Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 26

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong seri pertama, Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 26 karya Stevanus S.P

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 26

Cepat Siangkoan Heng berkelit ke samping dan melompat menikam wajah dengan jurus Kim-ma-su-hong (Kuda Emas Meringkik Dalam Angin). Kedua orang itupun terlibat dalain pertempuran sengit.

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

Sementara itu Helian Kong tetap bersembunyi. Bukan karena ia acuh tak acuh kepada kakak beradik Siangkoan yang menjadi sahabat-sahabat baiknya itu, namun karena ia masih menganggap keduanya tidak terancam bahaya. Siangkoan Yan bahkan melukai pundak Giam Hong.

Betapa gigihnya kaum Pelangi Kuning, namun menghadapi tentara pemerintah yang berjumlah lebih banyak, mereka mulai menunjukkan tanda-tanda kekalahan. Banyak yang sudah roboh tewas. Melihat itu, Siangkoan Yan berseru kepada Song Liong,

"Komandan Song, perintahkan orang-orangmu untuk menangkap hidup-hidup saja, bukan membunuh. Kita butuh orang-orang hidup untuk ditanyai!"

Song Liong pun mengomando anak buahnya, "Tangkap hidup-hidup!"

Anak buahnya berusaha menjalankan perintah itu, namun ternyata tidak mudah. Tak lain karena fanatiknya orang-orang Pelangi Kuning yang lebih suka mati daripada ditangkap itu. Dan korban di pihak kerajaan pun juga tidak sedikit karena perlawanan itu.

Siangkoan Yan masih menghadapi Giam Hong dan Giam Lui dengan permainan pedangnya yang cepat. Ia selalu menghindari benturan tenaga, sambil terus berusaha memecah kerjasama kedua saudara Giam itu.

Tak peduli kedua saudara itu bertenaga besar dan bertempur dengan kemarahan, namun mereka tak lebih dari dua ekor babi hutan rasaksa yang dengan sia-sia berusaha menyeruduk seekor tawon yang terbang berputaran. Golok tebal dan toya besi mereka kebanyakan cuma menghantam angin, sedang ujung pedang Siangkoan Yan yang setajam pisau cukur "terbang" begitu dekat dengan kulit mereka.

"Menyerahlah, apa gunanya berkeras kepala?" sambil membentak, Siangkoan Yan melancarkan gerak Thai-peng-tian-ci (Garuda Membuka Sayap). Pedangnya seolah pecah menjadi dua bayangan yang menikam ke kiri dan kanan dengan cepatnya, memisahkan kedua saudara Giam itu.

Sebelum kedua lawannya bergabung kembali, Siangkoan Yan mengambil sudut sedemikian rupa sehingga hanya menghadapi Giam Lui yang terpaksa harus membelakangi kakaknya. Dengan gerakan Sam-goan-lui-goat (Tiga Gelang Melingkari Rembulan), Siangkoan Yan menempelkan pedang ke golok lawannya untuk diputar cepat tiga kali dan dicongkel.

Serba cepat geraknya, hingga sia-sia Giam Lui mengerahkan tenaganya, sebab gadis itu tidak membentur tenaganya tapi malah "meminjam"nya, sehingga golok Giam Lui pun terpental lepas. Menyusul ujung kaki Siangkoan Yan melayang menendang pinggang, membuat Giam Lui sempoyongan.

"Menyerahlah!" Siangkoan Yan mengulangi tawarannya sambil menodongkan pedang ke leher Giam Lui.

Diluar dugaan, Giam Lui tidak ingin mengulangi pengalaman pahitnya ketika ditangkap dan disiksa oleh orang-orangnya Co Hua-sun dulu. Karena itu, tiba-tiba ia berteriak, "Jayalah Joan-ong!" sambil menubrukkan lehernya sendiri ke ujung pedang, dan kemudian terkulai tewas.

Siangkoan Yan yang sebetulnya tak ingin membunuh, jadi kaget oleh tindakan nekad itu. Sedang Giam Hong kalap melihat kematian adiknya. Membabi buta ia menghantamkan toyanya ke arah Siangkoan Yan sambil berteriak-teriak. Karena masih ragu-ragu, Siangkoan Yan hanya menangkis dan menghindar terus tanpa balas menyerang. Maka Diapun segera terdesak, tak peduli ilmunya lebih tinggi.

Waktu itu, sebagian besar orang Pelangi Kuning di situ telah ditumpas habis oleh para prajurit. Song Liong lalu cepat melompat untuk menolong Siangkoan Yan. Terjadilah pertempuran antara dia dan Giam Hong.

Sementara itu, dalam pertempuran antara Oh Kui-hou dan Siangkoan Heng, sudah makin nyata kalau Oh Kui-hou yang bakal menang. Ia terus menekan Siangkoan Heng ke posisi bertahan saja, gerak cambuknya bertubi-tubi deras dalam macam-macam gaya, melingkar-lingkar dan susah ditebak arahnya.

Serangan palsu dan serangan asli susah dibedakan, apalagi cambuknya juga susah dibabat dengan pedang karena alot dan lemas. Sering Siangkoan Heng bermaksud menerjang orangnya saja tanpa memperdulikan cambuknya, namun lawannya yang bertubuh kecil dan pendek itu juga cukup lincah untuk berpindah-pindah tempat menghindari kejaran pedang Siangkoan Heng. Sementara gerak cambuknya tak pernah mengendor, biarpun sambil berlompatan.

Beberapa saat kemudian Siangkoan Heng tersabet punggungnya sehingga kulitnya robek berdarah, bukan main nyerinya. Lalu betisnyapun kena disabet keras sehingga sempoyongan, hampir roboh terjungkal.

Melihat kesulitan kakaknya, Siangkoan Yan membantunya, maka Oh Kui-hou pun mendapat dua lawan. Tetapi tanpa gentar ia terus mengayunkan sepasang cambuknya dengan gerak tak terputus, mengimbangi dua pedang di pihak lawan.

Sementara itu, yang celaka adalah Giam Hong. Karena ia bertempur kalap tanpa perhitungan, tenaganya cepat terkuras habis. Tapi ketika Song Liong minta bantuan anak buahnya untuk menangkapnya hidup-hidup, Giam Hong menggigit lidahnya sendiri untuk bunuh diri.

Oh Kui-hou geram mengetahui kehancuran pihaknya, namun sadar juga tak ada gunanya terus bertahan di tempat itu. Sepasang cambuknya tiba-tiba lebih hebat menyapu pulang pergi dalam jurus Ban-lui-tian-siam (Selaksa Petir Menggemuruh). Arena itu seketika dipenuhi ledakan-ledakan dahsyat, bayangan cambuk tak habis-habisnya menggempur berturut-turut ke arah kakak beradik Siangkoan itu, sehingga mereka terdesak mundur.

Di tempat sembunyinya, Helian Kong mulai cemas melihat bahaya mengancam sahabat-sahabatnya itu. Dalam keadaan wajar, tentu ia akan melompat keluar untuk membantu menangkap Oh Kul-hou. Namun ia belum berbuat demikian, sebab kalaupun berhasil menangkap Oh Kui-hou, berarti ia akan gagal melacak jejak "orang dekat Kaisar" yang menjadi mata-mata Pelangi Kuning itu. Oh Kui-hou pasti memilih maut daripada buka mulut dan membongkar rahasia temannya yang bersembunyi dalam istana itu.

Dalam keadaan yang istimewa itu, malah Helian Kong mengharap agar Oh Kui-hou lolos, asal tidak mencelakai Siangkoan bersaudara. Lolos, lalu ke istana untuk menghubungi temannya dan Helian Kong akan membuntutinya.

Dugaan Helian Kong, serangan Oh Kui-hou yang menghebat itu pastilah hanya suatu cara untuk mencari peluang kabur dari arena. Helian Kong tidak percaya bahwa orang berotak semacam Oh Kui-hou akan memilih maut, selagi jalan masih terbuka.

Benar juga. Ketika Siangkoan bersaudara terdesak, Oh Kui-hou melompat meninggalkan gelanggang. Namun untuk membalaskan kematian teman-temannya, ia berlompatan di atas kepala prajurit-prajurit yang mengepung tempat itu. Tiap injakannya menyebabkan korbannya roboh dengan batok kepala retak atau leher patah, karena tiap injakannya itu beratnya ribuan kati berkat ilmu Ban-siang Kun-hoatnya (Silat Selaksa Gajah).

