Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 21

Cerita Silat Mandarin serial Helian Kong seri pertama, kembang jelita peruntuh tahta jilid 21 karya Stevanus S.P

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 21

Beberapa perwira diam-diam menggerutu, beberapa lagi menahan rasa geli. Malahan Kongsun Hui yang tahu kandungan perasaan Bu Sam-kui itupun berkata menggoda, "Bu Cong-peng, si cantik yang pernah menolongmu di kebun semangka itu ternyata masih kau kenang terus?"

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

Keruan Bu Sam-kui tambah kelabakan dan tidak menjawab. Sementara Le Koan-wi telah berkata, "Sudahlah, kita bicara saja dari tadi. Ayo cepat ke istana untuk menelanjangi Pangeran Seng-ong dan komplotannya!"

"Kita sedang menang angin, bagaimana kalau kita tuntut satu hal lagi?" tiba-tiba Tio Tong-hai berkata.

"Tuntutan apa lagi, Tio Cong-peng?"

"Tuduhan bahwa Helian Cong-peng adalah pengkhianat haruslah dicabut. Nama, kedudukan dan harta miliknya harus dipulihkan!"

"Benar!"

"Setuju!"

Helian Kong sendiri sebetulnya tidak setuju, biarpun hal itu menyangkut kepentingannya. Tindakan itu berarti menekan dan memaksa Kaisar Cong-ceng, yang berarti mengurangi kewibawaan Kaisar. Tetapi para perwira sahabat-sahabatnya itu sudah bersorak-sorak membulatkan tekad, dan Helian Kong agaknya takkan mungkin menolak.

"Kita pulihkan nama baik Helian Cong peng demi tertibnya kebenaran dan tersingkirnya kepalsuan!"

"Biar pemerintah menghargai abdi-abdi setianya, bukan penjilat-penjilat yang pintar bikin laporan palsu!"

"Siapa yang masih berani menyebut teman kita ini sebagai pengkhianat, kita cincang habis tubuhnya!"

Kemudian Helian Kong setengah dipaksa untuk masuk ke rumah Menteri Siangkoan, dan di situ dia dipaksa melepaskan pakaian bututnya untuk diganti dengan seragam panglima yang rupanya memang sengaja sudah disiap-siapkan oleh teman-temannya. Ketika Helian Kong keluar kembali sudah dalam pakaian barunya, teman-temannya pun bersorak-sorak sehingga di rumah itu seolah- olah sedang ada pesta.

Sementara Helian Kong sendiri cuma nyengar-nyengir tak berdaya. Seorang pewira kemudian berkata, "Sebentar lagi matahari terbit ayo kita segera ke istana!"

"Baik, kita berangkat!"

Pasukanpun diatur, kemudian berangkatlah mereka semua seperti menuju ke medan tempur. Memang mereka siap bertempur melawan komplotan Co Hua-sun yang merupakan musuh dalam selimut. Sebelum menghadapi musuh-musuh dari luar, penyakit dalam tubuh sendiri mesti lebih dulu dilenyapkan.

Ujung terdepan barisan adalah pasukan bersenjata, lalu tandu yang dinaiki Siangkoan Hi di tengah, didampingi Siangkoan Heng dan Helian Kong yang berjalan kaki. Lalu di belakang tandu kembali barisan prajurit yang panjang, sehingga Menteri Siangkoan benar- benar terkawal sekuat-kuatnya.

Panjangnya iring-iringan yang seperti seekor ular raksasa menggeleser di tengah-tengah kota Pak-khia pagi hari itu memang mengejutkan banyak pihak.

Di dalam tandunya Siangkoan Hi sampai hampir meneteskan air mata karena gembiranya, karena begitu meluap-luap semangatnya. Disingkapkannya tirai tandu, katanya kepada anak lelakinya yang melangkah tegap di samping tandu sambil membawa pedang, "A-heng, hari seperti ini apakah pernah kita impikan?"

Diluar dugaan ayahnya, Siangkoan Heng menjawab, "Sering, ayah. Sejak dulu aku yakin pasti akan datang suatu hari di mana Co Hua-sun takkan bisa bertahan dengan segala kebohongannya, meskipun kelihatannya hal itu seperti mimpi saja mengingat betapa kuatnya komplotan busuk itu mencengkeram pemerintahan. Namun hidup yang berharga hanya terdiri dari dua urusan pokok, yaitu bermimpi dan berjuang mewujudkan mimpi itu. Yang tidak berani mengimpikan apa-apa, juga takkan mendapatkan apa-apa, hidupnya cuma menuruti garis nasib saja.”

Siangkoan Hi tertawa, "Biasanya kalau orang dituduh bermimpi, tentu akan marah. Sedang kau agaknya malah menganggap mimpi itu keharusaan bagi orang yang ingin membuat hidupnya berharga."

"...mengimpikan dan mewujudkan, ayah...."

Siangkoan Heng melengkapi kata-kata ayahnya. "Kalau si gembala cilik Temujin tidak memimpikan padang gembalaan luas untuk ternaknya, mana mungkin dia bangkit menaklukkan sepertiga dunia, membawa bangsa Mongol ke puncak kejayaannya, dan mati sebagai Jengish Khan?"

Helian Kong yang berjalan di sebelah lain joli itu, mendengarkan percakapan ayah dan anak itu. Semula Helian Kong merasa hambar, ia ikut ke istana hanya untuk menuruti dan menyenangkan teman temannya, semangat pengabdiannya kepada kerajaan hampir luntur diguyur kekecewaan yang bertubi-tubi.

Namun sambil berderap bersama pasukan itu dan mendengarkan percakapan Siangkoan Heng dan ayahnya, setitik demi setitik semangat Helian Kong mulai menggumpal kembali. Ini adalah mungkin sekali pukulan terakhir buat Co Hua-sun, kemenangan sudah di depan mata. Kenapa ia harus keluar dari barisan selagi kemenangan tinggal selangkah lagi? Kenapa ia harus tidak ambil bagian dalam langkah kemenangan itu?

Tiba-tiba langkah Helian Kong jadi lebih tegap, lebur dalam derap beribu-ribu prajurit yang berbaris di depan dan belakangnya itu. Berderap ke istana. Sampai kemudian puncak atap istana sudah nampak di depan, berkilat kena sinar mentari pagi. Kelihatannya tenteram, sebab bagian lain masih nampak kabut menyaring cahaya. Cuma dari tempat seteduh itulah mata airnya segala kericuhan tak habis-habisnya yang menyangkut jutaan penduduk tak tahu apa-apa.

Namun tiba-tiba barisan itu berhenti, sehingga Siangkoan Hi heran dan menjengukkan kepalanya keluar joli, "Ada apa?" Seorang perwira rendahan berlari-lari kecil dari barisan depan dan melapor kepada Siangkoan Hi, "Bu Cong-peng menyuruh hamba lapor kepada Taijin, di depan ada pasukan lain menghadang kita."

Muka Siangkoan Hi menegang dan menoleh kepada Helian Kong, "Bagaimana, Helian Cong-peng?"

"Taijin tetap di sini saja. Saudara Siangkoan, jagalah ayahmu. Biar aku lihat ke depan."

Lalu Helian Kong pun berlari-lari kecil ke ujung barisan yang berhenti itu. Cukup panjang deretan prajurit yang harus dilewati Helian Kong. Dan setelah sampai di ujung barisan, nampaklah Tio Tong-hai, Bu Sam-kui dan lain-lainnya sedang bersitegang leher dengan seorang panglima lain yang pasukannya menutupi jalan.

"Maaf, Sri baginda sendiri yang memerintahkan aku menutup jalan ini dari pasukan manapun yang tidak membawa ijin Sri Baginda sendiri. Saudara-saudara boleh menghadap Sri Baginda, tetapi tidak dengan pasukan...." kata panglima penghadang itu. Namanya Song Liong, dikenal sebagai orang yang tidak menjilat kepada Co Hua-sun, namun juga tidak ikut-ikutan kelompok perwira yang ingin mendongkel Co Hua-sun. Jadi tergolong netral.

Munculnya Helian Kong mengagetkan Song Liong, sebab Helian Kong sudah diumumkan sebagai buronan. Cepat Song Liong melompat mundur dan tangannya sudah menempel gagang pedang, siap pula memerintahkan pasukannya untuk bertindak. Namun Helian Kong jauh lebih cepat menghunus pedang sambil melompat. Tangan kiri mencengkeram baju Song Liong dan tangan kanan menempelkan pedang ke leher Song Liong.

