Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 20

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong seri pertama, kembang jelita peruntuh tahta jilid 20 karya Stevanus S.P

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 20

Dengan kata-kata itu, berarti Siang-koan Hi sudah siap mempertaruhkan segala-galanya, artinya dia terang-terangan menjadikan rumah tinggalnya sebagai "kubu" untuk menghadapi kubu Co Hua-sun. Kalau kalah, ya hancurlah semuanya.

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

Di kubu Co Hua-sun sendiri ada persiapan. Co Hua-sun gelisah sekali, ketika Ting Hoan- wi pulang seorang diri untuk melaporkan bahwa Tong Hin-pa "dibunuh pemberontak", sedang dua perwira Man-chu yang menyamar, Ngo Tat dan Sek Hong-hua juga ditangkap pemberontak.

Pihak manapun yang berhasil menangkap kedua perwira Manchu itu, Co Hua-sun kuatir kalau kedua perwira itu disiksa dan akhirnya mengakui hubungannya dengan Co Hua-sun, dengan demikian celakalah Co Hua-sun. Memang pihak pemberontak tidak mungkin bisa langsung menghadap Kaisar, namun toh mereka bisa mengatur seribu satu cara agar hal itu sampai ke kuping Kaisar.

Memang Co Hua-sun suatu saat akan menyingkirkan Kaisar Cong-ceng dan menggantikannya dengan Pangeran Seng-ong yang lebih mudah diatur. Tapi hal itu akan dilaksanakan kelak setelah pasukan To Ji-kun berada di dekatnya sebagai dukungan kekuatan. Sedang saat itu pasukan Manchu yang diharapkannya belum juga ada tanda-tanda kedatangannya, sehingga Co Hua-sun masih merasa terlalu riskan untuk bertindak.

Siang tadi memang sudah dikirimnya utusan rahasia kepada Pangeran To Ji-kun di Jiat-ho, agar pasukan segera dikirim. Kalau belum bisa datang terang-terangan lewat San-hai-koan, ya menyusup dengan menyamar sampai ke Pak-khia. Biarpun tidak banyak, setidak-tidaknya cukup untuk bertahan sementara dari pasukan-pasukan yang setia kepada Kaisar.

Namun kapan pasukan itu datang? Karena kegelisahan yang memuncak, Co Hua-sua membayangkan saat itu di suatu tempat di Pak-khia, entah di mana, tentu ada sekelompok orang yang siap membongkar komplotannya. Maka akhirnya Co Hua-sun pun memutuskan untuk membuat gebrakan pula demi menyelamatkan rencananya.

"Sebelum datangnya pasukan Pangeran To Ji-kun, aku harus tetap kelihatan setia kepada Kaisar." pikirnya. "Untuk itu haruslah diciptakan suatu kejadian agar aku bisa menunjukkan kesetiaanku."

Beberapa saat ia hilir mudik memutar otak, sampai sebuah seringai kejam muncul di wajahnya, "Hem, untuk itu haruslah ada korban. Harus ada korban agar Kaisar percaya bahwa aku masih setia kepadanya, dengan demikian kedudukanku tetap aman sampai datangnya Pangeran To Ji-kun kelak. Kedudukanku harus aman biarpun tidak lama lagi mungkin akan ada yang menuduh aku berdasar pengakuan kedua perwira Manchu itu."

Ia lalu memikirkan gagasannya matang-matang, diperhitungkannya sampai hal sekecil-kecilnya, setelah itu keluarlah ia dari ruangannya itu. Dipanggilnya seorang thai-kam berpangkat rendah yang berjaga di depan bangsalnya, lalu memerintah, "Panggil Wan Hoa-im dan Bu Goat-long sekarang juga. Ada urusan apapun yang sedang mereka kerjakan, haruslah mereka segera datang ke mari!"

"Baik!" thai-kam itupun bergegas menjalankan perintah yang kedengarannya amat darurat itu, langkahnya bahkan setengah berlari. Tidak lama kemudian Wan Hoa-im dan Bu Goat-long tiba di hadapan Co Hua-sun, merekalah pembantu-pembantu terpercaya Co Hua-sun.

Begitu mereka datang, berkatalah Co Hua-sun, "Malam ini juga, siagakan seluruh orang-orang kita. Yang sedang kena giliran bebas tugas, panggil kembali dan siagakan, jangan ada satupun yang ketinggalan. Tapi jangan menyolok, jangan menimbulkan kecurigaan orang-orang yang tidak sepaham dengan kita."

"Kong-kong, ada apa?" tanya Wan Hoa-im yang ikut tegang mendengar perintah yang bernada seolah-olah akan ada pertempuran besar itu.

"Jalankan saja dan jangan tanya-tanya dulu. Setelah orang-orang kalian siaga, kalian berdua harus kembali ke mari untuk menunggu perintahku lebih lanjut. Cepat!"

Yang dimaksud dengan "orang-orang kita" oleh Co Hua-sun itu bukan lain adalah para thai-kam yang berjumlah sepuluh ribu orang lebih. Orang boleh saja mengejek mereka sebagai lelaki yang "tidak komplit", tetapi di saat yang diperlukan mereka bisa menjadi pasukan tempur yang berbahaya.

Selama ini, diam-diam Co Hua-sun telah memerintahkan mereka untuk latihan silat dengan alasan "menjaga kesehatan" padahal dipersiapkan untuk mendukung ambisi Co Hua-sun, kalau perlu dengah kekerasan.

Wan Hoa-im dan Bu Goat-long menjalankan perintah itu dengan perasaan agak tegang. Mungkinkah Co Kong-kong tiba-tiba kalap, habis kesabarannya, lalu akan memberontak terang-terangan seperti Gui Hian-tiong dulu? Tidakkah itu berarti bunuh diri massal? Biarpun ada dukungan sepuluh ribu thai-kam Siap tempur, mana mungkin menandingi jumlah berkali lipat dari prajurit-prajurit yang masih setia kepada Kaisar?

Toh mereka jalankan juga perintah itu tanpa berani menyimpang sedikitpun. Mereka merasa tidak punya sandaran kekuatan selain Co Hua- sun, tindakan merekapun juga tidak berani keluar dari kerangka rencana Co Hua-sun, sebab sudah terlalu lama mereka menghamba Co Hua sun dan tidak punya cukup tekad bertindak dengan kehendak sendiri.

Sementara itu, Co Hua-sun sendiri dengan hati mantap berjalan ke bangsalnya Pangeran Seng-ong yang termasuk di kompleks istana itu juga. Ketika masuk ke bangsal itu, pengawal- pengawal Pangeran Seng-ong tidak menghalanginya, malah mempersilakannya masuk dengan hormat.

"Pangeran sudah tidur?" tanya Co Hua-sun kepada perwira pengawal.

"Belum, Kong-kong. Beliau sedang bermain catur dengan Jenderal Yo di ruang dalam."

"Jadi Yo Goan-tong juga ada di sini?"

Yo Goan-tong adalah juga seorang panglima sekutu Co Hua-sun. Sesaat Co Hua-sun berpikir bagaimana caranya harus bersikap kepada Yo Goan-tong. Dan setelah ditemukannya akal, diapun berkata kepada perwira peng awal itu, "Tolong laporkan kepada Pangeran, bahwa aku ingin bertemu."

"Baik, Kong-kong." Lalu perwira pengawal itu bergegas masuk ke dalam.

Tidak lama kemudian ia keluar dan berkata, "Pangeran mempersilakan Kong-kong masuk."

Co Hua-sun pun melangkah masuk. Di sebuah ruangan indah yang kemaram cahayanya, menimbulkan kesan damai, ia melihat Pangeran Seng-ong dan Yo Goan-tong sedang bermain catur di atas sebuah meja pendek. Ketika Co Hua-sun melangkah masuk, merekapun berdiri untuk menghormat.

Pangeran Seng-ong adalah adik Kaisar Cong-ceng, jadi kedudukannya dalam istana cukup tinggi. Namun sejak ia masuk komplotan Co Hua-sun dan "digenggam" Co Hua-sun, diapun jadi penurut, karena ia sendiri tidak mampu dan tidak berani memikirkan rencana serumit yang dipikirkan Co Hua-sun. Kaisar Cong-ceng disebut malas berpikir, dan adiknya ini lebih-lebih lagi.

