Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 27

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Seri Pertama, Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 27 Karya Stevanus S.P

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 27

Siangkoan Yan yang juga hadir dalam perjamuan itu, sambil mengawasi gerak-gerik Bu Sam-kui yang ceria, diam-diam merasa bahwa tindakannya menjodohkan Tan Wan-wan dan Bu Sam-kui itu sesungguhnya terlalu berbahaya, terlalu besar resikonya.

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

Tapi melihat Bu Sam-kui begitu berbahagia, Siangkoan Yan ikut lega juga, sambil mendoakan agar Tan Wan-wan pun berbahagia mendapat lelaki yang begitu mencintainya. Untuk membahagiakan orang lain, Siangkoan Yan merasa boleh juga sedikit menyerempet bahaya.

Tidak lama setelah Bu Sam-kui berangkat ke San-hai-koan, di Pak-khia memang berlangsung suatu pernikahan. Tapi mempelai lelakinya bukan Bu Sam-kui melainkan Helian Kong, dan mempelai perempuannya Siangkoan Yan. Cuma sepasang pengantin baru ini kurang beruntung.

Di saat-saat yang seharusnya menjadi bulan madu mereka, kota Pak-khia justru sedang terus-terusan diguncang berita-berita meningkatnya gerakan-gerakan kaum Pelangi Kuning di sebelah barat kota Pak-khia. Sudah terjadi belasan kali bentrokan dengan tentara Kerajaan, dan keadaan makin tegang.

Sebagai seorang panglima, Helian Kong mau tidak mau selalu terlibat dalam situasi itu, tidak peduli ia masih pengantin baru. Untung Siangkoan Yan juga bukan seorang isteri yang manja dan minta ditunggui terus, diapun maklum betapa gawatnya keadaan Ibukota.

Melihat sikap isterinya, Helian Kong yang semula menikah hanya karena dorongan kiri kanan, kini merasa beruntung juga mendapat isteri seperti itu.

Sementara itu, utusan kedua sudah berangkat ke Yang-ciu untuk memanggil Jenderal Su Ko-hoat, dan diharapkan utusan kali ini akan sampai ke Yang-ciu dengan selamat. Tidak semalang nasib utusan pertama yang dibantai di tengah jalan.

Di Pak-khia beredar santer bahwa Li Giam sedang menyiapkan serangan besar ke Pak-khia, dan semua tahu siapa Li Giam. Dialah yang menyapu pasukan kerajaan mulai dari Tongkoan, Hun-ciu, Thai-goan, Ji-lim dan Han-tiong, dan kini Li Giam sudah menggelar pasukannya di sebelah barat Pak-khia.

Namun yang lebih mencemaskan ialah berita bahwa kaum Pelangi Kuning betul-betul sedang mengerahkan seluruh pasukannya ke Pak-khia. Mata-mata kerajaan melaporkan, tiga gelombang pasukan besar Pelangi Kuning sedang bergerak ke timur. Masing-masing dipimpin Gu Kim-sing, Lau Cong-bin, dan gelombang ketiga adalah yang paling dahsyat sebab dipimpin langsung oleh Joan-ong Li Cu-seng.

Pak-khia seperti telur di ujung tanduk, semua orang mengharap agar pasukan Su Ko-hoat cepat-cepat tiba dari Yang-ciu. Sementara pertahanan di luar kota diperkuat, terutama di sisi barat. Jalan-jalan raya yang keluar masuk Pak-khia diawasi dengan ketat.

Namun karena gerakan kaum Pelangi Kuning yang makin gencar hanya di sebelah barat kota, maka Kongsun Hui yang ditugaskan menjaga pertahanan barat itulah yang makin kewalahan. Pertahanannya semakin menyerap tenaga.

Pengerahan pasukan makin giat, makin banyak pula yang gugur di medan laga, sehingga di Pak-khia dan sekitarnya banyak keluarga bekabung. Ada yang dalam satu rumah kehilangan anggota keluarganya dua atau tiga orang sekaligus.

Pagi itu Helian Kong menghadap Jenderal Ou Hin di markasnya, seperti biasa dilakukannya. Saat itu menghadaplah seorang pembawa berita dari sisi barat kota, "Lapor, Goan-swe. Hamba diutus Cong-peng Kongsun Hui untuk melaporkan bahwa pasukan kita di sisi barat terpaksa pagi ini mundur empat li ke arah timur. Semalam terjadi pertempuran lagi."

Ou Hin dan Helian Kong tercenung mendengar laporan ini. Selama ini memang banyak laporan, tetapi hanya melaporkan bentrokan-bentrokan kecil. Tapi sekarang laporannya menyebutkan bahwa pasukan kerajaan harus mundur empat li.

"Sekarang Kongsun Hui di mana?" tanya Ou Hin kepada pelapor.

"Kong-sun Cong-peng mendirikan markasnya di desa Liok-ceng."

Itulah sebuah desa berjarak dua puluh lima li sebelah barat Pak-khia, yang jauh sebelumnya memang sudah disiapkan menjadi kubu pertahanan, seperti juga desa-desa sekitarnya. Ou Hin lalu bangkit dan mengenakan topi besinya, lalu katanya kepada Helian Kong, "Bawa lima ribu pasukanmu, dan ikut aku melihat ke tempat itu."

"Baik, Goan-swe."

Selama ini memang pasukan Helian Kong yang berjumlah lima belas ribu prajurit belum kebagian tugas, masih "disimpan" di tangsinya sambil terus berlatih. Ou Hin tahu kwalitas pasukan Helian Kong, maka pasukan itu dicadangkan untuk kelak menjadi pasukan pemukul balik. Namun dengan perkembangan situasi, Ou Hin merasa sudah perlu mengeluarkan pasukan itu, biarpun belum seluruhnya.

Demikianlah, tak lama kemudian Ou Hin dan Helian Kong telah berkuda keluar dari pintu kota Tek-seng-mui, diiringi lima ribu prajurit yang berbaris tegap. Mereka menuju langsung ke desa Liok-ceng.

Mereka melewati sebuah jalan di tengah- tengah hamparan tanaman gandum, campuran warna hijau dan kuning. Ujung-ujung tangkai anggur yang bergelombang lembut itu sungguh-sungguh indah sekali di mata, seandainya tidak terancam hancur untuk diinjak-injak kaki-kaki mereka yang berperang.

Makin dekat ke garis depan barat, keindahan alam terbuka itu makin terganggu. Sebab di sana-sini nampak jalan-jalan yang diberi rintangan dan dijaga kelompok-kelompok prajurit. Gundukan-gundukan tanah ditumpuk di mana-mana untuk menempatkan meriam-meriam.

Desa-desa yang semula berkesan tenteram, kini dikurung tembok-tembok jelek yang dibuat secara tergesa-gesa dari campuran batu, kayu dan tanah liat. Menara-menara pengintai mencuat di mana-mana.

Helian Kong melihat bahwa pertahanan disebelah barat ini memang dianak-emaskan dibandingkan pertahanan di sisi-sisi yang lain. Semua orang yakin, gelombang serangan musuh yang terhebat akan melalui tempat ini.

Jumlah prajurit pun lebih terpusat di sisi barat ini. Di tiap desa ditempatkan tidak kurang dari tiga ratus prajurit, bahkan ada yang lima ratus, dan setiap kali ditinjau oleh patroli berkuda dari Pak-khia.

Ou Hin dan Helian Kong tiba di desa Liok-ceng, lalu Kongsun Hui menyambutnya dan mengajaknya ke markas yang baru dipindahkan itu. Wajah Kongsun Hui nampak kusut, pas dengan suasana kekalahan di desa itu, di mana-mana nampak prajurit-prajurit yang terluka sedang diobati.

"Bagaimana, Cong-peng?" tanya Ou Hin.

"Payah, mutu prajurit-prajurit baru yang dikirimkan ke garis depan ini...." keluh Kongsun Hui tentang pasukannya sendiri. "Cuma mulut dan perut mereka saja yang besar, dan mereka sigap hanya kalau mendengar tanda pembagian ransum. Sedang dalam pertempuran, Huh!"

