Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 22

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong seri pertama, kembang jelita peruntuh tahta jilid 22 karya Stevanus S.P

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 22

Bukan hanya bicara, Bu Sam-kui juga telah menjotos roboh dua orang thai-kam. Demikianlah, di depan Kaisar saja terjadi baku hantam dua golongan yang saling membenci sejak lama itu. Menandakan wibawa Kaisar tak terasa lagi oleh mereka, sehingga berani mengambil tindakan sendiri-sendiri.

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

Sedangkan Co Hua-sun merasa kedudukannya sedang di atas angin. Semalam ia telah menjadi "pahlawan penyelamat" bagi kaisar, sehingga ia diijinkan kembali mempersenjatai para thai-kam. Karena Kaisar tidak bertindak apa-apa.

Co Hua-sun pun mengeluarkan perintah untuk menangkap Siangkoan Hi dan kesepuluh panglima itu. Inilah kesempatan untuk menumpas mereka. Dari bagian dalam istanapun berhamburan ratusan thai-kam bersenjata yang langsung bertindak.

Karena Helian Kong dan teman-temannya hanya berjumlah sepuluh orang, maka mereka segera terkurung di tengah-tengah para thai- kam itu, seperti sebuah pulau kecil di tengah-tengah sa-mudera luas. Tapi mereka tidak lupa untuk tetap melindungi Siangkoan Hi yang tidak bisa bersilat.

Sambil membela diri dari serangan kawanan thai-kam, Helian Kong masih mencoba berseru ke arah Kaisar, "Tuanku! Kami mohon perlindungan. Kami tidak seperti yang dituduhkan oleh Co Kong-kong!"

Kalau Helian Kong berbuat demikian, bukan karena takut, namun mencoba menyadarkan Kaisar akan arti kehadirannya di situ, agar mengambil sesuatu tindakan. Dan ternyata "tindakan" yang diambil Kaisar Cong-ceng hanyalah geleng-geleng kepala sambil mengusap-usap jenggot, tanda tak berani menentang ke-mauan Co Hua-sun.

Dua kali Helian Kong mengulangi seruannya. Namun karena Kaisar nampaknya tak berdaya, Helian Kong pun merasa boleh membela diri, maka iapun berseru untuk keempat kalinya, "Tuanku, hamba sekalian tetap menghormati Tuanku, tapi terpaksa harus membela diri dari tindakan sewenang-wenang!"

"Bunuh mereka!!" ujung kata-kata Helian Kong disambung lengkingan nyaring Co Hua-sun. "Mereka hanya pengikut-pengikut Pangeran Seng-ong yang mencoba berbalik haluan!"

Demikianlah. Buat Co Hua-sun, vonis itu tak perlu didahului pemeriksaan yang seksama, cukup apa yang tertulis dalam pikirannya terus diucapkan dan dilaksanakan oleh pengikut- pengukutnya. Dengan cara itu, entah sudah berapa banyak korbannya.

Sementara Helian Kong tidak membiarkan dirinya jadi korban fitnah berikutnya. Ia berkelebat dalam gerak Hui-eng-poan-soan (Elang Terbang Berputar) yang amat cepat, menerjang di antara kerumunan para thai-kam itu. Beberapa thai-kam bergelimpangan kena hantamannya.

Dan ketika Helian Kong kembali ke tempatnya semula maka tangannya sudah membawa pedang-pedang rampasan, jumlahnya pas dengan jumlah teman-temannya ditambah diri sendiri. Pedang-pedang itu lalu diberikan untuk teman-temannya yang belum memperoleh senjata. Beberapa orang teman sudah lebih dulu merebut senjata musuh.

Para thai-kam makin banyak yang menyerbu. Agaknya yang akan dapat lolos dari situ hanyalah Helian Kong dan Siangkoan Heng, Karena ilmu mereka yang tinggi. Yang lain-lain sulit diharapkan bisa lolos, mungkin untuk memberi isyarat kepada pasukan yang di luarpun takkan sempat.

Kemudian prajurit-prajurit Jenderal Ou Hin menyerbu masuk pula ke dalam paseban Gin-loan-tian yang sedang jadi ajang baku hantam itu. Jenderal tua itu membentak dengan suaranya yang masih keras, "Berhenti bertempur! Kalian kira tempat apa ini?!"

Melihat munculnya Ou Hin, Co Hua-sun lalu berteriak, "Bagus kau datang, Ou Goan-swe. Pengkhianat-pengkhianat itu memang kurang ajar, tangkap mereka!"

Namun Ou Hin dengan gusar balas membentak, "Pengkhianatnya yang mana, belum bisa ditentukan, tapi kau sudah melancangi perintah Sri Baginda. Hem, Co Hua-sun, kau pintar menggunakan segala kesempatan untuk menyingkirkan orang-orang yang tidak kau senangi Kau bisa menguasai anak buahmu atau tidak?!"

Sikap Ou Hin diluar dugaan Co Hua-sun. Tadi pagi ketika dipanggil ke istana untuk ditugasi melindungi istana, jenderal itu kelihatannya patuh sekali. Ternyata kepatuhan itu umurnya tidak sampai setengah hari.

"Ou Goan-swe, kau berani membangkang perintah Kaisar?" kali ini Co Hua-sun mencoba menggertak dengan menggunakan pengaruh Kaisar.

Tapi Ou Hin tidak gentar, "Aku tidak sudi kau peralat untuk membunuh orang-orang yang benar-benar setia. Kalau kau tidak menguasai orang-orangmu, pasukanku akan bergerak!"

Pucatlah muka Co Hua-sun mendengar ini, apalagi ketika dilihatnya pasukan Ou Hin kemudian benar-benar menyerbu. Tak terhindari lagi pertempuran jadi meluber ke sekeliling aula Gin-loan-tian, kemudian karena yang bertempur semakin banyak maka juga meluas ke bagian istana yang lain.

Begitulah, selagi pertempuran di bagian depan istana itu berkobar, mendadak dari lapangan Tian-an di luar istana terdengar sorak sorai dan suara pertempuran pula. Entah siapa melawan siapa lagi yang bertempur itu.

Seorang perwira bawahan Ou Hin berlari-lari masuk, bahkan lupa memberi hormat kepada Kaisar yang sedang panas dingin di singgasananya, orang itu langsung melapor kepada Ou Hin,

"Goan-swe, pasukan yang mengiringi Siangkoan Taijin tiba-tiba telah bertempur dengan pasukan yang dipimpin Panglima Him Tek pun yang baru saja datang. Kami tak tahu harus bersikap bagaimana."

Ou Hin diam-diam menarik napas. Him Tek-pun adalah seorang begundal Co Hua-sun, sudah lama saling membenci dengan Tio Tong-hai. Kini kedua pihak bertemu membawa pasukan masing-masing, selagi kota Pak-khia seolah-olah tanpa hukum, tidak heran kalau kedua panglima yang saling membenci itu langsung saja memanfaatkan kesempatan itu untuk saling gempur.

Pikir Ou Hin, "Kalau keadaan ini berkepanjangan, kota Pak-khia pasti akan hancur karena pertentangan dalam tubuh Tentara Kerajaan sendiri. Dan sumbernya adalah kelemahan wibawa Kaisar yang terlalu dikendalikan Co Hua-sun. Dan untuk menyelamatkan negara, tak lain haruslah cepet-cepat menumpas Co Hua-sun agar pengikut-pengikutnya pun gampang ditundukkan.

Pertimbangan itu mengantarkan Ou Hin ke sikap keras yang segera diwujudkan dalam tindakan tanpa ragu-ragu lagi. Perintahnya kepada pasukannya, "Bebaskan Kaisar dari tengah-tengah para kebiri!"

Perwiranya yang melapor tadi tercengang, "Pasukan-pasukan yang bertempur di luar itu, bagaimana?"

"Biarkan dulu. Tarik semua pasukan kita ke dalam istana untuk menumpas Co Hua-sun dan anjing-anjingnya!"

"Nanti kita dituduh memberontak...."

"Tidak peduli. Dulu Jenderal Wan juga dihukum dengan tuduhan mengkhianat, tapi beliau pasrah saja karena tidak menginginkan merosotnya wibawa istana. Tapi kalau sikap pasrah macam itu berlarut-larut, hanya Co Hua-sun yang beruntung terus. Sekarang jalankan perintah dan jangan tanya-tanya lagi!"

