Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 28

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Seri Pertama, Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 28 Karya Stevanus S.P

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Jilid 28

Lalu tanpa bicara sepatah katapun kepada Ou Hin, Pangeran Tek-ong membawa rombongannya meneruskan perjalanan. Biarpun tidak lagi dikawal pasukan, namun masih ada tukang-tukang kepruk bayaran yang berjumlah seratus orang lebih, dan hamba-hamba yang bersenjata. Sedang Han Kong-kong kembali ke Pak-khia dengan kecewa. Ou Hin tidak peduli seandainya kelak para bangsawan itu mengadu kepada Kaisar.

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S P

Malam harinya, beberapa hamba pengiring Pangeran Tek-ong kembali ke Pak-khia dalam keadaan compang-camping dan luka-luka, menunggang kuda pinjaman dari pos tentara, menghadap Jenderal Ou Hin di markas.

Mereka menceritakan, bahwa Pangeran Tek-ong dan rombongannya telah dihadang kaum Pelangi Kuning dan dibantai tanpa ampun! Bahkan laskar Pelangi Kuning yang berjumlah amat banyak meneruskan gerakan menerjang ke Pak-khia! Dari arah selatan.

Ou Hin tersentak mendengarnya. Pasukan musuh muncul dari selatan, padahal selama ini hampir semua kekuatan tentara kerajaan dipusatkan di barat, karena memperhitungkan sisi arah itulah yang akan diterjang pasukan musuh, sedang pertahanan di selatan jelas tidak siap menghadapi gempuran pasukan besar.

"Sungguh lihai bajingan-bajingan Pelangi Kuning itu, dan mata-mata kerajaan terus saja memperlihatkan ketololan dalam kerja mereka!" kutuk Ou Hin sambil menggebrak meja. "Panggil semua komandan pasukan kemari, sekarang juga!"

Prajurit yang disuruh pun berlari-lari menjalankan tugas. Tidak lama kemudian, para komandan pasukan sudah tiba di depan Ou Hin dan berderet-deret tegap. Wajah-wajah tegang mereka nampak berkilat oleh keringat, di bawah cahaya lilin di ruangan itu.

Dengan singkat Ou Hin membeberkan situasi, lalu mulai membagi perintah, "Secara umum kutetapkan bahwa pihak kita hanya akan mengulur waktu sampai datangnya pasukan Jenderal Su Ko-hoat dari Yang-ciu. Le Koan-wi, bawa pasukanmu ke sebelah timur kota dan bergabunglah dengan pasukan Yao Leng yang sudah di sana lebih dulu. Awasi jalan-jalan raya dari arah timur."

"Baik, Goan-swe." sahut Le Koan-wi, dan malam itu juga ia membawa pasukannya keluar kota, ke sebelah timur.

Kemudian Ou Hin berkata pula, "Song Liong, bawa pasukanmu ke sebelah barat kota dan bergabunglah dengan Kongsun Hui. Tapi sampaikan perintahku agar Helian Kong segera meninggalkan kedudukannya sekarang, dan seluruh pasukannya harus sudah ada dalam kota sebelum fajar!"

Song Liong pun berangkat menjalankan perintah. Kemudian Ou Hin memerintahkan agar meriam-meriam dinaikkan ke atas tembok kota, dan panglima-panglima yang belum kebagian tugas agar bersiaga setiap waktu menunggu perintah.

Tak lama setelah para komandan meninggalkan markas, seorang penjaga benteng segera datang menghadap Ou Hin dan melapor, "Goan-swe, pasukan-pasukan kita dari sebelah selatan kota telah mundur sampai ke pintu kota Ciang-gi-mui, dan berteriak-teriak minta dibukai pintu kota. Mereka nampaknya telah meninggalkan kubu-kubu pertahanan mereka di luar kota."

"Aku ke sana sekarang juga!" Ou Hin memakai topi perangnya, menyambar goloknya, lalu melompat ke atas kuda yang lalu dipacunya ke pintu kota Ciang-gi-mui.

Ketika ia tiba di tempat itu, para prajurit sedang sibuk menaikkan meriam-meriam ke atas tembok kota. Meriam-meriam itu didorong lewat tangga batu, sambil ditarik dengan tali dari atas. Suatu pekerjaan yang cukup berat, mengingat bobot meriam-meriam buatan Portugis itu.

Begitu tiba, Ou Hin memerintahkan agar pintu kota dibuka. Sepasang daun pintu yang tebal dan kuat itu dibuka oleh beberapa prajurit. Begitu pintu terbuka, membanjir masuklah pasukan yang semula berada dl sebelah selatan kota. Keadaan mereka mengenaskan, banyak yang luka-luka sehingga harus digendong temannya, sedang jumlah mereka sudah banyak berkurang.

Ketika kepala pasukan dari sisi selatan itu melihat Ou Hin, cepat-cepat ia menghadap dengan berlutut, sambil berkata sedih, "Aku minta maaf, Goan-swe. Aku tak menyangka dari selatan akan muncul pasukan musuh yang berjumlah besar dan amat terlatih, datang seperti banjir saja. Beberapa kubu kita yang terdepan tersapu musnah dalam waktu singkat, sebelum memberi perlawanan yang berarti. Kubu-kubu berikutnya segera membentuk pertahanan, namun dalam waktu singkat kami pun harus mundur. Separuh lebih dari seluruh prajurit kita di sisi selatan telah gugur."

Ou Hin menarik napas, menenteramkan perasaannya. Lalu tanyanya, "Mereka mengejar?"

"Nampaknya begitu, Goan-swe."

"Kalau demikian, suruh orang-orangmu cepat masuk, agar pintu dapat segera ditutup."

Para prajurit yang masih di luar pintu diteriaki agar cepat masuk. Yang pincang dipapah temannya yang waras agar cepat. Semuanya dilakukan serba ribut dan tergesa-gesa. Setelah tak satupun prajurit ketinggalan diluar, perintah Ou Hin,

"Tutup pintu dan pasang palangnya!"

Beberapa prajurit mendorong daun-daun pintu yang berat itu, derit engselnya terdengar begitu keras mengiris hati. Lalu beberapa prajurit lainnya menggotong palang pintu raksasa untuk dipasangkan di belakang daun-daun pintu gerbang itu.

Baru saja pekerjaan itu selesai, seorang prajurit di atas tembok kota telah berteriak, "Mereka datang!"

Ketika itu, sejumlah meriam telah berhasil dipasang di atas tembok kota, sebagian lagi dengan susah-payah masih didorong-dorong naik. Dan pekerjaan itu harus dihentikan sejenak, untuk memberi jalan kepada Ou Hin naik ke tembok kota melewati tangga.

Setibanya di atas, Ou Hin melihat di dataran luar kota itu ada sejumlah besar obor, tak terhitung banyaknya, seperti kunang-kunang sejagad berkumpul semua di situ. Obor-obor itu kemudian nampak bergerak-gerak menebar, jarak tebarannya dari ujung ke ujung susah ditaksir jaraknya, dan kemudian mereka bergerak makin dekat.

Ou Hin melambaikan tangan ke arah komandan pengawal gerbang Ciang-gi-mui, agar mendekat. Setelah perwira itu di dekatnya, berkatalah Ou Hin, "Siapkan meriam-meriam. Kalau mereka cukup dekat, hantam dengan meriam. Kalau lebih dekat lagi, hantam dengan panah dan lembing. Kalau masih berani lebih dekat lagi, jatuhkan batu-batu dan balok-balok kayu ke jidat mereka."

"Baik, Goan-swe."

Ou Hin menepuk pundak perwira itu sambil membesarkan hati, "Kita bertahan sampai pagi. Dan besok, dari atas tembok ini akan kita tonton bagaimana Helian Kong membuat bandit-bandit itu mundur sambil kencing dalam celana."

Perwira itu menyeringai kecut. Dengan usaha keras yang memeras keringat, meriam-meriam berat itupun satu persatu sudah berhasil diangkat semua ke atas, dan ditempatkan berjajar-jajar sepanjang tembok. Antara meriam satu dengan lainnya diselingi deretan pemanah dan pelempar lembing, yang kalau dilihat sekilas mirip deretan burung gereja di atas atap rumah. Batu-batu dan balok-balok yang akan dijatuhkan ke bawah pun sudah siap.

