Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 23

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong seri pertama, Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 23 karya Stevanus S.P

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 23

Kemudian merekapun sampai ke gerbang Hou-cai-mui di belakang istana. Begitu sepasang daun pintu yang besar dan tebal itu dipentang terbuka oleh penjaga-penjaga, nampak ada pasukan berbaris dalam kegelapan, tanpa satu oborpun dinyalakan.

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

"Inikah mereka?" tanya Co Hua-sun.

"Benar, Kong-kong."

"Nyalakan obor!" perintah Co Hua-sun.

Obor-obor dinyalakan, dan Co Hua-sun melihat pasukan itu memang kira-kira terdiri dari seribu prajurit, semuanya berseragam Kerajaan Beng. Tubuh mereka tegap-tegap, tinggi badan mereka melebihi rata-rata. Sekali pandang saja sudah timbul kesan bahwa mereka memang prajurit-prajurit pilihan.

Sementara Co Hua-sun memperhatikan mereka, Yo Goan-tong menjelaskan, "Selain merupakan prajurit-prajurit tangguh, Pangeran To Ji-kun juga memilih mereka yang bisa berbicara bahasa Han, agar mudah dicampurkan dengan orang-orang kita tanpa menimbulkan kecurigaan."

"Pangeran To Ji-kun benar-benar memperhitungkan dengan cermat segala sesuatunya. Mana komandannya?"

Yo Goan-tong memberi isyarat ke arah "pasukan Manchu" itu, dan majulah seorang bertubuh tegap, mukanya penuh bulu, la berlutut di hadapan Co Hua-sun secara Manchu. Sebelah kaki ditekuk dan satu tangan menekan tanah. Berkatalah dia dalam bahasa Han tapi suaranya seperti orang sedang sakit gigi,

"Kui-ongya Sit-seng-ong mengirim salam hangatnya kepada Kong-kong." Kiu-ong-ya (Pangeran ke sembilan) Sit-ceng-ong adalah gelar kebangsawan-an Pangeran To Ji-kun.

"Siapa namamu?"

"Hamba Hap Sek, kepala pasukan ke delapan belas di bawah perintah Wi-ceng-ong To Sek-kun."

To Sek-kun adalah adik To Ji-kun. Kalau To Ji-kun berkedudukan sebagai wali Kaisar karena Kaisar Sun-ti masih kanak-kanak, maka To Sek- kun adalah kepala angkatan perang. Ketika Kaisar Thai-cong yang memerintah tahun 1627-1636 itu digantikan anaknya, Sun-ti, yang bergelar Ceng-si-cou, ia mengangkat To Ji-kun sebagai walinya, namun untuk menjaga agar jangan To Ji-kun merebut tahta bagi dirinya dan keturunannya sendiri.

Maka jabatan kepala angkatan perang tidak dipegangnya, tapi dipegang adiknya, To Sek-kun yang dikenal setia kepada kakandanya, yaitu almarhum Kaisar Thai-cong. Dalam setiap tindakan yang melibatkan unsur militer, To Ji-kun tidak dapat bertindak sendiri tanpa persetujuan To Sek-kun.

Soal itu tidak banyak diketahui orang, dalam istana kerajaan Ceng di Jit-ho pun hanya kalangan amat terbatas yang mengetahuinya. Co Hua-sun kebetulan juga mengetahuinya karena hubungan akrabnya dengan Pangeran To Ji-kun. Kini mendengar si komandan muka berbulu itu mengaku bawahan To Sek-kun, Co Hua-sun jadi percaya. Coba dia mengaku disuruh To Ji-kun, tentu Co Hua-sun curiga sebab To Ji-kun tidak berkuasa langsung atas tentara.

Namun Co Hua-sun masih juga berkata, "Buka topimu dan perlihatkan rambutmu!"

Orang yang mengaku bernama Hap Sek itu menurut. Maka nampaklah rambutnya yang dikuncir panjang, hanya saja kuncirnya disembunyikan dalam baju, sedang pangkal kuncirnya di atas tengkuk semula ditutupi dengan topi prajuritnya. Orang-orang lelaki bangsa Manchu memang seperti itu dandanan rambutnya.

Tapi Co Hua-sun masih belum percaya begitu saja, la perintahkan pula beberapa orang pasukan itu memperlihatkan kuncirnya, dan ternyata semuanya memang dikuncir. Akhirnya Co Hua-sun yakin bahwa mereka benar-benar kiriman sekutunya di timur laut, lalu mereka diperintahkan masuk ke istana.

Sambil berjalan disamping Co Hua-sun ketika masuk kembali ke istana, Yo Goan-tong bertanya, "Kong-kong, saat ini siapa yang menjaga keluarga Kaisar?"

"Para thaikam dan beberapa pasukan pendukung."

Yo Goan-tong pun tiba-tiba geleng-geleng kepala sambil berkata, "Ini terlalu mengandung resiko, Kong-kong. Siapa tahu di antara penjaga-penjaga itu ada orang-orang yang setia kepada Kaisar tolol itu? Kalau demikian, bukankah sama saja kita menempatkan burung dalam sangkar yang teralinya kurang rapat?"

"Tapi pasukan itu dari tanggsi-tangsi yang komandannya setia kepadaku."

"Komandannya memang teman kita, tapi pastikah seluruh anak buahnya bersikap sama dengan komandannya? Belum tentu. Karena itu lebih baik kalau kita tidak ambil resiko. Penjagaan keluarga Kaisar harus dipercayakan kepada orang-orang yang tidak mungkin mengkhianati kita."

"Pasukan mana?"

"Pasukan kiriman Pangeran To Ji-kun yang baru datang itu. Mereka adalah prajurit-prjurit Manchu yang hanya patuh kepada atasan mereka, dan tidak punya hubungan batin dengan Kaisar tolol itu."

Setelah berpikir sebentar, Co Hua-sun menganggap usul itu masuk akal juga. Memang, selama keluarga Kaisar hanya dijaga prajurit-prajurit yang berasal dari Pak-khia saja, masih ada kemungkinan dibantu secara diam-diam.

"Baiklah," kata Co Hua-sun. "Bu Goat-long, bawa pasukan Hap Sek ke Yang-wan-hu, dan jelaskan tugas mereka."

"Baiklah," sahut Bu Goat-long.

Hati Yo Goan-tong melonjak gembira. Sejenak ia bertukar pandang dengan Hap Sek yang mukanya penuh bulu itu. Mereka sampai ke Yang-wan-hu diantar Bu Goat-long. Nampak penjagaan di situ memang ketat sekali. Sebagian para thai-kam bersenjata, sebagian lagi adalah prajurit-prajurit biasa.

Dengan alasan pergantian tugas agar prajurit-prajurit itu tidak tersinggung, Bu Goat- long atas nama Co Hua-sun menyuruh pasukan penjaga Kaisar itu menyingkir, untuk digantikan pasukan "Hap Sek." Sedangkan para thai-kam tidak disingkirkan, mereka tetap berjaga di situ.

"Hap Sek" segera mengatur anak buahnya di sekeliling bangsal Yang-wan-hu, dan tiba-tiba diapun berteriak, "Sekarang!"

Para thai-kam sadar terlambat, malah ada yang tidak sempat sadar sama sekali karena segera roboh dibabat senjata. Sebagian besar thai-kam penjaga langsung binasa, ada sebagian kecil yang sempat melawan, tapi perlawanan yang panik dan sama sekali tidak siap, jadi gampang saja segera dibereskan.

Ilmu silat Bu Goat-long cukup lumayan, tapi ia roboh hanya dalam tiga jurus, sebab yang dihadapinya adalah "Hap Sek" yang ternyata adalah samaran Helian Kong.

"Yo Goa-tong, kau berkhianat!" teriak Bu Goat-long yang terakhir kalinya sebelum nyawanya terbang keluar dari tubuhnya.

"Aku hanya mencontoh bagaimana Co Hua-sun memperlakukan Pangeran Seng-ong!" Balas Yo Goan-tong, dan yang diajak bicara entah masih sempat mendengar entah tidak.

