Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 25

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong seri pertama, Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 25 karya Stevanus S.P

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 25

"Harusnya kau beritahu dia."

"Dia sudah begitu mabuk kepayang, sehingga tidak mau mendengar hal-hal yang mengecewakan, bahkan dia hampir mengamuk ketika aku akan memberitahukan siapa Tan Wan-wan sebenarnya, la tidak mau merusak angan-angan indahnya, dan akan menutup mata dari kenyataan."

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

"Ini sungguh-sungguh gawat."

"Kenapa kakak ikut-ikutan bingung? Aku memang berjanji dihadapannya, tapi aku tidak mau menurutinya. Aku tidak mau cari mati dengan mengutik-utik wanita kesayangan Kaisar."

"Tapi tetap gawat. Kalau Bu Sam-kui gagal menghubungi Tan Wan-wan lewat dirimu, tentu dia akan mencari jalan lain, sampai akhirnya berhasil menghubungi Tan Wan-wan juga."

"Lalu apanya yang gawat?"

"Tentu saja. Berarti akan ada cinta segitiga antara Kaisar Kerajaan Beng dan Panglima San-hai-koan yang berebut seorang perempuan. Tentu salah satu akan kecewa, dan tidakkah hal itu bisa menimbulkan situasi diluar dugaan?"

"Sejauh itu akibatnya? Masa seorang Kaisar dan seorang Panglima tidak bisa menimbang berat ringannya suatu urusan? Masa mereka tidak tahu ada urusan lain yang jauh lebih penting, ketimbang berebut perempuan?"

"Cinta itu bukan cuma buta, tapi kadang-kadang juga membabi buta. Aku kuatir Bu Sam-kui, menilik wataknya, akan membabi buta untuk berusaha merebut Tan Wan-wan, sedangkan Kaisar akan sama membabi butanya untuk mempertahankannya. Bisa kacau semuanya."

Baru kini Siangkoan Yan sadar betapa kisah cinta segitiga itu tidak sekedar memilukan seperti kisah Sam-pek Eng-tai, tetapi mengerikan.


Menghadapi laskar Pelangi Kuning yang makin dekat Ibukota, maka tentara Kerajaan menyusun pertahanan dua lapis. Pertahanan luar kota yang dipimpin Kongsun Hui, dan pertahanan dalam kota yang dipimpin Ou Hln. Namun secara keseluruhan, panglima tertinggi adalah Ou Hin.

Tentara Kerajaan Beng hanya dipersiapkan untuk bertahan, meskipun garis depan hanya sekitar 25 li di depan hidung mereka. Tentara Kerajaan mengharapkan bantuan pasukan Jenderal Su Ko-hoat dari Yang-ciu, karena Kaisar sudah menulis surat yang dibawa oleh utusan yang dikawal ketat.

Sebagian orang meragukan, maukah Su Ko-hoat memenuhi panggilan Kaisar itu? Sudahkah Su Ko-hoat bisa melupakan, atau setidak-tidaknya memaafkan peristiwa arak beracun yang dulu hampir merenggut nyawanya? Dalangnya memang Co Hua-sun, namun Su Ko-hoat agaknya menganggap Kaisar ikut bertanggung Jawab, karena bersikap tidak mencegah.

Terbukti bertahun-tahun Su Ko-hoat tidak mau menghadap Kaisar ke Pak-khia, hanya suratnya saja yang datang tiap tahun. Tapi Kaisarpun tak berani gegabah menindaknya, karena di Yang-ciu kedudukan Su Ko-hoat amat kuat. Ia punya pasukan yang berjumlah besar dan amat terlatih, dan lebih dari itu, ia berakar kokoh dalam kecintaan rakyat.

Kongsun Hui di luar Pak-khia segera menyusun pertahanannya. Jalan-jalan diawasi oleh pos-pos keamanan dan dirondai setiap waktu. Desa-desa dijadikan kubu pertahanan dengan diberi tembok, menara-menara pengintai mencuat di mana-mana.

Bahan makanan penduduk desa sebagian disedot untuk ransum tentara, penduduk desa yang laki-laki dan masih kelihatan sehat, segera didaftar dan diberi "kursus perang" secara kilat untuk dipaksa bergabung dalam tentara kerajaan.

Lalu lintas keluar masuk Pak-khia ditutup, Kongsun Hui kuatir akan ada kaum pemberontak yang menyusup ke garis belakang. Sawah dan tanaman pangan lainnya diawasi, agar tidak ada bahan makanan yang lolos ke pihak pemberontak. Yang sulit diawasi terpaksa dibabat, dipanen secara dini untuk memadati lumbung-lumbung tentara, dan yang tidak bisa dibawa terpaksa dimusnahkan.

Sedih juga Kongsun Hui melihat orang-orang yang meratap melihat sawah-sawah mereka dijarah atau dimusnahkan, padahal saat itu sedang paceklik bahan makanan karena perang yang berlarut-larut.

Tapi apa boleh buat, saat perang bukanlah waktunya untuk berbaik hati dan jangan sampai memberi keuntung an kepada musuh. Selain itu, mata-mata kedua pihak disebar, menyamar sebagai penduduk desa dan saling mengintai gerak-gerik lawan.

Malam itu langit tanpa bulan. Sesosok bayangan pendek dan kecil melesat ringan dari arah kota Pak-khia. Saat itu penjagaan amat ketat, namun buat Oh Kui-hou, bayangan itu, selalu ada celah bergerak karena ilmu silatnya yang tinggi.

Tiba di luar Pak-khia, Oh Kui-hou bergerak seperti terbang sambil menghindari pos-pos keamanan tentara kera-jaan, atau peronda-peronda yang hilir mudik setiap waktu. Setelah bergerak sejauh lima li, dia meninggalkan daerah yang diawasi Tentara Kerajaan, dan masuk daerah tak bertuan, daerah penyangga antara dua kekuatan besar yang sedang berhadap-hadapan itu.

Setelah daerah ini dilewati, iapun masuk kawasan yang dikuasai kaum Pelangi Kuning, yang dijaga tidak kalah ketatnya dengan daerah Tentara Kerajaan. Namun kini Oh Kui-hou jalannya tidak sembunyi-sembunyi lagi.

Ketika dilihatnya pintu gerbang sebuah desa, di mana di atasnya dikibarkan bendera Pelangi Kuning, diapun melangkah mendekat. Gerbang itu diterangi api unggun, dan nampak segerombolan orang bersenjata yang semuanya memakai ikat kepala kuning. Ketika melihat ada orang mendekat, serempak mereka bersiaga.

"Siapa kau?" tanya pemimpin mereka cukup galak.

Oh Kui-hou mengeluarkan sepotong bilah bambu, diserahkannya kepada orang itu sambil berkata, "Tolong serahkan kepada pimpinan saudara."

Kepala regu itu mengamat-amati bilah bambu persegi itu, dipelototi sambil dibolak balik, namun ia tidak paham maknanya karena buta huruf. Diapun masuk ke desa untuk menghadap pemimpinnya.

Tidak lama kemudian, orang itu datang kembali, mengiringi seorang yang berseragam perwira namun anehnya kepalanya memakai caping kaum tani. Inilah ciri khas tokoh-tokoh Pelangi Kuning, dengan tujuan menarik simpati kaum tani, agar mendukung mereka.

Melihat Oh Kui-hou, perwira bercaping itu membungkuk hormat sambil menyerahkan kembali bilah bambu itu. "Maaf kalau penyambutan kami kurang hormat. Ada yang bisa kami perbuat untuk Hiang-cu?"

"Terima kasih. Aku hanya minta dipinjami seekor kuda yang cepat larinya, agar bisa mencapai kota Han-tiong malam ini juga, untuk menghadap Jenderal Li Giam."

"Mari, silakan ikut aku...." kata komandan laskar di desa itu, dan sambil berjalan di samping Oh Kui-hou, diapun berbicara, "Kebetulan kalau Hiang-cu mau menemui Jenderal Li. Siang tadi semua komandan lapangan menghadap beliau, dan beliau nampak gelisah serta tertekan, seperti ada yang dipikirkannya. Di antara komandan-komandan tak satupun yang diajak berbincang, dan kami tak berani bertanya. Hubungan Hiang-cu dengan Jenderal Li cukup akrab, tentu Hiang- cu bisa membantu meringankan beban pikiran Jenderal Li."

