07. Akhir Pendeta Berbulu Domba
Hwe-thian Mo-li masih hendak membela Kui Ciang-kun, akan tetapi Kui Seng berkata. “Aku telah bersalah dan sudah sepatutnya dihukum mati sebagai pengkhianat. Biarlah aku menghukum diri sendiri sebagai pertanggungan-jawabku terhadap negara!”
Tiba-tiba dia mencabut dan menikamkan pedangnya ke dadanya sendiri. Dia roboh terkulai dan Hwe-thian Mo-li yang terkejut dan tidak sempat mencegah itu berlutut dan melihat bahwa nyawa panglima itu tidak mungkin dapat dipertahankan lagi. Pedang itu hampir menembus punggungnya.
“Hwe-thian Mo-li... tolong... tolonglah Li Ai...!” Dia terkulai dan tewas.
“Ah, mengapa dia putus harapan? Mungkin Sribaginda Kaisar dapat mengampuninya mengingat akan jasa-jasanya! Akan tetapi, semua telah terjadi !” kata Panglima Besar Chang dengan suara menyesal. Setelah dia mendengar alasan mengapa bawahannya ini sampai mau membebaskan tiga orang Pek-lian-kauw, kemarahan dan penasarannya mereda karena sebetulnya dia sayang kepada pembantunya yang gagah dan setia ini.
Hwe-thian Mo-li tidak bicara lagi melainkan melompat cepat lenyap dari situ. Ia harus pergi menolong Li Ai, ia sudah mendengar keterangan lengkap dari Kui Ciang-kun sebelum panglima itu tewas.
Panglima Besar Chang hanya menggelengkan kepalanya ketika isteri dan keluarga Kui Ciang-kun berlarian keluar sambil menangis. Ramailah seluruh penghuni gedung itu menangisi kematian Kui Ciang-kun. Panglima Chang lalu cepat memerintah anak buahnya untuk menyiapkan pasukan dan dia lalu menyuruh beberapa perwira bawahannya untuk membawa seribu orang pasukan menuju ke dusun Liauw-ning yang dia tahu merupakan sarang Pek-lian-kauw.
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan cepat menuju ke dusun Liauw-ning. Ia merasa yakin bahwa penculik Kui Li Ai pasti merupakan komplotan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu maka tanpa ragu lagi ia lalu berlari cepat sekali menuju ke sarang Pek-lian-kauw.
Pek-lian-kauw terkenal dalam sejarah sebagai sebuah di antara perkumpulan-perkumpulan yang menentang pemerintah dan sering mengadakan pemberontakan. Mereka itu berkedok sebagai sebuah perkumpulan agama campuran antara Agama Buddha dan Agama To, dan untuk mengelabuhi rakyat mereka menamakan diri sebagai pejuang yang memperjuangkan kemakmuran rakyat.
Karena para pemimpinnya banyak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga ada yang menguasai ilmu sihir, maka banyak juga rakyat, terutama golongan yang miskin, tertarik oleh janji-janji mereka dan membantu “perjuangan” mereka. Akan tetapi, pihak pemerintah dan juga para pendekar tahu apa yang tersembunyi di balik kedok perkumpulan agama itu.
Mereka itu membujuk rakyat miskin untuk ikut melakukan perampokan terhadap para bangsawan dan hartawan, dan melakukan pemerasan. Para pendekar mengetahui bahwa di balik kependetaan mereka, para pemimpin Pek-lian-kauw adalah orang-orang yang kejam, tamak akan harta benda, dan sebagian besar berwatak cabul dan suka mempermainkan wanita.
Karena itulah, di mana pun mereka berada, selalu mereka ditentang para pendekar. Karena banyak rakyat miskin yang terbujuk membantu mereka, maka Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan pemberontak yang cukup kuat dan besar, mempunyai cabang di mana-mana.
Dusun Liauw-ning mereka pilih menjadi cabang penting karena letaknya dekat dengan kota raja, di sebelah timur antara kota raja dan Thiang-cin. Yang memimpin cabang Pek-lian-kauw di Liauw-ning adalah Hoat Hwa Cin-jin, seorang berpakaian tosu berusia enampuluh tahun yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam menyeramkan.
