“Sie Bun Liong, jahanam busuk kau! Apa yang telah kau lakuan...? Kau layak mampus...!” Sepuluh jari tangannya menjambak-jambak rambutnya sendiri sampai gelungnya terlepas awut-awutan, kemudian kedua tangannya menampari kedua pipinya dari kanan kiri.
“Plak-plak-plak-plak-plak-plak! Kau layak mampus, layak mampus huu-huu-huuhh...!” Dia menangis sambil menahan suaranya, air matanya bercucuran, kedua pipinya bengkak-bengkak oleh tamparannya sendiri dan kedua ujung bibirnya berdarah!
Kalau orang melihat Hwe-thian Mo-li menangis mengguguk seperti anak kecil seperti itu, tentu orang yang mengenal Hwe-thian Mo-li akan terheran-heran. Gadis yang dikenal dengan julukan Iblis Betina Terbang, yang terkenal pemberani, tak mengenal takut, keras, liar dan ganas itu, bagaimana mungkin kini menangis mengguguk seperti anak kecil?
Dan orang yang mengenal laki-laki yang bersembunyi itu tentu akan lebih heran. Dia adalah Sie Bun Liong yang telah kita kenal ketika malam tadi berkunjung ke rumah adik tiri berlainan ayah ibu di Ban-hwa-pang. Sie Bun Liong adalah seorang perantau, seorang kelana yang bertahun-tahun berkelana di daerah Tibet dan Himalaya.
Seorang ahli sastra dan ahli silat yang amat pandai, kini menangis, menjambak-jambak rambutnya dan menampari pipinya sendiri! Sie Bun Liong maklum bahwa adiknya berlainan ayah dan ibu, Siangkoan Leng, adalah seorang laki-laki yang lemah dan mudah diperbudak nafsu-nafsunya.
Karena itu, sebelum meninggalkan Ban-hwa-pang di mana adiknya itu menjadi ketua, dia sudah meninggalkan banyak pesan dan nasihat agar adiknya tidak meninggalkan jalan kebenaran seperti seorang pendekar. Namun, ketika kemarin dia menuju ke Ban-hwa-pang, dia mendengar keterangan yang kurang menyenangkan tentang Ban-hwa-pang dari para penduduk.
Maka, ketika melihat Ban-hwa-pang mempersiapkan pesta pernikahan adiknya itu, dia sudah merasa curiga dan ingin bertemu calon pengantin wanita untuk melihat apakah wanita itu mau menikah dengan Siangkoan Leng dengan suka rela atau dipaksa. Kalau dipaksa, dia akan turun tangan mencegah dan melarang adiknya memaksa wanita untuk menjadi isterinya!
Akan tetapi Siangkoan Leng melarangnya bertemu dengan calon pengantin dengan alasan yang kuat dan karena betapapun juga Sie Bun Liong memiliki rasa sayang kepada adik tiri ini, maka dia mau diajak minum bermabok-mabokan oleh adiknya. Dia minum sampai begitu maboknya sehingga dia tidak ingat apa-apa lagi.
Ketika dia sadar dari keadaan setengah pingsan itu, dia merasakan tubuhnya panas dan tidak karuan. Kepalanya berdenyut-denyut dan berdengung, perasaannya demikian gembira tidak wajar. Dia membuka mata dan mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan dan di dekatnya rebah pula seorang wanita dalam keadaan telanjang bulat!
Dalam keremangan cuaca dalam kamar dia melihat kulit tubuh yang putih mulus, ketika tersentuh merasakan kehangatan yang luar biasa dan mencium keharuman yang tiba-tiba membuat gairahnya berkobar dan memuncak! Sie Bun Liong bukan seorang laki-laki yang mudah tergiur wanita, bahkan dalam usia empatpuluh dua tahun itu dia belum pernah bergaul secara intim dengan seorang wanita.
Melihat keadaan dirinya yang juga setengah telanjang karena pakaian luarnya bertumpuk di tepi pembaringan itu, Sie Bun Liong mencubit lengannya sendiri karena mengira bahwa semua itu tentu hanya mimpi. Akan tetapi ternyata bukan mimpi.
“Gila!” Dia berseru dalam hatinya dan berusaha sekuatnya untuk menolak karena nalurinya mengatakan bahwa semua ini tidak benar! Akan tetapi, semakin dilawan, gairah itu semakin kuat, seolah api yang berkobar membakar dirinya.
Dalam keadaan seperti gila dan masih setengah sadar dia tidak mampu lagi menahan gairah berahinya dan terjadilah peristiwa yang sama sekali tidak dikehendaki hati nuraninya. Hatinya menolak namun badannya tidak dapat dikendalikan lagi dan terjadilah peristiwa itu. Dia telah menggauli wanita yang tidak dikenalnya itu, wanita yang agaknya berada dalam keadaan setengah sadar atau pingsan.
Ketika pengaruh hawa rangsangan yang amat kuat itu mulai melemah, pada pagi hari itu dia segera mengenakan pakaiannya dan turun dari pembaringan. Dia hampir gila karena penyesalan, bercampur keheranan dan penasaran mengapa sampai terjadi hal seperti itu.
Apa yang telah terjadi? Siapa gadis itu? Apakah adiknya, Siangkoan Leng yang sengaja menyuruh gadis itu melayaninya? Akan tetapi ketika dia keluar dari jendela kamar itu, dia mendapat kenyataan bahwa itu merupakan kamar terbesar dan di depan pintu kamar terdapat hiasan kamar pengantin dengan kain merah! Gadis itu adalah gadis calon pengantin, calon isteri Siangkoan Leng!
Sie Bun Liong tidak dapat menahan lagi rasa malu, marah, dan penyesalannya. Perbuatannya semalam merupakan dosa yang tak dapat diampuni, merupakan perbuatan kotor dan hina, menyeretnya menjadi manusia iblis yang merusak kehormatan seorang gadis! Terkutuk! Dia lalu melarikan diri, meninggalkan Ban-hwa-pang dengan amat cepat sehingga tidak diketahui siapa pun.
Setelah berada jauh dari Ban-hwa-pang, dia berhenti, menjatuhkan diri di atas tanah lalu berlutut, menangis dan berdoa mohon pengampunan atas dosa yang telah diperbuatnya! Akan tetapi dia juga merasa heran.
Bagaimana mungkin dia melakukan perbuatan hina seperti itu, memperkosa seorang gadis yang berada dalam keadaan tidak berdaya? Sekarang baru dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu telah ditotok sehingga tidak mampu menggerakkan kaki tangan dan tidak mampu mengeluarkan suara!
Akan tetapi, mengapa dia mau melakukan perkosaan seperti itu? Ini sama sekali bukan dirinya. Sampai mati pun dia tidak akan sudi melakukan hal itu. Akan tetapi mengapa dilakuannya juga?
Dia mengingat-ingat dan membayangkan apa yang terjadi kemarin sore. Dia minum-minum dengan Siangkoan Leng, minum arak sebanyak-banyaknya karena adiknya itu membujuk dan setengah memaksanya untuk minum, demi kebahagiaan adiknya.
Setelah itu dia tidak ingat apa-apa lagi dan yang teringat hanya peristiwa malam tadi. Malam jahanam yang membuat dia berubah menjadi iblis! Mengapa begitu? Sie Bun Liong duduk termenung, diam tak bergerak seolah telah berubah menjadi arca. Dia memikirkan hal yang telah terjadi secara aneh dan luar biasa itu.
Lalu dia teringat akan perasaannya ketika mulai sadar dan mendapatkan dirinya berada di atas pembaringan, di dekat seorang gadis yang rebah telentang dalam keadaan telanjang bulat. Dia merasa tubuhnya seperti dibakar, kepalanya berdenyut, telinganya berdengung sehingga sukar baginya untuk berpikir.
“Ah...!” Tiba-tiba dia teringat bahwa adiknya, Siangkoan Leng adalah orang yang suka sekali mempelajari tentang semua bunga di Lembah Selaksa Bunga itu dan membuat ramuan obat dari bunga-bunga itu!
Mungkin dia telah keracunan, pikirnya! Ya, malam itu dia terpengaruh racun yang amat hebat, racun perangsang yang amat kuat sehingga seolah melumpuhkan semua kesadaran dan pertahanan batinnya. Dia dalam pengaruh racun perangsang! Akan tetapi, bagaimana dia dapat diracuni?