Bisa dimaklumi kecemasan komandan laskar itu, sebab Li Giam adalah pimpinan tertinggi di garis depan, kalau sampai ada apa-apa tentu akan mempengaruhi nasib seratus ribu laskar bawahannya.

Sahut Oh Kui-hou, "Mudah-mudahan aku bisa membantu Jenderal Li. Aku juga mohon saudara buatkan surat jalan, agar perjalananku ke Han-tiong tidak terhambat oleh teman-teman seperjuangan kita di pos-pos sepanjang jalan."

"Baiklah, Hiang-cu."

Tak lama kemudian melesatlah Oh Kui-hou di atas kuda pinjamannya, menembus gelapnya malam menuju ke kota Han-tiong. Sepanjang jalan Oh Kui-hou beberapa kali bertemu dengan patroli kaum Pelangi Kuning ataupun pos-pos keamanan, serta desa-desa yang dijadikan markas mereka. Namun karena ia membawa surat dari seorang komandan garis depan, maka perjalanannya pun lancar.

Satu jam kemudian, tembok kota Han-tiong sudah kelihatan di depan mata. Bagian atasnya seperti gerigi. Oh Kui-hou mendekati tembok dan berteriak dari bawah untuk minta dibukakan pintu. Pintu dibuka, dan sekali lagi Oh Kui-hou mengalami pemeriksaan ketat.

Maklum, biarpun Oh Kui-hou adalah tokoh kalangan atas dalam barisan Pelangi Kuning, namun karena bidang tugasnya adalah sebagai mata-mata, maka hanya tokoh-tokoh puncak Pelangi Kuning yang mengenalnya. Sedang laskar biasa malahan tidak banyak mengenalnya.

Selesai pemeriksaan surat-surat, Oh Kui-hou berkata kepada pengawal benteng, "Aku harus menghadap Jenderal Li sekarang juga, aku membawa urusan penting."

Saat itu kira-kira jam dua pagi, saat itu lelap-lelapnya orang tidur. Namun buat kedua pihak yang berperang, tak ada waktu boleh lengah sekejappun, entah siang entah malam. Maka Oh Kui-hou segera diantar ke gedung markas Jenderal Li Giam di tengah-tengah kota.

Gedung markas itu menimbulkan kenangan pahit buat Oh Kui-hou, sebab ia dan adik seperguruannya pernah "menginap" di situ beberapa malam, sebagai tawanan Kwe Hian, setelah sebelumnya bertempur dengan dua orang "pedagang obat keliling" yang ternyata gadungan semuanya. Belakangan barulah ia tahu kedua orang itu adalah mata-mata Manchu undangan Co Hua-sun.

Namun kini Oh Kui-hou melangkah masuk gedung itu dengan sikap gagah. Karena bendera yang berkibar di halaman gedung itu bukan lagi Jit-goat-ki (Bendera Rembulan dan Matahari), bendera Kerajaan Beng, namun benderanya kaum Pelangi Kuning. Yang mengawal tempat itu adalah orang-orang kepercayaan Li Giam yang sebagian besar sudah kenal baik dengan Oh Kui-hou, sehingga mereka tidak merintangi Oh Kui-hou.

Ketika Oh Kui-hou masuk ke ruangan dalam tak berdaun pintu, yang hanya diterangi sebatang lilin, nampak Li Giam belum tidur. Yang dikenakan adalah pakaian tempurnya, topi capingnya diletakkan di atas meja. Terhadap tokoh ini, Oh Kui-hou amat kagum dan hormat. Kepribadiannya sederhana, dan juga dicintai prajurit-prajuritnya.

"Hormatku untuk, Goan-swe." Oh Kui-hou membungkuk hormat.

"Selamat malam.... eh, keliru, selamat pagi, saudara Oh....! Li Giam menyambut dengan akrab. "Setelah sekian lama kalian berlima mondok di hotelnya Co Hua-sun, aku kaget melihat kemunculan saudara di sini. Apakah kalian sudah melunasi ongkos kamar kepada Co Hua-sun?"

Oh Kui-hou pun tersenyum, "Terima kasih untuk perhatian Goan-swe. Co Hua-sun tiba-tiba saja kabur dari Pak-khia begitu saja, dan yang mengeluarkan kami berdua dari hotel nyamuk itu adalah Kun-su (penasihat militer) tentara Manchu, namanya Kiat Hu-yong, ilmu silatnya luar biasa. Dia menangkap aku dan Yo Sute, untuk memaksa agar Suhu Ko Ban-seng membebaskan dua perwira sandi Manchu yang ditawan Suhu, yaitu Ngo Tat dan Sek Hong-hua."

"Bagaimana dengan tiga saudara Giam?"

Oh Kui-hou jadi agak sedih mendengar pertanyaan itu, "Giam Ih tidak beruntung, mayatnya terpaksa ditinggal dalam penjara. Hanya Giam Hong dan Giam Lui saja yang berhasil diselamatkan oleh Suhu dari dalam penjara."

"Kenapa dengan Giam Ih? Apakah dibunuh orang-orangnya Co Hua-sun?"

"Tidak. Ia dibunuh oleh Giam Hong sendiri, karena ia sudah tidak tahan akan penderitaan akibat siksaan, dan hampir membuka rahasia orang-orang kita di Pak-khia. Untuk menyelamatkan rahasia itu, Giam Hong membunuh adiknya sendiri di dalam sel."

Li Giam bangkit dari kursinya, wajahnya tiba-tiba bersungguh-sungguh menampakkan rasa hormatnya, katanya, "Tiga saudara Giam itu, tak terkecuali Giam Ih, pantas dihormati. Begitu juga kau dan adik seperguruanmu, saudara Oh."

"Terima kasih, Goan-swe. Kami berjuang tak lain demi perbaikan nasib rakyat."

"Dan bagaimana dengan jaringan kalian di Pak-khia? Masih aman atau sudah tercium anjing-anjingnya Kaisar?"

"Hem, anjing-anjing pemalas yang kekenyangan menghisap keringat rakyat itu, mana mampu melacak jejak kami? Namun anjing-anjing Manchu yang disewa Co Hua-sun itu benar-benar berhidung tajam, jaringan kami hampir berantakan akibat mereka. Namun setelah Co Hua-sun jatuh, anjing-anjing sewaan Manchu itupun agaknya menyingkir semua dari Pak-khia, dan kamipun aman kembali. Anjing-anjing Kaisar takkan mampu menemukan kami."

"Syukurlah."

Oh Kui-hou nampak ragu-ragu sejenak, namun kemudian berkata dengan sedih, "Tapi kami tiba-tiba ditikam dari belakang, dikhianati oleh kawan sendiri."

Kagetlah Li Giam. "Apa yang terjadi?"

"Orang-orangnya Jenderal Gu Kim-sing tiba-tiba bermunculan di Pak-khia, menghubungi kami, dan tentu saja tanpa curiga kami sambut mereka sebagai teman-teman seperjuangan. Namun mereka lalu menunjukkan tempat-tempat persembunyian kami kepada anjing-anjing Kaisar. Akibatnya kami diserbu, untung kami cepat-cepat pindah tempat, namun beberapa teman terlanjur jadi korban."

Li Giam mengepal tinjunya dengan geram. Ternyata di antara panglima-panglima bawahan Li Cu-seng ada persaingan. Yang paling hebat bersaing adalah Li Giam dan Gu Kim-sing. Demi menjaga keutuhan barisan Pelangi Kuning, Li Cu-seng sebagai pemimpin tertinggi lalu mengarahkan persaingan itu.

Dengan menjanjikan kepada semua panglima bawahannya, siapa yang lebih dulu berhasil memasuki Pak-khia, dialah yang kelak menjadi Panglima Tertinggi dalam pemerintahan baru yang akan didirikan Li Cu-seng.

Ketika pasukan Li Giam berturut-turut merebut kemenangan di Tong-koan, Hun-ciu Thai-goan, Ji-lim dan Han-tiong, maka banyak orang sudah memastikan bahwa Li Giamlah yang akan menjadi pemenang "sayembara" Li Cu-seng itu. Dialah calon Panglima Tertinggi kalau Li Cu-seng kelak berhasil menjadi Kaisar.