Gebrakan Helian Kong dan orang-orangnya berlangsung serba cepat karena memang sudah dipersiapkan baik-baik. Begitu para thai-kam dihabiskan, mereka segera menempati titik-titik penting untuk menjaga keselamatan Kaisar, salah seorang dari mereka segera menyulut dan melontarkan sebuah kembang api luncur ke udara malam yang hitam.

Berbareng dengan gebyarnya cahaya kembang api itu di langit, seluruh langit kota Pak-khia pun tiba-tiba berhamburan kembang-kembang api serupa. Dan udara malam yang membeku itupun tiba-tiba diguncang sorak gemuruh laksaan prajurit. Serempak pula pasukan-pasukan yang setia kepada Kaisar bergerak menggempur pasukan-pasukan pendukung Co Hua-sun.

Pertempuran antara sesama prajurit kerajaan pun berkobar hebat di jalan-jalan, halaman-halaman, tangsi-tangsi, persimpangan-persimpangan, hampir di semua bagian kota. Sambil menggempur lawannya yang tidak siap, pasukan-pasukan yang setia kepada Kaisar itu juga menyerukan rekan-rekan mereka di pihak Co Hua-sun agar menyerah.

"Kami berhasil menyelamatkan Kaisar dari tangan pengkhianat Co Hua-sun! Co Hua-sun akan segera menerima hukumannya!"

"Yang meletakkan senjata akan tetap dalam kedudukannya, yang keras kepala akan ditumpas!"

Seruan-seruan itu agak berpengaruh juga. Pengikut-pengikut Co Hua-sun di seluruh kota tidak siap menghadapi gerakan pasukan yang setia kepada Kaisar, sebab mereka mengira bahwa selama keluarga kaisar disandera, tentu lawan takkan berani bergerak sembarangan dan mereka boleh tenang-tenang saja. Selain itu, banyak pengikut Co Hua-sun yang sebenarnya tidak tahu apa-apa, sebab yang begundal Co lluu-sun itu hanya komandan-komandan mereka.

Menghadapi pasukan-pasukan Kuisar yang menang semangat, pasukan-pasukan yang mengikuti Co Hua-sun segera kewalahan. Apalagi ketika pasukan-pusukun yang semula netral, tiba-tiba menghambur keluar tangsi mereka dan ikut menggempur pasukan- pasukan Co Hua-sun. Maka banyak di antara pasukan Co Hua-sun yang meletakkan senjata untuk menyerah, atau bahkan berbalik menyerang pasukan Co Hua-sun sendiri.

Namun dalam pasukan-pasukan Co Hua-sun tidak sedikit pula orang yang tidak mau menyerah, mereka melawan mati-matian biarpun sudah diteriaki agar menyerah. Sebagian karena benar-benar membela Co Hua-sun, sebagian lagi karena bingung gara-gara tidak tahu apa-apa yang terjadi sebenarnya di istana, atau dipaksa bertempur terus oleh komandan-komandan mereka.

Menghadapi lawan macam ini, tak bisa tidak pasukan-pasukan Kaisar melakukan pertempuran berdarah, Apalagi kedua pihak kemudian mengluarkan meriam dari tangsi masing-masing, dibawa ke jalanan untuk menghadang musuh-musuh mereka. Maka berdentumanlah meriam-meriam itu, sehingga malam itu kota Pak-khia jadi "meriah" seperti pesta menyambut tahun baru. Tapi pesta malam ini adalah pesta maut.

Tapi karena mengarahkan meriam itu tidak semudah mengarahkan pedang, maka dalam perang meriam di beberapa bagian kota, peluru meriam nyasar menghantam rumah-rumah penduduk. Selain kerusakan rumah, korban jiwa di kalangan penduduk sipil pun mulai berjatuhan.

Sementara itu dalam istana, pasukan pasukan yang dipimpin oleh panglima-panglima pembenci Co Hua-sun itupun serempak bergerak menggempur orang-orangnya Co Hua-sun di bagian Istana yang lain. Setelah melihat isyarat kembang api Helian Kong, mereka tidak cemas lagi akan nasib Kaisar, maka bergeraklah mereka tanpa takut-takut lagi.

Selama ini, antara pasukan Kaisar dan pasukan Co Hua-sun dipisahkan tembok- tembok dalam istana, kedua pihak memperkuat tembok-tembok itu sebagai sarana pertahanan. Antara lain di belakang tembok diberi meja- meja untuk berdiri bagi pemanah atau pelempar lembing. Tentu saja keindahan istana jadi rusak karena hal itu.

Namun itulah yang terjadi. Daun-daun pintu dicopoti dan dibuat rintangan-rintangan bagi musuh, pintu taman yang berbentuk bulat dan indah itu tiba-tiba kini ditutup rapat dengan ditumpuki kursi-kursi dan benda-benda lainnya. Pokoknya benar-benar berantakan.

Kini pasukan Kaisar meninggalkan garis pertahanan mereka dan menyerbu ke garis pertahanan pengikut Co Hua-sun, disertai sorak menggelegar dan dipimpin panglima-panglima seperti Ou Hin, Tio Tong-hai, Bu Sam-kui, Song Liong dan sebagainya.

Pengikut-pengikut Co Hua-sun kaget, lalu cepat-cepat bertahan dari balik tembok-tembok pertahanan mereka dengan melontar-lontarkan panah dan lembing. Sementara lawan mereka membanjir, melintasi dan menghancurkan taman-taman bunga, melompati kolam-kolam ikan-ikan emas.

Dan bunga teratai, kurungan-kurungan burung di tengah taman ditabrak roboh, pot-pot bunga dilompati atau ditendang begitu saja kalau menghalangi jalan. Habis pertempuran ini juru taman pasti akan bekerja ekstra keras untuk membenahi semuanya.

Untuk sementara gerak maju pasukan Kaisar terhambat oleh hujan panah dan lembing dari garis pertahanan Co Hua-sun. Tameng-tameng diangkat untuk melindungi diri, kemudian mereka berusaha balas memanah lawan-lawan mereka yang nongol di atas tembok. Beberapa saat kedua pihak hanya saling panah.

Tio Tong-hai tidak sabar lagi. Ia lalu menyambar sebuah meja, dipegangnya dua di antara empat kaki meja untuk dibawa berlari maju dan dijadikan perlindungan dari hujan panah dan lembing. Tiba di dekat tembok, sekuat tenaga ia lontarkan meja itu ke atas tembok dan menghajar rubuh pengikut Co Hua-sun di atas tembok, menyusul dia sendiri melompat naik ke atas tembok.

Tio Tong-hai adalah seorang pesilat tangguh yang mendapat julukan Pek-lek-jiu (si Tangan Halilintar), tidak heran kalau setibanya di balik dinding pertahanan pengikut Co Hua-sun, dia langsung mengamuk seorang diri dengan goloknya dan menjatuhkan banyak korban.

Namun tujuan utamanya menerjang ke balik tembok itu bukan sekedar ingin pamer kejagoannya, tapi membuka jalan buat pasukan Kaisar agar dapat membobol garis pertahanan Co Hua-sun itu. la menerjang ke pintu bundar yang dirintangi dengan tumpukan meja kursi itu.

Musuh-musuh bertumbangan oleh goloknya, namun pengikut-pengikut Co Hua-sun mencoba gigih mempertahankan pintu itu. Tapi mereka dapat dikocar-kacirkan dan dipaksa mundur, maka satu pintu berhasil dibebaskan, lalu dari situlah menyerbu prajurit-prajurit yang setia kepada Kaisar.

Seperti terhadap lawan-lawan mereka di luar istana, yang di dalam istanapun pasukan- pasukan Kaisar menyerukan agar pengikut Co Hua-sun menyerah dan mendapat pengampunan. Mereka mengira pengikut-pengikut Co Hua-sun itu hanyalah orang-orang yang ditipu. Ternyata dugaan itu keliru.