Boleh dikata ia cuma "memborongkan" segala sesuatunya kepada Co Hua-sun dan kelak ia cuma "terima jadi" saja. Co Hua-sun sudah berjanji akan mengangkat Pangeran Seng-ong sebagai Kaisar, menggantikan kakandanya. Dan harapan muluk ini membuat Pangeran Seng-ong lebih malas berpikir lagi.

Ketiga orang itu segera duduk di tiga sisi meja catur itu. Untuk menimbulkan kesan betapa penting urusan yang dibawanya, Co Hua-sun tanpa bertele-tele lagi langsung berkata, "Maaf, tuan-tuan, terpaksa aku mohon agar permainan catur kalian dihentikan. Ada permainan yang lebih besar yang harus kita mainkan malam ini juga sebelum didahului lawan-lawan kita."

Pangeran Seng-ong dan Yo Goan-tong menatap Co Hua-sun penuh perhatian. Sementara Co Hua-sun berpikir, lebih baik Yo Goan-tong disuruh pergi dulu. Katanya, "Yo Goan-tong, sekarang juga aku mohon kau pergi siapkan pasukanmu, lalu kontaklah Wan Hoa-im dan Bu Goat-long. Apapun yang akan mereka lakukan, kau harus mendukungnya dengan pasukanmu!"

"Ada apa?" tanya Yo Goan-tong tegang. "Apakah gerakan kita telah dicium lawan-lawan kita?"

"Jangan tanya-tanya dulu, cepat lakukan. Waktunya tidak banyak."

Begitu rupa mimik wajah Co Hua-sun sehingga setiap pendengarnya percaya, la memang tidak mau memberi kesempatan pendengar-pendengarnya berpikir, maka diciptakannya suatu gambaran seolah-olah keadaan sudah begitu mendesak. Memang Yo Goan-tong terpengaruh dan buru-buru ia pergi menyiapkan pasukan. Sekarang tinggal Co Hua-sun dan Pangeran Seng-ong.

"Kong-kong, sebenarnya ada apa?" Pangeran ini bertanya. Dia ambisius tetapi bernyali tikus.

"Pangeran, sudah bulatkah tekadmu untuk merebut singgasana dari tangan kakakmu?"

"Menurut Kong-kong, apakah masih ada kemungkinan?"

"Ya. Kalau Pangeran cukup berani, maka besok waktu matahari terbit, Pangeran sudah disembah sebagai Kaisar."

Kontan saja Pangeran Seng-ong melongo, kaget campur kegembiraan meluap-luap. Selama ini ia memang banyak mengurung diri di bangsalnya dan kurang tahu perkembangan rencana Co Hua-sun. Kini mendengar omongan Co Hua-sun macam itu, siapa tidak gembira?

"Be... betulkah itu?"

"Mana mungkin aku membohongimu?" Co Hua-sun dengan enaknya toh sudah berbohong. "Memang hari ini muncul sedikit masalah, tetapi kita justru harus mempercepat rencana dan besok Pangeran adalah Kaisar negeri ini. Menggantikan kakakmu!"

"Ah, tetapi kekuatan pendukung kita."

"Jangan kuatir!" Co Hua-sun cepat-cepat memotong. "Pasukan yang dijanjikan Pangeran To Ji-kun sudah menyusup perbatasan dan sekarang sudah dalam kota ini. Lima puluh ribu prajurit pilihan yang semuanya menyamar sebagai prajurit Beng. Tapi timbul sedikit masalah."

"Kenapa?" Pangeran Seng-ong belum juga berhasil melenyapkan ketegangannya. Maklumlah, gerakannya itu sebuah pertaruhan besar.

Kalau menang dia jadi Kaisar, begitulah yang dikatakan Co Hua-sun. Tapi kalau kalah, ia akan dihukum sebagai pengkhianat, apalagi kalau terbukti bersekongkol dengan pasukan asing untuk mendongkel kedudukan kakandanya sendiri. Itulah sebabnya "sedikit masalah" yang dikatakan Co Hua-sun itupun masih saja membuat jantungnya berdebar kencang.

"Ada yang curiga melihat begitu banyak prajurit tiba-tiba muncul di ibu kota. Maka sebelum kecurigaan meluas dan membuahkan reaksi yang tidak kita kehendaki, kita harus bertindak cepat. Rebutlah singgasana malam ini juga, maka kita akan mengendalikan situasi sebelum berkembang jadi semakin ruwet. Pangeran paham maksudku?"

"Ya.... ya...." bibir Pangeran Seng-ong agak gemetar. "Lalu aku harus melakukan apa?"

"Sebelum tengah malam, kumpulkan seluruh pengikut Pangeran. Dan nanti kalau mendengar tanda waktu jam Cu-si dari menara, jangan ragu-ragu lagi. Pimpin seluruh pengikut Pangeran untuk menyerbu bangsal kakandamu dan bunuh dia!"

Lutut Pangeran Seng-ong yang sudah gemetar sejak tadi, kini hampir tidak mampu menyangga berat tubuhnya, la hampir roboh. "Membunuh kakanda Cong-ceng? Tidakkah itu akan dianggap memberontak?"

"Lho, memangnya selama ini kita bisik-bisik mengatur rencana ini belum dianggap berontak? Kalau rencana kita kalah cepat, batok kepala Pangeran dan kami semua akan menggelundung lepas. Jadi tidak ada jalan mundur lagi! Tidak boleh ragu-ragu! Maju terus!"

"Tetapi... tetapi...."

"Pangeran, jangan takut! Teropong sejarah. Lihat leluhurmu Pangeran Yan-ong ketika mengobarkan Perang Jing-an (1399) merebut tahta dari keponakannya sendiri, Kaisar Kian-bun alias Hui-ti. Pangeran Yan-ong menang dan menjadi Kaisar bergelar Seng-cou alias Yung-lo, bertahta selama 22 tahun (1403-1425). Siapa berani menyebutnya pemberontak atau pengkhianat? Tidak ada!

"Kenapa? Sebab dia menang. Coba dia kalah, tentu sekarang kuburannya pun tidak diketahui orang. Tetapi dia menang, kuburannya berdiri paling megah di Beng-houw-leng (kuburan raja-raja dinasti Beng), dia pula yang memindahkan ibu kota dari Lam-khia ke Pak-khia dan terus dikenang. Sebaliknya Kaisar Kian-bun yang kalah akhirnya kabur dengan kapal ke luar negeri dan tidak diketahui lagi nasibnya. Camkan baik-baik, Pangeran.

"Pena penulisan sejarah ada di tangan sang pemenang, dan dia boleh menuliskan apa saja tentang dirinya dan tentang lawannya, sesuka hatinya! Sejarah membuka peluang lagi malam ini. Tetapi hanya pemberani yang bisa merebut peluang itu dan mengubahnya jadi kenyataan, bukan penakut. Pangeran hanya punya dua pilihan, mau jadi pemenang, atau jadi pecundang dan mati di bawah seribu kutukan. Tinggal pilih!"

Kata-kata Co Hua-sun itu menimbulkan tekanan hebat pada jiwa Pangeran Seng-ong sehingga ia tidak mampu berpikir jernih lagi. Namun ia masih bimbang dalam satu hal, dan ia tanyakan itu, "Tetapi perlukah Kakanda Cong- ceng harus dibunuh? Tidak cukupkah kalau dia diturunkan dari tahta lalu dipenjarakan saja? Toh dia tidak akan..."

"Harus dibunuh. Kalau dia tetap hidup biarpun di penjara, masih akan ada pengikut- pengikutnya yang terus mengusahakan dia kembali ke tahta. Kita akan repot. Tapi kalau dibunuh, kita padamkan harapan orang-orang yang ingin mengembalikannya. Nah, praktis bukan? Jangan tanggung-tanggung kalau bertindak!"

Akhirnya Pangeran Seng-ong mengangguk. "Bagus, kesempatan harus direbut sebelum pergi lagi. Pangeran, sekarang lakukanlah seperti apa yang kukatakan tadi, jangan ragu-ragu bertindak. Besok pagi akulah orang pertama yang akan mengucapkan selamat kepada Kaisar baru!"

Habis berkata demikian, Co Hua-sun hendak berlalu, namun dicegah oleh Pangeran Seng- ong, "Kong-kong, tidakkah lebih baik kalau Kong-kong tetap di sini untuk mendampingi aku dan memberi bantuan pemikiran?"