"Mau menangkapku, Song Cam-ciang?"

Ternyata Song Liong tidak susut nyalinya, sahutnya tegas, "Biarpun aku dibunuh, aku takkan ingkar dari tugasku. Aku berkewajiban menangkap pengkhianat seperti kau!"

"Siapa bilang aku pengkhianat!"

"Pihak istana."

"Ada beberapa pihak istana. Pihak yang mana?"

"Maklumat itu ditanda tangani oleh Kaisar sendiri, dan dibacakan oleh Wan-Hoa-im di hadapan para panglima."

"Kau tahu, Wan Hoa-im itu siapa?"

"Orang istana...."

"Ya jelas orang istana, goblok! Maksudku, begundal siapa dia?"

Kali ini Song Liong bungkam. Biarpun dia adalah prajurit yang tidak ambil pusing tentang sikut-sikutan di istana, pokoknya menjalankan perintah sebaik-baiknya, namun tentu saja dia paham Wan Hoa-im itu begundal siapa.

Tangan kiri mencengkeram baju Song Liong dan tangan kanan menempelkan pedang ke leher Song Liong. Helian Kong tertawa dingin dan melepaskan cengkeramannya sambil sedikit mendorong, sehingga perwira itu terhuyung-huyung mundur.

Kata Helian Kong, "Song Cam-ciang, aku tahu kau jujur dan sungguh-sungguh mengabdi kepada kekaisaran. Tapi kau terlalu malas berpikir tentang kenyataan yang berlangsung di istana. Kau berlagak tidak tahu kalau di istana ada komplotan busuk yang memalsukan semua kebijaksanaan Kaisar demi keuntungan kelompok mereka sendiri. Kalau kau percaya aku seorang pengkhianat, lalu Co Hua-sun itu apa? Pahlawan?"

Selama itu pasukan Song Liong melihat juga perlakuan yang dialami panglima mereka, namun mereka tidak berani bertindak karena melihat pasukan yang di belakang Helian Kong terlalu besar jumlahnya. Untuk menggertak pasukan-pasukan pengikut Co Hua-sun, maka pasukan itu mengibarkan bendera-bendera, sehingga pihak lain bisa melihat seberapa panjangnya barisan itu.

Selagi Song Liong ragu-ragu, Tio Tong-hai pun maju untuk menengahi, "Sudahlah, Helian Cong-peng. Song Cam-ciang ini kan hanya menjalankan tugas, tanpa menyadari kebusukan Co Hua-sun."

Kemudian Tio Tong-hai memutar tubuh gemuknya menghadapi Song Liong sambil berkata, "Saudara Song, disiplin ya disiplin tapi buka mata lebar-lebar, lihat baik-baik siapa Co Hua-sun itu. Si tukang fitnah ulung yang selalu memperalat Sri Baginda untuk menyingkirkan orang-orang yang tidak disenanginya. Dan yang tidak disenanginya selalu saja orang-orang yang sungguh-sungguh setia.

"Dialah yang memfitnah Jenderal Wan Cong-hoan sehingga dihukum mati, berusaha meracuni Jenderal Su Ko-hoat sehingga sampai sekarang Jenderal Su tidak mau lagi datang ke Pak-kia. Sekarang Helian Cong-penglah yang sedang difitnahnya, besok siapa tahu kau sendiri, saudara Song."

Kemudian perwira-perwira teman-teman Helian Kong lainnya bertubi-tubi "memberondong" Song Liong dengan kata-kata yang mencaci Co Hua-sun dan membela Helian Kong.

Kemudian Helian Kong sendiri yang bertanya, "Song Cam-ciang, kau masih setia kepada negerimu atau tidak?"

Song Liong mengangguk mantap. "Bagus. Kalau begitu, ketahuilah bahwa kami sedang mengawal Siangkoan Taijin untuk menghadap Kaisar dan membongkar persekongkolan jahat Co Hua-sun, yang bersekutu dengan Pangeran Seng-ong dan orang-orang Manchu untuk menggulingkan Sri Baginda dan menyerahkan sebagian negeri kepada bangsa Manchu. Nah, kalau kau setia kepada Sri Baginda, bergabunglah dengan kami untuk membersihkan istana dari orang-orang khianat itu! Tapi kalau kau ingin bangga disebut sebagai prajurit yang patuh tanpa pakai otak, ya cobalah rintangi kami. Terpaksa kau dan pasukanmu akan kami hancurkan, sebab kami tidak lagi ingin dihalangi untuk menyingkirkan Co Hua-sun!"

Keyakinan Song Liong goyah, maka diapun lalu meminggirkan pasukannya, dan membiarkan pasukan yang jauh lebih besar itu terus berjalan ke istana. Namun belum berapa jauh Helian Kong dan kawan-kawannya berjalan maju, tiba-tiba Song Liong berlari-lari menyusul dan berkata, "Helian Cong-peng, aku dan pasukanku akan bergabung denganmu!"

Niat itu tentu saja disambut gembira Helian Kong dan teman-temannya. Maka barisan yang menuju ke istana itu-pun tambah panjang. Song Liong ikut berjalan di depan dengan panglima-panglima lainnya. Dalam perjalanan ke istana, beberapa kali mereka berpapasan dengan pasukan-pasukan lain yang dapat digolongkan ke dalam tiga sikap.

Ada yang dapat segera dibujuk untuk bergabung, ada yang tidak berani ambil keputusan sehingga mereka hanya minggir dengan sikap tetap netral, atau ada pasukan yang panglimanya adalah sekutu Co Hua-sun. Golongan terakhir ini kaget melihat Helian Kong berani muncul terang-terangan dengan membawa dukungan sehebat itu.

Merekapun minggir karena dengan jumlah lebih sedikit tidak berani menghalang halangi pasukan yang jauh lebih besar itu. Namun sambil minggir, mereka juga menghubungi pasukan-pasukan lain yang pro Co Hua-sun, lalu bergabung pula dalam pasukan besar untuk menyusul ke istana tapi lewat jalan lain. Sebagian besar pasukan di ibu kota itu masih netral dan bingung.

Melihat betapa di jalan ke istana beberapa kali berpapasan dengan pasukan lain, Helian Kong curiga jangan-jangan Co Hua-sun sudah tahu kalau dirinya akan digebrak, lalu menyiapkan pengikutnya untuk menghadapinya dengan kekerasan? Bahkan bukan mustahil menipu pasukan-pasukan yang masih netral agar memihaknya.

Agar tidak menduga-duga sembarangan saja, Helian Kong menanyai Song Liong sambil berjalan, "Saudara Song, kenapa banyak pasukan bersiaga di jalan-jalan yang ke arah istana?"

Sahut Song Liong, "Belum ada kabar yang pasti, tapi ada kabar angin kalau semalam di istana terjadi peristiwa berdarah. Lalu pasukan-pasukan disiagakan, beberapa satuan terpilih bahkan ditarik ke dalam istana."

"Peristiwa berdarah?" Helian Kong dan panglima-panglima lain kaget mendengarnya.

"Begitulah sayup-sayup kudengar, lalu tahu-tahu aku mendapat perintah untuk bersiaga pula....." kata Song Liong.

"Tapi jangan minta penjelasan kepadaku, sebab akupun tidak tahu apa-apa. Aku bukan orang yang dianggap penting sehingga harus tahu segala yang terjadi di istana. Aku kan cuma pelaksana perintah."

Namun Tio Tong-hai tertawa sambil berkata, "Tetapi sikap saudara Song sekarang ini untuk bergabung dengan kami, bisa dibilang suatu kemajuan selangkah. Disiplin dan patuh memang baik. Tapi dalam situasi seperti sekarang ini, saat para dorna leluasa menyebar fitnah dan perintah-perintah palsu, maka kalau disiplinnya dengan mata terpejam dan tidak kritis, ya akhirnya menjadi alat kaum dorna belaka."