Orang-orang yang oleh Co Hua-sun ditarik masuk istana itu bukan cuma kaum ikut-ikutan, namun benar-benar pembela-pembela yang gigih. Terutama para thai-kam yang sejak lama diam- diam sudah dipersiapkan dan dibentuk menjadi kelompok tempur yang tangguh. Perlawanan sengit diperoleh pasukan Kaisar dari kelompok ini.

Kemudian dari kedua pihak mendapat tambahan pasukan, sehingga pertempuran menyebar ke setiap jengkal wilayah istana. Dan benar-benar hancur-leburlah istana yang indah itu. Untuk sementara, pertempuran nampak seimbang. Kedua belah pihak sama gigihnya.

Di tengah-tengah keributan itu, Jenderal Ou Hin berteriak kepada Bu Sam-kui, "Bu Cong-peng, bawa orang-orangmu ke arah Yang-wan-hu untuk menjemput Sri Baginda!"

"Baik!" sahut Bu Sam-kui, lalu dibawanya pasukan mencari jalan ke Yang-wan-hu, tapi merekapun harus berhadapan dengan sekelompok pengikut Co Hua-sun yang menghadang mereka.

Di Yang-wan-hu, meskipun Helian Kong dan orang-orangnya dengan cepat berhasil membereskan para penjaga keluarga Kaisar, tetapi tidak dapat segera pergi membawa Kaisar, sebab bangsal itu tiba-tiba dikepung oleh sejumlah besar pengikut Co Hua-sun. Cepat-cepat Helian Kong masuk ke dalam bangsal.

Dilihatnya Kaisar Cong-ceng dan beberapa orang yang tidak sempat diperhatikan oleh Helian Kong, sebab Helian Kong sendiri cepat-cepat berlutut di hadapan Kaisar dan berkata, "Hamba mohon ampun, karena setelah sekian lama barulah hamba datang kepada Tuanku."

Sesaat Kaisar berdiri membeku oleh perasaan haru. Saat itu batas waktu yang ditetapkan Co Hua-sun tinggal kurang dari setengah jam, dan Kaisar sudah siap mengajak seluruh keluarganya minum arak beracun. Di saat harapan makin menipis, muncullah pertolongan itu. Dari Helian Kong, seorang yang pernah dijatuhi keputusan untuk ditangkap, karena dituduh pengkhianat atas anjuran Co Hua-sun. Kini malahan Helian Kong yang menolong, Kaisar jadi menyesal sendiri.

"Helian Cong-peng, ribut-ribut di luar, itu, apa yang terjadi?"

"Tuanku, pasukan-pasukan yang setia kepada Tuanku telah bergerak serempak terhadap pengikut-pengikut Co kong-kong...."

Kaisar berdesah lega, "Terima kasih. Kini aku melihat siapa yang setia dan siapa yang berkhianat."

"Ampun Tuanku, waktu tidak banyak sekarang ini. Kami mengawal Tuanku ke bagian istana yang aman, yang dikuasai Jenderal Ou Hin."

Sebenarnya Kaisar mau, tapi mendengar riuh dan hebatnya pertempuran di luar, nyalinya jadi ciut. Haruskah ia berjalan di antara ribuan orang yang berdesak-desakan sambil mengayun-ayunkan senjata?

Helian Kong mengerti apa yang dipikirkan Kaisar, katanya, "Tuanku akan berjalan dalam pengawalan seribu prajurit pilihan."

"Tapi aku harus berbicara dulu dengan keluargaku..." kata Kaisar, terus masuk kembali ke ruang dalam.

Helian Kong menarik napas menyabarkan dirinya. Kaisar betul-betul seorang yang terlalu lemah untuk mengambil keputusan sendiri, bahkan untuk hal-hal yang begitu kecil. Mungkin karena sudah terlalu lama "dikempit" di bawah ketiak Co Hua-sun.

Kemudian yang keluar dari ruang dalam bukan Kaisar, malahan Siangkoan Yan yang berpakaian ringkas dengan pedang yang menyilang punggungnya. Begitu melihat Helian Kong, gadis itu terus berlari menghambur dan memeluk Helian Kong kuat-kuat, dan menangis di dada Helian Kong. Helian Kong tidak siap menghadapi "jurus" macam itu, maka cuma kelabakan bingung dan tak bisa berbuat apa-apa.

Selagi Siangkoan Yan masih dalam pelukannya, dari ruang dalam berturut-turut muncul Kaisar Cong-ceng kembali. Permaisuri Ciu Hong-hou„ Putera Mahkota Cu Sam, Puteri Tiang-ping dan Tan Wan-wan. Orang terakhir inilah yang mengejutkan Helian Kong, sebab Tan Wan-wan tak pernah terhapus dari ingatannya, biarpun dengan bumbu kecewa.

"Wan-wan....." tak terasa Helian Kong berdesis.

Siangkoan Yan yang masih dalam pelukannya itupun kaget karena bukan namanya yang dibisikkan. Cepat gadis itu melepaskan diri dari pelukan Helian Kong lalu mengikuti arah tatapan mata Helian Kong, maka diapun melihat Tan Wan-wan juga sedang menatap Helian Kong dengan hangat, pelepasan kerinduan yang terpendam. Beberapa saat lamanya saling tatap antara sepasang kekasih yang dipisahkan oleh arus jaman itu. Sinar mereka jauh lebih bermakna dari sejuta kalimat.

Bukan cuma Siangkoan Yan yang bangkit cemburunya, tetapi juga Kaisar Cong-ceng, karena cemburu tak kenal usia. Selama ini Kaisar menyangka melayani dirinya dengan benar-benar cinta, tak disangka kalau Tan Wan-wan ternyata menyimpan lelaki lain di hatinya.

"He, kalian sudah saling kenal ya?" suara Kaisar agak dikeraskan, memutuskan arus kemesraan lewat tatapan mata itu.

Tan Wan-wan menunduk, ia merasa dirinya sama dengan seekor kelinci di tengah-tengah rimba penuh serigala kelaparan. Bahkan dari Helian Kong pun dia tidak berani mengharapakan perlindungan. Pelindung yang diandalkannya cuma Kaisar Cong-ceng, "remaja bangkotan" yang lemah, gampang dirayu dan dibohongi.

Maka mendengar nada Kaisar penuh cemburu, cepat Tan Wan-wan menjelaskan, "Ampun Tuanku, Helian Cong-peng hanya teman bermain biasa waktu masih sama-sama kecil."

Kata "hanya" itulah yang menikam hati Helian Kong, semacam isyarat "lampu kuning" buat hubungannya dengan Tan Wan-wan. Tetapi Helian Kong belum tahu kenapa Tan Wan-wan bersikap demikian?

Untuk sementara Kaisar puas dengan jawaban Tan Wan-wan itu, lalu katanya, "Helian Cong-peng, aku siap kau kawal ke tempat aman." "Baik, Tuanku. Hamba atur pasukan dulu." dan keluarlah Helian Kong tanpa berani lagi menoleh kepada Tan Wan-wan., Nada cemburu dalam suara Kaisar tadi membuatnya merasa tidak enak.

Di sekitar Yang-wan-hu pertempuran berkobar antara pasukan Helian Kong melawan pengikut-pengikut Co Hua-sun yang membanjir datang, untuk merebut kembali Kaisar sebagai "kartu truf" mereka. Yang bergelimpangan sudah puluhan orang, tapi kedua pihak masih sama ngototnya.

Nampak Yo Goan-tong bertempur sengit, bahkan cenderung kalap, menghadapi pengikut-pengikut Co Hua-sun. Topi perangnya sudah lepas, rambutnya awut-awutan dan tubuhnya berlumuran darah. Pakaiannya robek-robek. Tapi ia terus menerjang ke sana ke mari sambil mengayun-ayunkan pedangnya yang juga sudah semerah tubuhnya, ia terus menyuruk jauh ke tengah-tengah musuh, sehingga terpisah dari orang-orang di pihaknya.

