Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 24

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Seri Pertama, Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 24 karya Stevanus S.P

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 24

"Silakan Goan-swe dan Helian Cong-peng bicara di ruang pribadiku."

"Baik antarkan kami ke sana. Setelah itu kau harus mengawasi semua orang-orangmu agar sedikitnya berjarak sepuluh langkah dari pintu!"

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

"Mari, Goan-swe."

Tidak lama kemudian Ou Hin dan Helian Kong sudah berada di sebuah ruang tertutup yang letaknya terpisah dari deretan sel-sel para pesakitan. Kata Ou Hin, "Nah, bisa kau katakan di sini."

Helian Kong pun dengan urut dan ringkas menceritakan pengalamannya sejak ia pulang ke Pak-khia dari Hun-ciu, lalu diuber-uber pasukan kerajaan karena dianggap sudah berkhianat, sehingga lari sampai ke sebuah kuburan dan tanpa sengaja "berkenalan" dengan sekelompok mata-mata Li Cu-seng. Komplotan mata-mata itu kemudian seolah "menggunakan" Helian Kong untuk menyingkap komplotan kaki tangan Manchu di istana.

Sampai di sini, teganglah wajah Ou Hin, "Jadi kau telah berani berhubungan dengan kaum pemberontak? Dan kalau mereka menggunakanmu untuk membeberkan komplotan Manchu di istana, tidakkah kau telah menjadi orang mereka?"

"Jangan Goan-swe salah paham. Waktu itu aku seorang diri, dikejar-kejar tentara kerajaan, namun kesetiaanku kepada Kerajaan Beng tidak susut. Di hadapan para pemberontak yang berusaha menarik aku ke pihak mereka, memang aku berlagak goyah pendirian."

"Terus apa maksud pemberontak-pemberontak itu menyingkap komplotan Manchu?"

"Bukan karena mereka membela Kerajaan Beng, Goan-swe. tetapi karena mereka anggap komplotan Manchu itu membahayakan komplotan mereka. Kedua komplotan itu bermusuhan, sama-sama ingin tetap tersembunyi dari mata kita, namun juga berusaha agar pihak lain tersingkap agar kita tumpas."

"Bagaimana sikapmu sendiri terhadap usaha komplotan pemberontak itu?"

"Aku hanya melihat keuntungan bagi pemerintah kita. Aku seorang diri, apalagi dalam status buronan, tidak mungkin menghadapi komplotan pemberontak itu. Tetapi petunjuk mereka untuk menyingkap persekongkolan Co Hua-sun, bukankah sengaja atau tidak juga menguntungkan kita? Jadi dalam urusan itu, aku turuti saja rencana mereka, dan sudah kita lihat hasilnya sekarang, Co Hua-sun runtuh."

"Baik, lalu apa hubungannya dengan pembobolan penjara di malam ini?"

"Berdasarkan penuturan si kepala penjara tadi, orang yang datang tadi pastilah Tiat-thau-siang Ko Ban-seng, tokoh Pelangi Kuning yang berilmu tinggi. Tujuannya ke penjara ini pastilah untuk membebaskan kedua muridnya, Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi."

"Tapi kedua muridnya itu sudah diambil lebih dulu oleh temannya yang bertopeng?"

"Bukan temannya, tapi musuhnya. Orang bertopeng itu mungkin sekali adalah tokoh mata-mata Manchu."

"Kalau orang Manchu, kenapa membebaskan orang Pelangi Kuning? Bukankah katamu tadi kedua kelompok itu bermusuhan?"

"Untuk dijadikan bahan pertukaran tawanan. Sebab kusaksikan sendiri Ko Ban-seng telah menangkap dua orang perwira Manchu yang berbaur dengan begundal-begundal Co Hua-sun. Acara selanjutnya, entah kapan dan di mana, tentulah pihak Manchu dan pihak Pelangi Kuning akan mengadakan tukar-menukar tawanan. Dua hulubalang Pelangi Kuning ditukar dengan dua perwira Manchu."

Mendengar itu diam-diam Ou Hin geleng-geleng kepala dan berkata, "Inilah kelengahan para telik sandi kita. Mereka selalu melapor keadaan aman, dan tiap bulan ambil gaji. Tapi kelompok mata-mata Pelangi Kuning maupun Manchu hilir mudik di depan hidung mereka, merekapun tidak tahu. Benar-benar tolol. Kalau aku tidak mendengar omonganmu kali ini, pasti akupun masih percaya bahwa situasi Pak-khia ini tetap aman dan serba terawasi."

"Harap Goanswe jangan kaget kalau kuberitahu sesuatu...."

"Apa?"

"Kita tidak boleh berlega hati karena baru saja berhasil menyapu komplotan Co Hua-sun dari istana. Tapi masih ada komplotan lain dalam istana yang tidak kalah berbahaya, yaitu komplotan orang-orang Pelangi Kuning."

"Hah? Siapa orangnya?"

"Belum tahu. Tapi pasti ada, sebab kusimpulkan dari percakapan orang-orang Pelangi Kuning yang sering mengatakan atau menyebut tentang "Teman kita dalam istana".

Ou Hin menepuk meja keras-keras sambil berkata, "Ini tidak bisa dibiarkan! Malam ini juga akan kusiagakan semua pasukan, lalu mengadakan penggeledahan besar-besaran di seluruh Pak-khia, dan dalam istana juga kalau Sri Baginda berkenan."

Tapi Helian Kong geleng-geleng kepala sambil berkata, "Cara itu tidak tepat, Goan-swe. Hanya akan menangkap angin, sebab orang-orang Pelangi kuning itu terlalu lihai bersembunyi."

"Lalu bagaimana? Apa dengan mengerahkan telik sandi kita untuk menyamar di semua lapisan masyarakat, untuk pasang mata dan telinga di mana-mana?"

Helian Kong masih geleng-geleng kepala, "Goan-swe sendiri baru saja meragukan mutu para mata-mata kita. Kalau mereka dikerahkan, tak lain pasti hanya menghasilkan salah tangkap terhadap orang-orang tak bersalah, dan itu akan memperhebat kebencian rakyat terhadap pemerintah. Mereka takkan berhasil."

"Ah, celaka...." Ou Hin menepuk-nepuk pahanya dengan gelisah. "Apakah kau punya suatu jalan keluar?"

"Kalau Goan-swe setuju, biar aku sendiri yang akan menyelidiki jaringan mereka dan di mana saja sarangnya."

"Kau sendirian?"

"Benar, goan-swe. Dalam urusan macam ini, makin sedikit orangnya makin baik. Ini bukan perang terbuka yang membutuhkan banyak orang berotot kekar.”

"Baiklah."

"Tapi aku mohon Goan-swe jangan katakan urusan ini kepada siapapun. Kepada Kaisar pun jangan, ingat bahwa di istana pun kesusupan banyak kaki tangan pemberontak. Siapa tahu tanpa sengaja Kaisar menyebutnya dan akhirnya sampai ke kuping para pemberontak. Untuk sementara, aku boleh dianggap hilang saja dari Pak-khia."

"Kapan mulai kau lakukan?"

"Sekarang juga," sahut Helian Kong sambil bangkit dan melangkah keluar.

Mendung perang terasa makin tebal di atas kota Pak-khia dari hari ke hari. Suasana perang tidak hanya terasa dari naiknya harga bahan-bahan makanan karena makin suiit didapatkan, namun karena terasa musuh kini sudah begitu dekat.

Bermula dari kabar tentang jatuhnya Kota Han-tion dan Ji-lim berturut-turut ke tangan pemberontak. Dengan demikian Laskar Pelangi Kuning semakin mendekati Pak-Khia. Dengan agak panik Kaisar Cong-ceng segera mengundang pembesar-pembesar militer untuk bersidang.

Pagi itu cahaya fajar masih tersaring kabut, para panglima sudah berkumpul di aula Gin-loan-tian untuk menunggu hadirnya Kaisar. Mereka berbicara satu sama lain, dengan suara perlahan membicarakan situasi terahir. Kemudian lonceng Keng-yang-ciong dan tambur Liong-hog-kou di sebelah menyebelah ruangan paseban itu berbunyi menggetar udara pagi, tanda Kaisar akan segera tiba di singgasananya.