"Maaf, Pangeran, tidak bisa. Agar semuanya berjalan sesuai dengan rencana, aku masih harus mengatur banyak hal olehku sendiri, tidak bisa menyuruh orang lain. Jangan kecil hati, Pangeran, bulatkan tekad. Kita akan menang!"

"Tunggu.... tungu, Kong-kong!"

"Apa lagi?" Mulai kesal juga Co Hua-sun terhadap sekutunya yang penakut ini.

"Nanti kalau lonceng tengah malam berbunyi, kita akan bergerak serempak, atau hanya aku sendiri?"

"Ya tentu saja semuanya, Pangeran. Pangeran, aku, Yo Goan-tong, pasukan kirimannya Pangeran To Ji-kun, juga pasukan-pasukan ibu kota yang sebelum ini sudah menyanggupi mendukung kita. Pokoknya, semua bergerak serempak."

Malu juga Pangeran Seng-ong kalau harus terus-terusan menunjukkan takutnya. Akhirnya diapun membulatkan tekad dengan membayangkan kemenangan saja. "Baiklah, Kong-kong. Nanti sebelum jam cu-si (kira -kira antara jam sebelas malam sampai jam satu pagi), orang-orangku sudah siap di sini."

"Dan begitu tengah malam langsunglah bergerak tanpa menunggu beritaku. Inilah detik-detik mati hidup, hancur atau jaya!"

Setelah itu cepat-cepat Co Hua-sun berlalu karena kuatir direngeki macam-macam lagi oleh si bangsawan ambisius tapi penakut itu. Tiba di luar bangsal itu, sekejap Co Hua-sun menoleh ke arah bayangan Pangeran Seng-ong sambil tersenyum dingin, lalu pergi.


Buat ratusan orang mati yang berbaring di bawah tanah itu, jalannya waktu sudah tidak mempengaruhi lagi. Cuma jantung yang masih berdenyut yang masih deg-degan menanti tengah malam tiba. Antara lain jantung Helian Kong, la duduk di atas batu nisan dan sedang menunggu munculnya Ko Ban-seng. Saat itu baru saja mulai jam Cu-si, lebih kurang satu jam sebelum tengah malam.

Untuk menahan hawa dingin, Helian Kong agak banyak menenggak arak murahan di warung lampu merah, yang dibelinya dengan keping-keping terakhir uangnya. Arak yang agak sengak, tapi lumayan buat menghangatkan darah.

Entah sudah tengah malam atau belum karena di kuburan memang tidak butuh tanda waktu, tahu-tahu Ko Ban-seng muncul beberapa langkah di depan Helian Kong. Seperti hantu saja. Tidak tahu dari arah mana datangnya atau bagaimana caranya, tahu-tahu muncul begitu saja, sehingga Helian Kong harus mengakui dalam hati kalau kakek gendut ini memang amat sakti.

Sementara Ko Ban-seng sambil tertawa terkekeh-kekeh telah duduk pula di hadapan Helian Kong, "He-he-he, waktu pertemuan kita sedikit lebih awal ya?"

"Tidak apalah, pokoknya ketemu."

"Apa saja yang kau lakukan hari ini?"

"Itu bukan urusanmu, sebab tidak termasuk dalam perjanjian kita. Akupun tidak tanya apa saja yang kau lakukan hari ini. Sekarang aku cuma menagih janji, kau bilang akan membawakan bukti-bukti pengkhianatan Co Hua-sun. Mana?"

"Sudah kau temukan orang yang tepat untuk membawa bukti-bukti itu ke hadapan Kaisarmu?"

"Sudah."

Ko Ban-seng mengangguk percaya, lalu dari dalam bajunya dia merogoh seikat surat-surat gulungan, sambil berkata, "Surat-surat ini kutemukan dalam kantong kedua perwira sandi Manchu itu. Inilah bukti-bukti yang akan menjatuhkan Co Hua-sun."

"Apa isinya?"

"Surat-menyurat antara Pangeran Seng-ong dan Pangeran To Ji-kun. Antara lain disebut-sebut tentang peminjaman pasukan, pemberian wilayah kerajaan kepada orang Manchu dan sebagainya."

Ketika berkas itu diserahkan, Helian Kong menyambarnya bagaikan orang kelaparan melihat roti. Katanya, "Kalau tidak bisa menggebrak Co Hua-sun secara langsung, boleh juga menggebrak Pangeran Seng-ong lebih dulu. Dia komplotannya. Kalau Pangeran Seng-ong ditangkap dan ditanyai tentang komplotannya, pasti akan merembet Co Hua-sun juga. Bagus."

Namun Helian Kong tiba-tiba merasa tangannya memegang angin, sebab sebelum berkas itu dapat disambarnya, Ko Ban-seng telah menariknya kembali secepat kilat, sambil berkata, "Tunggu dulu."

"Ada apa lagi?"

"Dua muridku dan tiga teman mereka, saat ini berada dalam penjara kerajaan. Bagaimana dengan nasib mereka?"

"Ini tidak termasuk perjanjian kita kemarin. Lagi pula aku tidak bisa menjanjikan apa-apa yang tidak ada di tanganku. Kelima orang itu tidak di tanganku, silakan kau berurusan langsung dengan Co Hua-sun."

"Hem, jawaban khas pegawai-pegawai kerajaan." ejek Ko Ban-seng, lalu suaranya menirukan suara Helian Kong tadi, "Bukan mejaku yang mengurusnya, meja yang sana. Sampai di meja yang sana, jawabannya ya sama saja."

Muka Helian Kong panas mendengar sindiran itu, tapi kenyataannya ya memang begitulah cara kerjanya pegawai-pegawai kerajaan. Helian Kong tak mau membantahnya, ia lebih suka meluruskan kembali pembicaraan ke pokok persoalan,

"Pokoknya, mau berikan berkas itu tidak? Kalau ya, kami berterima kasih. Kalau tidak, berarti kauberikan kelompok Co Hua-sun tetap merajalela dan menggadaikan tanah air kepada Bangsa Manchu. Hal ini akupun tidak bisa memaksamu."

Ko Ban-seng menggerung gusar, telapak tangannya menebas ke samping dan robohlah sebatang pohon yang hampir sebesar perut orang. Roboh seolah habis ditebas dengan kampak raksasa.

Helian Kong biarkan saja kakek gendut itu melampiaskan kemarahannya, sementara dalam hati Helian Kong sendiri juga merasa sedih dan kecewa akan kebobrokan dan kelemahan pemerintah kerajaan. Untuk mendongkel Co Hua-sun, terpaksa harus memanfaatkan "Jasa" kaum pemberontak yang sebenarnya juga musuh pemerintah.

Seperti "melawan racun dengan racun" dengan resiko keracunan sendiri. Apa boleh buat. Sebab kalau mencoba menggusur Co Hua-sun lewat cara- cara resmi dalam pemerintahan, sudah dicoba puluhan kali, dan setiap kali malah si penggusur sendiri yang kena bencana. Tak lain karena banyaknya kaki tangan Co Hua-sun dalam pemerintahan.

Tapi saat itu, baik tentara Kerajaan maupun laskar pemberontak ternyata sama-sama takut kalau sampai Tentara Manchu berhasil melewati Tembok Besar. Karena itulah pihak pemberontak pun ingin komplotan Co Hua-sun dihapuskan.

"Bagaimana pak tua? Mau kerja sama kita dilanjutkan atau tidak?" tanya Helian Kong.

Akhirnya dengan kesal Ko Ban-seng membanting berkas itu ke tanah sambil menggeram, "Ambillah!"

Terpaksa Helian Kong harus merangkak-rangkak mengumpulkan kertas-kertas yang bertebaran itu. Tetapi ketika Ko Ban-seng hendak berlalu, berkatalah Helian Kong, "Pak tua, untuk membebaskan murid-muridmu, aku hanya bisa memberimu semacam pikiran, tapi pelaksanaannya terserah kau sendiri."

"Cara apa?"

"Gunakan kedua perwira Manchu yang kau tangkap itu untuk ditukarkan dengan murid-muridmu dan ketiga kawannya."

"Huh, itu bukan bantuan namanya, sebab akupun sudah memikirkannya!" Lalu berlalulah Ko Ban-seng sambil mengutuk habis-habisan.