Helian Kong sendiri tahu betapa hebat injakan kaki itu. Dulu ia pernah bertempur dengan Oh Kui-hou di atap rumah Ting Hoan-wi, dan atap rumah itu hampir ambruk diinjak kaki-kaki kecil itu. Setelah membunuh perajurit dengan caranya itu, Oh Kui-hou melompat ke tengah kehitaman malam.

Detik itu juga Helian Kong berkelebat meninggalkan persembunyiannya untuk membuntuti Oh Kui-hou. Namun harus hati-hati, sebab yang diikutinya bukan tokoh sembarangan. Kalau Oh Kui-hou berlompatan di atap, Helian Kong mengikutinya dari bawah, agar setiap saat dapat berlindung pada bayangan tembok atau pinggiran atap.

Sekian lama membuntutinya, Helian Kong jadi tumbuh harapannya ketika melihat Oh Kui- hou bergerak ke arah istana. "Mudah-mudahan dia akan menjumpai temannya yang di dalam istana, sehingga aku tahu siapa temannya itu...." harap Helian Kong. "Percuma membasmi Co Hua-sun dan kaki tangan Manchu, kalau kaki tangan Pelangi Kuning tetap bercokol aman di dalam istana...."

Tak lama kemudian, Oh Kui-hou tambah hati-hati gerakannya karena makin dekat tembok istana. Helian Kong juga makin hati-hati. Nampak Oh Kui-hou berputar-putar beberapa kali di lorong-lorong gelap seputar tembok istana, sambil menghindari pos-pos pengawal istana. Beberapa kali Oh Kui-hou memperdengarkan suara menirukan burung hantu, agaknya isyarat panggilan untuk teman-temannya dalam istana, namun tak ada jawaban.

Oh Kui-hou akhirnya jadi nekad. Dipilihnya bagian tembok yang paling gelap dan sepi, lalu dilompatinya dengan ringan. Helian Kong pun terpaksa mengikutinya dengan ringan. Helian Kong pun terpaksa mengikutinya diam-diam. Di bagian dalam dinding, nampak Oh Kui-hou berjalan mengendap-endap kian kemari, sekali-sekali ia menyelinap bersembunyi kalau ada pengawal atau abdi istana yang lewat. Dan nampak bahwa Oh Kui-hou kebingungan.

Agaknya selama ini ia belum pernah masuk ke istana, dan sekarang ia bingung melihat kompleks istana itu begitu luasnya seperti sebuah kota tersendiri. Terdiri dari begitu banyak jalan, bangunan, taman kolam, pagoda, paviliun, hutan-hutan kecil buatan dan macam-macam lagi yang tak habis-habisnya. Tak heran kalau Oh Kui-hou jadi bingung.

Diam-diam Helian Kong geli juga. Namun juga "ikut mendoakan" supaya Oh Kui-hou cepat ketemu temannya dalam istana itu. Tetapi sekian lama Oh Kui-hou cuma berputar-putar saja dan makin sering garuk-garuk kepala. Kenapa tidak ditangkapnya seorang pengawal atau abdi, lalu ditanyainya? pikir Helian Kong tidak sabar. Tapi setelah dipikir mendalam, Helian kong pun berpikir pula,

"Oh, akulah yang bodoh. Kalau dia bertanya kepada pengawal atau ditangkapnya, tentu harus menyebutkan nama temannya itu, dan berarti membuka kedok temannya yang sembunyi di istana itu. Bisa saja setelah dijawab terus dia bunuh abdi atau pengawal itu, namun agaknya Oh Kui-hou enggan berbuat demikian."

Karena itulah sekian lama dia cuma bingung saja. Akhirnya habis sabar, Oh Kui-hou nampak mencoret tembok, tentunya semacam bahasa yang diharapkan akan terbaca oleh temannya dalam istana itu. Setelah Itu, Oh Kui-hou pun berkelebat menghilang dari Istana Itu.

Giliran Helian Kong yang bingung sekarang. Mau tetap membuntuti Oh Kul-hou, atau menunggu di situ saja untuk melihat siapa yang bakal membaca rahasia itu? Akhirnya Helian Kong memutuskan untuk tetap di situ. Pertimbangannya, musuh dalam istana lebih berbahaya dari musuh di luar istana, seperti juga penyakit dalam tubuh lebih berbahaya dari penyakit kulit.

Dari "orang dekat Kaisar" itulah paling menyebabkan kebocoran-kebocoran rahasia negara yang paling penting. Maka Helian Kong pun menunggu di balik rumput bunga, memasang mata. Ditemani nyamuk-nyamuk kelaparan.


Di bangsal Tan Wan-wan tidak ada nyamuk, tapi Tan Wan-wan tidak kalah gelisahnya. Malam itu Kaisar tidak bersamanya, sebab sedang mengunjungi perjamuan di puri Ciu Kok-thio, mertua Kaisar, tanpa mengajak Tan Wan-wan. Tan Wan-wan merenung sendirian dekat jendela yang dibukanya lebar-lebar karena gerah. Gerah bukan karena udara di luar yang cukup dingin sebenarnya, namun lebih disebabkan oleh gejolak perasaan sendiri.

Beberapa waktu yang lalu, puri Ciu Kok-thio itulah yang menjadi batu lompatannya sebelum masuk istana. Yang mengatur semuanya itu adalah Ciu Kok-thio, Permaisuri Ciu, Puteri Tiang-ping dan Siang-koan Hi, yang sengaja melakukan itu untuk melepaskan Kaisar dari pesona Kecantikan Tiau Kui-hui. Dan memang berhasil. Setelah mendapat Tan Wan-wan yang lebih muda dan cantik, Tiau Kui-hui yang diperalat Co Hua-sun itupun tersingkir dari sisi Kaisar.

Namun Ciu Kok-thio dan lain-lainnya saat itu belum tahu kalau Tan Wan-wan sebenarnya disusupkan oleh musuh negara nomor satu, yaitu Kaum Pelangi Kuning, dengan tugas mengorek rahasia negara sebanyak-banyaknya lewat mulut Kaisar Cong-ceng.

Kini terjadi perkembangan baru. Kaisar mulai jarang mengunjungi Tan Wan-wan, sehingga Tan Wan-wan berprasangka kalau Kaisar sudah bosan kepadanya. Mungkin kini Ciu Kok-thio menyelenggarakan perjamuan, hanya sebagai alasan untuk menyodorkan perempuan lain kepada Kaisar, mungkin lebih muda dan lebih cantik dari dirinya.

Urutan lakonnya mungkin takkan berbeda dengan lakonnya sendiri sampai terdampar di istana itu. Mungkin akan ada "Tan Wan-wan baru" masuk istana, dan Tan Wan-wan ganti akan memerankan sebagai Tiau Kui-hui yang dicampakkan.

Seandainya demikian, Tan Wan-wan tidak menyesal. Ia ke istana memang bukan untuk adu kecantikan atau bersaing merebut cinta seorang lelaki macam Kaisar, yang berkepribadian lemah, cengngeng, dan "tidak ada apa-apanya" di mata Tan Wan-wan. Kalau Kaisar mau memboyong seribu perempuan cantik ke istana, silakan, ia tidak akan cemburu.

Cuma yang disesalinya kalau ia tidak lagi disamping Kaisar kelak, ia takkan lagi bisa menjalankan tugas demi kaum Pelangi Kuning. Padahal tugas itulah yang membuat Tan Wan-wan merasa hidupnya sedikit berharga, setelah sebagian umurnya dijerumuskan ke dalam lumpur kehinaan. Itu yang disesalinya.

Ia malah berpikiran lebih jauh lagi, jangan-jangan peranannya sebagai mata-mata di istana itu sudah mulai tersingkap? Kalau demikian, pasti hanya hukuman matilah yang menunggunya di depan langkahnya. Sebagai manusia biasa, ia cemas juga, namun tidak sampai panik. Sejak hari pertama ia masuk istana itu, ia sudah tahu segala resikonya.

Saat detik-detik menegangkan itu, la munannya melayang jauh ke masa silam, saat ia masih seorang gadis desa, dan angan- angannyapun sama sederhananya dengan gadis-gadis desa lainnya. Ingin menikah dengan pemuda yang baik, punya anak, membesarkan anak dalam sebuah keluarga yang utuh sampai hari tua. Hanya itu.

Dibayangkan Helian Kong, kekasihnya, betapa berat perpisahannya waktu sang kekasih hendak memenuhi panggilan tugasnya di garis depan. Perpisahan itu belum merupakan puncak malapetaka, sebab Tan Wan-wan masih punya harapan kekasihnya akan kembali dengan selamat.