Para panglima pun segera merapikan dri menghadap ke arah singgasana, suasana jadi hening mencekam, tak ada lagi yang berbicara. Mereka ingin tahu apa yang akan dikatakan Kaisar menanggapi situasi terakhir itu. Itulah sidang pertama Kaisar Cong- ceng yang bebas dari Pengaruh Co Hua-sun.

Dua Thai-kam muncul di kiri kanan singgasana sambil membawa kebutan, dan berseru serempak, "Sri Baginda hadir!"

Lalu muncul Kaisar Cong-ceng dalam jubah naga kuningnya, melangkah ke singgasana. Semua panglima serempak berlutut dan berseru, "Ban-swe! Ban-swe!"

Wajah Kaisar nampak agak pucat kerana kurang tidur. Namun di singgasananya, ia masih bisa bergaya cukup anggung, "Silahkan berdiri, para panglima...!"

"Terimakasih, Tuanku!" hampir serempak para panglima berseru sebelum bangkit.

Sejenak suasana sunyi lalu terdengar suara kaisar yang kurang bersemangat, "Tentu kalian sudah tahu berita buruk, bahwa Han-Tiong dan Ji-lim telah lepas dari tangan kita. Kaum Pemberontak makin dekat dengan singgasanaku. Aku butuh sumbangan pikiran kalian untuk mengatasi situasi ini, sebab sekrang antara pemberontak dan kita sudah tidak ada lagi kota berkubu...."

Tanpa membuang waktu, Ou Hin maju selangkah dan memberi hormat, "Tuanku, saat ini antara kita dan pemberontak memang tidak terdapat lagi kota-kota bertembok, namun kita bisa mengubah desa-desa menjadi kubu pertahanan untuk menghambat majunya pemberontak kemari. Setiap penduduk lelaki yang bertubuh sehat, yang berusia tujuh belas sampai empat puluh lima tahun, bisa dikerahkan untuk membantu pertahanan, dengan diwajibkan sebagai sukarelawan yang harus memanggul senjata."

Mungkin Ou Hin sudah mulai ikut bingung juga, sehingga kata “sukarelawan" disambung dengan kata “yang harus". Sukarela tapi harus.

"Ou Goan-swe, sejak musuh menguasai jalan-jalan raya barat laut dan barat-daya, pemasokan beras dari Secuan terhambat. Persediaan pangan kita menipis. Kalau harus mengerahkan penduduk sebagai pasukan tempur, berarti gudang kerajaan ketambahan beban entah berapa ribu mulut yang harus diberi makan setiap harinya.”

"Ampun Tuanku, hamba tidak melihat jalan lain. Soal penyediaan ransum, terpaksa kita harus membebankan lebih banyak ke desa-desa penghasil pangan di wilayah-wilayah yang masih kita kuasai di sekitar Pak-khia."

Namun Kaisar menggeleng-gelengkan kepala, "Saat itu keluhan rakyat sudah memenuhi kuping kita. Aku kuatir Kalau rakyat ditambahi beban, mereka akan memandang kita sebagai penindas dan Li Cu-seng sebagai pembebas."

Mendengar itu, beberapa panglima diam-diam membatin, bagus juga kalau Kaisar mulai memikirkan rakyat. Sayang sudah agak terlambat, disaat simpati rakyat sebagian besar memang sudah "diborong" oleh Li Cu-seng. Dalam situasi macam itu, kalau dinasti Beng mau dipertahakan, ya memang usul Ou Him itu bisa dimengerti.

Ketika Kaisar menanyakan pendapat lain, tidak ada yang bersuara beberapa saat, sehingga Ou Him pula yang berkata, "Ampun Tuanku, usul hamba itu hanya untuk bertahan sementara."

"Hanya bertahan dan hanya sementara?"

"Benar, Tuanku. Selama kita bertahan di sini, panggil Kok-po Su Ko-hong dari Yang-ciu, agar kemari membawa pasukannya yang berjumlah besar, segar dan terlatih itu untuk memukul mundur kaum pemberontak."

Namun Kaisar menanggapinya tanpa harapan, "Su Ko-hoat? Sejak peristiwa arak beracun itu, aku tidak yakin apakah dia masih setia kepadaku. Buktinya sudah bertahun-tahun dia tidak menghadap aku. Aku kuatir pangggilan kita hanya seperti teriakan di tengah gurun."

"Tuanku, Kok-po Su Ko-hoat tidak berjiwa sesempit itu, sebab hamba pernah kenal secara pribadi dengannya. Dia enggan ke Pak-khla pasti bukan karena tidak setia lagi kepada Tuanku, melainkan karena kuatir masuk perangkap Co Hua-sun. Sekarang Co Hua-sun sudah kita singkirkan, kita bisa jelaskan kepada Kok-po bahwa Tuanku tidak terlibat dalam peristiwa arak beracun Itu. Co Hua-sun lah dalangnya, dan hamba rasa Su Ko-hoat akan bisa mengerti....”

Agak lama Kaisar berdiam diri, berjuang dl tengah pusaran kebimbangan. Usul Ou Hin Itu memang membawa titik harapan, tapi masih ada hal yang meragukannya, "Sebagal Kaisar, apakah aku harus merendahkan diri dan minta maaf untuk mengemis bantuan Su Ko-hoat?"

“Tidak, Tuanku. Tuanku tidak minta maaf karena memang tidak terlibat. Tuanku juga tidak mengemis bantuan, tetapi memerintah sebagal Kaisar terhadap abdinya yang setia. Hamba harap Tuanku segera menulis surat Itu, sebelum situasi lebih buruk lagi."

Setelah menarik napas, Kaisar pun akhirnya menerima usul itu, "Baiklah. Siapa yang paling tepat untuk membawa suratku ke Yang-cu?"

"Kalau Tuanku berkenan, hamba akan segera mengumpulkan orang-orang yang tepat."

"Baiklah, hari ini juga akan kutulis surut Itu." Namun sebenarnya hati Kaisar belum sebulat-bulatnya mengandalkan pertolongan Su Ko-hoat. Biar Co Hua-sun sudah tidak di sampingnya lagi, namun ada kata-kata Co Hua-sun yang masih mempengaruhinya, yaitu kesan bahwa Su Ko-hoat tetap mendendam kepadanya. Karena itulah Kaisar menyiapkan tindakan lain.

"Cong-peng Tio Tong-hai!"

Tio Tong-hai, si perwira gemuk berilmu tinggi yang berjulukan Pek-lek-jiu (si Tangan Halilintar) itupun cepat menjawab dengan hormat, "Hamba Tuanku."

"Tio Cong-peng, sudah kudengar kelihaian silatmu, karena itu kau kupilih untuk tugas ini. Menyamarlah dan pergilah ke Gunung Hoa-san, jemput dua puteraku yang sedang belajar silat di sana, Cu Leng-ong dan Cu Hin-yan, ungsikan mereka ke wilayah Se-cuan. Selain itu kau akan membawa suratku untuk Jenderal Thio Hian-tiong."

"Hamba junjung tinggi titah Tuanku."

Bisa dimaklumi kecemasan Kaisar kepada kedua pangeran itu, biarpun mereka cuma putera-putera selir. Gunung Hoa-san terletak di Propinsi Siam-si, jantungnya kaum Pelangi Kuning. Maka Kaisar ingin kedua pangeran itu dibawa ke Se-cuan yang masih dikuasai Jenderal Thio Hian-tiong yang setia kepada kerajaan. Dan agaknya Kaisar juga mengharap Jenderal Thio berbuat sesuatu untuk meringankan tekanan pemberontak atas Pak-khia.

Sedang Tio Tong-hai pun menyadari beratnya tugas itu. Menyusup ke wilayah musuh, membawa kedua pangeran keluar dari situ ke tempat aman. Bocor sedikit saja rencana perjalanan itu, maka perjalanan akan berubah dengan tamasya maut yang penuh rangkaian pertempuran dan pengejaran sepanjang jalan.

Kaisar sendiripun merasakan hal itu, ia jadi ingat seorang panglima lain yang juga berilmu tinggi. Katanya, "Untuk tugas ini, sebaiknya kau ajak...." pandangan Kaisar menyapu wajah-wajah dalam paseban itu, namun tidak menemukan wajah yang dicarinya. "....he, mana Helian Kong?"