"Jangan kecil hati, saudara Kongsun," hibur Helian Kong. "Kita memang kekurangan prajurit dan dengan tergesa-gesa menerima prajurit-prajurit baru tanpa penyaringan yang ketat. Tak lama lagi pasti pasukan Jenderal Su Ko-hoat datang dari Yang-ciu."

"Yah, selain menghibur diri dengan cara demikian, apa lagi yang bisa aku perbuat? Saudara Helian, apakah yang kau bawa ini juga barisan kantong nasi seperti pasukanku?"

"Itu pasukanku." sahut Helian Kong sambil tertawa.

Dengan wajah masam, Kongsun Hui menoleh kepada Ou Hin dan berkata, "Goanswe, di Pak-khia masih banyak pasukan yang bisa diandalkan, terlatih, tertib, tapi kenapa disembunyikan saja? Sedang yang dikirim kemari cuma orang-orang tidak becus!"

Beralasan sekali kejengkelan Kongsun Hui. Sebagian besar pasukannya memang terdiri prajurit-prajurit baru, yang belum lama dilatih perang lalu tiba-tiba diterjunkan ke medan perang yang sebenarnya. Kalau menghadapi lawan berat, banyak yang ingatnya cuma menyelamatkan diri sendiri sehingga barisan jadi kacau.

Ou Hin paham, kalau keluhan itu tidak ditanggapi semestinya, Kongsun Hui bisa patah semangat dan pasukannya akan semakin kedodoran. Karena itu Ou Hin lalu berkata, "Baik, Helian Kong, kau dan pasukanmu membantu Kongsun Hui di sini. Pasukanmu yang masih ditinggal di Pak-khia, nanti sore akan aku perintahkan kemari seluruhnya."

"Baiklah, Goan-swe."

Semangat Kongsun Hui menyala kembali. Ia tahu, Helian Kong berilmu silat tinggi, sedang pasukannyapun amat terlatih. Itulah bantuan yang amat berharga. Kemudian Kongsun Hui menggelar sebuah peta kasar, lalu menunjukkan tempat-tempat kedudukan musuh dan kedudukan pasukannya sendiri. Sambil menjelaskan situasi, tak terasa timbul pujiannya kepada Li Giam, panglima Pelangi Kuning yang bermarkas di Han-tiong.

"Selama ini kita terlalu meremehkan kaum Pelangi Kuning. Sering kudengar rekan-rekan menyebut mereka hanyalah gerombolam tukang copet, pasukan amatir dan kata-kata ejekan lain. Tapi setelah kuhadapi sendiri, aku harus memuji Li Giam. Ia berhasil membentuk laskar yang kompak, trampil dan bersemangat tinggi. Pasukankulah yang justru kedodoran."

Ou Hin mengangguk-angguk sebagai basa-basi saja, dalam hati ia tetap menganggap kata-kata Kongsun Hui itu hanya sekedar untuk mengobati kekecewaannya. Tapi Helian Kong sungguh-sungguh percaya, sebab iapun pernah "mencicipi" kehebatan pasukan Li Giam dalam pertempuran di Hun-ciu.

Ou Hin pun kemudian memberi petunjuk-petunjuk seperlunya, lalu pulang ke Pak-khia bersama pengawal-pengawalnya. Sedang Helian Kong dan pasukannya ditinggal di situ. Sekali lagi Helian Kong mengamat-amati peta sambil menanyakan banyak hal kepada Kongsun Hui.

Sementara di luar markas, terdengar orang-orangnya Kongsun Hui sedang berpesta ramai-ramai menyembelih kambing muda yang dirampasnya dari penduduk setempat. Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara terompet tanduk ditiup mengalun panjang, lalu pendek-pendek.

"Hem, musuh menyerang lagi!" kata Kongsun Hui kaget.

Cepat-qepat Helian Kong memakai topi besinya dan menggantungkan pedangnya di pinggang, sambil berkata, "Saudara Kongsun, biar aku yang menyambut musuh."

"Hati-hati, saudara Helian. Pasukanmu terlatih, aku tahu, tapi pasukan Li Giam pun jangan dipandang enteng."

"Mana berani aku memandang remeh pasukan Li Giam yang pernah mengalahkan aku di Hun-ciu? Aku justru ingin berusaha membalas kekalahanku dulu."

Kemudian Helian Kong membawa pasukannya keluar dari desa Liok-ceng itu. Di luar desa, sejauh mata memandang baru kelihatan lautan ilalang yang berombak lembut, dengan bukit-bukit biru di kejauhan sebagai latar-belakang. Di sana-sini nampak gerumbul-gerumbul hutan-hutan kecil, seperti pulau-pulau di tengah lautan.

Musuh belum kelihatan. Helian Kong lalu membawa pasukannya maju dua li, sambil memerintahkan kewaspadaan tertinggi. Waktu itu, dari depan berlari-lari mendekat dua orang yang berdandan seperti orang-orang desa. Namun ketangkasan dan sikap mereka menunjukkan bahwa merekalah prajurit-prajurit yang menyamar. Merekalah mata-mata Kong-sun Hui. Kedua orang itu berhenti di depan Helian Kong dan heran melihat Helian Kong.

"Kami sudah bergabung dengan Kong-sun Cong-peng, dan sekarang kamilah yang akan menghadapi musuh." Helian Kong menjelaskan, dan menggirangkan hati kedua mata-mata itu, sebab mereka sudah mendengar kehebatan pasukan Helian Kong.

"Kami akan melaporkan gerakan musuh, Helian Cong-peng."

"Katakan."

"Musuh maju sepanjang jalan, langsung kemari. Jumlahnya kira-kira lima ribu orang."

"Seimbang dengan pasukanku. Tidak ada gerakan lain?"

"Kami tidak melihat, juga tidak mendapat isyarat dari rekan-rekan yang mengawasi tempat-tempat lain. Musuh agaknya maju lurus saja, tanpa berusaha membuat gerakan lain."

"Mereka terlalu percaya diri setelah mendapat kemenangan semalam," komentar Helian Kong. Lalu Helian Kong maju pula, sambil memperhatikan tempat-tempat yang dilewatinya. Disuatu tempat yang dirasanya sreg, Helian Kong menghentikan pasukannya, lalu mulai memecah pasukannya menjadi tiga.

Seribu lima ratus prajurit dipisahkan, dan disuruhnya berbelok menyusur tanggul untuk bersembunyi di hutan di depan, di kaki bukit. Seribu lima ratus prajurit lagi dipisahkan, lalu turun ke dalam parit yang airnya setinggi lutut. Kedua komandan pasukan itu dipesan apa yang harus mereka lakukan.

Setelah kedua pasukan itu memisahkan diri, Helian Kong memerintahkan pasukan yang masih tersisa, dua ribu orang, agar bersembunyi di antara lautan ilalang setinggi dada itu. Pasukannya memang terlatih, maka dalam sekejap mata pasukan sebesar itu tiba-tiba seperti lenyap begitu saja, tak seorangpun yang nampak, yang nampak hanya helai-helai ilalang di mana-mana.

Tak lama kemudian, dari ujung barat mulai nampak bendera-bendera melambai, makin dekat, lalu muncul sepasukan orang-orang berikat kepala kuning. Mereka maju tanpa sembunyi-sembunyi, malahan berbaris sambil bersorak-sorak, bernyanyi-nyanyi dan melambai-lambaikan bendera-bendera mereka yang besar-besar.

Geram hati Helian Kong melihatnya, "Kurang ajar, rupanya Li Giam menganggap pasukannya begitu hebatnya, dan menganggap pasukan kerajaan sudah lumpuh karena ketakutan, maka dia maju dengan cara seperti ini. Seperti pawai saja."

Namun Helian Kong tetap menyembunyikan pasukannya, sambil terus mengintai. Ketika musuh cukup dekat, Helian Kong kaget melihat bendera-bendera musuh itu bukan bertuliskan "Li" melainkan "Gu". Memang Li Giam maupun Gu Kim-sing adalah sama-sama panglima kaum Pelangi Kuning.