Sesaat dalam ruangan itu hanya terdengar desir lambat Li Giam yang hilir mudik, kadang diselingi suara letikan api lilin. Di luar pun banyak suasana malam dingin sekali. Kemudian terdengarlah Li Giam bertanya, "Saudara Oh, sekarang apa orang-orangnya Jenderal Gu Kim-sing itu sekarang masih berkeliaran di Pak-khia?"

"Benar. Kami hanya berpindah tempat sembunyi, tapi belum bertindak keras kepada mereka, sebab kami kuatir menimbulkan perpecahan dalam barisan perjuangan kita. Tapi mereka dengan gigih terus berusaha menemukan tempat sembunyi baru kami, hanya untuk dilaporkan kepada tentara kerajaan. Aku menghadap Goan-swe justru untuk minta petunjuk dalam soal ini."

Li Giam tiba-tiba meninju permukaan meja dengan keras, dan geram nada suaranya, "Mereka menikam punggung kita, karena itu perlakukan mereka sebagai pengkhianat! Aku akan bertanggung jawab di hadapan Joan-ong!"

"Kalau Goan-swe sudah memerintahkan demikian, kami pun punya pegangan untuk bertindak."

"Ada laporan lain lagi?"

"Ya, dari nona Tan Wan-wan. Kaisar goblok itu telah mengirim utusan ke Yang-ciu untuk memanggil Su Ko-hoat dan pasukannya."

"Ah, kalau demikian kita harus membagi perhatian untuk menutup sisi selatan Pak-khia, sebagai persiapan menghadang Su Ko-hoat yang tidak dapat dipandang enteng."

"Rasanya tidak perlu, Goan-swe."

"Kenapa?"

"Surat Kaisar goblok itu takkan pernah sampai ke tangan Su Ko-hoat. Suhu Ko Ban-seng dan adik seperguruanku Yo Kian-hi tengah menyusul utusan itu dan akan menghancurkan mereka di tengah jalan."

Li Giam tertawa terbahak, "Luar biasa, kalian benar-benar cekatan bekerja. Joan-ong pasti akan menghargai jasa kalian!"

Tetapi Oh Kui-hou dengan rendah hati berkata, "Yang pantas mendapat penghargaan tertinggi adalah Nona Tan Wan-wan. Kami kaum lelaki, paling banter hanva kehilangan nyawa dalam perjuangan ini. Tetapi Nona Tan, yang dipertaruhkan melebihi hidupnya, yaitu kehormatannya sebagai wanita. Pengorbanan itu tak tertandingi oleh kami kaum lelaki."

Li Giam mengangguk-angguk, katanya sungguh-sungguh, "Saudara Oh, kalau berkesempatan bertemu dengan nona Tan, sampaikan hormatku setinggi-tingginya. Kau benar, penghormatannya melebihi kaum lelaki, dan bahkan melebihi aku. Pesankan juga, pengorbanannya tak lama lagi, Pak-khia akan segera kita rebut dan dia bebas dari tugasnya yang berat itu."

"Baik, Goan-swe."

"Jangan lupa, siapa yang mengkhianati kalian, dia berarti pengkhianat! Ini hukum perang, tidak ada belas kasihan biarpun terhadap teman sendiri!" Bisa dimaklumi kegusaran Li Giam itu. Ia tidak mau dijegal, selagi langkahnya tinggal selangkah di ambang kemenangan atas Pak-khia.

Tiba-tiba seorang laskar melangkah masuk dan melapor, "Goan-swe, ada utusan Joan-ong mohon menghadap sekarang juga."

Sejak Li Giam memimpin pasukan ke garis depan, belum pernah Joan-ong mengirim utusan, menandakan kalau segala yang dilakukan Li Giam berkenan di hatinya. Kini selagi Li Giam sudah diambang Pak-khia, mendadak muncul seorang utusan. Hal ini menimbulkan tanda tanya, berita atau perintah apa dari pimpinan tertinggi kaum Pelangi Kuning itu?

"Persilakan dia masuk," perintah Li Giam.

Laskar itupun keluar, dan beberapa saat kemudian ia masuk bersama seorang lelaki berjubah yang mukanya berkilat karena debu dan keringat, biarpun malam Itu hawanya amat dingin. Tiba di depan Li Giam, ia membungkuk dalam-dalam sambil menyodorkan sepucuk surat bersampul tebal, "Aku menyampaikan surat dari Joan-ong untuk Goan-swe Li Giam.”

Dengan sikap hormat pula, Li Giam menerima surat itu sambil menjawab, "Aku terima. Saudara tentu lelah setelah menempuh perjalanan jauh. Aku persilakan saudara beristirahat dulu."

Utusan itu membungkuk hormat lagi, lalu keluar diantar laskar tadi. Sebelum membuka surat, lebih dulu Li Giam memeriksa segel pada tutup surat. Segelnya adalah tetesan lilin lalu dicap dengan setempel pribadi Joan-ong sendiri, sehingga menimbulkan huruf-huruf timbul. Maka Li Giam yakin kalau surat itu tetap tertutup rapat sejak dari tangan Joan-ong sampai ke tangannya. la merusak segel, membuka sampul dan membaca surat itu.

Oh Kui-hou yang masih berdiri di samping Li Giam, diam tak bersuara untuk tidak mengganggu pembacaan surat itu. Dan tiba-tiba ia melihat wajah Li Giam memerah karena menahan marah, tangannya yang memegang surat sampai bergetar.

"Ini pasti ulah Gu Kim-sing." tiba-tiba Li Giam membanting surat itu ke meja. "Dia akan memenangkan persaingan itu dengan cara yang amat licik!"

"Boleh aku mengetahuinya, Goan-swe?"

"Bacalah sendiri, saudara Oh."

Oh Kui-hou mengambil surat itu, mendekatkannya ke cahaya lilin dan membacanya. Awal surat memang enak, yaitu ucapan selamat yang hangat dari Joan-ong atas kemenangan-kemenangan Li Giam. Tapi selanjutnya adalah perintah agar Li Giam tidak meneruskan gempuran ke Pak-khia.

Harus menunggu kedatangan Gu Kim-sing yang akan membawa pasukannya dan setelah itu kota Han-tiong harus dialih tangankan kepada Gu Kim-sing, sedangkan Li Giam ditugaskan untuk meninggalkan Han-tiong dan merebut jalan raya selatan, dengan alasan untuk mengucilkan Pak-khia sama sekali.

"Nah, bagaimana pendapatmu, saudara Oh?"

"Inilah siasat licik Jenderal Gu Kim-sing untuk memenangkan sayembara Joan-ong. Joan-ong pasti amat dipengaruhi Jenderal Gu ketika membuat surat ini."

"Tepat, Gu Kim-sing biarkan kita bersusah- payah merintis jalan sampai kedekat Pak-khia, lalu dia mau terima enaknya saja. Coba hitung berapa ribu orang kita yang gugur atau luka-luka sejak kita rintis Jalan dari Tong-koan ke Han-tiong, betapa berat perjalanan kita. Sekarang tiba-tiba saja dia mau menempati posisi kita, dan kita malah diberi tugas yang semakin jauh dari Pak-khia."

Sebenarnya Oh Kui-hou ikut panas hatinya, karena dia lebih mendukung Li Giam yang jujur daripada Gu Kim-sing yang licik, la tidak rela kalau Gu Kim-sing yang lebih dulu masuk Pak-khia, padahal selama ini pihaknyalah yang bersusah-payah. Namun Oh Kui-hou tidak ingin cuma marah-marah saja, ia berpikir, dan kemudian berkata, "Memang menjengkelkan, tetapi kita bisa membuat Jenderal Gu kena batunya."

"Kau punya akal?"

"Ya, tidak melawan perintah Joan-ong, tapi juga tidak membiarkan Gu Kim-sing memetik hasil jerih payah kita seenak itu."

"Coba sebutkan."

"Saat ini pihak kerajaan memasang pertahanan di segenap arah di luar kota. Nah, kita harus mengadakan gerakan-gerakan di sisi barat kota Pak-khia, menimbulkan seolah-olah kita bersiap menggempur dari arah ini. Kawanan anjing Kaisar itu tentu akan memperkuat pertahanan di sebelah sini, mungkin juga dengan menarik sebagian pasukan dari sisi-sisi lain. Jadi, sisi sebelah sini diperkuat, sedang sisi yang lain diperlemah."