Kemudian terdengar kabar bahwa pasukan kerajaan di kawasan barat laut terpukul amat parah oleh kaum Pelangi Kuning. Saat itu Tan Wan-wan masih berusaha untuk yakin, bahwa kekasihnya selamat, sebab kekasihnya bukan jagoan sembarangan, melainkan murid terbaik perguruan Tiat-eng-bun di Teng-hong.

Namun orang-orang upahan yang disuruh mencari kabar tentang Helian Kong satu demi satu pulang tanpa kabar menggembirakan. Saat itulah harapan Tan Wan-wan mulai padam sedikit demi sedikit. Hidupnya makin suram ketika ayahnya meninggal, lalu ibunya menyusul. Sehingga hidupnya jadi tergantung sepenuhnya kepada kakak sepupunya yang telah berjanji di depan orang tuanya untuk melindunginya.

Ternyata janji Ting Hoan-wi tidak ada harganya. Kematian paman dan bibinya membuka kedoknya, memperlihatkan wajah aslinya yang serakah. Harta tinggalan paman dan bibinya yang harusnya dibagi dua dengan Tan Wan-wan, dikangkanginya sendiri. Lalu ia sering pergi ke kota untuk berjudi, sampai harta itu habis dan akhirnya hutangnya menumpuk.

Akhirnya Tan Wan-wan pun diserahkan kepada seorang pemuda kaya di Soh-ciu sebagai pembayar hutang. Menjadi isteri pemuda tukang foya-foya itu, Tan Wan-wan tak merasakan kebahagiaan. Ketika pemuda itu kehabisan harta, Tan Wan-wan pun pindah tangan ke seorang germo di Soh-ciu dan ditangani menjadi kembangnya dunia hiburan Soh-ciu.

Di situ pula Tan Wan-wan berkenalan dengan beberapa tokoh gerakan bawah tanah Pelangi Kuning, dan terpengaruh pikiran-pikiran mereka. Ia juga bersimpati kepada Joan-ong Li Cu-seng yang berasal dari kaum terinjak namun lalu bangkit ingin merubah nasib kaumnya. Tan Wan-wan pun diam-diam jadi tokoh Pelangi Kuning. Bukan cuma pengikut, tapi tokoh.

Ketika orang-orangnya Ciu Kok-thio dari Pak-khia muncul di Soh-ciu untuk mencari seorang perempuan cantik yang bisa menandingi Tiau Kui-hui, tokoh Pelangi Kuning di Soh-ciu pun mengatur siasat sehingga Tan Wan-wan lah yang terpilih, sampai menjadi orang dekat di samping Kaisar.

Tan Wan-wan mantap dengan tugas rahasianya itu, sampai beberapa waktu yang lalu ia tahu Helian Kong ternyata masih hidup, dan Tan Wan-wan pun mulai goncang jiwanya. Alangkah jauh kenyataan dari angan-angan. Sepasang bocah dengan impian yang begitu sederhana tentang sebuah keluarga bahagia, ternyata terseret jauh dari yang mereka impikan bersama. Mereka sama-sama terseret arus-arus kekuatan yang berputar dan bertarung, sama-sama berambisi untuk menulis sejarah negeri.

Tan Wan-wan menghembuskan napas beberapa kali, melegakan beban jiwanya. Didengarnya desir langkah lembut di belakangnya, dan terdengar suara Siau-hoa membuyarkan lamunannya,

"Enci Wan-wan, agaknya Oh Kui-hou baru saja berusaha menghubungi kita, tapi gagal. Dia cuma meninggalkan pesan rahasia di tembok."

Tan Wan-wan menoleh, sekaligus ia berpaling dari alam angan-angan ke bumi kenyataan. Angan-angan selalu jauh lebih indah dari kenyataan. Di alam kenyataan, apapun harus dihadapi dengan dingin, tegar, cerdik, tidak boleh cengngeng sedikitpun.

"Apa arti pesan itu?" tanyanya.

"Kita dikhianati orang-orangnya jenderal Gu Kim-sing."

"Hem, tega benar Gu Kim-sing mengkhianati teman seperjuangannya sendiri yang hampir tiba di puncak kemenangan."

"Ya, Oh Hiangcu juga menuliskan pesan Goan-swe Li Giam agar kita hentikan kegiatan, agar jangan sampai jejak kita dilihat musuh. Goan-swe lebih menguatirkan keselamatan kita daripada terburu-buru merebut kemenangan."

Mendengar itu, Tan Wan-wan tidak tahu apakah harus merasa lega, atau merasa hidupnya jadi kosong makna. Lega karena bebas dari tugas yang melelahkan jiwa itu. Namun tugas itu pula yang menjadikan hidupnya terasa berarti tak peduli mengorbankan kehormatannya. Namun kalau tugas itu tidak lagi dilakukan, bukankah dirinya jadi tak lebih dari perempuan peliharaan Kaisar, sekedar pemuas nafsu?

"Syukurlah..." hanya itu yang diucapkan dihadapan Siau-hoa. "Aku sendiri merasa belakangan ini memang kita dicurigai. Mungkin ada beberapa tindakan kita yang ceroboh..."

"Apakah kita lalu akan ditangkap dan dihukum mati, cici?"

"Jangan kuatir, kau dan teman-temanmu tidak. Aku yang akan mempertanggung jawabkannya sendiri."

Siau-hoa tiba-tiba menangis, "Tidak, Cici. Kita semua harus berusaha lari sebelum tertangkap..."

"He, jangan menangis. Mana semangatmu sebagai orang pilihan Goan-swe Li Giam yang gagah perkasa? Jangan menangis...."

"Kita harus melarikan diri, Cici...."

"Sebagai manusia, kita ingin berusaha memperpanjang hidup biarpun hanya sedetik, kalau bisa. Kita akan berusaha, tetapi rencana melarikan diri itu haruslah cermat, tidak boleh gegabah. Tetaplah tenang. Kalau gegabah malahan akan gagal sama sekali....."

"Apa rencana Cici?"

"Sedang kupikirkan. Lebih baik kau tidur dulu...."

Sikap Tan Wan-wan kepada Siau-hoa itu benar-benar seperti sikap seorang kakak kepada adik kecil yang disayanginya. Siau-hoa menunduk dan melangkah pergi, namun tiba-tiba ia berhenti dan berkata penuh tekad, "Kita harus lari bersama. Tapi kalau gagal, aku takkan membiarkan Cici sendiri menghadapi hukuman mati. Aku tidak mau hidup sendiri."

Tan Wan-wan tersenyum haru, lalu ia paksakan diri tertawa dan berkata, "Belum seburuk itu keadaannya. Tidak usah berpikir seseram itu, nanti malahan kau mimpi menakutkan dan menjerit-jerit seperti kemarin malam. Sampai Cun-hoa kaget...."

"Maaf, Cici. Kemarin malam itu mimpiku mengerikan sekali."

"Karena kau terlalu tegang dan banyak pikiran. Kau harus lebih banyak istirahat."

"Baik, Cici....." Lalu Siau-hoa pun tinggalkan Tan Wan-wan.

Tan Wan-wan pun kembali merenung, menatap panorama malam istana. Tetapi beberapa saat kemudian, tiba-tiba ia mengerdipkan matanya kuat-kuat beberapa kali, lalu membelalak memandang keluar. Ada seorang di luar sana. Bukan pengawal atau hamba istana yang memang sering hilir mudik di situ, namun kelihatannya seperti... ya, seperti seorang jembel. Aneh, bagaimana seorang jembel bisa nyasar ke dalam istana kekaisaran? Atau cuma pandangan matanya yang salah lihat karena kelelahan jiwanya?

"Siapa?” tanya Tan Wan-wan lewat jendela.

Tubuh itu bergerak mendekat sambil melepas topi bututnya, dan Tan Wan-wan serasa beku darahnya ketika melihat Helian Kong. Kerinduan dan cinta bergolak, tapi lebih dahsyat adalah kecemasannya. Apakah Helian Kong diam-diam telah membuntuti Siau-hoa, dan sekarang dia tahu siapa mata-mata ulung Pelangi Kuning yang selama ini sembunyi dalam istana?

Akankah cinta Helian Kong berubah jadi benci? Tan Wan-wan sudah siap menghadapi tali gantungan atau kampak pemenggal kepala, tetapi benar-benar belum siap menghadapi kebencian Helian Kong.