Namun Kongsun Hui tadi menceritakan kalau yang dihadapinya semalam masih pasukan Li Giam, kenapa sekarang yang muncul adalah pasukan bawahan Gu Kim-sing? Satu jawabannya, itu Gu Kim-sing dan pasukannya sudah menggabungkan diri dengan Li Giam. Berarti makin besar jumlah pasukan Pelangi Kuning, dan makin besar pula ancaman untuk Pak-khia.

"Pak-khia sudah seperti kambing di mulut macan....." pikir Helian Kong. "Gu Kim-sing entah kapan bergabung dengan Li Giam, sehingga Kongsun Hui belum mengetahuinya, sebab tadi ia sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang Gu Kim-sing."

Namun Helian Kong tidak gentar. Bertambahnya kekuatan musuh haruslah dihadapi dengan meningkatnya semangat juang dari pasukannya, sebab ketakutan hanyalah melemahkan perlawanan. Begitu barisan musuh cukup dekat, Helian Kong pun memerintahkan penyerangan.

Serempak pasukannya muncul secara mengejutkan setelah sedetik sebelumnya yang kelihatan cuma helai-helai ilalang. Langsung panah mereka menyambar, hampir sama rapatnya dengan air hujan. Laskar Pelangi Kuning yang oleh Kongsun Hui dipuji "tangguh dan di luar dugaan" itu, tiba-tiba saja tercerai berai menghadapi serangan itu, nyanyian mereka berubah menjadi teriakan-teriakan panik.

Begitu kacau, mereka, sampai Helian Kong sendiri juga merasa diluar dugaan, kenapa pasukan musuh selemah ini? Jangan-jangan yang ini cuma umpan, sedang kekuatan yang sebenarnya masih ada di belakang?

Pasukan Helian Kong terus memanah dengan tangkas berkat latihan keras selama ini. Tangan kiri kokoh mementang busur, tangan kanan tangkas bolak balik mengambil anak panah di bumbung yang digantungkan di pinggang, memasang di tali busur, merentang dan menembakkannya dengan terarah, mengambil anak panah berikutnya di bumbung, begitu terus.

Bahkan mereka memanah sambil berlari mengejar musuh yang mundur kacau dengan meninggalkan teman-teman mereka. Pemimpin pasukan Pelangi Kuning itu adalah seorang bertubuh kekar dan berkulit hitam, lengkap memakai pakaian perang dan menunggang kuda. Namanya Gu Tek-hong, kerabat jauh Gu Kim-sing.

Ternyata begitu pasukannya menjadi kacau, bukannya dia cepat-cepat menertibkan kembali untuk menyusun perlawanan, malah dia ikut bingung lalu buru-buru memutar kudanya dan kabur. Meninggalkan puluhan anak buahnya yang menjadi korban panah sebelum sempat mengadakan perlawanan.

Helian Kong tidak ambil pusing lagi apakah yang diserangnya itu cuma umpan atau penyerang yang sesungguhnya, ia perintahkan menyerang terus. Kemenangan kecil pun akan besar artinya untuk meningkatkan semangat seluruh tentara kerajaan.

Setelah mundur kira-kira tiga ratus meter dengan kacau karena dikejar tanpa membalas, rupanya laskar Pelangi Kuning mulai sadar kalau pengejar mereka ternyata jauh lebih sedikit dari mereka, maka merekapun jadi besar hati kembali. Beberapa anggota laskar yang bersemangat tinggi lalu berseru-seru membangkitkan semangat kawan-kawan mereka.

"Jangan takut! Lawan lebih sedikit dari kita!"

"Ayo, kawan-kawan, pasang perisai dan balik serang!"

"Jangan sampai kita diejek oleh orang orangnya Jenderal Li Giam!"

Gu Tek-hong agaknya juga merasa malu, kalau baru mulai saja sudah sipat kuping. Maka diapun membalikkan kudanya kembali dan meneriakkan perintah, "Lawan! Jangan lari! Tumpas anjing-anjing Kaisar!"

Dilihat dari ketangkasan tempurnya, sebutan "anjing-anjing" rupanya kurang cocok diterapkan untuk prajurit-prajurit Helian Kong. "Serigala-serigala" mungkin lebih cocok. Biarpun cuma dua ribu orang harus menghadapi lima ribu orang, pasukan Helian Kong melawan dengan berani.

Sementara itu pasukan Pelangi Kuning telah berlindung di balik tameng-tameng mereka dan balik menyerbu. Bendera-bendera yang semula diseret mundur, kini diangkat kembali dan digo- yangkan-goyangkan agar berkibar-kibar.

Helian Kong pun Cepat memberi aba-aba pasukannya, "Simpan panah, kita ajari mereka bertempur yang baik!"

Prajurit-prajuritnya meletakkan panah dan menghunus pedang, dan menyongsong lawan yang lebih banyak dua kali lipat lebih. Bentrokan hebat pun pecah di padang ilalang itu. Suasana damai alam terbuka tergusur pergi oleh ribuan orang yang bersorak-sorai untuk saling menghancurkan.

Ribuan senjata menari- nari, berkilat-kilat di bawah matahari, gemerincing berbenturan atau menikam dalam-dalam daging lawan. Ilalang-ilalang rebah terinjak, atau kejatuhan tubuh-tubuh berdarah yang tak bakal kembali.

Biarpun lebih sedikit, pasukan Helian Kong segera menunjukkan kelas mereka sebagai penempur-penempur tangguh. Seperti serigala tak mungkin kalah dari domba-domba, biarpun dombanya berjumlah banyak, demikian yang terjadi di padang ilalang itu.

Prajurit-prajurit itu menerjang dan berlompatan tangkas. Bagian depan laskar Pelangi Kuning segera menjadi bingung menghadapi prajurit-prajurit amat terlatih itu. Di bawah komando Helian Kong yang selalu diteriakkan dengan kata-kata sandi, pasukan itu bertempur tidak sekedar pamer ketahanan fisik atau ketrampilan main senjata, namun juga berganti-ganti siasat yang membingungkan musuh.

Mula-mula pasukan Helian Kong menebar, mengikuti gerak tebaran lawan yang rupanya ingin mengandalkan jumlah untuk "menenggelamkan" arena. Laskar Pelangi Kuning pada awalnya kegirangan ketika melihat lawan mereka ikut menebar, seolah-olah terpancing oleh kehendak mereka.

Namun ketika Helian Kong bersuit pendek, prajurit-prajuritnya yang semula menebar seperti sebuah rantai panjang bersambung, mendadak seperti putus, seolah tiap mata rantai tiba-tiba lepas berhamburan.

Prajurit-prajurit itu masing masing keluar dari barisan dan secara perseorangan menyusup ke dalam musuh, seperti hendak bunuh diri. Gerak rantai panjang berubah menjadi gerak titik-titik air lembut yang meresap tanah.

Begitu melihat cukup banyak prajuritnya yang berhasil menyusup ke tengah barisan musuh, Helian Kong lalu bersuit panjang. Lalu prajurit-prajuritnya yang menyusup itu mendadak berkumpul kembali di tengah-tengah musuh, membentuk regu-regu kecil kompak di tengah-tengah musuh, menggempur ke sana ke mari.

Suatu hal yang tak mungkin terjadi tanpa nyali macan dan ketrampilan hasil latihan yang keras dan berkesinambungan. Maka laskar Pelangi Kuning pun mulai kacau karena ada musuh muncul dl segala arah. Laskar Pelangi Kuning itu memang pernah dilatih perang, namun baru latihan yang amat mendasar, menganggap pihak sendiri dan pihak musuh dibatasi suatu garis dan kedua pihak tinggal saling berusaha merebut atau mempertahankan garis itu.

Namun kini menghadapi siasat ciptaan Helian Kong, dimana musuh bisa diseberang garis, juga bisa di tengah-tengah mereka. Bisa di depan, belakang, kiri atau kanan. Kadang berpencar, kadang bergabung. Maka makin banyaklah anggota laskar Pelangi Kuning jatuh sebagai korban.