Mereka berjalan terus sampai ke depan istana. Dan alangkah kagetnya mereka ketika di lapangan Thian-an itu sudah berjajar belasan ribu prajurit dengan perlengkapan tempur. Sebaliknya pasukan yang di depan istana itupun kaget melihat pasukan pengiring Siangkoan Hi yang juga begitu besar. Dalam situasi penuh saling curiga itu, bertemunya dua pasukan yang tidak tahu maksud pihak sana, tentu saja menimbulkan ketegangan.

Pemimpin pasukan di depan istana itu adalah Ou Hin, yang diundang Kaisar karena kuatir adanya gerakan dari sisa-sisa pengikut Pangeran Seng-ong. Begitu melihat pasukan besar pengiring Siangkoan Hi, Jenderal Ou Hin segera memerintahkan pasukannya bersiaga penuh.

Prajurit-prajurit pemanah segera menempatkan diri di barisan depan dalam dua deret, deret depan berjongkok dan deret belakang berdiri, anak panah terpasang sudah di tali busur yang ditarik menegang. Di deretan belakang pemanah, pelempar-pelempar lembing sudah siap dengan lembing di atas bahu. Di belakang lagi, prajurit-prajurit biasa bersenjata tombak dan pedang sudah siap berlompatan maju.

Sedangkan pasukan pengiring Siangkoan Hi juga kaget melihat sikap pasukan di depan istana itu. Mengira pasukan di depan istana itu adalah pengikut Co Hua-sun yang sudah siap untuk mencegah agar Siangkoan Hi tidak menghadap Kaisar.

Helian Kong segera berkata kepada teman-teman panglimanya, "Yang penting adalah melindungi Siangkoan Taijin, sebab dialah sekarang yang membawa bukti-bukti kejahatan komplotan Co Hua-sun!"

Para panglima dengan tangkas mengatur pengikut masing-masing. Joli Siangkoan Hi dibawa mundur, di depannya sederetan prajurit berderet merapatkan perisai. Sementara prajurit-prajurit yang tidak berperisai pun siap menyerbu. Demikianlah, dua pasukan berhadapan di dua sisi lapangan itu, suasana jadi amat tegang.

Memang belum satu anak panahpun terbang, belum ada senjata berbenturan, namun semuanya tinggal tunggu aba-aba dan lapangan itupun akan banjir darah. Darah sesama prajurit ibu kota yang sehari-harinya saling mentraktir di warung arak, saling meminjami uang di daerah "lampu merah".

Kalaupun pernah jadi lawan ya paling-paling di meja judi dengan taruhan kecil-kecilan, atau dalam latihan perang-perangan. Tapi kali ini mereka tidak untuk perang-perangan, namun pertempuran sungguh-sungguh.

Cahaya matahari masih lemah di timur. Ketika melihat pimpinan pasukan di seberang lapangan itu adalah Jenderal Ou Hin, Helian Kong pun berkata, "Goan-swe Ou Hin adalah bekas atasanku dulu. Dia seorang yang bersih dan lurus, mungkinkah dia sudah terperangkap rayuan berbisa Co Hua-sun?"

Bu Sam-kui menyahut, "Mungkin saja. Co Hua-sun giat menggunakan seribu satu macam cara untuk mendapat tambahan banyak pengikut ke pihaknya."

Sedangk,an Jenderal Ou Hin sendiri adalah bekas bawahan Jenderal Wan Cong-hoan yang pernah melakukan pertempuran-pertempuran gemilang di Liau-tong menghadapi orang Manchu. Kini Ou Hin sudah berambut putih, begitu pula jenggot dan kumisnya, namun tubuhnya masih tegap, kulit mukanya tetap segar.

Ia gagah sekali dalam pakaian perang yang lengkap dengan topi besi, sisik logam melindungi pundak dan lengan, sementara tangannya memegang golok bertangkai panjang Ceng-liong-to yang dalam perang di Liau-tong dulu pernah "minum" entah berapa banyak darah orang Manchu.

Panglima tua itu maju, bayangan tubuhnya memanjang kena cahaya matahari yang masih miring. Suaranya masih terdengar jelas sampai ke seberang lapangan, "He, kalian para pemberontak! Harapan kalian sudah musnah! Pangeran Seng-ong yang akan kalian angkat sebagai Kaisar baru, sudah mati dan seluruh keluarganyapun akan segera dihukum mati! Buat apa kalian masih ngotot membelanya? Lebih baik letakkan senjata, dan aku akan memohonkan pengampunan buat kalian kepada Sri baginda!"

Mendengar itu, Tai Tong-hai menoleh kepada Helian Kong dan berdesis. "Goan-swe Ou Him mengira kita pengikut Panggeran Seng-ong...."

"Ya. Peristiwa berdarah semalam yang dikatakan saudara Song tadi, agaknya adalah Pangeran Seng-ong. Ini agak di luar dugaan. Pangeran Seng-ong adalah sekongkol Co Hua-sun. Mungkinkah semalam komplotan itu sudah mencoba berkhianat tapi malah gagal dan tertumpas?"

"Kalau begitu, bagaimana rencana kita untuk menghadapkan Siang-koan Tai-jin dan surat pengkhianatan Pangeran Seng-ong itu? Apakah dibubarkan saja, karena komplotan itu toh sudah gagal?"

"Jangan dulu, kata-kataku tadi baru dugaan tapi belum kepastian. Setelah mendapat kepastian, barulah kita tetapkan langkah selanjutnya."

"Apakah belum pasti omongan Goan-swe Ou Hin bahwa komplotan telah gagal?"

"Ada yang belum jelas..." kata Helian Kong. "Jenderal Ou Hin hanya mengatakan tentang Pangeran Seng-ong, tapi tidak menyebut sepatah katapun tentang Co Hua-sun. Jadi kita belum tahu apakah Co Hua-sun sudah ikut ditumpas atau belum...."

"Kalau Pangeran Seng-ong ditumpas, masa Co Hua-sun tidak ikut ditumpas? Mereka kan sekomplotan?"

"Saudara-saudara, jangan pandang enteng Co Hua-sun. Dia amat licik, amat pintar menggunakan segala keadaan untuk keuntungan dirinya. Pokoknya, dalam urusan Co Hua-sun ini kita harus mendapat kepastian yang sungguh-sungguh, tidak boleh main kira-kira saja."

Para panglima lain diam-diam setuju sikap hati-hati Helian Kong itu. Maklum taruhannya terlalu besar. "Jadi bagaimana, saudara Helian?"

Sementara dari seberang lapangan kembali teriakan Jenderal Ou Hin, "He, sudah selesai berunding atau belum? Mau menyerah atau kami hancurkan sebagai pemberontak?"

Rupanya melihat panglima-panglima itu saling berbisik, Ou Hin mengira mereka sedang memperhitungkan seruannya. Dan saat itu memang Helian Kong sudah mengambil keputusan, "Aku akan menemui Jenderal Ou Hin, sendiri dan tanpa senjata. Agar jangan ada kesalahpahaman yang akan mengorbankan banyak prajurit."

Tapi teman-temannya tidak setuju, kata Bu Sam-kui, "Jangan gegabah, saudara Helian. Kita belum tahu apakah Goan-swe Ou Hin sudah dipengaruhi Co Hua-sun atau belum. Kalau kau menyerahkan diri kepadanya, tidakkah seperti tikus masuk perangkap?"

"Tidak apa-apa, tapi sebelum bertempur haruslah ada penjelasan lebih dahulu. Saudara Bu, tolong pegangkan pedangku...." Helian Kong lalu menyerahkan pedangnya kepada Bu Sam-kui.

Dan tidak menunggu sampai teman-temannya mencegah, Helian Kong melangkah menyeberangi lapangan, sambil melambai-lambaikan tangan ke arah Jenderal Ou Hin untuk menunjukkan bahwa dia tidak bersenjata.

Jenderal Ou Hin pun memerintahkan pasukannya agar jangan menyerang dulu, dibiarkannya Helian Kong mendekat. Ia heran melihat Helian Kong yang menurut maklumat istana yang belum dicabut masih dicap pengkhianat. Namun Helian Kong pernah juga menjadi perwira bawahannya, dan sebenarnya Ou Hin senang juga kepada Helian Kong.

Namun setelah Helian Kong dekat, Ou Hin memukulkan tangkai golok Ceng-liong-tonya ke tanah, dan menggeram, "Helian Kong, masih berani kau muncul di sini, apalagi dengan memakai seragam panglima?"