Ketika itulah Helian Kong sayup-sayup mendengar bunyi lonceng tengah malam dari arah istana. Helian Kong anggap hal itu hal rutin yang tidak perlu digubris.


Malam itu Tan Wan-wan meladeni nafsu Kaisar Cong-ceng, sebenarnya dengan perasaan jemu. Namun Tan Wan-wan melakukan peranannya sebaik mungkin, sebab tindakannya itu bukan mengharapkan kenikmatan jasmaniah yang pasti takkan diperolehnya dari lelaki yang usianya hampir tiga kali lipat usianya itu.

Ia lakukan itu untuk tetap "mengikat" Kaisar dan aman di sampingnya, sebab saat itu Co Hua-sun sedang mencoba mendongkelnya. Maka Tan Wan-wan harus berusaha keras agar tetap digandrungi Kaisar, harus memuaskan Kaisar. Bahkan diapun harus berpura-pura mendapat puncak kenikmatan untuk menjaga agar harga diri Kaisar tidak terluka. Harga diri sebagai lelaki yang sebenarnya sudah tidak perkasa lagi, namun berlagak masih kuat.

Memang pesona keindahan jasmaniah Tan Wan-wan telah membelit Kaisar Cong-ceng demikian rupa. Ia seorang yang lemah pribadinya, yang memimpin negara bukan karena kemampuannya, tapi karena warisan leluhurnya.

Maka biarpun belakangan ini Co Hua-sun sering menganjurkan agar Tan Wan-wan disingkirkan, sambil menuduh Tan Wan-wan sebagai orang yang diselundupkan oleh kaum pemberontak, namun Kaisar tetap tidak menghiraukannya.

Memang sering ragu-ragu, tapi hanya sebentar. Setelah Tan Wan-wan menggunakan pesona kecantikan dan keindahan tubuhnya, maka Kaisarpun lupa semua omongan Co Hua-sun. Kaisar benar-benar tak mungkin lepas dari Tan Wan-wan.

Ketika tambur di menara istana berbunyi sebagai tanda tengah malam, Tan Wan-wan sedang membantu Kaisar mengelap keringatnya, lalu membantunya mengenakan pakaiannya sambil disertai kata-kata mesra dari kedua belah pihak.

Setelah itu Tan Wan-wan pun membersihkan diri dan mengenakan pakaiannya. Namun tiba-tiba di luar bangsal itu ada suara ribut-ribut orang-orang berlari-lari, disusul suara pertempuran yang makin lama makin dekat ke bangsal itu. Keruan Kaisar Cong-ceng mengerutkan alisnya. Dipanggilnya seorang dayang untuk diperintahkan melihat apa yang terjadi di luar.

Tidak lama kemudian, dayang itu kembali ke hadapan Kaisar dan Tan Wan-wan dengan wajah tegang, dan laporannya memang mengejutkan, "Tuanku, Pangeran Seng-ong menyerbu kemari bersama pengikutnya, sekarang mereka sedang bertempur dengan pengawal-pengawal pribadi Tuanku."

Kaisar kaget dan sulit percaya, "Adinda Seng-ong?"

"Benar, Tuanku."

Tentu saja Kaisar Cong-ceng sulit mempercayai, sebab selama ini Pangeran Seng-ong tidak menunjukkan tanda-tanda berambisi menduduki tahta atau ambisi politik lainnya. Hidupnya seperti pertapa" di bangsalnya, dan kini tiba-tiba dia datang menyerbu, tentu saja Kaisar amat terkejut.

Namun Tan Wan-wan tidak kaget, karena justru dialah yang tahu pertama kali persekongkolan Pangeran Seng-ong, Co Hua-sun dan orang-orang Manchu. Tan Wan-wan mengetahuinya lewat jaringan mata-matanya sendiri di dalam istana itu.

Hanya saja ia belum mengungkapkannya kepada Kaisar sebab sulit dibuktikan. Kalau gagal membuktikannya malah Kaisar takkan percaya lagi kepadanya. Karena itulah Tan Wan-wan hanya mengirimkan kabar kepada Jenderal Li Giam lewat burung merpati. Kini gerakan Pangeran Seng Ong itu tidak lagi mengagetkan Tan Wan-wan.

Sementara itu, Kaisar bergegas keluar bangsal diikuti Tan Wan-wan, dan apa yang dilihatnya di tempat itu membuatnya gemetar ketakutan. Dilihatnya ratusan orang pengikut Pangeran Seng-ong menyerbu dengan ganas. Pengawal-pengawai Kaisar bertahan dengan gigih.

Namun jumlah mereka kalah banyak dan juga tidak menduga akan datangnya serangan itu. Banyak pengawal Kaisar sudah bergelimpangan, sedang kaum penyerbu terus mendesak maju dengan beringas.

"Adinda Seng-ong! Apa yang sedang kau lakukan?!" dari serambi bangsal itu Kaisar berteriak kepada Pangeran Seng-ong. Suara itu hampir tenggelam oleh hiruk-pikuknya pertempuran, namun Pangeran Seng-ong masih bisa mendengarkan.

"Aku harus menyelamatkan tahta warisan leluhur kita, karena kakanda tidak becus mengurusnya!" Teriak Pangeran Seng-ong dari seberang.

Waktu itu Pangeran Seng-ong memang sudah percaya benar-benar akan omongan Co Hua-sun. la yakin sedang bergerak serempak bersama sekutu-sekutunya, maka ia jadi bersemangat sekali dan mengira singgasana sudah tinggal selangkah di depannya.

Diikuti sekelompok pengawal-pengawal andalan, Pangeran Seng-ong sendiri maju, mencoba menyelinap di antara hiruk-pikuknya pertempuran. Ia berusaha mendekati Kaisar Cong-ceng. Melihat itu, keruan saja Kaisar menggigil ketakutan. Hilang rasa malunya, biarpun di dekatnya ada Tan Wan-wan.

Malah Tan Wan-wanlah yang bersikap lebih tenang. Biarpun suaranya kedengaran tetap halus dan merdu, namun tidak ada tanda-tanda lemah atau ketakutan, "Mana pengawal? Lindungi Sri Baginda lebih dulu!"

Terasa aneh juga suara seorang perempuan semerdu itu di tengah suara ratusan lelaki yang tengah berteriak-teriak sampai parau untuk menyabung nyawa. Sekelompok pengawal Kaisar segera membentuk pagar betis di depan Kaisar Cong-ceng dan Tan Wan-wan.

Pangeran Seng-ong maju terus sambil mengacungkan pedangnya, dan berteriak, "Kakanda, menyerah sajalah! Suruh juga pengikut-pengikutmu yang tolol itu menyerah pula!"

Sementara Pangeran Seng-ong membentak-bentak, Kaisar cuma berdiri dengan lutut gemetar, bibirnya bergerak-gerak tetapi tidak mampu mengeluarkan suara saking takutnya. Malah pelan-pelan ia bergeser ke belakang tubuh Tan Wan-wan untuk berlindung. Lenyaplah keagungan sebagai Kaisar dan sebagai lelaki.

Sementara Tan Wan-wan malahan berdiri tegak seperti seorang jenderal di medan perang. Katanya keras, "Pangeran! Malam ini kau sudah membuka kedokmu dan memperlihatkan wajahmu sendiri, wajah seorang pengkhianat! Karena itu kaupun tidak akan diperlakukan sebagai keluarga istana lagi, tapi sebagai pengkhianat!"

Lalu kepada pengawal-pengawal di sekitar Kaisar, Tan Wan-wan berseru, "Serang!"

Wibawa Tan Wan-wan ternyata benar-benar seperti seorang jenderal, sehingga pengawal-pengawal Kaisar pun serempak menghadapi Pangeran Seng-ong dan pengawal-pengawalnya pula.

Pangeran Seng-ong lalu memaki Tan Wan-wan, "Pelacur murahan, kaulah biang keladi kekalahan tentara pemerintah selama ini. Kau adalah mata-mata Li Cu-seng yang diselundupkan ke istana untuk melemahkan kami! Kau bisa mengelabuhi Kaisar tolol itu, tetapi tidak mungkin mengelabuhi aku!"

"Kau sendiri yang sudah menunjukkan belangmu, kenapa menyeret-nyeret orang lain?" balas Tan Wan-wan.