Pasukan Ou Hin pun masuk istana, dan situasi penuh kekerasan itupun menghebat. Prajurit-prajurit Ou Hin tadinya bertempur sekedar melindungi Siangkoan Hi sekalian, tapi sekarang mereka bertempur lebih agresif karena tujuannya adalah menumpas Co Hua-sun yang dilindungi para thai-kam.

Maka korban-korbanpun jadi lebih cepat berjatuhannya. Para thai-kam yang selama ini diam-diam latihan silat, melawan dengan gigihnya. Dari bagian dalam istana, kembali serombongan thai-kam bersenjata untuk membantu teman-teman mereka di luar.

Sedang dari luar istana, pasukan Ou Hin menyerbu masuk seperti air bah. Situasi terlanjur tak terkendali. Masing-masing pihak sama-sama jemu menahan diri, kini mereka pertaruhkan kepentingan golongan masing-masing di u-jung senjata.

Sementara itu Helian Kong telah mendapat kembali Tiat-eng Po-kiam dari seorang bawahan Ou Hin yang tadi menjaga di depan Gin-Ioan-tian dan menahan para penghadap. Di tengah kekacauan itu, Helian Kong memutuskan akan mempercepat menyelesaikan sebelum korban semakin banyak. Dan tanpa berjanji, pendapatnya ternyata sama dengan Ou Hin, bahwa penyelesaian itu hanya dengan lenyapnya Co Hua-sun.

Dengan pedang Tiat-eng Pokiam di tangan, Helian Kong mendesak maju, mencoba menembus barisan para thai-kam yang bertahan melindungi Co Hua-sun itu. Kalau toh ia harus membunuh beberapa thai-kam yang merintanginya, itu bukan tujuannya. Tujuannya ialah mencapai Co Hua-sun si biang kerok.

Co Hua-sun yang selama ini aman dan berkuasa di istana, kini mulai panik, hatinya goyah melihat perkembangan tak terduga itu. Percuma saja berkali-kali mencoba menggertak dengan tak lupa menyebut "atas nama Kaisar", lawannya tidak menggubris malah menambah kemarahan mereka.

Kemudian tiba saatnya para thai-kam harus mengakui kenyataan, mereka terdesak dan sebagian mundur ke bagian dalam istana dengan meninggalkan banyak teman-teman mereka yang bergelimpangan mati. Mereka mundur ke bagian inti istana yang disebut Kota Terlarang, dengan harapan lawan-lawan mereka tak berani mengejar.

Namun ternyata prajurit-prajurit itu terus mengejar dan tidak lagi menghiraukan tempat-tempat terlarang. Perkelahian berdarah dan massal makin menyebar di Kota Terlarang. Dayang-dayang istana menjerit-jerit panik, pengawal-pengawal istana juga bingung, tak tahu harus memihak yang mana.

"Mereka berontak, cepat tumpas mereka!" teriak para thai-kam untuk mendapat bantuan pengawal-pengawal istana.

Tapi prajurit-prajurit Ou Hin tidak mau kalah dalam perang mulut, "Para thai-kam tukang fitnah itu selama ini mencoba menguasai Kaisar. Rekan-rekan dalam istana, bantu kami menangkap tukang-tukang fitnah itu!"

Dua pihak yang bertarung sama-sama mengaku "atas nama Kaisar", sehingga makin membingungkan pengawal-pengawal istana. Pusat dari pertempuran itu tetap di Gin-loan-tian. Di situ Helian Kong terpaksa bersikap keras terhadap para thai-kam yang merintanginya.

Pedangnya berkelebatan tanpa wujud kecuali cahaya keperak-perakan, yang menyambar dan melebar kian ke mari, tiap kali dibarengi jeritan kematian dari para thai-kam yang jadi korbannya. Para thai-kam berhamburan, sementara Helian Kong makin dekat ke tempat Co Hua-sun.

Memang langkah Helian Kong begitu alot, sebab para thai-kam yang sehari-harinya bertingkah kebanci-bancian itu sekarang jadi nekad semuanya. Semuanya sadar kalau hari itu mereka mempertaruhkan nasib mereka. Kalau kalah berarti harus memikul beban kebencian musuh-musuh golongan mereka, kebencian yang sudah "ditabung" bertahun-tahun. Karena itulah mereka tidak ingin kalah. Mereka sadar pula, itulah pertempuran tepat di garis batas hidup dan mati.

Kalau para thaikam begitu berani, sebaiknya nyali Co Hua-sun makin ciut, la tidak menyangka akan sekacau itu jadinya, menjurus ke pertentangan terbuka, padahal ia belum siap untuk itu mengingat perimbangan kekuatan belum menguntungkannya. Golongan yang membencinya masih lebih besar dari golongan yang mendukungnya.

Kalau selama ini ia masih bisa bercokol di samping Kaisar, tak lain karena kepandaiannya dalam mempengaruhi keputusan-keputusan Kaisar serta menyebarkan perpecahan di dalam golongan yang membencinya. Kini setelah para pembenci itu kompak bersatu, Co Hua-sun melihat bahaya besar di depan hidungnya.

Namun dia cepat mendapatkan akal. Kaisar Cong-ceng harus dijadikannya "jimat pelindung"nya. Selama Kaisar di tangannya, golongan yang membencinyapun takkan bisa bertindak terlalu jauh. Ketika melihat Helian Kong makin dekat kepadanya dengan membabati orang-orangnya, Co Hua-sun cepat berkata kepada Kaisar,

"Tuanku, pemberontak-pemberontak itu rupanya sudah nekat. Keselamatan Tuanku tidak terjamin lagi di sini, lebih baik hamba antar Tuanku mundur ke Yang-wan-hu lebih dulu."

Waktu itu Kaisar sudah seperti lumpuh di tempatnya, hampir tak mampu menggerakkan tubuh karena takutnya melihat keganasan di sekitarnya. Di paseban Gin-loan-tian di mana semua orang biasanya bersifat tertib, sekarang semua orang menjadi kasar, hewaniah, buas. Biasanya di tempat itu orang tidak boleh membawa senjata, sekarang malah ribuan senjata sudah dihunus dibenturkan, dibasahi darah, dan masih terus mencari tambahan mangsa.

"Tuanku, cepatlah...." desak Co Hua-sun makin gugup.

Di sela napasnya yang terengah-engah tegang, Kaisar berkata, "Kong-kong, tidak bisakah Kong-kong berkompromi dengan mereka untuk mencari jalan keluar? Kenapa harus saling bunuh seperti ini?"

Coa Hua-sun melihat Helian Kong makin dekat. Masih ada beberapa thai-kam yang menghalanginya, tapi tak lama penghalang-penghalang itupun pasti akan pecah pertahanannya. Melihat Kaisar masih berayal-ayalan menuruti permintaannya, Co Hua-sun habis sabarnya dan tidak mau lagi bertele-tele menjelaskan.

Tiba-tiba saja ia mengeluarkan sebilah belati dari jubahnya, terus ditodongkan ke dada Kaisar Cong-ceng sambil berkata mengancam, "Turuti aku, atau mampus sekarang juga!"

Kaisar terkejut tak disangkanya kalau hamba "setia" itu tiba-tiba bersikap demikian. Wajahnya bengis, sinar matanya menunjukkan kalau dia takkan ragu-ragu melaksanakan ancamannya. "Kong-kong, kau...."

Namun tubuh Kaisar segera diseret sambil ditodong pisau oleh Co Hua-sun yang bertubuh gemuk dan kuat itu. Dibawa ke bagian dalam istana.

Helian Kong yang senantiasa memperhatikan Co Hua-sun, biarpun dari kejauhan, murka ketika melihat tindakan Co Hua-sun kepada Kaisar itu. Teriaknya, "Co Hua-sun! Pengkhianat! Lepaskan Sri Baginda!"

Dan karena kemarahannya itu, celakalah para thai-kam yang masih merintanginya. Mereka tergulung binasa oleh jurus Heng-sau-jian-kun (Menyapu Seribu Pasukan). Lalu Helian Kong sendiri cepat-cepat melompat mengejar Co Hua-sun yang menyeret Kaisar.