Sedang meriam-meriam segera disiapkan. Bubuk peledak diisikan lewat moncong meriam, dipadatkan dengan tongkat panjang berujung bulat, sumbu dipasang di "lubang pantat" meriam, peluru-peluru meriam yang berujud bola-bola besi pun diisikan. Dan Obor penyulut sumbu pun disiapkan.

Sementara itu, barisan musuh semakin dekat. Biarpun malam gelap, karena banyaknya obor ydng mereka bawa, mulai kelihatanlah bendera- bendera mereka. Selain sehelai bendera besar kaum Pelangi Kuning, nampak pula bendera lainnya yang bertuliskan huruf "Li". Itulah benderanya Li Giam.

Komandan pengawal benteng terus memperhitungkan jarak dengan tatapannya yang tajam. Dan ketika barisan obor musuh itu terus maju, komandan itupun memerintahkan, "Arahkan meriam!"

Meriam-meriam itupun diatur arahnya, lalu si komandan berteriak, "Nyalakan sumbunya!"

Sumbu-sumbu pun disuliit. Letikan api merambat cepat lewat sumbu itu, kemudian belasan moncong meriam pun menggelegar hampir serempak, gelombang suaranya merambat jauh mengguncangkan udara malam kota Pak-khia.

"Arahkan kembali!" teriak si komandan lagi.

Memang setiap habis satu tembakan, moncong meriam itu bergeser arahnya karena guncangan. Bahkan ada meriam yang sampai "terjengkang", karena sebelumnya diisi bubuk peledak dalam takaran berlebihan. Dengan sigap para prajurit kembali mengatur letak meriam-meriam itu, mengisikan bubuk peledak dan bola besinya, memasang sumbu, dan siap menghajar kembali.

Di kejauhan nampak barisan musuh agak kacau, berpuluh-puluh obor jatuh dan padam. Namun kekacauan itu hanya sebentar, barisan itu cepat mengatur diri lalu mundur teratur, menghindari jarak tembak meriam.

Ou Hin berkata kepada si komandan pengawal benteng, "Kalau mereka tidak mau maju lagi, Jangan tembak. Kita harus menghemat bubuk peledak dan peluru-peluru kita."

Si komandan mengangguk beku. Beberapa saat lamanya kedua belah pihak tidak membuat gerakan-gerakan berarti. Namun tiba-tiba dari dalam barisan Pelangi Kuningpun muncul beberapa pucuk meriam yang diseret dengan tali atau bambu panjang. Masing-masing meriam diseret belasan orang yang berlari sambil bersorak mengerahkan tenaga.

Dengan panik, karena sebelumnya memang sudah tegang, si komandan benteng berteriak, "Tembak!"

"Jangan!" cegah Ou Hin, tetapi beberapa meriam sudah terlanjur disulut sumbunya, dan beberapa detik kemudian berdentuman memuntahkan bola-bola besi mereka, yang hanya menghantam tanah.

Ou Hin geleng-geleng kepala sambil berkata, "Tunggu sampai sasaran Itu berhenti, barulah menembak. Sasaran yang masih bergerak sulit dibidik dengan meriam."

"Maaf.... Goan-swe...." si komandan benteng menjawab, lalu menelan ludahnya sambil mengusap keringat di keningnya.

Sementara itu, orang-orang Pelangi Kuning dengan tangkas berhasil menyeret maju meriam-meriam mereka untuk ditempatkan di belakang gundukan-gundukan tanah atau tanggul-tanggul parit. Moncong meriam mereka sebagian diarahkan ke atas kota, sebagian lagi ke pintu kota.

Beberapa saat kemudian, meriam-meriam kedua belah pihak telah mulai saling gempur dengan hebatnya. Meskipun lebih banyak yang luput, namun kedua belah pihak ingin menggertak untuk menciutkan nyali lawan dengan cara yang sama. Beberapa kali bagian atas tembok kota bergetar terhunjam oleh belasan bola besi yang terlontar kekuatan ledakan dalam meriam.

Pintu Ciang-gi-mui juga beberapa kali terhantam peluru, sehingga engselnya berbunyi keriat-keriut seperti mau copot. Untung pintu-pintu itu tidak hanya terbuat dari kayu tebal, namun juga berkerangka besi. Agaknya sejak pintu itu dipasang berabad-abad yang lalu, sudah diperhitungkan akan adanya gempuran macam itu.

Ou Hin menilai, agaknya saat itu kedua pihak baru melakukan "pemanasan” dan saling menggertak, entah akan berlangsung sampai kapan. Kedua pihak belum berani memajukan pasukan masing-masing. Kemudian dari bawah tangga benteng berlari-lari naik seorang perwira berseragam pasukan istana, langsung mendekati Ou Hin sambil berkata,

"Goan-swe, Sri Baginda meminta Goan-swe ke istana sekarang juga."

Saat itu kira-kira jam dua pagi, jamnya orang tidur. Panggilan Kaisar itu menandakan kalau dia terbangun dari tidurnya karena dentuman-dentuman meriam itu.

"Baiklah, aku akan ke istana," sahut Ou Hin. Lalu ia berpesan sekali lagi kepada komandan benteng. Kemudian ia turun dari tembok dan berkuda menuju ke istana didampingi perwira istana itu.

Setibanya di istana, perwira itu tidak mengajak Ou Hin ke aula Gin-loan-tian, tempat biasanya Kaisar menemui bawahan-bawahannya, namun langsung diajak masuk ke bagian dalam. Ke bangsal Yan-wan-hu. Dari situ, suara meriam masih kedengaran sayup-sayup.

Di Yang-wan-hu, nampak Kaisar Cong-ceng berjalan hilir-mudik dengan gelisah, seperti singa dalam kurungannya. la tidak memakai jubah kekaisarannya, melainkan pakaian biasa yang longgar. Rambutnya kusut, wajahnya memancarkan ketegangan dan kegelisahan. Di ruangan itu juga terdapat Permaisuri Ciu, Puteri Tiang-ping dan Siangkoan Yan.

Begitu datang, Ou Hin langsung berlutut dan berkata, "Hamba di sini, Tuanku..."

Kaisar menghentikan langkah gelisahnya dan memutar tubuh menghadapi jenderalnya itu, "Ou Goan-swe, kudengar suara meriam-meriam itu, apakah laskar pemberontak sudah mulai menyerang?"

"Benar, Tuanku. Tetapi pasukan kita bertahan dengan kokoh kuat. Musuh takkan dapat masuk kota sejengkalpun." sahut Ou Hin yang ingin besarkan hati Kaisar dan keluarganya.

"Baru saja kau laporkan bahwa Helian Kong telah memukul mundur laskar musuh, kenapa sekarang musuh malah berbalik menggempur tembok kota?"

"Ampun, Tuanku, pasukan kita di sebelah barat memang berhasil memukul mundur musuh, tetapi pasukan sebelah selatan terpaksa ditarik masuk kota malam ini."

"Kenapa bisa begitu?"

"Karena pasukan Helian Kong yang lebih kuat dari rekan-rekannya, malah kebagian lawan yang lemah di sebelah barat. Sekarang hamba rubah siasat, sebelah barat cukup dijaga Kongsun Hui dan Song Liong, sedangkan Helian Kong akan hamba tarik ke kota untuk memukul mundur pasukan dari selatan itu."

Rupanya dalam pandangan Ou Hin, panglima-panglima bawahannya seperti Kongsun Hui, Song Liong dan sebagainya itu hanyalah "tameng" belaka, sedangkan Helian Kong lah "golok"nya.

"Yang sekarang menembak-nembakkan meriam itu siapa?"

"Itu bunyi meriam-meriam kita, Tuanku. Pasukan musuh tak bisa maju sejengkalpun, karena kita tembaki terus dari atas tembok."