Pangeran Sen-ong menjadi gusar, lalu menyuruh orang-orangnya untuk menggempur lebih hebat lagi. Namun pengawal-pengawal Kaisar pun bertahan dengan gigih. Karena kelebihan banyak orang, Pangeran Seng-ong kemudian memerintahkan sebagian orang-orangnya membuat gerakan melengkung di kedua samping bangsal untuk mengepung. Setelah mengepung terus menekan ke bagian tengah.

Sekelompok pengikut Pangeran Seng-ong dengan senjata-senjata terhunus berlari menyusuri lorong pembatas antara serambi bangsal dengan kolam di sekeliling bangsal, mereka menyerbu kearah Kaisar padahal di lorong itu tidak terjaga oleh pengawal Kaisar.

Hampir-hampir Kaisar pingsan ketakutan melihat itu, tangannya berpegang kuat-kuat ke tubuh dan pundak Tan Wan-wan agar tidak roboh. Namun Tan Wan-wan cepat mengambil prakarsa, ditariknya tangan Kaisar untuk diajak lari ke ujung lain lorong itu, sambil berkata, "Cepat Tuanku."

Tan Wan-wan berbuat demikian bukan untuk menyelamatkan Kaisar karena sayang, namun lebih tepat kalau dikatakan menyelamatkan "Tempat persembunyian"nya sendiri, la tahu, kalau pengikut Pangeran Seng-ong menang dan berhasil membunuh Kaisar, maka dirinyapun akan ikut dibunuh, lagi pula kemenangan Pangeran Seng-ong yang didalangi orang Manchu itu takkan menguntungkan perjuangan Joan-ong.

Pengikut-pengikut Pangeran Seng-ong itu terus memburu sepanjang lorong. Melihat betapa Kaisar lari tertatih-tatih dengan napas megap-megap setengah diseret Tan Wan-wan, sedang para pengejarnya berlari cepat dan dengan langkah lebar-lebar.

Maka sebentar lagi Kaisar Cong-ceng agaknya akan kehilangan nyawa. Pengikut-pengikut Pangeran Seng-ong itu sudah mendapat janji akan memperoleh hadiah besar bagi yang dapat memenggal kepala Kaisar Cong-ceng.

Namun mendadak dari sebuah persimpangan lorong, muncul sekelompok orang bersenjata lain, yang anehnya semuanya adalah gadis-gadis muda. Mereka semuanya berpakaian ringkas, membawa senjata, dan langsung menghadang di jalan yang akan dilalui orang-orangnya Pangeran Seng-ong.

Ternyata gadis-gadis ini tidak Ingin bertempur secara langsung, karena mereka tentu akan kalah tenaga dari para lelaki. Dengan cekatan mereka menyiapkan busur dan panah mereka, lalu dengan rapi mereka mengatur diri. Yang di depan berjongkok sebelah lutut, yang di belakang berdiri, dengan tangkas gadis-gadis itu lalu melepaskan panah ke arah pengikut-pengikut Pangeran Seng-ong yang sedang mengejar Kaisar itu.

Keruan pengikut-pengikut Pangeran Seng-ong itu kaget, sebab mereka tengah berada di sebuah gang yang tidak memberi banyak kemungkinan untuk menghindar. Sebelah kiri tembok, sebelah kanan kolam. Orang-orang paling depan lalu memutar-mutar senjata, berusaha menangkis panah.

Namun beberapa orang roboh terpanah sehingga bergelimpangan di lantai atau mencebur ke kolam. Ada juga yang sempat berlindung di balik tiang-tiang bangsal yang besarnya sepelukan orang itu.

Gadis-gadis itu tak lain adalah dayang-dayang Puteri Tiang-ping. Mereka secara bergiliran sering diajak Puterl Tiang-ping berburu dl luar kota, sehingga tidak asing lagi dalam soal memanah. Pemimpin mereka kali Ini adalah Pek-hong, yang dendam kepada kelompok Co Hua-sun yang telah menyebabkan matinya Hui-hun, sahabatnya. Dan kinilah saatnya Pek-hong melampiaskan dendam dengan barisan panahnya.

Maka serangan panahnya tidak hanya sekali, tapi berturut-turut dan begitu gencar. Bahkan setelah pengikut-pengikut Pangeran Seng-ong itu mundur kocar-kacir sepanjang lorong, Pek-hong memimpin kawan-kawannya untuk mengejar dengan melompati mayat-mayat musuh di lantai.

Kaisar dan Tan Wan-wan berhenti berlari dan memperbaiki napasnya. Kaisar merasa agak lega melihat ketangkasan dayang-dayang puterinya itu. Namun hanya lega untuk sementara. Di seluruh arena pertempuran, pengawal-pengawal Kaisar makin terdesak, terjepit dan tercerai-berai menghadapi gelombang pengikut Pangeran Seng-ong yang berjumlah banyak dan makin bersemangat. Bangsal itu terkepung oleh pengikut-pengikut Pangeran Seng-ong.

"Mana pasukan pengawal lainnya, kenapa belum datang?" gugup dan terengah-engah Kaisar berucap.

Melihap sikap serta ketakutan dari Kaisar Kerajaan Beng ini, diam-diam Tan Wan-wan mengejek dalam hati, "Dengan mempertahankan pimpinan macam ini, pastilah kerajaan akan segera roboh dan digantikan pemerintahan baru yang bakal didirikan oleh Joan-ong."

Suasana jadi tambah menciutkan nyali, ketika di seluruh sudut bangsal itu terdengar sorak gemuruh pengikut-pengikut Pangeran Seng-ong yang meningkat semangatnya.

"Hidup Paduka Seng-ong, Kaisar yang baru!"

"Singkirkan Kaisar yang lemah di bawah ketiak perempuan!"

"Pulihkan kebesaran dinasti Beng!"

Pihak Pangeran Seng-ong agaknya sudah yakin benar bahwa malam itu mereka akan menang. Pangeran Seng-ong akan naik tahta, dan pengikut-pengikutnya pasti akan kecipratan rejeki pula.

Namun sebenarnya Pangeran Seng-ong sendiri mulai merasa bimbang. Ia melihat pengawal-pengawal Kaisar masih gigih bertahan biarpun sudah banyak korban. Pangeran Seng-ong mengharapkan sekutu-sekutunya segera muncul membantu untuk cepat-cepat membereskan Kaisar Cong-ceng.

Tetapi kenapa sampai detik itu belum muncul juga? Bagaimana kalau istana itu keburu "dibanjiri" pasukan-pasukan yang setia kepada Kaisar, yang diundang dari luar istana? Tentu pihaknyalah yang bakal tenggelam lebih dulu.

Ingat hal itu, segera Pangeran Seng-ong menjadi takut sendiri, sebab sifat dasarnya memang penakut. Kalaupun malam itu ia muncul keberaniannya, itulah keberanian semu yang "dipompakan" oleh Co Hua-sun, bukan dari dirinya sendiri. Dan ketika kebimbangannya menghebat, dengan sendirinya keberaniannya pun sedikit demi sedikit mulai gembos.

Mana sekutu-sekutunya? Mana bukti janji Co Hua-sun bahwa malam itu semua kekuatan pendukung akan "bergerak serempak" termasuk "pasukan Pangeran To Ji-kun"? Apalagi ketika udara malam tiba-tiba tergetar oleh lonceng di menara samping aula Gin-loan-tian, lonceng yang berarti undangan kepada pasukan-pasukan lain untuk menolong Kaisar.

Di tengah-tengah pengikutnya, Pangeran Seng-ong mulai celingukan gelisah. Tengok sana tengok sini, mencari teman-temannya. Tapi sesaat kemudian seorang pengikutnya dengan gembira berseru, "Lihat! Co Kong-kong!"

Memang saat itu nampak rombongan thai- kam datang membawa senjata dan obor yang diangkat tinggi-tinggi. Nampak Co Hua-sun muncul diapit Wan Hoa-im dan Bu Goat-long. Co Hua-sun yang bertubuh tinggi dan gemuk itu, membawa pedang dan mencoba menerobos ke arah Kaisar yang masih berdiri gemetar di samping Tan Wan-wan.