Yang paling menakutkan orang-orang Pelangi Kuning itu adalah Helian Kong sendiri, yang tak ubahnya seekor elang menyambar-nyambar kawanan kelinci belaka. Sambaran pedangnya seperti kilat yang tak terelakkan oleh siapapun yang diincarnya, biarpun sasarannya berjarak beberapa meter darinya.

Sejak giat mempelajari isi kitab Ti-at-eng Pit-kip, ilmu Helian Kong memang maju setapak demi setapak, hari demi hari. Dalam hal gerak tipu yang makin lengkap, kekuatan, kecepatan dan tenaga dalam. Lebih-lebih yang dipegangnya adalah Tiat-eng Po-kiam, pedang pusaka perguruan Tiat-eng-bun yang begitu tajamnya.

Dan kini ilmu silat Helian Kong sudah membuat lompatan jauh dibandingkan ketika ia mulai membuka-buka halaman Tiat-eng Pit-kip di kuburan itu. Maka di arena itu Helian Kong tak ubahnya angin pusaran di tengah helai-helai rumput kering.

Laskar Pelangi Kuning yang dihadapinya saat itu memang bukan laskarnya Li Giam yang berjaya sejak dari Tong-koan sampai ke Han-tiong, melainkan laskar Gu Kim-sing yang baru semalam tiba di Han-tiong untuk menggantikan kedudukan Li Giam, sesuai dengan perintah Li Cu-seng.

Dan Gu Kim-sing memang lebih ahli merebut kemenangan dari temannya sendiri dengan cara menyikut dari belakang layar, daripada menciptakan sendiri kemenangan di garis depan. Ketika datang ke Han-tiong menggantikan Li Giam, Gu Kim-sing sudah mendengar kisah kejayaan Li Giam. Tentu saja Gu Kim-sing tidak mau kalah, ia juga merencanakan suatu gebrakan hebat terhadap Tentara Kerajaan, supaya jangan Li Giam saja yang dipuji-puji.

Bermodal laskarnya yang berjumlah besar, masih segar karena baru dibentuk dan dilatih di garis belakang, serta bersemangat menggebu, mulailah Gu Kim-sing menyerang, la sudah mendengar bahwa tentara kerajaan di sebelah barat Pak-khia itu kabarnya cuma "barisan kantong nasi", buktinya Li Giam menang terus dalam belasan kali pertempuran.

Tak terduga siang itu, gebrakan pertama yang dipimpin Gu Tek-hong itu terbentur pasukan Helian Kong, yang jauh dari kesan "barisan kontong nasi", melainkan tangguh dan kompak sebagai perorangan maupun sebagai kesatuan. Malah yang membuktikan diri sebagai "barisan kantong nasi" adalah pasukan Pelangi Kuning sendiri.

Gu Tek-hong tadi sudah membual di depan Gu Kim-sing, katanya akan memukul mundur pasukan kerajaan sampai terkencing-kencing masuk kembali ke Pak-khia. Kini dia sendirilah yang makin bingung melihat barisannya semakin berentakan. Tidak mirip barisan tempur lagi, tapi lebih mirip sekumpulan orang bingung di tengah-tengah pasar yang terbakar.

Apa boleh buat, Gu Tek-hong pun meneriakkan perintah sambil tak lupa menyalahkan anak buahnya, "Mundur! Kalian benar-benar kantong nasi semua!"

Habis itu terus Gu Tek-hong memberi contoh bagaimana caranya kabur. Kuda diputar dulu menghadap barat, lalu disabet pantatnya sekeras-kerasnya dan lari kencang ke arah barat.

Pasukannyapun langsung mencontoh pemimpin mereka, bubar meninggalkan palagan. Tidak sedikit yang saling tabrak, dan banyak yang luka kena senjata teman sendiri.

Helian Kong memang bermaksud memberi pukulan semangat terhadap kaum Pelangi Kuning. Maka biarpun lawan sudah mundur, Helian Kong tidak membiarkannya. "Regu satu tetap di sini untuk mengurus yang luka-luka, selebihnya ikut aku mengejar mereka!"

Pasukanyapun mengejar. Orang-orang Pelangi Kuning banyak yang menebar ke tengah-tengah padang ilalang, namun Helian Kong tidak mempedulikan mereka. Yang dikejar terus adalah pasukan induknya yang berlari sepanjang jalan raya.

Sambil berlari, Helian Kong berkata kepada seorang perwira yang tidak pernah jauh dari dirinya, yaitu yang tugasnya melepaskan isyarat, "Lepaskan panah asap biru."

"Baik, Cong-peng!"

Perwira itupun melepaskan semacam mercon luncur, yang kalau disulut akan meluncur naik dan membentuk tali asap berwarna biru di ekornya. Laskar Pelangi Kuning yang tengah dikejar itu, berharap akan segera memasuki desa kubu mereka yang terdekat. Di situ mereka akan dapat bertahan di balik tembok-tembok desa.

Namun kurang dari beberapa li dari desa itu, dari hutan di depan mereka mendadak muncul sepasukan tentara kerajaan yang langsung menghadang di depan dan menghujani panah. Itulah pecahan pasukan Helian Kong yang semula sembunyi di hutan, dan bergerak setelah melihat asap biru di udara.

Orang-orang Pelangi Kuning kaget dan nekad melawan, mereka kini menghadapi lawan dari depan dan belakang. Dari segi jumlah, sebenarnya laskar itu masih memadai untuk melawan, asal teratur dan bersemangat. Namun keteraturan dan semangat itulah yang sudah lenyap.

Mereka sekarang bukan bertempur untuk menang, melainkan cuma sekedar untuk tetap hidup. Setiap orang dalam laskar yang kacau itu hanya memikir bagaimana bisa keluar dari pasukannya lalu kabur.

Gu Tek Hong pun berseru, "Lepaskan isyarat!"

Kaum Pelangi Kuning pun melepaskan isyarat minta bantuan. Melihat itu, Helian Kong tidak memundurkan pasukannya, malah memerintahkan untuk memperhebat tekanan. Laskar Pelangi Kuning tambah berantakan dan menunggu kehancuran. Saat itulah dari sebelah barat muncul pula sepasukan orang berikat kepala kuning yang langsung menerjang ke arena.

Baru sekarang Helian Kong memerintahkan pasukannya mundur semua. Pasukannya mundur teratur sambil bertahan ketat, bahkan masih sempat mengangkut teman-teman mereka yang terluka.

Sedangkan kaum Pelangi Kuning yang baru mendapat bantuan, ganti mengejar dengan penuh dendam. Teriakan-teriakan pengobar kebencian berkumandang mengiringi gelombang serangan mereka. Tapi gelombang serangan mereka seperti menghempas gugusan karang, mereka tidak mampu mencerai-beraikan pasukan Helian Kong yang kompak dalam satu barisan, biarpun lebih sedikit jumlahnya.

Bahkan sambil mundur pun pasukan Helian Kong beberapa kali mengejutkan pengejar mereka dengan siasat "menyusup-menggumpal-mundur" yang berulang kali dipraktekkan dengan berhasil. Maka pihak pengejar jadi kehilangan lebih banyak korban daripada yang dikejar.

Sementara Helian Kong pun memerintahkan petugas isyaratnya, "Lepaskan panah asap merah."

Mercon terbang yang menimbulkan asap merah pun meluncur ke udara. Begitulah, Helian Kong terus memimpin pasukannya untuk bergeser mundur teratur. Tak lama kemudian, jauh di sebelah barat terlihat asap api yang tebal membubung ke udara. Disusul isyarat bertubi-tubi dari kaum Pelangi Kuning untuk menarik mundur seluruh pasukannya.

Maka Gu Tek-hong yang sedang mengira laskarnya hampir menang, sekarang jadi bingung dan menduga-duga, apa yang terjadi di garis belakang?

Sedangkan Helian Kong tersenyum sendiri. Itulah hasil kerja pasukannya yang menyusur parit tadi, yang memang ditugaskan membakar kubu-kubu pertahanan lawan yang hampir kosong, karena hampir semuanya terpancing keluar oleh pasukannya. Sasaran utama ialah lumbung-lumbung perbekalan.