Beberapa kali Kaisar menarik napas dan menghembuskannya kuat-kuat, mencoba melegakan perasaannya, la berharap kata-kata Ou Hin itu bukanlah sekedar hiburan kosong saja. Beberapa saat ruangan itu dicengkam kesunyian. Siangkoan Yan diam-diam menggamit tangan Puteri Tiang-ping, dan ketika puteri itu menoleh, nampaklah tatapan mata Siangkoan Yan yang memohon tanpa kata.

Puteri Tiang-ping paham permintaan sahabatnya itu. Tentu Siangkoan Yan ingin menanyakan keadaan suaminya, tetapi tidak berani lancang bicara, karena di ruangan itu juga ada Kaisar. Maka Puteri Tiang-ping lah yang menolongnya bertanya kepada Ou Hin, "Goan-swe, jadi Helian Cong-peng saat ini dalam keadaan selamat?"

"Benar, Tuanku Puteri. Bukan hanya selamat, bahkan dalam kedudukan menekan musuhnya. Namun ia akan hamba tarik ke kota, Song Liong malam ini sudah berangkat ke sebelah barat untuk membawa pesan hamba buatnya. Besok pagi, dia sudah akan ada di kota ini."

Jawaban itu melegakan Siangkoan Yan, sedang Puteri Tiang-ping berbisik menggodanya, "Nah, Nyonya Helian, kau takkan secepat itu menjadi janda."

Siangkoan Yan pun menundukkan mukanya yang merah. Sementara itu, bertanyalah Ou Hin kepada Kaisar, “Tuanku, apakah ada perintah-perintah Tuanku untuk hamba?"

"Saat ini tidak ada. Aku cuma ingin diberi laporan setiap tahap perubahan situasi. Oh, ya, apakah pasukan Jenderal Su Ko-hoat belum ada kabar beritanya?"

"Menurut hamba, begitu Goan-swe Su Ko-hoat menerima surat perintah itu, pastilah ia segera berangkat kemari. Tapi harus dimaklumi, pasukan perang yang besar tentu tidak bisa berjalan cepat."

Padahal dalam hatinya, Ou Hin sendiri tidak yakin akan kata-katanya itu. Ia hanya berharap bisa menenteramkan hati Kaisar.

"Mudah-mudahan Su Ko-hoat masih setia kepadaku....." suara Kaisar seperti keluhan, "....dan kalaupun datang, mudah-mudahan tidak terlambat sehingga cuma menemui mayatku."

"Harap Tuanku tidak berkecil hati, kita akan dapat bertahan dengan aman sampai kedatangan Goan-swe Su Ko-hoat..." hibur Ou Hin. "Tapi untuk memperkuat pertahanan di Pak-khia, hamba memohon Tuanku juga melakukan suatu tindakan."

"Apa?"

"Saat ini para bangsawan masih diam terpencar di gedung masing-masing yang satu sama lain jaraknya berjauhan. Hamba mohon Tuanku memerintahkan mereka agar berkumpul di satu tempat, atau di istana ini, sebab akan lebih mudah melindungi mereka.

"Juga menghemat tenaga pengawal yang menjaga keselamatan mereka. Saat ini tenaga setiap prajurit lebih dibutuhkan di garis depan daripada sekedar berdiri termangu-mangu di depan kediaman para bangsawan itu.

"Sedang para bangsawan itu menuntut pengawalan berlebihan untuk gedung-gedung kediaman mereka. Ada yang minta ditunggui lima ratus prajurit, yang lain tiga ratus atau empat ratus, bahkan ada yang minta seribu prajurit dan tidak mau kurang. Ini pembagian tenaga yang sia-sia."

"Apakah keadaan begitu gawat, hingga setiap prajurit harus ke garis depan?"

"Tidak gawat, Tuanku. Namun pemborosan tenaga itu menyolok mata. Sebagian prajurit berjuang melebihi tugasnya, yang lain cuma berdiri nganggur hanya untuk digigiti nyamuk."

Beberapa saat Kaisar merenung, ia bisa menerima alasan Ou Hin itu, lalu menyetujuinya, "Baik. Akan kukeluarkan perintah itu."

Suara dentuman-dentuman meriam yang merusak kesyahduan itu masih terus terdengar. Malam itu pastilah banyak penduduk Pak-khia tidak bisa tidur. Sementara Ou Hin pun kemudian minta diri dari hadapan Kaisar.

Kemudian Ou Hin berkeliling Pak-khia untuk melihat situasi, ia seolah melupakan kelelahan tubuh tuanya, senantiasa berada di atas punggung kudanya yang berlari kian kemari.

Sebagian pasukan masih ada di dalam tangsi, namun mereka sudah siap menunggu perintah. Setelah puas, Ou Hin kembali ke markas, dan mengambil waktu untuk tidur sebentar. Bukan tidur di kasur empuk, melainkan di kursinya, tanpa mencopot pakaian tempurnya.

Duel meriam di pintu kota Ciang-gi-mui agaknya akan berlangsung sampai pagi. Kaum Pelangi Kuning berusaha merontokkan meriam-meriam kerajaan yang ditaruh di atas tembok Pak-khia, sebaliknya tentara kerajaan pun bernafsu mengincar meriam-meriam Pelangi Kuning di balik tanggul-tanggul parit di luar Pak-khia.

Meriam di abad 17 itu pelurunya hanya bisa meluncur lurus kalau sasarannya dekat. Tapi kalau sasarannya jauh, gerak pelurunya melengkung ke atas seperti busur, jadi susah membidik sasaran dengan tepat, hanya, serba kira-kira saja.

Karena itu banyak peluru tentara kerajaan yang cuma jatuh di ladang-ladang penduduk di luar kota. Sebaliknya peluru-peluru kaum Pelangi Kuning pun kebanyakan hanya melayang di atas tembok kota, terus jatuh ke dalam kota untuk menimpa atap rumah penduduk kota.


Ketika fajar datang, Ou Hin terjaga, la pasang kuping sebentar, suara meriam sudah berhenti. Tergesa-gesa Ou Hin mencuci muka dan sarapan pagi, terus melompat kembali ke atas kudanya. Kepada penjaga-penjaga markasnya, ia berpesan, "Kalau ada yang mencari aku, suruh menyusul ke Ciang-gi-mui!"

"Baik, Goan-swe!"

Setibanya di Ciang-gi-mui, Ou Hin dilapori bahwa dua meriam di pihaknya hancur, karena tertembak dan jatuh kebawah tembok kota bagian luar. Dan Ou Hin melihat sendiri betapa beberapa bagian atas tembok kota Itu gompal- gompal tak keruan, namun pihak Pelangi Kuning rupanya juga kehilangan dua meriam. Untuk sementara tembak-menembak berhenti.

Dalam keremangan pagi, di kejauhan nampak perkemahan musuh yang memanjang tak terukur, ribuan bendera kuning berkibar-kibar di puncak kemah.

Ou Hin lalu memerintahkan agar pasukan di tembok kota itu diganti dengan pasukan lain yang masih segar, karena mereka sudah kelelahan setelah semalam suntuk bertarung dengan musuh. Dan ada belasan korban di antara mereka.

Setelah meninggalkan pesan-pesan untuk menjaga semangat pasukan pengawal gerbang Ciang-gi-mui itu, lalu Ou Min meninggalkan mereka, la beralih ingin menengok tembok kota sebelah barat, untuk melihat kalau-kalau pasukan Helian Kong sudah muncul dari sana.

Tiba dekat pintu kota Tek-seng-mui, la turun dari kuda dan naik ke tembok kota. Begitu tiba diatas, terkejutlah la sehingga keringat dinginnya langsung keluar, seperti orang masuk angin. Dilihatnya di luar kota, di bukit-bukit dan dataran, di pematang-pematang sawah, di tanggul-tanggul parit, laskar Pelangi Kuning sudah memenuhi tempat itu, tak terhitung banyaknya.

Selain mengibarkan bendera Pelangi Kuning, bendera-bendera berhuruf "Li" juga nampak di mana-mana. Itu artinya Li Giam tidak hanya menyerang Pak-khia dari satu arah, tapi dari dua arah.

"Kenapa tidak kau laporkan kepadaku?" Ou Hin melotot gusar kepada komandan pengawal pintu Tek-seng-mui.