Pengikut-pengikut Pangeran Seng-ong tidak menghalangi, sedang pengawal-pengawal Kaisar tidak sempat mencegah karena jumlah mereka makin sedikit dan makin kerepotan menghadang lawan mereka.

Melihat langkah Co Hua-sun yang tidak terhalangi menuju ke dirinya dan Kaisar, Berkeringat dinginlah Tan Wan-wan. Dalam hati ia sudah berdoa kepada arwah leluhurnya, mengira malam itu juga akan berakhirlah hidupnya di ujung pedang kawanan Co Hua-sun.

Namun seolah-olah mimpi Tan Wan-wan ketika melihat Co Hua-sun setibanya di depan Kaisar lalu menyarungkan pedang dan berlutut, sambil bertanya, "Ampunilah hamba Tuanku, hamba datang terlambat sehingga Tuanku mengalami sedikit hinaan. Tapi apakah yang terjadi?"

Tan Wan-wan tercengang. Setahunya Co Hua-sun dan Pangeran Seng-ong itu satu komplotan, sekarang Co Hua-sun bersikap seperti ini, apa yang dimaksudkannya? Sedangkan Kaisar yang memang dak tahu sama sekali akan persekongkolan Co Hua-sun dengan Pangeran Seng ong, kini gembira melihat datangnya si "dewa penolong" ini.

"Adinda Seng-ong berkhianat!" kata Kaisar dengan bibir masih pucat dan gemetar, namun perlahan-lahan keberaniannya datang kembali.

Co Hua-sun pura-pura terkejut, lalu menunjukkan kegusarannya. Tiba-tiba ia bangkit dan menghunus pedang, lalu berteriak kepada para pengiringnya, "Tumpas habis semua pengkhianat! Jangan biarkan hidup seorangpun! Kita tunjukkan kesetiaan kita kepada Kaisar!"

Maka sepuluh ribu thai-kam bersenjatapun serempak bergerak menggempur pengikut-pengikut Pangeran Seng-ong. Tentu saja Pangeran Seng-ong kaget sekali. Sekutu yang diharapkan membantu itu, tiba-tiba berubah jadi lawan.

Dari tengah-tengah pengawalnya, Pangeran Seng-ong berteriak, "Co Kong-kong! Mengapa kau...?"

Co Hua-sun tidak membiarkan Pangeran itu bicara terlalu banyak. Secepat kilat direbutnya busur dan anak panah dari seorang anak buahnya yang berdiri di dekatnya, lalu dengan tangkas ia memanah. Ternyata Co Hua-sun seorang pemanah yang lumayan ulung, anak panahnya melesat mantap, tepat masuk ke mulut Pangeran Seng-ong yang sedang terbuka dan tembus sampai muncul di tengkuk.

Robohlah si bangsawan bernasib malang yang memang sengaja dikorbankan untuk menyelamatkan kerahasiaan rencana Co Hua- sun. Setelah kini Co Hua-sun tampil sebagai "penyelamat", tentu saja para penuduh kelak akan kehilangan dasar untuk menuduh Co Hua-sun.

Pengikut-pengikut Pangeran Seng-ong yang semula dengan garang mendesak, sekarang jadi mawut tak karuan karena tanpa pimpinan. Banyak yang sebetulnya ingin meletakkan senjata dan menyerah saja, tapi janji pengampunan belum diperdengarkan dari pihak lawan.

Dan memang tak akan pernah dikumandangkan, sebab perintah Co Hua-sun cukup jelas dan diulang-ulang, "Tumpas semua pengkhianat! Jangan ditinggalkan hidup seorangpun!"

Jadi sudah jelas tidak ada ampun buat pengikut Pangeran Seng-ong, maka mereka jadi putus asa lalu nekad, melawan dengan kalap. Kini mereka digencet dari segala arah oleh gabungan pasukan yang digerakkan Co Hua-sun, maupun pasukan-pasukan yang setia kepada Kaisar yang telah berdatangan ke tempat itu.

Wan Hoa-im dan Bu Goat-long nampak mengamuk hebat membabati orang-orangnya Pengeran Seng-ong. Kedua thai-kam jagoan itu sebetulnya agak tidak menduga kalau justru harus menumpas pasukan Pangeran Seng-ong. Tadinya mereka mengira kalau mereka akan melakukan langkah terakhir dalam rencana mereka, yaitu merebut tahta dengan kekerasan lalu menobatkan Pangeran Seng-ong sebagai Kaisar baru.

Tak terduga Co Hua-sun merasa perlu untuk lebih dulu "mundur selangkah" demi selamatnya seluruh rencana. Unsur penentu keberhasilan rencana itu adalah pasukan Manchu yang kuat, yang akan diselundupkan ke istana untuk membantu Co Hua-sun, sesuai dengan janji Pangeran To Ji-kun. Ternyata sampai detik itu pasukan Manchu belum datang juga, padahal Ngo Tat dan Sek Hong-hua sudah tertangkap musuh.

Co Hua-sun kuatir kalau perwira sandi Manchu itu disiksa dan akhirnya membocorkan rencananya, entah bocornya ke kuping orang- orang yang setia kepada Kaisar, ataupun ke kuping orang-orangnya Li Cu-seng, buat Co Hua-sun sama bahayanya. Orang-orang Li Cu-seng bisa saja menyebarkan bukti-bukti itu sambil tetap bersembunyi.

Maka terpaksa Co Hua-sun harus mengorbankan Pangeran Seng- ong dan dirinya sendiri tampil sebagai "pahlawan" sehingga kelak kalau ada yang menuduhnya, Co Hua-sun bisa mengemukakan jasanya menyelamatkan Kaisar itu sebagai "bukti kesetiaan" untuk menangkal tuduhan.

Jalan pikiran Co Hua-sun itu bisa dipahami oleh Wan Hoa-im dan Bu Goat-long, karena mereka sudah biasa bergaul dengan Co Hua- sun. Maka mereka berdua dengan kejam ikut membantai pengikut-pengikut Pengeran Seng- ong, sekutu yang dikorbankan itu. Yang ikut melaksanakan pembantaian itu Yo Goan-tong, yang juga sekutu Co Hua-sun maupun Pangeran Seng-ong. la berasal dari kalangan prajurit luar istana.

Meskipun Yo Goan-tong setiap kali mengayunkan pedang membunuh pengikut Pangeran Seng-ong, namun ia merasa kengerian luar biasa dalam hati. Inilah ternyata cara kerja Co Hua-sun. Kalau Pangeran Seng-ong sebagai sekutu penting saja bisa dijerumuskan dan dikorbankan demikian rupa, tidak mungkin kah sekutu lain juga dikorbankan demi kelancaran rencana? Termasuk diriku? pikir Yo Goan-tong.

Sulit menyesuaikan perasaan dengan tindakan, sehingga Yo Goan-tong seperti kehilangan keseimbangan jiwa. Bagaimanapun ia masih memiliki hati nurani. Terbayang betapa akrabnya ia sore tadi bermain catur dengan Seng-ong, ketika tiba-tiba Co Hua-sun datang, menyuruhnya pergi menyiapkan pasukan, lalu Co Hua-sun sendiri bicara kepada Pangeran Seng-ong.

Biarpun Yo Goan-tong tak pernah mendengar perbincangan itu, namun ia dapat memperkirakannya sekarang. Kurang lebih, Co Hua-sun tentu membohongi Pangeran goblok itu agar menyerang Kaisar, agar Co Hua-sun sendiri bisa tampil sebagai pahlawan penyelamat. Dan kini Pangeran Seng-ong terkapar dengan panah menembus mulutnya.

Karena itulah Yo Goan-tong hanya bertempur setengah hati. Cara kerja Co-Hua-sun ternyata demikian menakutkan. Bukan hanya mengorbankan musuh, tapi teman sendiripun kalau perlu dikorbankan, rencananya lebih penting dari segala-galanya. Sedangkan pasukan Yo Goan-tong hanya pelaksana perintah, tidak tahu apa-apa tentang intrik-intrik istana.

Mereka disuruh membunuh, ya merekapun membunuh sepenuh hati. Mereka cuma taat perintah Tan Wan-wan juga ngeri melihat pembantaian itu, samar-samar ia dapat membayangkan bagaimana Co Hua-sun bertindak terhadap sekutunya sendiri.

