemberontak, dengan sengaja meng-ngorbankan begitu banyak prajurit kita agar tewas di medan laga?"

"Tidak..." sahut Helian Kong sambil menahan sengatan pedih di hatinya. "Detik inipun aku justru sedang dalam suatu rencana menyelamatkan negara, kalau saudara percaya."

"Aku selalu mempercayaimu. Co Hua-sun boleh meneriakkan fitnahan sampai tenggorokannya jebol, aku takkan percaya. Aku siap mendukung rencanamu itu, saudara Helian. Rencana apa?"

"Tolong antarkan aku menghadap ayahmu, apakah beliau sudah tidur?"

"Buat apa?"

"Akan kusampaikan sebuah rahasia komplotan Co Hua-sun yang selama ini belum diketahui orang banyak."

"Rahasia apa?"

"Bagaimana kalau saudara antar aku dulu menemui Siang Taijin?"

"Baik, marilah."

Helian Kong lalu mengikuti Siangkoan Heng keluar dari kamar itu, menyusuri beberapa lorong dan jalan setapak di tengah kebun bunga, untuk menuju ke bangunan sayap kanan. Helian Kong yang dulu sering berkunjung ke rumah itu, tahu kalau dirinya sedang dibawa ke ruangan buku, dan diapun tahu kalau Siangkoan Hi sering menyendiri di ruangan itu sampai jauh malam, kalau sedang memikirkan urusan penting.

Ketika Siangkoan Heng dan Helian Kong tiba di depan ruangan itu, memang mereka masih melihat lilin menyala dalam kamar. Nampak pula sesosok bayangan lelaki tua yang sudah agak bungkuk hilir mudik, bayangannya terlihat di kertas jendela.

Siangkoan Heng perlahan mengetuk pintu dan memanggil, "Ayah...."

Agak lama baru terdengar jawaban dari dalam, "Ada apa, Heng-ji?"

"Ayah, aku mengantar seorang yang ingin menghadap ayah."

"Malam-malam begini?"

"Ya, ayah. Urusannya penting sekali."

"Siapa?"

"Saudara Helian..."

Terdengar desah kaget dari balik pintu. Sesaat tidak ada jawaban apa-apa dari balik pintu, menteri tua itu rupanya agak ragu-ragu karena Helian Kong menurut maklumat resmi istana telah dinyatakan sebagai pengkhianat negara.

Siapa yang berani menerima Helian Kong di rumahnya, berarti akan diikutsertakan dalam "pengkhianatannya" dan dikenakan hukuman berat. Namun kemudian pintu itupun terbukalah dari dalam, dan muncullah menteri tua di ambang pintu.

Helian Kong berlutut lalu berkata, "Hormatku untuk Siang-si Taijin."

"Masuklah..."

Helian Kong dan Siangkoan Heng masuk, lalu menutupkan pintu. Setelah keduanya duduk, Siangkoan Hi tanpa membuang waktu terus bertanya, "Helian Cong-peng, ada keperluan apa?"

"Taijin, sebelum kubeberkan semuanya, aku lebih dulu ingin bertanya, apakah Taijin masih mempercayai aku sebagai hamba setia Kerajaan Beng, ataukah percaya fitnah yang disebarluaskan oleh Co Hua-sun tentang diriku?"

Siangkoan Hi menarik napas, "Apa saja yang keluar dari mulut Co Hua-sun selalu kuanggap sebagai racun jahat yang tidak patut didekati. Atau sebagai gonggongan anjing belaka..."

"Terima kasih, Taijin. Apa yang akan kusampaikan ini memang membutuhkan orang-orang yang mempercayainya, lalu cepat bertindak sebelum terlambat."

Mendengar kata-kata Helian Kong begitu bersungguh-sungguh, tak terasa Siangkoan Hi menegakkan duduknya di kursinya, tidak lagi duduk melorot seenaknya, menandakan ia mulai memberi perhatian kepada kata-kata Helian Kong.

Sedangkan Helian Kong pun menyusun kata-katanya baik-baik, "Taijin, selama ini Kaisar selalu menolak usul siapa saja untuk mendatangkan pasukan dari selatan. Kenapa?"

"Co Hua-sun yang selalu menghalangi Sri Baginda berbuat demikian. Yaitu dengan menanamkan ketakutan di hati Sri Baginda, bahwa kalau sampai Su Kho-hoat diberi kesempatan untuk berada di Pak-khia bersama pasukannya, tentu akan berkhianat merebut tahta."

"Itu alasan Co Hua-sun. Padahal yang sebenarnya dia sendirilah yang takut kepada Su Kho-hoat, sejak usaha meracuni Su Kho-hoat yang gagal itu."

"Benar."