Komandan itu dengan gugup menjawab, "Sudah aku kirim utusan ke markas Goan-swe, tapi Goan-swe malah muncul lebih dulu di sini."

Dengan beberapa tarikan napas, Ou Hin mencoba menenangkan dirinya. Situasi akhir-akhir ini terasa begitu menekan jiwanya, sehingga ia gampang naik darah. Kini melihat pasukan Pelangi Kuning di luar Tek-seng-mui itu, ia sangsi, apakah Helian Kong yang hanya membawa seribu lima ratus prajurit itu akan bisa masuk kota seperti perintahnya? Berarti pasukan Helian Kong harus lebih dulu menembus pasukan musuh yang berlipat-lipat jumlahnya.

Sementara itu, begitu fajar merekah, di pihak Pelangi Kuning terdengar suara terompet tanduk ditiup mengalun panjang. Udara pagi pun mendadak bergetar karena sorakan puluhan ribu orang berikat kepala kuning itu, lalu mereka mulai bergerak serempak mendekati tembok kota, seperti semut keluar dari sarangnya.

Tergesa-gesa pasukan Pak-khia menyiapkan panah, lembing, batu, balok, apa saja yang akan digunakan untuk mempertahankan benteng. Namun di bagian ini belum ada meriam sepucukpun, dan untungnya di pihak musuh juga tidak ada meriam.

Pasukan musuh nampaknya ada persiapan untuk membobol pintu kota. Hampir setiap orang dari mereka membawa perisai dari rotan atau kayu tebal untuk menangkis panah, dan nampak kelompok yang menggotong balok kayu besar untuk mendobrak pintu kota.

Di barisan belakang nampak orang-orang membawa tangga-tangga yang amat panjang juga keranjang-keranjang berisi tanah yang rupanya akan digunakan untuk menguruk bagian luar tembok agar bisa dipanjat. Itulah persiapan yang tidak tanggung-tanggung.

Sementara itu, suara terompet tanduk tiba-tiba meninggi dan terputus-putus. Kembali laskar Pelangi Kuning bersorak menggemuruh, lalu mereka tidak lagi berjalan pelan-pelan melainkan setengah berlari. Terutama kelompok pengangkut balok pendobrak itu berlari lebih kencang dari lain-lainnya untuk menimbulkan kekuatan dobrakan mereka.

Berbareng dengan itu, hujan panah dan lembing dari atas tembok kota pun menghambur deras. Puluhan laskar Pelangi Kuning terjungkal roboh, yang lain-lain segera mengangkat tameng-tameng mereka. Tak peduli hujan panah, regu pendobrak bersorak sambil berlari kencang, balok besar yang mereka gotong pun mereka hantamkan sekuatnya ke pintu gerbang sehingga berderak-derak.

Banyak di antara mereka yang roboh terpanah, namun hal itu tidak mengecilkan hati teman-teman mereka. Begitu ada yang roboh, ada yang langsung menggantikannya tanpa disuruh-suruh, tidak menghiraukan kematian lagi. Teman-teman mereka yang membawa tameng berusaha melindungi para regu pendobrak. Bahkan ada yang membawa dua tameng sekaligus yang diangkat tinggi-tinggi seperti membawa payung, untuk melindungi teman-teman mereka yang mengangkat balok.

Melihat semangat dan kekompakan laskar Pelangi Kuning, tergetarlah hati Ou Hin. Puluhan ribu orang tapi satu hati dan satu semangat. Siapa bisa menahan pasukan macam itu? Entah dengan "resep" apa Li Giam dapat membentuk pasukan itu? Itu bukanlah kerja kecil sehari dua hari.

Kembali pintu gerbang bergetar kena dobrakan. Tentara kerajaan mulai menjatuhkan batu-batu dan balok kayu besar, sehingga para regu pendobrak Pelangi Kuning terpukul mundur dengan meninggalkan beberapa korban. Untuk sementara, usaha pemberontak untuk mendobrak pintu Tek-seng-mui itu dihentikan.

Mereka juga merasa "jalur-lintasan" mereka agak terganggu karena batu-batu dan balok-balok yang bergelimpangan, yang dijatuhkan tentara kerajaan, yang akan mengganggu kelajuan lari mereka. Padahal kelajuan berlari itulah yang paling penting dalam usaha pendobrakan itu.

Dan tiba-tiba dari tengah-tengah laskar Pelangi Kuning muncul seorang kakek gendur berjidat lebar, rambutnya yang putih terurai awut-awutan. Prajurit-prajurit kerajaan di atas tembok dengan heran melihat kakek itu maju sendirian, tidak bersenjata, dan cara berjalannya seperti orang mau kondangan saja.

"Mau apa orang ini?" para prajurit saling bertanya dan tak satupun bisa menebak.

Namun ketika kakek gendut itu semakin mendekat, para prajurit tidak mau mengambil resiko. Begitu komandannya memerintah, hujan panah dan lembing menghambur ke arah si kakek gendut.

Para prajuritpun terbelalak melihat kakek gendut itu hanya tertawa terbahak-bahak, panah dan lembing yang mengenai tubuhnya namun tak mampu melukai kulitnya seujung rambutpun. Rontok sendiri, dan ia cuma mengangkat lengannya untuk melindungi mata. Ia maju terus ke arah pintu gerbang.

Tiba di depan pintu gerbang, dia dengan enaknya melempar-lemparkan batu-batu besar dan balok-balok kayu bertumpuk di situ. Itu sudah cukup mengejutkan para prajurit di atas tembok, dan adegan berikutnya lebih mengejutkan lagi. Sebab si kakek gendut tiba-tiba berteriak dan menyerudukkan jidatnya ke pintu gerbang.

Mula-mula para prajurit mengira ia akan bunuh diri, tapi dugaan itu tersingkir setelah terasa pintu gerbang yang kokoh itu tergetar hebat. Si kakek yang bukan lain adalah Tiat-thau-siang Ko Ban-seng itu cuma mengelus-elus jidatnya sebentar, lalu menubruk lagi. Pintu gerbang bergetar lebih keras, sampai engsel engselnya bergetar pula.

Pasukan kerajaan di atas gerbang Tek-seng-mui merasa habis daya menghadapi kakek itu. Dipanah atau dilempari lembing, tidak mempan. Dilempari batu dan kayu besar, agaknya kakek itu malah kegirangan karena merasa seperti dipijati.

Sedang serudukan jidatnya begitu hebat, mungkin dalam dua atau tiga serudukan lagi, pintu Tek-seng-mui benar-benar akan ambyar. Pendobrak tunggal yang cuma mengandalkan jidat ini ternyata lebih ampuh dari regu pendobrak yang terdiri dari berpuluh-puluh orang dan membawa balok besar.

Di saat pasukan itu putus asa, Ou Hin menawarkan sebuah cara, "Siram dengan minyak dan lemparkan api!"

Bumbung-bumbung minyak disiapkan, api juga. Namun sebelum cara itu dijalankan, Ko Ban-seng agaknya menyadari bahaya. Sambil memaki-maki, dia berjalan meninggalkan gerbang dan menghentikan usahanya menjebol Tek-seng-mui.

Kedua pihak kembali saling menunggu, sambil mencari cara-cara yang lebih ampuh. Tiba-tiba di kejauhan nampak barisan belakang kaum Pelangi Kuning ada pertempuran. Ada sebuah pasukan yang mengibar-ngibarkan bendera Kerajaan Beng, menggempur laskar Pelangi Kuning dari sebelah barat.

"Itu pasukan kita!" Ou Hin meluapkan perasaannya dengan berteriak. "Pasti itulah pasukan Helian Kong!"

Memang itulah pasukan Helian Kong yang mencoba menembus ke Pak-khia karena panggilan Ou Hin. Pasukannya berjuang dengan alot menembus kepungan pemberontak di depan gerbang Tek-seng-mui, apalagi yang dihadapi adalah pasukan Li Giam yang tidak kalah gigih dan trampilnya dengan pasukannya sendiri.