Hoat Hwa Cin-jin ini dibantu oleh enam orang sutenya, dua di antaranya adalah Cin Kok Tosu berusia limapuluh dua tahun yang bertubuh pendek gendut bermuka seperti monyet, dan Cia Kun Tosu, berusia limapuluh tahun bertubuh kecil kurus bermuka tampan pucat.
Ketika Leng Kok Hosiang yang menjadi utusan Pek-lian-kauw pusat menghadap Kaisar untuk mengajak damai dengan syarat Pek-lian-kauw tidak akan ditentang, Hoat Hwa Cin-jin dengan para sutenya telah siap dengan anak buah mereka untuk menyerbu kota raja kalau-kalau Leng Kok Hosiang gagal atau ditawan.
Akan tetapi, seperti telah diceritakan di bagian depan, gerakan mereka diketahui oleh Ouw-yang Sianjin yang melapor ke kota raja dan Panglima Besar Chang mengutus Panglima Kui memimpin pasukan menyerang orang-orang Pek-lian-kauw itu.
Leng Kok Hosiang yang dibantu oleh Bong Te Sian-jin dan Ngo-lian Heng-te pimpinan Ngo-lian-kauw, tewas oleh Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, Ong Lian Hong, dan Kun-lun Siauw-hiap Sim Tek Kun. Adapun Pek-lian-kauw digempur oleh pasukan yang dipimpin Kui Ciang-kun, dibantu oleh Ouw-yang Sian-jin sehingga tujuh orang pimpinan cabang Pek-lian-kauw di Liauw-ning itu dapat ditawan hidup-hidup.
Empat dari tujuh orang pimpinan cabang Pek-lian-kauw itu telah dihukum mati. Tiga orang dari mereka, yaitu Hoat Hwa Cin-jin, Cin Kok Tosu dan Cia Kun Tosu belum dihukum mati karena Panglima Besar Chang masih ingin mengorek keterangan dari mereka tentang di mana adanya cabang-cabang Pek-lian-kauw. Tiga orang tawanan itu masih belum mau mengaku dan tiba-tiba mereka dibebaskan atas perintah Panglima Kui Seng.
Mendengar ditawannya tujuh orang pimpinan Pek-lian-kauw cabang Liauw-ning dan tewasnya banyak anak buah mereka, pimpinan Pek-lian-kauw pusat menjadi marah dan mereka lalu mengutus seorang tokoh yang merupakan datuk dari Pek-lian-kauw pusat dan dia masih terhitung susiok (paman guru) dari para pimpinan cabang Liauw-ning itu, membawa duaratus anak buah menuju ke Liauw-ning.
Datuk Pek-lian-kauw ini bernama Hwa Hwa Hoat-su, berusia enampuluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, berwajah pucat, matanya sipit dan rambutnya sudah putih semua. Selain memiliki ilmu silat yang tinggi, pendeta ini juga pandai ilmu sihir. Begitu tiba di Liauw-ning, Hwa Hwa Hoat-su lalu melakukan penyelidikan dan dia mendapat keterangan bahwa yang memimpin pasukan yang menyerang dan menangkap tujuh orang murid keponakannya itu adalah Panglima Kui Seng.
Dia lalu pergi mengunjungi gedung Kui Ciang-kun dan berhasil menawan Kui Li Ai. Dia mengancam akan membunuh Li Ai yang dijadikan sandera kalau Panglima Kui Seng tidak mau membebaskan tiga orang keponakan seperguruan yang ditawan itu.
Setelah dibebaskan, hal yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka, tentu saja tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu menjadi girang sekali. Mereka dipesan oleh kepala penjara, Perwira Ciok, agar segera membebaskan gadis bernama Kui Li Ai, puteri dari Kui Ciang-kun. Tentu saja mereka bertiga dapat menduga bahwa tentu seorang rekan mereka dari Pek-lian-kauw yang menculik gadis itu untuk ditukar dengan kebebasan mereka bertiga!
Ketika mereka bertiga tiba di perkampungan Pek-lian-kauw di luar dusun Liauw-ning, mereka disambut dengan gembira oleh para anak buah Pek-lian-kauw. Mereka bertiga segera menghadap Hwa Hwa Hoat-su, paman guru mereka yang telah menculik puteri Panglima Kui Seng untuk membebaskan mereka. Mereka memberi hormat dan mengucapkan terima kasih kepada pendeta Pek-lian-kauw berambut putih itu.