"Terus?"

"Kalau Jenderal Gu datang mau mengambil alih posisi kita kelak, serahkan saja. Dia akan berhadapan pasukan pemerintah yang sudah terpusat kekuatannya di sisi barat ini karena pancingan-pancingan kita. Sedangkan Goan-swe cepatlah pergi ke selatan untuk menuruti perintah Joan-ong, kalau perlu menerjang Pak-khia dari arah selatan yang penjagaannya sudah diperlemah. Jadi kita tidak melanggar perintah Joan-ong, sekaligus juga membenturkan jidat Gu Kim-sing ke tembok besi pertahanan pasukan pemerintah di sisi barat ini."

Seketika itu juga lenyaplah rasa kesal Li Giam. Ia tertawa terbahak dan memuji siasat Oh Kui-hou itu, "Bagus.... bagus.... saudara Oh. Darimana kau dapat siasat semacam itu?"

Oh Kui-hou pun tersenyum, "Diilhami dari jurus silat yang sederhana saja. Dalam pertarungan silat, sering kita pura-pura hendak mencolok mata dengan tangan kiri, sehingga musuh memasang pertahanan di depan wajah sehingga tangannya terangkat. Lalu tangan kanan kita menyodok perutnya yang tidak terjaga. Nah, sederhana bukan,"

"Otakmu benar-benar terang, saudara Oh. Tapi kaupun harus membantuku dari dalam kota Pak-khia. Sebarkan desas-desus di dalam kota itu, bahwa serangan kita yang paling hebat akan datang dari arah Han-tiong ini, agar sebagian besar prajurit pemerintahan dikerahkan kemari."

".....lalu Goan-swe buru-buru tinggalkan posisi ini, serahkan kepada Jenderal Gu, biar dia duduk di atas bara...."

Kedua orang itupun tertawa terbahak-bahak. "Nah, Goan-swe, aku minta pamit untuk kembali ke Pak-khia sebelum matahari terbit. Kalau sudah pagi tentu sulit menyusup ke Pak- khia karena penjagaan begitu ketat."

"Silakan dan selamat bekerja."

Oh Kui-hou pun meninggalkan Han-tiong untuk secepatnya kembali ke Pak-khia.


Hari itu Siangkoan Yan pergi ke istana untuk menjenguk kesehatan Puteri Tiang-ping, sahabatnya. Ia masuk tanpa kesulitan, sebab pengawal-pengawal istana banyak yang sudah hapal kepadanya, baik sebagai Puteri Menteri Siangkoan, tapi juga sebagai sahabat baik Puteri Tiang-ping. Begitu akrabnya persahabatan mereka, sehingga Siangkoan Yan tidak memanggil Puteri Tiang-ping "Tuan Puteri" seperti lain-lainnya, tapi cukup dengan "Cici".

Tiba di bangsal Puteri Tiang-ping, ternyata Slangkoan Yan tidak dapat segera menemui sahabatnya itu. Seorang dayang bilang bahwa Puteri Tiang-ping pagi itu sedang menghadap Kaisar, bersama dayang kesayangannya, Pek-hong. Terpaksa Siangkoan Yan menunggu. Ketika kemudian Puteri Tiang-ping datang, wajahnya nampak muram, demikian pula Pek-hong.

"Cici Ping, kenapa?" sambut Siangkoan Yan.

Puteri Tiang-ping duduk, lebih dulu disuruhnya semua dayang untuk menyingkir, kecuali Pek-hong. "Aku baru saja menghadap Hu-hong (ayahanda Baginda)...." kata Puteri Tiang-ping lesu. "Aku peringatkan Hu-hong agar hati-hati terhadap Tan Wan-wan, karena semakin besar kecurigaan bahwa Tan Wan-wan adalah mata-mata Pelangi Kuning. Tapi Hu-hong tidak mempercayai aku. Malah aku dimarahi dan diingatkan, bahwa dulu atas prakarsa kitalah Tan-Wan-wan sampai masuk ke istana."

Siangkoan Yan ikut masygul mendengar itu. Masuknya Tan Wan-wan ke istana, sedikit banyak memang tidak lepas dari tanggung jawab Permaisuri Ciu, Ciu Kok-thio (mertua Kaisar), Puteri Tiang-ping dan Menteri Siangkoan Hi.

Waktu itu, kelompok ini tidak senang karena Kaisar terlalu diperalat oleh Co Hua-sun melalui Tiau Kui-hui, si selir cantik yang sebenarnya adalah kaki tangan Co Hua-sun. Lalu mereka memasukkan Tan Wan-wan untuk memecah hubungan Kaisar dengan Tiau Kui-hui.

Benar juga, Kaisar lalu asyik dengan Tan Wan-wan dan melupakan Tiau Kui-hui, sehingga pengaruh Co Hua-sun pun mengendor. Waktu itu semuanya masih mengira Tan Wan-wan cuma seorang penari biasa.

Namun sejak Tan Wan-wan masuk istana, banyak keterangan rahasia yang penting bocor keluar istana, terutama yang bersangkut paut dengan kemiliteran. Akibatnya kaum Pelangi Kuning pun mengalami kemajuan pesat.

Sementara Puteri Tiang-ping dibisiki Pek-hou bahwa gerak-gerik dayang-dayang Tan Wan-wan amat mencurigakan. Kini Puteri Tiang-ping menyesal telah memasukkan Tan Wan-wan ke istana, sebab kaisar sudah terlanjur tergila-gila kepada wanita itu.

"Cici, sudah yakinkah kau bahwa Tan Wan-wan benar-benar mata-mata Li Cu-seng?"

"Semakin yakin. Adik Yan, sudah dengar berita paling baru?"

"Berita apa?"

"Utusan pembawa surat kepada Jenderal Su Ko-hoat, telah disergap dan dibantai di tengah jalan, belum jauh dari Pak-khia. Utusan itu berangkat dengan menyamar, berangkat tidak lewat jalan biasa melainkan lewat jalan kecil yang tidak umum. Tapi anehnya mereka bisa dicegat."

"Lalu Cici mencurigai Tan Wan-wan?"

"Ya, karena antara Tan Wan-wan dengan peristiwa itu seperti ada hubungan yang kabur, meskipun sulit dibuktikan, tapi pasti ada. Kau pikir pencegatan itu hanya kebetulan? Bukan, itu bukan kebetulan, tapi kesengajaan, hasil dari suatu kerja terencana yang rapi dan tidak kentara. Pek-hong, coba ceritakanlah kepada adik Yan."

"Baik, tuan puteri...." kata Pek-hong sambil maju selangkah lebih dekat. "Nona Siangkoan, pengiriman surat kepada Jenderal Su Ko-hoat itu diketahui benar seluk beluknya oleh Tan Wan-wan. Siapa pembawa surat, menyamar sebagai apa, kapan berangkatnya dan lewat jalan yang mana, semuanya diketahui secara tepat oleh Tan Wan-wan. Sebab Tan Wan-wan terus mengamati, secara langsung atau lewat orang-orangnya, mulai Sri Baginda menuliskannya sendiri sampai diserahkan ke tangan Jenderal Ou Hin."

"Astaga....."

"Nah, tahukah sekarang, adik Yan? Selama Tan Wan-wan disamping Hu-hong, maka si gembong bandit Li Ciam dengan gampang akan mengetahui apapun yang kita kerjakan, di balik dinding istana yang paling rapat sekalipun."

"Sudah Cici katakan kepada Sri baginda?"

"Hu-hong tidak percaya. Maka aku terpaksa mulai memikirkan sebuah tindakan untuk menyelamatkan negara..."

"Tindakkan apa?"

"Menyingkirkan Tan Wan-wan agar terpisah dari Hu-hong. Tentu untuk sementara waktu Hu-hong akan sedih, namun kelak bisa dijelaskan kepadanya bahwa ini demi keselamatan dinasti."

Puteri Tiang-ping sehari-harinya adalah seorang gadis yang lembut, bahkan rapuh. Namun ketika mengucapkan itu, terlihat betapa keras tekadnya, sama sekali tidak sesuai dengan kerapuhan tubuhnya yang bahkan pernah diramalkan takkan mencapai umur dua puluh tahun.