Helian Kong berlutut menghormat bekas atasannya itu, dan berkata, "Goan-swe, baik-baikah Goan-swe selama ini?"

"Hem, Helian Kong, dulu aku kagum kepadamu karena kupikir kau benar-benar seorang yang setia kepada kekaisaran. Ternyata aku dituduh sebagai mata-mata Li Cu-seng, dan sekarang mengekor Pangeran Seng-ong yang semalam telah mampus dalam pengkhianatannya! Dalam usahanya untuk membunuh Kaisar!"

"Goan-swe, biar tubuhku pecah menjadi delapan belas potong dirajam golok, kalau salah satu dari kedua tuduhan itu benar. Aku bukan mata-mata Li Cu-seng maupun pengikut Pangeran Seng-ong!"

"Lalu, kenapa kau menyerbu kemari dengan membawa pasukan begitu besar?"

"Kami tidak menyerang...!" sekarang Helian Kong mengganti "aku" dengan "Kami", menandakan kalau ia bicara atas nama kawan-kawannya juga. "Kami mengawal Siangkoan Taijin untuk membawa bukti pengkhianatan sebuah komplotan jahat dalam istana, ke hadapan Sri Baginda. Komplotan Pangeran Seng-ong."

"Tidak masuk akal. Pangeran Seng-ong sudah mati, buat apa lagi pengikutnya ingin merebut bukti dari Siangkoan Taijin? Pasti hanya alasan untuk membawa pasukan."

"Goan-swe, Pangeran Seng-ong sudah tertumpas, tetapi komplotannya yang terdiri dari orang-orang penting di dalam istana belum diapa-apakan. Mereka masih bersembunyi dan tentu akan menghalangi pihak manapun yang berusaha membongkar kedok mereka. Itulah sebabnya Siangkoan Taijin harus dikawal ketat."

Jenderal veteran perang Liau-tong itu melayangkan pandangannya ke seberang lapangan, menatap pasukan yang datang bersama Helian Kong. Memang sebuah pasukan yang amat kuat, kalau sampai bentrok, pasukannya sendiri belum tentu mampu menahan mereka. Lalu pandangannya dialihkan kepada Helian Kong yang masih berlutut,

"Kalau cuma ingin membongkar komplotan jahat, kenapa mereka juga mengarak kau seperti mengarak seorang pahlawan agung? Padahal kau masih dianggap pengkhianat oleh pihak istana?" Suara Jenderal Ou Hin sudah melembut, menandakan kalau hatinya pun melunak terhadap bekas perwira bawahannya yang pernah sampai dianggap anaknya sendiri.

Kini Helian Kong bangkit dan bertanya, "Goan-swe, istana pernah mengumumkan Jenderal Wan Cong-hoan sebagai pengkhianat sebelum beliau dihukum pancung kepala. Apakah Goan-swe percaya juga isi pengumuman itu?"

Kata-kata ini tepat menyentuh titik perasaan Ou Hin yang selama ini menjadi "gudang penasaran" tak kunjung padam, biarpun selama ini disembunyikan rapat-rapat. Ou Hin dulu adalah bawahan Jenderal Wan Cong-hoan dalam perang di Liau-tong, di mana Jenderal Wan memperoleh kemenangan besar dengan menewaskan Kaisar Thai-cou yang bertahta tahun 1616-1627, kakek dari Kaisar Sun-ti yang sekarang dan ayah dari Pangeran To Ji-kun.

Itulah saat kemenangan tentara kerajaan Beng atas Kerajaan Ceng. Padahal Kerajaan Ceng baru saja naik pamornya setelah berhasil membebaskan Tiau-sian (Korea) dari tentara Jepang. Kemenangan itu karena kepemimpinan Jenderal Wan Cong-hoan. Tetapi kemudian Kaisar Cong-ceng melakukan suatu ketololan besar. Karena dihasut Co Hua-sun, ia menarik Jenderal Wan ke Pak-khia, bukan untuk dihargai jasanya, tapi hanya untuk dituduh sebagai pengkhianat dan akhirnya dihukum mati.

Itulah saat titik-balik perang di Liau-tong, terbalik menjadi perang kemenangan buat bangsa Manchu. Tentara Kerajaan Beng terus mundur dan melepaskan daerah-daerah yang sudah direbut, dan akhirnya hanya mampu dalam posisi bertahan di San-hai-koan dibantu rangkaian Tembok Besar. Perajurit-perajurit banyak yang patah semangat setelah melihat nasib Jenderal Wan. Sudah berjasa besar, tapi malah dihukum mati dan dicemarkan namanya.

Ou Hin tak pernah melupakan peristiwa itu. Ia sangat menyayangkan kematian Jenderal Wan, tapi perasaannya dipendam dalam-dalam, sebab ia tak mau menimbulkan perpecahan dalam Tentara Kerajaan. Kini tiba-tiba Helian Kong menyebutnya, segera kelihatan mata Ou Hin berkaca-kaca basah, menarik napas panjang beberapa kali. Ia nampak sedih kembali, "Buat apa kau sebut-sebut lagi urusan itu?"

"Untuk menunjukkan bahwa istana bisa keliru mengeluarkan keputusan, karena kuatnya pengaruh kaum dorna!"

"Kau samakan dirimu dengan Jenderal Wan untuk menutupi dosamu sendiri?"

"Tentu saja aku hanya sebutir debu dibandingkan Jenderal Wan. Tetapi akupun difitnah seperti beliau!"

"Jadi maksudmu datang dengan membawa pasukan itu?"

"Aku tidak membawa pasukan, mereka adalah pasukan teman-temanku yang akan mendukung untuk memulihkan nama baikku!"

"Hem, begitu?"

"Goan-swe, komplotan Pangeran Seng-ong bermaksud menjual negara kepada orang Manchu. Mereka tidak boleh dibiarkan terus bersembunyi dalam istana biarpun Pangeran Seng-ong sendiri sudah mati."

Darah Ou Hin tiba-tiba menghangat. Perangnya di Liau-tong adalah melawan orang Manchu, maka terhadap orang Man chu dia amat "alergi". Ucapan Helian Kong yang terakhir itu mengejutkannya. "Benarkah kata-katamu bahwa mereka akan menjual negara?"

"Mana berani aku membohongi Goan-swe yang dulu jadi atasanku?"

"Aku ingin bukti!"

"Ada di tangan Siangkoan Taijin, Goanswe."

"Aku takkan membiarkan kalian masuk istana, sebelum kulihat sendiri bukti itu di tangan Siangkoan Taijin!"

"Bagaimana caranya Siangkoan Taijin dengan aman dapat menunjukkan bukti itu kepada Goan-swe?"

"Mohonlah Siangkoan Taijin berjalan sampai ke tengah lapangan itu, sambil membawa bukti itu, dengan membawa hanya satu pengawal. Aku juga akan ke tengah lapangan dengan satu pengawal. Kalau bukti itu asli tentang kejahatan komplotan itu, aku bukan hanya tidak merintangi, malah akan mendukung dengan aktif!"

"Cukup adil, Goan-swe. Aku minta ijin mundur dulu untuk bicara dengan Siangkoan Taijin..." Helian Kong lalu menemui teman-temannya di seberang lapangan untuk menyampaikan hasil pembicaraannya dengan Ou Hin itu.

"Menurut saudara Helian sendiri, bagaimana dia? Apakah kelihatannya sudah terpengaruh oleh Co Hua-sun?" tanya Tio Tong-hai.

Kata Helian Kong, "Dia masih seperti dulu, teguh menjalankan tugas. Pasukannya ada di depan istana bukan untuk melindungi Co Hua-sun, tapi melindungi keluarga Kaisar. Dan ketika aku mengingatkannya tentang peristiwa kematian Jenderal Wan Cong-hoan, dia nampak sedih, dan sikapnya kepadaku pun melunak."

"Itu pertanda baik buat kita...." kata Bu Sam-kui. "Dia bisa kita ajak untuk menghadapi Co Hua-sun yang ternyata juga banyak pendukungnya."

"Sekarang, asal Siangkoan Taijin mau menunjukkan surat Pangeran Serig-ong itu, tentu Goan-swe Ou Hin akan membiarkan kita masuk istana..."

"Siapa akan mendampingi Siangkoan Taijin?"

“Serahkan kepadaku," sahut Helian Kong mantap.