Apakah ketika dia minum-minum dengan adiknya? Dan siapa yang meracuninya? Adiknya sendiri? Rasanya tidak mungkin! Mana mungkin Siangkoan Leng meracuni kakak sendiri agar kakaknya memperkosa gadis yang menjadi calon isterinya? Sama sekali tidak mungkin! Lalu siapa? Apa yang sebenar telah terjadi?
Dia merasa malu, bahkan ngeri untuk kembali ke Lembah Selaksa Bunga. Bagaimana dia dapat berhadapan muka dengan Siangkoan Leng setelah dia memperkosa calon isteri adiknya itu? Lebih lagi, bagaimana dia akan dapat berhadapan dengan gadis yang semalam telah dia perkosa?
Sampai lama sekali, setelah termenung di situ seperti orang yang kehilangan ingatan, Sie Bun Liong baru bangkit berdiri. Dia tidak boleh berdiam diri saja, pikirnya. Dia harus menyelidiki bagaimana peristiwa semalam itu dapat terjadi dan apa artinya semua itu.
Laki-laki bertubuh sedang dengan pakaian sederhana itu kini melangkah menuju ke Lembah Selaksa Bunga kembali. Wajahnya yang memiliki garis-garis kehidupan mendalam dengan bentuk yang jantan dan tampan itu kini tampak muram. Sepasang matanya yang biasanya lembut penuh kesabaran dan tenang itu kini tampak gugup dan bingung.
Setelah agak dekat dengan perkampungan Ban-hwa-pang dia mendengar suara orang-orang berkelahi di perkampungan itu. Dia terkejut dan cepat berlari menuju ke Ban-hwa-pang. Ketika dia tiba di sana dan memandang ke pekarangan gedung tempat tinggal adiknya, matanya terbelalak, mukanya pucat dan tubuhnya gemetar.
Jantungnya hampir berhenti berdetak ketika dia melihat seorang gadis cantik jelita dan gagah, rambutnya awut-awutan, pakaiannya berlepotan darah, memegangi sebatang pedang yang berkilauan, berdiri di tengah pekarangan dan di sekelilinginya tampak mayat-mayat puluhan orang berserakan! Dia mendengar Hwe-thian Mo-li mengucapkan perintah tiga macam tugas kepada puluhan orang wanita yang berlutut menghadapnya.
Dengan hati penuh kengerian Sie Bun Liong maklum apa yang telah terjadi. Gadis yang dia gauli dalam keadaannya yang tidak wajar dan hampir tidak sadar itu adalah calon pengantin adiknya! Agaknya gadis itu memang ditawan adiknya dan agaknya hendak dipaksa menjadi isterinya. Akan tetapi karena gadis itu yang disebut Hwe-thian Mo-li kabarnya amat lihai, maka gadis itu ditotok dan direbahkan dalam kamar itu.
Dan ketika dia minum-minum dengan adiknya itu, Siangkoan Leng tentu telah mencampurkan obat perangsang yang amat kuat ke dalam arak yang diminumnya, lalu sengaja membawanya ke dalam kamar di mana calon pengantin itu rebah dalam keadaan tertotok dan telah ditanggalkan semua pakaiannya. Ah, dia kini dapat membayangkan apa yang terjadi.
Tidak salah lagi, tentu Siangkoan Leng sengaja menjebaknya, mungkin karena tahu bahwa dia pasti akan melarang adiknya memaksa Hwe-thian Mo-li menikah dengannya, maka adiknya yang telah tersesat itu menggunakan siasat seperti itu! Kalau sudah ternoda, dia mengharapkan Hwe-thian Mo-li tidak menolak lagi, dan dia yang sudah menodai gadis itu tentu tidak lagi dapat melarang adiknya menikah dan memaksa gadis itu menjadi isterinya!
“Lemah dan bodoh!” Dia menggumam dan kembali dia melihat ke arah Hwe-thian Mo-li yang menghadapi para wanita itu. Dia dapat menduga bahwa setelah terbebas dari totokannya, tentu Hwe-thian Mo-li mengamuk dan membunuhi semua anggauta Ban-hwa-pang.
Dia bergidik melihat puluhan mayat berserakan seperti itu, dan hampir dia menjerit melihat onggokan daging di depan gadis itu. Dia mengenal sisa pakaian dari bekas tubuh yang kini hancur tercincang itu. Tak salah lagi, adiknya, Siangkoan Leng, juga telah dibunuh dan dicincang oleh Hwe-thian Mo-li!
Hampir saja Sie Bun Liong melompat untuk menyerang gadis yang liar dan ganas, yang telah dengan kejam membasmi semua orang Ban-hwa-pang. Akan tetapi tiba-tiba dia menahan dirinya. Apa yang hendak dia lakukan? Membalas dendam dan membunuh gadis itu? Padahal, Hwe-thian Mo-li melakukan pembantaian itu karena merasa dirinya diperkosa. Dialah yang menjadikan gadis itu mengamuk seperti kemasukan iblis!
Teringat akan hal ini, Sie Bun Liong merasa lemas lagi, seluruh urat syarafnya seperti dilolosi dan dia menangis tanpa suara dengan sedih, menangisi kematian adiknya dan para anggauta Ban-hwa-pang, menangisi perbuatannya sendiri malam tadi. Ketika dia melihat gadis itu lari meninggalkan Ban-hwa-pang dengan cepat setelah memberi tugas kepada bekas anggauta Ban-hwa-pang, Sie Bun Liong juga lari membayanginya.
Demikianlah, ketika Hwe-thian Mo-li menjatuhkan dirinya yang lemah lunglai di tepi telaga, kemudian merintih dan meratap-ratap menangis sedih menyebut ayah dan ibunya, Sie Bun Liong merasa betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk ujung pedang. Dia menangis dan dengan menyesal dan perasaan benci kepada diri sendiri dia menampari semuanya sampai kedua pipinya bengkak-bengkak dan kedua ujung bibirnya berdarah.
Setelah tangisnya mereda karena kekerasan hati Siang Lan tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan, gadis itu bangkit duduk melamun. Mukanya pucat dan basah, juga kotor terkena tanah basah. Dirabanya mukanya dan dilihatnya telapak tangannya yang terkena kotoran dari mukanya.
“Aku kotor... aku kotor...!”
Ia berseru dan setelah memperhatikan keadaan sekeliling dengan penglihatan dan pendengarannya, yakin bahwa tidak ada orang lain di sekitar situ, ia lalu menanggalkan semua pakaiannya dan masuk ke dalam air telaga. Ia menyelam lama sampai terengah-engah ketika muncul kembali dan ia menggunakan ilalang untuk menggosoki seluruh tubuhnya dengan kuat sehingga semua kulit tubuhnya yang putih mulus menjadi kemerahan.
Ketika tadi Hwe-thian Mo-li mulai menanggalkan pakaiannya, Sie Bun Liong terkejut dan heran, akan tetapi segera dia memejamkan matanya. Sudah menjadi wataknya sejak dulu untuk bersikap sopan terhadap wanita dan kecabulan nafsu berahi sebetulnya sudah lama dia jauhi. Dia hanya mengikuti gerakan gadis itu melalui pendengarannya karena pantang baginya melihat seorang wanita menanggalkan pakaiannya.
Setelah dia mendengar suara gadis itu masuk ke dalam telaga, baru dia membuka matanya dan dia melihat betapa gadis itu menyelam dan menggosoki badannya dengan ilalang. Dia merasa iba sekali karena dia seolah dapat merasakan keadaan gadis itu.
Agaknya gadis itu hendak membersihkan diri dari penghinaan yang dialaminya semalam. Kembali dia memejamkan matanya ketika gadis itu keluar dari air telaga, mengenakan pakaiannya kembali. Dia membuka mata mendengar gadis itu kembali meratap.
“Aih.... aku kotor...kotor...! Ayah.... Ibu... aku tidak tahan lagi menanggung derita kecemaran ini...!” Gadis itu menangis sesenggukan.
Sie Bun Liong juga hampir tak dapat menahan dirinya. Dia ingin sekali keluar dari tempat persembunyiannya, menemui gadis itu dan mengakui semua perbuatannya, siap menerima hukuman mati di tangannya. Akan tetapi dia merasa malu dan... ngeri menemui gadis itu! Bukan ngeri menghadapi kematiannya sendiri, namun ngeri harus berhadapan muka dengan gadis yang telah diperkosanya itu, walaupun perbuatannya itu dilakukan dalam keadaan tidak sewajarnya dan tidak sadar karena pengaruh arak dan mungkin obat perangsang yang amat kuat.