Sesaat keduanya saling pandang dalam suasana beku, sampai terdengar suara Helian Kong tergetar, tidak mantap, "Jadi kaukah orang itu? Biang keladi gugurnya ribuan tentara kerajaan di garis depan, karena gerakannya selalu diketahui lebih dulu oleh laskar pemberontak?"

Didengar suaranya, agaknya Helian Kong pun sama tidak siapnya dengan Tan Wan-wan, tidak siap untuk saling membenci. Lama ia melacak siapa mata-mata musuh dalam istana itu, dan setelah ketemu ia tidak sanggup membencinya.

Tan Wan-wan membungkam. Helian Kong mengeraskan suaranya untuk mengusir kelemahan sikapnya. "Kenapa tidak kau jawab? Kau kira aku belum mendengar percakapanmu dengan dayang tadi?"

"Memang akulah orangnya...." akhirnya Tan Wan-wan menjawab.

"Kenapa kau lakukan ini?"

"Kenapa pula mati-matian membela dinasti bobrok yang sudah tak bisa diharapkan untuk kebaikan rakyat?"

Suasana jadi beku kembali, karena kedua pihak hanya saling bertanya, namun tidak mau menjawab. Namun sebenarnya jawaban itu sudah saling mereka ketahui, tanpa terucapkan. Pendirian yang sama kokohnya, itulah jawabnya.

"Kau menyalahkan aku?" Tan Wan-wan memecah kebekuan.

Helian Kong tak mampu menjawab, bagaimana mungkin menyalahkan orang yang yakin kebenaran pendiriannya? Seperti dirinyapun tidak mau disalahkan kalau tetap memegang pendiriannya. la malah balas bertanya, "Sejak kapan kau lakukan ini?"

Tan Wan-wan menjawab sedih, namun tidak minta dikasihani, "Sejak hidupku dihempaskan dan diinjak-injak jadi lumpur oleh beberapa lelaki tak bertanggung jawab. Tapi aku tidak mau jadi lumpur tanpa guna, namun yang menumbuhkan sekuntum bunga indah yang pantas dipajangkan di ruang sejarah. Bunga indah itu adalah kebebasan rakyat dari pemerasan busuk bangsawan-bangsawan yang kau abdi."

"Tapi kau sendiri akan hancur lenyap."

Ternyata kata-kata itu tidak melemahkan Tan Wan-wan, malah dengan mantap ia mengangguk dan menjawab, "Ya, aku tahu. Aku tahu barang-barang yang dijadikan hiasan tentu yang indah-indah saja. Bunga, lukisan, patung yang serba indah. Mana ada orang mau menghiasi ruang tamunya dengan segumpal lumpur?"

Mendengar itu, hati Helian Kong sendiri yang akhirnya luluh. Mana tega ia menyalahkan Tan Wan-wan? Semua orang ingin merasakan hidupnya berharga. Sebagian berhasil, dan sebagian lainnya dipaksa oleh keadaan untuk menjadi tak berharga sampai umurnya habis. Hidup adalah samudera bergelombang, hanya yang kuat yang akan bertahan di permukaan, dan yang lemah akari tenggelam lenyap sampai ke dasar.

"Tidak salah kalau kau pilih jalan hidup yang akan memberikan kebanggaan, tetapi kenapa memilih mengabdi Li Cu-seng?"

"Karena dia adalah lambang golongan yang menderita. Para bangsawan sudah punya beribu-ribu tukang pukul berseragam mentereng untuk menjaga kedudukan dan harta mereka. Maka orang-orang kecilpun perlu ada yang membela."

"Wan-wan tak seharusnya kau..."

"Kakak Helian, tinggalkan aku. Kita sudah bersimpang jalan terlalu jauh....." cepat-cepat Tan Wan-wan berkata sambil menunduk untuk menyembunyikan tangisnya. Kenangan indah masa lalu, bagaimanapun sulit dihapus begitu saja. Angan-angan hidup bahagia bersama sang kekasih masih sering muncul sekali-kali dalam mimpinya, meskipun arus kehidupan ternyata menyeretnya semakin jauh dari impian itu. Tapi impian indah itu tak mudah dihapus.

Tapi Helian Kong tidak pergi, malah maju dan berkata, "Wan-wan, aku senang tadi mendengar pembicaraanmu dengan dayangmu, bahwa kau akan menghentikan kegiatanmu sebagai mata-mata karena diperintah Li Giam. Aku senang mendengarnya. Aku senang, berarti aku tidak perlu lagi bertindak apa-apa terhadapmu lagi. Marilah pergi dari sini, mungkin belum terlambat untuk kita bangun kembali impian indah kita dulu."

"Apa yang dikatakan Ting Hoan-wi tentang diriku?"

"Aku tak percaya semua omongannya. Wan-wan, aku tetap mengharapkanmu."

"Tidak bisa lagi. Terlambat."

"Kenapa?"

"Bukankah tadi sudah kau dengar dari mulutku sendiri, aku ini sekarang cuma segumpal lumpur yang kotor? Kalau aku didekatmu, aku hanya mengotori namamu yang gemilang."

"Wan-wan, kap...."

Entah mendapat kekuatan dari mana, Tan Wan-wan mengusap air matanya, lalu berkata tegas, "Kakak Helian, ketika masih di desa aku tidak dapat berhasil mendapat kepastian tentang nasibmu, harapanku pelan-pelan lenyap. Lalu kedua orang tuaku meninggal. Dan Ting Hoan-wi menjual aku kepada seorang pemuda di Soh-ciu untuk membayar hutang-hutang judinya."

"Keparat. Ting Hoan-wi sekarang dirumahku, aku akan mencincangnya untuk membalaskan penderitaanmu!"

"Tidak perlu. Bagaimana pun hebatnya kau siksa dia, takkan membuatku jadi bersih kembali. Aku sudah ternoda oleh banyak laki-laki. Suami keparat itu kemudian menjualku ke rumah pelacuran."

"Wan-wan!"

"Ya, itulah kenyataannya. Dan di istana ini aku bekerja diam-diam untuk Joan-ong. Karena aku tidak becus apa-apa, dengan apa aku memancing keterangan-keterangan dari mulut Kaisar? Dengan tubuhku pula. Nah, sekarang kau sudah tahu betapa kotornya diriku. Nah, perempuan macam akulah yang akan kau ajak membangun impian indahmu?"

Sikap Tan Wan-wan tegar, suaranya dingin dan nyaris tanpa perasaan. Namun sebenarnya tiap kata-katanya menikam pedih ke hatinya sendiri, sebab tiap patah kata berarti memperlebar jurang antara dirinya dan Helian Kong. Padahal ia tak pernah membenci Helian Kong, sikap dinginnya hanya untuk mendorong Helian Kong menjauhinya dan mencari kebahagiaan sendiri.

"Tidak, Wan-wan. Mari tinggalkan tempatmu yang berbahaya itu. Aku akan menerimamu, sebab semua yang menimpa dirimu bukanlah kesalahanmu."

"Kau keliru. Sebagian memang tak kukehendaki, tapi sebagian langkahku juga aku sadari benar-benar. Aku juga ingin menemukan arti hidup dengan caraku sendiri, tak perduli pandangan orang lain yang menghina. Karena itu pergilah, pilih gadis lain yang sesuai dengan martabatmu."

"Wan-wan, kalau sampai ada yang tahu kegiatanmu sebelum ini, kau akan dijatuhi hukuman mati, biarpun sekarang kau sudah menghentikan kegiatanmu. Saat ini, mumpung baru aku yang tahu, marilah pergi."

"Kau keliru lagi. Sudah banyak yang mencurigaiku, dan kalau ada yang tahu kaulah yang menyelamatkan aku, kau akan ikut repot. Karena itu biarlah kusongsong nasibku sendiri tanpa menyusahkan orang lain, aku sudah siap menerima resiko itu sejak dulu! Pergilah."

"Wan-wan, kenapa kau begitu keras kepala?"

"Helian Cong-peng, ingat bahwa kita sekarang adalah musuh. Aku orang Pelangi Kuning dengan kesadaran penuh, dan kau perwira kekaisaran. Hubungan kita putus sampai di sini. Sebagai perwira kekaisaran kau boleh melaporkan diriku atau mau menangkapku sekarang juga, terserah kepadamu!"

Setelah jawaban keras itu, Tan Wan-wan cepat-cepat menutup jendela, hanya untuk menyembunyikan tangis dan desis pedih, "Semoga kau menemukan kebahagiaan."