Pikir Tan Wan-wan, "Pantas Kerajaan Beng morat-marit, karena tokoh tak bermoral macam Co Hua-sun justru pegang peranan kunci di pusat pemerintahan."

Hanya si Kaisar malas berpikir sajalah yang tidak mengerti maksud tindakan Co Hua-sun itu, tidak mencium adanya kebusukan di balik semuanya itu. Kaisar tetap menganggap Co Hua-sun sebagai penolong, dan memang itulah yang diperhitungkan oleh Co Hua-sun.

Pembantaianpun selesai sebelum fajar. Ratusan mayat bertebaran. Co Hua-sun segera berkeliling arena untuk menanyai Wan Hoa-im, Bu Goat-long dan Yo Goan-tong, untuk meyakinkan benar-benar bahwa Pangeran Seng-ong dan semua pengikutnya benar-benar sudah dihabiskan dan tidak ditinggalkan hidup seo-rangpun. Ini penting demi kerahasiaan rencana Co Hua-sun.

Yang pertama didekatinya adalah Wan Hoa-im, "Tadi kau bertempur di sebelah sini?"

"Benar, Thai-kong-kong."

"Yakin tidak ada pengikut Pangeran Seng-ong yang lolos melewatimu?"

"Tidak ada...." sahut Wan Hoa-im bangga. "Aku bukan hanya bertempur, tapi juga mengawasi kerja anak buahku. Aku yakin tak seorangpun pengikut Pangeran Seng-ong yang lolos."

"Bagus..!"

Lalu didekatinya Bu Goat-long yang tadi bertempur di sebelah lain. Pertanyaannya sama, dan iapun mendapat jawaban sama. Lalu giliran Yo Goan-tong untuk didekati dan ditanyai. Co Hua-sun agak heran melihat sekutunya itu bermuka pucat, wajahnya gugup dan bertingkah serba salah, apa lagi ketika didekatinya. Senyuman Co Hua-sun kini tampak di mata Yo Goan-tong seperti seringai hantu bertaring yang amat mengerikan.

Ketika Co Hua-sun menepuk pundaknya, hampir saja Yo Goan-tong melompat kabur. Melihat gerak-gerik Yo Goan-tong yang aneh itu, terpaksa pertanyaan pertama Co Hua-sun tidak sama dengan yang untuk Wan Hoa-im maupun Bu Goat-long, "Yo Cong-peng, kenapakah kau? Apakah kurang sehat?"

"Tidak apa-apa... eh, ya.... sedikit kurang enak.... tapi, eh, tidak apa-apa...." jawabannya tak keruan, dan sambil menunduk untuk menghindari tatapan mata Co Hua-sun.

"Ada apa sebenarnya, Cong-peng?"

"Mungkin... mungkin agak masuk angin. Nanti juga.... baik sendiri kalau sudah minum obat...."

"Kalau begitu, istirahatlah dulu di rumah...." suara Co Hua-sun begitu manis.

Namun Yo Goan-tong malahan semakin ngeri. "Ya.... terima kasih, aku mohon diri sekarang."

"Sebentar, aku tanya dulu. Tadi kau bertempur di sebelah mana?"

"Di sisi sebelah bangsal."

"Yakin tidak ada pengikut Pangeran Seng-ong yang lolos, sesuai dengan perintahku?"

Perut Yo Goan-tong mual sedikit, maka dijawabnya sekenanya saja, "Yakin, Kong-kong...."

"Baiklah. Sekarang pulang istirahatlah baik."

Yo Goan-tong pun segera menyerahkan sementara pimpinan pasukannya kepada wakilnya, lalu ia sendiri bergegas meninggalkan istana. Ia jalan sendirian di tempat sepi. Dan ketika tiba di sebuah tempat di mana tak dilihat orang lain, tiba-tiba ia membungkuk dan memegang perutnya.

Lalu muntah-muntah habis-habisan, sampai air kecut dalam perutpun ikut keluar. Muntahnya bukan karena masuk angin, tapi karena ketakutan tertahan terhadap Co Hua-sun. Pembantaian Pangeran Seng-ong malam itu terlalu keji buatnya.

Kemudian ia berjalan sempoyongan sambil berpegang apa saja di tepi jalan. Malam gelap. Sebentar-sebentar ia menoleh ke belakang, angin malam yang berhembus dingin serasa Pangeran Seng-ong sedang mengikutinya dan meniup-niup tengkuknya.

Yo Goan-tong tiba-tiba bergidik ngeri, lalu berlari kencang. Ia bahkan tidak berani pulang ke rumahnya. Takut didatangi arwah Pangeran Seng-ong? Ya. Tapi yang lebih menakutkan lagi ialah kalau didatangi orang-orangnya Co Hua- sun yang jangan-jangan mulai curiga kepadanya, dan ingin menumpasnya sekalian?

Maka ia tidak menuju ke rumahnya, bahkan jalan-jalan besarpun dihindarinya. Ia takut kalau-kalau ketemu orang hidup, maka langkahnya tak sadar membawanya ke tempat orang-orang mati. Kuburan. Kuburan itu masih gelap menjelang pagi.

Di antara gundukan-gundukan tanah itu tiba-tiba Yo Goan-tong malah merasa amat tenteram. Ia merebahkan diri dan menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. Sebagai prajurit, mati di medan tempur sungguh tak pernah ditakutinya, tetapi mati untuk dijadikan umpan seperti Pangeran Seng-ong, benar-benar terlalu mengerikan. Mati di puncak harapannya karena harapan itu dikorbankan oleh Co Hua-sun, sesudah itu Co Hua-sun sendiri yang menikam punggungnya.


Saat menjelang fajar itu, justru Helian Kong baru saja meninggalkan kuburan untuk menuju ke rumah Menteri Siangkoan. Langkahnya bersemangat, sebab ia mengantongi bukti yang diharapkan bisa membongkar komplotan Co Hua-sun. Bukti yang akan dihadapkan kepada Kaisar. Helian Kong yakin kali ini komplotan Co Hua-sun tidak mungkin lagi berkelit dari jaring, itulah yang membuatnya gembira sekali.

Namun begitu tiba di jalanan, Helian Kong merasakan suasana Pak-khia agak lain. Nampak penjagaan pasukan yang lebih ketat di jalan-jalan, sehingga Helian Kong menduga adanya perkembangan baru. Dengan ilmu meringankan tubuh yang lihai, mudah bagi Helian Kong untuk menghindari prajurit-prajurit itu dan terus ke rumah Menteri Siangkoan. Apalagi saat itu pagi masih gelap berkabut.

Namun, semakin dekat ke rumah Siangkoan Hi, semakin nampak ketat penjagaan prajurit. Mereka berjubel di jalan-jalan, di halaman-halaman rumah, gang-gang sempit, di mana saja ada tempat untuk berdiri. Helian Kong jadi kaget karenanya.

"Celaka... jangan-jangan Co Hua-sun sudah lebih dulu mencium rencana kami, lalu dia mau menangkap Menteri Siangkoan?" kecemasan akan nasib menteri tua itupun berkecamuk dalam diri Helian Kong.

Helian Kong lalu berlompatan dari atap ke atap, mendekati rumah Siangkoan Hi. Namun seorang prajurit tanpa sengaja menengadah dan melihat Helian Kong lalu prajurit itupun berteriak, "Ada orang datang!"

Dan karena datangnya berlompatan lewat wuwungan, tentu saja menimbulkan kecurigaan. "Cegah! Jangan sampai berhasil mendekati rumah Siangkoan Tai-jin!"

"Gunakan panah!"

"Beritahu teman yang lain agar bersiaga!"

Begitulah, puluhan batang anak panah segera menghambur ke arah Helian Kong. Helian Kong mencabut Tiat-eng Pokiam dan diputar begitu rapat sehingga mirip sebuah perisai lebar, meruntuhkan semua anak panah, sambil tetap melesat maju. Banyak pemanah lalu memanjat tembok, mencari tempat lebih tinggi agar dapat lebih cermat menembakkan panah-panah mereka.

Helian Kong terus melaju sambil mengobat- abitkan pedang, hatinya makin dipenuhi perasaan marah dan menyesal. Marah karena ia mencemaskan nasib keluarga Siangkoan yang selama ini baik terhadapnya, dan menyesal karena merasa dirinyalah sumber bencana bagi keluarga itu. Karena ia telah mengajak Siangkoan Hi dalam rencana mendongkel Co Hua-sun, akibatnya rumah keluarga Siangkoan sekarang dikepung prajurit begini banyak.