"Baik..." semuanya setuju. Mereka tahu bahwa ilmu silat Helian Kong paling tinggi di antara mereka.

Namun Le Koan-wi sempat berolok-olok juga, "Siapa yang paling tepat mengawal Siangkoan Taijin kalau bukan calon menantunya sendiri?"

Semuanya tertawa, sedang muka Helian Kong jadi merah padam. Kiranya banyak teman-temannya yang menafsirkan terlalu bersungguh-sungguh antara dirinya dan Siangkoan Yan. Padahal Helian Kong baru menganggap Siangkoan Yan sebagai sahabat, sebab ingatannya kepada Tan Wan-wan belum pupus sama sekali. Sampai saat itu Helian Kong belum tahu di mana Tan Wan-wan dan bagaimana nasibnya.

Sementara semuanya tertawa, Bu Sam-kui juga ikut tertawa, namun pikirannya melayang kembali kepada "bidadari" yang pernah memberinya minum di saat ia luka-luka. Yang sejak itu tak pernah dapat ditemuinya lagi, membuat Bu Sam-kui mabuk rindu.

Begitulah, kemudian Siangkoan Hi diberi tahu tentang soal itu, dan Siangkoan Hi tanpa ragu-ragu menyatakan menerima syarat Ou Hin itu, sebab sudah diketahuinya kejujuran jenderal tua itu. Tidak lama kemudian Siangkoan Hi melangkah menyeberangi lapangan, didampingi Helian Kong yang tetap tidak membawa pedangnya.

Dari seberangpun Ou Hin melangkah diiringi seorang pengawalnya. Helian Kong tidak pernah meminta agar mereka tidak bersenjata, tetapi Jenderal Ou Hin dan seorang pengawalnya itu ternyata juga tidak bersenjata. Mereka berempat bertemu di tengah lapangan.

Ou Hin dan Siangkoan Hi satu angkatan, dan saling mengetahui pengabdian tulus satu sama lain, biarpun yang satu militer dan lainnya sipil. Mereka saling memberi hormat.

Sambil tertawa, Ou Hin berkata, "Siangkoan Taijin, sebetulnya dengan melihatmu saja, aku sudah yakin kalau rombongan kalian bukan rombongan musuh. Tapi demi tugas yang dibebankan ke pundakku aku terpaksa membuat acara yang sebenarnya tidak perlu ini."

"Jangan sungkan, Goan-swe...." sahut Siangkoan Hi. "Goan-swe menjalankan tugas dengan baik, dan akupun tidak boleh mengajari anak-anak muda berdarah panas itu untuk seenaknya saja main terobos dengan kekerasan. Nah, silakan Goan-swe periksa surat ini. Bukankah ini yang ingin Goan-swe lihat?”

Ou Hin membaca surat itu, dan nampak wajahnya merah padam menahan gusar. Itulah surat Pangeran Seng-ong untuk Pangeran To Ji-kun. Apalagi ketika melihat tanggal surat itu, ternyata Pangeran Seng-ong menulisnya menurut kalender Phia-cu, kalender yang digunakan oleh Kerajaan Ceng. Bukan menurut kalender Cong-tek yang saat itu digunakan Kerajaan Beng. Jelas kalau Pangeran Seng-ong memang siap menjadi begundalnya orang Manchu.

"Pengkhianat busuk!" geram Ou Hin selesai membaca surat itu. Ketika menyerahkan kembali surat itu kepada Siangkoan Hi, Ou Hin bertanya, "Dari mana Taijin beroleh surat ini?"

Siangkoan Hi menoleh kepada Helian Kong dan meneruskan pertanyaan itu, "Dari mana, Helian Cong-peng?"

Agar tidak perlu bertele-tele menjelaskan, Helian Kong jawab saja, "Dari seorang pendekar pecinta tanah air, yang tahu adanya komplotan itu, namun tidak bisa membawanya sendiri ke hadapan Sri Baginda, karena dia bukan pejabat pemerintah. Lalu dia titipkan kepadaku."

Ou Hin dan Siangkoan Hi percaya saja, mereka tahu di rimba persilatan memang banyak tokoh macam itu. Ou Hin kemudian berkata, "Taijin, silakan masuk menghadap Sri Baginda. Tanggung jawab keselamatanmu ada di pundakku. Pasukan-pasukan di sekitar paseban Gin-loan-tian itu adalah pasukanku semua!"

Helian Kong ragu-ragu, namun Siangkoan Hi justru menjawab dengan mantap, "Aku percayakan keselamatanku kepada Goan-swe!"

"Silakan Taijin!"

Tapi Helian Kong cepat-cepat berkata, "Taijin, tidakkah lebih baik Taijin masuk ke dalam bersama para panglima? Bukankah selain ingin membongkar komplotan, juga ingin mengusulkan pemulihan diriku kepada Kaisar?"

Urusan pemulihan kedudukan itu sebenarnya tidak penting benar buat Helian Kong, tapi kali ini harus ada dalih agar ia dan kawan-kawannya bisa ikut masuk melindungi Siangkoan Hi. Dalam situasi tak menentu itu, kurang tenteram rasanya membiarkan Siangkoan Hi masuk ke istana biarpun Jenderal Ou Hin menjanjikan perlindungan.

Siangkoan Hi termangu sejenak, ketika melihat kecemasan di mata Helian Kong, diapun segera paham maksudnya. Maka katanya kepada Ou Hin, "Goan-swe, sudah tentu aku tidak bisa mengajak ribuan prajurit semuanya masuk ke istana Gin-loan-tian, tapi perkenankanlah beberapa panglima masuk bersama, karena merekapun ada yang ingin dikatakan kepada Sri Baginda."

"Baik..." Ou Hin menjawab tanpa pikir panjang lagi, agaknya ia sudah gusar mendengar pengkhianatan Pangeran Seng-ong itu.

"Terima kasih, Goan-swe."

Kedua pihak kemudian berpisah menuju pasukan masing-masing. Ou Hin menyebar perintah kepada pasukannya untuk memberi jalan kepada Siangkoan Hi dan beberapa panglima yang akan menghadap, sekaligus juga melindungi keselamatan mereka selama menghadap.

Sementara itu di pihak Siangkoan Hi segera diatur, semua panglima akan ikut masuk, kecuali Tio Tong-hai yang tetap tinggal diluar untuk memegang komando atas pasukan, untuk berjaga-jaga kalau ada pelanggaran kesepakatan.

"Kalau ada yang tidak beres, berilah isyarat dan pasukanku akan segera bergerak..." pesan Tio Tong-hai.

Kemudian Siangkoan Hi diiringi sepuluh orang panglima berjalan menyeberang lapangan ke arah istana. Kali ini semuanya membawa senjata, kecuali Siangkoan Hi sendiri. Di pintu gerbang istana, Ou Hin menyambut,

"Silakan terus masuk. Tapi sebelum masuk Gin-loan-tian, senjata kalian harus ditinggalkan. Itu peraturan istana yang sampai sekarang masih berlaku dan harus kita junjung tinggi...."

Para panglima pengiring Siangkoan Hi itu ragu-ragu. Saat-saat seperti itu, tidak membawa pedang sama saja rasanya dengan berjalan di tengah pasar tanpa celana. Serba kikuk. Namun Helian Kong justru berkata, "Kita percayakan kata-kata Ou Goan-swe...."

"Nah, silakan."

Rombongan penghadap itupun masuk. Dimana-mana memang nampak regu-regu bawahan Ou Hin. Mereka tidak hanya memakai kelengkapan jaga biasa, melainkan kelengkapan tempur. Masing-masing selain membawa tombak atau pedang, namun juga panah, busur dan lembing. Saat itu barulah Siangkoan Hi menyadari betapa berbahayanya situasi,

"Kalau sampai tentara kerajaan saling gempur sendiri, yang akan mendapai keuntungan adalah musuh- musuh kerajaan. Baik kaum pemberontak maupun orang-orang Manchu di luar perbatasan...."

Di depan paseban Gin-loan-tian ada sebuah tambur besar yang boleh ditabuh untuk orang yang ingin menghadap Kaisar diluar jam-jam persidangan resmi. Tambur itu kemudian dipukul bertubi-tubi oleh Siangkoan Hi. Begitu bersemangatnya, sehingga menteri berusia enam puluh tahun itu cepat terengah-engah. Helian Kong cepat-cepat mengambil pemukul tambur dari tangan Siangkoan Hi dan melanjutkannya.