Melihat itu, Helian Kong berdesir hatinya. Agaknya Yo Goan-tong tidak cuma mau menyelamatkan Kaisar, tapi hendak bunuh diri dengan cara itu. Entah untuk mengimbangi kesalahannya selama ini, entah untuk menghadiri pertemuan dengan pengikut-pengikut setia Kaisar setelah selesainya pertempuran nanti. Mungkin juga campuran kedua-duanya.

Tentu saja Helian Kong tak tega membiarkan. Sambil menghunus pedangnya, ia melompat ke kancah bergolak itu seperti seekor elang raksasa, terjun tepat di samping Yo Goan-tong. Ketika pedangnya berkelebat melebar, pengikut-pengikut Co Hua-sun yang tengah mengepung Yo Goan-tong itupun berhamburan roboh.

"Saudara Yo, Kaisar sudah selamat dan kita harus segera mundur dari sini." kata Helian Kong.

Tetapi Yo Goan-tong menjauhkan diri ketika Helian Kong hendak menarik tangannya untuk diajak pergi, la bahkan menyusup makin dalam ke tengah-tengah musuh sambil mengamuk lebih hebat. Teriaknya, "Helian Cong-peng, selamatkan saja Kaisar, tidak usah pedulikan aku. Aku akan menahan musuh selama mungkin di sini."

Helian Kong masih mendesak maju untuk menyelamatkan Yo Goan-tong. "Saudara Yo, jasamu malam ini cukup besar, Kaisar dan teman-temanku pasti "berterima kasih kepadamu!"

Apa mau dikata, Yo Goan-tong sendiri sudah tidak mau ditolong, dan terus menghindari Helian Kong, la menyusup makin jauh, sehingga Helian Kong sendiri tak bisa lagi melihat di mana Yo Goan-tong. Tapi beberapa saat kemudian terdengar suara tertawa Yo Goan-tong terbahak-bahak, sebelum suara itu lenyap karena dicincang para pengikut Co Hua-sun.

Helian Kong sedih, namun akal sehatnya masih menuntun dan mengingatkan bahwa tujuan utama adalah menyelamatkan Kaisar dan keluarganya. Karena itulah Helian Kong mulai mengatur pasukannya agar dapat mundur dengan aman sambil membawa kaisar dan keluarganya.

Bagian depan tengah segera mendesak lebih hebat, sementara sayap kanan dan kiri merapat ke tengah, lalu masuk lewat depan Yang-wan- hu, dan menembus ke pintu belakang dengan sudah membawa Kaisar dan keluarganya. Di pintu belakang pun sudah ada pengikut Co Hua-sun siap menghadang, yang berusaha merebut Kaisar kembali. Maka gerak maju pasukan penyelamat itu jadi lambat.

Sementara itu pasukan yang semula bertahan di depan juga mundur lewat jalan yang sama untuk bergabung dengan pasukan lainnya. Helian Kong bertarung menjadi ujung tombak pasukan penyelamat itu. Kaisar dan keluarganya memang terkawal di tengah-tengah pasukan. Tapi Helian Kong cemas, kalau maju pasukannya demikian lambat, masih sempatkah membawa Kaisar ke tempat aman sebelum pasukannya habis?

Saat itu pengikut Co Hua-sun memang nampak di mana-mana, seperti lautan manusia. Co Hua-sun telah mendatangkan pendukung-pendukungnya dari luar istana untuk bertempur di dalam. Siangkoan Yan sudah dipesan Helian Kong agar tetap berada di dekat Kaisar, untuk melindungi seandainya ada musuh yang berhasil mendekat.

Tapi Siangkoan Yan tidak sabar merasa lambatnya gerak pasukan itu, ia lalu maju ke samping Helian Kong dan bertempur paling depan. Mereka berdua seperti sepasang harimau yang dengan ganas mengamuk mencoba menembus musuh.

Melihat betapa serasinya Helian Kong dan Siangkoan Yan ber"duet" bermain pedang, Tan Wan-wan merasa teriris hatinya. Cintanya kepada Helian Kong belum padam, namun ia sekarang merasa tidak pantas lagi untuk Helian Kong. Karena itulah Tan Wan-wan diam-diam malah mengharapkan agar Helian Kong dan Siangkoan Yan menjadi pasangan yang kelak menemukan kebahagiaan. Dirinya sendiri rela dilupakan.

Sementara Helian Kong tidak sempat memikir macam-macam. Memang ia telah bertempur dengan hebat bersama pasukan penyelamatnya yang terdiri dari prajurit-prajurit pilihan itu, namun gerak maju pasukannya tetap lambat. Setiap langkah harus dibayar dengan gugurnya beberapa anggota-anggota pasukannya.

Saat itulah pasukan lain muncul dari suatu arah dan menggempur pengikut-pengikut Co Hua-sun. Pemimpin pasukan itu bertubuh gemuk dan bersenjata golok. Dialah Pek-lek-jiu (si Tangan Halilintar) Tio Tong-hai. Bukan cuma goloknya yang berkelebatan ganas, tapi jotosan atau tebasan tangan kirinya pun menjatuhkan banyak korban.

Di samping Tio Tong-hai ada Bu Sam-kui dengan tombaknya. Ilmu silatnya hanya tergolong rata-rata di antara perwira-perwira seangkatannya, tetapi ketrampilannya dalam memimpin pasukan bisa diandalkan. Maklum, bertahun-tahun dia menjadi bawahan Jenderal Seng-tiu yang lama bertempur membela tapal batas negara di San-hai-koan, melawan tentara Manchu. Setelah Ang Seng-tiu menakluk ke pihak Manchu, Bu Sam-kui sekarang dipercaya menjadi komandan San-hai-koan.

Datangnya pasukan-pasukan itu membuat pengikut-pengikut Co Hua-sun terdesak, lalu mundur sambil berusaha menyusun garis pertahanan yang sudah agak kedodoran. Pengikut-pengikut Co Hua-sun itu dalam hal Ilmu silat perorangan memang tidak kalah dari lawan-lawan mereka. Tapi dalam pengalaman tempur mereka kalah, juga semangat mereka mulai merosot, sebab sejak tadi tidak kelihatan batang hidung Co Hua-sun yang mereka bela.

Bahkan mengirim pesan lewat kurir pun tidak. Co Hua-sun menghilang begitu saja. Dengan demikian pertempuran itu makin berat sebelah. Komandan-komandan pengikut Co Hua-sun mulai mengambil kebijaksanaan sendiri-sendiri. Mereka bertempur sendiri-sendiri dan makin tercerai berai.

Melihat munculnya Tio Tong-hai dan Bu Sam-kui, Helian Kong menjadi besar hati dan memanggil dari kejauhan, "Saudara Tio, saudara Bu! Kami di sini!"

Kedua panglima yang dipanggil itu mendengar. Tio Tong-hai lalu membagi tugas dengan Bu Sam-kui, "Saudara Bu, aku dan pasukanku akan mencoba memotong garis depan musuh dengan barisan belakang mereka. Sedang kau bantulah Helian Cong-peng mengawal Kaisar!"

"Baik!" sahut Bu Sam-kui yang bersama pasukannya lalu berbelok ke arah teriakan Helian Kong tadi.

Ketika Bu Sam-kui dan Helian Kong berhasil bergabung, gerak maju mereka pun tambah pesat. Apalagi perlawanan pengikut-pengikut Co Hua-sun mulai kendor. Melorotnya semangat pengikut-pengikut Co Hua-sun itu agaknya terbaca oleh Tio Tong-hai, maka dia menyuruh anak buahnya menyerukan tawaran agar lawan menyerah, untuk membatasi korban yang jatuh.

"Teman-teman, Co Hua-sun sudah kabur sendirian! Buat apa kalian mati-matian membela dia, sedang dia tidak menghiraukan kalian lagi?"

"Kita sesama prajurit Kerajaan Beng, tidak perlu saling bunuh hanya gara-gara pengkhianat macam dia!"