Dan dalam jumlah yang lebih besar di pihak lawan, sulit bagi Helian Kong untuk menembusnya. Apalagi dari sebelah barat muncul pula pasukan Pelangi Kuning yang lain, pasukannya Gu Kim-sing, yang segera ikut menggencet pasukan Helian Kong.

Semuanya terlihat oleh Ou llin dari atas benteng dengan teropongnya. Nampak pasukan Helian Kong jadi terlalu kecil kelihatannya, seperti perahu yang terombang-ambing di antara dua gelombang ganas. Hati Ou Hin serasa ikut terombang-ambing.

Di teropong kelihatan juga Helian Kong yang berilmu silat tinggi, maju paling depan untuk mencarikan jalan bagi pasukannya, namun ia dihadang oleh seorang pemuda tegap yang sebaya dengannya, bersenjata sepasang pedang tebal, bertempur laksana gajah mengamuk. Itulah Yo Kian-hi. Dan Helian Kong harus bertempur sengit menghadapi musuh bebuyutan ini.

Dengan perasaan tak keruan, Ou Hin menurunkan teropongnya, lalu diangkat lagi dengan harapan akan melihat "perbaikan". Ternyata tidak, bahkan seharusnya masih boleh bersyukur bahwa Helian Kong masih mampu menarik mundur pasukannya ke balik perbukitan, yang berarti gagal masuk Pak-khia, dan malahan makin jauh dari Pak-khia.

Ingin rasanya Ou Hin membawa seluruh pasukan yang masih ada di dalam kota, untuk menolong Helian Kong. Namun kini ia hanya bisa menonton dari kejauhan, karena tak mungkin ia meninggalkan tanggung jawabnya di Pak-khia. Beberapa prajurit yang berdiri di dekat Ou Hin melihat betapa panglima tua itu tubuhnya gemetar, wajahnya pucat, bahkan dua jalur air bening mengalir di pipinya.

"Goan-swe...." seorang perwira memberanikan diri bertanya.

Ou Hin menggerakkan tangan sebagai isyarat agar perwira itu diam, lalu katanya gemetar, "Sekarang aku tidak tahu lagi harus bicara apa lagi di depan Sri Baginda dan isteri Helian Kong."

"Goan-swe, bukan salah kita..." hibur perwira itu. "Prakarsa tidak di tangan kita, tapi di tangan mereka. Kita harus bermain menurut peraturan mereka." Lalu perwira itu berdesah putus asa, seolah sudah tahu nasib kota Pak-khia yang sudah tak terelakkan lagi.

"Jangan bicara seperti itu!" bentak Ou Hin. "Semangat pasukanmu bisa merosot!"

Perwira itupun bungkam. Waktu Ou Hin kembali melihat lewat teropongnya, pasukan Helian Kong sudah tidak kelihatan lagi. "Aku harus menghadap Kaisar!" kata Ou Hin tiba-tiba. "Baik atau buruk haruslah kulaporkan!"

Lalu ia turun dari tembok, dan menunggangi kudanya ke istana. Sepanjang jalan yang dilihatnya hanyalah prajurit-prajurit melulu. Orang-orang sipil jarang kelihatan. Pintu-pintu rumah semua tertutup rapat, biarpun siang hari bolong.

Setibanya di istana, dia diantar pengawal istana ke Yang-wan-hu. Banyak bangsawan sudah berkumpul di bagian dalam istana, agaknya Kaisar sudah mengeluarkan perintah sesuai dengan usul Ou Hin semalam. Karena itu banyak, bangsawan menatap Ou Hin dengan pandangan kebencian. Tapi Ou Hin tak menggubris dan terus menuju Yang-wan-hu.

Di hadapan Kaisar, Ou Hin berlutut dan melapor, "Ampun Tuanku, hamba laporkan bahwa Helian Kong gagal masuk ke Pak-khia karena musuh pun sudah memblokir Tek-seng-mui."

Beberapa detik darah Kaisar seperti membeku dalam urat-uratnya, lalu tergagap ia berkata, "Lalu... lalu bagaimana?"

"Kami bersumpah akan mempertahankan Pak-khia sampai titik darah penghabisan. Kaum Pelangi Kuning haruslah membayar mahal untuk setiap jengkal tanah yang mereka dapatkan."

Kaisar bungkam, sedang Ou Hin terus berusaha menghibur, "Helian Kong seorang yang cerdik. Meskipun dia gagal masuk kota, pasukannya yang lincah itu, terutama pasukan berkudanya, akan terus seperti duri tajam yang melekat di punggung kaum pemberontak. Dengan tetap ada di luar kota, ia bahkan lebih leluasa menyergap dari segala arah."

Nampaknya saja Kaisar mengangguk-angguk, padahal sudah sukar untuk menimbulkan keberaniannya yang hampir padam. Suara dentum meriam semalam lebih mempengaruhi hatinya daripada kata-kata Ou Hin.

Ou Hin tahu hal itu, namun tak berdaya apa-apa. Diapun minta diri. Baru saja Ou Hin melangkah keluar dari istana, dari ujung jalan ada suara perempuan muda memanggil-manggil,

"Goan-swe! Goan-swe!"

Ou Hin menoleh, dan mengeluh dalam hati ketika melihat kedua penunggang kuda yang memanggil-manggilnya itu adalah kakak beradik Siangkoan. Sampai di depan Ou Hin, mereka berlompatan turun dari kuda, Siangkoan Yan langsung menyodorkan pertanyaan yang sudah diduga oleh Ou Hin,

"Goan-swe, bagaimana dengan suamiku? Semalam Goan-swe bilang bahwa hari ini pasukan suamiku akan masuk Pak-khia, tetapi sekarang sudah tengah hari dan suamiku belum datang juga."

Perasaan Ou Hin tertikam, ia memaklumi kecemasan Siangkoan Yan yang masih pengantin baru itu. "Pagi ini Helian Kong gagal menembus blokade musuh di depan gerbang Tek-seng-mui."

Melihat wajah Siangkoan Yan memucat, Ou Hin buru-buru melanjutkan, "Helian Kong menjauhi Pak-khia, pasukannya tetap utuh, la memang lebih baik berada di luar kepungan agar lebih leluasa bertindak."

Perhitungan itu memang sedikit menenteramkan Siangkoan Yan. Suasana Pak-khia saat itu menyesakkan napas, seperti sedang dicekik pelan-pelan oleh kaum Pelangi Kuning. Beberapa saat Siangkoan Yan menunduk, sampai kakaknya memegang pundaknya dan berkata,

"Helian Kong adalah seorang ahli perang yang cerdik, tak mungkin dikalahkan begitu gampang oleh musuh yang jauh lebih kuat sekalipun. Sekarang marilah kita pulang, jangan sampai ayah merasa cemas menunggu kita."

Siangkoan Yan mengangguk lesu, namun masih bertanya sekali lagi kepada Ou Hin, "Goan-swe, Saat ini berapa besar pasukan suamiku?"

"Kalau digabungkan dengan pasukan Kongsun Hui dan Song Liong, mencapai tiga puluh ribu."

"Cukup kuat!" komentar Siangkoan Heng yang lebih dimaksudkan untuk menghibur adiknya.

Untuk sementara Siangkoan Yan harus puas dengan keterangan itu, ia dan kakaknya lalu minta diri dari Ou Hin. Setelah mereka pergi, Ou Hin menaiki kudanya untuk kembali ke markasnya. Dari sana ia menyebar orang untuk minta laporan dari sembilan komandan yang menjaga sembilan pintu kota Pak-khia.

Ketika pembawa-pembawa laporan itu kembali, bisa diambil kesimpulan bahwa serangan paling hebat kaum Pelangi Kuning ialah ke pintu-pintu kota Ciang-gi-mui dan Tek-seng-mui, kedua-duanya oleh laskar Li Giam. Sedangkan Gu Kim-sing agaknya menggeser laskarnya untuk menggempur dari arah lain.

Ou Hin lalu menggelar peta kota Pak-khia dan memeras otak sambil memelototi peta itu. Tiba-tiba ia menemukan suatu gagasan. Sebagai tindakan persiapan kalau musuh berhasil masuk kota, ia akan membuat pertahanan di sekitar istana. Agak lama dipikirnya gagasan itu, lalu seorang prajurit disuruhnya memanggil seseorang komandan pasukan yang belum mendapat tugas.