Sekelompok thai-kam berlari keluar dari paseban. Mereka dipimpin oleh Wan Hoa-im, dan semuanya membawa pedang. Padahal beberapa saat yang lalu diberlakukan peraturan lama bahwa para thai-kam tidak boleh bersenjata. Namun kejadian semalam rupanya telah dimanfaatkan oleh Co Hua-sun agar mencabut larangan membawa senjata itu, tentunya dengan alasan untuk melindungi Kaisar.

Helian Kong kaget melihat Wan Hoa-im. Kenapa kaki tangan Co Hua-sun itu tidak ikut tertumpas bersama Pangeran Seng-ong? Muncul semacam perasaan tidak enak dalam hati. Ada sesuatu yang diluar perhitungan, entah apa.

Sebaliknya Wan Hoa-im juga sama kagetnya melihat Helian Kong muncul di istana dalam seragam panglima, diiringi panglima-panglima lain yang selama ini merupakan penentang- penentang gigih Co Hua-sun, juga Siangkoan Hi, si menteri tua yang tidak gampang ditekan oleh Co Hua-sun itu.

"Pengkhianat, kau masih berani datang ke istana?" diiringi para thai-kam, Wan Hoa-im menuruni tangga paseban sambil siap mencabut pedangnya.

Tapi teman-teman Helian Kong pun serempak menyebar bersikap akan melindungi Helian Kong. Namun Helian Kong sendiri malahan belum mencabut pedang, teriakannya mengguntur seperti raungan singa, "Tahan!"

Semua pihak berhenti bergerak karena pengaruh bentakan dahsyat Helian Kong itu, suasana jadi sunyi mencekam. Dalam kesenyapan itulah Helian Kong berkata, "Aku tahu diriku dituduh berkhianat. Tetapi aku ingin mendengar sendiri hal itu dari Kaisar, dan juga ingin tahu siapa yang memfitnahku!"

"Kau tidak berhak menetapkan sendiri!" bentak Wan Hoa-im congkak. "Saat ini Sri Baginda sedang tidak berkenan menerima siapapun untuk menghadap, lebih baik kalian tidak buang waktu!"

Teman-teman Helian Kong sudah lama muak terhadap kaum thai-kam yang begitu berpengaruh terhadap keputusan-keputusan penting yang dikeluarkan Kaisar Cong-ceng, bahkan berani mengatur jadwal kegiatan Kaisar sehari-hari. Kini menghadapi Wan Hoa-im yang berusaha menghalangi, mereka marah. Bu Sam-kui menggeram sambil mengibaskan pedang,

"Bangsat, kau mencegah kami menghadap Sri Baginda, pastilah karena takut kalau kedok kalian terbongkar! Kalau kau tidak minggir, kami akan menerjang dengan senjata! Kami akan membebaskan Sri Baginda dari penipuan-penipuan yang terus-menerus oleh pihakmu!"

Wan Hoa-im pun menjadi gusar, perintahnya kepada prajurit-prajurit yang berjaga di sekitar paseban, "Tangkap mereka!"

Tapi Wan Hoa-im kaget melihat prajurit-prajurit itu tak ada yang bergerak mematuhi perintahnya. Komandannya malah menjawab, "Kami sudah dipesan oleh Goan-swe Ou Hin agar memberi perlindungan kepada tuan-tuan yang ingin menghadap Sri Baginda ini. Dan kami hanya tunduk kepada Goan-swe!"

Seketika paniklah Wan Hoa-im. Mungkinkah golongan militer pembenci Co Hua-sun sudah tak dapat dikendalikan lagi, dan Ou Hin yang diandalkan melindungi istana tiba-tiba berbalik memihak golongan itu? Cukup masuk akal kalau mengingat Ou Hin adalah bekas bawahan Wan Cong-hoan yang matinya gara-gara Co Hua-sun.

Sementara Helian Kong telah membentak lagi, "Laporkan kepada Sri Baginda, kami harus menghadap!"

Dengan perasaan gentar, bergegas Wan Hoa- im masuk ke bagian dalam istana. Agak lama Siangkoan Hi sekalian menunggu di bawah tangga paseban Gin-loan tian, sampai bayangan tubuh mereka di tanah semakin pendek oleh sinar matahari yang sudah naik seperempat busur langit.

Kemudian sekelompok thai-kam muncul lagi. Sikap mereka ramah, amat jauh berbeda dengan sikap Wan Hoa-im yang petentengan tadi. Namun tetap dengan pedang di pinggang mereka. Dia memberi hormat kepada Siangkoan Hi dan berkata,

"Sri Baginda berkenan menerima tuan-tuan menghadap, meskipun ini bukan jam persidangan. Tuan-tuan agaknya memaksa Kaisar untuk menuruti kemauan tuan-tuan yang diluar aturan ini."

Helian Kong tiba-tiba mencengkeram leher baju thai-kam itu, "Hem, kalau menuruti jadwal acara bikinan Co Hua-sun, kami mana punya kesempatan menghadap Sri Baginda? Yang dapat menghadap tentu hanya kawanan penjilat yang cuma membohongi Sri Baginda dengan laporan-laporan palsu! Sekarang kami menghadap untuk membeber kenyataan!"

"Maaf.... maaf... tolong lepaskan."

Begitu Helian Kong melepaskannya, thai-kam itu langsung terbirit-birit ke dalam istana. Sementara Siangkoan Hi sekalian segera masuk ke Gin-loan-tian. Untuk memenuhi janji kepada Jenderal Ou Hin, Helian Kong dan kawan-kawannya menitipkan senjata kepada anak buah Ou Hin yang menjaga di seputar paseban, dan masuk tanpa senjata.

Paseban itu kosong karena saat itu tidak sedang ada sidang kerajaan. Pilar-pilar merah di ke dua sisi ruangan berderet beku seperti sederetan pengawal. Singgasana masih kosong. Sambil menunggu datangnya Kaisar, Helian Kong berbisik kepada Siangkoan Hi, "Aku ada sesuatu yang agak sulit dinalar."

"Soal apa?"

"Pangeran Seng-ong ditumpas, tetapi kenapa para thai-kam malah memperkuat kedudukan dan sekarang mereka dipersenjatai lagi, padahal Pangeran Seng-ong dan para thai-kam itu sekomplotan? Apa yang terjadi di dalam istana ini semalam?"

"Aku kuatir anak gadisku, Yan-ji, yang sudah dua hari dalam istana untuk mendampingi Puteri Tiang-ping yang sedang merosot kesehatannya."

Kemudian mereka bungkam dalam kesunyian. Suasana istana itu kelihatannya tenteram di mana-mana, padahal saling kecurigaan antara berbagai pihak sudah siap meledak. Belum pernah kecurigaan semua pihak setinggi saat itu, peristiwa semalam agaknya dimanfaatkan oleh semua fihak untuk mendapat posisi-posisi baru yang menguntungkan. Gesekan-gesekan tak terhindari. Tentara kerajaan pun seolah-olah terpecah belah, ada yang memihak ke sini, ada yang memihak ke sana.

Kesunyian itu tiba-tiba dipecahkan suara tambur Liong-hong-kou dan lonceng Keng-yang-ciong yang dibunyikan khusus menjelang tampilnya Kaisar di singgasana Siangkoan Hi sekalian cepat merapikan pakaian, lalu berlutut. Sekelompok thai-kam bersenjata muncul dari belakang singgasana dan langsung memecah diri menjadi dua barisan di kiri kanan singgasana. Dan yang mengejutkan Siangkoan Hi sekalian ialah ketika melihat munculnya Co Hua-sun.

Sempat terjadi pergolakan di hati Siangkoan Hi sekalian. Jangan-jangan Co Hua-sun sudah jadi Kaisar? Dugaan yang mungkin kelewat jauh, namun cukup beralasan. Tetapi Siangkoan Hi sekalian serempak menarik napas lega, ketika melihat Co Hua-sun ternyata tidak menduduki singgasana, melainkan kursi di sebelah singgasana yang lebih rendah dari singgasana.