Lama di luar tidak terdengar apa-apa, lalu Tan Wan-wan membuka jendela kembali dan melongok keluar. Hanya angin malam menyapanya, tak ada lagi Helian Kong. Kepada angin Tan Wan-wan menitipkan pesannya, "Maafkan aku. Tentu hatimu terluka, namun aku tidak mau kau ikut celaka karena urusanku. Dan hidup bukan untuk mimpi saja, betapapun indahnya. Tapi hdup adalah perjuangan yang kadang pedih."


Di saat yang sama, Siangkoan Yan bergegas datang ke bangsal Puteri Tiang-ping. Masih dalam pakaian ringkasnya yang kena cipratan darah Giam Lui tadi di kelenteng Kim-hong-bio, dan dengan pedang masih tergendong di punggung.

Begitu ketemu Puteri Tiang-ping, ia langsung menceritakan peristiwa di kelenteng Kim-kong-bio itu, diakhiri dengan kesimpulan, "....sayang, tak seorangpun dari para pemberontak itu mau ditangkap hidup-hidup, semuanya memilih mati. Mereka fanatik sekali. Hanya ada seorang pentolannya yang lolos. Seorang bertubuh pendek, kecil, bersenjata sepasang cambuk panjang, lihai sekali silatnya...."

"Sayang....." kata Puteri Tiang-ping. "Tetapi biarpun kau gagal menangkap seorang mata-mata Pelangi Kuning, untuk memastikan keterlibatan Tan Wan-wan, aku masih ada rencana cadangan. Ada hal lain lagi?"

"Ya, tentang Liong Tiau-hui. Selama ini dia menghilang dan kita menguatirkan nasibnya, tak terduga dia sudah memihak pemberontak, dan dia ikut terbunuh di kelenteng itu......" suara Siangkoan Yan terdengar sedih.

Liong Tiau-hui pernah menjadi sahabat baik keluarganya, sesama penentang Co Hua-sun yang berani. Namun kekecewaannya yang begitu besar terhadap pemerintah kerajaan, telah mendorongnya masuk bergabung dengan kaum Pelangi Kuning dan mati sebagai pemberontak pula. Dari pihak kerajaan, kematian itu mungkin dianggap mengecewakan. Tapi siapa tahu Liong Tiau-hui bangga mati secara itu, daripada memakai seragam perwira kerajaan?

"Sudahlah. Memang patut disayangkan kematian Liong Tiau-hui itu...." kata Puteri Tiang-ping. "Tapi kita takkan berhenti melangkah. Akan kita tangkap mata-mata itu, di manapun dia bersembunyi."

"Rencana Cici sekarang bagaimana?"

"Mumpung Hu-hong (ayahanda Kaisar) sedang menghadiri perjamuan di kediaman Kakek, inilah saatnya kita singkirkan Tan Wan-wan."

Wajah Siangkoan Yan menegang, maklumlah urusan itu bukan urusan kecil. Menyingkirkan Tan Wan-wan berarti harus siap menghadapi kemarahan Kaisar.

Melihat kebimbangan Siangkoan Yan, Puteri Tiang-ping berkata, "Tindakan kita ini demi keselamatan Kerajaan Beng, adik Yan. Tan Wan-wan terlalu licin untuk disingkap kedoknya di depan Hu-hong. Terlalu licin. Tetapi aku sudah merasa amat pasti dan harus segera bertindak tanpa menunggu bukti untuk Hu-hong. Harus. Tan Wan-wan mendampingi Hu-hong di ruang Gi-si-pong ketika menulis surat untuk Jenderal Su Ko-hoat. Dia tahu siapa yang disuruh, lewat jalan mana, menyamar sebagai apa, dan kapan berangkatnya. Akibatnya kau tahu sendiri, Adik Yan, utusan itu dibantai di tengah jalan selagi belum jauh dari Pak-khia."

Kini Siangkoan Yan mulai mengangguk. "Nah, mau tunggu apa lagi? Negara ini hampir ambruk, sedang Hu-hong entah kapan bisa diyakinkan. Karena itu, aku sudah siapkan tindakan malam ini juga. Kalau Hu-hong marah, biar aku yang menanggungnya."

"Apa Cici akan membunuhnya?"

"Mengingat Tan Wan-wan pernah berjasa mengendorkan pengaruh Co Hua-sun atas diri Hu-hong, dan juga pernah dengan berani berusaha menyelamatkan Hu-hong ketika Pamanda Seng-ong berkhianat, aku takkan menghukumnya mati."

"Ya syukurlah kalau Cici masih mengasihaninya. Aku pernah mendengar riwayat hidupnya, betapapun juga aku agak kasihan. Pendiriannya yang teguh juga merupakan kebanggaan buat kaum kita yang sering dianggap lemah ini, biarpun dia musuh kerajaan."

"Adik Yan, kau tidak cemburu lagi karena dia bekas kekasih Helian Kong?"

Keruan wajah Siangkoan Yan memerah, lalu mencubit lengan Puteri Tiang-ping. Cepat-cepat Puteri Tiang-ping menjauhkan lengannya sambil tertawa dan berkata, "Sudah... sudah... sudah."

"Sekarang, apa tindakan Cici?"

"Menyembunyikan dia di sebuah tempat rahasia yang sudah kusiapkan di dalam kota ini. Agar tak bisa ditemui Hu-hong atau teman-temannya sesama pemberontak. Itu sudah cukup mengamankan kerajaan, tidak perlu dibunuh."

"Hati Cici sungguh mulia."

"Dan kau juga, adik Yan. Kau tidak menuruti perasaan cemburumu, malahan tidak tega kalau dia dibunuh, itu menandakan kemuliaan dan welas asih hatimu."

"Ya sudahlah. Kita memang harus belajar berbelas kasihan kepada musuh sekalipun, cukup asal Tan Wan-wan dibuat terkurung saja. Kita tidak boleh kejam, agar orang jangan menyangka kita ini cucu-cucu Co Hua-sun."

Kedua gadis itu tertawa. Kemudian Pek-hong bergegas masuk dan berkata, "Tuan Puteri, mereka sudah siap."

"Suruh mereka menunggu di tempat yang ditentukan..." perintah Sang Puteri kepada Pek-hong, dan kepada Siang-koan Yan ia berkata, "Mari kita ke tempat Tan Wan-wan, adik Yan."

"Tidak perlu pengawal? Barangkali Tan Wan-wan dan komplotannya sudah tahu rencana kita lalu menyiapkan perlawanan."

"Tidak perlu. Seorang murid Kim-hian Tojin cukup menjadi pengawalku."

Kedua gadis itupun berjalan ke bangsal Tan Wan-wan. Puteri Tiang-ping sedang sehat belakangan ini, sehingga langkahnya tidak terlalu lambat. Namun toh Siangkoan Yan masih harus menyesuaikan kecepatan langkahnya. Sambil melangkah, Siangkoan Yan bertanya, Cici Ping, bagaimana dengan kesehatan tubuhmu?"

"Terasa enak belakangan ini."

"Kalau urusan ini selesai, cici harus lebih banyak beristirahat, agar kesehatan Cici lebih sempurna."

"Aku tidak mungkin isrirahat, aku merasa harus berbuat sebanyak-banyaknya sebelum waktuku keburu habis."

Mendengar kata-kata yang seolah-olah sudah dekat ajal itu, Siangkoan Yan berkaca-kaca matanya dan berkata, "Jangan bicara seperti itu, Cici. Tidak perlu kau gubris benar ramalan tabib gila itu, bisa juga dia keliru atau ngawur."

Seorang tabib dengan berat hati memang pernah meramalkan bahwa Puteri Tiang-ping karena penyakitnya, takkan bisa melebihi umur dua puluh tahun, dan juga takkan diperbolehkan menikah.

Mendengar suara Siangkoan Yan yang sedih, Puteri Tiang-ping malahan tertawa ringan dan berkata, "Lho, si macan betina dari Bu-tong-pai kok sekarang mewek-mewek mau menangis? Aku sendiri tidak risau omongan tabib itu. Umur panjang ya syukur, umur pendek ya tidak apa-apa. Aku tidak takut mati. Orang mati itu sudah mendapat tempat yang enak kok. Buktinya mereka yang mati kan tidak ada lagi yang kembali ke dunia orang hidup?"

Kelakar itu cuma sanggup membuat Siangkoan Yan tersenyum kecut. "Cici, bagaimana kalau Cici mulai latihan silat sedikit-sedikit untuk menguatkan tubuh? Aku bisa mengajari Cici."

"Ah, mana sanggup aku berlompatan sambil mengayun-ayunkan pedang yang bobotnya cukup berat?"