Namun Co Hua-sun membentak, "Helian Kong, berhentilah di tempatmu! A-tau harus kupotong leher rajamu yang tolol ini?!"

Helian Kong benar-benar menghentikan langkahnya, karena kuatir akan keselamatan Kaisar. Betapapun lemahnya, dia masih dianggap pemersatu kerajaan. Kalau Kaisar mati, Kerajaan Beng akan tercerai berai karena di wilayah selatan banyak para bangsawan kerabat Kaisar yang pasti akan berebutan tahta yang kosong.

Dengan menyandera Kaisar, mundurlah Co Hua-sun dan pengikutnya-pengikutnya ke bagian dalam istana. Di tempat itu, Co Hua-sun menyusun pertahanan seluruh Keluarga Kaisar, termasuk Siangkoan Yan yang sedang di istana untuk menemani Puteri Tiang-ping yang sedang kurang sehat.

Istana itupun terbelah dua. Satu bagian dikuasai Co Hua-sun dan pengikut-pengikutnya. Bagian lain dikuasai pasukan-pasukan yang setia kepada Kaisar, namun tak bisa bertindak lebih lanjut mengingat keselamatan Kaisar dan keluarganya. Pertempuran berhenti, kedua belah pihak tetap bertahan di tempat-tempat yang sudah mereka kuasai.

Co Hua-sun sebetulnya belum siap membuka topengnya. Ia masih menunggu datangnya pasukan Manchu yang diharapkan datang dalam beberapa hari ini, sebab dua hari yang lalu ia sudah mengirim utusan rahasia kepada Pangeran To Ji-kun agar mempercepat datangnya bantuan.

Kalau pasukan asing itu sudah tiba, entah bagaimana caranya menyeberangi perbatasan tanpa ketahuan, barulah Co Hua-sun akan merebut negara. Namun hari itu Co Hua-sun dipaksa membuka kedok dengan menyandera keluarga Kaisar. Tanpa tindakan ini, dia akan digilas lembut- lembut oleh golongan militer yang sudah lama membencinya.

Kini Co Hua-sun hanya akan mengulur waktu sambil menunggu bantuan luar. Ia cukup berbesar hati, karena pasukan-pasukan yang mendukungnya cukup besar, meskipun belum bisa menandingi kekuatan musuh. Apa yang terjadi di seluruh Pak-khia sama dengan yang terjadi di istana.

Dimana-mana ada pasukan-pasukan yang berhadap-hadapan siap tempur, atau malah sudah bertempur. Tentara kerajaan terpecah, jalur perintah jadi kacau. Kota Pak-khia jadi seperti sebuah onggokan bahan peledak yang menunggu sumbunya diledakkan untuk menyulap segalanya jadi puing.

Helian Kong menjadi cemas ketika mendengar laporan-laporan tentang situasi kota. Ia amat kuatir pengikut-pengikut Li Cu- seng akan memanfaatkan keadaan itu demi keuntungan sendiri, misalnya memanaskan situasi agar bentrokan berkobar dan akhirnya melumpuhkan Tentara Kerajaan sendiri.

Karena itu, dengan satu alasan tertentu, Helian Kong minta ijin Jenderal Ou Hin yang untuk sementara itu memegang pimpinan semua pasukan yang setia kepada Kaisar. Setelah ijin diberikan, Helian Kong menuju ke kuburan di mana ia berharap akan menjumpai lagi pengikut-pengikut Li Cu-seng.

Helian Kong mencoba akan mengadakan tawar menawar dengan mereka. Harapan memang kecil, tetapi kata pepatah : untuk orang yang hampir tenggelam, sepotong rumput hanyutpun akan digenggam erat-erat sebagai harapan terakhir.

Walaupun di siang hari bolong, kuburan itu tetap sunyi, karena sedang tidak ada upacara pemakaman. Di Pak-khia memang sedang banyak mayat, namun semuanya diurus serba darurat dan tidak pakai upacara segala. Sejauh mata memandang hanyalah cungkup-cungkup serta batu-batu nisan berbagai bentuk dan ukuran, serta pepohonan peneduh yang gemerisik kena angin.

Lingkungan itu begitu damai, seolah terpisah dari suasana kota yang tengah panas oleh permusuhan dan kebencian. Helian Kong celingukan mencari Ko Ban-seng atau Liong Tiau-hui atau ang-gauta kelompok mata-mata Li Cu-seng lainnya. Namun tidak nampak bayangan seorangpun, sehingga batinnya gelisah.

Sambil berjalan hilir mudik di bawah sebuah pohon, tak henti-hentinya Helian Kong mengutuk sendirian, "Tak kusangka kalau Co Hua-sun dibela orang sebanyak itu. Bahkan cukup banyak panglima yang agaknya sudah dijerat oleh uang haramnya. Untuk menghancurkannya, rupanya akan diperlukan tidak sedikit pengorbanan. Dan celakanya lagi, masih ada para pemberontak yang diam-diam selalu mengintai untuk menunggu kesempatan."

Helian Kong paham bahwa keruwetan itu adalah buah dari kepribadian lemah Kaisar Cong-ceng selama ini. Kepribadian yang takut menghadapi tantangan dan mau enaknya saja, dan akibatnya lalu banyak menyerahkan urusan kepada Co Hua-sun yang akhirnya makin berkuasa. Kalau Kaisar berpendirian teguh, bagaimanapun kuatnya rongrongan musuh dari dalam maupun dari luar, tentu takkan muncul situasi separah itu.

Cuma Kaisar Cong-ceng tak salah sepenuhnya, kesemrawutan dalam pemerintahan itu juga karena "diwarisi" dari pendahulunya, Kaisar Hi-cong. Tengah Helian Kong gelisah, tiba-tiba didengarnya suara terkekeh-kekeh. Lalu muncullah Ko Ban-seng, yang kedatangannya ternyata tidak perlu ditunggu sampai malam.

Ko Ban-seng menatap pakaian Helian Kong. Kemarin Helian Kong masih berpakaian dekil, sekarang ia sudah berpakaian seorang panglima yang nampak baru.

"Jadi inikah hasilmu menghadap ke istana?" tanya kakek gendut itu sinis. "Bukan lebih dulu menyelamatkan tanah leluhurmu dari komplotan penjual negara, malah lebih dulu merebut kembali kursi empukmu. Hem, memang mental pejabat-pejabat kerajaan ya begini-begini saja. Mula-mula bersemangat berkobar-kobar menggempur Co Hua-sun, tapi begitu mendapat kedudukan tentu semangatmu pun sekarang sudah lembek. Benar tidak?"

"Tidak! Pak tua, tahukah apa yang terjadi di istana pagi ini?"

"Mana aku tahu? Aku cuma melihat pasukan bertebaran di seluruh kota, malah aku sudah menyangka kalau mereka akan menangkap kami."

"Kalau belum tahu betul urusannya, jangan menuduh dulu. Tak pernah terpikir sedikitpun di benakku, bahwa aku akan sudi hidup berdampingan dengan komplotan pengkhianat negara itu!"

"Terus bagaimana hasilmu menggerebek Co Hua-sun?"

"Dia menyandera keluarga Kaisar dan menyiagakan semua pengikutnya."

"Jadi kalian tidak berdaya menghadapi dorna kebiri itu bukan? Aku heran. Apa hebatnya Kaisar tolol itu sehingga kau pertimbangkan benar keselamatannya? Lebih baik serbu saja ke istana, tumpas komplotan jahat itu, tidak usah pedulikan nasib Kaisar goblok itu. Dia kan korban kegoblokannya sendiri, mampus ya biar!"

"Pak tua, jaga mulutmu. Ingat kalau nasib kedua muridmu masih di tangan kami!"

Dalam hal ini sebetulnya Helian Kong berbohong. Sampai detik itu, ia tidak tahu di mana Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi, karena kelompok Co Hua-sun-lah yang "menyimpan" mereka. Helian Kong sengaja menggertak, untuk memperkuat posisi berundingnya.

Memang Ko Ban-seng terpengaruh oleh gertakan itu. Geramnya, "Seujung rambutpun murid-muridku ada yang luka, aku bersumpah akan menghancur leburkan Pak-khia hari ini juga, dengan cara mengadu domba pasukan-pasukan kerajaan. Aku tidak peduli lagi akan pesan Jenderal Li Giam kepadaku!"