Terburu-buru Gu Tek-hong membawa seluruh laskarnya untuk mundur, sebisa-bisanya hendak menyelamatkan lumbung-lumbungnya. Dan Helian Kong sekarang yang balik mengejar.

Dalam pertempuran yang cukup lama dan serba bergerak itu, daya tahan tubuh setiap pelaku pertempuran adalah faktor yang menentukan. Tidak ada masalah buat prajurit-prajurit Helian Kong yang sudah sering digojlok latihan-latihan berat, kadang-kadang dari pagi sampai sore tanpa makan siang.

Sebaliknya laskar Gu Kim-sing yang baru dibentuk terus tergesa-gesa dikirim ke garis depan itu segera anjlog staminanya. Maka dalam gerak mundur yang kacau itu, kembali mereka mengalami kerugian berat.

Perlahan matahari menggelincir ke garis cakrawala barat. Tapi warna jingga di sebelah barat bukan hanya karena lembayung senja, namun juga cahaya api yang melalap desa pangkalan kaum Pelangi Kuning.

Pasukan Helian Kong terus memburu, dan di pinggir desa kubu yang terbakar itu, kembali berkobar pertarungan sengit. Kaum Pelangi Kuning mencoba usaha terakhir untuk mempertahankan kubu, yang baru semalam mereka duduki setelah mengusir pasukan Kongsun Hui itu.

Namun usaha mempertahankan itu gagal. Kaum Pelangi Kuning dipaksa meninggalkan desa itu, kabur ke desa berkubu berikutnya. Pasukan Helian Kong kembali merebut desa. Desa itu sendiri bisa dibilang sudah tiga perempat hancur, karena api dan pertempuran.

Helian Kong lalu menyuruh pasukannya membebani desa itu, dan menghibur pasukannya yang tinggal sedikit agar tidak takut. Tapi pengawasan juga ditingkatkan, siapa tahu di antara penduduk itu ada orang-orang Pelangi Kuning yang tidak sempat kabur dan menyamar sebagai penduduk biasa.

Ketika matahari tenggelam, sisa pasukan Helian Kong yang masih tertinggal di Pak-khia, datang bergabung ke desa itu. Di antaranya terdapat seribu prajurit berkuda. Melihat prajurit-prajurit berkuda itu, Helian Kong tertawa dan berkata, "Bagus, kalian datang. Ada pekerjaan untuk kalian malam ini."

Sehabis semua prajurit mendapat ransum jatah makan malam mereka, Helian Kong pun menyiapkan gebrakan berikutnya. Ia ingin memerosotkan semangat laskar musuh serendah-rendahnya. Prajurit-prajuritnya yang telah bertempur seharian, diistirahatkan. Namun pasukan berkuda yang baru datang sore itu dan masih segar, akan mendapat tugas.

Di bawah selubung malam, tanpa obor, keluarlah Helian Kong dan pasukan berkudanya meninggalkan desa itu. Mereka tidak langsung ke barat untuk menerjang garis pertahanan musuh, melainkan memutar sedikit ke selatan lewat jalan-jalan pedesaan.

Beberapa kali mereka bertemu dengan kubu-kubu musuh yang penjagaannya kurang kuat, dan mereka disergap dengan mudah oleh pasukan Helian Kong tanpa sempat memberi isyarat bahaya untuk teman-teman mereka.

Akhirnya Helian Kong dan pasukannya tiba di hamparan sawah ladang yang letaknya di garis belakang musuh. Di sebelah utara hamparan itu nampak kelap-kelip cahaya obor dari sebuah desa berkubu kaum Pelangi Kuning.

Helian Kong lalu membagi seribu prajuritnya menjadi dua. Lima ratus prajurit akan menggempur desa itu tanpa berniat merebut, hanya untuk mengalihkan perhatian.

Sedang lima ratus lainnya harus "panen", merampas sebanyak-banyaknya bahan-bahan makanan dari hamparan tanaman itu, dan yang tertinggal karena tak sempat dipanen haruslah dimusnahkan dengan api. Dengan demikian kaum Pelangi Kuning amat terpukul dari segi perbekalan.

Sebenarnya yang terpukul bukan cuma pihak yang berperang, tapi juga penduduk desa yang susah payah merawat tanamannya. Namun apa boleh buat, perang adalah perang, dan tidak ada tempat untuk rasa belas kasihan. Begitu aba-aba diserukan, menderulah lima ratus prajurit di bawah pimpinan Helian Kong sendiri menyerbu ke desa itu.

Laskar Pelangi Kuning di desa itu tentu saja segera memberi perlawanan dari belakang tembok-tembok pertahanan mereka. Tetapi Helian Kong memang tidak bermaksud merebut desa itu. Ia dan pasukan berkudanya hanyalah melakukan gerak ganggu-dan-lari sambil terus memutari desa itu.

Ulah Pasukan Helian Kong itu baru berakhir setelah melihat nyala api di kejauhan. Itu tandanya separuh pasukannya sudah selesai "panen", maka Helian Kong pun menarik pasukannya menjauhi desa.

Demikanlah, dalam waktu kurang dari sehari semalam, pihak Pelangi Kuning mendapat dua kali pukulan berat. Bukan saja garis depan mereka didorong mundur kembali, tapi sebagian dari tanah sumber perbekalan mereka juga dijarah dan dihancurkan.

Ketika laporan itu sampai ke hadapan Gu Kim-sing yang bermarkas di Han-tiong, segera saja gembong Pelangi Kuning itu mencak- mencak. Mencaci maki anak buahnya, mencaci maki Helian Kong, dan mencaci maki Li Giam yang dikatakannya telah "memberi roti yang isinya batu".

Namun sambil marah-marah, tidak lupa ia berpesan kepada segenap jajaran anak buahnya, supaya berita memalukan itu jangan sampai didengar Joan-ong, dengan ancaman hukuman mati bagi yang membocorkannya.

Sementara itu keesokan harinya Kong-sun Hui menemui Helian Kong di garis depan. Dengan perasaan meluap-luap, Kongsun Hui menjabat dan mengguncang keras tangan Helian Kong sambil berkata, "Luar biasa, saudara Helian! Benar-benar hebat! Kau berhasil mengkocar-kacirkan pasukan Li Giam yang hebat itu! Ha-ha-ha...."

Sikap yeng agak berlebihan itu sebenarnya juga untuk menutupi perasaan rendah diri Kongsun Hui. Kemenangan Helian Kong itu seperti sebuah cermin yang dihadapkan ke wajahnya, untuk melihat ketidakbecusan sendiri. Memang ia menyalahkan "barisan kantong nasi"nya, tapi inti pasukannya itu sebenarnya adalah pasukannya sendiri, dan "barisan kantong nasi" itu hanya tambahan, sebagai pembantu.

Tetapi Helian Kong menerima pujian itu dengan alis berkerut sambil geleng-geleng kepala, "Saudara Kongsun, aku tidak ingin dipuji sebelum jelas."

Kongsun Hui tercengang, "Ah, ada yang belum jelas dalam hal apa?"

"Saudara Kongsun Hui kemarin bilang, yang di depan kita adalah pasukan Li Giam yang tangguh dan di luar dugaan. Ternyata yang kuhadapi kemarin hanyalah pasukan yang begitu gampang digebrak kocar-kacir, meskipun pasukanku lebih sedikit."

Karena sebelumnya memang sudah merasa rendah diri, Kongsun Hui mendadak tersinggung mendengar ucapan Heiian Kong itu. "Helian Cong-peng yang gagah perkasa! Terang- terangan saja kau bilang bahwa aku memang terlalu tidak becus dibandingkan dirimu! Kalau begitu, hari ini juga aku akan ke Pak-khia untuk menghadap Goan-swe Ou Hin, untuk menyerahkan kedudukan dan mengundurkan diri!"

Terus ia sudah bangkit dan berjalan ke pintu, namun Heiian Kong cepat menyusul dan mencegahnya, "Saudara Kongsun, jangan cepat- cepat marah, aku tidak pernah bermaksud begitu. Aku percaya akan ketangguhan pasukan Li Giam, tepat seperti katamu. Bukan sekedar menghibur dirimu, tapi aku sendiri pernah menelan pil pahit dalam pertempuran di Hun-ciu. Pasukanku hancur, dan aku sendiri tertawan."