Cepat-cepat Ou Htn berkata, "Ampun Tuanku, Helian Kong minta cuti beberapa hari untuk menjenguk keluarganya di desa."

Terpaksa Ou Hin membohongi Kaisar, tidak berani mengatakan terang-terangan tentang Helian Kong. Ingat peringatan bahwa mata-mata musuhpun barangkali sudah menyusup ke dalam istana.

Kaisar mengerutkan alisnya, lalu berkata kepada Tio Tong-hai, "Untuk tugas ini, kau boleh pilih sendiri kawan-kawan terpercaya."

"Terima kasih, Tuanku."

"Dan Kongsun Hui aku beri tugas untuk menyusun pertahanan di luar kota untuk menghambat pemberontak. Pertahanan di dalam kota kuserahkan kepada Goan-swe Ou Hin."

Ou Hui dan Kongsun Hui serempak menyatakan kesanggupannya. Namun Kaisar tiba-tiba menatap ke deretan belakang para panglima itu, menatap wajah Bu Sam-kui yang ada di deretan belakang. Bu Sam-kui diam-diam menggeser tubuh ke belakang seorang panglima lain yang bertubuh besar, agar tidak dilihat Kaisar.

Namun didengarnya suara Kaisar memanggil, "Cong-peng Bu Sam-kui!"

Suara itu mengandung nada teguran, sehingga Bu Sam-kui dengan takut-takut maju dan menjawab horipat, "Hamba Tuanku."

"Bu Cong-peng, kau kupercaya untuk bertugas di San-hai-koan, menjaga tapal batas negara dari ancaman Manchu, kenapa sekarang kau malah ada di Pak-khia?"

Pertanyaan itu sering juga ditanyakan oleh panglima-panglima lain, tapi Bu Sam-kui selalu menjawab "masih ada urusan di Pak-khia" Kalau ada yang menawari bantuan untuk menyelesaikan urusannya, Bu Sam-kui menolak dengan alasan "urusan pribadi".

Kini di paseban Gin-loan-tian itu, semua kuping siap mendengar jawaban Bu Sam-kui. Masihkah berdalih seperti itu, kalau Kaisar sendiri yang tanya? Ternyata kali ini Bu Sam-kui memberi jawaban yang lebih mentereng,

"Ampun Tuanku, ketika hamba mendengar kabar bahwa Tuanku dikhianati Co Hua-sun, hamba buru-buru bergabung dengan rekan-rekan sepaham untuk ikut usaha membebaskan Tuanku."

Para panglima yang mendengarnya diam-diam mengerutkan alis. Jelas Bu Sam-kui telah membohongi Kaisar. Sebab Bu Sam-kui tidak datang ke Pak-khia setelah Kaisar disandera Co Hua-sun, melainkan lama sebelum penyanderaan sudah banyak yang melihat Bu Sam-kui keluyuran saja di Pak-khia.

Tetapi justeru Kaisar mengangguk-angguk percaya. Dalam pertempuran di istana ketika membebaskan Kaisar, jasa Bu Sam-kui bisa dibilang nomor dua besarnya setelah jasa Helian Kong.

"Lalu bagaimana dengan tugasmu di San-hai-koan?"

"Hamba tidak berani mengabaikannya, demi keamanan wilayah negara. Karena itu sebelum hamba kemari, sudah hamba atur dan alihkan sementara kepada wakil hamba. Dua hari sekali selalu ada kurir yang hilir mudik dari San-hai-koan, untuk selalu melaporkan situasi San-hai-koan, dan membawa perintah-perintah hamba untuk wakil hamba itu. Jadi dari Pak-khia inipun hamba dapat tetap mengawasi San-hai-koan."

"Baik. Tapi sekarang Co Hua-sun sudah lenyap, aku dikelilingi panglima-panglima yang setia kepadaku. Jadi sebaiknya kau secepatnya kembali ke posmu di San-hai-koan. Harap mengingat pentingnya San-hai-koan buat kita, itulah pintu kita di timur laut. Kalau dijaga kurang waspada, tentu akan diterobos orang Manchu lebih mudah."

Sejenak Bu sam-kui geragapan serba salah, dan akhirnya muncul juga jawaban kunonya, "Tentu hamba akan segera kembali ke San-hai-koan secepatnya, tapi hamba mohon waktu beberapa hari untuk menyelesaikan urusan hamba di Pak-khia ini."

"Berapa hari kau bisa selesaikan urusanmu?"

"Ampun Tuanku.... urusan hamba ini agak rumit. Hamba tidak bisa memastikan kapan selesainya."

"Wah, kalau begitu kau cuma mengutamakan urusan pribadimu saja, dan menomor-duakan tugasmu di San-hai-koan. Benar tidak?"

"Ampun Tuanku..... hamba... hamba..."

"Bu Sam-kui, kuberi waktu kau sepuluh hari untuk menyelesaikan urusanmu di sini. Setelah itu, entah urusanmu selesai atau tidak, kau harus berangkat ke posmu di San-hai-koan! Kalau tidak, aku akan mengisi kedudukanmu dengan orang lain yang bisa lebih sungguh-sungguh bekerja"

Biarpun mengeluh dalam hati, Bu Sam-kui terpaksa menjawab juga, "Terima kasih atas kemurahan Tuanku."

Kaisarpun menyapukan pandangan ke seluruh hadirin dan bertanya, "Masih ada yang akan mengatakan sesuatu, sebelum sidang ini aku bubarkan?"

Karena tidak ada yang menyahut, Kaisar pun berkata, "Sidang kububarkan, kuharap kalian menjalankan tugas sebaik-baiknya. Laporkan setiap perkembangan, dan jangan ada yang disembunyikan."

Ketika Kaisar meninggalkan singgasana untuk masuk ke dalam, pembesar-pembesar militer itupun berlutut serempak dan menyerukan "Ban-swe".

Lalu merekapun bubar meninggalkan istana. Sementara Kaisar pun langsung ke Bangsal Tan Wan-wan untuk menghibur diri dengan si cantik itu. Dan Tan Wan-wan pun menyambut seperti biasanya. Kecantikannya yang memabukkan itu membuat Kaisar sesaat lupa bahwa dia baru saja kehilangan dua kota.

"Lancarkah sidangnya, Tuanku?" Tan Wan-wan bertanya lembut sambil membantu Kaisar melepaskan jubah kerajaannya, menggantikannya dengan jubah kain ringan. Lalu melepas topi kekaisarannya untuk digantikan dengan jepit rambut berbentuk naga.

"Ya, sudah kubagi tugas kepada para panglima, untuk mengimbangi gerakan para pemberontak."

"Hamba takut kalau pemberontak- pemberontak itu sampai ke istana ini, Tuanku...." kata Tan Wan-wan sambil memegangi lengan Kaisar. "Kabarnya mereka itu jahat-jahat."

"Jangan takut, manis. Setelah Co Hua-sun tidak ada lagi, angkatan perang kita kompak sekali, tak ada lagi perpecahan. Kita akan mematahkan leher pemberontak-pemberontak itu."

"Oh, hamba jadi tenteram mendengarnya. Hamba sungguh tidak merasa tenteram setelah mendengar jatuhnya Han-ti-ong dan Ji-iim. Tapi sekarang hamba boleh tenang, hanya hamba apakah diperbolehkan tahu, tindakan apa yang tuanku putuskan untuk menghadapi pemberontak-pemberontak itu?"

"Untuk sementara, tentara kita hanya akan bertahan. Kongsun Hui menjaga luar kota, Ou Hin dalam kota. Untuk serangan balik, kita menunggu datangnya pasukan Su Ko-hoat dari Yang-ciu."

"Apakah utusan ke Yang-ciu sudah dikirim?"

"Siang ini juga akan kutulis Surat Perintah untuk Jenderal Su."

"Siapa yang akan Tuanku utus?"

"Belum kutentukan."

Diam-diam Wan-wan mencatat semuanya itu dalam hati. Lalu katanya, "Apakah Tuanku berkenan hamba ambilkan minuman, lalu beristirahat di sini?"