"Cici kan bisa mulai dengan senam semacam Ih-kin-keng atau Thai-kek-kun, yang gerakannya ringan dan perlahan-lahan. Cici pasti bisa melakukannya dan akan menjadi sehat."

Agar tidak mengecewakan sahabatnya ini, Puteri Tiang-ping pun menyetujui, "Baiklah. Sehabis urusan ini, harap Subo (guru) sudi menerima murid yang tolol ini."

Demikianlah. Mana Siangkoan Yan tahu, bahwa puteri penyakitan itu kelak umurnya justru lebih panjang dari umurnya sendiri, dan menjadi seorang tokoh puncak dunia persilatan yang berjulukan Tok-pi Sin-ni (Biarawati Sakti Lengan Tunggal)?

Memang sebagai biarawati dia tidak menikah dan punya anak, namun seorang muridnya kelak amat mengharumkan namanya, Kang-lam Thai-hiap (Pendekar Besar Kang-lam) Kam Hong-ti yang namanya tertoreh gemilang dalam hikayat rimba persilatan.

Mereka terus berjalan dan beberapa kali mendapat penghormatan pengawal-pengawal istana, sampai nampaklah di depan mereka gedung kediaman Tan Wan-wan yang nampak sunyi-sunyi, saja. Untuk melindungi keselamatan Puteri Tiang-ping, Siangkoan Yan berjalan mendahului dan mengetuk pintu.

Yang membuka pintu adalah Siau-hoa, dayang Tan Wan-wan, yang matanya merah habis menangis. Dia kaget melihat yang datang adalah Siangkoan Yan yang membawa pedang, dan di belakangnya nampak Puteri Tiang-ping.

Menghadapi Puteri Tiang-ping, biasanya Siau-hoa menghormat, tapi kali ini malah berdiri di tengah pintu dengan sikap menantang, "Apakah Tuan Puteri akan menangkap Cici Wan-wan? Kalau demikian, lewati dulu mayatku!"

Mestinya Puteri Tiang-ping marah, namun sikap Siau-hoa yang menunjukkan keberanian dan kesetiaan itu, ia malahan kagum karena jadi ingat dayang-dayangnya sendiri yang juga setia dan berani. Hui-hun bahkan sampai terbunuh ketika menjalankan perintahnya.

Karena itu ia berkata dengan lembut, "Siau-hoa, aku tidak akan menyakiti Ci-ci Wan-wan mu. Kami hanya akan memindahkan Nona Tan Wan-wan dari sini ke tempat lain yang tidak kalah nyamannya, demi mengamankan istana ini."

"Bohong! Tuan Puteri pasti akan memasukkan Cici Wan-wan ke penjara!"

"Tidak. Tapi ke suatu tempat di mana Cicimu akan tetap terpelihara dengan baik. Betapapun kesalahannya, aku tidak dapat menghapus kebaikan Nona Tan kepada Hu-hong di jaman berkuasanya Co Hua-sun."

"Aku tidak percaya..." Siau-hoa bersikeras menghalangi pintu. "Kalian akan mendakwa dan menganiaya Cici Wan-wan Jangan harap bisa menyentuh dirinya selama aku masih di sini!"

Dan dayang remaja itu malahan mengeluarkan pisau belati, namun Siangkoan Yan cepat menyerobot maju dengan sebuah totokan kilat ke pinggang Siau-hoa, yang langsung membuat dayang itu roboh lemas di ambang pintu. Gerakan Siangkoan Yan itu dibarengi teriakan Puteri Tiang-ping, "Adik Yan, jangan bunuh!"

"Tidak, Cici Ping. Cuma lemas sementara waktu."

Puteri Tiang-ping didampingi Siang-koan Yan lalu masuk dengan menyingkiri tubuh Siau-hoa yang masih tergeletak lemas. Sementara dari ruangan dalam, Tan Wan-wan melangkah keluar dengan tenang, ia memberi hormat kepada Puteri Tiang-ping sambil berkata,

"Hamba yang akan mempertanggung jawabkan segala perbuatan hamba, Tuan Puteri. Tapi mohon, jangan sakiti dayang-dayang hamba yang cuma melakukan perintah hamba."

"Jadi kau sudah tahu untuk apa kami datang?"

"Benar Tuan Puteri. Selama ini kita saling mengintai, bukan? Dan hamba tahu akan tiba saatnya bahwa salah satu dari kita akan kalah. Hambalah yang kalah."

Puteri Tiang-ping menarik napas, katanya tulus, "Aku bangga ada seorang kaumku yang sanggup berjuang seberani Cici Wan-wan, dengan pengorbanan yang tak mungkin diberikan oleh kaum lelaki. Cici Wan-wan sesungguhnya telah berhasil berbuat jauh lebih banyak dari kaum lelaki yang cuma pintar mengayun golok."

"Terima kasih, Tuan Puteri."

"Sebagai wanita, aku bangga melihat seorang kaumku seperti Cici. Tapi aku juga Puteri Kerajaan Beng. Cici berjuang untuk Joan-ong, aku berjuang untuk Kerajaan Beng. Kuharap Cici memahami tindakanku."

"Aku paham, Tuan Puteri. Sebagai pejuang di barisannya Joan-ong, aku siap menerima resiko apapun."

"Cici Wan-wan, aku takkan menjerumuskan mu ke kematian, aku hanya akan mencegah Cici lebih banyak membocorkan keterangan-keterangan penting dari istana ini kepada teman-teman Cici. Kami hanya akan memindahkan Cici ke tempat lain, bahkan kalau situasi sudah memungkinkan, kami akan mengantar Cici pulang ke kampung halaman dengan bekal yang cukup."

"Terima kasih untuk belas kasihan Tuan Puteri. Hamba takkan berlagak jadi pahlawan dengan menolak belas kasihan itu. Meskipun kita berada di pihak yang bermusuhan, itu tak menghalangi kekaguman hamba kepada Tuan Puteri, yang biarpun bertubuh kurang sehat, namun gigih membela kerajaan. Hamba katakan ini bukan untuk mengurangi hukuman hamba."

"Terima kasih. Seandainya kita bukan musuh tapi kawan, mungkin kita berdua yang dianggap orang-orang lemah ini bisa menjungkir-balikkan dunia ya?"

Bersamaan Puteri Tiang-ping dan Tan Wan-wan tersenyum. Lalu Tan Wan-wan menyapukan pandangan berkeliling, melihat ruangan itu untuk terakhir kalinya. Kemudian ia melangkah anggun sambil berkata, "Mari, Tuan Puteri. Hamba sekarang adalah tawanan Tuan Puteri dan akan tunduk semua kemauan Tuan Puteri."

Puteri Tiang-ping melangkah mendampinginya, sehingga keduanya berjalan berdampingan seperti bukan musuh. Sebelum meninggalkan ruangan itu, berkatalah Tan wan-wan, "Tuan Puteri, kedua dayang hamba yang bernama Siau-hoa dan Cun-hoa itu memang bersalah, namun hamba yang memerintahkan mereka. Karena itu, hamba mohonkan ampun buat mereka. Kalau bisa cukup diusir saja dari istana ini, tapi jangan dipenjara atau diberi hukuman badan. Semua kesalahan mereka, hamba yang menanggungnya."

"Ya, akupun punya dayang-dayang yang baik dan setia seperti mereka, sehingga akupun mengerti perasaan Cici Wan-wan terhadap mereka. Akan kuberi mereka bekal, kucarikan orang yang bisa dipercaya untuk mengantar mereka sampai ke kampung halaman."

"Terima kasih, Tuan Puteri. Pihakku dan pihakmu bermusuhan, tapi tidak perlu berlomba-lomba menunjukkan siapa yang lebih kejam. Kita berselisih paham karena punya keyakinan sendiri-sendiri yang sebenarnya sama-sama menginginkan kedamaian."

"Aku sependapat."

Indah juga yang dikatakan kedua perempuan itu, sayang mereka berbicara sambil berjalan di tengah-tengah taman bunga yang indah, semerbak di malam yang tenang itu. Jauh dari medan laga. Di medan laga, kedua pihak bertindak sekeras-kerasnya untuk memenangkan perang tanpa menghiraukan caranya. Makin kejam seseorang terhadap musuh, makin dianggap pahlawan oleh teman-temannya.

Sambil berjalan, mereka kemudian tidak lagi bicara soal perang, namun tentang bunga, akan resep masakan, dan Tan Wan-wan sempat menyarankan beberapa ramuan untuk kesehatan musuh besarnya itu, dijawab ucapan terima kasih yang tulus dari sang musuh!