"Kedua muridmu tak kurang suatu apa, asal kau menyetujui syaratku," Helian Kong mulai menekan.

"Apa yang kau minta dari kami?"

"Jangan mengambil keuntungan dalam ketegangan intern tentara Kerajaan saat ini. Jangan coba-coba mengadu domba. Itu saja yang kami minta."

"Kalau kami turuti, kedua muridku dan tiga saudara Giam akan dibebaskan?"

"Wah, itu harus dirundingkan nanti, bukan sekarang."

"Setan cilik, sungguh licik kau!"

"Lho, aku memang tidak bisa menjanjikan apa yang tidak dalam tanganku. Aku bukan pemegang kekuasaan tertinggi atas pasukan-pasukan di Pak-khia, maka bebas atau tidaknya kedua muridmu dan ketiga kawan mereka itu tidak bisa kujanjikan!"

"Setan cilik, sungguh aku ingin mencekikmu sampai mampus!"

"Akupun seandainya mampu tentu sudah memberimu minum racun tikus, pak tua!"

Ko Ban-seng terdesak, akhirnya ia pun menyerah, "Baik, akan kukendalikan orang-orangku agar tidak mengeruhkan situasi."

"Nah, sikap itu barulah sikap lelaki bangsa Han sejati. Rela meminggirkan kepentingan golonganmu sendiri demi keselamatan tanah air. Sebab kalau sampai kami runtuh, pihakmu pasti kalah cepat merebut Pak-khia dari tentara Manchu. Itu berarti pihakmu harus menghadapi tentara Manchu."

"Sudah, sudah, cepat minggat dari depanku, agar aku tidak menjadi jemu lalu menguburmu di kebun ini!"

Namun baru saja Helian Kong hendak berlalu, tiba-tiba dari pinggiran tanah pekuburan itu sayup-sayup terdengar tangisan sedih. Bukan suara wanita atau anak-anak, melainkan seorang lelaki dewasa, suara tangisannya mengalun memilukan. Untunglah saat itu adalah siang hari bolong. Kalau malam hari tentu akan membuat orang kabur ketakutan mendengarnya.

Helian Kong tidak jadi pergi, ia bertukar pandangan sekejap dengan Ko Ban-seng, dan berbarengan kedua orang itu berkata, "Mari kita lihat!"

Serempak pula mereka melesat ke asal suara itu. Yang satu gemuk dan sudah tua, yang lain ramping dan masih muda. Namun si muda yang ramping harus mengakui keunggulan ilmu si gemuk tua yang melesat beberapa langkah di depannya ketika mereka berlompatan cepat di atas gundukan-gundukan kuburan dan nisan-nisan itu. Maklum karena Ko Ban-seng adalah seorang tokoh yang seangkatan dengan guru Helian Kong.

Namun ternyata Helian Kong juga tidak ketinggalan jauh, sehingga Ko Ban-seng diam-diam memuji pemuda itu dalam hati. Sayangnya, setelah urusan Co Hua-sun selesai, pemuda ini akan kembali jadi musuh. Demikianlah, untuk beberapa saat seperti terjadi perbandingan ilmu antara tokoh tua dan muda itu.

Mereka tiba di tempat asal suara tangisan itu hampir bersamaan. Nampak seorang lelaki berpakaian Panglima kerajaan sedang menelungkup di tanah sambil menangis sampai pundaknya terguncang-guncang. Pakaiannya kusut, kotor, dan berbau agak kecut karena kena muntahannya sendiri. Selain itu, di sekitarnya juga nampak bekas-bekas muntahannya di tanah.

"He, siapa kau?" bentak Ko Ban-seng.

Orang itu kaget melompat bangun, dan Helian Kong juga ikut kaget, sebab ia kenal orang itu. Yo Goan-tong, salah seorang panglima di ibu kota yang selama ini mengekor saja kepada Co Hua-sun. Entah kenapa sekarang berada di kuburan, menangis dalam keadaan morat-marit seperti itu?

Sementara Yo Goan-tong juga terbelalak ketakutan, lalu tiba-tiba memutar tubuh dan kabur. Tapi baru beberapa langkah, Ko Ban-seng telah melompat menerkam tengkuknya dan ditekan telungkup ke tanah, sambil membentak, "Anjing Kaisar, kau mencoba mengintip aku, dan setelah ketahuan lalu pura-pura gila?"

Dan hampir saja tengkorak kepala Yo Goan-tong hancur oleh jotosan Ko Ban-seng, kalau tidak Helian Kong berteriak mencegahnya, "Tahan!"

"Kenapa kau cegah aku membunuhnya? Dia temanmu?"

"Dia pengikut Co Hua-sun!"

"Kalau begitu, biarlah kumampuskan!"

"Tahan! Pak tua, kau sebagai tokoh sepuh rimba persilatan, apakah hendak membunuh seorang yang sedang tidak sehat jiwanya?" kata Helian Kong sambil menunjuk Yo Goan-tong.

Setelah dilepaskan oleh Ko Ban-seng, Yo Goan-tong tetap menelungkup, sambil tetap menangis, memukul-mukul tanah dan mengucapkan serangkaian kata-kata kacau.

Kata Helian Kong pula, "Coba kau perhatikan, mungkinkah orang waras bertindak demikian?"

"Jangan-jangan dia cuma pura-pura?"

Ketika Ko Ban-seng mundur menjauhi "si gila" itu, ganti Helian Kong yang mendekatinya, bukan dengan sikap garang, namun bersahabat, la berjongkok membangunkan Yo Goan-tong, "Saudara Yo... saudara Yo... tenanglah. Ada apa? Kenapa sampai begini?"

Yo Goan-tong malah menutup muka dan menangis makin keras. "Pangeran hamba tidak ikut merencanakan! Hamba tidak bersalah! Hamba dipaksa untuk menjalankan perintah. Ampun... ampun... hamba akan menyelenggarakan sembahyang besar untuk arwah Pangeran...."

Lalu tangisannya melolong panjang, sehingga biarpun di siang hari bolong toh membuat Helian Kong merinding juga. Cepat dibujuk-bujuknya Yo Goan-tong dengan kata-kata lembut, "Saudara Yo, tenanglah. Coba lihat siapa aku, aku bukan hantu, bukan arwah, ini siang hari bolong. Lihat ke langit, ada matahari. Saudara Yo."

Tidak gampang menenteramkan Yo Goan-tong yang jiwanya sedang terguncang hebat. Setengah jam lebih Helian Kong membujuk-bujuk sampai bibirnya berbusa, sampai akhirnya berhasil juga. Yo Goan-tong mulai tenang setelah beberapa kali menangis dan muntah-muntah.

"Helian Kong, kau...." Yo Goan-tong pun akhirnya mengenal orang di hadapannya karena memang ia tidak gila. Ia hanya teguncang jiwanya untuk beberapa saat.

"Ya, ini aku. Tapi jangan lagi menganggapku sebagai musuh, aku ingin menolongmu kalau bisa."

"Dia itu siapa?" dengan takut-takut Yo Goan-tong menuding Ko Ban-seng.

"Jangan takut, dia orang baik biarpun mukanya jelek." sahut Helian Kong singkat dan gampang-gampangan saja. Tidak perlu dijelaskan bahwa Ko Ban-seng adalah pemimpin kelompok pengikut Li Cu-seng yang sedang mengadakan "persekutuan taktis" dengannya untuk menggulingkan Co Hua-sun.

Habis Co Hua-sun terguling, persekutuan akan bubar dengan sendirinya dan masing-masing pihak akan kembali posisi semula sebagai musuh. Namun hal itu tak perlu dijelaskan kepada orang yang sedang bingung seperti Yo Goan-tong, nanti malah tambah bingung.

Ko Ban-seng cuma mendengus pendek. Dibilang jelek ya biar, karena dia juga tak pernah merasa dirinya tampan.

"Saudara Yo, apa yang terjadi sehingga kau sampai begini?"

Tiba-tiba Yo Goan-tong menangis lagi. Aneh juga melihat seorang lelaki gagah, berpakaian panglima perang, namun menangis seperti anak kecil. Tapi He-lian Kong paham dan membiarkannya saja sebab kali ini bukan "tangisan gila" seperti tadi, namun malah bisa melegakan perasaannya sebelum bisa diajak bicara.