“Bagus!” kata Hwa Hwa Hoat-su sambil mengelus jenggotnya yang pendek putih dan mengangguk-angguk. “Ternyata Panglima Kui Seng memenuhi permintaanku, membebaskan kalian bertiga. Kalau begitu kita juga harus memegang janji. Cin Kok Tosu dan Cia Kun Tosu, kalian berdua cepat antarkan Nona Kui Li Ai. kembali ke kota raja. Tugas ini penting, maka aku mengutus kalian berdua untuk melaksanakan agar gadis itu jangan terganggu dalam perjalanan,” kata Hwa Hwa Hoat-su kepada dua orang murid keponakannya itu.
“Akan tetapi, Susiok, Panglima Kui Seng itulah yang memimpin pasukan menangkap kami bertujuh. Empat orang Sute kami telah dihukum mati! Mengapa kita harus mengantar pulang gadis itu?” bantah Cin Kok Tosu yang mukanya mirip muka monyet.
Hwa Hwa Hoat-su mengerutkan alisnya yang putih. “Hemm, aku Hwa Hwa Hoat-su tidak sudi mengingkari janji sendiri! Hayo cepat antarkan gadis itu kembali ke kota raja, jangan sampai ada yang mengganggunya di perjalanan!” bentak Hwa Hwa Hoat-su yang merasa sebagai seorang datuk harus memegang janjinya untuk mempertahankan namanya sebagai seorang datuk persilatan.
“Baiklah, Susiok,” kata Cin Kok Tosu gentar melihat paman gurunya marah. “Akan tetapi di kota raja tentu kami berdua akan ditangkap pasukan kerajaan.”
“Bodoh! Antar saja gadis itu sampai ke pintu gerbang lalu kalian cepat pergi. Ia dapat pulang sendiri setelah tiba di pintu gerbang!”
Dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu tidak berani membantah lagi. Mereka lalu memasuki kamar di mana gadis puteri Kui-taijin dijaga oleh empat orang anggauta Pek-lian-kauw wanita. Ketika melihat gadis itu, Cin Kok Tosu dan Cia Kun Tosu tertegun kagum. Gadis berusia sekitar delapanbelas tahun itu bertubuh tinggi ramping, kulitnya putih mulus, wajahnya bundar dengan sepasang mata, lebar dan indah jeli.
Kui Li Ai, gadis itu terbelalak ketakutan melihat dua orang tosu itu memasuki kamar. Pendeta yang menculiknya tak pernah mengganggunya, bahkan tak pernah memasuki kamar di mana ia dijaga dan dilayani dengan baik oleh empat orang wanita. Kini, melihat dua orang tosu itu, ia bangkit berdiri dan memandang dengan sepasang mata lebar seperti mata seekor kelinci yang melihat dua ekor serigala.
Melihat gadis itu tampak ketakutan, Cia Kun Tosu yang kecil kurus dan berwajah tampan itu berkata ramah. “Nona, jangan takut, kami berdua ditugaskan untuk mengantar Nona kembali ke kota raja.”
Mendengar ini, wajah ayu yang tadinya muram dan gelisah itu, kini berseri, mulutnya membentuk senyum sehingga ia tampak semakin menarik.
“Mari kita pergi, Nona,” kata Cia Kun Tosu dan bersama suhengnya, Cin Kok Tosu yang pendek gendut dan mukanya mirip muka monyet, mereka berdua lalu mengawal Kui Li Ai keluar dari perkampungan Pek-lian-kauw, melewati dusun Liauw-ning menuju ke kota raja.
Di dalam hutan yang mereka lalui, Cia Kun Tosu berkata kepada Cin Kok Tosu. “Suheng, kalau kuingat betapa Panglima Kui telah menggunakan kekuatan pasukannya membunuh banyak anak buah kita, juga menawan kita sehingga empat orang saudara kita tewas, sungguh aku tidak terima begitu saja kalau sekarang puterinya dibebaskan. Sungguh terlalu enak baginya!” kata Cia Kun Tosu kepada Cin Kok Tosu setelah mereka berhenti pada siang hari itu di tengah hutan.
“Hemm, ingat akan pesan Susiok Hwa Hwa Hoat-su bahwa kita tidak boleh membunuhnya, Sute,” kata Cin Kok Tosu memperingatkan adik seperguruannya.