"Yang menyerah akan diampuni! Yang keras kepala akan ditumpas!"

Seruan-seruan itu terasa benar pengaruhnya. Di beberapa bagian, banyak pengikut Co Hua- sun menghentikan perlawanan dan meletakkan senjata. Hanya beberapa komandan komplotan Co Hua-sun yang tidak mau menyerah karena takut akan dihukum. Namun perlawanan beberapa gelintir orang inipun akhirnya dipatahkan, bahkan ada beberapa komandan yang ditangkap anak buahnya sendiri.

Korban cukup banyak. Di dalam istana saja ada ratusan yang tewas dan ratusan lagi luka- luka. Sedang di seluruh Pak-khia yang tewas dan luka-luka mencapai hitungan ribuan. Puluhan rumah penduduk atau bangunan lain hancur kena peluru meriam yang nyasar. Banyak pula orang sipil jadi korban.

Pertempuran berlangsung sampai pagi, karena beberapa kelompok pengikut Co Hua- sun tidak mau menyerah, malah mengajak bertempur kucing-kucingan dengan menggunakan ribuan lorong-lorong yang berliku-liku dan bercabang-cabang di kota Pak-khia yang luas itu. Kalau ada kesempatan, mereka akan berusaha lari keluar kota.

Namun sembilan pintu gerbang Pak-khia sudah dijaga tentara Kaisar. Sedang sisa-sisa pengikut Co Hua-sun yang dalam kota terus dikejar, dijepit, dibuat tak berdaya. Ketika fajar menyingsing, selesailah pertempuran. Itulah hari berakhirnya pengaruh Co Hua-sun, setelah hampir tujuh belas tahun thai-kam tua itu menunggangi kekuasaan Kaisar Cong-ceng untuk dirinya sendiri, dengan cukup banyak korban fitnahnya.

Pembersihan kaki tangan Co Hua-sun dilakukan tanpa ampun. Pasukan-pasukan yang pernah ikut-ikutan Co Hua-sun lalu diganti komandannya, sedang komandan lama dihukum mati. Begitu pula pejabat-pejabat sipil yang selama ini secara sadar ikut menjalankan rencana jahat Co Hua-sun.

Sebuah kemenangan yang amat mahal. Ribuan orang tewas dalam pertempuran semalam, sedang ratusan lagi diseret ke bawah golok algojo. Kerajaan Beng telah menyelesaikan satu masalahnya. Tapi dua masalah besar masih harus dihadapi. Ancaman Kerajaan Ceng di timur laut, dan pemberontakan Li Cu-scng di barat laut. Dua ancaman yang sama gawatnya.

Helian Kong dari istana menuju ke rumahnya, dalam pakaian tempurnya yang masih bernoda darah. Bahkan rambutnya juga masih dikuncir seperti orang Manchu, sisa penyamarannya ketika mengelabuhi Co Hua- sun semalam. Kaisar secara resmi telah memulihkan nama dan kedudukan Helian Kong, sehingga ia boleh kembali menempati rumahnya.

Sepanjang jalan Helian Kong berwajah murung melihat prajurit-prajurit kerajaan sedang menyingkirkan mayat-mayat sesama prajurit. Sementara di beberapa bagian kota berlangsung kesibukan yang tak kalah mengerikan, yaitu menang kapi dan menghukum orang-orang yang "terbukti" berkomplot dengan Co Hua-sun.

Syarat "terbukti" inipun begitu kabur, nyaris sembarangan, bukan mustahil di baliknya tersembunyi permusuhan atau pamrih pribadi, lalu menggunakan situasi untuk saling menjerumuskan orang ke bawah golok algojo.

Helian Kong jadi ingat akan gelombang hukuman mati yang berlangsung di wilayah-wilayah yang baru saja direbut oleh kaum Pelangi Kuning. Kaum Pelangi Kuning lalu melampiaskan dendamnya kepada orang-orang kaya yang dianggap penyebab kesengsaraan mereka, maka hukuman matipun mereka obral lewat pengadilan-pengadilan kilat yang dalam sehari entah berapa kali mengetukkan palunya.

Kini di Pak-khid timbul situasi serupa, dan akan selalu serupa dalam tiap pergeseran kekuasaan. Kaum yang menang berpesta dengan dendam. Kepala-kepala orang-orang yang kalah dipancung, leher-leher dimasukkan ke tali gantungan, dan di kalangan pembesar tingkat atas, arak-arak beracun diedarkan.

Di samping Helian Kong berjalanlah Siangkoan Yan yang mencoba mengajak banyak bicara kepada Helian Kong. Namun karena jawaban Helian Kong pendek-pendek saja dan kedengaran tanpa semangat, lama kelamaan Siangkoan Yan merasa tidak enak juga. Dasar seorang gadis yang gampang cemburu, Siangkoan Yan lalu bertanya,

"Toako, kau seolah jemu berbicara kepadaku? Kenapa?"

"Ah.. oh....." tergagap Helian Kong ketika menangkap nada tajam dalam kata-kata Siangkoan Yan itu. "Tidak, tidak apa-apa kok... Cuma aku sedang banyak pikiran."

"Tan Wan-wan ya?"

"Ah, tidak. Dia memang teman semasa masih sama-sama di desa dulu. Ketika aku pulang ke desa setahun yang lalu, dia sudah menikah dengan seorang pemuda kaya di Soh-ciu."

"Jadi dia meninggalkanmu?"

"Ah, tidak bisa dibilang begitu. Kami hanya... hanya teman..."

Makin berbelit-belit Helian Kong, malah makin curiga dan cemburu. "Cuma teman biasa? Waktu bertemu di Yang wan-hu semalam kok mesra benar kau dan dia saling menatap?"

"Aku... hanya kasihan kepadanya. Dia seorang gadis yang malang, sedang keluarganya baik kepadaku."

"Malang? Bukankah dia di Soh-ciu banyak uangnya dan terkenal?" suara Siangkoan Yan sinis.

"Karena pernikahannya dipaksakan oleh Ting Hoan-wi yang semestinya melindunginya, sepeninggal kedua orang tuanya. Tan Wan-wan tak ubahnya dijual oleh Tlng Hoan-wi, seperti menjual ternak saja."

"Benarkah itu?"

"Ya."

"Tetapi aku justru mendengar cerita lain tentang dia."

"Bagaimana ceritanya?"

"Di Soh-ciu dia lari meninggalkan suaminya, lalu menjadi... menjadi..." Siangkoan Yan jadi takut meneruskan kata-katanya ketika Helian Kong mendadak menghentikan langkah dan memutar tubuh menghadapinya, sambil menatap tajam-tajam.

"Menjadi apa?" tanya Helian Kong keras.

Semula Siangkoan Yan ingin menceritakan masa lalu Tan Wan-wan yang penuh noda hitam, supaya Helian Kong membencinya dan melupakannya. Tan Wan-wan yang dijual selagi baru saja kehilangan kedua orang tuanya, apalagi dijual oleh seorang yang semestinya melindunginya, membuat Siangkoan Yan sedikit kasihan. Cemburu ya cemburu, namun Siangkoan Yan bukan jenis manusia yang gembira melihat nasib malang orang lain.

"Menjadi apa?" Helian Kong mengulangi pertanyaannya.

"Ah, lupakan saja, itu hanya kabar angin. Tapi kalau mau tahu jangan tanyai aku. Tanyalah pegawai-pegawainya Ciu Kok-thio, mertua Kaisar, yang membawanya dari Soh-ciu." Habis berkata demikian Siangkoan Yan melangkah pergi dengan cepat, meninggalkan Helian Kong.