"Minum boleh, tapi aku tidak bisa istirahat di sini. Aku hanya menengokmu sebentar, lalu ke Gi-si-pong untuk menulis surat itu."

"Baiklah, hamba ambilkan minum...." Tan Wan-wan segera berlalu sebentar dan kembali lagi membawa minuman. Sambil menuangkan minuman ke cawan dengan gaya yang lembut mempesona, diapun bertanya pula, "Tuanku amat lelah karena banyak pikiran. Hamba akan menemani Tuanku ke Gi-si-pong."

"Itu tidak perlu, sebab Gi-si-pong adalah tempat menulis surat-surat kenegaraan resmi. Kalau sampai dilihat orang bermulut jahil, akan kurang baik buatku dan buatmu juga, nanti kau dituduh terlalu mencampuri urusan negara."

"Ah, Co Hua-sun si tukang fitnah itu sudah tidak ada, kenapa takut omongan orang?"

"Co Hua-sun memang tidak ada lagi, namun tingkah serupa bisa timbul dari orang lain. Orang bermulut usil bukan hanya Co Hua-sun."

"Ah, Tuanku, hamba hanyalah seorang abdi yang tak berdaya. Siapa tega menuduh hamba, kalau hamba cuma membantu Tuanku menggosok tinta dan mengeringkan kertas?"

Kaisar Cong-ceng memang lemah menghadapi Tan Wan-wan. Maka dengan rayuannya yang gigih tapi lembut itu, akhirnya Kaisar pun mau mengajak Tan Wan-wan ke Gi- si-pong. Setelah minum sedikit di bangsal Tan Wan-wan, Kaisarpun menuju ke Gi-si-pong bersama Tan Wan-wan.

Begitu Kaisar dan Tan Wan-wan berlalu, tiba-tiba pintu lemari pakaian terbuka dari dalam, lalu melompat keluar seorang lelaki yang berdandan seperti thai-kam. Diapun segera menyelinap keluar, lalu dari kejauhan mengikuti langkah Kaisar dan Tan Wan-wan yang sedang menuju Gi-si-pong.

Untuk itu ia tidak berjalan merunduk-runduk, karena malah bisa dicurigai, maka ia berjalan saja dengan wajar. Kalau ada yang berpapasan dan menyapanya, diapun menjawab dengan ramah dan terus berjalan.

Tak lama kemudian Kaisar dan Tan Wan-wan pun tibalah di Gi-si-pong. Diapun mulai duduk menulis surat, dan Tan Wan-wan di sampingnya dengan tekun membantu menggosok tinta. Perintah Kaisar itu ditulis di atas lembaran sutera kuning berlapis, yang di sebaliknya bersulam gambar naga sebagai lambang kekaisaran.

Di atas kepala naga itu ada pula gambar matahari bulat merah berdampingan dengan bulan sabit putih, lambang keluarga kerajaan Beng. Sebelah huruf-hurufnya ditulis, tintanya dikeringkan Tan Wan-wan, lalu diberi cap setempel kekaisaran yang selalu dikantongi sendiri oleh Kaisar.

Setelah lembaran itu digulung dan disegel dengan lilin, dan ketika lilin itu masih hangat lalu dicap dengan cincin di jari Kaisar sehingga menimbulkan cetakan huruf-huruf timbul.

"Tolong panggilkan seorang thai-kam...." kata Kaisar kepada Tan Wan-wan.

"Hamba Tuanku...." Tan Wan-wan pun keluar dari ruangan Itu. Di luar ada beberapa thai-kam yang hilir mudik. Namun yang dipanggil Tan Wan-wan adalah thal-kam yang bersembunyi di kamar Tan Wan-wan tadi, "Masuklah. Sri baginda memanggilmu....."

Thai-kam itu masuk dan berlutut, "Ampun Tuanku, apakah Tuanku memanggil hamba?"

Kaisar menyerahkan Surat Perintah yang sudah digulung dan disegel itu sambil berkata, "Serahkan kepada Hoa Kun-tiong, lalu suruh dia membawanya kepada Jenderal Ou Hin. Jenderal Ou Hin akan menerangkan tugasnya."

"Hamba Tuanku...." thai-kam itu menerima gulungan itu dengan kedua tangan, lalu mengundurkan diri. Sebelum keluar pintu, sekilas ia bertukar pandangan dengan Tan Wan-wan yang berdiri di samping tempat duduk Kaisar. Tan Wan-wan mengangguk kecil, orang itu paham dan cepat pergi.

Kemudian Kaisar pun kembali ke bangsal Tan Wan-wan. Namun dl bungsal ltu sudah ada seorang dayang bawahan Puteri Tiang-ping yang menunggu. Begitu melihat kaisar, dayang itu berlutut dan berkata, "Ampun Tuanku, hamba diperintah oleh Permaisuri untuk menghadap Tuanku."

Sebenarnya Kaisar sudah siap "bersenang-senang" dengan Tan Wan-wan, seperti biasanya. Itulah sebabnya dayang itupun nampak agak takut-takut berkata kepada Kaisar, kuatir kalau Kaisar marah karena acara pribadinya terganggu.

"Ada apa?" tanya Kaisar, yang memang sedikit jengkel.

"Ampun Tuanku, kesehatan Tuan Puteri Tiang-ping kembali memburuk. Hong-hou Nio- nio (Permaisuri) mengharap Tuanku berkenan mengunjungi Tuan Puteri untuk membangkitkan semangatnya, agar cepat sembuh."

Sebenarnya Kaisar merasa enggan, tetapi kalau tidak datang nanti tentu timbul anggapan bahwa dia seorang kepala keluarga yang mengabaikan anaknya. Selagi Kaisar tetap ragu-ragu, bertanyalah Tan Wan-wan, "Apakah keadaan Puteri demikian memburuk? Sebab Sri Baginda sendiri baru selesai memimpin sidang penting, tentu membutuhkan istirahat yang cukup."

Namun dayang itu berkata pula, "Hamba hanya menjalankan perintah Hong-hou Nio-nio, kalau Tuanku tidak berkenan mengunjungi Tuan Puteri, hamba hanyalah bisa menyampaikannya kepada Hong-hou Nio-nio bahwa Tuanku keberatan dan tidak memikirkan penyakit Tuan Puteri."

Itulah kata-kata yang pengucapannya membutuhkan nyali besar. Kaisarpun "tersengat", sehingga akhirnya diapun berkata, "Baiklah, aku akan ke sana."

Dan Tan Wan-wan tidak menghalanginya lagi. Lagipula biarpun ia adalah pengikut Li Cu-seng, namun kesan pribadinya terhadap Puteri Tiang-ping cukup baik. Seorang gadis yang bertubuh lemah, namun bersemangat tegar.

Kemudian Kaisar Cong-ceng pun kebangsal Puteri Tiang-ping, sedang Tan Wan-wan masuk ke bangsalnya sendiri. Begitu tiba di dalam, Tan Wan-wan langsung memanggil dua dayang setianya sejak dari luar istana, Siau-hoa dan Cun-hoa.

"Ada apa Cici memanggil kami berdua?"

"Siao-hoa, kusuruh kau menghubungi teman-teman di luar istana, bagaimana?"

"Berhasil, Cici. Aku bertemu dengan paman Ko yang gendut itu, agar kita tidak usah lagi menguatirkan kedua teman kita, Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi, sebab mereka sudah kembali dengan selamat. Meskipun kita harus menukarnya dengan kedua perwira Manchu itu, Ngo Tat dan Sek Hong-hua."

"Apakah orang-orang Manchu itu masih berkeliaran di Pak-khia setelah runtuhnya Co Hua-sun?"

"Inipun kutanyakan Paman Ko, dan Paman Ko bilang jejak mereka tak terlihat lagi di seluruh Pak-khia. Mungkin karena orang-orang mereka sudah banyak yang kita kenali tampangnya, maka mereka ditarik pulang semua, mungkin untuk digantikan orang-orang baru yang belum dikenal agar lebih leluasa beroperasi."

"Ya, mereka tak pernah melepas ambisi untuk menguasai negeri kita. Ada kabar apa lagi?"

Siau-hoa ragu-ragu, kemudian tertawa dan berkata, "Ada.... menyangkut diri Cici. Tapi ini cuma kisah konyol saja, tidak penting."