"Kalau begitu, kenapa saudara Helian berkata seolah-olah tidak percaya bahwa yang mengalahkanku dua malam yang lalu adalah pasukan Li Giam? Padahal kulihat sendiri pasukan musuh mengibarkan benderanya Li Giam, dan pemimpin terdepan pasukan itu adalah pemuda yang pernah menjadi tawanan Co Hua-sun itu, yang lihai sekali dengan sepasang pedang tebalnya. Bukankah dia hulubalangnya Li Giam?"

"Benar, namanya Yo Kian-hi. Musuh lamaku. Aku percaya kata-kata saudara Kongsun."

"Lalu kenapa kau bilang seperti tadi?"

"Sebab yang kemarin kuhadapi bukan pasukan Li Giam, tetapi pasukan Gu Kim-sing. Mutunya jauh di bawah pasukan Li Giam."

Kemarahan Kongsun Hui mereda, setelah tahu bahwa Helian Kong tidak bermaksud merendahkannya.

Sementara Helian Kong melanjutkan kata-katanya, "Itulah sebabnya aku malu menerima pujian saudara Kongsun tadi. Aku akan bangga dan menepuk dada kalau berhasil mengalahkan pasukan Li Giam, tapi apa yang bisa kubanggakan kalau yang kukalahkan cuma laskar amatirnya Gu Kim-sing?"

Kini Kongsun Hui sadar betapa besar arti dibalik urusan itu. Itu berarti pasukan Gu Kim-sing sudah tiba di Han-tiong pula, mungkin bergabung dengan laskar Li Giam. Berarti ancaman terhadap Pak-khia bertambah besar. Inilah rupanya yang menjadi pemikiran utama Helian Kong.

Kemudian terdengarlah Helian Kong mengambil keputusan, "Aku harus tahu apa yang sudah terjadi di dalam barisan pemberontak di Han-tiong. Aku kuatir, jangan-jangan Li Giam sudah tidak di Han-tiong dan sedang menyiapkan serangan ke arah lain? Ini haruslah kupastikan sendiri dengan menyusup ke Han-tiong."

"Tidakkah terlalu berbahaya, saudara Helian? Tidakkah kita tunggu saja kedatangan mata-mata yang akan melaporkan? Buat apa susah-susah sendiri kata Han-tiong?"

Helian Kong geleng-geleng kepala, "Tidak, mata-mata terlalu susah untuk hilir mudik keluar masuk Han-tiong yang tentu dijaga amat ketat. Entah kapan mata-mata kita baru berhasil lolos untuk menemui kita? Lebih baik aku sendiri yang akan menyusup ke Han-tiong malam ini untuk mencari kepastian."

"Hati-hatilah, saudara Helian."

Malamnya, dengan berpakaian ringkas warna hitam, Helian Kong sendirian meninggalkan kubu tentara pemerintah, menuju ka Han-tiong dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya.


Berita kemenangan pasukan Helian Kong seperti angin segar bagi kalangan pemerintahan di Pak-khia, yang selama ini telah sumpeg dengan kabar kekalahan melulu. Di istana kekaisaran, para pembesar sudah siap menunggu Kaisar di aula Gin-loan-tian pagi itu.

Ketika Kaisar sudah muncul dan mendapat penghormatan hadirin, dan duduk di singgasananya, tanpa buang-buang waktu lagi Ou Hin maju dan menjadi pembicara pertama,

"Ampun Tuanku, perkenankanlah hamba melaporkan sesuatu."

"Silakan, Goanswe."

Dengan suara bangga, Ou Hin berkata, "Tuanku, hamba laporkan bahwa pasukan kita yang gagah berani telah berhasil memukul mundur kaum pemberontak di sebelah barat kota. Yang berjasa besar dalam kemenangan ini adalah Cong-peng Helian Kong."

Selama ini Kaisar Cong-ceng memang mendengar laporan kekalahan saja, sehingga ia "bertambah langsing". Kini mendengar laporan Ou Hin itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, wajah Kaisar tersenyum lebar. Sambil mengusap jenggotnya, ia menoleh kepada Siangkoan Hi, sambil berkata,

"Siangkoan Thai-siang, sampaikan salam pribadiku untuk menantumu yang hebat itu. Kalau jasanya cukup besar, aku mempertimbangkan untuk menganugerahkan gelar kebangsawanan kepadanya. Sehingga cucu-cucu luarmu kelak juga akan mewarisi gelar itu turun-temurun."

Cepat-cepat Siangkoan Hi menghaturkan terima kasihnya dengan wajah berseri. Selesai laporan Ou Hin, seorang bangsawan minta diijinkan bicara. Dialah Pangeran Tek-ong, masih sepupu jauh Kaisar Cong-ceng. Di kalangan bangsawan ibukota, ia dikenal keahliannya menulis karangan, dan karangannya selalu penuh kalimat-kalimat hebat, huruf-hurufnya juga indah.

Ketika pemberontakan Li Cu-seng baru dimulai, Pangeran Tek-ong dengan bangga mengedarkan tulisannya yang berjudul "Delapan Belas cara membasmi pemberontakan sampai ke akar-akarnya". Dalam suatu perjamuan mewah para bangsawan, tulisannya dibacakan, diedarkan, dibahas, dan berakhirlah nasibnya dalam lemari arsip.

Tahu-tahu pemberontakan berkembang dan meluaskan wilayah dengan pesat, agar tidak ketinggalan jaman, cepat-cepat Pangeran Tek-ong menulis "Tiga puluh enam cara mempertahankan wilayah kekaisaran dari pengaruh pemberontak".

Kembali tulisan itu dibacakan, diedarkan, dibahas panjang lebar dalam suatu pesta bangsawan, dipuji-puji keindahan bahasanya dan hurufnya, lalu naskah itupun menyusul "kakaknya"nya yang sudah lebih dulu menghuni lemari arsip untuk dihidangkan kepada sang rayap-rayap.

Tiba-tiba laskar pemberontak makin maju ke Pak-khia, hampir saja Pangeran Tek-ong mengangkat penanya kembali. Menurut dugaan banyak orang, tulisan itu akan diberi judul "Tujuh Puluh Dua cara untuk kabur dari Pak-khia," yang pasti akan dibahas jauh lebih serius dari dua tulisan sebelumnya.

Di aula Gin-loan-tian itu banyak panglima tempur yang sudah kenyang pahit asamnya medan tempur yang sebenarnya. Maka mereka juga sudah tahu siapa Pangeran Tek-ong, yang diam-diam mereka ejek sebagai "panglima perkasa di atas kertas". Namun toh Kaisar Cong-ceng memberi ijin Pangeran itu untuk berbicara.

Dengan gagahnya, Pangeran Tek-ong mulai berpidato dengan penuh gaya, "Terima kasih atas kesempatan yang tuanku berikan kepada hamba, sebelum dan sesudahnya hamba mengucapkan beribu-ribu terima kasih untuk kesempatan ini. Sungguh suatu kesempatan yang membahagiakan hamba. Tuanku Yang Mulia, yang selalu hamba muliakan, para panglima tentara yang gagah perkasa dan termasyur penuh pengabdian membela negara, dan para pembesar sipil yang adil dan amat dihormati rakyat, pelindung pelindung rakyat yang bijaksana. Berabad-abad yang lalu Kaisar Hong-bu mendirikan kerajaan ini dengan darah dan keringat, tak bisa diingkari pula pengorbanan para patriot. Sungguh-sungguh beliau adalah seorang teladan."

Kalau didengar gelagatnya, jangan-jangan bangsawan ini akan menguraikan sejarah raja-raja Kerajaan Beng satu persatu, secara panjang lebar. Karena itulah Ou Hin dan beberapa hadirin lainnya secara serempak tiba-tiba terbatuk-batuk keras. Belum pernah dan tidak akan pernah lagi mereka batuk sekompak itu. Suara batuk-batuk mereka segera menghentikan kalimat-kalimat hebat Pangeran Tek-ong.