Namun sikap keras itu juga bukan terdorong kebencian pribadi, semata-mata hanya untuk keselamatan negara. Secara pribadi, Puteri Tiang-ping bahkan kagum kepada Tan Wan-wan, yang sebagai wanita muda sanggup menjalankan tugas sebesar itu buat kepentingan kaum Pelangi Kuning.

Kebanggaan seorang wanita kepada salah seorang kaumnya yang biasa dianggap lemah oleh lelaki. Puteri Tiang-ping juga merasa kasihan kepada Tan Wan-wan yang telah ia ketahui riwayat masa lalunya.

Sedang Siangkoan Yan terharu melihat puteri Kaisar yang rapuh tubuhnya namun tegar semangatnya, ingin memanfaatkan hidupnya yang diramalkan pendek itu buat negara. Semangat Siangkoan Yan pun turut meluap, digenggamnya tangan Puteri Tiang-ping seolah ingin menyalurkan semangatnya sendiri untuk menguatkan Puteri itu. "Aku ikut rencanamu, Cici...."

"Baik, terima kasih. Kita tak boleh berlambat-lambat sebelum kaum Pelangi Kuning menerkam Pak-khia. Adik Yan, aku ingin kau secepatnya mengajak Helian Cong-peng menemui aku di sini...."

Namun Puteri itu menghentikan kata-katanya, ketika melihat wajah Siangkoan Yan tiba-tiba menunduk murung. "Ada apa, adik Yan? Putus hubungan dengan Helian Cong-peng?"

"Huh, Cici..." Siangkoan Yan mengangkat mukanya yang agak memerah. "Bukan itu..."

"Lalu apa?"

"Sudah beberapa hari Helian kong menghilang entah ke mana. Di rumahnya tidak ada, kutanyakan Jenderal Ou Hin juga tidak dijawab memuaskan, kawan-kawannya juga tidak ada yang tahu. Aku kuatir dia sudah masuk perangkap kaum pemberontak, dan mungkin sekarang sudah disembelih."

"Jangan berpikir sengeri itu, adik Yan. Memangnya Helian Kong anak ingusan dalam soal ilmu silat dan siasat perang? Mana mungkin segampang Itu dia dijebak dan disembelih?"

"Cici belum tahu satu hal. Memang tidak gampang menjebak Helian Kong, kalau dilakukan sembarangan orang. Tetapi kalau oleh bekas kekasihnya sendiri yang cantik jelita dan kelihatan memelas, tentu dia akan masuk perangkap."

"Hah? Bekas kekasih Helian Kong? Siapa?"

"Tan Wan-wan itulah. Hanya dia seorang yang bisa menyuruh Helian Kong menjulurkan leher untuk dipancung dengan gratis!"

Seketika Puteri Tiang-ping melongo. Semula ia punya rencana mengikutsertakan Helian Kong dalam penyingkiran Tan Wan-wan, seperti dulu ketika diajak menyingkirkan Co Hua-sun. Tapi kalau begini urusannya, masih mungkinkah mengikut-sertakan Helian Kong dalam usaha penyingkiran Tan Wan-wan?

"Cici Ping, lalu bagaimana rencana kita?"

Puteri Tiang-ping menarik napas, lalu berkata pelan-pelan, "Kita pikirkan lagi, namun aku takkan mundur."


Siang hari itu, situasi Pak-khia agak sepi dari biasanya, keteganganlah yang terasa. Banyak rumah atau toko tutup, atau hanya buka setengah pintu. Di jalan sedikit orang berlalu lalang. Yang banyak hilir mudik hanyalah kelompok-kelompok prajurit bersenjata lengkap.

Ada desas-desus yang santer, bahwa laskar Pelangi Kuning sudah memusatkan kekuatan di sisi barat kota Pak-khia, seperti mendung yang semakin tebal dan siap menebar badai. Tentara Kerajaan di sisi barat pun diperkuat terus.

Dan siang itu, di jalanan tiba-tiba nampak barisan prajurit kerajaan yang seperti habis kalah perang. Banyak prajurit yang digotong dalam keadaan luka-luka, sedang yang tidak digotongpun nampak kelelahan dan compang-camping.

Orang-orang di pinggir jalan yang melihat rombongan itupun mulai kuatir, apakah di luar kota perang sudah mulai? Apakah laskar Pelangi Kuning sudah mulai dengan aksinya untuk merebut Ibukota Pak-khia? Sekelompok gelandangan bergerombol berjongkok di sudut pasar, dan mere-kapun melihat kedatangan pasukan babak belur itu.

"He, kenapa dengan pasukan itu? Sudah mulaikah perang?"

"Mana aku tahu?"

"A-siong, bukankah kau kenal dengan tukang masak di tangsi yang sering memberimu sisa makanan? Coba kau cari kabar apa yang terjadi..." kata seorang pengemis muda yang tegap, kepada seorang pengemis kurus yang matanya buta sebelah.

"Kalau aku ke sana dan mendapat berita, apa upahnya?" A-siong malah balik bertanya.

Si pengemis muda mendadak gusar, ia mencengkeram leher baju A-siong sambil berkata berapi-api, "Upah? sedikit-sedikit minta upah, untuk kerja begitu ringan pun minta upah. Tidakkah kau merasa malu terhadap orang-orang yang mempertaruhkan nyawa demi memperjuangkan nasib kita? Sedang kau untuk kerja seremeh inipun menanyakan upah?"

Semua gelandangan di situ kaget akan kegusaran pengemis muda itu. Sedang A-siong dengan ketakutan berkata tergagap-gagap, "Baik, baik, aku akan ke tangsi untuk mencari berita. Aku sebenarnya agak takut ditendang oleh prajurit-prajurit baru yang masih galak-galaknya itu."

"Kalau kau tidak mau ya tidak apa-apa, tapi... hem," dengan gerak seolah tak sengaja, pengemis muda itu menyingkapkan bajunya untuk memperlihatkan sebilah pisau yang diselipkan di perutnya.

"Baik, aku pergi...." Kata A-siong akhirnya.

"Dan jangan coba-coba kabur, balik kemari dengan beritamu."

"Ya.... ya....."

A-siong beranjak pergi. Tak lama kemudian ia sudah balik ke kerumunan itu dan berkata, "Ternyata memang sudah terjadi bentrokan senjata di luar kota sebelah barat. Sebuah desa telah diserang kaum pemberon..."

"Pejuang!" dengan garang si pengemis muda meralat kata-kata A-siong.

"Maaf.... maksudku, kaum pejuang sudah menyerang sebuah desa. Menurut prajurit di tangsi itu, kaum pembe.... eh, pejuang telah berhasil dipukul mundur dengan kerusakan yang jauh lebih parah dari tentara kerajaan."

"Omong kosong untuk menutupi kekalahan...." komentar si pengemis muda dengan sinis. "Terus bagaimana lagi?"

"Ya sudah, cuma begitu beritanya."

"Saudara-saudara, dengarkan..." sikap si pengemis muda mendadak berubah begitu serius, sehingga orang-orang lain menjadi tegang dan mendengarkannya. "Joan-ong sudah dekat. Laskar pejuangnya akan membebaskan kita dari penderitaan. Karena itu kita harus menyiapkan penyambutan, tidak boleh berpeluk tangan saja."

Para gelandangan pun saling berpandangan dengan bingung. Pengemis muda itu baru sebulan kelihatan di Pak-khia, sedang tubuhnya yang tegap, segar dan berkulit bersih itu kurang cocok untuk jadi pengemis, dan tak seorangpun pernah melihat dia mengemis. Namun ia cepat berpengaruh dan ditakuti dalam kumpulan gelandangan di pojok pasar itu. Omongannya pun lihai, sering membela para gelandangan dari perlakuan sewenang-wenang golongan atas.

Sementara ia bicara terus, "Kita tidak aman bicara di sini. Mari ikut aku."

Lalu ia bangkit dan yang lain-lainnya pun bangkit. Namun si pengemis muda tiba-tiba menatap seorang pengemis lainnya. Yang ditatap adalah seorang pengemis kotor bertubuh agak bungkuk, wajahnya bagian atas tertutup topi butut, sedang wajah bagian bawahnya nampak kotor oleh debu dan janggut yang tak pernah dicukur, mulutnya terus bergerak-gerak, entah mengunyah apa. Kakinya telanjang, kotor, dan dirubung lalat.