"Biarpun tidak penting, karena menyangkut diriku maka aku pun mau mendengarnya."

"Baik, Cici, tapi jangan marah lho. Ini tentang Bu Sam-kui, Panglima San-hai-koan itu. Dia seharusnya bertugas di San-hai-koan untuk mengawal tapal batas, tapi dia keluyuran saja di Pak-khia. Teman-teman kita di luar istana mulai curiga, lalu diam-diam menyelidiki tingkahnya, dan ternyata... Hi-hi-hi...." Siau-hoa tertawa cekikikan sambil menutup mulut dengan telapak tangannya.

"Eh, Siau-hoa, apanya yang lucu?"

"Panglima linglung itu entah kapan bertemu Cici, rupanya sejak pertemuan itu terus dia mabuk cinta dan terus mencari Cici, tanya ke sana ke mari tak kenal lelah. Cici selalu disebutnya seorang bidadari paling cantik di kahyangan dan telah merebut seluruh sukmanya. Itulah sebabnya dia tidak di San-hai-koan, tapi terus ada di Pak-khia mencari Cici, dengan alasan ada urusan penting yang tidak selesai-selesai."

Sekarang Cun-hoa pun ikut tertawa, sedang muka Tan Wan-wan jadi merah padam. Ia ingat kejadian di gubuk di kebun belakang kediaman Ciu Kok-thio, saat ia menolong memberi minum seorang lelaki gagah yang terluka. Kejadian yang hampir ia lupakan, namun orang yang ditolongnya itu ternyata tidak gampang melupakannya. Dan ternyata orang itulah Bu Sam-kui, Panglima San-hai-koan.

Namun buat Tan Wan-wan, cerita itu tak lebih dari pengalaman konyol yang tak perlu diperhatikan benar. Selagi situasi menghangat karena mendekatnya pasukan Li Giam ke Pak-khia, mana ada waktu mengurus tingkah konyol seorang panglima yang mabuk cinta?

"Sudahlah, urusan itu tidak penting dan jangan dibicarakan lagi. Cun-hoa, sekarang kau kutugaskan keluar untuk menyampaikan keterangan penting pada teman-teman kita."

"Baik, Cici. Apa yang harus kusampaikan?"

"Kaisar sudah menulis Surat Perintah kepada Su Ko-hoat di Yang-ciu, untuk membawa pasukannya kemari menghadapi laskar kita. Kongsun Hui ditugasi menyusun pertahanan di desa-desa sekitar Pak-khia, untuk mengulur waktu sebelum kedatangan Su Ko-hoat. Surat Perintah Kaisar untuk Su Ko-hoat dikawal Hoa Kun-tiong si bekicot itu, dan akan diperkuat orang-orangnya Ou Hin. Jelas?"

"Jelas, Cici."

"Coba ulangi."

Dengan lancar Cun-hoa mengulangi kata-kata Tan Wan-wan itu, tepat seperti yang dikatakan, sehingga Tan Wan-wan mengangguk-angguk puas.

"Baiklah, Cun-hoa. Lakukanlah dengan tetap hati-hati seperti dulu."

Cun-hoa pun meninggalkan Tan Wan-wan untuk menjalankan perintah itu. Lebih dulu ia mengganti pakaian dayang istananya dengan pakaian gadis kebanyakan. Lalu sambil membawa keranjang rotan untuk pura-pura berbelanja ke luar istana, ia keluar lewat gerbang Hou-cai-mui di belakang istana. Karena komandan pengawal gerbang itu adalah juga pengikut Li Cu-seng yang menyamar dan menyusup ke dalam barisan pengawal istana.

Keluar istana, Cun-hoa langsung ke sebuah warung penjual kue-kue manisan yang letaknya di samping lapangan Thian-an, di depan istana. Namun kemudian Cun-hoa heran melihat warung itu tertutup rapat, padahal masih siang. Dan tetap tertutup setelah diketuk-ketuk sekian lama, padahal ketukan Cun-hoa bukan sembarang ketukan melainkan isyarat. Cun-hoa jadi merasakan keadaan kurang beres, cepat-cepat ia meninggalkan warung Itu. Belum jauh dari situ, ia telah dihadang sepuluh perajurit.

"Kau dari warung itu?" tanya si komandan penuh curiga.

"Ya, mau beli beberapa macam manisan, tapi warungnya tutup."

"Ikut kami ke markas untuk diperiksa."

Keruan Cun-hoa kaget, "Kenapa? Apakah membeli kue manisan itu sekarang dianggap kejahatan? Sudah ada undang-undangnya?"

"Kau boleh membantah nanti di depan komandan kami. Tetapi tugas kami hanyalah menangkap orang-orang yang kelihatan ada hubungan dengan warung manisan itu."

Dalam hatinya Cun-hoa makin panik, makin tidak beres nampaknya. Tiba-tiba ia tunjukkan sebentuk kumala hiasan sabuk, ditunjukkan kepada para prajurit itu sambil berkata, "Aku adalah dayang suruhan Hong-hou Nio-nio, inilah tandanya. Kalian berani menangkap aku?"

Para prajurit kaget. Mereka memang mengenal benda itu sering dipakai sebagali hiasan pinggang oleh hamba-hamba istana. Si komandan mulai ragu-ragu, sementara wakilnya membisikinya, "Mungkin kita salah sasaran. Lebih baik tidak cari urusan dengan orang-orang istana. Meskipun dia cuma hamba, tapi kalau sampai mengadu kepada Hong hou Nio-nio, kepala kita semua bisa copot dari pundak."

"Tapi... gadis ini tadi mengetuk-ngetuk warung Itu. Dia patut kita curigai."

"Tapi siapa tahu dia benar-benar hanya ingin membeli manisan? Mana ada mata-mata musuh menjadi dayang Hong-hou Nio-nio? Mungkinkah mata-mata musuh seorang gadis ingusan?"

Cun-hoa tidak mendengar bisik-bisik mereka, namun dengan tegang ia masih menunggu sambil mengharap keampuhan hiasan sabuk kumala itu. Akhirnya prajurit-prajurit Itu tidak berani ambil resiko dengan berurusan dengan hamba-hamba Istana, yang lebih punya kesempatan untuk mengadu kepada penguasa-penguasa istana.

Lagi pula mereka menganggap Cun-hoa tak perlu dicurigai. Mana ada mata-mata berusia enam belas tahun, cantik, matanya bundar, dan kedua kuncir rambutnya masih mengesankan kekanak-kanakan? Akhirnya merekapun minta maaf dan membiarkan Cun-hoa lewat.

Dengan sikap amat tenang Cun-hoa berjalan meninggalkan mereka, padahal hatinya bergolak. Apa yang terjadi? Kenapa sampai warung manisan itu diawasi prajurit? Apakah sudah ketahuan? Siapa yang memberitahu tentara kerajaan? Apakah kembali para telik sandi Manchu mengulangi cara lama mereka? Dan banyak pertanyaan lagi, tapi tak satupun jawabannya.

Warung manisan itu adalah salah satu "pos" tempat orang-orang Pelangi Kuning mengadakan hubungan untuk tukar-menukar berita atau mengatur langkah. Kalau pos itu sudah diawasi, bagaimana dengan pos-pos lain? Cun-hoa jadi ingin tahu. Diapun berjalan ke pos lain, ternyata Juga dijaga prajurit, sehingga ia tidak berani mendekat. Terpaksa ia jadi batal menyampaikan pesan Tan Wan-wan itu, dia balik ke istana ketika hari mulai gelap.

Selagi ia berjalan sendiri di sebuah jalan yang sepi, dia terkejut ketika seorang lelaki mendekatinya sambil tersenyum. Lalu berkata dengan suara perlahan, "Aku juga asap kuning dari barat laut."

Bicaranya berlogat barat laut, kampung kelahiran sebagian besar tokoh-tokoh Pelangi Kuning. Yang diucapkan itu adalah kata rahasia sesama mata-mata Pelangi Kuning. Namun Cun-hoa belum pernah mengenal kalau orang baru tentu munculnya harus didampingi orang lama yang terpercaya.