Wajah Pangeran Tek-ong memerah sedikit, sadar kalau disindir. Maka bicaranyapun diperpendek dan segera menunjukkan maksud yang sebenarnya, "Tuanku, mengingat kemenangan Helian Cong-peng ini sungguh berarti buat keagungan dinasti kita, hamba merasa diri hamba haruslah bisa menghargai jasa Helian Cong-peng. Hamba mohon diijinkan menyelenggarakan perjamuan besar di kediaman hamba untuk menghormati Helian Cong-peng!"

Hampir saja Kaisar menyetujui permohonan itu, namun Ou Hin cepat-cepat berkata, "Ampun Tuanku, hamba mohon diperkenankan menyampaikan pendapat."

"Coba katakan."

"Tuanku, harapan menang kita timbul kembali setelah kemenangan Helian Cong-peng, kita memang patut gembira, tapi haruskah dengan pesta besar? Di kota sekarang bahan makanan terbatas jumlahnya, karena kepungan pemberontak menyulitkan pemasukan bahan dari daerah lain, banyak rakyat kekurangan makan, hamba rasa bukan pada tempatnya kalau kita boroskan bahan makanan dengan pesta-pesta besar. Nanti penduduk kota akan membenci kita, lalu bersimpati kepada Li Cu- seng."

Banyak Panglima mendukung pendapat Ou Hin itu. Selama ini memang para bangsawan kebanyakan pesta sehingga menimbulkan gerutuan rakyat Pak-khia. Hampir tiap malam ada pesta di kediaman para bangsawan, tempatnya bergantian. Semuanya berlomba-lomba menyelenggarakan acara-acara hiburan baru yang akan banyak biaya.

Keruan wajah Pangeran Tek-ong jadi masam mendengar pendapat Ou Hin itu. Ia menoleh ke arah bangsawan-bangsawan gendut lainnya, teman-teman pestanya, mencari dukungan suara. Lalu katanya,

"Tuanku, kalau menurut pandangan Ou Goan-swe, seolah-olah kita sudah begitu paceklik bahan pangan, sehingga menyelenggarakan suatu perjamuan sederhana saja sudah membuat orang lain kelaparan. Ou Goanswe seolah-olah tidak percaya akan kekokohan pemerintah Tuanku, menganggap kita semua hampir ambruk karena kelaparan. Ucapan ini kalau didengar rakyat tentu tidak baik akibatnya, menimbulkan rasa kecil hati mereka. Justru kita harus menunjukkan kalau kita masih makmur berlimpah-limpah!"

Kata-kata itu mendapat dukungan para bangsawan lain.

"Aku tidak kuatir Tuan-tuan ambruk kelaparan, tapi ambruk kekenyangan...." kata Ou Hin tajam. "Namun buat jajaran prajuritku, pendapatku tetap, bahwa pemborosan adalah pengkhianatan!"

Kini giliran para panglima yang bersuara mendukung Ou Hin. Kaisar jadi susah memutuskan selisih pendapat antara kedua golongan itu. Namun mengingat bahwa dalam situasi saat itu negara membutuhkan kesetiaan golongan militer.

Akhirnya Kaisar menyetujui pendapat Ou Hin, meskipun harus mengecewakan kaum bangsawan. Kaum militer harus lebih diberi hati agar bertempur melawan musuh sepenuh hati, dibandingkan kaum tukang pesta itu.

Sidang ditutup, Kaisar meninggalkan singgasana dengan menerima penghormatan semua hadirin. Setelah bubar dari istana, para bangsawan yang kecewa itu lalu berkumpul di kediaman Pangeran Tek-ong untuk membicarakan "nasib malang" mereka. Tidak boleh pesta berarti tidak ada hiburan, dan itu sungguh merupakan siksaan maha berat buat orang-orang yang gemar bersuka ria itu.

Kata seorang bangsawan, "Aku tidak suka hal ini. Hak-hak istimewa kebangsawanan kita jadi tidak berarti. Coba pikir, sudah banyak tanah kita di luar kota yang hasilnya harus disetorkan sebagian untuk ransum tentara, sekarang kita ingin sedikit kegembiraan saja dilarang. Ini keterlaluan! Aku jadi tidak betah lagi tinggal di Pak-khia!"

Yang bicara itu bernama Han Tui, mewarisi gelar "Kong-kong" dari leluhurnya, sehingga sering dipanggil Han Kok-kong. Gelar itu diterima oleh kakek buyutnya di jaman Kaisar Seng-ong, sebab jasa kakek buyutnya terhadap negara. Sedang ketika gelar turunan itu sampai kepada Han Kok-kong, dia tidak berbuat apa-apa buat negara, melainkan menikmati hak-hak istimewanya semaksimal mungkin.

Kini ia merasa amat terganggu, sebab golongan militer cuma memikirkan ransum tentara, tanpa menggubris hak-hak istimewa kaum bangsawan.

Kemudian Han Kok-kong berkata pula, "Aku dengar gelombang besar laskar pemberontak sedang menuju kota ini. Meskipun sekarang orang Liao itu berhasil menahan untuk sementara, tapi sampai berapa lama lagi? Kota ini tidak aman lagi!"

Yang oleh Han Kok-kong disebut "orang Liao" dengan nada menghina itu tak lain adalah Helian Kong. Orang-orang yang hadir terpengaruh oleh kata-kata Han Kok-kong itu, dan menjadi ribut.

"Han Kok-kong betul sekali! Kaum militer membualkan kemenangan kecil mereka di hadapan kaisar, agar mereka mendapat alasan untuk dapat menggerogoti hak kita!"

"Bukan cuma hak-hak istimewa kita, bahkan keselamatan kitapun diabaikan. Beberapa malam yang lalu, gudang berasku dibobol maling. Aku minta kepada Ou Hin agar tempat itu setidak-tidaknya dijaga seratus prajurit, tapi dia cuma mengirim sepuluh prajurit. Keterlaluan tidak? Alasannya, para prajurit lebih diperlukan di garis depan."

"Keselamatan kita diabaikan oleh Ou Hin! Padahal kita berhak!"

"Benar, agaknya biarpun leher kita digorok orang-orang Pelangi Kuning, Ou Hin pasti akan pura-pura tak melihat! Mungkin malah senang, sebab dia lalu dapat merampok milik kita!"

Begitulah para bangsawan itu ribut-ribut soal hak mereka, dan tidak satupun yang menyebut-nyebut kewajiban mereka. Kemudian terdengar kata-kata Han Kok-kong keras,

"Aku akan pergi dari Pak-khia! Aku tidak tahan lagi hidup terlalu diatur oleh orang-orang sok pahlawan itu!"

"Paduka Han, bagaimana dengan semua kekayaanmu di Pak-khia ini? Tanahmu dan tempat-tempat usahamu?"

"Akan kuwakilkan kepada seorang kepercayaanku untuk, mengurus, aku sendiri akan ke Lam-khia, dengan apa yang bisa kubawa. Untung selama beberapa tahun ini sudah banyak kutanam modalku di Lam-khia, jadi aku tidak perlu takut kelaparan di sana. Ha-ha... lagi pula keadaan di sana lebih aman."

"Memang gebrakan kaum Pelangi Kuning hanya berpengaruh di belahan utara, sedang di belahan selatan tak ada pengaruhnya. Maka kalau mau menghindari ancaman Pelangi Kuning, wilayah selatanlah tujuan pelarian yang tepat."

Gagasan Han Kok-kong segera mendapat sambutan hangat dari teman-temannya. Pangeran Tek-ong pun berkata bersemangat, "Bagus, saudara Han, besok kita berangkat bersama-sama!"

Merekapun menyiapkan diri untuk pelarian itu. Bukan cuma harta dan anggota keluarga yang mereka persiapkan, namun soal pengawalan untuk keamanan perjalanan pun mereka siapkan. Selain menggaji jago-jago bayaran, mereka juga berhasil membujuk beberapa komandan pasukan yang masih ada hubungan keluarga dengan mereka, untuk mengawal sampai ke tujuan dengan pasukan mereka. Tentu saja hal ini juga tidak gratis.