Siangkoan Yan berjalan di belakang mereka. Mulanya ia hanya kagum kepada Puteri Tiang- ping, sebab Tan Wan-wan dianggapnya "kurang berharga". Namun melihat sikap dan ucapan- ucapan Tan Wan-wan, akhirnya Siangkoan Yan mengaguminya juga. Kaum wanita biasanya dicap emosional.

Namun dilihatnya Puteri Tiang-ping dan Tan Wan-wan ternyata sambil tetap memegang teguh pendirian masing-masing yang berlawanan, namun mereka tidak terjerumus ke dalam kebencian antar pribadi. Keduanya lebih kuat menaklukkan diri sendiri daripada kaum lelaki yang saling bacok di medan perang sana.

Akhirnya mereka sampai ke tempat di mana sebuah tandu bertirai rapat sudah menunggu, bersama dua pemikulnya. Puteri Tiang-ping yang semula tenang, tiba-tiba tak bisa mengendalikan perasaannya. Tiba-tiba ia memeluk Tan Wan-wan dan mencium pipinya, sambil menitikkan air mata.

Ia sudah mendengar riwayat Tan Wan-wan yang pahit. Kalau boleh memilih, tentu Tan Wan-wan takkan memilih jalan itu, namun ia tanpa daya terseret nasib sedemikian rupa. Sebagai sesama wanita, Puteri Tiang-ping bersimpati.

Bisiknya, "Aku jamin Cici Wan-wan akan aman sampai ke tempat itu. Dan setiap ada waktu luang, aku pasti akan mengunjungi Cici, agar- Cici tidak kesepian."

Tan Wan-wan balas memeluk rapat, bisiknya, "Maafkan apa yang sudah kulakukan. Kalau Puteri sering mengunjungiku, aku masih punya semangat untuk hidup terus."

"Baik-baiklah menjaga dirimu, Cici."

"Harap Puteri juga menjaga kesehatan baik- baik."

Kedua seteru yang tidak saling membenci itupun saling melepaskan pelukan, lalu Tan Wan-wan dengan tenang tanpa disuruh, masuk ke dalam tandu. Pemikul-pemikul tandu itu menghormat kepada Puteri Tiang-ping, sebab merekalah pengawal-pengawal istana yang menyamar.

Puteri Tiang-ping memberitahu Siangkoan Yan akan tempat yang bakal digunakan "menyimpan" Tan Wan-wan itu, sebab Siangkoan Yan akan mengawalnya sampai ke tempat itu. Kemudian berangkatlah mereka semua. Puteri Tiang-ping menatap tandu itu sampai tak kelihatan, dan mengusap air matanya.

Sementara itu, di dalam tandu yang tertutup rapat, Tan Wan-wan duduk dengan perasaan pasrah. Biarpun tidak melihat, namun ia tahu di samping tandu itu ada seorang gadis yang gagah, melangkah sambil menggendong pedangnya. Siangkoan Yan. Dan pikiran Tan Wan-wan pun melayang kepada Helian Kong.

Setelah cintanya kepada Helian Kong terpotong sebelum sampai ke mahligai rumah tangga, masih akankah ditemui lagi cinta seindah Itu? Tan Wan-wan merenung. Ataukah setelah Ini, dia benar-benar hanya akan menjadi lumpur tanpa arti, sampai sang maut mengambilnya dari dunia?

Ada kalanya ia merasa kuat. Ada kalanya ia merasa dirinya cuma sebuah perahu kecil yang diombang-ambingkan gelombang, akan dihempaskan hancur ke sebuah karang tajam, atau ke pantai kebahagiaan, sepenuhnya benar- benar dalam kuasa sang gelombang. Tiba-tiba Tan Wan-wan menyibakkan tirai tandu dan memanggil, "Nona Siangkoan."

Siangkoan Yan menoleh dan bertanya, "Ada apa, Cici Wan-wan?"

Panggilan itu terdengar tulus dan seperti setitik embun di hati Tan Wan-wan yang gersang. "Adik Yan." kini Tan Wan-wan pun mengubah sebutannya. "Aku cuma ingin memuji keserasianmu ketika berpasangan main pedang dengan Helian Kong, waktu membawa Kaisar keluar dari kurungannya orang-orangnya Co Hua-sun. Mudah-mudahan tidak cuma serasi bermain pedang, tapi juga dalam mengayuh biduk rumah tangga."

"Ah, Cici Wan-wan." desah Slangkoan Yan dengan muka menjadi panas. "Terima kasih."

Seolah-olah kedua wanita itu telah melakukan "serah terima" diri Helian Kong. Boleh saja, memangnya hanya kaum lelaki yang boleh melakukan "serah terima" atas diri seorang wanita? Dan kejadian Itu sekaligus menghapus kecemburuan Siangkoan Yan, sambil merasa malu sendiri kenapa selama ini ia tidak pernah menyampaikan surat-surat cinta Bu Sam-kui? Siangkoan Yan Jadi merasa kepribadiannya kerdil dl depan kelapang-dadaan Tan Wan-wan yang dulu dipandangnya rendah.

Perjalanan malam pun dilanjutkan dengan membisu, hanya derap para pemikul Joli yang terdengar berirama. Sekali-sekali Tan Wan-wan di dalam tandu mendengar derap regu prajurit yang berpapasan. Kebanyakan prajurit-prajurit itu bicara tak keruan sebab memang sedang mabuk.

Namun di suatu jalan yang sepi dan gelap, joli itu tiba-tiba berhenti, sebab di depan joli ada orang menghadang di tengah jalan sambil membentak, "Berhenti!"

Kedua pengawal yang menyamar sebagai pemikul tandu itupun bersiaga, begitu pula Siangkoan Yan yang balas membentak, "Siapa?"

Di dalam tandu Tan Wan-wan bergejolak hatinya. Mungkinkah teman-temannya sesama anggota Pelangi Kuning hendak membebaskannya? ia menyingkap tirai tandu sedikit, namun diluar itu keadaannya terlalu gelap sehingga yang kelihatan cuma bayangan-bayangan pekat. Orang yang menghadang itu nampak berperawakan tinggi tegap.

Sementara si penghadang Itu kaget mendengar suara Siangkoan Yan, sebab sebelumnya la tidak mengenalinya karena gelapnya malam. "Nona Siangkoan, kau?"

Sebaliknya Siangkoan Yan pun Juga mengenali suara Itu, suara orang yang gencar menitipkan surat-surat cinta untuk Tan Wan-wan. "Saudara Bu, kiranya kau."

"Ya." sahut Bu Sam-kui, penghadang itu. "Saudara Bu, kenapa kau menghentikan kami?"

"Maaf, Nona Siangkoan, boleh aku tahu siapa yang di dalam tandu itu?"

Sesaat Siangkoan Yan jadi serba salah. la tahu Bu Sam-kui tergila-gila kepada Tan Wan-wan, sampai hampir kehilangan akal sehatnya. Kalau ia beritahukan yang di dalam tandu adalah Tan Wan-wan, jangan-jangan Bu Sam-kui akan menjadi nekat dan berusaha merebutnya? Padahal penyingkiran Tan Wan-wan dari istana Itu haruslah dirahasiakan rapat-rapat. Jangan sampai Tan Wan-wan diketahui tempatnya oleh Kaisar Cong-ceng lalu direbut kembali.

Selagi Siangkoan Yan masih bingung, tirai tandu telah tersingkap dan terdengar Tan Wan-wan berkata dengan suaranya yang lembut merdu, "Adik Yan, siapa?"

Suara yang langsung membuat Bu Sam-kui kumat sintingnya. Tiba-tiba ia berlutut di tengah jalan, sepasang tangannya mendekap dada, dan berkatalah ia dengan perasaan, "Oh, bidadariku, benarkah itu suaramu yang selama ini kurindukan? Benarkah ini tidak mimpi? Ooo dewi perampas sukmaku, inilah aku, hambamu, pemujamu."

"Mampuslah aku." Siangkoan Yan mengeluh dalam hati. Mau dirahasiakan bagaimana lagi, kalau sudah begini? Sedangkan Tan Wan-wan pun kaget melihat sikap Bu Sam-kui itu, agak takut-takut dia bertanya kepada Siangkoan Yan, "Adik Yan, siapa dia? Apakah dia... dia mabok?"

"Namanya Bu Sam-kui, Cici. Memang dia mabuk, tapi mabuk cinta."