Helian Kong sendiri pernah menangis, sebab tangisan itu perlu di saat-saat tertentu, dan orang yang tidak bisa menangis pastilah cuma orang-orangan. Setelah tangisan reda, berkatalah Yo Goan- tong sambil membersihkan air mata dan ingusnya, "Mengerikan sekali."

"Apanya yang mengerikan?"

"Helian Kong, bagaimana kalau seorang penakut dibujuk-bujuk agar berani melakukan sesuatu, dikobarkan harapannya, diberi janji akan keberhasilan tindakannya, dan selagi si penakut itu memuncak harapannya karena didorong-dorong, tiba-tiba dia ditikam dari belakang dan ditumpas tanpa ampun?"

"Itu pembunuhan yang lengkap, membunuh tubuh dan semangat sekaligus..." sahut Helian Kong.

Memang benar. Yang disebut hidup buat manusia itu bukan sekedar kalau matanya bisa berkedip-kedip, tapi punya semangat dalam hidupnya. Orang yang tak bersemangat lagi sering dikatakan "sudah mati dalam hidupnya". Sebaliknya biarpun orang sudah lama mati tetapi meninggalkan semangat buat generasi berikutnya, sering disebut "semangatnya tetap hidup".

Selagi orang mendekati cita-citanya, semangatnya tentu tinggi sekali, dan biasanya dibilang "di puncak hidupnya". Kini Yo Goan-tong menceritakan seorang yang dibunuh, ya tubuhnya ya semangatnya sekaligus.

"Siapa yang diperlakukan demikian, dan oleh siapa?" tanya Helian Kong.

"Pangeran Seng-ong. Oleh Co Hua-sun."

"Tidak mengejutkan...." komentar Helian Kong kalem. "Dalam komplotan para pengkhianat, ada saatnya mereka saling berkhianat satu sama lain apabila situasi menuntut demikian. Tak ada teman sejati dalam istilah mereka, yang ada hanya saling memperalat dan saling mengorbankan."

Yo Goan-tong menundukkan kepala dan menarik napas beberapa kali, "Kau benar, saudara Helian. Dan kalau aku renungkan, akupun merasa ngeri sendiri, kenapa selama ini aku begitu tolol mengikuti Co Hua-sun yang berwatak tak ubahnya iblis itu? Hanya karena nafsuku akan uang dan kedudukan, tetapi hidupku sendiripun sebenarnya terancam. Mungkin suatu saat akupun akan dikorbankan seperti Pangeran Seng-ong... mati dengan arwah penasaran."

"Saudara Yo, bisa kau ceritakan kejadiannya?"

"Baik. Malam itu aku sedang bermain catur dengan Pangeran Seng-ong, lalu datanglah Co Hua-sun. Aku disuruh pergi menyiapkan pasukan lalu bergabung dengan Wan Hoa-im dan Bu Goat-long. Akupun pergi, jadi tidak kuketahui bagaimana percakapan Co Hua-sun dan Pangeran, tapi aku bisa menduga garis besarnya."

"Bagaimana?"

"Co Hua-sun gelisah karena merasa kerahasiaan rencananya terancam, karena dua perwira Manchu utusan Pangeran To Ji-kun ditangkap orang, entah siapa..."

Saat Yo Goan-tong bicara sampai di situ, Helian Kong bertukar pandangan tanpa kata dengan Ko Ban-seng, si penangkap kedua perwira Manchu itu.

Sementara Yo Goan-tong melanjutkan, "Karena rencananya belum siap, Co Hua-sun mencari jalan untuk menyelamatkan rencananya dengan Pangeran Seng-ong sebagai tumbalnya. Pengeran dibujuk untuk menyerang Kaisar, setelah Pangeran menuruti anjurannya. Lalu Co Hua-sun muncul bukan untuk membantu seperti yang dijanjikan, tetapi malahan menumpas Pangeran untuk mencari muka ke pada Kaisar. Akupun dipaksa ikut... dipaksa ikut untuk... huak!"

Yo Goan-tong tiba-tiba menekan perutnya dan muntah lagi. Bukan karena masuk angin, tapi lebih tepat oleh rasa muak dalam jiwanya yang diluar daya tahannya. Sebagai prajurit, ia tidak memandang maut sebagai hal yang terlalu serius, namun kematian secara tragis Pangeran Seng-ong membuatnya ngeri.

Mati dalam kekecewaan selagi di puncak harapannya, mati dibohongi. Begitu mendadak ia muntah, sehingga Helian Kong di dekatnya kena sedikit, namun Helian Kong malah membantunya memijit-mijit tengkuknya.

Yo Goan-tong masih meludah-ludah beberapa kali sebelum berkata lagi, "Selalu terbayang olehku, bagaimana sinar mata Pangeran saat itu terbunuh, panah Co Hua-sun menembus mulutnya sampai ke tengkuk. Aku bahkan tak berani menatap mayat itu... dia benar-benar mati di saat itu...."

Kembali dia muntah-muntah biarpun yang keluar cuma air berwarna kuning berbau amat asam, Helian Kong cepat-cepat merangkul dan menghiburnya, tak peduli pakaiannya ikut kotor.

"Sudahlah, saudara Yo, sudah lewat semuanya itu. Harusnya kau tahu orang macam apa Co Hua-sun itu. Sejak dulu aku dan teman-temanku menentangnya, bukan karena kebencian pribadi, melainkan karena dia kelewat berbahaya kalau dibiarkan ikut mengatur pemerintahan disamping Kaisar.

"Lihat saja, seorang pahlawan besar seperti Jenderal Wan Cong-hoan malah dihukum mati, pembesar setia macam Su Ko-hoat juga hampir jadi korbannya dalam peristiwa arak beracun, untung dia selamat. Meskipun sampai sekarang Jenderal Su tidak mau menghadap ke Pak-khia selama Co Hua-sun belum disingkirkan. Ini menandakan kalau Co Hua-sun hanya mementingkan diri sendiri.

"Kalaupun dia bersekutu dengan orang lain, kepentingan pusatnya tetaplah dirinya sendiri, dalam keadaan tertentu pastilah dia takkan segan mengorbankan sekutunya yang paling dekat sekalipun. Pangeran Seng-ong contohnya. Saudara Yo, kau lebih beruntung dari Pangeran Seng-ong, karena kau tidak terlambat menyadari orang macam apa Co Hua-sun itu."

"Aku memang tolol selama ini."

"Sudahlah, jangan menyalahkan diri terus. Yang penting ada usaha untuk memperbaiki kesalahan."

"Ada caranya?"

"Ada. Saudara Yo, sudah tahukah Co-Hua-sun kalau kau sekarang telah berubah pikiran dan tidak mau lagi mengikutinya?"

"Ketika itu, sehabis aku ikut membantai pengikut-pengikut Pangeran Seng Ong, Co Hua-sun memang mendekati aku dan menanyaiku, tapi aku cepat-cepat berpamitan dan pergi, nampaknya si kebiri tua itu belum curiga."

"Kalau begitu, sebaiknya saudara Yo tetap dalam kelompok Co Hua-sun, jangan meninggalkan mereka."

Terlonjaklah Yo Goan-tong seolah-olah pantatnya ditusukduri, "Kembali ke tengah-tengah kawanan ular-ular itu? Tidak! Helian Kong, kalau kau memaksa aku kembali bergabung dengannya, lebih baik aku mati sekarang!"

Terus ia hendak membenturkan kepala kesebuah bong-pai yang tertanam kuat di tanah, tapi Helian Kong dapat mencegahnya.

"Saudara Yo, bukan maksudku agar kau menjadi budak Co Hua-sun kembali, tapi agar kau bekerjasama dengan kami, kau menghancurkan komplotan itu dari dalam. Tanpa siasat itu, kekuasaan Co Hua-sun sulit dipatahkan, karena ternyata dia menguasai sejumlah besar pasukan di ibu kota ini. Bahkan dia menyandera keluarga Kaisar untuk menghadapi pasukan-pasukan yang masih setia kepada Kaisar. Kami butuhkan orang dalam komplotan Co Hua-sun untuk menyelamatkan Kaisar."