Beberapa hari kemudian, rombongan "pengungsi ningrat" itupun meninggalkan Pak-khia. Sebuah rombongan besar yang terdiri dari kereta-kerata indah, gerobak-gerobak penuh harta benda, ratusan hamba-hamba dan ribuan prajurit. Rombongan itu baru rombongan pangeran Tek-ong dan Han Kok-kong yang akan menuju Lam-khia. Bangsawan-bangsawan lain akan menyusul kemudian.

Rombongan itu dengan aman melewati pintu kota dan beberapa kubu pertahanan di luar kota. Prajurit mana berani menghalangi mereka? Paling banter para prajurit itu cuma merasa iri dalam hati terhadap rekan-rekan mereka yang terpilih diajak mengungsi itu.

Namun ketika Jenderal Ou Hin diberi tahu, dia menjadi gusar sekali, "Bedebah! Apa saja isi pikiran mereka kecuali kepentingan diri sendiri? Tidakkah mereka sadar kalau tindakan mereka itu memperlemah pertahanan di ibukota ini? Berapa ribu prajurit mereka suruh mengantar, sementara kita di sini harus menghadapi laskar pemberontak yang meningkat jumlahnya? Lagipula pengungsian itu akan menurunkan semangat tentara, menimbulkan kesan seolah-olah kita akan kalah!"

Tidak peduli dalam rombongan itu ada Pangeran Tek-ong, kerabat istana, Ou Hin menyiapkan tiga ribu tentara berkuda dan segera mengejar mereka lewat pintu kota selatan. Semua prajuritnya membawa senjata lengkap, Ou Hin sendiri membawa golok Ceng-liong-to, golok yang bertangkai sepanjang tombak.

Usia Ou Hin sudah enam puluh tahun, namun tubuhnya tetap terjaga oleh latihan-latihan silatnya. Kini ia berpacu di atas kuda dalam pakaian perang, jenggotnya yang putih melambai itu tidak menimbulkan kesan loyo, malahan menambah wibawanya.

Sampai di luar gerbang kota, ia memerintahkan pasukannya berkuda lebih cepat, bumi pun menderu oleh hentak ribuan kuda perang yang berpacu itu. Pengawal pintu gerbang kota maupun pasukan di kubu-kubu luar kota menjadi heran melihat Ou Hin lewat seolah-olah akan berangkat ke medan tempur.

Ketika sampai di sebuah dataran luas, sepuluh li dari Pak-khia, rombongan bangsawan itu sudah kelihatan di kejauhan. Rombongan yang sarat dengan barang bawaan itu sudah tentu tak lepas dari kejaran pasukan Ou Hin yang bergerak secepat angin puyuh.

Tak lama kemudian, merekapun tersusul. Rombongan bangsawan itu berhenti. Pangeran Tek-ong, Han Kok-kong dan pasukan pengawal rombonganpun memutar kuda untuk menyongsong Ou Hin. Si jenderal tua yang berangasan itu tak mau bicara bertele-tele, langsung saja goloknya diacungkan sambil membentak,

"Kembali ke Pak-khia, atau aku tumpas di sini!"

Dengan wajah merah karena tersinggung, Pangeran Tek-ong balas membentak, "Ou Hin, apakah kau sadar sekarang ini sedang berhadapan dengan siapa?"

"Dengan seorang bangsawan...."

"Ya, dengan seorang kerabat Kaisar!" Pangeran Tek-ong melengkapi ucapan Ou Hin. "Seorang keturunan Cu Goan-ciang, leluhur pendiri negara ini! Beranikah kau bersikap sekasar itu?"

Gertakan macam ini boleh jadi mempan kepada prajurit-prajurit rendahan, tapi tidak kepada Ou Hin, "Bagus, jadi Pangeran tahu dirimu adalah keturunan Kaisar Hong-bu yang dulu dengan gagah perkasa mengusir orang-orang Mongol untuk mendirikan dinasti Beng? Bagus kalau masih ingat. Sekarang aku bertanya, ribuan prajurit di Pak-khia sekarang ini mempertaruhkan nyawa untuk siapa? Untuk diri mereka sendirikah?"

Pangeran Tek-ong bungkam. Sedang Ou Hin tertawa mengejek dan melanjutkan, "Sulit menjawab? Baik, aku yang menjawabnya. Para prajurit siap mengorbankan nyawa demi mempertahankan negara yang dulu didirikan oleh leluhur Pangeran! Dan Pangeran sendiri sebagai Keturunan Kaisar Hong-bu, berbuat apa? Lari terbirit-birit!"

"Aku tidak lari! Aku akan mengobarkan perlawanan di wilayah selatan!" Pangeran Tek-ong ngotot, meskipun alasannya itu kedengaran amat tidak meyakinkan.

"Mengobarkan perlawanan, atau berpesta?"

"Kalau tidak percaya, tanyalah Komandan Kian ini!" sahut Pangeran Tek-ong sambil menunjuk komandan pasukan yang akan mengawalnya sampai ke Lam-khia.

Seorang "saksi" yang adalah kaki tangannya sendiri, mana bisa dipercaya? Hal itu malah menambah kegusaran Ou Hin. Pandangan dialihkan kepada si komandan Kian, dan membentak, "Kian Heng, kau tahu peraturan tentara tidak?"

"Paham, Goan-swe. Tet... teta... tetapi aku hanya...."

"Kau sebagai perwira, telah memberi contoh buruk untuk anak buahmu. Tanpa ijin kau menggunakan pasukan untuk hal yang tidak diperintahkan, mementingkan diri sendiri. Tindakanmu adalah pukulan untuk semangat seluruh pasukan."

"Aku.... aku diminta oleh Pangeran untuk..."

Ou Hin memajukan kudanya secepat kilat, goloknya berkelebat membelah tubuh Kian Heng dari pundak kanan ke pinggang kiri, lurus dan tajam. Kian Heng jatuh dari kuda dalam keadaan terpotong dua. Ou Hin terpaksa bertindak keras, karena tanpa contoh itu, pasukan kerajaan akan kehilangan ikatannya. Semua bertindak menurut pertimbangan sendiri-sendiri.

Melihat itu, muka Pangeran Tek-ong dan Han Kok-kong menjadi sepucat mayat, bibir mereka bergerak-gerak tanpa keluar suaranya. Ou Hin berkata kepada semua prajurit anak buah Kian Heng, "Itu hukuman untuk siapapun yang melanggar disiplin. Selagi semuanya bertaruh nyawa di Pak-khia, malah mau pergi dan enaknya sendiri saja...."

"Tetapi aku bukan prajurit, aku... aku...." Pangeran Tek-ong mulai mendapat sedikit keberanian untuk bicara. "Kami tidak dapat dikenai peraturan tentara, kami punya hak istimewa yang sudah diakui sejak dulu...."

"Aku takkan menghukum Pangeran menurut peraturanku, aku hanya mengatur prajurit-prajuritku. Aku tidak mengijinkan satu prajurit pun meninggalkan Pak-khia! Kalau Pangeran dan Paduka Han mau pergi melanjutkan perjalanan, silakan. Pergilah dengan orang-orang kalian sendiri, bukan prajurit-prajuritku."

Kedua bangsawan itupun termangu-mangu, sampai Han Kong-kong berkata perlahan kepada Pangeran Tek-ong, "Tanpa pengawalan pasukan, terus terang saja aku tidak berani jalan terus. Lebih aman tetap di Pak-khia, sementara tidak pesta ya tidak apa-apa.”

Sahut Pangeran Tek-ong, "Kenapa takut? Wilayah selatan aman, sebab panglima-panglima kerajaan di sana bekerja dengan sungguh-sungguh, tidak seperti di sini, cuma banyak lagak saja.”

Ou Hin tidak menggubris sindiran Pangeran Tek-ong itu. Sedang Pangeran Tek-ong berkata terus, "Aku akan melanjutkan perjalanan, dan kelak saudara Han aku kirimi surat dari Lam-khia...!"

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.