Si pengemis muda menatap tajam o-rang ini, lalu tanyanya kepada lain-lainnya, "Siapa dia?"

Salah seorang gelandangan menjelaskan, "Beberapa hari yang lalu kulihat dia ditendangi seorang tukang warung, dekat gerbang Sin-thian-mui."

"Lalu kau ajak dia masuk kelompok kita?" Pertanyaan itu kedengaran asing di kuping para gelandangan itu. Maklum, selama ini masing-masing bekerja sendiri-sendiri, tempatnya pun berpindah-pindah, pokoknya di mana ada rejeki. Mereka adalah tukang copet, pengemis, kuli harian, pengumpul sampah dan sebagainya.

Kalau mereka berkumpul itu hanya kebetulan, acaranyapun cuma ngobrol-ngobrol ringan. Sekarang tiba-tiba si pengemis muda itu bicara tentang "kelompok kita" yang kedengaran asing.

Hanya si pengemis bungkuk yang diam-diam tidak bingung. Pikirnya, "Kalau didengar bicaranya, pengemis muda ini tentu mengenal cara kerja yang teratur dalam pembagian kelompok-kelompok. Kalau dia mengaku sebagai pengemis, setidaknya pasti anggota Kai-pang (serikat pengemis) entah yang mana, sebab ada banyak serikat pengemis di mana-mana. Atau hanya pengemis gadungan seperti aku?"

Dan tiba-tiba si pengemis muda itu melompat terus menjotos perut si pengemis bungkuk, sehingga semuanya kaget. Si pengemis bungkuk sendiri langsung jatuh melintir, memegangi perutnya dan mengaduh-aduh. Topi bututnya terpental dan kelihatan rambutnya yang gembel, awut-awutan dan kotor, yang pasti dihuni sejumlah besar kutu rambut.

Sementara itu si pengemis muda mencabut belatinya dan menempelkannya di leher si bongkok sambil membentak, "Siapa kau?"

Si pengemis bongkok merintih ketakutan, "Apa... apa salahku? Aku kan tidak.... tidak...." Ujung belati itu tambah menekan leher si pengemis bongkok, sehingga gelandangan-gelandangan lain menjadi kasihan.

A-siong berkata kepada si pengemis muda, "A-liang, kasihanilah dia... diapun senasib dengan kita....."

Pengemis muda itu mendengus, "Aku tidak senang kelompok kita ini berganti-ganti orang. Ada yang pergi, ada yang datang, seenaknya saja. Itu mengacaukan penyaluran perintah...." Tambah lagi kata-kata asing bagi para gelandangan itu, yaitu istilah "penyaluran perintah" itu.

"A-liang, kami tidak tahu maksudmu."

"Kalian harus menyiapkan diri menyambut Joan-ong. Untuk itu kalian, kaum tertindas yang senasib, haruslah tersusun dalam kelompok-kelompok yang rapi, tidak seperti sekarang ini."

Ucapan itu terhenti sebentar, karena ada sekelompok prajurit lewat, sampai para prajurit itu menjauh kembali. Para gelandangan itu diam semua. Setelah regu prajurit itu menjauh, si pengemis muda melanjutkan kata-katanya,

"Mulai sekarang, anggota kita ini tidak boleh berubah lagi. Tidak boleh ada yang datang dan pergi seenaknya. Kita adalah satu regu yang tetap. Dan mulai nanti malam, kalian wajib berkumpul di belakang kelenteng rusak tempat kalian biasa memotong anjing. Di sana, aku akan mengajari kalian latihan bertempur. Jangan coba-coba melapor kepada prajurit atau tidak datang, atau aku akan mencarinya sampai ketemu dan menghukum dengan berat."

Si pengemis bongkok yang baru saja dipukul itu terbatuk-batuk dan bertanya, "Latihan bertempur? Apakah kami akan..., uhuk-huk-huk... disuruh bertempur?"

"Ya. Kalian jangan coba-coba menghindari kewajiban ini. Kalian tidak boleh lagi pindah ke tempat lain kecuali di sekitar pasar ini. Sebelum ini kalian dapat melakukannya karena belum ada aturan ini, namun sekarang aturannya sudah ada dan kal8an terikat! Kawan-kawanku tersebar di seluruh kota, dan siapa yang mencoba berkhianat atau membangkang, akan menerima nasib amat buruk!"

Kepala-kepala kosong Itupun terpaksa mengangguk-angguk. Dan si pengemis muda dengan puas menyimpan kembali belatinya, "Bagus. Sekarang bubar dan bekerjalah seperti biasa. Jangan lupa, nanti malam kalian kumpul di belakang kelenteng rusak!"

Kemudian si pengemis muda bangkit dan meninggalkan kerumunan itu, para gelandangan. Si pengemis bongkok pun tertatih-tatih berjalan ke sudut pasar, lalu diam-diam berbelok ke arah pengemis muda tadi, dan membuntutinya. Begitu sampai ke lorong kotor yang sempit dan sepi, langkahnya yang semula tertatih menjadi secepat terbang. Tubuhnya yang bungkukpun berubah tegak dan tangkas.

Karena si pengemis bongkok itu bukan lain adalah Helian Kong yang melakukan penyamaran total untuk mencari jejak komplotan mata-mata Pelangi Kuning. Penyamarannya tidak tanggung-tangung, seratus persen ia hidup sebagai gelandangan selama berhari-hari. Tidak mandi, makan sembarangan, tidur di emperan rumah dan tidak jarang dibangunkan dengan siraman air oleh pemilik rumah.

Bukan cuma mata-mata kelas teri yang ditangkapnya, namun Helian Kong ingin melacak siapa tokoh pemberontak yang bersembunyi di istana kekaisaran sebagai mata-mata, namun ia ingin melacaknya dari luar istana. Ingin mencari buntutnya sebelum meringkus kepalanya.

Dilihatnya pengemis muda itu masuk kesebuah rumah di tempat kumuh, dan Helian Kong tambah hati-hati. Ia tidak mau masuk ke rumah itu di siang hari bolong, melainkan akan menunggunya sampai malam.

Maka Helian Kong lalu berjongkok di sudut jalan, mengawasi rumah itu dari kejauhan. Ia bersandar di tembok pinggir jalan, duduk di tanah, dan berlagak tidur namun terus mengawasi rumah itu dari bawah topinya.

Sekian lama tidak ada yang menarik perhatian. Namun kemudian perhatiannya tertarik oleh dua orang yang agaknya juga sedang mengawasi rumah itu. Keduanya berkali-kali lewat di depan rumah itu dan sering berbisik-bisik satu sama lain. Hampir-hampir Helian Kong mengira mereka berdua adalah mata-mata pemerintah.

Ketika kedua orang itu lewat untuk ke sekian kalinya, sekonyong-konyong pintu rumah itu terbuka. Begitu cepat dan mendadak, sehingga kedua pengintai itu kaget dan tak sempat kabur. Apalagi karena dari dalam rumah itu muncul enam orang, termasuk pengemis muda tadi, yang segera mengurung kedua pengintai itu dengan sikap garang.

Kedua pengintai itu gugup sesaat, namun yang lebih tua cepat menenangkan diri lalu berkata sambil tertawa, "Ternyata kami tidak salah alamat. Memang kami sedang mencari teman-teman seperjuangan di Pak-khia ini. Selamat bertemu, saudara-saudara seperjuangan, kami berdua juga pemanggul-pemanggul bendera kuning dari barat laut."

Kata-kata sandi itu ternyata tidak cukup untuk melunakkan sikap orang-orang yang keluar dari dalam rumah itu. Kata si pengemis muda dengan dingin, "Belum puas selama ini kalian mengkhianati kami? Masih terus berusaha menemukan tempat-tempat rahasia kami untuk dilaporkan kepada anjing-anjing Kaisar itu?"

Kedua pengintai itu menegang wajahnya. Yang lebih tua berusaha untuk bersikap tenang, namun suaranya mulai agak gemetar gugup, "Mengkhianati? Siapa mengkhianati? Kita kan sama-sama pejuang di bawah tanah panji-panji Joan-ong, mana mungkin."

"Tutup mulutmu! Kalian orang-orangnya Goan-swe Gu Kim-sing bukan?"