"Adik Yan...." Helian Kong memanggil dan hendak menyusulnya, tapi akhirnya batal. Ia tahu Siangkoan Yan seperti sedang menahan semacam perasaan, kalau disusul jangan-jangan malah marah, dan kalau sampai bertengkar di tengah jalan tentu akan menjadi tontonan gratis buat para prajurit yang sedang bertugas di Jalan itu.

la lalu berjalan gontai ke rumahnya. Dilihatnya segel yang menempel di pintu rumahnya sudah berdebu. Helian Kong merobeknya, mendorong pintu dan melangkah masuk ke rumahnya. Keadaan bagian dalam rumah itu masih seperti dulu, cuma semuanya serba berdebu, bahkan juga banyak laba-laba yang "kerasan" bermarkas di situ.

Tak terasa Helian Kong teringat A-liok yang dulu selalu rajin membersihkan rumah, namun kini A-liok sudah beku di dalam tanah. Helian Kong terus masuk ke dalam sambil tangannya bergerak-gerak menyingkirkan benang-benang sarang laba-laba yang bergelantungan di mana-mana.

Tiba-tiba kupingnya yang tajam mendengar suara berkelotek lirih dari salah satu kamar yang menghadap halaman dalam. Kesiagaan Helian Kong langsung merasuk ke segenap tubuh, ia melihat tapak-tapak kaki yang nampak jelas di lantai berdebu, namun bukan jejaknya sendiri.

Helian Kong mempertajam pendengarannya, dan didengarnya dengus napas tersendat-sendat di balik pintu kamar yang mencurigakan itu. Telapak-telapak kaki pun ke sana arahnya.

"Siapa sembunyi di situ? Keluar!" bentak Helian Kong.

Untuk sesaat dari dalam kamar itu tidak ada jawaban, namun pintu itu lalu terbuka perlahan-lahan dan muncullah Ting Hoan-wi. Bukannya dia gagah dan perlente seperti biasanya, namun kali ini dia pucat, matanya memancarkan ketakutan, rambutnya awut-awutan dan kotor oleh sarang laba-laba, pakaiannya robek-robek dan kotor oleh darah. Tangannya masih memegang pedang, namun tangan itu gemetar.

"A-hoan...." desis Helian Kong.

Di hadapan Helian Kong yang sekarang termasuk "golongan pemenang" yang boleh semaunya membunuh siapapun dari golongan yang kalah, nyali Ting Hoan-wi tak tersisa sedikitpun. Ia membuang pedangnya, lalu berlutut sambil menangis tersedu-sedu,

"Ampuni aku, A-kong. Aku benar-benar telah bersalah kepadamu, tapi sekarang aku tidak punya perlindungan lain selain kau. Kalau kau tidak melindungiku, pastilah habis tubuhku dicincang oleh kawan-kawanmu."

Tingkah saudara seperguruannya itu memang memalukan, tetapi Helian Kong tidak mau memanjakan dendamnya. Ia cuma berkata, "Setelah keadaan jadi begini, baru kau tahu akibatnya berkomplot dengan Co Hua-sun? Sekarang aku mau tanya, Co Hua-sun sekarang ini ada di mana?"

"Aku.... aku tidak tahu..." sahut Ting Hoan-wi terbata-bata. "Pertempuran itu begitu kacau, kami bertempur sendiri-sendiri tanpa saling mempedulikan, kemudian berpencaran ke segala arah. Mula-mula memang aku bersama Co Kong.... eh, maksudku Co Hua-sun mencoba lari ke arah gapura Sin-thian-mui, tapi dihadang pasukan yang dipimpin Kongsun Hui. Kami tercerai-berai dan aku tidak tahu lagi di mana Co Hua-sun."

"Hem, masih mencoba melindungi ular tua itu ya?"

"Tidak... tidak..." sahut Ting Hoan-wi sambil menyembah-nyembah. "Melindungi diri sendiri saja susahnya bukan main, persetan dengan nasib orang lain. Aku benar-benar tidak tahu di mana Co Hua-sun, berani sumpah disambar geledek. A-kong, ampunilah aku... kalau kau tidak sudi lagi mengakuiku sebagai teman, jadikan aku kacungmu atau jongos, pekerjaan apa saja pasti kulakukan." Lalu kata-katanya disusul tangisan sedih.

"Kau berniat sembunyi di sini?"

"Benar-benar terimalah aku. Aku mau disuruh membersihkan kakus, mengepel lantai, menyapu, membelah kayu, menimba... apa saja!"

"Tapi jangan-jangan ketika aku sedang lengah, kau curi lagi pedang dan kitab itu?"

Wajah Ting Hoan-wi yang semula menengadah, kini menunduk dalam-dalam, "Aku... aku minta maaf. Dulu nafsuku begitu meluap, sehingga nekad memakai cara apa saja...."

Kasihan juga Helian Kong kepada orang yang pernah menjadi teman baiknya itu. Ia tahu, sekali Ting Hoan-wi tertangkap di jalanan dan dikenali sebagai pengikut Co Hua-sun, maka saat itulah Ting Hoan-wi akan menjadi "bistik" dalam waktu singkat.

"Baik, diamlah di sini. Tapi jangan keluar rumah, kalau sampai kau dilihat kawan-kawanku, aku tidak bertanggung jawab lagi untuk keselamatanmu."

"Terima kasih... terima kasih..." dan entah berapa kali lagi Ting Hoan-wi berterima kasih sambil menyembah-nyembah.

Sementara Helian Kong mulai memikirkan urusan lain. Meskipun Co Hua-sun belum tertangkap, tapi kekuatan pendukungnya sudah lumpuh, pengaruhnya lenyap. Jadi bisa dicoret dari daftar urusan serius. Kini yang jadi soal ialah bagaimana membasmi mata-mata Manchu maupun mata-mata pemberontak Pelangi Kuning yang masih berkeliaran seperti hantu di Pak-khia. Namun Helian Kong merasa kalau siang itu lebih baik tidur saja dulu, agar otaknya lebih segar.

Sore harinya ia bangun, membersihkan diri dan berdandan rapi untuk menghadap Jenderal Ou Hin. Langit agak mendung, tapi Helian Kong berharap mudah-mudahan tidak turun hujan. Sebelum berangkat, Ting Hoan-wi dengan gaya seorang jongos teladan telah menyuguhkan minuman hangat dengan alim sekali. Dan ketika Helian Kong melihat ke sekitarnya, dilihatnya ruang itu sudah bersih, agaknya dikerjakan Ting Hoan-wi selama ia tidur siang tadi.

Melihat itu, Helian Kong berkata, "A-hoan, asal kau tidak lagi melakukan tindakan-tindakan tercela, kita bisa tetap sebagai sahabat yang sederajat. Karena itu tidak usahlah kau bersikap macam ini, nanti lama-lama aku bisa benar-benar menganggapmu hanya pantas sebagai kacung, bukan teman."

Muka Ting Hoan-wi memerah, lalu menunduk tanpa menjawab.

“Nah, aku pergi sebentar. Kau dirumah saja, jangan sampai dicincang bersama pengikut-pengikut Co Hua-sun lainnya."

Ting Hoa-wi cuma mengangguk-angguk.

"Dan untuk sementara pakailah nama palsu, jangan cukur kumis dan berewokmu agar wajahmu tidak dikenal."

Kembali Ting Hoan-wi mengangguk-angguk. Helian Kong pun berangkat menunggangi kuda ke rumah Jenderal Ou Hin. Suasana di seluruh kota Pak-khia benar-benar telah bebas dari pertempuran, meskipun penduduk masih sembunyi ketakutan di rumah masing-masing.

Para prajurit dari pasukan-pasukan yang berbeda, yang kemarin malam berbaku hantam dengan sengit, kini sudah tidak lagi bersikap bermusuhan kalau berpapasan di jalan. Komandan-komandan pasukan yang terlibat komplotan Co Hua-sun sudah dihukum dan kedudukannya digantikan perwira-perwira yang setia kepada Kaisar, sehingga pasukannya pun bisa dikuasai.

Begitu gampang kaum penguasa membuat kekacauan, lalu menciptakan "perdamaian", tinggal sebar perintah ini perintah itu, namun ketakutan yang terlanjur mencekam jiwa penduduk yang tak berdaya itu, entah kapan baru bisa sembuh? Tidak heran kalau di jalanan yang nampak hanya regu-regu prajurit, sementara kaum sipil tidak kelihatan batang hidungnya seorangpun.