Dengan jari-jari tangannya membentuk cakar garuda, Sie Bun Liong merobek kulit batang pohon di depannya. Lalu membentuknya selebar wajahnya, melubangi bagian mata dan lubang hidung, kemudian menggunakan saputangan untuk menalikan topeng kulit kayu itu di depan mukanya. Kalau dia mati di tangan gadis itu, biarlah dia mati tanpa memperlihatkan mukanya, pikirnya.
Tiba-tiba dia terkejut dan tubuhnya berkelebat cepat bukan main ke arah Siang Lan. Tadi, begitu dia selesai memakai topeng dan memandang kepada gadis yang tadi menangis sesenggukan, dia mendengar Hwe-thian Mo-li meratap.
“Ayah... Ibu... tunggu... aku ingin ikut kalian!” Dan gadis itu mencabut pedangnya!
“Syuuuuttt...plakk!”
Pedang di tangan Siang Lan yang sudah digerakkan menuju leher sendiri itu tiba-tiba saja terpental bertemu dengan telapak tangan yang menamparnya dari samping.
Hwe-thian Mo-li terkejut bukan main dan cepat ia membuang diri ke belakang, berjungkir balik tiga kali dan kini berdiri memandang orang yang begitu berani menangkis pedangnya. Ia terkejut melihat seorang laki-laki yang mengenakan topeng menutupi mukanya sehingga sukar ditaksir berapa usianya.
Melihat rambutnya yang sudah banyak terhias uban, tentu bukan seorang pemuda lagi. Rambut itu awut-awutan, pakaiannya sederhana, juga kusut. Namun yang mengejutkan hati Hwe-thian Mo-li adalah kenyataan bahwa laki-laki itu mampu menangkis pedang pusaka Lui-kong-kiam dengan tangan!
Juga dalam tangkisan itu terkandung tenaga sakti yang amat kuat, yang membuat pedangnya terpental walaupun tidak sampai terlepas dari tangannya. Dan yang membangkitnya kemarahan Hwe-thian Mo-li adalah keberanian orang ini untuk menangkis pedangnya dan menggagalkan usahanya membunuh diri!
“Jahanam busuk! Engkau sudah bosan hidup berani mencampuri urusan pribadiku!” bentaknya dengan suara menggetar saking marahnya. Lupalah ia akan semua kesedihan dan keputus-asaannya, terganti perasaan marah yang berkobar.
“Hua-ha-ha-ha! Engkau masih bisa marah padaku, berarti semangat hidupmu masih besar, kenapa mau bunuh diri?”
“Peduli apa engkau dengan urusanku? Siapa engkau? Mengakulah sebelum kubelah dadamu dengan pedang ini!”
“Hemm, masih kurangkah engkau membunuhi puluhan orang yang tidak bersalah kepadamu? Apakah engkau bunuh diri karena menyesal telah membunuh banyak orang yang tidak berdosa?”
“Huh, siapa menyesal! Kalau Siang-koan Leng mempunyai seribu nyawa, aku akan membunuhnya seribu kali! Dia jahat dan anak buahnya tentu jahat pula maka kubunuh mereka semua!”
“Siangkoan Leng hanya ingin memperisterimu, dan hal itu belum terjadi. Biarpun dia bersalah, membunuh dia bersama anak buahnya untuk kesalahan sekecil itu sungguh tidak adil namanya!”
“Kesalahan kecil? Hem, karena engkau akan mampus pula kubunuh, boleh engkau tahu agar jangan menjadi setan penasaran! Siangkoan Leng telah bertindak keji kepadaku, ia menghinaku dan mencemarkan kehormatanku! Nah, sekarang bersiaplah untuk mampus menyusul arwah Si Jahanam Siangkoan Leng!”
“Dan engkau setelah membunuh aku tidak akan bunuh diri lagi?”
“Peduli apa denganmu? Yang kubunuh diriku sendiri, tidak ada sangkut-pautnya denganmu! Aku pasti akan bunuh diri dan tidak ada seorang pun lagi yang dapat mencegahku!” Gadis itu menyerang dengan pedangnya, gerakannya ganas, kuat dan cepat sekali.
Akan tetapi dengan mudahnya orang bertopeng itu mengelak. “Ha-ha-ha, engkau keliru! Yang memperkosamu bukan dia!”
Siang Lan menahan serangannya, memandang heran dan tidak percaya. “Engkau bohong! Siapa lagi kalau bukan jahanam Siangkoan Leng itu?”
“Bukan dia dan bukan orang lain! Akulah yang semalam melakukan perkosaan padamu itu, Hwe-thian Mo-li!”
Siang Lan terbelalak, matanya mencorong penuh kemarahan akan tetapi juga terkejut bukan main mendengar pengakuan itu. Dia telah salah sangka dan membunuh Ketua Ban-hwa-pang dan semua anggautanya!
“Ha-ha-ha, aku yang melakukannya dan aku sama sekali bukan orang Ban-hwa-pang! Nah, apakah sekarang engkau mau bunuh diri karena takut kepadaku?”
“Setan keparat! Iblis jahanam, aku tidak mau mati sebelum dapat mencincang hancur tubuhmu!” teriak Siang Lan dengan suara menjerit saking marahnya.
05. Siasat Mencegah Bunuh Diri
Bukan saja orang ini mengaku sebagai orang yang memperkosanya tadi malam, bahkan kini menghinanya dan mengatakan ia takut! Cepat seperti kilat menyambar ia menyerang dengan Lui-kong-kiam. Akan tetapi dengan gerakan ringan sekali sambil mengeluarkan suara tawa mengejek.
Orang bertopeng itu mengelak dan dengan lompatan tinggi dia menyambar sebatang ranting pohon sebesar lengannya, melompat turun dan sudah memegang sebatang ranting yang dia pergunakan sebagai senjata.
Mereka bertanding mati-matian dan Hwe-thian Mo-li benar-benar terkejut bukan main! Pedang pusakanya yang ampuh, yang mampu mematahkan senjata lawan terbuat dari baja murni, kini tidak berdaya menghadapi senjata lawan yang hanya merupakan sebatang ranting pohon yang masih ada daun-daunnya!
Ia merasa penasaran sekali dan mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan semua ilmu silatnya yang paling lihai, namun semua serangannya dapat digagalkan dengan mudah oleh orang bertopeng itu. Yang membuat ia merasa penasaran dan semakin panas hatinya adalah mendengar betapa lawan itu terkadang mengeluarkan suara tawa mengejek kalau serangannya gagal.
Hampir seratus jurus lewat dan mereka berdua masih terus bertanding dengan serunya. Hwe-thian Mo-li menjadi semakin penasaran karena ia merasa betul bahwa lawannya itu hanya bertahan saja, mengelak atau menangkis serangan-serangannya dan hanya kadang-kadang saja balas menyerang.
Agaknya lawannya yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu mempermainkannya atau sengaja hendak menguji kepandaiannya. Ia menjadi marah sekali, akan tetapi juga penasaran dan jengkel, apalagi mengingat bahwa laki-laki ini yang semalam memperkosanya. Hampir saja ia menangis karena ia kehabisan tenaga.
Tiba-tiba laki-laki bertopeng itu mengubah gerakannya. Kini dia menyerang dengan gerakan yang aneh dan bertubi-tubi yang membuat Siang Lan segera terdesak mundur. “Roboh...!”
Laki-laki itu membentak dan tiba-tiba beberapa helai daun yang masih menempel pada ranting pohon yang dijadikan senjata itu meluncur bagaikan senjata-senjata rahasia, menyerang ke arah leher dan kedua pundak Siang Lan!
Tentu saja gadis itu terkejut mendapat serangan yang mendadak dan tak tersangka-sangka itu. Ia melompat ke samping, akan tetapi sebuah tendangan mengenai lututnya dan sebelum ia dapat menghindar, ujung ranting itu menotok pergelangan tangan kanannya sehingga pedangnya terlepas dari pegangannya! Ia terduduk karena lututnya terasa lumpuh. Ia melihat pedangnya terlempar agak jauh dan kini laki-laki itu membuang ranting di tangannya.