Memang di situlah tempatnya sejak dulu. Dalam suasana sunyi itu, sebelas orang yang menarik napas lega bersama tadi jadi kedengaran jelas sekali, menimbulkan adegan yang sedikit menggelikan. Co Hua-sun mendengarnya juga, dan paham apa artinya, membuat wajahnya yang gemuk berlemak itu jadi masam.

Sesaat kemudian barulah Kaisar Cong-ceng keluar, semua hadirin berlutut dan berseru serempak, "Ban-swe! Ban-swe!"

Setelah duduk dan menyuruh semuanya bangkit, Kaisar bertanya, "Siapa yang memaksa menghadap aku?"

"Ampun Tuanku, hambalah orangnya...." Siangkoan Hi cepat melangkah maju dan membungkuk hormat. "Dan beberapa panglima ini..."

Biasanya Co Hua-sun bersikap congkak di tempat duduknya, tapi kali ini terlihat wajahnya tegang, sedikit banyak terbaca di wajahnya bahwa kali ini Co Hua-sun merasa kurang percaya diri. Memang belakangan ini situasi makin susah diperhitungkan, apalagi dikendalikan. Ada beberapa arus kepentingan yang saling bentur di Pak-khia.

Sementara itu Kaisarpun bertanya lagi, "Urusan apa yang kalian bawa ke hadapanku?"

Siangkoan Hi mengangkat surat yang dibawanya ke depan dada dengan dua tangan, "Hamba mohon Tuanku berkenan membaca surat ini."

Seorang thai-kam melangkah menuruni tangga singgasana untuk menerima surat itu dan dibawa ke hadapan Kaisar. "Bacakan..." titah Kaisar kepada thai-kam itu.

Namun Siangkoan Hi buru-buru berkata, "Hamba mohon ampun, Tuanku. Hamba mohon agar Tuanku berkenan membaca surat itu sendiri, tidak dibacakan...."

Kiranya Siangkoan Hi takut kalau surat itu dibacakan oleh seorang thai-kam, bisa saja thai- kam itu sengaja tidak membaca atau melompati bagian-bagian yang bisa memberatkan Co Hua-sun.

Kaisar heran akan keberanian Siangkoan Hi mengajukan permintaan itu. Dan sebelum Kaisar sendiri menjawab, Co Hua-sun sudah bersuara tajam, "Tuan Siangkoan, sejak kapan kau bernyali begini besar dan mencoba memerintah Sri Baginda?"

Siangkoan Hi berlagak tuli terhadap ucapan Co Hua-sun itu, dan mengulangi permohonannya, "Ampun Tuanku, harap Tuanku berkenan mengabulkan permohonan hamba..." dan untuk memperkuat permintaannya, ia berlutut sampai jidatnya menyentuh lantai.

Bukan kepalang gusarnya Co Hua-sun karena tidak digubris, namun sekaligus juga merasa gentar. Ia sudah dilapori Wan Hoa-im, bahwa di luar istana itu ada pasukan besar yang siap mendukung Siangkoan Hi, ditambah lagi dengan pasukan Ou Hin yang juga membangkang. Co Hua-sun merasa posisinya mulai gawat.

Orang-orang yang membencinya agaknya mulai membentuk satu barisan yang kuat, sedangkan bantuan Manchu yang diharap-harapkan Co Hua-sun belum muncul-muncul juga. Maka biarpun marah, Co Hua-sun menahan diri.

Dalam pada itu Kaisar Cong-ceng pun berkata, "Baik, akan kubaca sendiri...."

Kaisarpun kemudian membacanya. Beberapa saat ruangan itu hening, hanya terdengar keresek-keresek kertas di tangan Kaisar. Kemudian kelihatan wajah Kaisar menjadi merah padam karena gusar, sampai surat itu kemudian dirobeknya lalu dihamburkannya penuh kemarahan.

"Membaca surat itu, aku jadi tidak perlu bersedih lagi akan kematian Adinda Seng-ong. Karena dia sendiripun siap menghancurkan aku dengan bantuan Tentara Asing!"

"Tenanglah, Tuanku, tidak perlu marah-marah..." Co Hua-sun cepat-cepat cari muka. "Pengkhianat itu semalam telah menunjukkan wajah aslinya, dan sudah menerima ganjarannya yang setimpal!"

"Ya, untunglah Co Kong-kong segera menolongku. Kalau tidak, tentu aku sudah menjadi korban pengkhianatannya!"

Kata-kata ini seketika membuat Siangkoan Hi sekalian terperangah, seolah ulu hati mereka tiba-tiba dijotos. Ternyata inilah yang terjadi. Memang Pangeran Seng-ong telah mencoba berontak, tapi tidak bersama Co Hua-sun, malah Co Hua-sun yang menolong Kaisar. Jadi Co Hua-sun sudah sulit dituduh bersekongkol dengan Pangeran Seng-ong. Sulit menuduh seorang "pahlawan" yang baru saja "menunjukkan kesetiaannya".

Helian Kong yang paham benar kejahatan Co Hua-sun, tahu pasti ada sesuatu yang busuk di belakang itu. Tapi mau membuktikan dengan apa? Yang bisa membuktikan pengkhianatan Co Hua-sun adalah Pangeran Seng-ong, tapi kalau yang diharapkan pengakuannya sudah mati, apakah harus menanyai mayat?

Kesunyian dipecahkan oleh suara Kaisar, "Menteri Siangkoan, betapapun aku berterima kasih kepadamu. Tapi ada yang belum kau ketahui, semalam kelompok pengkhianatan itu telah ditumpas habis, tidak ada lagi kekuatiran."

Karena jalan buntu, akhirnya Siangkoan Hi jadi nekad, "Tuanku, tidakkah kita patut mencurigai bahwa komplotan pemberontak itu sebenarnya cukup luas jaringannya, tidak hanya Pangeran Seng-ong sendirian? Menilik watak dan tabiat Pangeran Seng-ong yang penakut, hamba tidak yakin dia sendiri berani merencanakan seuatu yang begitu hebat. Tentu masih ada anggaota komplotan yang bersembunyi, dan belum membuka kedoknya. Mereka masih tetap membahayakan kekuasaan Tuanku."

"Tindakan apa yang kau usulkan?"

"Selidiki semua anggauta atau pengikut Pangeran Seng-ong, kalau perlu anggauta-angggauta keluarganya. Mungkin akan diketemukan petunjuk tentang orang lain yang ikut berkomplot!"

"Pengikut-pengikut Adinda Seng-ong semalam sudah dihabiskan, tidak tersisa seorangpun!"

"Siapa yang menyuruh penumpasan?"

"Co Kong-kong."

"Ampun Tuanku, bagaimana dengan anggauta keluarganya?"

"Tadi pagi Co Kong-kong melapor kepadaku, bahwa ketika ia menjenguk keluarganya di dalam tahanan, ternyata semuanya sudah bunuh diri minum racun."

"Yang pergi ke tahanan adalah Co Kong-kong, dan yang melapor kepada Tuanku juga Co Kong-kong?"

"Benar."

Tambah nekadlah Siangkoan Hi, "Aneh. Waktu menghadapi pengikut Pangeran Seng-ong, kenapa Co Kong-kong tidak berpikir untuk menangkap hidup-hidup beberapa orang, agar bisa ditanyai? Juga aneh, di dalam penjara itu, dari-mana keluarga Pangeran Seng-ong mendapat racun untuk bunuh diri? Hamba rasa kejanggalan-kejanggalan ini harus dibuat terang, agar tidak menimbulkan penasaran!"

"Tuan Siangkoan, apa maumu sebenarnya?" tiba-tiba Co Hua-sun melengking gusar. "Mau mengungkit-ungkit persoalan yang sudah beres, agar kau dikira jadi pahlawan? Sayang, kalau mau jadi pahlawan kau sudah kesiangan. Atau memang sekedar mau merenggangkan hubunganku dengan Sri Baginda?"

Melihat Co Hua-sun marah, Siangkoan Hi malah senang. Sebab orang kalau sudah marah tentu lupa diri, kata-katanya tysa tak terkendali. Maka ia mau membuat Co Hua-sun lebih marah lagi agar mengeluarkan kata-kata yang bisa menjerat lehernya sendiri.