Tak lama kemudian, di hadapan Ou Hin datang seorang bertubuh raksasa bermuka merah, memanggul kampak raksasa bertangkai panjang. Namanya Mo Gui seorang komandan di ibu kota. "Goan-swe memanggil aku?" suaranya pun besar.

"Aku ingin membentuk pertahanan sekeliling istana, sebagai persiapan kalau musuh berhasil menembus pintu-pintu kota..." kata Ou Hin sambil menunjuk peta.

Mo Gui heran, "Tetapi musuh sekarang masih di luar kota."

"Benar. Namun menyaksikan giatnya mereka menggempur kota, kita harus menyiapkan banyak tindakan cadangan. Salah satunya, di sekitar istana harus ada pertahanan yang kuat."

"Bisa Goan-swe jelaskan?"

"Di seputar istana, kosongkan rumah-rumah yang terletak dalam satu deretan, lalu isi rumah-rumah itu dengan bahan-bahan mudah terbakar, siapkan pula minyak dan api didekatnya."

Mo Gui langsung dapat membayangkan pertahanan macam apa yang dikehendaki Ou Hin. Tanpa banyak tanya lagi, Mo Gui segera menyiapkan hal itu. Sedangkan Ou Hin kembali mengambil sedikit waktu untuk mengistirahatkan tubuh tuanya yang kelelahan. Namun tidurnyapun tidak nyenyak, tidurnya gelisah, tidur-tidur, ayam.

Ou Hin bangun dari tidurnya karena mimpi, la bermimpi naik sebuah kapal besar yang diamuk gelora samudra, dan tiba-tiba kapal itu dihantam petir yang amat dahsyat, sehingga semua penumpang kapal mencebur ke laut dengan basah kuyup.

Saat itu Ou Hin geragapan bangun dari tidur di kursinya. Tubuhnya memang basah kuyup, bukan oleh air laut dalam mimpinya, melainkan oleh keringat. Sedangkan suara ledakan petir dalam mimpi itu ternyata memang suara ledakan hebat yang benar-benar terdengar berturutan. Kedengarannya bukan di luar kota, tapi di dalam kota.

Ketika ia membuka mata, dilihatnya di mejanya sudah ada lilin yang dinyalakan, dan di luar langit sudah gelap. Sayup-sayup Ou Hin mendengar suara sorak pertempuran, di tengah kota. Keruan saja ia segera melompat bangun, mengenakan topi besinya yang di meja, menyambar golok Ceng-liong-to yang disandarkan di dinding, dan berlari keluar.

"Suara apa itu?" tanyanya kepada seorang pengawal.

Pengawal yang berwajah tegang dan lelah itu menggeleng-gelengkan kepala sambil menjawab, "Belum ada yang melapor kemari, Goanswe."

"Pasang pelana kudaku!" perintah Ou Hin.

Perintah Itu dijalankan dengan cepat, dan beberapa saat kemudian ia sudah berpacu menuju suara pertempuran dalam kota itu. Di jalan ia berpapasan dengan seorang perwira berkuda yang agaknya akan menuju ke markasnya.

Melihat Jenderal Ou Hin dari kejauhan, perwira itu sudah memanggil, "Goanswe! Goanswe!"

"Kenapa?"

"Gudang tentara dibakar sekelompok gelandangan bersenjata. Bubuk-bubuk peledak berjumlah ratusan tong habis terbakar semua!"

Bagaikan disambar petir kagetnya Ou Hin, jadi itukah "suara petir" dalam mimpinya tadi? Diam-diam Ou Hin menyesali kelengahannya sendiri. Selama ini begitu sibuk ia menyusun pertahanan di sana-sini, mengontrol sembilan pintu kota, terus mengamati gerakan musuh di luar kota, sampai la lupa bahwa kaum Pelangi Kuning sejak lama sudah menanam sabotir-sabotir dalam kota.

Padahal Helian Kong sudah pernah memperingatkannya, namun karena terlalu sibuk Ou Hin jadi lupa. Sekarang ia "diingatkan dalam keadan sudah terlambat." Tukang-tukang sabotase Pelangi Kuning telah berhasil melakukan pukulan telak. Memusnahkan semua mesiu di gudang tentara, berarti meriam-meriam tentara kerajaan tidak lama lagi hanya akan menjadi meriam-meriam bisu tanpa guna.

Dengan perasaan campur aduk, Ou Hin memacu ke arah kobaran api raksasa di kejauhan itu, yang seolah menggapai langit. Setelah dekat, nampak pasukan kerajaan sedang bentrok sengit dengan sekawanan orang yang memakai ikat kepala kuning.

Para penyabot itu berjumlah ratusan orang, dan dengan berani melawan prajurit-prajurit Beng, sambil berteriak-teriak fanatik. Kalau tidak menyanjung Joan-ong ya mencaci Kaisar atau menghasut rakyat agar segera angkat senjata mendukung Joan-ong.

Prajurit kerajaan berjumlah lebih banyak namun tidak dapat segera mengatasi orang- orang Pelangi Kuning yang gigih itu, Korban di kedua belah pihak sudah berceceran dari ujung jalan ke ujung jalan lainnya.

Dengan gusar Ou Hin menerjangkan kudanya ke tengah-tengah pertempuran. Golok Ceng-liong-tonya berputar, menyambar kian kemari dengan ganas dan banyak orang Pelangi Kuning roboh kena sabetannya.

Dari antara orang-orang Pelangi Kuning itu tiba-tiba muncul seorang lelaki pendek, kurus, sepasang tangannya memegang sepasang cambuk kulit sepanjang tiga meter. Dengan berani orang itu menghadang larinya kuda Ou Hin yang berderap kencang.

Ou Hin dengan gusar membentak, "Bandit Pelangi Kuning, akan kupotong tubuhmu!" Dan golok Ceng-liong-tonya menyabet dari atas ke bawah dengan gerakan Thai-san-ap-teng (Gunung Thai-san Menimpa Kepala), siap membelah kepala korbannya dari ubun-ubun sampai ke selakangan.

Si pendek kecil itu membentak, cambuk kirinya tiba-tiba menjulur panjang secepat lidah ular kobra, dan membelit sepasang kaki depan kuda tunggangan Ou Hin. Kemudian ia melompat ke samping sambil menarik sekuat tenaga. Tak ampun lagi kuda itu roboh dan Ou Hin terhempas ke tanah.

Oh Kui-hou, si pendek kecil itu, tidak mau buang waktu. Cambuk kanannyapun menyabet ke arah Ou Hin yang belum sempat bangkit. Cambuk itu memang bukan senjata istimewa, cuma tiga helai tali kulit yang dipilin dijadikan satu. Namun di tangan pendekar yang berjulukan Thai-lik-ku-hou, cambuk biasa itu pasti bisa untuk membuat Ou Hin hancur seketika, kulit, daging dan tulang-tulangnya.

Ketika ia di ambang maut itulah sesosok tubuh mendadak berkelebat dari atas genteng. Pedangnya yang berkilap seperti kilat menyambar ke arah Oh Kui-hou. Oh Kui-hou kaget, terpaksa ia batalkan serangannya lebih dulu untuk membela diri. Ia berputar mundur sambil menarikan cambuknya dalam tipuan Siang-liong-lo-hai (Sepasang Naga Mengacau Samudra).

Namun si pemegang pedang terus melompat tanpa takut ke dalam gulungan bayangan cambuknya yang berlapis-lapis, cahaya pedangnya kemerah-merahan di bawah cahaya api, memburu Oh Kui-hou.

"Huh, kiranya ini anjing paling setia dari Kaisar goblok itu!" teriak Oh Kui-hou sengit, ketika mengenali lawannya adalah Helian Kong yang pernah mengalahkannya.