"Siang-si Taijin, tidakkah kau dengar bahwa Co Hua-sun malahan mendesak Sri baginda agar mendatangkan pasukan Manchu, dengan alasan untuk dipakai memukul mundur kaum Pelangi Kuning?"

"Ya, usul itu busuk sekali. Untung, bagaimanapun lemahnya Sri Baginda, dia masih cukup mencintai negeri leluhurnya sehingga menolak usul itu. Kali ini Co Hua-sun gigit jari."

"Tidak, Siang-si Taijin. Co Hua-sun tidak terus gigit jari dengan penolakan Kaisar atas usulnya itu. Dia tetap bekerja diam-diam, berkomplot dengan Pangeran Seng-ong dan juga dengan tentara asing Manchu sebagai sandaran kekuatannya, dalam hal ini adalah Pangeran ke sembilan To Ji-kun. Rencananya ialah menggantikan Kaisar dengan Pangeran Seng-ong yang lebih mudah disetir, dengan dukungan tentara Manchu!"

Kata-kata Helian Kong itu seperti halilintar meledak di samping kuping Siangkoan Hi dan juga Siangkoan Heng yang ikut mendengarkan. Itulah rencana yang hebat, tidak tanggung-tanggung. Tentara Manchu, terutama tentara berkudanya, dikenal sebagai pasukan penggempur gerak cepat yang luar biasa, amat mahir bertempur. Sekali mereka berhasil masuk ke Tiong-goan, tak tahulah kapan berhasil mengusir mereka kembali.

Selama ini siapapun sadar kenyataan bahwa tentara Manchu tetap tertahan di sebelah luar San-hai-koan itu bukan karena hebatnya tentara Kerajaan Beng, melainkan karena bantuan benteng-benteng lama peninggalan Kaisar Cin-si Hong-te beberapa abad yang silam, berupa rangkaian Tembok Besar yang membentang ribuan kilometer.

Kota San-hai-koan adalah benteng ujung timur dari rangkaian tembok itu. Maka kalau tentara Manchu sampai berhasil masuk, itu artinya seluruh wilayah negeri akan terbuka untuk dijelajahi tentara berkudanya yang ampuh. Tak Heran kalau Siangkoan Hi sebagai pecinta negeri, sampai berkeringat dingin mendengar kata-kata Helian Kong itu.

"Benarkah itu?"

"Benar. Memangnya Taijin kira aku katakan ini sekedar untuk menjelek-jelekan Co Hua-sun yang sedang memojokkan aku sekarang ini? Tidak. Yang kukatakan adalah kenyataan."

Wajah pucat Siangkoan Hi tiba-tiba berubah menjadi merah padam, sambil menggebrak meja ia berkata, "Bangsat penjual negara! Dirinya sendiri yang busuk, tapi tak henti-hentinya memfitnah orang lain! Besok juga aku akan menghadap Kaisar untuk membongkar kedoknya!"

Namun kata-kata Helian Kong seperti air dingin yang mengguyur kepala Siangkoan Hi yang tengah panas, "Siang-si Taijin, kau mau menghadap Kaisar tanpa bukti? Jangan-jangan nanti Siang-si Taijin sendiri malahan yang dituduh sebagai tukang fitnah."

"Lalu, apakah harus kubiarkan saja persekongkolan busuk itu mencapai rencananya?"

Sebelum Helian Kong menjawab, terdengar Siangkoan Heng bertanya, "Saudara Helian. Darimana kau dengar tentang persekongkolan Co Hua-sun dengan orang-orang Manchu itu?"

Helian Kong mengangguk dan menjawab, "Kemarin malam tak kusengaja kulihat bentrokan antara orang-orangnya kaum pemberontak Pelangi Kuning dengan kaki tangan Co Hua-sun. Di antara kaki tangan Co Hua-sun ada dua jagoan Manchu, yang ternyata merekalah perwira-perwira telik sandi bawahan Pangeran To Ji-kun. Ini memperjelas adanya hubungan Co Hua-sun dengan Pangeran Manchu itu."

"Kenapa kedua kelompok itu bentrok? Mereka sama-sama musuh pemerintah kita, kenapa mereka tidak misalnya, bergabung meruntuhkan Kerajaan Beng, lalu membagi negeri ini di antara mereka berdua sendiri?"

"Aku tidak tahu, saudara Siangkoan. Orang-orang itu hanya menjalankan apa yang digariskan pemimpin mereka masing-masing. Aku menduga kalau Li Cu-seng sebagai orang Han, juga tidak rela negeri ini diinjak orang Manchu. Maka dia perintahkan orang-orangnya membongkar komplotan Co Hua-sun itu, sebaliknya Co Hua-sun berusaha menangkapi orang-orangnya Li Cu-seng, dengan bantuan orang-orang Manchu."

Sampai kata-kata itu, Helian Kong menekankan suaranya, berhenti sebentar, setelah itu barulah melanjutkan, "...karena orang-orang Li Cu-seng itu membahayakan rencananya."