“Hua-ha-ha-ha! Kiranya ilmu kepandaian Hwe-thian Mo-li hanya sebegini saja!”
Siang Lan memandang dengan mata mencorong, akan tetapi kedua matanya basah air mata. Ia khawatir kalau-kalau peristiwa semalam terulang karena kini ia benar-benar tidak berdaya. Orang bertopeng itu terlampau kuat baginya. “Jahanam keparat! Aku sudah kalah! Bunuh aku!”
“Ha-ha-ha, aku tidak akan membunuhmu! Sekarang terserah engkau. Kalau engkau seorang pengecut, kau boleh bunuh diri karena takut padaku dan aku akan mengabarkan di seluruh dunia kang-ouw bahwa nama besar Hwe-thian Mo-li hanya nama kosong belaka dari seorang wanita pengecut yang tidak berani menghadapi musibah dan kesengsaraan hidup. Akan tetapi kalau engkau benar seorang pemberani, engkau boleh belajar ilmu silat seratus tahun lagi dan kelak boleh mencari aku untuk bertanding lagi seribu jurus! Ha-ha-ha-ha!”
Ini merupakan penghinaan yang sudah melewati batas! Siang Lan memaksa diri bangkit dan sambil bertolak pinggang ia menatap wajah bertopeng itu, lalu telunjuk kirinya menuding ke arah muka bertopeng kulit kayu itu.
“Jahanam, keparat, penjahat busuk! Siapa takut padamu? Kalau engkau mau bunuh, bunuhlah, aku tidak takut mati! Akan tetapi kalau engkau tidak membunuhku, aku bersumpah tidak akan mati dulu sebelum aku dapat mencincang tubuhmu. Kelak aku pasti akan mencarimu untuk membalas dendam setinggi langit sedalam lautan ini!”
“Bagus, ha-ha-ha! Aku akan menunggumu, Hwe-thian Mo-li!”
“Buka topengmu dan katakan siapa nama dan di mana kelak aku dapat mencarimu!”
“Ha-ha-ha, topeng ini merupakan ciri khasku, dan tidak akan kubuka. Kelak kalau engkau mencariku, engkau carilah tokoh bertopeng kulit kayu berjuluk Thian-te Mo-ong (Raja Iblis Langit Bumi)! Tempat tinggalku tidak tentu, akan tetapi jangan khawatir. Akulah yang akan mencarimu. Setahun sekali aku akan mencarimu di Lembah Selaksa Bunga. Selamat tinggal!”
Orang itu berkelebat lenyap dan Siang Lan tidak dapat melakukan pengejaran, hanya mendengar suara tawanya yang bergema dan semakin jauh!
Kembali Siang Lan menjatuhkan diri duduk di atas tanah dan menangis tersedu-sedu. Akan tetapi sekali ini ia bukan menangis karena sedih, melainkan menangis karena penasaran, marah, benci dan dendam bergelora di dalam hati dan akal pikirannya.
“Thian-te Mo-ong, akan kubunuh kau... Kubunuh kau...!!” teriaknya, akan tetapi ia segera dapat menguasai dirinya. Tidak, ia tidak akan membunuh diri.
Sekarang, tujuan satu-satunya dalam sisa hidupnya hanyalah membalas dendam kepada Thian-te Mo-ong, laki-laki bertopeng itu. Dan untuk dapat melaksanakan dendamnya, ia harus memperdalam ilmu silatnya karena musuh besarnya itu memiliki tingkat kepandaian silat yang amat tinggi.
Ia lalu memungut Lui-kong-kiam (Pedang Halilintar), menyarungkannya kembali dan melangkah perlahan mendaki bukit menuju Lembah Selaksa Bunga. Ia telah bersalah membunuhi para anggauta Ban-hwa-pang yang tidak berdosa dan ia merasa menyesal.
Siangkoan Leng memang sudah sepatutnya mendapat hukuman, walaupun perlakuannya kepadanya dengan mencincang tubuhnya itu juga amat keterlaluan mengingat bahwa kesalahannya hanya menawannya.
Ia harus membangun kembali Ban-hwa-pang, memakmurkan para anggautanya dan melatih mereka dengan ilmu silat. Selain itu, ia harus memperdalam ilmu silatnya sehingga kelak ia akan mampu membalas dendam musuh besar yang amat dibencinya, yaitu Thian-te Mo-ong!
Ketika ia memasuki perkampungan Ban-hwa-pang, para wanita di situ terkejut melihat ketua baru itu sudah datang lagi. Akan tetapi Siang Lan girang melihat betapa mereka itu mematuhi semua perintahnya. Setelah rumah gedung bekas tempat tinggal Siangkoan Leng dibakar habis, semua jenazah dikuburkan, dan para wanita yang mempunyai anak pergi meninggalkan Ban-hwa-pang dengan mendapat bekal secukupnya, mulailah Siang Lan membenahi perkumpulan itu.
Sebuah rumah untuknya dibangun dan setelah ia kumpulkan, ternyata ada tigapuluh lima orang wanita yang menjadi anggautanya. Siang Lan mengatur perkumpulan itu menjadi sebuah perkumpulan wanita yang pantang melakukan kejahatan, akan tetapi juga para anggauta tidak boleh berhubungan dengan laki-laki selama mereka menjadi anggauta Ban-hwa-pang. Siapa yang hendak menikah tidak dilarang, melainkan harus meninggalkan Ban-hwa-pang!
Sementara itu, laki-laki bertopeng yang telah mencegah Siang Lan bunuh diri kemudian bertempur dan mengalahkan gadis liar itu, juga meninggalkan Siang Lan dan kini dia melangkah perlahan mendaki bukit yang bersebelahan dengan bukit di mana terdapat Lembah Selaksa Bunga yang karena adanya lembah itu, disebut pula Ban-hwa-san (Bukit Selaksa Bunga).
Dia melangkah satu-satu dengan santai. Topeng kayu telah ditanggalkannya dan dibuangnya dan orang itu bukan lain adalah Sie Bun Liong. Kini dia melangkah sambil bicara seorang diri, berbantahan sendiri seperti seorang gila!
“Kamu kejam! Tak tahu malu, melakukan perbuatan biadab dengan memperkosa seorang gadis. Padahal selama ini kamu belum pernah bergaul dengan wanita dan tampak alim. Huh, alim yang pura-pura, munafik!” bisik mulutnya yang mengeluarkan suara hatinya.
Suara pikirannya membantah. “Aku melakukannya dalam keadaan tidak sadar! Karena mabok arak dan dipengaruhi racun perangsang!”
“Kamu kini lebih kejam lagi! Bukan hanya menghina dengan mengalahkannya, bahkan mengejeknya dan membiarkan ia hidup merana dengan mengandung dendam kepadamu. Kamu benar-benar jahat dan kejam sekali!”
Sie Bun Liong menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku melakukannya dengan sengaja walaupun dengan perasaan pedih. Semua itu kulakukan untuk menjauhkan niat bunuh diri darinya, agar ia bersemangat tetap hidup untuk dapat membalas dendam kepadaku. Biarlah aku kelak dianggap jahat dan kejam, semua itu kulakukan demi menyelamatkannya, untuk menebus dosa yang kulakukan kepadanya tanpa kusengaja....”
“Huh, untuk mengakhiri penderitaannya, mengapa engkau tidak membunuhnya saja atau membiarkan ia membunuhmu dalam perkelahian tadi? Mengapa engkau mengorbankan dirimu biar dianggap biadab, jahat dan kejam demi mencegahnya bunuh diri? Ha-ha, aku tahu, karena engkau cinta padanya... cinta padanya...”
“Tidak...!”
“Engkau jatuh cinta padanya!”
“Tidak, kamu ngaco....!”
“Kau cinta padanya... cinta padanya... cinta padanya...!” Suara itu seperti mengejek mentertawakannya.
“Plakk! Bodoh kamu!” Sie Bun Liong menampar kepalanya sendiri. Dia lalu mendaki puncak bukit dan mengambil keputusan untuk tinggal di situ secara diam-diam karena dia harus memantau keadaan dan perkembangan Hwe-thian Mo-li yang kini menjadi Ketua Ban-hwa-pang.
Kota raja Kerajaan Dinasti Beng (1368-1644) pada waktu itu dapat dibilang cukup makmur. Yang menjadi kaisar adalah Kaisar Wan Li (1572-1620) yang ketika kisah ini terjadi menghadapi banyak masalah gangguan pemberontakan yang terjadi di daerah selatan dan utara. Dari utara datang gangguan dari suku-suku bangsa, yang terbesar adalah bangsa Mancu.