"Ya, tapi apa salahnya kalau bawahan Goan-swe Gu? Kalian bawahan Goan-swe Li Giam, berarti juga seperjuangan, kita sama-sama....."

"Masuk!" si pengemis muda membentak bengis sambil menuding pintu rumah yang masih terbuka.

Kedua pengintai itu sangsi, saling berpandangan, kemudian yang lebih tua mengangguk kecil sambil berkata, "Baik. Kami akan masuk dan menjelaskan bahwa kami tidak seperti yang kalian tuduhkan...."

Kedua pengikut Gu Kim-sing itupun digiring masuk rumah oleh keenam pengikut Li Giam itu. Namun tiba di ambang pintu, pengikut Gu Kim-sing yang lebih tua tiba-tiba melompat, menjotos dan menendang roboh salah seorang penangkapnya. Lalu kabur secepatnya tanpa menghiraukan temannya.

Semuanya terkejut. Dua pengikut Li Giam coba memburu yang kabur itu, namun kalah cepat larinya. Lagipula orang yang diburu itu lari ke jalan raya. Kalau sampai kejar-kejaran di jalan raya di siang hari bolong seperti itu, kalau sampai dilihat prajurit peronda tentu akan menimbulkan kesulitan saja.

Yang malang adalah pengikut Gu Kim-sing yang ditinggal lari itu, dia menjadi pelampiasan kemarahan pengikut-pengikut Li Giam. Sudah lama memang kedua kelompok dalam barisan Pelangi Kuning itu bersaing sengit, menjurus ke kebencian. Kini kebencian pengikut-pengikut Li Giam itu mengambil bentuk yang paling keras. Mereka semuanya menghunus belati, dipelopori oleh si pengemis muda yang garang itu.

"Jangan... jangan... kita teman seperjuangan...." kata-kata panik pengikut Gu Kim-sing itu tidak sampai ke ujungnya, sebab lima belati sekaligus masuk ke tubuhnya dari segala arah. Diapun roboh berlumuran darah.

Si pengemis muda lalu berkata dengan dingin, "Sudah jelas perintah Goan-swe Li Giam lewat Oh Hiangcu, biarpun kawan sendiri, kalau berkhianat ya harus diperlakukan sebagai pengkhianat pula. Goan-swe Li Giam hampir sampai ke puncak kemenangan dengan merebut Pak-khia, dia tidak boleh gagal karena pengkhianatan orang-orangnya Goan-swe Gu Kim-sing yang iri terhadap keberhasilan kita!"

Semuanya mengangguk-angguk, lalu salah seorang berkata, "Tapi yang satu tadi berhasil kabur, tentu segera lapor kepada anjing-anjing Kaisar. Tempat ini tidak aman lagi buat kita."

"Benar. Karena itu cepat hapuskan jejak, lalu kita tinggalkan tempat ini secepatnya."

Segera orang-orang itu bekerja dengan cekatan. Mayat itu diseret ke dalam rumah, lalu salah seorang keluar lagi membawa sapu untuk menghapus bercak-bercak darah di depan rumah. Kemudian semuanya masuk rumah dan pintunya pun ditutup rapat-rapat.

Semuanya tak lepas dari pengamatan Helian Kong di kejauhan. Ia tidak mau kehilangan jejak, maka cepat-cepat bangkit dan memutar ke belakang rumah dengan melompati dinding dan atap. Dugaannya benar, orang-orang itu kabur berpencaran lewat pintu belakang. Karena mereka berpencaran, Helian Kong memilih satu saja yang diikutinya, yaitu si pengemis muda yang nampaknya adalah pemimpin dari kelompok kecil itu.

Namun Helian Kong tidak mau menangkapnya, hanya membuntuti. Ia tidak ingin cuma menangkap ekor, tapi kepalanya. Setelah berjalan berkelok-kelok, orang itu sampai ke sebuah rumah besar yang tertutup rapat. Hampir saja ia mengetuk pintu, tapi ketika dilihatnya ada coretan-coretan kapur di pintu, ia batal masuk. Wajahnya gelisah, lalu bergegas pergi dari situ.

Dan Helian Kong terus membayanginya. Di suatu belokan gang, pertgemis muda itu berpapasan dengan seseorang saling berbicara perlahan. Helian Kong menajamkan kuping untuk mendengar, dan didengarnya suara si pengemis muda, "Tempatku sudah diketahui, juga rumah Paman Kwe...."

"Ini pasti gara-gara pengkhianat-pengkhianat itu."

"Lalu bagaimana?"

"Kumpul di serambi belakang Kim-kong-bio untuk mendengar pesan-pesan Hiang-cu. Pergilah sendiri, aku mau hubungi teman-teman."

Keduanya berpencar, dan Helian Kong memilih untuk tetap ikut si pengemis muda dari kejauhan. Helian Kong tahu di mana letak Kim-kong-bio itu, sebuah kelenteng besar yang agaknya sudah menjadi sarang para mata-mata Pelangi Kuning. Namun kemudian Helian Kong sadar, sebab tidak mungkin ia mendekati kelenteng itu. Berpuluh langkah di sekitar tempat itu sudah terasa ada penjagaan tersamar amat ketat.

Penjaga-penjaga-nya menyamar dalam berbagai ujud. Ada yang jadi pengemis, pedagang kaki lima, tukang warung, atau bahkan orang yang berhilir mudik dengan gaya wajar. Namun Helian Kong tak dapat dikela-buhi, sebab orang-orang itu sering bertukar isyarat dengan gerak tangan.

Dan Helian Kong yakin bahwa ia sedang mendekati sasaran yang lebih penting. Buktinya, si pengemis muda yang begitu garang tadinya, kini nampak bertingkah lebih sopan, sering mengangguk hormat atau bertegur sapa dengan orang-orang yang bertemu dengannya.

"Bagus..." pikir Helian Kong. "Yang bakal berkumpul di serambi belakang Kim-kong-bio pasti bukan sekedar teri-teri, namun kakap-kakapnya...."

Namun timbul masalah, bagaimana bisa menyusup dan ikut mendengarkan pembicaraan mereka? Mau datang terang-terangan, ia tidak tahu kata-kata sandinya. Orang-orang itu tidak memakai tanda-tanda pengenal berupa benda, untuk menghindari resiko digeledah oleh tentara kerajaan, namun cukup dengan kata-kata sandi. Mau melompat dari atap, kuatir kelihatan.

Diapun lalu memutari tempat itu, sampai akhirnya ia menemukan saluran air yang terbuka, namun menembus ke dalam tanah ke arah kelenteng Kim-kong-bio. Saluran air itu kering dan baunya cukup dahsyat. Namun Helian Kong sambil menahan napas melompat turun, kemudian masuk ke terowongan dengan kepala agak menunduk. Lalu terowongan itu buntu.

Helian Kong mendorongkan kedua telapak tangan ke langit-langit di atasnya, terasa bergerak sedikit. Maka Helian Kong tambah hati-hati agar gerakannya tidak diketahui musuh yang mungkin ada di atas sana. Ia kerahkan tenaga untuk menggeser ubin batu tebal di atas kepalanya, pelan-pelan, debu berhamburan. Lalu kepalanya dijulurkan ke atas.

Kelihatan aman, lalu ia menggesernya ke samping dan melompat keluar lubang. Ternyata itulah sebuah kakus. Untung sudah lama tidak dipakai dan sering kehujanan, sehingga bersih tak berbau. Batu yang diangkat Helian Kong itu lebar, tengahnya berlubang, di kanan kiri lubang ada injakan kaki, tempat dulu orang berjongkok untuk buang hajat.

Namun kini ruang sempit itu sudah setengah terbuka karena dindingnya sudah runtuh sebagian. Dan ruangannya sendiri penuh rumput setinggi hampir satu meter yang tumbuh dari sela-sela ubin.

Helian Kong memperhatikan tempat itu. Itulah halaman belakang suatu rumah besar yang sudah tiga perempat ambruk. Kayu belandar penyangga atapnya sudah tergeletak menyandar tembok, halaman maupun bagian dalam rumah penuh rumput. Tikus, kecoak, lipan dan rayap gentayangan di mana-mana, namun manusianya hanyalah Helian Kong lah satu-satunya.

"Tempat ini tentu bukan serambi belakang Kim-kong-bio....." gerutu Helian Kong.