“Tidak, Suheng. Bukan maksudku membunuhnya. Akan tetapi penghinaan itu harus kita balas. Anaknya tidak akan kami serahkan kepadanya dalam keadaan utuh!”
Cin Kok Tosu dapat mengerti akan maksud sutenya, maka dia pun menyeringai. Keduanya lalu mendekati Kui Li Ai dan terdengar jerit dan isak tangis gadis itu yang bagaikan seekor kelinci mendapat terkaman dan serangan dua ekor serigala yang buas!
Sementara itu, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan berlari dengan cepat sekali menuju ke dusun Liauw-ning. Ketika ia memasuki sebuah hutan, tiba-tiba ia mendengar tangis wanita. Cepat ia berlari ke tempat itu dan ia melihat seorang gadis dengan pakaian awut-awutan sedang menangis di bawah sebatang pohon, menangis tersedu-sedu dengan tubuh gemetar.
Siang Lan cepat menghampiri dan berjongkok di dekat gadis itu. “Adik, engkau siapakah dan mengapa menangis seorang diri di sini?” tanyanya dengan lembut.
Gadis itu adalah Kui Li Ai. Ia mengangkat mukanya yang tadi menunduk ditutupi kedua tangan, muka yang cantik dan pucat sekali, muka yang basah air mata. Rambut yang hitam lebat itu terlepas dari sanggulnya, riap-riapan sebagian menutupi mukanya. Pakaiannya cabik-cabik membuat gadis itu hampir telanjang. Melihat keadaan gadis itu, dengan hati panas karena marah Siang Lan dapat menduga apa yang telah menimpa diri gadis itu.
“Engkau Kui Li Ai?” tanya Siang Lan melihat pakaian yang cabik-cabik itu terbuat dari sutera halus dan mahal.
Gadis itu mengangguk, sambil sesenggukan ia berkata. “...mereka... mereka berdua... memperkosaku....”
“Siapa mereka?!?”
“...dua orang tosu....”
“Di mana mereka sekarang?”
Li Ai menunjuk ke suatu arah perginya dua orang itu yang baru saja meninggalkannya. Siang Lan berkelebat dan lenyap dari depan Kui Li Ai yang bernasib malang itu. Ia marah sekali, teringat akan nasib yang menimpa dirinya. Ia dapat merasakan betapa sakit dan hancur hati gadis puteri Panglima Kui itu.
Maka dendamnya kepada pemerkosanya yang berjuluk Thian-te Mo-ong itu kini ia timpakan kepada dua orang tosu pemerkosa Li Ai. Ia berlari cepat sekali dan tak lama kemudian ia melihat dua orang tosu berjalan seenaknya.
Cin Kok Tosu dan Cia Kun Tosu sedang berjalan pulang secara santai setelah mereka merasa puas dapat memperkosa puteri Panglima Kui yang mereka benci sebagai pelampiasan dendam mereka. Tiba-tiba mereka melihat bayangan berkelebat cepat dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang wanita muda yang amat cantik jelita yang memandang mereka dengan sinar mencorong dari sepasang mata yang indah!
Hwe-thian Mo-li masih ingat bahwa dua orang tosu ini adalah dua di antara tujuh orang pimpinan Pek-lian-kauw yang dulu ditawan. Ia merasa yakin bahwa tentu dua orang ini yang tadi memperkosa Kui Li Ai.
“Pendeta-pendeta palsu keparat! Tentu kalian yang telah berbuat keji terhadap Kui Li Ai tadi!” bentaknya.
Dua orang tosu itu tidak mengenal Siang Lan karena dahulu itu mereka repot menghadapi Ouw-yang Sianjin dan para perwira sehingga mereka dan lima orang rekan mereka tertawan. Melihat seorang gadis cantik kini memaki mereka, Cia Kun Tosu yang berwatak mata keranjang itu, setelah mendengar ucapan Siang Lan, tertawa dan berkata.
“Ha-ha-ha, Nona manis. Memang benar tadi kami telah bersenang-senang dengan puteri Panglima Kui. Kami akan lebih gembira kalau sekarang kami bersenang-senang denganmu!”
“Singg...!!”