Dan dari selatan datang gangguan dari perkumpulan-perkumpulan yang ingin memberontak seperti misalnya Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw. Akan tetapi berkat kepandaian dua orang menteri yang bijaksana, maka sebegitu jauh semua masalah itu dapat diselesaikan dan pemberontakan dapat ditindas walaupun belum dapat dipadamkan sama sekali.
Dua orang menteri yang bijaksana dan cekatan dalam sejarah sebagai menteri-menteri yang setia itu adalah Menteri Yang Ting Ho yang menjadi penasehat Kaisar Wan Li dalam urusan ketatanegaraan, dan yang kedua adalah Panglima Chang Ku Cing yang menjadi penasehat dalam urusan ketatanegaraan dan keamanan negara.
Tentu saja kedua orang menteri ini dibantu oleh banyak pejabat dan perwira yang setia dan jujur, dua sifat pejabat negara yang sukar ditemukan pada waktu itu. Sebagian besar pejabat itu merupakan orang-orang yang korup, mencuri uang negara, memeras dan menekan rakyat, bertindak sewenang-wenang mengandalkan kedudukan dan kekuasaan masing-masing.
Satu di antara perwira yang membantu Panglima Chang Ku Cing, yang merupakan seorang perwira tangguh, jujur dan setia kepada atasannya, dan dengan sendirinya dia juga amat setia kepada kerajaan, adalah Panglima Muda Kui Seng yang baru saja naik pangkat menjadi panglima muda setelah dia berhasil meringkus tujuh orang pimpinan pemberontak Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih).
Kui Seng atau lebih dikenal dengan Kui Ciang-kun (Panglima Kui) adalah seorang laki-laki bertubuh sedang dan bersikap gagah. Dia terkenal pemberani dan pandai mengatur pasukan sehingga dipercaya oleh Panglima Besar Chang Ku Cing.
Kui Ciang-kun mempunyai seorang puteri bernama Kui Li Ai, seorang gadis berusia delapanbelas tahun yang cantik jelita. Isterinya, atau ibu kandung Li Ai, telah meninggal dunia karena sakit tiga tahun yang lalu dan sebagai pengganti isteri pertama, dia mengangkat seorang selir menjadi isteri pertama.
Sayang bahwa selir yang diangkat menjadi isteri dan baru berusia tigapuluh tahun itu, diam-diam merasa tidak suka kepada anak tirinya, sehingga di pihak Li Ai dengan sendirinya juga timbul perasaan tidak suka kepada ibu tiri ini. Akan tetapi perasaan tidak suka ini tidak mereka perlihatkan di depan Kui Seng.
Pada suatu senja menjelang malam, setelah makan malam, Kui Ciang-kun bercakap-cakap dengan isterinya di halaman belakang yang terbuka dan menghadap ke taman bunga karena malam hari itu udara panas sehingga nyaman duduk bercakap-cakap di tempat terbuka itu. Kui Ciang-kun membicarakan tentang tujuh orang pimpinan Pek-lian-kauw yang dia tawan tiga bulan yang lalu dan kini menjadi tahanan dalam penjara pemerintah.
“Aku masih khawatir kalau mengingat para pimpinan Pek-lian-kauw yang tertawan itu.” katanya lirih seperti kepada diri sendiri.
“Eh, mengapa begitu, suamiku? Bukankah karena penangkapan itu, engkau telah berjasa dan mendapat kenaikan pangkat?”
“Benar, akan tetapi keberhasilan itu berkat bantuan Ouw-yang Sianjin yang lihai dan berjiwa patriot. Tosu (Pendeta Agama To) dan para pendekar muda. Tanpa bantuan mereka, akan sukarlah bagiku untuk mengalahkan tujuh orang pimpinan Pek-lian-kauw yang lihai itu.”
“Akan tetapi mereka itu telah tertangkap dan dijatuhi hukuman, mengapa pula engkau kini mengkhawatirkannya?”
“Mereka memang sudah tertangkap dan bahkan empat orang dari mereka telah dijatuhi hukuman mati. Akan tetapi yang tiga orang lagi masih ditahan dan belum dihukum mati. Aku merasa khawatir sekali melihat kelemahan Sribaginda Kaisar yang tidak segera menghukum mati pula tiga yang lain itu. Justeru mereka bertiga itu yang merupakan orang-orang terpenting di Pek-lian-kauw. Aku sudah menghadap Panglima Besar Chang, namun beliau yang amat setia kepada kaisar malah memarahi aku, mengatakan bahwa kami semua harus menaati perintah Sribaginda Kaisar. Ahh, aku menjadi khawatir....” Kui Ciang-kun kembali menghela napas panjang.
“Apa yang kau khawatirkan, suamiku?”
“Sribaginda Kaisar selalu bersikap lemah terhadap Pek-lian-kauw. Bahkan beliau pernah menerima kedatangan utusan dari Pek-lian-kauw, padahal Pek-lian-kauw selalu mencari kesempatan untuk menjatuhkan kerajaan dan merampas kekuasaan. Juga Pek-lian-kauw, dengan berkedok agama dan perjuangan rakyat, merupakan penipu-penipu rakyat dan suka bertindak sewenang-wenang, membodohi dan memeras rakyat. Menurut pendapatku, Pek-lian-kauw harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Akan tetapi sekarang, tiga orang pimpinan mereka masih ditahan dan tidak segera dihukum mati.”
“Aih, suamiku, mengapa engkau mengkhawatirkan hal itu? Serahkan saja semua itu kepada Sribaginda Kaisar dan kepada Panglima Chang, atasanmu. Engkau hanya tinggal melaksanakan tugasmu,” hibur isterinya.
Tiba-tiba terdengar jeritan wanita. Hanya terdengar satu kali saja lalu suara itu terhenti seolah-olah mulut yang menjerit tadi dibungkam. Biarpun jeritan itu hanya terdengar satu kali, namun Kui Ciang-kun mengenal bahwa itu adalah suara Kui Li Ai, puterinya!
Maka, cepat dia melompat dan berlari ke arah datangnya suara jeritan tadi, yaitu di dalam taman. Dia melihat bayangan seseorang memanggul tubuh seorang gadis dan cepat dia melompat sambil mencabut pedangnya, menghadang di depan orang itu dan membentak.
“Berhenti...!”
Di bawah sinar lampu yang tergantung di tiang lampu di taman itu, di bawah mana agaknya orang itu sengaja berdiri dan menantinya, Kui Ciang-kun melihat bahwa orang itu adalah seorang yang berpakaian sebagai seorang Tosu dan yang dipanggul itu bukan lain adalah Kui Li Ai, puteri tunggalnya!
Tosu itu memegang sebatang pedang yang sudah ditempelkan di leher puterinya yang tidak mampu bergerak, agaknya dalam keadaan tertotok. Melihat bahwa yang ditawan tosu itu adalah puterinya, Kui Ciang-kun menjadi marah bukan main.
“Siapakah engkau? Hayo cepat bebaskan puteriku atau aku akan memanggil pasukan pengawal dan menangkapmu!” bentaknya.
“Tenang, Kui Ciang-kun dan jangan lakukan sesuatu atau anakmu ini akan pinto (aku) bunuh lebih dulu. Anakmu pinto jadikan sandera dan ia pasti akan pinto bunuh kalau engkau tidak menuruti permintaan pinto!”
“Hemm, engkau seorang pendeta, mengapa bertindak begini jahat dan curang? Kalau hendak bicara, tidak perlu menawan puteriku. Lepaskan ia dan kita boleh bicara!”
“Pinto tidak sebodoh itu, Ciang-kun. Sekarang dengarlah permintaan pinto. Engkau harus menolong tiga orang pimpinan Pek-lian-kauw yang ditahan di penjara dan engkau harus dapat membebaskannya. Pinto beri waktu tiga hari. Kalau engkau dapat membebaskan mereka, puterimu ini tentu akan kembali padamu. Kalau tidak, terpaksa puterimu pinto bunuh!”