Usia Cun-hoa baru enam belas tahun, namun tidak percuma dia dipilih untuk disusupkan ke jantung musuh, la cerdas dan punya naluri tajam untuk menilai orang. Kini biarpun menghadapi seorang yang bisa mengucapkan kata rahasia Pelangi Kuning, Cun-hoa tetap tidak percaya. Malah ia mulai takut kalau dirinya sebenarnya sedang dipancing masuk perangkap.

Karena Itulah ia pura-pura tidak paham, "Tuan, kau bicara apa? Aku tidak mengerti."

Mata orang itu berkilat tajam, namun cepat-cepat ditutupi dengan tertawa ramahnya yang dibuat-buat, "Nona, kau tidak segera percaya bahwa aku adalah teman seperjuanganmu? Itu bagus artinya kau bekerja cukup hati-hati. Tetapi aku benar-benar dikirim langsung oleh Joan-ong, dan aku kemari membekal alamat kawan-kawan seperjuangan di sini. Ternyata begitu aku tiba di sini, semuanya sudah pindah alamat. Aku jadi bingung, padahal pesan penting Joan-ong haruslah segera kusampaikan. Untung tadi kulihat nona datang ke warung manisan itu, lalu kususul nona sampai kemari."

Tak peduli biarpun orang itu menyebut-nyebut "pesan penting Joan-ong" segala, Cun-hoa tidak percaya. Ia tetap pura-pura bloon, "Kata-kata Tuan sungguh membingungkan aku. Aku hanya seorang hamba Istana yang kebetulan sore ini disuruh beli manisan untuk kawan-kawanku di istana..."

"Hem, apa tukang masak di istana tak mampu membuat manisan yang lebih lezat daripada yang dijual di warung itu?"

Jantung Cun-hoa berdegup makin kencang, dan mempercepat langkahnya. Dua ratus meter di depan, sudah nampak obor yang dipasang di gerbang Hou-cai-mui.

"Jangan cepat-cepat jalannya, nona. Apakah nona tetap tidak percaya kalau aku teman seperjuanganmu?"

"Maaf, Tuan, aku harus segera pulang."

"Aku tahu nona adalah orang kita yang diselundupkan ke dalam istana. Joan-ong sendiri amat memuji kerja kalian yang hebat, yang menghasilkan kemajuan besar laskar kita. Tapi apakah nona belum percaya?"

Cun-hoa makin takut dan mempercepat langkah. Di bawah gerbang Hou-cai-mui, nampak segerombolan pengawal sedang berjaga, dan lelaki tak dikenal itupun semakin tidak sabar.

Tiba-tiba ia mencengkeram lengan Cun-hoa, geramnya sengit, "Budak cilik, sikapmu yang tolol ini sungguh memperlambat tugasku, dan menghambat perjuangan Joan-ong. Kau mau mengubah sikap tidak?"

Dan reaksi Cun-hoa pun mengagetkan orang itu. Cun-hua tiba-tiba menjerit sekeras-kerasnya, "Tolong! Tolong!"

Karena tempat itu tidak jauh lagi dari Hou-cai-mui, teriakan itu segera didengar pengawal-pengawal itu. Sebagian pengawal tetap menjaga gerbang, sedang sebagian lagi berlari-lari ke arah Cun Hoa. Lelaki tak dikenal itupun melepaskan cengkeramannya, lalu lari terbirit-birit serta menghilang di balik selubung malam.

Sedangkan Cun-hoa segera dikerumuni pengawal-pengawal itu. Komandan pengawal itu adalah orangnya Li Cu-seng, tapi anak buahnya bukan, karena itulah Cun-hoa tidak bicara sebenarnya.

"Siapa dia, Cun-hoa?" tanya si komandan.

"Lelaki iseng yang hendak menggangguku, untung kakak-kakak datang segera."

"Perlu aku kejar untuk diberi pelajaran?" tanya seorang pengawal bujangan yang selama ini menaksir Cun-hoa.

"Oh, tidak usah. Yang penting aku tidak apa-apa."

Cun-hoa kemudian bergegas masuk untuk langsung menemui Tan Wan-wan. Tan Wan-wan menerimanya dengan heran ketika melihat Cun-hoa berkeringat dan wajahnya tegang.

"Kenapa, Cun-hoa? Hanya menyampaikan pesan kepada Paman Thiam saja kok sampai begini malam baru kembali?"

"Warung Paman Thiam tutup dan diawasi prajurit. Lalu kucoba ke warung Kakak Lo, ternyata juga sama."

Tan Wan-wan kaget sampai mukanya memucat, "Ah, mungkinkah jaringan kerja kita sudah diketahui pihak kerajaan? Kalau sampai penggulungan jaringan kita itu sampai kepada kita, habislah kita semua."

Beberapa saat di ruangan itu hanya kesunyian yang meraja, hanya dengus napas tegang ketiga orang mata-mata yang cantik itu.

"Cun-hoa, apakah kau lihat sendiri teman-teman kita ditangkapi?" tanya Tan Wan-wan memecah kesunyian.

"Ini tidak kulihat....." sahut Cun-hoa.

"Ah, mudah-mudahan mereka dapat meloloskan diri."

"Cici, selain itu aku juga dicegat seorang tak dikenal yang mengaku utusan Joan-ong, dan bisa mengucapkan kata-kata rahasia kita, tapi aku tidak mempercayainya."

"Lalu bagaimana?"

"Aku berlagak tidak paham kata-katanya, sebab aku kuatir masuk perangkap. Lalu dia mulai kasar aku menjerit minta tolong kepada pengawal-pengawal Hou-cai-mui, orang itu lalu kabur ketakutan."

Tan Wan-wan berpikir sebentar, kemudian berkata, "Ada yang tidak beres sedang menimpa jaringan kita, dan aku tidak tahu apa penyebabnya. Saat ini kita hanya tahu sikap terbaik, yaitu hati-hati."

"Bagaimana kalau kita dihubungi orang tak dikenal namun bisa mengucapkan kata-kata isyarat? Misalnya orang tadi?"

"Jangan hiraukan, pura-puralah tidak tahu. Kata-kata rahasia bukan jaminan, sebab perangkap-perangkap tak terlihat sedang mengelilingi kita saat ini. Beritahu semua teman-teman seperjuangan kita dalam istana ini, agar jangan ada yang terpancing."

"Baik..." sahut Cun-hoa. Untuk kelompok Pelangi Kuning yang bertebaran menyusup dalam istana itu, memang Tan Wan-wan adalah "komandan"nya.

Cun-hoa dan Siau-hoa pun kemudian pergi, dan Tan Wan-Wan sendirian. Ia merenung dalam kegelisahan. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi dengan teman-teman seperjuangannya, tapi belum tahu apa itu. Sejak semula ia memang sudah sadar bahwa istana adalah pusat segala persaingan yang kejam, situasi berubah tak menentu.

Co Hua-sun yang sedang di puncak kejayaannya setelah berhasil menunjukkan kesetiaan palsunya dengan menumpas Pangeran Seng-ong, tiba-tiba saja jatuh karena kursinya terbalik. Mau tak mau Tan Wan-wan pun mulai berpikir, mungkinkah gilirannya telah tiba?

Sebab bukan Co Hua-sun saja yang mengintai kelemahannya. Puteri Tiang-ping juga. Bukan hanya sekali dua kali Siau-hoa bercerita bahwa ia sering main "kucing- kucingan" dengan Pek-hong, dayangnya Puteri Tiang-ping.

Tiap malam biasanya Kaisar datang ke bangsalnya, namun malam itu Kaisar tidak datang, dan hal itu menambah tanda tanya di, hati Tan Wan-wan. Ada apa? Apakah Puteri Tiang-ping hanya pura-pura sakit, dengan tujuan sebenarnya ingin menjauhkan Kaisar dari dirinya?

Ataukah Puteri Tiang-ping sudah berhasil mengetahui peranannya dalam istana itu dan memberi tahu Kaisar? Seribu satu kemungkinan ada di depan mata, dan sebagian besar adalah kemungkinan buruk.

Tiba-tiba Tan Wan-wan merasa amat letih menanggung semuanya itu, namun ia tak punya tempat berbagi beban yang memadai. Dan dengan perkembangan terbaru, di mana teman- temannya di pos-pos luar istana menghilang semua, Tan Wan-wan makin merasa dirinya seperti kelinci di tengah serigala-serigala kelaparan.