Keduanya segera terlibat pertarungan sengit. Ilmu silat mereka sudah meningkat. Oh Kui-hou sekarang bersenjata sepasang cambuk yang tipu-tipunya jauh lebih rumit daripada hanya satu cambuk. Sepasang cambuk itu kelihatan seperti belalai-belalai gurita raksasa yang bisa membelit, menyabet, menjerat dengan berbagai gerak yang susah diduga Kalau dulu Helian Kong unggul selapis ilmunya dari Oh Kui-hou.

Kini setelah Oh Kui-hou meningkatkan ilmu, ternyata Helian Kong juga tetap unggul selapis. Ini karena selama ini ia menekuni isi kitab Tiat-eng Pit-kip. Ia tidak bingung oleh gerak cambuk lawannya yang mengacaukan pandangan, sebab Helian Kong pun terus bergerak seperti terbang berputar-putar. Berlompatan kian kemari dengan cahaya pedang yang berusaha mengurung, menyudutkan lawan, sebelum berusaha menembus dengan jurus pamungkas.

Sementara itu, Ou Hin tertatih-tatih bangun ditolong beberapa prajurit. Biarpun tubuhnya masih kuat, namun karena usianya yang sudah enam puluh tahun lebih, sakit juga pinggangnya sehabis terbanting dari atas kuda.

Beberapa saat Ou Hin masih belum mampu melihat jelas siapa penolongnya yang melompat dari atas genteng tadi, apalagi kedua pesilat yang bertarung itu bergerak demikian cepat sehingga seperti sepasang bayangan kabur yang bergulungan.

Namun lama-kelamaan mata tua Ou Hin dapat juga mengenali si pemegang pedang itu, dan melonjaklah kegirangannya, "Tidak salahkah mataku? Itukah Helian Kong?"

Prajurit yang menolongnya pun berkata, "Benar, Goan-swe. Itulah Helian Cong-peng."

"Luar biasa bocah itu. Bagaimana dia seorang diri bisa menembus pasukan musuh yang mengepung kota, dan muncul di tempat ini?"

"Helian Cong-peng nampaknya bisa terbang, Goan-swe...." sahut si prajurit yang kurang paham menyebut ilmu meringankan tubuh.

Semangat Ou Hin seketika berkobar dan melupakan pinggangnya yang sakit. "Mana senjataku?" tanyanya.

Seorang prajurit berlari datang membawakan golok Ceng-liong-to yang terpental jauh ketika Ou Hin jatuh dari kuda tadi. Ou Hin segera menerima goloknya, lalu menyerbu ke tengah kawanan Pelangi Kuning.

Waktu itu orang-orang Pelangi Kuning sudah mulai terdesak, sebab mereka kalah banyak. Bermunculan orang-orang berikat kepala kuning yang langsung membantu mereka, namun jauh lebih banyak prajurit-prajurit yang berdatangan ke situ. Maka biarpun orang-orang Pelangi Kuning itu amat gigih dan fanatik, mereka hanya bertumbangan sebagai korban sia-sia.

Sambil tetap melawan Helian Kong, agaknya Oh Kui-hou juga mengetahui hal itu. Ia kasihan kepada para pendukung Pelangi Kuning yang akan terbantai tanpa arti itu, maka diapun bersuit panjang sebagai isyarat agar mereka mundur dulu.

Orang-orang Pelangi Kuning itu dengan patuh serempak berhamburan ke dalam lorong-lorong kota yang gelap karena bayangan malam. Para prajurit mengajar, namun hanya sebagian kecil yang bisa mereka susul, sebagian besar menghilang di antara rumah-rumah penduduk yang berjubel-jubel.

Kalau orang-orang itu melepas ikat kepala kuning mereka dan menyembunyikannya, mereka akan sulit dibedakan dari penduduk biasa, dan para prajurit tak mungkin main tangkap seluruh penduduk Pak-khia.

Sementara Oh Kui-hou sendiri juga kabur menghilang. Helian Kong sendiri sebetulnya mampu mengejar, dan entah lewat pertarungan berapa ribu jurus, akhirnya ia pasti akan bisa menangkap atau membunuh Oh Kui-hou. Namun Helian Kong tidak melakukan itu, ada hal penting yang harus dikatakannya kepada Ou Hin.

Helian Kong segera mendekati Ou Hin dan bertanya, "Goan-swe, tidak apa-apakah kau?"

Sambil menyeringai, Ou Hin menjawab, "Melihatmu muncul di sini, jauh lebih mengagetkan daripada jatuh dari kuda tadi."

"Syukurlah...." Helian Kong menarik napas. "Aku menyusup masuk ke dalam kota ini, tak lain untuk memberitahukan sesuatu kepada Goan-swe."

"Berita apa?"

"Kita tidak suka hal ini, tapi demi kelangsungan hidup Kerajaan Beng, Goan-swe tahu hal ini. Siapkan pasukan yang kuat, dan ungsikan Sri Baginda secepatnya dari kota ini, sebelum terlambat!"

"Kenapa?" suara Ou Hin ikut bergetar tegang. "Siang tadi pasukan Li Cu-seng dan Lau Cong-bin sudah melewati Han-tiong tanpa berhenti, terus ke mari. Mereka pasti akan langsung menempati posisi untuk memblokir kota dari segala arah. Kalau sampai terjadi demikian, pasti akan terlambat untuk bicara soal pergi dari kota ini."

Mulut Ou Hin terus kelu mendengar itu. Saat itu tentara kerajaan sudah kewalahan menghadapi Li Giam dan Gu Kim-sing di luar kota, serta pengacau-pengacau dalam kota. Kini malah pihak musuh ketambahan bala bantuan yang tidak tangung-tanggung. Lau Cong-bin adalah tokoh Pelangi Kuning yang sejajar dengan Li Giam dan Gu Kim-sing.

Kedatangannya tentu membawa pasukan yang tidak kalah banyaknya dari yang dibawa Li Giam maupun Gu Kim-sing. Lebih-lebih Li Cu-seng adalah pemimpin tertinggi kaum Pelangi Kuning, entah berapa banyak pengikutnya yang dibawanya untuk menggempur Ibu kota.

Melihat atasannya hanya termangu-mangu saja, Helian Kong berkata, "Goan-swe, cepatlah bertindak. Setiap detik amat berharga sekarang ini. Kalau Sri Baginda diungsikan sekarang, pintu gerbang Ceng-yang-mui masih cukup aman untuk dilewati, sebab di arah itu belum nampak gerakan musuh secara besar-besaran.

"Aku bersama Kong-sun Hui dan Song Liong akan menggabungkan pasukan dan mencoba menyambut di luar pintu kota Ceng-yang-mui, syukur kalau bisa bergabung sekalian dengan pasukan Le Koan-wi dan Yao Leng. Sekarang juga kami sudah bergeser diam-diam ke arah itu."

"Yaah...." desah Ou Hin pasrah.

"Kalau berhasil keluar kota, langsung ikuti jalan raya ke arah kota Thian-cin. Nanti di Thian-cin bisa terus ke pelabuhan untuk naik kapal menuju ke selatan."

Ou Hin cuma bisa mengangguk-angguk dengan perasaan sedih. Itu berarti Pak-khia, simbol kekuasaan pemerintah, harus dilepaskan ke tangan kaum Pelangi Kuning. Tapi kenyataan itu tak terhindari.

Setelah itu, Helian Kong lalu berpamitan. Ia menuju ke gedung kediaman keluarga Siangkoan dengan ilmu meringankan tubuh, berlompatan di atas rumah. Kalau lewat jalan biasa pasti akan lambat, sebab jalanan penuh prajurit-prajurit yang berlarian ke sana ke mari.

Sementara dentuman-dentuman meriam tak pernah terhenti terdengar di kejauhan. Langit mestinya hitam, tapi sering merah karena kobaran api. Rembulan tak nampak, bintang-bintang pun enggan jadi saksi saat-saat terakhir runtuhnya sebuah dinasti yang sudah berusia dua ratus tujuh puluh enam tahun itu.

Ketika Helian Kong tiba di gedung keluarga Siangkoan, dari luar nampak suasana gedung tenang-tenang saja, seolah tak ada bedanya di masa damai atau perang. Tak ada pengawalan berlebihan. Helian Kong langsung meluncur masuk ke dalam rumah, dan menuju ke ruang dalam langsung.