Setelah berkata demikian, sekali melompat tosu itu telah lenyap dalam bayangan pohon-pohon dalam taman sambil memanggul tubuh Li Ai. Baru melihat cara tosu itu melompat dan menghilang sedemikian cepatnya saja, tahulah Kui Ciang-kun bahwa dia sama sekali bukan tandingan tosu itu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
Dia merasa bingung akan tetapi juga tidak berdaya. Kalau dia mengejar dan mengerahkan pasukan, puteri tunggalnya tentu terancam maut. Jelas bahwa tosu itu seorang tokoh Pek-lian-kauw yang berilmu tinggi dan dia tahu bahwa orang Pek-lian-kauw tidak menggertak kosong belaka dan bagi mereka, membunuh orang merupakan hal yang kecil.
Akan tetapi, untuk membebaskan puterinya, dia harus dapat membebaskan lebih dulu tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang kini masih ditahan di penjara! Tubuhnya menjadi lemas sekali, mukanya pucat dan ketika dia melangkah kembali ke gedungnya, ke dua kakinya gemetar.
Isterinya menyongsong dengan pertanyaan. “Suamiku, apa yang telah terjadi di taman? Siapa yang tadi menjerit?”
Kui Ciang-kun yang berwajah muram itu tidak menjawab, melainkan memberi isyarat kepada isterinya untuk memasuki gedung mereka. Setelah mereka berdua berada dalam kamar, barulah Kui Ciang-kun menjatuhkan diri duduk di atas kursi, menghadapi meja dan bertopang dagu dengan wajah sedih, bingung dan gelisah.
“Celaka....” keluhnya, “celaka sekali....”
Isterinya duduk di atas kursi dekatnya. “Ada apakah, suamiku? Mengapa engkau tampak begini sedih dan gelisah?”
“Anak kita... Li Ai... ia diculik orang...”
Isterinya kaget, “Diculik? Jadi yang menjerit tadi Li Ai? Akan tetapi mengapa tidak kau kejar? Kenapa tidak panggil pasukan pengawal untuk membantumu?”
“Percuma, orang itu amat lihai dan... dan dia mengancam akan membunuh Li Ai kalau aku mengejarnya....”
“Akan tetapi.... siapa penculik itu dan apa maunya?”
“Begini....” Panglima itu berhenti sebentar dan memandang ke kanan kiri, “jangan katakan kepada siapapun juga... ini harus dirahasiakan... Anak kita itu hanya dijadikan sandera dan tidak akan diganggu, bahkan akan dibebaskan kalau dalam waktu tiga hari aku mau memenuhi permintaannya...”
“Hemm, apa permintaannya. Uang...?”
“Apa, kalau cuma uang, berapapun, aku tidak akan sebingung ini! Dia minta agar aku... membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang ditahan dalam penjara itu! Kalau dalam tiga hari aku tidak dapat membebaskan mereka, Li Ai... ia akan dibunuh....”
06. Apakah Panglima Kui Pengkhianat?
Nyonya Kui terkejut dan keduanya terdiam, tenggelam ke dalam lamunan dan bayangan masing-masing yang amat menggelisahkan. Akhirnya Nyonya Kui bertanya. “Suamiku, apakah engkau tidak bisa membebaskan tiga orang itu?”
“Hemm, kepala penjara itu termasuk anak buahku, tentu saja aku bisa mengusahakan agar mereka dapat dibebaskan, akan tetapi...”
“Akan tetapi apa lagi?”
“Bagaimana mungkin aku membebaskan mereka yang menjadi tokoh-tokoh pemberontak? Berarti aku mengkhianati negara dan aku dapat dihukum mati....”
“Aih!” Isterinya terkejut dan memandang suaminya dengan mata terbelalak. “Kalau begitu, jangan bebaskan mereka!!”
Kui Ciang-kun menatap isterinya dan mengerutkan alisnya. “Dengan begitu membiarkan puteriku dibunuh penculik? Kau ingin ia dibunuh penculik?”
“Aku... aku tidak ingin engkau dihukum mati, suamiku!”
“Huh, sudahlah! Biar urusan ini ku pikirkan sendiri!” katanya, hatinya menahan kemarahan karena kini dia menyadari bahwa isterinya ini tidak begitu peduli akan nasib Li Ai yang menjadi anak tiri isterinya itu.
Dia lalu meninggalkan kamar isterinya, kegelisahan dan kebingungannya bertambah dengan perasaan marah kepada isterinya yang dianggap tidak mempedulikan nasib puterinya. Dia mengambil keputusan, setelah semalam suntuk tidak tidur dan gelisah dalam kamarnya sendiri, untuk menyelamatkan puterinya, kalau perlu dengan pengorbanan apapun juga!
Menjelang fajar, diam-diam ia keluar dari gedungnya dan pergi berkunjung ke rumah Perwira Ciok, anak buahnya yang menjabat sebagai kepala penjara di mana tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu ditahan. Dengan singkat dia menceritakan persoalannya kepada Perwira Ciok dan minta agar Sang Perwira membantunya membebaskan tiga orang tahanan itu.
“Aih, Ciang-kun, bagaimana mungkin kita melakukan hal itu?” kata Perwira Ciok terkejut sekali.
“Apa engkau hendak mengatakan bahwa sebagai kepala penjara engkau tidak mampu melakukannya?” tanya Kui Ciang-kun sambil menatap tajam wajah bawahannya itu.
“Bukan begitu, Ciang-kun. Maksudku, hal itu tentu akan diketahui akhirnya dan akan menerima hukuman berat!”
“Jangan khawatir! ini kuberi surat perintah untuk membebaskan tiga orang sehingga kalau engkau dipersalahkan, engkau tinggal memperlihatkan surat perintah. Sebagai bawahan, engkau harus menaati perintah atasanmu sehingga bukan engkau yang dipersalahkan, melainkan aku!”
“Akan tetapi...... Ciang-kun akan dianggap pengkhianat, membantu pemberontak, dan akan dihukum berat sekali!”
“Aku tahu, mungkin aku akan dihukum mati. Akan tetapi aku sudah siap mengorbankan nyawaku demi keselamatan anak tunggalku. Cepat lakukan, Perwira Ciok, kalau engkau mau membalas budi kepadaku!”
Mula-mula Perwira Ciok masih ragu, akan tetapi setelah diingatkan akan budi kebaikan yang berkali-kali dia terima dari atasannya ini, akhirnya dia mau melaksanakannya juga. Dia menerima surat perintah dari Kui Ciang-kun itu dan pergi ke penjara, membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw dan mengatakan kepada mereka bahwa yang membebaskan mereka adalah Panglima Kui Seng dan agar tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu segera membebaskan Nona Kui Li Ai yang dijadikan sandera.
Tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu menyatakan sanggup dan di pagi hari buta itu mereka bertiga meloloskan diri keluar dari penjara lalu langsung keluar dari kota raja dengan bantuan kawan-kawan mereka yang sudah siap menyambut mereka di luar penjara!
Setelah menyampaikan surat dan perintahnya kepada Perwira Ciok, Kui Ciang-kun pulang ke rumahnya dan dia mengurung diri dalam kamar dengan hati berdebar penuh ketegangan. Dia tidak khawatir akan dirinya sendiri. Yang terpenting baginya adalah menyelamat Li Ai. Dia menyadari benar bahwa perbuatannya itu tentu akan ketahuan karena lolosnya tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang merupakan tahanan penting itu pasti akan menggemparkan.
Akan tetapi, demi keselamatan puterinya, dia siap mengorbankan apa saja, termasuk dirinya sendiri. Lebih dulu puterinya harus dapat diselamatkan. Setelah itu, baru dia akan berusaha sekuat tenaga untuk menangkap kembali tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu! Daun pintu kamarnya diketuk dari luar, ketuan yang lirih dan hati-hati.
“Siapa?” tegurnya.
“Suamiku, makanan pagi telah disiapkan. Mari kita makan, ataukah engkau menghendaki agar sarapan dibawa ke kamar?” terdengar suara isterinya yang tidak dapat membuka daun pintu yang dia palangi dari dalam.
“Aku tidak ingin makan dan jangan ganggu aku!” kata Kui Ciang-kun. Isterinya tidak berani mengganggunya lagi dan meninggalkan tempat itu. Beberapa lama kemudian, kembali daun pintunya diketuk orang dari luar.
“Siapa itu? Aku tidak mau diganggu!” Kui Ciang-kun berseru marah.
“Thai-ya (Tuan Besar), di luar datang seorang tamu yang ingin bertemu dengan Thai-ya.” terdengar suara kepala pasukan pengawal yang bertugas jaga saat itu.