Mendengar Kaisar disandera, tiba-tiba Ko Ban-seng juga ikut gelisah. Bukan nasib Kaisar Cong-ceng yang menggelisahkannya, melainkan nasib Tan Wan-wan, kawan seperjuangannya dalam barisan Joan-ong, karena Tan Wan-wan pasti ada di dekat Kaisar selalu.

Kalau Kaisar disandera, entah bagaimana nasib Tan Wan-wan? Sudah tentu Ko Ban-seng tidak menanyakannya terang-terangan kepada Helian Kong, sebab hal itu sama saja dengan membongkar peranan Tan Wan-wan yang sebenarnya di dalam istana.

Sementara Yo Goan-tong pun kaget, "Jadi sekarang Kaisar...."

"Ditawan Co Hua-sun di Yang-wan-hu. Sebagian istana dikuasai pasukan-pasukan yang setia kepada Kaisar, namun mereka tidak berdaya menghadapi Co Hua-sun selama Kaisar masih digenggam pengkhianat itu!"

Tidak lama Yo Goan-tong berpikir kemudian ia berkata dengan sinar mata yang tulus memancarkan tekad, "Baik, aku siap mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan Kaisar. Aku berterima kasih kepada Helian Cong-peng yang telah menunjukkan jalan kepadaku untuk membayar kesalahan-kesalahanku yang dulu."

Hangat oleh rasa syukur ketika telapak tangan Helian Kong menggenggam telapak tangan Yo Goan-tong, "Tak pernah ada manusia yang tak bersalah, saudara Yo. Entah besar entah kecil kesalahannya. Kalau semua manusia tidak bisa saling memberi maaf, bukankah penduduk dunia akan habis karena saling menghukum?"

Dari samping, Ko Ban-seng nyeletuk dingin, "Asal maafmu itu tidak diobral untuk sembarang orang, misalnya untuk Co Hua-sun."

Helian Kong tidak menggubris, sementara Yo Goan-tong berkata, "Aku ingat betapa setia kawan teman-teman Helian Cong-peng, ketika dulu Helian Cong-peng dijebak Co Hua-sun dalam istana. Teman-teman Cong-peng waktu itu, tanpa takut bahaya telah menghadap Kaisar untuk memintakan pembebasanmu. Sungguh berbeda dengan kelompok Co Hua-sun dimana setiap orang hanya memikirkan diri sendiri."

"Jadi saudara Yo mau kembali ke dalam kelompok Co Hua-sun?"

"Hanya tubuhku yang kembali, tetapi semangatku sekarang sudah bergabung dengan semangat kelompokmu, Helian Cong-peng."

"Bagus." Kemudian Helian Kong dibisiki oleh Yo Goan- tong, "Helian Cong-peng, sekarang ini aku punya satu jalan untuk menyelamatkan keluarga Kaisar."

Kemudian merekapun berunding mengatur siasat. Ko Ban-seng ikut menyumbangkan pikiran, biarpun dia sebenarnya tergolong musuh. Tapi punya musuh berwatak sejantan Ko Ban-seng tidak lebih berbahaya daripada punya teman macam Co Hua-sun.


Kota Terlarang, komplek kediaman keluarga kerajaan yang luas itu sekarang terbagi dua, tak ubahnya kota Pak-khia sendiri. Sebagian dikuasai pasukan-pasukan yang setia kepada Kaisar, sebagian lagi dikuasai pengikut-pengikut Co Hua-sun yang menyandera keluarga Kaisar.

Senja itu Kaisar Cong-ceng termenung di Yang-wan-hu, yang dikawal ketat orang-orangnya Co Hua-sun. Para penjaga terdiri dari campuran antara thai-kam, prajurit dan jago-jago silat bayaran. Jago-jago silat ini diperlukan, sebab di antara yang terkurung di bangsal itu ada "macan betina" Siangkoan Yan yang ilmu silatnya tinggi. Yang tidak mungkin ditandingi oleh prajurit-prajurit biasa kecuali dengan jumlah banyak.

Dalam cengkeraman Co Hua-sun yang tidak lagi menghormatinya, barulah Kaisar sadar betapa kelirunya ia selama ini mempercayai Co Hua-sun. Kaisar merasa sedih dan menyesal, namun tidak berani terlalu mengharap pertolongan, sebab siapa mau menolong dirinya yang telah membuat kesalahan begitu banyak? Dibayangkannya sendiri, tentu panglima-panglima itu sekarang tidak sudi menolongnya, sebab selama ini mereka diabaikan.

Dalam suasana hati macam itu, Kaisar begitu lesu dan tidak berselera untuk hidup, kalau tidak ada yang selalu mendampinginya tentu dia akan membunuh diri. Untung ada Puteri Tiang-ping dan Siangkoan Yan yang bergantian menghibur, menjaga agar harapan Kaisar tetap hidup. Mereka selalu memberi harapan bahwa pertolongan pasti datang, orang-orang yang setia kepada Kaisar pasti masih tetap berupaya.

"Pasti pengkhianat itu menghadapi penentang yang tidak sedikit." Hibur Puteri Tiang-ping. "Kalau tidak ada tentangan, pasti sekarang ia sudah terang-terangan menduduki tahta dan membagi negeri ini dengan orang-orang Manchu. Namun sekarang dia baru berani menahan kita sambil mengulur-ulur waktu, menandakan kalau dia belum sepenuhnya berhasil menguasai keadaan untuk berbuat sesukanya."

Terharu juga Kaisar melihat wajah puterinya yang masih agak pucat karena belum sembuh benar dari sakitnya yang sering merongrong tubuhnya sejak kecil. Tapi Kaisar juga malu kepada dirinya sendiri, la seorang lelaki sehat, seorang Kaisar pula, namun kenapa nyalinya lebih kecil dari seorang gadis yang senantiasa sakit-sakitan?

Dengan belaian tangannya ke rambut Puteri Tiang-ping, Kaisar mencurahkan perasaannya. Puteri Tiang-ping pun menatap haru ke ayahnya, hanya dua hari sejak ditawan Co Hua-sun, ayahnya nampak jadi lebih kurus dan tua. Tatapan mata Kaisar melewati jendela, ke arah yang jauh tak terukur. Dilihatnya di luar sana hilir-mudik orang-orang bersenjata yang menjaganya. Sebagian langit telah berwarna kemerahan, senja turun, dan sebentar lagi malam.

"Alangkah besar dosaku kepada leluhur-leluhur yang susah payah mendirikan dan membesarkan dinasti ini." keluhnya berat dan lirih. "Tak tertimbang pula dosaku kepada rakyat yang selama ini kuabalkan kesejahteraannya, juga kepada abdi-abdi setia yang kujatuhi hukuman karena bujukan berbisa si ular tua itu. Tapi sisa hidupku rasanya hanya bisa untuk menyesali, tapi tak bisa untuk memperbaiki kesalahanku. Sisa umurku ada dalam genggaman pengkhianat itu. Tinggal kutunggu saatnya dia memancangkan batok kepalaku di tengah alun-alun."

"Tidak, Hu-hong (ayahanda baginda), berpikirlah jernih. Co Hua-sun belum menguasai keadaan, dia takkan seberani itu, hamba yakin. Hu-hong jangan putus asa, kesempatan untuk membenahi negeri ini masih terbuka lebar."

Kaisar masih hendak menjawab, tetapi di luar terdengar langkah beberapa orang mendekat. Lalu pintu didorong dengan kasar tanpa diketuk lebih dulu. Co Hua-sun masuk diiringi pengawal-pangawalnya yang garang dan menghunus senjata semuanya.

Tanpa berlutut lebih dahulu, Co Hua-sun mendekati Kaisar dan berkata, "Bagaimana, kau terima usulku atau tidak? Itulah jalan tengah yang terbaik. Kalau kau bersikeras menolak, kita hanya akan saling merugikan, dan akhirnya yang untung hanya si bandit Li Cu-seng itulah!"

Kaisar bungkam, membuang pandangan keluar jendela, dan Puteri Tiang-ping yang menjawab dengan dingin, "Sedang kalau usulmu diterima, yang untung adalah orang-orang Manchu, begitu bukan?"

"Kau jangan ikut campur!" bentak Co Hua-sun, lalu bentaknya pula kepada Kaisar, "Hei, kau dengar kataku tapi pura-pura tuli ya? Atau harus kugunakan kekerasan agar kau sadar bahwa dirimu sekarang sudah tak berdaya apa-apa?"