Akhirnya ia melepas sebagian bebannya lewat air mata. Sampai hampir pagi ia menangis, tanpa ada orang yang menyentuh pundaknya dengan lembut. Kaisar pun tidak muncul sampai pagi. Taman istana yang serba indah bermandi cahaya fajar, ternyata tak pernah cukup indah buat Tan Wan-wan.

Fajar pagi itu juga sama tidak menghiburnya dengan Siangkoan Yan yang berhati pepat. Pagi- pagi ia sudah duduk melamun di taman bunga di rumahnya yang besar. Namun ia lebih tepat dikatakan jengkel daripada sedih. Helian Konglah penyebabnya.

"Pantas selama ini sikapnya kepadaku tawar saja, berlagak tidak tahu perasaanku...." pikir Siangkoan Yan tambah jengkel.

Mulanya ia mengharap, setelah Helian Kong dipulihkan kedudukannya akan mengunjungi rumahnya lagi seperti dulu. Kalau tidak menyatakan cinta secara terang-terangan, ya setidak-tidaknya menampakkan keinginan untuk memperbaiki hubungan seperti dulu. Eh, ditunggu beberapa hari ternyata tidak muncul-muncul juga.

Sehingga Siangkoan Yan terpaksa sedikit berkorban perasaan dengan mendatangi rumah Helian Kong. Ternyata di rumahnyapun Helian Kong tidak ada, yang ada cuma seorang pelayan berewokan yang samar-samar seperti pernah dilihatnya, namun Siangkoan Yan sedang tidak berminat mengingat-ingatnya.

Pelayan itu bilang Helian Kong sedang pergi entah ke mana dan sudah beberapa hari. Lalu Siangkoan Yan menemui Ou Hin untuk menanyakannya, tapi panglima itupun bicara berbelit-belit yang akhirnya toh bilang "tidak bisa memberitahukan dimana Helian Kong."

Yang terakhir, Siangkoan Yan minta kakak laki-lakinya agar minta tolong teman- teman Helian Kong sesama perwira, kalau-kalau ada yang pernah melihat Helian Kong, Namun beberapa hari sudah lewat, dan kekasih hati tetap tak ada kabar beritanya.

Tiba-tiba Siangkoan Yan bangkit dan menendang sebuah pot bunga sehingga melayang jatuh ke kolam, katanya sengit, "Laki-laki tak tahu perasaan! Buat apa aku susah-susah memikirkannya? Biar saja dia minggat dari Pak-khia!"

Dan kembali beberapa pot berceburan ke kolam. Pot-pot yang berukuran agak besar dan berat karena berisi tanah, namun buat murid Kim-hian Cinjin ini, pot-pot itu ditendanginya seperti bola-bola karet saja Maka berantakanlah taman bunga keluarga Siangkoan itu.

Sementara seorang bujang keluarga Siangkoan menjadi ragu-ragu mendekati puteri majikannya yang sedang mengamuk itu. Ketika Siangkoan Yan melihat bujang itu berdiri agak jauh seolah-olah hendak menontonnya, kejengkelannya bertambah.

"He, ada apa kau berdiri di situ? Menonton aku? Kau anggap aku topeng monyet di pinggir jalan?"

Ti.... tidak, nona. Aku.... hanya...."

"Mendekat, sini!"

Bujang itu dengan takut-takut mendekat sambil berkata, "Nona, ada seorang tamu yang mencarimu..."

"Siapa?"

"Cong-peng Taijin Bu Sam-kui...."

Setitik harapan tiba-tiba muncul di hati gadis itu. Bu Sam-kui adalah teman Helian Kong, siapa tahu kedatangannya membawa kabar? "Benar? Bu Sam-kui mencariku?"

"Benar, nona. Sekarang Cong-peng Bu sedang menunggu di ruangan depan...."

"Ah, mungkin juga dia membawa kabar baik. He, kemarilah, aku akan memberimu hadiah menarik!"

Bujang itu hilang takutnya melihat Siangkoan Yan tersenyum, maka sambil tersenyum-senyum pula, diapun mendekat. Dan Siangkoan Yan tiba-tiba menangkap lengan orang itu sambil menyapukan kakinya. Si bujang pun mencebur ke kolam yang airnya sudah menjadi coklat keruh itu, sedang Siangkoan Yan bergegas ke ruang depan.

Di ruang depan, Bu Sam-kui sedang bercakap-cakap dengan Siangkoan Heng, kakak Siangkoan Yan. Ketika melihat gadis itu muncul, ingin mengajak nona bicara empat mata di suatu tempat. Maukah nona?"

"Lho, kenapa tidak di sini saja?" kalimat ini diucapkan berbareng tanpa diatur lebih dulu, oleh kakak beradik Siangkoan itu.

Muka Bu Sam-kui menjadi merah tersipu, tak ubahnya gadis remaja dilamar kekasihnya, sehingga Siangkoan Yan yang melihatnya mulai panik dalam hati. Pikirnya, "Celaka... jangan-jangan dia naksir aku?"

Dugaan yang "menguatirkan" itu makin kuat ketika melihat Bu Sam-kui menjawab sambil cengengesan canggung, "Soal ini, yah, terlalu pribadi sifatnya... aku benar-benar memohon kesediaan Nona Siangkoan memenuhi permintaanku....."

Siangkoan Yan lalu pura-pura memijit-mijit jidatnya sambil berkata, "Aku merasa tidak sehat pagi ini."

Tetapi Siangkoan Heng cepat menggamit lengan adiknya dan berkata, "Jangan mengecewakan Bu Cong-peng, siapa tahu hal yang dikatakannya adalah cukup penting untuk kau ketahui?"

Melihat betapa bersungguh-sungguhnya sikap kakaknya, hati Siangkoan Yan pun tergerak. Lalu katanya, "Baiklah. Bu Cong-peng kau mau bicara di mana?"

"Bagaimana kalau di suatu tempat yang sunyi dan tenang, misalnya dl rumah makan Tiong-ciu-lau?"

Itulah sebuah rumah makan di tengah-tengah danau buatan yang airnya diambilkan dari sungai Liang-sui-ho yang mengalir di tengah-tengah kota Pak-khia. Hanya orang-orang berkantong tebal berani berkunjung ke situ. Maka Siangkoan Yan yakin, biarpun Bu Sam-kui berpangkat Cong-peng, paling tidak separuh dari gaji sebulan pasti akan terkuras di situ, kecuali kalau nanti cuma pesan dua mangkuk nasi putih dan semangkuk kecil acar.

Yang lebih menguatirkan lagi, karena tempat itu biasanya digunakan sebagai tempat pacaran, karena suasananya yang romantis. Biasanya pemuda-pemuda kaya mentraktir pacarnya di situ, untuk menunjukkan kelasnya dalam masyarakat atau pemuda-pemuda yang sok kaya demi gengsi.

Tak lama kemudian, Siangkoan Yan dan Bu Sam-kui sudah berjalan berdampingan Ke Tiong-cui-lau. Sepanjang jalan, wajah Bu Sam-kui begitu cerah semringah dan terus tersenyum-senyum sendiri, sehingga Siangkoan Yan makin cemas.

Sampai di depan gerbang Tiong-cui-lau yang indah, pegawai-pegawai rumah makan yang berseragam indah pun menyambut dan mempersilakan memilih tempat. Tiap tempat berujud pondok-pondok terbuka di atas pulau-pulau kecil buatan yang terpisah-pisah, satu sama lain dihubung-hubungkan jembatan- jembatan kecil yang artistik.

Di pulau buatan yang paling besar, adalah tempat para pemusik dan penyanyi menjual keahlian mereka untuk menyamankan para pengunjung. Memang sebuah tempat yang cocok untuk pembicaraan pribadi, apalagi urusan cinta, asal tidak dilakukan pada tanggal tua.

Bu Sam-kui dan Siangkoan Yan segera memilih tempat. Dari situ mereka dapat melayangkan pandangan ke seluruh danau buatan itu, dan lebih jauh lagi nampaklah puncak Kuil Langit muncul dari lautan pepohonan menghijau. Itulah salah satu kuil tempat keluarga kerajaan biasanya bersembahyang, selain Kuil Matahari, Kuil Bumi di utara, Kuil Bulan di barat. Sedang Kuil Langit itu di selatan.