"Ah, inikah sebabnya kenapa hari-hari belakangan ini Co Hua-sun berhasil menangkap gembong-gembong pemberontak seperti Oh Kui-hou, Yo Kian-hi dan tiga saudara Giam...." Siangkoan Heng berkata sambil menepuk pahanya. "Tenyata itu dilakukan dengan bantuan jaringan sandi orang-orang Manchu."

"Ya, mungkin Pangeran To Ji-kun memperhitungkan, kalau Co Hua-sun mendirikan pahala dengan menangkapi kaum pemberontak, tentu kedudukannya di samping Kaisar tambah kuat, pengaruhnya juga makin kuat sehingga cukup layak oleh Pangeran To Ji-kun untuk dijadikan penyambut dari dalam, apabila kelak tiba saatnya Tentara Manchu maju ke Tiong-goan. Mungkin begitu."

Ketiga orang dalam ruangan itu tegang, namun sekaligus juga kecewa. Keadaan masa itu ternyata hanya menunjukkan ketidak-becusan para intel kerajaan, yang sejauh ini belum menunjukkan reaksi apapun padahal penyusup-penyusup musuh sudah berkeliaran di Ibu Kota Negara. Intel-intel Kerajaan itu memang giat, namun mereka hanya salah tangkap orang-orang yang tak berarti, dengan tujuan tak lain memeras kaum keluarga si tertangkap agar membayar "uang bebas".

"Helian Cong-peng, kau mencegah aku segera menghadap Kaisar, lalu harus menunggu sampai kapan lagi?"

"Harap Taijin menunggu sampai ada bukti di tangan, barulah menghadap Kaisar. Namun perjalanan ke istana itupun harus dikawal oleh pasukan yang memihak kita. Tanpa pengawalan, aku kuatir kaki tangan Co Hua-sun akan membuat ulah. Entah di perjalanan, entah setelah sampai ke istana."

Dengan bersemangat Siangkoan Heng langsung menyanggupi, "Soal pengawalan ayah, malam ini juga kuhubungi panglima-panglima yang masih bisa kita percaya, supaya mereka siapkan pasukan masing-masing. Kalau perlu kubangunkan mereka dari tidurnya."

"Bagus, saudara Siangkoan. Tapi tentang tujuan kita mendakwa Co Hua-sun, seyogyanya hanya kita bertiga yang tetap mengetahuinya sampai saatnya tiba di depan Kaisar. Bukan aku kurang mempercayai teman-teman kita, mereka semuanya berhati tulus namun tidak semuanya sanggup menyimpan rahasia. Kalau sampai bocor sedikit saja dan didengar oleh kaki tangan Co Hua-sun, bisa kacau rencana kita."

"Baik, aku paham."

"Kalau begitu aku mohon diri lebih dulu untuk mengambil barang buktinya, Siang-si Taijin, saudara Siangkoan....." kata Helian Kong sambil bangkit. "Besok pagi aku kemari."

"A-heng, antarkan Helian Cong-peng keluar."

"Baik, ayah. Saudara Helian, mari."

Kedua pemuda itupun berjalan keluar, namun sampai di ambang pintu, mendadak Helian Kong memutar tubuh dan bertanya dengan suara agak kikuk, "Eh, ya.... dari tadi kenapa adik Yan tidak nampak?"

Siangkoan Hi menyembunyikan senyum sambil mengusap jenggot putihnya. Selama ini ia tahu kalau anak gadisnya diam-diam mencintai Helian Kong, namun tidak jelas apakah Helian Kong juga membalas cinta Siangkoan Yan. Kini mendengar pertanyaan Helian Kong itu, si ayah yang mendambakan kebahagiaan puterinya iapun mengharap mudah-mudahan itulah semacam "lampu hijau" Helian Kong terhadap puterinya, sehingga puterinya tidak bertepuk sebelah tangan.

Sahutnya, "Dia di istana dalam beberapa hari ini. Menunggui Puteri Tiang-ping yang kesehatannya kembali merosot."

Helian Kong pun mengangguk, lalu pergi diantar Siangkoan Heng sampai kepintu depan. Setelah mengucapkan salam kepada Siangkoan Heng, pergilah Helian Kong dengan melompat bagaikan terbang, meleburkan diri ke dalam hitamnya malam. Ia menuju ke kuburan itu, sebab tengah malam hampir tiba dan dia ada janji pertemuan dengan Ko Ban-seng.

Sementara itu Siangkoan Heng kembali menemui ayahnya dan bertanya, "Ayah, apakah perlu sekarang juga kuhubungi panglima- panglima yang kita harapkan akan mengawal ayah ke istana?"

"Ya. Beritahu bahwa besok pagi harus kumpul di sini...."

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.