Dekat istana, ada sebuah bangunan berdinding tinggi dan tebal, pintunya yang hanya satu pun tebal dan besar, serta dijaga amat kuat di sebelah dalamnya. Karena itulah gedung penjara. Sebelum bentrokan semalam, Co Hua-sun yang mengontrol gedung ini. Tapi kini, sudah tentu kontrolnya dipegang pasukan-pasukan yang setia kepada Kaisar.

Ada tiga ratus penjaga di situ. Bisa dimaklumi, sebab penjara itu bukan sekedar menyimpan maling ayam atau tukang copet, tetapi pesakitan-pesakitan yang ada hubungannya dengan urusan politik.

Ketika malam semakin dalam, langit tiba-tiba dikoyak cahaya putih gemilang, disusul suara menggeledek hebat. Lalu butir-butir air pun terjun dari langit, mula-mula satu demi satu, dan akhirnya begitu derasnya sampai seperti tirai putih yang dipasang berlapis-lapis, mengaburkan pandangan.

Di atas tembok mendadak muncul sesosok tubuh kurus, berpakaian ringkas warna hitam, mukanya tertutup selembar topeng dari kayu yang kasar, asal jadi saja. Sesaat ia berdiri tegap menantang angin dan guntur, seperti dewa maut yang siap menjemput nyawa korban-korbannya. Tiga prajurit yang sedang meronda di atas tembok, terkejut melihat kemunculannya.

"Siapa?" bentak seorang prajurit sambil mengibas lepas topi dan mantel jeraminya agar leluasa bertempur. Ujung-ujung senjata segera berkilat mengancam.

Sebagai jawabnya, orang itu melompat seperti macan tutul dan, mencakar ke tenggorokan prajurit terdepan. Si penjaga sigap memalangkan tangkai tombaknya, yang terbuat dari rotan rendalam yang ulet dan lentur itu. Begitu ulet, sehingga bisa untuk menangkis golok yang tegak lurus, apalagi cuma tangan manusia.

Tetapi orang bertopeng itu mengepretkan jari-jari tangannya seperti orang mengibaskan tangan sehabis mencuci tangan dan tangkai tombak itupun hancur jadi serpihan-serpihan tanpa guna. Dan penjaga itu kena cakaran empat jalur dari leher sampai ke dada, bukan cuma kulit yang robek tapi tulangpun remuk. Ia terkapar, lukanya langsung memutih karena guyuran deras air langit.

Dua penjaga lain kaget melihat nasib kawan mereka, lalu berlompatan mundur. Salah seorang berteriak ke gardu jaga di bawah tembok, "Bunyikan tanda bahaya!"

Dan setelah itu selesailah tugas hidupnya. Orang bertopeng itu menebaskan dua telapak tangannya dari jarak beberapa langkah, kelihatannya cuma seperti menebas air hujan karena terlalu jauh dari sasaran. Tapi kedua penjaga itu roboh dengan luka seperti dibacok, padahal tak tersentuh tangan orang itu.

Selesai membereskan ketiga penjaga itu, si orang bertopeng terjun langsung ke bawah, ke deretan sel tahanan. Di situ kembali ia membabat lima orang penjaga dengan bacokan jarak jauhnya yang seperti sihir saja, lalu menangkap seorang penjaga untuk ditanyai, "Dimana Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi?"

Karena tak mampu berkata saking takutnya, prajurit yang ditanya hanya menudingkan telunjuk ke satu arah. Dan ia mendapat ucapan terima kasih berupa hempasan keras ke dinding batu di belakangnya, sehingga langsung melorot ke lantai dengan tulang punggung patah.

Orang bertopeng itu langsung ke tempat yang ditunjukkan, kemudian dengan mudahnya ia merusak gembok pintu. Dalam sel yang remang-remang dan lembab itu nampak Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi dipasung, karena mereka dianggap orang-orang berbahaya.

Tapi orang bertopeng itu dengan cekatan menotok lumpuh kedua tokoh Pelangi Kuning itu, lalu menghancurkan kayu pasungannya. Kedua tubuh itu dipanggul di punggungnya kiri kanan, lalu melangkah keluar.

Sampai ke halaman terbuka, barisan penjaga sudah menunggunya, tak peduli hujan lebat. Komandan mereka mengeram, "Bangsat, siapa kau? Apakah kau pun orang Pelangi Kuning?"

Orang bertopeng itu tertawa dingin, "Bukan urusan kalian. Urusan kalian adalah untuk tetap hidup dan mencarikan nafkah anak isteri kalian. Karena itu minggirlah, agar aku tidak membunuh kalian!"

Komandan penjaga gusar, ia kibaskan pedangnya sambil memerintah anak buahnya, "Tangkap hidup atau mati!"

Melihat orang itu memanggul dua orang di kedua pundak, dan kedua tangannya pun memegangi tubuh-tubuh itu, para penjaga mengira akan menghadapi orang yang kerepotan dengan bawaannya, jadi dianggap sasaran empuk. Penjaga-penjaga pun menyerbu.

Tenyata orang bertopeng itu tetap berbahaya. Sepasang tangannya memang tidak bisa digunakan, tapi sepasang kakinya dapat digunakan bertempur dengan mahirnya. Sepasang kaki orang itu tiba-tiba berkelebat naik seperti sepasang naga bangun dari tidurnya di dasar samudra, beberapa prajurit paling depan pun tersapu dan berpentalan roboh, senjata-senjata mereka cuma menebas angin dan air hujan.

Ketika serbuan gelombang kedua datang, orang itu melompat panjang menjauh, tombak yang pertama datang disapunya dengan gaya tendangan Pai-lian-ka (Teratai Bergoyang), yang kontan membalikkan tombak itu untuk memangsa tuannya sendiri. Penjaga berikutnya kena tendang selakangannya. Para penjaga terus menyerbu dan orang bertopeng itu makin hebat memainkan sepasang kakinya. Banyak prajurit roboh.

Tapi ketika suara genta tanda bahaya mulai berdentang-dentang menembus suara hujan, orang bertopeng itu seperti diingatkan agar cepat angkat kaki dari situ, sebelum lebih banyak lagi penjaga yang berdatangan karena "undangan" stuara genta itu.

Ia melompati kepala para penjaga, kemudian seperti terbang menuju ke dinding. Sekali lompat, ia mencapai dua pertiga ketinggian dinding itu, kemudian sepasang kakinya bergantian menapak dinding yang tegak lurus dan licin oleh air hujan itu, segampang berjalan ditempat datar saja. Sampai di puncak dinding, orang itu lenyap bersama Oh Kui-hou dan Yo Klan-hi di pundaknya.

Para prajurit takjub, dan sadar tak mungkin mampu mengejar orang bertopeng yang seperti siluman itu. Sementara itu, tanda bahaya terdengar di seluruh tempat itu. Dengan perasaan kecut, para penjaga itu kemudian membenahi segala sesuatunya. Merawat teman-teman yang tewas atau terluka, sedang komandan mereka menyiapkan laporan kepada Jenderal Ou Hin.

Namun baru saja keadaan reda itu berlangsung kira-kira satu jam, kembali tanda bahaya berbunyi bercampur suara hujan. Kembali para penjaga blingsatan menyambar senjata-senjata mereka yang baru saja diletakkan.

"Apakah siluman kurus bertopeng itu datang lagi?"

"Entahlah, pokoknya siap semuanya!" Ternyata yang muncul kali ini juga seperti siluman saja, hanya tidak kurus dan tidak bertopeng. Dia seorang kakek amat gendut, rambutnya putih terurai. Caranya masuk ke penjara itu berbeda dengan sikurus bertopeng tadi, la tidak melompat, namun berjalan lurus dan menabrak dinding, sehingga temboknya berlubang besar dan kakek ini terus melangkah tanpa luka.