Sambil tertawa terkekeh, sengaja untuk menjengkelkan Co Hua-sun, Siangkoan Hi berkata, "Co Kong-kong, aku belum menuduhmu, Iha kok kau sudah ketakutan sendiri? Tapi terus terang saja, aku curiga bahwa penumpasan pengikut-pengikut dan keluarga Pangeran Seng-ong hanyalah semacam usaha pihak lain untuk membungkam mulut mereka demi mengamankan sisa komplotan pengkhianat!"

Bergantian wajah Co Hua-sun menjadi pucat dan merah padam. Beberapa saat ia bungkam, kemudian berkata kepada Kaisar, "Tuanku, hamba harus membersihkan diri dari sangkaan yang tidak benar. Untuk itu, hamba setuju usul Siangkoan Taijin agar kita selidiki komplotan jahat itu! Yang terlibat harus dihukum mati!"

Taktik "banting setir" itu membuat Siangkoan Hi sekalian diam-diam mengutuk kelicikan si thai-kam tua. Lebih celaka lagi, Kaisar Cong-ceng memang seorang yang berpendirian lemah. Baru mendengar kata-kata macam itu saja, terus dia tidak berprasangka lagi kepada Co Hua-sun.

Sementara Co Hua-sun tidak buang waktu lagi untuk membangun "serangan balik". Tanyanya kepada Siangkoan Hi, "Tuan Siangkoan, boleh aku tahu, dari-mana kau dapatkan surat Pangeran Seng-ong ini?"

"Dari Helian Cong-peng...." sahut Siangkoan Hi yang berusaha menonjolkan jasa Helian Kong agar kedudukannya dapat dipulihkan.

Tapi Co Hua-sun dengan licin memutar baliknya untuk menghantam Siangkoan Hi, "Helian Kong maksudmu? Tuan Siangkoan, apa kau sudah lupa maklumat istana yang belum lama ini dikeluarkan, mengenai diri Helian Kong? Dia dituduh pengkhianat dan tuduhan itu belum dicabut. Sekarang malahan kau ajak pengkhianat ini menghadap Sri Baginda dengan tetap memakai pakaian panglimanya, kau sendiri tetap memanggilnya Cong-peng, apa maksudmu sebenarnya? Menganggap tak berharga maklumat istana yang dicap oleh Sri baginda sendiri?"

Semula memang Siangkoan Hi ingin memancing kemarahan Co Hua-sun, kini malahan ia sendiri yang terpancing, "Helian Cong-peng hanya dituduh! Kini Helian Cong-peng telah membuktikan kesetiaannya dengan berupaya ikut membongkar komplotan pengkhianat yang bersembunyi dalam istana itu! Kami membawanya kemari justru untuk mohon kepada Sri Baginda agar memulihkan nama dan kedudukannya!"

"Oh begitu?" Co Hua-sun terkekeh. "Helian Kong, mau kau katakan darimana surat itu kau dapatkan?"

"Aku dapat dari seorang tokoh persilatan yang agaknya mengetahui tentang persekongkolan itu."

"Ya, tapi tokoh itu ada namanyakan? Siapa?"

Helian Kong berpikir cepat, kalau menjawab jujur dengan menyebut Ko Ban seng si tokoh Pelangi Kuning, sungguh merupakan tindakan tolol yang mencari kesulitan saja. Maka jawabnya, "Tokoh itu kutemui dalam gelapnya malam, aku tidak lihat wajahnya dan diapun tidak menyebut namanya."

"He-he-he... sungguh jawaban yang seenaknya dan tidak bertanggung jawab. Tokoh tak dikenal, mukanya tak kelihatan, namanya tidak disebutkan, Begitu saja memberikan surat ini kepadamu untuk disampaikan kepadamu, he-he-he..." ejek Co Hua-sun. "Helian Kong, siapa yang kau harapkan mempercayai bualanmu itu?"

Muka Helian Kong memerah dan tinjunya dikepalkan. Sebelum ia menemukan kata-kata bantahan, Co Hua-sun telah berkata pula, "Helian Kong, kalau benar-benar sejujurnya kau ingin menggagalkan pengkhianatan Pangeran Seng-ong, kenapa baru kau serahkan bukti ini sekarang dan bukan sebelumnya? Padahal sekarang tidak ada gunanya lagi biarpun kau beberkan kejahatan Pangeran Seng-ong yang belum kami ketahui, sebab Pangeran Seng-ong sudah tertumpas. Kau datang sekarang pastilah hanya untuk mencari muka!"

Mendidih darah Helian Kong mendengarnya, juga teman-temannya. Sungguh lihai Co Hua-sun memutar balik kenyataan, kedudukannya benar-benar sulit digeser kalau hanya mengandalkan debat saja. Untuk menyelamatkan negara, rupanya hanya dengan membunuh Co Hua-sun.

Sementara Co Hua-sun melanjutkan lagi, "Pangeran Seng-ong pasti menyimpan rapat- rapat surat ini sebagai bukti kebusukannya, tentu hanya orang-orang kepercayaannya pula yang diserahi surat ini untuk disampaikan kepada To Ji-kun. Masuk akal tidak kata-kata hamba ini, Tuanku?"

Co Hua-sun mencoba mendapatkan dukungan Kaisar, dan ia mendapatkannya. Kaisar menganggu-angguk sambil mengusap-usap jenggotnya. Maka Co Hua-sun pun makin besar hatinya,

"Tuanku, pasti Helian Kong itulah perantara antara Pangeran Seng-ong dengan To Ji-kun, buktinya surat itu ada di tangannya. Setelah Pangeran Seng-ong gagal dan tewas, Helian Kong lalu menggubah haluan, pura-pura ingin ikut membuktikan kejahatan Pangeran Seng-ong. Agar tampil seperti pahlawan.

"Padahal tanpa bantuannyapun sudah hamba tumpas Pangeran Seng-ong. Sekarang Helian Kong ingin kedudukannya dalam tentara Kerajaan dipulihkan, tak lain agar bisa terus merongrong pemerintahan Tuanku demi kepentingan majikannya yang asli, entah Li Cu-seng entah Kaisar Manchu."

"Co Hua-sun, kubunuh kau!" Helian Kong tak dapat menahan diri lagi sehingga lupa kalau sedang di hadapan Kaisar, la melompat menerkam Co Hua-sun dengan sepasang cengkeramannya.

Serempak para thai-kam bergerak melindungi Co Hua-sun dan mencabut pedang-pedang mereka. Sebagian menutupi tubuh Co Hua-sun, sebagian lagi maju menghadang Helian Kong di tangga singgasana. Meskipun sedang bertangan kosong, dalam kemarahannya Helian Kong jadi amat berbahaya. Sambil mendesak maju, ia mencengkeram, membanting dan menendang dengan tangkas. Beberapa thai-kam terbanting luka parah ataupun mencelat berhamburan ke segala arah.

Kaisar terkejut dan gemetar melihat keributan yang mendadak muncul, bibirnya bergerak-gerak tapi tidak mengeluarkan suara, ia ketakutan karena ingat peristiwa semalam. Ia kira Helian Kong akan melakukan hal yang sama dengan Pangeran Seng-ong semalam.

Sedangkan Co Hua-sun membentak, "Helian Kong! Berani kau berbuat begini di hadapan Kaisar? Mau berontak?"

Bentakan itu betapapun juga menyadarkan Helian Kong akan waktu dan tempatnya. Cepat ia melompat mundur, turun dari tangga singgasana, lalu berlutut dan berkata, "Hamba mohon ampun, Sri Baginda. Hamba begitu marah mendengar kata-kata Co Kong-kong tadi."

Belum lagi Kaisar menjawab, suara Co Hua-sun sudah lebih dulu terdengar, "Enak saja, habis mengacau terus minta diampuni begitu saja. Kalau kau tidak dihukum, pasti banyak orang tidak lagi menghargai istana, lama-lama istana ini akan dianggap seperti kakus umum di mana orang-orang bisa keluar masuk seenaknya saja! Pengawal, tangkap dia!"

Begitulah Co Hua-sun memberi perintah melancangi Kaisar. Para thai-kam segera menyerbu Helian Kong dengan pedang. Tapi para panglima teman-teman Helian Kong siap membela Helian Kong biarpun tidak bersenjata. Melihat Helian Kong tetap berlutut saja, Bu Sam-kui berteriak,

"Saudara Helian, kalau kau tetap tidak mau melawan, berarti membiarkan para tukang fitnah tetap merajalela di istana! Ayo lawan...!"

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.