Ketika seorang pelayan mendekati untuk menanyakan apa yang mau dipesan, ternyata pesanan Bu Sam-kui penuh gengsi. Ia pesan Ho- yap-tang-sun-theng (Rebung muda dimasak daun teratai kuah), leng-pek-he-jin (udang goreng campur sawi putih) dan sebagainya, semuanya adalah makanan-makanan khas daerah Kang-lam Soh-ciu.

Sengaja Bu Sam-kui bicara dengan keras bernada bangga, supaya pengunjung lainnya kagum, agar dirinya jangan dikira cuma pesan nasi putih dan acar. Enam macam masakan yang dipesan, sehingga Siangkoan Yan diam-diam membatin, "Mudah-mudahan nanti kau tidak pingsan kalau melihat rekeningnya."

Ternyata setelah bicara begitu keras dan gagah Bu Sam-kui membisiki si pelayan, "Karena kami hanya berdua, masing-masing jenis cukup setengah porsi saja, boleh?"

'''Setengah porsi? Boleh..... boleh..." suara si pelayan keras.

"Ssst, jangan keras-keras..."

Si pelayan pun menurunkan suaranya, "Kalau ada sisa, minta dibungkus juga bisa."

"Tidak usah!" Cepat Bu Sam-kui mendorong pergi pundak pelayan itu.

Ketika pesanan itu datang, mereka pun menikmatinya. Sambil makan, Bu Sam-kui memuji keindahan tempat itu. Lalu memuji-muji masakannya, terus merembet dengan mengatakan orang-orang Soh-ciu memang jago-jago dalam hal memasak. Dan setelah omong soal Soh-ciu, berkatalah Bu Sam-kui,

"Eh salah seorang wanita istana, kabarnya ada yang dari Soh-ciu ya?"

"Ya...." sahut Siangkoan Yan. "Hong-hou Nio-nio (permaisuri) adalah orang kelahiran Soh-ciu....."

"Ooo.... bukan, bukan beliau maksudku. Orang itu belum lama masuk ke istana, dan Ciu Kok-thio yang mengantarnya...."

"Oh, Tan Wan-wan maksudmu? Dia bukan orang Soh-ciu asli. Ia cuma gadis desa yang mengaku-aku dari Soh-ciu agar naik pamornya."

Bu Sam-kui tidak menggubris nada sinis dalam suara Siangkoan Yan itu, ia terus saja bertanya, "Ah, jadi namanya Tan Wan-wan ya? Kenapa Ciu Kok-thio sampai bisa membawanya dari Soh-ciu untuk dimasukkan istana?"

"Ya bisa saja. Perempuan macam Tan Wan-wan itu, lelaki mana yang tidak bisa membawanya, asal punya duit?"

Di luar dugaan, Bu Sam-kui kali ini menjadi marah mendengar ucapan itu. Gelagatnya Bu Sam-kui bersikap membela Tan Wan-wan. Maka demi menjaga hubungan baik antara keluarganya dengan Panglima San-hai-koan ini, buru-buru Siangkoan Yang meralat kata-katanya tadi.

"Eh, maksudku, dia itu seorang penari. Tentu saja bisa diundang menari di mana saja, asal ada honornya. Benar tidak?"

Bu Sam-kui pun tenang kembali, katanya khidmat, "Dia seorang wanita berhati mulia yang takkan kulupakan seumur hidup. Dia pernah menolongku. Selama ini aku terus mencarinya, tapi belum berhasil."

"Untuk apa mencarinya?"

Tersipu Bu Sam-kui menjawabnya, "Yah, aku pikir, dia mungkin.... mungkin.... adalah jodohku."

Dalam hatinya Siangkoan Yan salut setinggi-tingginya untuk nyali besar Bu Sam-kui. Bagaimana tidak hebat nyalinya, kalau berani menaksir kekasih Kaisar? Sekaligus juga lega karena bukan dirinya yang ditaksir Bu Sam-kui. Cuma, entah apa maksud Bu Sam-kui mengajak membicarakan Tan Wan-wan dengan dirinya?

"Lalu apa maksud saudara Bu mengajakku ke mari?"

"Yah, setelah sekian lama aku bertanya kesana ke mari tentang dirinya, barulah beberapa hari yang lalu, ketika aku bertempur menyelamatkan Kaisar dari kurungan Co Hua-sun di Yang-wan-hu, aku melihat dia di istana. Aku jadi heran, apa yang dilakukannya di istana?"

"Hemm..... melayani Kaisar," sahut Siangkoan Yan lebih hati-hati.

"Maksudmu, sebagai dayang dalam istana, begitukah?"

Siangkoan Yan kuatir, kalau pertanyaan itu dijawab terus terang, jangan-jangan Bu Sam-kui akan marah. Maka sengaja dipilihnya jawaban yang kabur, "Ya, melayani, begitulah. Menghibur."

"Tentu saja orang secantik dia kalau menari pastilah indah sekali. Pantas kalau dia menjadi penari istana, begitu?" sambil bertanya, Bu Sam-kui juga sudah menyiapkan sendiri jawabannya, dan agaknya tidak mau dijawab lain daripada itu.

"Ya, begitulah." jawab Siangkoan Yan terpaksa, sambil berharap Bu Sam-kui cepat-cepat membayar makanan dan mengajaknya pulang.

Ternyata belum selesai. Bu Sam-kui mengeluarkan sepucuk surat dari dalam bajunya, lalu diletakkan di meja. Bau wangi terhambur dari surat itu. Terang kalau surat itu diberi minyak wangi segala. Kata Bu Sam-kui, "Nona Siangkoan adalah teman baik Puteri Tiang-ping, sehingga agak leluasa keluar masuk istana. Sudikah nona menolongku dengan menyampaikan surat ini kepada Tan Wan-wan?"

Permohonan itu bernada penuh harap, tidak siap untuk ditolak, membuat Siangkoan Yan tidak tega. Ia ambil surat itu sambil berkata, "Baiklah Cong-peng."

Bu Sam-kui juga kegirangan dan berkata, "Kalau begitu, pasti Nona takkan menolong kepalang tanggung. Bagaimana kalau Nona sekalian mintakan jawaban dari Tan Wan-wan?"

Kali ini pun Siangkoan Yan menyanggupinya tanpa pikir panjang. Bukan main cerahnya wajah Bu Sam-kui, ia mengucapkan terima kasih berulang kali dan menjamunya secara royal. Lalu dengan ringan ia bayar semua harga makanan dan minuman itu, kemudian mengantar Siangkoan Yan pulang ke rumahnya.

Setelah tiba di rumahnya, Siangkoan Yan langsung disongsong oleh kakaknya yang menyambutnya sambil tertawa, "Apa saja yang dibicarakan Bu Sam-kui? Kenapa berlagak begitu penting dan amat rahasia? Dia mengajakmu menikah?"

Siangkoan Yan tertawa pula, "Tidak, dia cuma minta aku menjadi mak comblang."

"Oh, siapa gadis yang..."

"Bukan gadis," tukas Siangkoan Yan meralat.

"Janda?"

"Bekas gadis, tapi juga bukan janda."

"Lho, siapa perempuan yang diingini Bu Sam-kui itu?"

"Coba kakak tebak."

"Aku sedang malas main tebak-tebakan, cepat beritahukan saja kepadaku. Agar aku dan teman-teman bisa segera mengucapkan selamat kepadanya, kalau perlu mengadakan perjamuan kecil-kecilan.”

"Ya, perjamuan sebelum antri ke tiang gantungan."

Keruan Siangkoan Heng kaget sehingga berhenti tertawa, "Kenapa?"

"Karena yang diincar Bu Sam-kui itu adalah Tan Wan-wan."

Sedetik aliran darah Siangkoan Heng seperti berhenti, "Ah, benar-benar nekad. Apakah dia tidak tahu kalau Tan Wan-wan itu kesayangan Kaisar?"

"Dia... dia tidak tahu, mengira Tan Wan-wan cuma seorang dayang istana....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.