Ketika para penjaga merintanginya, Thiat- thau-siang (Gajah Kepala Besi) Ko Ban-seng terus melangkah seolah menghadapi deretan boneka rumput saja. Senjata-senjata yang kena tubuhnya tidak digubris, kulitnya ternyata kebal, sehingga hanya pakaiannya yang rusak. Ketika tangan dan kakinya bergerak menebas dan mendepak seenaknya, perintang-perin- tangnya roboh berpentalan sambil muntah darah atau patah tulang.

Jadi regu penjaga penjara itu kembali mendapat "pekerjaan" yang tidak kalah beratnya dengan yang tadi.

Kakek gendut ini langsung menuju ke deretan sel sambil berteriak-teriak gusar, "Mana tempat Yo Kian-hi, Oh Kui-hou dan dua saudara Giam? Ayo bebaskan mereka, atau harus kutumpas kalian?!"

Merasa tidak ada gunanya mempertaruhkan nyawa hanya untuk menjaga sel yang sudah kosong, seorang penjaga berkata, "Oh dan Yo sudah dibawa pergi!"

Ko Ban-seng menghentikan langkah dan membelalak makin gusar, "Dibawa pergi? Ke mana? Ke tempat hukuman mati?"

Penjaga yang dipelototi Itu mundur selangkah dengan nyali menciut, "Dibawa.... dibawa seorang kurus bertopeng yang sakti seperti siluman, sehingga banyak teman-teman terbunuh."

"Bohong!" gelegar suara Ko Ban-seng bagaikan sepuluh geledek berpaduan suara. "Kalian pasti menyembunyikan mereka agar dapat dihukum mati! Kalian pantas ditumpas!"

Para penjaga berhamburan mundur ke lorong di antara deretan sel, sementara si kakek gendut memburu dan siap menyeruduk mampus kawanan penjaga itu. Tapi sebelum kawanan penjaga itu menjadi korban ketidak percayaannya, dari salah satu sel gelap terdengarlah suara,

"Mereka benar, Lo-cianpwe. Percuma Lo-cianpwe bunuh tikus-tikus itu, sebab Oh dan Yo Hiangcu memang baru saja dibawa pergi oleh seorang bertopeng, yang dulu pernah bertempur dengan Lo-cianpwe ketika hendak membebaskan kami di luar kota Han-tiong!"

Ko Ban-seng batal mengamuk, ia kenal suara Giam Hong si "tukang warung" di Han-tiong, yang selnya berdekatan dengan sel Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi, sehingga tahu apa yang telah terjadi. Si kakek gendut melompat mendekati sel Giam Hong. Nampak Giam Hong dan Giam Lui dipasung, nampak lemas dan babak belur. Sementara si bungsu Giam Ih tergeletak dengan mata terpejam, tak bergerak.

"Kalian diapakan saja oleh anjing-anjing Kaisar?" tanya Ko Ban-seng keras. "Dan kenapa dengan Giam Lo-sam?"

Ditanya tentang adik bungsunya, air mata Giam Hong tiba-tiba mengalir, "Aku yang membunuhnya, sebab dia hampir tidak tahan penderitaan dan hampir saja buka mulut membuka rahasia gerakan. Terpaksa aku... aku...."

Giam Hong tak bisa melanjutkan karena menangis. Sebagai pengikut Li Cu-seng yang terpilih untuk disusupkan ke garis belakang musuh, ia bukan orang cengeng, berpuluh kali bergulat dengan maut dan hampir ditelannya, tanpa gentar. Namun ketika dengan tangannya sendiri terpaksa harus membunuh adik kandungnya, mau tak mau ia sedih juga.

Terdengar gemeretak keras ketika Ko Ban-seng mematahkan jeruji-jeruji sel itu, lalu balok-balok pemasung kaki kedua saudara Giam pun dihancurkannya. "Aku akan membawa kalian dari sini!"

Setelah pasungan hancur, kedua saudara Giam itu mencoba bangun, tapi tubuh mereka lemah sekali karena siksaan selama ini. Baru saja mereka berdiri, terus hampir roboh kembali, Ko Ban-seng cepat menangkap tubuh mereka dan langsung memanggulnya di kedua pundaknya.

Di lorong itu masih banyak penjaga, biarpun nyali mereka tinggal separoh, mereka takkan membiarkan saja tawanan-tawanan diambili seenaknya dari depan hidung mereka. Terutama si komandan penjaga, yang tak mau kedudukannya lenyap.

"Jangan biarkan lolos! Gunakan panah!"

Para penjaga berdesakan mundur kemulut lorong, sebuah tempat yang agak lebar, lalu panah-panahpun disiapkan untuk merencah tubuh Ko Ban-seng. Dengan ilmu kebal Kim-ciong-toh (Lonceng Emas) yang dimilikinya, Ko Ban-seng tidak gentar panah, tapi kedua saudara Giam dalam panggulannya itulah yang bisa celaka.

"Kalian mau minggir tidak, anjing-anjing Kaisar?" bentaknya memekakkan telinga.

"Panah!" si komandan bandel dan memerintah anak buahnya.

Namun sebelum panah-panah siap di busur, Ko Ban-seng telah meraung keras. Sepasang kakinya yang pendek-pendek itu menghentak-hentak bumi bergantian, ruangan itu tiba-tiba bergetar seolah hendak ambruk. Si kakek gendut ternyata menggunakan Ban-siang-keng-te (Selaksa Gajah Mengguncang Bumi).

Para penjaga tidak sempat lagi memanah atau melempar lembing, mereka berpelantingan atau terayun-ayun seperti di atas kapal yang diguncang gelombang besar. Banyak yang luka oleh senjata teman-teman sendiri, banyak pula yang mengira mereka benar-benar akan terkubur reruntuhan ruangan itu. Begitulah mereka kacau balau tanpa disentuh langsung oleh si kakek gendut.

Selagi mereka pontang panting, sebentar menghempas tembok di kiri, sebentar terbentur ke tembok, kanan, bahkan terbanting dan terinjak-injak teman sendiri, maka Ko Ban-seng menerjang keluar seperti seekor gajah melewati kawanan kelinci saja. Tak terhalangi.

Kemudian kakek gendut itu menerobos di bawah hujan lebat, lalu cepat pergi lewat lubang di tembok tadi, dan menghilang dalam gelapnya lorong-lorong Pak-khia.

Demikianlah, kelompok penjaga penjara itu dalam waktu singkat berturut-turut telah dipecundangi dua orang yang berbeda, dan empat tawanan penting lepas dari tangan mereka.

Tidak lama kemudian, regu-regu bantuan datang, tapi suduh tidak ada lagi yang bisa mereka perbuat, meskipun diantara mereka terdapat Ou Hin dan Helian Kong. Mereka cuma bisa melihat bekas-bekas keduhsyatan kedua pembobol penjara tadi, sedang si kepala penjara berbicara dengan nada "gempar sekali".

"Keparat, kaum pemberontak benar-benar sudah tidak memandang mata kepada kita." geram Ou Hin. "Mereka berani berturut-turut mengirim orang untuk membobol penjara dan mengambil teman-teman mereka. Tentu sekarang mereka sedang mentertawakan kita."

Helian Kong menarik napas, namun ia berkata, "Goanswe kedua pembobol penjara itu aku rasa tidak datang dari satu kubu, bahkan dari kubu yang bermusuhan."

"Apa dasarnya kau berpendapat demikian?" Tidak segera menjawab, Helian Kong lebih dulu menyapukan pandangan ke sekelilingnya yang banyak orang, lalu berkata, "Goanswe, yang akan kukatakan ini sebaiknya hanya didengar oleh Goanswe sendiri, tanpa orang ketiga."

Jenderal tua itu mengerutkan alis sambil mengelus jenggot putihnya, berpikir sejenak, lalu mengangguk. Tanyanya kepada kepala penjaga penjara, "Ada ruang tertutup di sini? Aku pinjam untuk bicara dengan Helian Cong-peng..."

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.