Dan Bu Sam-kui maju dengan berjalan di atas lututnya, mendekati tandu, katanya seperti ratapan para penyair, "Benar, dewiku, aku mabuk cinta karenamu. Oh, pujaanku, bidadariku, matahariku, bulanku, bintangku...aku rela mati kalau kautolak cintaku."

Kedua pemikul tandu itu hampir saja mengusir Bu Sam-kui yang semula mereka sangka orang gila. Tapi setelah tahu bahwa si "gila" itu adalah Panglima San-hai-koan, mereka jadi tidak berani berbuat apa-apa, hanya menahan tertawa mereka kuat-kuat dalam perut, sehingga akhirnya pantat merekalah yang tertawa.

Buat Siangkoan Yan, seandainya Tan Wan-wan cuma sepotong barang mati, tentu akan diberikannya kepada Bu Sam-kui untuk membahagiakan Panglima San-hai-koan itu. Namun Tan Wan-wan adalah seorang manusia, pribadi yang punya kehendak, tidak bisa Siangkoan Yan menyodorkan begitu saja kepada Bu Sam-kui. Karena itu Siangkoan Yan lalu mendekati Bu Sam-kui dan membisikkan beberapa kata ke kupingnya.

Setelah itu, Siangkoan Yan memerintahkan kedua pemikul tandu agar berjalan kembali, dan rombongan itupun melanjutkan perjalanan. Bu Sam-kui ternyata tidak mengejar lagi. Entah "mantera sakti" macam apa yang dikatakan Siangkoan Yan tadi.

Setelah agak jauh, Tan Wan-wan dari dalam tandu bertanya kepada Siangkoan Yan karena tak dapat menahan keheranannya, "Adik Yan, apa yang kau katakan kepadanya, sehingga dia tidak mengejar lagi?"

"Dia mencintaimu, Cici Wan-wan. Lalu aku bisikkan kepadanya... maaf, Cici...."

Tiba-tiba hati Tan Wan-wan merasa pedih, suaranya jadi agak gemetar, "Ya, tidak apa-apa, tidak perlu minta maaf. Memang dia harus diberi tahu siapa diriku sebenarnya, agar. jangan menyangka diriku seorang dewi yang suci tanpa noda. Nanti dia bisa kecewa, maka lebih baik diberi tahu siapa diriku sebenarnya, begitu bukan?"

Siangkoan Yan kaget, tak mengira kalau kata- katanya menimbulkan kesalahpahaman Tan Wan-wan. Cepat-cepat ia membantah, “Tidak, Cici! Aku sama sekali tidak menghina Cici. Aku malah mulai mengagumi Cici, karena seandainya aku yang mengalami perjalanan hidup seperti Cici, aku pasti takkan sekuat Cici. Aku pasti sudah bunuh diri.”

"Jadi apa yang adik Yan bisikkan tadi kepada panglima San-hai-koan itu?"

Siangkoan Yan pikir, kalau tidak dijelaskan terang-terangan, pastilah Tan Wan-wan akan salah paham dan merhsa terhina. Siangkoan Yan merasa tidak tega, perempuan semalang Tan Wan-wan masih harus ditambahi beban kesedihannya. Karena itu diapun mendekatkan kepala ke jendela tandu dan berbisik amat pelan,

"Aku bilang kepadanya, kalau dia mengingini Cici dan benar-benar mencintai Cici, tidak boleh dia mencegat di tengah jalan seperti membegal barang saja. Dia harus datang dengan sopan menurut adat kepada Cici, kalau perlu membawa orang tuanya untuk melamar, dan kalau lamarannya ditolak pun tidak boleh marah."

"Hah?" Tan Wan-wan kaget.

"Dan untuk Itu, terpaksa aku beritahu dia di mana Cici akan ditempatkan oleh Puteri Tiang-ping, agar dia dapat mengunjungimu. Tapi dengan janji bahwa dia tak boleh membocorkan kepada siapa saja."

"Ah, adik Yan, tindakanmu itu tidakkah akan membuat gusar Puteri Tiang-ping?"

"Puteri Tiang-ping baik sekali hubungannya denganku, aku akan menjelaskannya. Dia bukan orang berhati batu, dia tidak akan menghalang- halangi kemungkinan orang mencapai kebahagiaan."

Diam-diam Tan Wan-wan berterima kasih kepada Siangkoan Yan. Tindakan Siangkoan Yan tadi bukan penghinaan, sebab Siangkoan Yan tidak begitu saja menyerahkan dirinya kepada Bu Sam-kui seperti barang mati saja. Melainkan menganjurkan Bu Sam-kui mendatangi Tan Wan-wan sebagai lelaki terhormat kepada wanita terhormat juga.

Sikap Siangkoan Yan itu berarti menempatkan Tan Wan-wan dalam kedudukan yang wajar sebagai manusia, bukan barang. Bahkan Bu Sam-kui juga sudah dipesan tidak boleh memaksa, kalau lamarannya ditolak. "Terima kasih, adik Yan. Bukankah dia itu Panglima San-hai-koan, yang tugasnya adalah menjaga serbuan bangsa Manchu?"

"Benar. Biarpun tingkah lakunya sering agak aneh, namun dia seorang baik...." jawaban Siangkoan Yan itu tak terasa telah mulai bernada "mempromosikan" Bu Sam-kui.

"Tapi kenapa dia tidak di San-hai-koan, malah ada di Pak-khia ini? Apa pasukannya tidak kacau kalau ditinggal komandannya? Dan bukankah membahayakan negara, kalau bangsa Manchu tiba-tiba menyerbu?"

Pemerintah Kerajaan Beng bermusuhan dengan golongan Pelangi Kuning, namun sikap mereka terhadap bangsa Manchu di luar perbatasan, kedua pihak bersikap sama. Yaitu memandang kekuatan dari timur laut yang ekspansif itu sebagai ancaman buat negeri bangsa Han. Karena itulah Tan Wan-wan cemas mendengar Panglima San-hai-koan malah keluyuran di Pak-khia, mengejar-ngejar dirinya.

"Kapan dia mau kembali ke posnya?" tanya Tan Wan-wan, meskipun dalam hati sudah tahu jawabannya.

Dan jawaban itu memang sudah diduganya. Sahut Siangkoan Yan sambil tertawa, "Ya sampai dia menemukan pujaannya dan yakin cintanya diterima. Kalau belum, sekalipun dia digotong ke San-hai-koan, dalam waktu singkat pasti akan kembali lagi ke Pak-khia dengan seribu satu alasan."

Tan wan-wan menarik napas dan menyandarkan punggungnya. Sering dia mengira dirinya terlalu tidak berharga, namun ternyata ia juga menjadi titik pusat urusan-urusan besar beruang-lingkup kenegaraan. Li Giam sendiri mengakui betapa besar jasanya dalam kemajuan laskar Pelangi Kuning. Sekarang, adakah nasib San-hai-koan yang strategis itu juga diserahkan ke tangannya tanpa diminta?

"Aku memang segumpal lumpur kotor karena injakan banyak orang," untuk ke sekian kalinya Tan Wan-wan membayangkan dirinya. "Tapi lumpur ini masih tidak ingin dibuang begitu saja, kalau masih bisa berharga untuk negara, aku siap biarpun akan makin hancur."

Dan sebuah keputusan pun diambil diam-diam dalam hatinya. Akibat dari keputusan itu, beberapa hari kemudian panglima-panglima di ibukota yang menjadi sahabat-sahabat Bu Sam-kui tiba-tiba dipamiti Bu Sam-kui yang dengan penuh semangat akan kembali ke posnya di San-hai-koan. Ya, penuh semangat, tidak lagi ogah-ogahan dengan alasan "masih ada urusan" seperti dulu lagi.

Dan bukan cuma pamitan, tapi teman-temannya pun ditraktir di Ti-ong-cui-lau, entah dapat pinjaman uang darimana. Ia begitu bersemangat, berseri-seri, dan secara mengejutkan dia berkata bahwa dia akan menikah tidak lama lagi. Cuma, kalau teman-temannya bertanya siapa calonnya, Bu Sam-kui hanya tertawa dan tetap merahasiakannya rapat-rapat.

Sikap tutup mulut rapat-rapat itu karena pesan Siangkoan Yan, yang menakut nakuti bahwa Tan Wan-wan akan diambil kembali oleh Kaisar kalau sampai diketahui tempatnya. Dan Bu Sam-kui tidak mau kehilangan, maka dia rahasiakan calon mempelainya rapat-rapat....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.