Namun tiba-tiba di balik dinding tinggi lumutan, didengarnya suara banyak orang. Helian Kong tidak langsung melompati dinding untuk menjenguk ke sebelah, melainkan diambilnya sebatang kayu panjang yang cukup kuat, bekas kerangka atap, diletakkannya miring di dinding namun dengan ujung tidak sampai kelihatan dari seberang tembok.

Lalu pelan-pelan dipanjatnya, hati-hati dijengukkannya kepala. Helian Kong pun bersorak dalam hati. Memang ia tidak menembus ke kelenteng Kim-kong-bio, tapi di sebelahnya. Di balik dinding itulah serambi belakang Kim-kong-bio. Di situ banyak orang memakai ikat kepala kuning sudah berkumpul.

Orang-orang yang datang ke situ mulanya menyamar, begitu tiba terus memakai ikat kepala kuning dan menunggu dengan tertib. Helian Kong melihat, antara lain ada si pengemis muda yang garang, dan juga Liong Tiau-hui, si bekas perwira San-hai-koan yang membelot ke pihak pemberontak karena kecewa terhadap pemerintah.

Matahari perlahan menggelincir masuk ke cakrawala barat, suasana jadi meremang, nyamuk-nyamuk tak lupa keluar "Berdinas". Di serambi belakang Kim-kong-bio itu hanya dinyalakan sebatang lilin saja, dan suasana tetap tertib. Yang bicara pun hanya berbisik-bisik.

Tak lama kemudian, seseorang masuk ke tempat itu dan berkata dengan tidak keras namun jelas, "Saudara-saudara, Oh Hiangcu tiba."

Orang-orang pun memperbaiki sikapnya, bisik-bisik berhenti. Datanglah seorang yang pernah bertempur dengan Helian Kong, yaitu Thai-lik-ku-hou (Macan Kurus Bertenaga Raksasa) Oh Kui-hou. Seorang pendekar bertubuh kurus pendek, namun bertenaga raksasa, sehingga diperolehnya julukan itu. la diiringi kakak beradik Giam Hong dan Giam Lui.

Begitu duduk, Oh Kui-hou bicara tanpa bertele-tele lagi, "Saudara-saudara, aku sudah menghadap Jenderal Li di Han-tiong, dan beliau paham kesulitan kita. Demi menghindari jatuhnya korban lagi di antara kita, kita diperintahkan menghentikan kegiatan. Toh situasi Pak-khia dianggap sudah cukup matang untuk dicaplok oleh laskar kita yang akan bergerak dalam waktu dekat!"

Di persembunyiannya, Helian Kong terkesiap. Namun ia tetap bersembunyi dan mendengarkan terus. Terdengar kemudian perintah Oh Kui hou, "Sekarang bubarlah semuanya! Tak ada lagi yang perlu kita lakukan di hari-hari mendatang ini, kecuali menunggu Joan-ong datang mengibarkan benderanya di kota ini!"

Orang-orang itupun gemeremang berbicara, dan menjadi tenang setelah Oh Kui-bou menggerakkan tangan sebagai isyarat. "Bubarlah, saudara-saudara, tepati pesan Jenderal Li Giam demi keselamatan kalian sendiri. Biar orang-orangnya Jenderal Gu Kim-sing gigit jari karena gagal menemukan kita. Dan kelak kalau kita harus bergerak pula, aku akan menghubungi kalian dengan isyarat lama!''

Orang-orang itupun bubar dari situ, namun tiba-tiba terdengar derap langkah banyak orang di luar kelenteng. Disusul teriakan-teriakan garang, "Kepung! Jangan ada mata-mata pemberontak yang lolos seorangpun!"

Orang-orang dalam kuil itu kaget dan sesaat menjadi kacau, ada yang mencaci dengan sengit, "Bedebah!. Tentu pengkhianat-pengkhianat bawahan Gu Kim-sing yang menunjukkan tempat ini kepada anjing-anjing Kaisar!"

Mendengar itu, Helian Kong jadi tahu kalau tubuh Pelangi Kuning ada persaingan yang menjurus ke saling mengkhianati, antara pengikut-pengikut Li Giam dan pengikut-pengikut Gu Kim-sing. Namun bukan itu yang ingin diketahui Helian Kong, ia hanya ingin mendengar nama "orang dekat Kaisar" yang menjadi mata-mata pemberontak itu.

Sementara itu Oh Kui-hou berteriak-teriak mengatur orang-orangnya. "Jangan takut, saudara-saudara! Kita terjang lewat pintu belakang! Jangan panik!"

Waktu itu pasukan kerajaan yang berjumlah seratus orang lebih telah mendobrak pintu depan dan menyerbu masuk kelenteng. Orang-orang Pelangi Kuning yang menjaga di halaman depan hanya berhasil memberi perlawanan sekejap, sesudah itu mereka roboh tergilas pasukan penyerbu.

Orang-orang Pelangi Kuning yang di halaman sampingpun coba menahan, tetapi juga tidak tahan lama. Sebab yang paling depan dari pasukan kerajaan itu adalah kakak beradik Siangkoan Heng dan Siangkoan Yan, murid-murid Kim-hian Tojin dari Bu-tong-pai.

Di halaman dan serambi belakang, barulah para prajurit menemui perlawanan sengit orang-orang Pelangi Kuning yang ternyata tidak sempat kabur. Sebab dari pintu belakangpun muncul pasukan kerajaan yang dipimpin Song Liong.

Anak buah Li Giam itu ternyata memang orang-orang pilihan. Bukan saja mereka cerdik, namun kalau terjepit ternyata juga bisa bertempur dengan tangkas. Dan meraka semuanya fanatik dengan semboyan lebih baik mati dari pada ditangkap hidup-hidup.

Siangkoan Yan segera berhadapan dengan dua saudara Giam yang masing-masing bersenjata golok tebal dan toya besi, senjata-senjata berbobot berat. Dua lelaki yang mengandalkan kekuatan, menghadapi seorang gadis yang memainkan pedang dengan lincah.

Sedangkan Siangkoan Heng masih mengganas dengan merobohkan beberapa lawan, tetapi langkahnya terhadang oleh Oh Kui-hou yang memegang sepasang cambuk kulit yang panjang. Dulu ketika bertempur dengan Helian Kong, Oh Kui-hou cuma bersenjata satu cambuk, dan kalah. Sejak itu, lalu ia melatih diri dengan sepasang cambuk.

Suatu permainan yang tidak gampang, kalau kurang mahir tentu cambuk-cambuk itu malah akan saling membelit dan merepotkan diri sendiri. Namun Oh Kui-hou sudah mengatasi hambatan itu, dengan sepasang cambuknya ia jadi lebih berbahaya. Hal itu diakui dalam hati oleh Helian Kong yang mengintip dari balik tembok rumah sebelah.

Begitu berhadapan dengan Siangkoan Heng, dengan gerak Siang-liong-lo-hai (Sepasang Naga Mengaduk Lautan), Oh Kui-hou menyabetkan sepasang cambuknya dengan gencar, menimbulkan rentetan bunyi ledakan seperti petasan renteng. Sabet kiri, sabet kanan, bergantian. Kadang-kadang kedua tangannya sampai bersilangan, sehingga cambuk kanan menyabet kiri, cambuk kiri menyabet kanan.

Maka di sepasang pundak Oh Kui-hou seolah-olah tumbuh lengan tambahan saking cepatnya, helai-helai cambuknya menyambar-nyambar bagaikan lengan-lengan gurita, menimbulkan desis angin tajam menggiriskan.

Siangkoan Heng melompat mundur untuk menajamkan pandangannya. Dan beberapa prajurit di sekitar Siangkoan Heng roboh menjadi korban cambuk Oh Kui-hou. Mereka roboh bukan saja dengan rasa pedas di kulit, tapi sampai hancur daging dan tulangnya.

"Lari ke mana?" Oh Kui-hou memburu Siangkoan Heng.

Sepasang cambuknya bergerak bersilangan dengan gerak tipu Hong-sui-kui-hai (Banjir ke Laut). Gerak cambuk yang "diterjemahkan" dari gerak tangan kosong. Cambuk kanan berusaha membelit pergelangan tangan kanan Siangkoan Heng yang memegang pedang, cambuk kiri hendak membelit kaki untuk dirobohkan...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.