“Hemm, tentu utusan dari atasannya yang datang untuk memanggilnya atau langsung menangkapnya. Dia telah siap untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya meloloskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu dari penjara. Maka dia lalu mengenakan pakaian seragam lengkap dan dengan sikap gagah dia keluar dari kamar dan terus keluar ke serambi depan untuk menemui utusan Panglima Besar Chang Ku Cing.
Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika dia melihat bahwa yang datang bertamu adalah seorang gadis cantik yang mengangkat ke dua tangan memberi hormat kepadanya! Akan tetapi keheranan itu segera berubah menjadi kegembiraan ketika dia mengenal siapa gadis itu. Ia adalah seorang di antara pendekar muda yang membantu dia dan pasukannya ketika penyergapan orang-orang Pek-lian-kauw di luar kota raja!
“Hwe-thian Mo-li....! Engkaukah ini, Nona?” serunya sambil membalas penghormatan gadis itu.
Gadis itu memang Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan! Dulu pernah ia diperkenalkan kepada Panglima Kui ini sebagai Hwe-thian Mo-li. Seperti telah kita ketahui, beberapa bulan yang lalu Nyo Siang Lan atau Hwe-thian Mo-li ini telah membasmi orang-orang Ban-hwa-pang. Setelah ia kemudian mendengar dari musuh besarnya.
Orang berkedok yang mengaku bernama Thian-te Mo-ong, yang telah memperkosanya, bahwa Ban-hwa-pang sebetulnya tidak bersalah besar kepadanya, Siang Lan merasa menyesal dan ia mengambil keputusan untuk membangun kembali Ban-hwa-pang, akan tetapi hanya wanita yang menjadi anggautanya.
Setelah membenahi perkumpulan itu dan membangun sebuah rumah untuknya, Hwe-thian Mo-li yang kini menjadi majikan Lembah Selaksa Bunga atau ketua Ban-hwa-pang itu, meninggalkan Lembah Selaksa Bunga karena ia merasa rindu untuk bertemu dengan Ong Lian Hong, sumoinya (adik seperguruannya).
Ia ingin benar mengetahui apakah kini Lian Hong telah menikah dengan Sim Tek Kun, putera Pangeran Sim Liok Ong itu. Ia tidak lagi merasa cemburu atau iri terhadap Lian Hong yang telah lebih dulu bertunangan dengan Sim Tek Kun, pemuda satu-satunya yang pernah dicintanya.
Sekarang, ia bukan lagi hanya mengalah kepada sumoinya yang berjodoh dengan pemuda itu, lebih dari itu, ia merasa tidak berharga untuk menjadi isteri Sim Tek Kun, bahkan menjadi isterinya siapapun juga. Ia adalah seorang gadis yang telah ternoda dan keinginan satu-satunya hanya ingin membalas dendam dan membunuh Thian-te Mo-ong yang amat lihai.
Ia ingin bertemu dengan Lian Hong, selain merasa rindu, juga ia ingin bertanya kepada sumoinya itu, di mana adanya Ouw-yang Sianjin, susiok (paman guru) mereka, karena untuk dapat memperoleh kepandaian yang tinggi agar dapat membalas dendam, ia ingin memperdalam ilmu silatnya dengan petunjuk Ouw-yang Sianjin.
Entah mengapa begitu memasuki kota raja dan tiba dekat tempat tinggal Jaksa Ciok, kakek dari sumoinya Ong Lian Hong, ia teringat akan Sim Tek Kun dan jantungnya berdebar penuh ketegangan. Bagaimana dia akan bersikap kalau bertemu mereka nanti?
Ketegangan hatinya inilah yang menunda keinginannya bertemu dengan sumoinya dan sebaliknya, ia berkunjung ke gedung Panglima Kui. Ia juga gembira ketika panglima itu masih mengenalnya walaupun baru satu kali mereka bertemu.
“Kui Ciang-kun, bagaimana keadaan Ciang-kun selama ini? Kuharap dalam keadaan baik,” kata Siang Lan.
Tiba-tiba wajah panglima yang tadinya berseri menjadi muram karena dia teringat akan keadaannya. Dia menghela napas panjang. “Nona, mari silakan masuk ke dalam dan kita bicara. Terus terang saja, kami berada dalam keadaan yang buruk sekali, tertimpa malapetaka.”
Siang Lan mengerutkan alisnya dan ia mengikuti Kui Ciang-kun memasuki gedung itu. Mereka memasuki sebuah ruangan tertutup dan setelah duduk berhadapan, Kui Ciang-kun menceritakan semua peristiwa yang menimpa keluarganya. Siang Lan mendengarkan dengan penuh perhatian dan ketika mendengar bahwa puteri panglima itu diculik sebagai sandera memaksa Kui-Ciang-kun membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw, ia bertanya dengan hati penasaran.
“Dan engkau memenuhi permintaan mereka itu, Ciang-kun?”
Kui Seng, panglima yang sudah banyak jasanya terhadap kerajaan itu menghela napas panjang. “Habis, apa yang dapat kulakuan, Nona? Orang Pek-lian-kauw amat kejam dan bukan hanya menggertak kosong belaka. Kalau tidak kupenuhi permintaan mereka, aku yakin puteriku akan disiksa dan dibunuh. Maka, pagi-pagi sekali tadi aku memerintahkan kepala penjara yang menjadi anak buahku untuk membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu!”
Kembali panglima itu menghela napas panjang dan berkata dengan suara berat. “Kui Li Ai adalah anak satu-satunya dari keluargaku, aku rela berkorban nyawa sekalipun untuk menyelamatkannya. Akan tetapi untuk itu aku terpaksa menjadi seorang pengkhianat negara karena membebaskan para pimpinan pemberontak.”
“Akan tetapi engkau sendiri mengatakan bahwa orang Pek-lian-kauw itu kejam dan jahat. Setelah engkau membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu, apakah engkau yakin mereka akan membebaskan puterimu, Ciang-kun?”
“Mudah-mudahan mereka akan membebaskanya, Nona. Kalau tidak maka sia-sia saja aku mengorbankan nyawaku. Maka, aku mohon kepadamu, Nona, sudilah kiranya engkau menolong puteriku Kui Li Ai itu dari tangan mereka... aku mohon kepadamu....” Panglima itu bangkit dari duduknya dan menjura dengan membungkuk dalam kepada Siang Lan.
Gadis itu cepat bangkit dan membalas penghormatan yang berlebihan itu. “Tenang dan duduklah, Ciang-kun. Tentu saja aku mau membantumu. Katakan, siapa nama orang yang menculik puterimu itu, dan siapa pula nama tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang telah kaubebaskan dari penjara?”
“Penculik itu adalah seorang tosu yang usianya sudah lebih dari enampuluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dan dia bersenjata sebatang pedang, kulihat ada sebuah kebutan berbulu putih terselip di ikat pinggangnya. Wajahnya pucat dan, matanya sipit, rambutnya sudah putih semua. Dia tidak mengaku siapa namanya, akan tetapi aku yakin bahwa dia tentu seorang tokoh Pek-lian-kauw yang amat lihai. Adapun tiga orang tawanan yang dibebaskan itu adalah tiga di antara tujuh orang tokoh Pek-lian-kauw yang dulu kita tangkap.”
“Siapa nama mereka, Ciang-kun?”
“Menurut pengakuan mereka ketika mereka diperiksa dulu, nama mereka adalah Hoat Hwa Cin-jin, Cin Kok Tosu, dan Cia Kun Tosu, tiga orang di antara para pimpinan Pek-lian-kauw cabang utara yang bermarkas di dusun Liauw-ning di lereng pegunungan sebelah timur antara kota raja dan Thian-cin. Nona, sekali lagi aku mohon padamu, tolonglah anakku Li Ai dari tangan mereka....”
Pada saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda dan muncullah belasan perajurit mengiringkan seorang yang berpakaian sebagai seorang panglima. Panglima itu berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan gagah perkasa, kumis dan jenggotnya pendek terpelihara rapi sehingga dia tampak berwibawa, apa lagi sinar matanya mencorong seperti mata seekor harimau.
Melihat panglima ini, tergopoh-gopoh Kui Ciang-kun keluar dari ruangan depan dan menyambutnya. Panglima itu melompat turun dari atas kudanya dan memandang kepada Kui Ciang-kun yang memberi hormat sambil berlutut sebelah kaki, Lalu memandang kepada Hwe-thian Mo-li yang berdiri di sebelah Panglima Kui itu.