Dilihatnya rumah keluarga Siangkoan seperti kue gula raksasa di tengah kerumunan semut. Ribuan prajurit ada di sekitar rumah itu dengan ujung-ujung senjata yang berkilat-kilat kena cahaya fajar yang mulai memancar lemah dari sebelah timur.

Namun timbul juga semacam perasaan aneh di hati Helian Kong. Kalau cuma hendak menangkap Siangkoan Hi yang paling-paling dibela oleh putera puteri-nya, kenapa harus mengerahkan prajurit sebanyak ini, yang sampai memenuhi jalanan? Mungkinkah Co Hua-sun sekalian ingin unjuk gigi, pamer kekuasaan?

Sementara di bawah siraman panah, Helian Kong terus meluncur ke rumah keluarga Siangkoan itu. Saat itulah dari rumah Siangkoan Hi tiba-tiba terdengar bentakan keras, "Hentikan memanah!"

Para prajurit di sekitar rumah itu agaknya mengenal suara, panglima mereka, maka seketika merekapun berhenti memanah. Helian Kong pun berhenti berlompatan dan memutar-mutar pedang. Namun ia masih berdiri di atas genteng, pedangnya tidak segera disarungkan, tatapan matanya tegang ke arah pintu depan rumah keluarga Siangkoan di seberang jalan.

Dari dalam pintu itu keluarlah Menteri Siangkoan diapit beberapa perwira. Wajah Menteri Siangkoan tidak seperti tawanan, sebab ia nampak cerah dan penuh semangat, matanya bercahaya. Mirip penampilan seorang pengantin pria yang menjelang mempelai wanitanya.

Kemudian Helian Kong mengenali perwira- perwira yang mendampingi Siangkoan Hi itu adalah teman-teman sehaluannya dalam menentang Co Hua-sun sejak dulu. Nampak Tio Tong-hai, Bu Sam-kui, Le Koan-wi, Kongsun Hui dan sebagainya.

"Turunlah, saudara Helian!" seru Tio Tong-hai ke atas sambil menggunakan sepasang telapak tangannya di depan mulut sebagai corong. "Memangnya kau mau mencari layang-layang putus?"

Nada akrab itu membuat Helian Kong tersenyum dan menyarungkan pedangnya, lalu melompat turun dengan ringan. Para perwira sahabatnya itu segera mengerumuni dan menyambut hangat seorang sahabat lama. Mereka menjabat tangan, mengguncang pundak atau bahkan memeluk.

Sambil geleng-geleng kepala dan tertawa, Helian Kong menunjuk tebaran anak panah di atas genteng itu sambil berkata, "Sambutan hangat di pagi yang dingin ini."

Tio Tong-hai lalu menjelaskan, "Maaf. Pasukan kami mungkin menyangka kau adalah orang kiriman Co Hua-sun untuk mencelakai Siangkoan Taijin, maka mereka lalu merintangimu."

"Aku memang kaget melihat pasukan sebanyak ini."

"Semalam kami dibangunkan dan diberitahu oleh saudara Siangkoan agar membawa pasukannya berkumpul di sini, katanya untuk melindungi keselamatan Siangkoan Taijin yang siap membongkar persekongkolan Co Hua-sun. Kami kuatir Co Hua-sun mendahului bertindak terhadap Taijin, terpaksa kami kerahkan pasukan sebesar ini."

Helian Kong mengangguk paham. Tindakan rekan-rekannya memang tepat dalam situasi seperti saat itu. Namun juga memprihatinkan karena menandakan betapa lemahnya wibawa istana, sehingga tiap orang bisa bertindak sendiri-sendiri, bahkan sampai mengerahkan pasukan secara besar-besaran macam itu tanpa ijin istana. Co Hua-sun bisa mengerahkan pasukan di luar tahu Kaisar, begitu pula golongan yang menentang Co Hua-sun.

Helian Kong lalu mengeluarkan surat yang didapatnya dari Ko Ban-seng, sedangkan Ko Ban-seng mendapatkannya dari kantong dua perwira sandi Manchu yang ditangkapnya. Surat-menyurat antara Pangeran Seng-ong sebagai "calon Kaisar Beng baru" dengan Pangeran To Ji-kun, wali Kaisar Sun-ti dari Kerajaan Ceng atau Manchu. Surat itu diserahkannya kepada Siangkoan Hi dengan sikap hormat.

Siangkoan Hi lalu membacanya. Sebagai seorang pembesar tinggi, ia biasa ber sikap terkendali. Namun ketika membaca surat itu, ia nampak gusar sampai tangannya gemetar. Maklum, surat itu berisi perjanjian kedua pihak antara Pangeran Seng-ong dan Pangeran To Ji-kun.

Pangeran To Ji-kun akan membantu Pangeran Seng-ong merebut tahta, kalau perlu dengan kekerasan, dan sebagai imbalannya Pangeran Seng-ong kalau berhasil berkuasa akan menyerahkan Propinsi Ho-pak dan Shoa-tang untuk menjadi wilayah Kerajaan Ceng.

Tak terasa Siangkoan Hi menggeram, "Hem, Co Hua-sun, sekarang cobalah kau selamatkan batang lehermu kalau bisa. Surat ini akan menyeretmu ke bawah golok algojo! Terima kasih kepada Langit dan Bumi, Kerajaan Beng masih ada harapan untuk diselamatkan. Racun jahat yang selama ini melemahkan pemerintahan kita, akan segera kita singkirkan."

Le Koan-wi memberanikan diri bertanya, "Surat apa itu, Taijin?"

"Inilah bukti hitam di atas putih tentang persekongkolan Co Hua-sun untuk menjual negara kepada bangsa asing, bahkan menyingkirkan Sri Baginda untuk mengangkat Kaisar baru."

Surat itu sudah diserahkan kepada Le Koan-wi, lalu dibaca beramai-ramai oleh para pewira itu, sampai terdengar suara Le Koan-wi, "Tapi di surat ini hanya ada capnya Pangeran Seng-ong, jejak keterlibatan Co Hua-sun tidak nampak di sini. Bagaimana kita bisa menjatuhkan lewat surat ini?"

Sahut Siangkoan Hi, "Pangeran Seng-ong adalah komplotan Co Hua-sun, kalau kita dapat membongkar kedok Pangeran Seng-ong, maka Co Hua-sun juga pasti akan terseret."

"Hem, Pangeran Seng-ong itu benar-benar munafik, kelihatannya saja begitu alim seperti pertapa, tak banyak ikut campur urusan pemerintahan. Ternyata telah berani menyurati penguasa asing untuk menawarkan tanah leluhurnya sendiri, dan juga leher kakandanya sendiri!"

Sambil mengantongi kembali surat i-tu, Siangkoan Hi berkata, "Sebenarnya sudah lama aku mencium persekongkolan itu, hanya sulit mencari bukti sehingga tidak dapat berbuat apa-apa. Tentu saja kami tak berani menuduh Pangeran Seng-ong hanya dengan mengemukakan dugaan-dugaan kabur saja.... tapi sekarang, ha-ha-ha...."

Nampak benar betapa gembiranya Siangkoan Hi, dan perwira-perwira pembenci Co Hua-sun itupun gembira semuanya. Namun di antara perwira-perwira itu hanya ada satu yang kelihatan tidak gembira, malahan dia kelihatannya melamun. Dialah Bu Sam-kui. Malah tiba-tiba dia bertanya,

"Siangkoan Taijin, orang yang memberi Taijin laporan perkembangan dalam istana itu, apakah si bidada.... eh, maksudku si penari cantik dari Soh- ciu yang pernah menari di kediaman Ciu Kok-thio, kemudian sekarang ada dalam istana itu?"

Begitulah, di tengah-tengah suasana penuh semangat untuk menumpas komplotan dorna dan menyelamatkan negara, tiba-tiba muncul pertanyaan yang tidak ada kaitannya dengan soal pokok, keruan semua perwira lalu memandang heran ke arah Bu Sam-kui.

Panglima San-hai-koan itu seketika jadi tersipu-sipu. "Maaf...." katanya. "Pertanyaan tadi kucabut. Maaf.... Maaf...."

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.