Kaisar tetap tak menggubris, keberaniannya itu nyaris mendekati taraf keajaiban. Sementara Puteri Tiang-ping dengan gusar balas membentak Co Hua-sun, "Pengkhianat, beginikah sikapmu setelah selama ini kau menerima kebaikan Hu-hong?"

Co Hua-sun tiba-tiba tertawa mengejek dan berkata, "He, nona kecil, jangan kau jangan ikut campur!" bentak Co Hua-sun. “Jangan salah menilai. Selama tujuh belas tahun pemerintahan ayahmu itu, bukan aku yang menerima kebaikannya, melainkan dia yang menerima kebaikanku. Tanpa aku, becus apa ayahmu?

"Akulah yang menopang dia agar tetap duduk di singgasana, aku yang membantunya menyingkirkan pengritik-pengritik banyak tingkah yang membahayakan tahtanya! Tanpa aku, dia sudah terlempar dari singgasana sejak awal pemerintahannya. Lihat saja, dalam menghadapi pemberontakan Gui Hian-tiong, bisa apa dia kalau bukan aku yang menolongnya?

"Tetapi ketika aku dituduh oleh orang-orang tengik macam Siangkoan Hi dan Helian Kong, ayahmu tidak membela aku, malah dia ragu-ragu sehingga keselamatanku terancam! Maka pantas kalau kuambil tindakan seperti ini!"

"Co Hua-sun, jangan berlagak kau paling berjasa! Kau bersekongkol dengan Pamanda Seng-ong dan orang-orang Manchu untuk merobohkan Hu-hong!"

"Siapa bilang?" Co Hua-sun masih mencoba ingkar. "Tan Wan-wan yang bilang! Dia banyak tahu tentang kegiatan busukmu!"

"Hah, mulut si pelacur dari Soh-ciu itu juga kau percayai, nona kecil yang pintar? Padahal dia sendirilah yang bersekongkol dengan musuh negara. Dia adalah mata-mata Li Cu-seng yang diselundupkan ke istana untuk merong-rong ayahandamu yang tolol itu!"

"Aku tidak percaya, kau pintar memfitnah!"

"Diamlah bangsat kecil!" Co Hua-sun makin kasar. "Aku tidak ada waktu untuk berdebat! Aku harus bertindak! Ya, bertindak. Bukan berdebat. Bertindak untuk menyelamatkan negara dari gerombolan garong seperti Pelangi Kuning! Ini sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh ayahmu karena terbius kecantikan Tan Wan-wan!"

Habis berkata demikian, Co Hua-sun memutar tubuh gemuknya ke arah Kaisar dan berkata, "Kau tidak peduli mati hidupmu sendiri, itu silakan saja, tapi bagaimana dengan mati hidup keluargamu? Kuberi batas waktu sampai tengah malam nanti, dan kau harus menandatangani dan memberi cap maklumat yang sudah kusiapkan. Kalau kau menolak, akan kusembelih satu-persatu anggota keluargamu di depan matamu. Barulah kau yang terakhir mampus!"

"Kalau kau berani melakukan itu, kau akan dicincang oleh rakyat yang setia kepadaku." sahut Kaisar.

Namun ujung dari kalimat itu tenggelam oleh suara tertawa Co Hua-sun yang keras, sampai perut gendutnya terguncang-guncang. "Rakyat yang setia kepadamu? Siapa? Paling hanya segelintir manusia tolol macam Siangkoan Hi, Helian Koang atau Ou Hin. Sedang sebagian besar rakyat sudah mengikuti Li Cu-seng karena ketololanmu, bahkan mereka siap mencincangmu, bukan membelamu! Dan ajakan persekutuan dari pihak Manchu malah kau tolak, dasar tidak punya otak!"

Selesai mencaci-maki, Co Hua-sun lalu bersama pengawal-pengawalnya, meninggalkan Kaisar dan Puteri Tiang-ping. Beberapa saat ruangan itu dalam kesunyian, sampai terdengar suara Puteri Tiang-ping, "Hu-hong, apa isi maklumat yang dia buat itu?"

Kaisar menjawab lesu, "Pertama, aku harus mengundurkan diri dan mengangkat adikmu, Putera Mahkota Cu Sam sebagai Kaisar. Namun karena dia belum dewasa, dalihnya, maka aku harus menujuk Co Hua-sun sebagai walinya dalam menjalankan pemerintahan."

Wajah Puteri Tiang-ping yang masih pucat itu memerah sejenak mendengar itu, "Licik sekali. Kalau hal itu dituruti saja, Adinda Cu Sam yang masih kecil itu tentu akan hanya sebagai boneka saja, dan Co Hua-sunlah yang sesungguhnya."

"Memang. Yang kedua, dia minta aku mengangkat Jenderal Him Tek-pun sebagai Panglima tertinggi dan semua panglima harus tunduk kepadanya."

"Hem, Him Tek-pun adalah begundalnya. Kalau sampai memegang kekuasaan tertinggi atas tentara, Co Hua-sun akan seperti macan yang keluar sayap!"

Kaisar Cong-ceng menarik napas pula, "Yang ketiga, dengan dalih untuk memukul mundur kaum pemberontak yang semakin dekat ke Pak-khia, aku harus memberi ijin Tentara Manchu untuk melewati San-hai-koan."

"ini lebih jahat lagi. Mengundang tentara asing untuk urusan dalam negeri, sama dengan mengundang harimau yang buas masuk ke dalam rumah sendiri. Gampang mengundangnya, susah mengusirnya."

"Anakku, sudah tentu aku tolak semua usulnya, namun bagaimana kalau dia membunuhmu, ibumu, adikmu dan lain-lainnya? Aku tidak sayang nyawaku sendiri, tetapi bagaimana dengan nyawa keluargaku? Haruskah ikut menanggung."

"Hu-hong! Aku lebih suka mati sekarang juga daripada melihat Hu-hong menyetujui rancangan Co Hua-sun itu. Dan kalau dinasti kita harus runtuh, rasanya lebih rela hamba melihat Li Cu-seng yang menggantikan dinasti kita daripada orang Manchu, sebab bagaimana pun Li Cu-seng masih sesama bangsa Han!"

Beberapa saat Kaisar cuma terlongong-longong kebingungan, menghadapi pilihan-pilihan sulit itu. Sulit, karena pendiriannya lemah sejak dulu tidak terbiasa berpikir sendiri melainkan selalu "dituntun" oleh Co Hua-sun. Kini setelah "pembimbing"nya itu berbalik melawannya, bingunglah ia.

Puteri Tiang-ping jadi tidak tega melihat ayahandanya begitu hebat tertekan jiwanya. "Sudahlah, Hu-hong...." akhirnya ia menghibur. "Kita tunggu saja batas waktu yang ditetapkan Co Hua-sun itu, siapa tahu sebelum itu akan tiba pertolongan datang. Tapi kalau tidak, kematian kita barangkali akan menjadi minyak yang mengobarkan kemarahan para panglima setia, sehingga mereka akan menggempur Co Hua-sun tanpa ampun lagi. Jadi kalau terpaksa matipun, harus ada artinya!"

Kata-kata puteri itu membuat Kaisar terharu. Diraihnya kepala puterinya itu untuk didekapkan ke dadanya, sambil menangis, "Oh, Langit, hanya aku yang berbuat kesalahan, kenapa harus keluargaku yang selama tnl bertindak benar dan selalu mengingatkan aku, Juga harus tertimpa bencana ini?"

Untuk sementara, dalam ruangan itu yang terdengar hanyalah tangisan ayah dan puterinya itu. Ketika Ciu Thai-hou, Putera Mahkota Cu Sam yang masih kecil dan Siangkoan Yan datang pula ke situ, merekapun segera bergabung dalam "Paduan suara menangis" itu. Kemudian Tan Wan-wan datang pula, namun dia tidak ikut menangis.

Setelah tangisan reda, Kaisar melambaikan tangan ke arah Tan Wan-wan. "Kemarilah."

Wanita jelita yang dalam beberapa bulan terakhir ini memabukkan Kaisar, cepat mendekat dan berlutut, "Ada perintah apa, Tuanku?"

"Siapkan enam cawan beracun."