“Chang Thai-ciangkun, selamat datang dan terimalah salam hormat saya,” kata Kui Ciang-kun dengan hormat.
“Kui Ciang-kun, bangkitlah berdiri!” bentak panglima itu yang bukan lain adalah Panglima Besar Chang Ku Cing penasehat kaisar bagian pertahanan dan keamanan negara, juga menjadi atasan Kui Ciang-kun.
Mendengar perintah ini Kui Seng segera bangkit berdiri dengan sikap tegak siap di depan atasannya.
“Kui Ciang-kun, kami mendengar bahwa engkau telah memerintahkan kepala penjara untuk membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang berada di penjara dan yang menanti pelaksanaan hukuman mati?”
Kui Seng mengangguk. “Benar, Thai-ciangkun!”
“Hemm, Kui Seng! Engkau telah berkhianat terhadap negara, sungguh kami sebagai atasanmu merasa malu sekali! Pengkhianatanmu itu patut mendapat hukuman berat!”
“Saya siap menanggung akibatnya, Thai-ciangkun!” kata Kui Seng dan suaranya yang terdengar lantang itu membuat hati Siang Lan merasa terharu. Sikap ini saja menunjukkan bahwa orang she Kui ini memiliki watak yang gagah perkasa, penuh tanggung jawab terhadap kesalahannya.
“Bagus, sekarang tanggalkan tanda pangkat dan pedangmu, lalu engkau akan kubawa ke pengadilan tentara untuk menentuan hukumanmu!” kata Panglima Besar Chang Ku Cing.
“Nanti dulu!” tiba-tiba Hwe-thian Mo-li berseru sambil melangkah maju berdiri di depan Kui Seng dengan sikap melindungi. “Ini sungguh tidak adil! Ciang-kun, tahukah engkau mengapa Kui Ciang-kun membebaskan tiga orang Pek-lian-kauw itu? Dia terpaksa melakukannya karena puterinya, Kui Li Ai, telah diculik dan disandera orang-orang Pek-lian-kauw. Kalau Kui Ciang-kun tidak mau membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu, puterinya akan dibunuh! Jelas bahwa Kui Ciang-kun bukan seorang pengkhianat. Dia melakukannya untuk menyelamatkan puteri tunggalnya! Dia tidak pantas menerima hukuman!”
Panglima Chang mengerutkan alisnya yang tebal dan sepasang matanya menatap tajam wajah gadis itu. “Nona, siapakah engkau yang berani mencampuri urusan ketentaraan?”
Biarpun Panglima Besar Chang bertanya dengan suara lantang penuh teguran, Hwe-thian Mo-li sama sekali tidak merasa gentar dan ia menjawab dengan sikap gagah. “Siapakah aku tidaklah penting, akan tetapi aku selalu akan membela orang yang tidak bersalah dan menentang orang yang sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya untuk menekan orang!”
Diam-diam Panglima Chang merasa heran, juga penasaran sekali. Dia memperhatikan wajah gadis yang cantik dengan sepasang mata mencorong penuh keberanian itu. “Kui Ciang-kun! Siapakah gadis ini?” bentaknya kepada bawahannya.
“Ia adalah Hwe-thian Mo-li, seorang dari para pendekar muda yang dulu membantu menawan orang-orang Pek-lian-kauw sehingga dapat membasmi mereka dan menangkap tujuh orang pimpinannya,” kata Kui Seng.
Panglima Chang kaget dan mengangguk-angguk. “Ah, kiranya engkau seorang pendekar, Nona? Engkau sudah pernah berjasa ikut membantu pemerintah menentang Pek-lian-kauw, mengapa sekarang engkau berbalik sikap, membela Kui Ciang-kun yang jelas telah berkhianat dengan membebaskan tawanan tiga tokoh Pek-lian-kauw itu yang berarti membantu pemberontak Pek-lian-kauw?”
“Tuduhanmu itu tidak adil, Ciang-kun! Andaikata engkau yang mempunyai anak perempuan diculik gerombolan Pek-lian-kauw yang menuntut agar engkau membebaskan tiga orang tahanan ini, bagaimana sikapmu? Apakah engkau akan membiarkan puterimu dibunuh begitu saja?”
“Pandanganmu itu keliru, Nona. Keamanan rakyat dilindungi oleh pemerintah, juga kesejahteraan rakyat diatur oleh Pemerintah. Sebagai imbalannya, rakyat sudah sepatutnya setia kepada Pemerintah dan membela kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi dan keluarganya.
"Kalau semua orang mementingkan diri sendiri, tentu Pemerintah akan menjadi lemah dan akan mudah direbut kekuasaannya oleh pemberontak seperti Pek-lian-kauw. Kepentingan Negara harus didahulukan karena hanya kalau negara aman, kehidupan rakyat pun aman, kalau negaranya makmur, kehidupan rakyat pun makmur.”
“Akan tetapi aku tidak melihat kenyataan itu, Ciang-kun. Yang kulihat, kemakmuran hanya dapat dirasakan oleh mereka yang memiliki kedudukan dan kekuasaan. Sedangkan rakyat jelata, lihat saja sendiri, banyak yang berada di bawah garis kemiskinan, apakah itu dapat dikatakan makmur seperti kehidupan mereka yang berpangkat dan berkuasa?” Hwe-thian Mo-li menyerang.
Mendengar ini, Panglima Besar Chang Ku Cing menghela napas panjang dan mukanya berubah kemerahan. “Harus kami akui bahwa pendapatmu itu ada benarnya walaupun tidak sepenuhnya benar. Memang ada dan banyak terdapat pembesar yang hanya mementingkan diri sendiri, mengejar dan mengumpulkan harta benda tanpa mengingat keadaan rakyat, secara halus mencuri harta yang berasal dari rakyat dan dikumpulkan pemerintah. Harta yang seharusnya dikembalikan kepada rakyat melalui pembangunan yang dibutuhkan rakyat jelata. Karena itulah dituntut kesetiaan terhadap negara.
“Panglima Kui memang seorang yang bijaksana dan tidak korup, tidak mengejar keuntungan pribadi, tidak mencuri harta negara dan tidak menindas rakyat. Akan tetapi, dia tetap bersalah karena telah membebaskan tiga orang tawanan, padahal, tiga orang Pek-lian-kauw itu merupakan musuh negara yang berbahaya.”
“Akan tetapi, Kui Ciang-kun siap melakukan apa pun demi keselamatan puterinya, kalau perlu dia siap mengorbankan nyawanya!” Siang Lan mencoba untuk membantah dan tetap membela Kui Ciang-kun.
“Hemm, mengorbankan nyawa sendiri untuk menolong puterinya, hal itu baik saja. Akan tetapi dalam hal ini dia mengorbankan keselamatan pemerintah dan keamanan rakyat! Kalau tiga orang pimpinan Pek-lian-kauw itu lolos, berarti negara terancam pemberontakan dan kalau terjadi pemberontakan, tentu kehidupan rakyat tidak akan aman dan akan jatuh banyak korban di antara rakyat yang tidak berdosa. Apakah tindakannya itu benar?”
Hwe-thian Mo-li dapat melihat kebenaran dalam perdebatan Panglima Besar Chang itu, maka ia mengerling kepada Kui Ciang-kun. Panglima ini menundukkan mukanya yang berubah pucat dan tubuhnya agak gemetar, agaknya dia pun menyadari akan kesalahannya. Hwe-thian Mo-li menjadi kasihan dan ia mendesak panglima besar itu.
“Thai-ciangkun, andaikata engkau yang mengalami hal seperti Kui Ciang-kun, apa yang akan kau lakukan?”
“Hemm, aku atau siapa saja di antara rakyat di negeri ini yang mengalami musibah, misalnya seperti yang dialami Kui Ciang-kun, jalan terbaik adalah melaporkan kepada yang berwenang dan yang berwajib menangani persoalan seperti itu. Atau kalau aku, aku tidak sudi membebaskan tiga orang tawanan itu demi menyelamatkan anakku. Aku akan bertindak sendiri mengejar dan berusaha menolong anakku, biarpun harus berkorban diri misalnya. Akan tetapi aku tidak akan mengorbankan kepentingan negara...!”