Di ruangan yang hanya disinari sebatang lilin itu, satu keluarga sedang berkumpul lengkap. Siangkoan Hi dan putera-puteri-nya nampak berwajah murung, malahan Siangkoan Yan masih mengusap-usap air matanya yang basah terus. Cahaya lilin bergoyang-goyang, kadang redup, kadang tegak, dipermainkan angin dari luar.

Kemunculan Helian Kong yang tiba-tiba itu mengejutkan keluarga yang sedang bersedih itu. Sedetik kemudian Siangkoan Yan sudah menyongsong dan mendekap suaminya, lalu menangis tanpa kata-kata. Tak dipedulikannya badan Helian Kong yang penuh keringat, debu bahkan darah kering, karena selama ini Helian Kong tak sempat bersolek mengurus dirinya.

Helian Kong balas merangkul isteri-nya, menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut dan mengucapkan kata-kata yang membesarkan hati. Setelah Siangkoan Yan tenang kembali, Helian Kong memberi hormat kepada mertua dan saudara iparnya. Tanpa membuang waktu, Helian Kong lalu berkata,

"Gak-hu (ayah mertua), kedatanganku ini untuk menganjurkan satu hal kepada kalian."

Lalu secara singkat Helian Kong membeberkan situasi Pak-khia yang nampaknya takkan tertolong lagi, seperti kapal bocor yang pelan-pelan sedang menuju ke dasar laut. Lalu keluarga Siang koan didesaknya untuk segera pergi ke istana, bergabung dengan rombongan Kaisar untuk mengungsi.

"Dan kalau terpaksa pengungsian itu gagal...." sampai disini terasa pahitnya suara Helian Kong, "....kalau pengungsian gagal, kalian cepatlah mencari rumah penduduk biasa yang bisa dipercaya, menyamarlah sebagai orang biasa dan tinggal di situ. Harus hati-hati, jangan sampai keliru menumpang di rumah yang ada anggota Pelangi Kuningnya, sebab saat ini orang-orang Pelangi Kuning berbaur dan sulit dibedakan dengan penduduk biasa."

Pesan itu mengguncangkan keluarga Siangkoan. Siangkoan Yan sendiri dengan cemas berkata, "Toako sendiri mau ke mana?"

Helian Kong menghembuskan napas, "Saat ini pasukanku sedang berjalan ke luar pintu Ceng-yang-mui untuk menyambut Kaisar yang diharap akan keluar dari Pak-khia lewat jalan itu. Itulah arah yang masih cukup aman saat ini."

"Biar aku ikut!" kata Siangkoan Yan, dan sudah siap menggambil pedangnya di dalam kamar.

Tetapi Helian Kong geleng-geleng kepala, "Tidak perlu, adik Yan. Aku masih yakin bisa melindungi diriku sendiri sampai berhasil bergabung dengan tentaraku. Kau lebih diperlukan di sini, bersama kakakmu, untuk melindungi ayah."

"Kata-kata suamimu benar, adik Yan...." kata Siangkoan Heng. "la bisa menembus kepungan musuh sampai ke dalam kota, berarti juga bisa keluar kembali dengan selamat. Kau malah akan membebaninya saja."

Siangkoan Yan agaknya bisa diberi pengertian, meskipun dengan perasaan berat. Helian Kong kemudian memberi hormat sekali lagi kepada mertuanya, menepuk pundak Siangkoan Heng, dan kemudian pergi dari situ dengan ilmu meringankan tubuhnya.

Keluarga Siangkoan pun segera bersiap-siap menuruti saran Helian Kong. Mereka ganti pakaian dan menyamar sebagai orang-orang jelata, lalu berangkat ke istana untuk bergabung dengan rombongan Kaisar yang akan mengungsi.

Tentu Ou Hin takkan keberatan, apalagi kakak beradik Siangkoan itu bukan beban, melainkan pesilat-pesilat tangguh yang akan berguna tenaganya apabila harus terjadi bentrokan dengan kaum Pelangi Kuning.

"Jadi.... aku harus meninggalkan Ibu kota?" Kaisar Cong-ceng amat terpukul ketika Ou Hin mengajukan usul itu.

"Yang namanya Ibu kota adalah tempat di mana Tuanku berada, Ibu kota bisa Tuanku tetapkan di kota lain...." bujuk Ou Hin.

Para bangsawan juga berkumpul di bangsal Yang-wan-hu itu, mereka saling berbisik-bisik, sehingga suasana mereka gemeremeng seperti ribuan tawon di tempat itu. Seorang bangsawan bermuka kelimis, kemudian maju mewakili rekan-rekannya untuk berkata kepada Kaisar,

"Ampun Tuanku, jadi Ou Goan-swe bilang, kita semua harus menyingkir dari Pak-khia?"

Kaisar Cong-ceng cuma mengangguk lesu, sedang Ou Hin yang menjawab, "Benar, pangeran. Sekarang juga. Besok pagi mungkin sudah terlambat."

Bangsawan itu mendengus sinis, "Goan swe, ketika Pangeran Tek-ong dan Paduka Han Kok-kong hendak meninggalkan Pak-khia, kau mencegah dengan keras. Sekarang kau suruh kami meninggalkan Pak-khia dengan tergesa-gesa, kenapa kau bolak-balik lidah seperti ini? Apa Goan-swe sebenarnya sudah pikun dan tak mampu lagi memperhitungkan situasi dengan tepat? Kalau demikian, letakkan saja jabatanmu, biar digantikan orang lain yang lebih mampu!"

"Benar.... benar..." bangsawan-bangsawan lain berseru-seru mendukung.

"Dengar, tuan-tuan yang mulia!" suara Ou Hin mengguntur menindih suara para bangsawan itu. "Kalau beberapa hari yang lalu tuan-tuan tinggalkan Pak-khia, tuan-tuan akan bernasib seperti Pangeran Tek-ong, ditumpas habis kaum Pelangi Kuning! Tuan-tuan ingin bernasib seperti itu?"

Sesaat para bangsawan bungkam, namun salah seorang kemudian berkata dengan nada menyalahkan Ou Hin, "Pangeran Tek-ong bernasib malang karena pasukan pengawalnya kau ambil, Goan-swe! Dia takkan mengalami bencana mengerikan itu, kalau pasukan pengawalnya kau biarkan tetap bersamanya! Kau yang menyebabkan kematiannya, Goan-swe!"

Keruan darah Ou Hin mendidih menghadapi kerewelan para bangsawan itu, suaranya makin keras sampai ia lupa kalau sedang berada di depan Kaisar, "Pasukan itu kuambil, karena Pangeran Tek-ong membawa dua ribu prajurit! Han Kok-kong juga dua ribu, jadi semuanya empat ribu prajurit! Kalau rombongan pengungsi yang meninggalkan Pak-khia membawa pasukan sebanyak itu, bukankah Pak-khia akan kosong dari tenaga pertahanan?!"

Tapi bangsawan itu masih juga berani membantah, "Pokoknya kami tidak mau berangkat kalau tidak disertai pasukan kuat! Kami tidak mau dibantai oleh kaum kelaparan itu!"

"Benar! Benar sekali!" Kembali para bangsawan saling menyahut mendukung tuntutan rekan mereka.

Sedang Ou Hin mulai berpikir praktis saja. Kalau berbantah terus, entah kapan Kaisar dan keluarganya bisa menyiapkan keberangkatan mereka? Padahal waktu sudah amat mendesak. Lalu Ou Hin keluar dari ruangan itu, dan para bangsawan sudah merasa bahwa mereka menang debat kali itu.

Namun mereka kaget ketika Ou Hin masuk kembali dengan membawa golok Ceng-liong-tonya yang tadi ditinggalkan di luar ruangan, karena begitulah peraturannya menghadap Kaisar, tidak boleh membawa senjata.

Sekarang Ou Hin melanggar peraturan itu karena keadaan yang mendesak. Para bangsawan yang sedang berkicau itu tiba-tiba bungkam ketakutan, lalu berdesak-desakan merapat ke dinding....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.