"Baik tuanku." sahut Tan Wan-wan lembut, namun dalam hatinya dia mengejek, "Hem, kalau aku mati demi perjuangan Joan-ong, aku mati seribu kali pun rela. Tapi siapa sudi mati bersama Kaisar konyol dari dinasti yang hampir ambruk ini? Aku harus tetap hidup untuk menyaksikan Joan-ong masuk ke kota ini dalam pawai kemenangan!"

Namun beranjak pula Tan Wan-wan untuk mengambil enam cawan arak pengantar maut itu. Hanya dalam hatinya ia sudah bertekad takkan minum "Jatahnya". Tak lama kemudian, setelah melihat enam cawan arak beracun itu berderet di meja, kembali air mata Kaisar Cong-ceng bercucuran. Katanya sedih,

"Tak kusangka ketololanku selama ini telah menjerumuskan kalian ke dalam keadaan laknat macam ini. Tapi kita sekarang tak punya pilihan lain. Daripada berdosa kepada leluhur dan tanah air, aku lebih baik mati. Kuharap kita tetap berkumpul di sini. Terlalu singkat saat-saat menjelang maut, aku ingin tetap bersama kalian. Tengah malam nanti, kalau Co Hua-sun datang kembali memaksakan kehendak, saat itulah kita harus minum arak itu."

Begitulah, suasana jadi sedih sekali. Tak ubahnya saat-saat terakhir seorang yang akan menjalani hukuman mati dan diberi kesempatan berkumpul dengan keluarganya.

Sementara sang waktu terus melangkah tanpa perasaan, detik demi detik, tak perduli orang sedih atau gembira. Tak peduli orang bakal mati atau harus hidup, sang waktu melangkah dengan mata terpejam. Tengah malam makin dekat.

Di bangsalnya, Co Hua-sun sekali lagi memeriksa maklumat yang akan dimintakan cap dari Kaisar itu. Ia mengangguk-angguk puas. "Mudah-mudahan si tolol itu mau mengecapnya nanti. Dia menoleh tidak peduli akan nyawanya sendiri, tapi aku tidak percaya kalau hatinya tidak tergerak melihat anggota keluarganya satu persatu dibantai di depan matanya."

Co Hua-sun pun tertawa penuh keyakinan diri. Namun sebelum batas waktu tiba, mendadak seorang kaki tangannya datang menghadap dan melapor, "Thai-kong-kong, Panglima Yo mohon menghadap."

"Yo Goan-tong maksudmu?"

"Benar."

"Suruh dia segera masuk."

Tak lama kemudian masuklah Yo Goan-tong dalam seragam tempurnya yang kusut dan kotor, begitu pula mukanya. "Hormatku untuk Kong-kong."

"Yo Ciang-kun, setelah penumpasan Pangeran Seng-ong itu kenapa kau terus menghilang tanpa kabar? Kusuruh orang mencari ke rumahmu juga tidak ketemu."

"Aku benar-benar minta maaf. Dalam dua hari ini mendadak kutemui suatu urusan yang terpaksa harus kutangani sendiri demi kerahasiaannya. Aku sampai tidak sempat melapor, bahkan juga tidak sempat memberitahu isteriku..."

"Urusan apa?"

"Bukan urusan pribadi, melainkan rencana kita bersama. Sekali lagi aku mohon maaf kalau telah melancangi Kong-kong. Hal itu karena sempitnya waktu yang tersedia."

"Ya... Ya... tapi urusan apa?"

"Aku telah dihubungi seorang utusan Pangeran To Ji-kun."

"Benar?" semangat Co Hua-sun tiba-tiba meningkat mendengar tentang sekutunya yang sudah lama ditunggu-tunggu itu. "Mana orangnya? Kenapa tidak kau ajak sekalian dia menemui aku?"

"Tentu saja orang itu pertama-tama berusaha menemui Kong-kong, tetapi dia kuatir menghubungi orang yang salah, karena melihat di sekitar istana ada bermacam-macam pasukan. Maklum, tugas yang diembannya amat penting. Maka ketika melihat aku, dan mengenalku, terus dia menghubungi aku dan menyampaikan kabar dari Pangeran To Ji-kun untuk Kong-kong."

"Apa kabarnya?"

"Utusan Kong-kong sudah sampai kepada Pangeran To Ji-kun, lalu Pangeran mengirim orangnya. Tapi karena harus melewati San-hai-koan, padahal penjaga San-hai-koan tidak bersahabat dengan kita, tentu saja harus hati-hati agar tidak ketahuan. Pangeran tidak bisa mengirim pasukan besar. Ia cuma mengirim seribu prajurit, tetapi semuanya prajurit pilihan, dan mereka harus menyamar sebagai pedagang jin-som atau samaran lain, ketika melewati San-hai-koan.

"Sampai di luar Pak-khia pun mereka tidak berani langsung masuk kota, tapi hanya menunggu di luar kota, sebab mereka tidak tahu di dalam kota ini siapa kawan dan siapa lawan. Mereka takut masuk perangkap. Karena itu mereka mengirim orang dulu untuk mengontak kita."

"Terus?"

"Sekarang bagaimana menyembunyikan pasukan Pangeran To Ji-kun itu di istana, agar setiap saat dapat langsung diperintah oleh Kong-kong."

"Aku sebenarnya agak kecewa. Pangeran To Ji-kun menjanjikan lima puluh ribu prajurit terbaiknya, kenapa sekarang datang cuma seribu orang? Apa artinya seribu orang dibandingkan puluhan ribu lawan-lawan kita yang bertebaran di seluruh kota?"

"Harap Kong-kong maklumi kesulitan Pangeran To Ji-kun untuk mengirimkannya pasukan besar sekaligus. Maka pangeran akan mengirimkannya secara bergelombang, di bawah selubung penyamaran."

Akhirnya Co Hua-sun mengangguk juga, "Sekarang pasukan itu di mana?"

"Malam ini mereka sudah berhasil kubawa masuk kota, dan sekarang mereka ada di luar pintu Hou-cai-mui."

"Goblok!" tiba-tiba Co Hua-sun membentak dengan gusar, bahkan sambil menggebrak meja dan berdiri dari kursinya. "Bagaimana kau bisa bertindak begitu gegabah, membawa mereka sampai ke Hou-cai-mui? Bagaimana kalau sampai dilihat orang, lalu mereka tahu kalau pasukan Manchu sudah ada dalam kota ini? Tentu lawan-lawan kita akan mendapat bahan omongan yang baik untuk menghasut dan merangkul pasukan-pasukan ibu kota yang selama ini masih netral?"

"Kong-kong, aku tidak sebodoh itu. Tentu saja pasukan Manchu itu masuk kota tidak seragam tentara Manchu, melainkan dalam seragam pasukan Kerajaan Beng. Kesibukanku selama dua hari sehingga tidak sempat melapor kepada Kong-kong itu, tak lain adalah mencarikan seribu pasang pakaian seragam prajurit Beng untuk mereka, agar mereka dapat masuk kota tanpa dicurigai."

Penjelasan itu agak menenteramkan Co Hua-sun. "Jadi mereka sekarang ada diluar gerbang Hou-cai-mui?"

"Ya, kupilihkan tempat itu, sebab pasukan-pasukan yang bersiaga di sekitar Hou-cai-mui adalah pasukan-pasukan kita."

"Antar aku melihat mereka."

"Baik Kong-kong. Silakan."

Kemudian Co Hua-sun berjalan berdampingan dengan Yo Goan-tong, di belakang mereka mengiring serombongan thai-kam bersenjata campur kawanan tukang kepruk bayaran. Mereka melewati bagian-bagian istana yang dikuasai kaki tangan Co Hua-sun.

Di mana-mana nampak orang-orang bersenjata bergerombol-gerombol, obor-obor dinyalakan melebihi biasanya, sehingga segenap sudut istana terang benderang seperti siang hari. Ini untuk mencegah resiko kesusupan orang-orangnya Jenderal Ou Hin yang ada di bagian lain dari istana itu.

Sambil berjalan, Yo Goan-tong menaksir, pengikut Co Hua-sun yang ada di bagian istana itu tentu tidak kurang dari dua puluh lima ribu orang. Terang kalau Co Hua-sun telah menarik beberapa pasukan dari luar istana ke istana....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.