Dua orang tosu itu terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja ada sinar seperti kilat menyambar ke arah mereka! Gadis itu telah menyerang mereka dengan pedang. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga mereka tidak melihat kapan gadis itu mencabut pedang.
Mereka bukan orang-orang lemah dan cepat mereka berlompatan ke belakang untuk menghindarkan diri dari sambaran sinar kilat itu. Cia Kun Tosu mencabut pedangnya dan juga Cin Kok Tosu mencabut pedangnya. Keduanya siap dan Cin Kok Tosu membentak marah.
“Gadis liar! Siapakah engkau yang berani menyerang kami, dua orang pemimpin Pek-lian-kauw?”
“Huh, kalian tentu penjahat-penjahat pemberontak yang dibebaskan oleh Kui Ciang-kun yang puterinya diculik oleh kawan kalian! Sungguh licik, jahat dan curang. Kalian sudah dibebaskan, bukannya memenuhi janji membebaskan puteri Kui Ciang-kun, bahkan memperkosanya! Iblis-iblis jahat macam kalian tidak pantas dibiarkan hidup lagi!” Siang Lan membentak. “Kalian hari ini akan mampus di tangan Hwe-thian Mo-li!”
Setelah berkata demikian, tubuh gadis itu bergerak cepat dan kembali pedangnya menyambar-nyambar seperti kilat di musim hujan. Dua orang tosu itu terkejut mendengar bahwa mereka berhadapan dengan Hwe-thian Mo-li yang namanya terkenal sebagai seorang wanita yang amat ganas dan lihai. Cepat mereka menangkis dan balas menyerang.
Akan tetapi Hwe-thian Mo-li menggerakkan pedangnya sedemikian dahsyatnya, pedangnya berubah menjadi sinar kilat dan tubuhnya berubah menjadi bayangan yang cepat sekali gerakannya sehingga dua orang tosu itu segera terdesak dan lebih banyak mengelak dan menangkis daripada balas menyerang.
Kecepatan gerakan Hwe-thian Mo-li membuat mereka berdua tidak sempat membalas serangan. Akan tetapi dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu juga merupakan orang-orang yang cukup tinggi tingkat kepandaian mereka, juga sudah memiliki banyak pengalaman bertanding. Maka, begitu mereka terdesak, Cin Kok Tosu berseru kepada adik seperguruannya.
“Kita gunakan Im-yang Siang-kiam (Sepasang Pedang Im dan Yang)!”
Mendengar seruan suhengnya itu, Cia Kun Tosu cepat melompat ke arah belakang Siang Lan dan kini mereka mengeroyok gadis itu dari depan dan belakang. Gerakan pedang mereka kini saling tunjang, kalau yang satu menangkis, yang lain membarengi menyerang sehingga dengan demikian mereka berdua mulai mampu untuk balas menyerang. Pertandingan menjadi seru bukan main dan mati-matian karena kedua pihak maklum bahwa hanya dengan merobohkan lawan mereka akan mampu menang.
“Kita gunakan am-gi (senjata rahasia)!” kembali Cin Kok Tosu berseru kepada sutenya setelah bertanding selama limapuluh jurus mereka belum juga mampu mendesak gadis yang lihai itu. Mereka lalu mengeluarkan senjata rahasia mereka yaitu Lian-hwa-ciam (Jarum Bunga Teratai) dan mulai menyelingi permainan pedang mereka dengan meluncurkan jarum-jarum beracun itu ke arah tubuh Siang Lan.
Mendapat serangan jarum-jarum itu Siang Lan menjadi repot. Ia terpaksa memutar pedangnya. Sinar kilat itu menyelimuti tubuhnya dan semua jarum terpental ketika bertemu sinar pedang dan keadaan menjadi terbalik. Siang Lan kini hanya dapat bertahan dan melindungi dirinya tanpa mendapat kesempatan untuk membalas.
Dua orang tosu itu mulai tertawa mengejek karena mereka merasa yakin bahwa sebatang jarum saja dari mereka dapat mengenai tubuh gadis itu, maka gadis itu akan keracunan dan mereka akan memperoleh kemenangan.
Kini Siang Lan terdesak hebat. Untung ia memiliki gin-kang (ilmu meringankan diri) yang lebih tinggi dibandingkan dua orang lawannya dan ia memiliki sebatang pedang pusaka. Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) di tangannya merupakan pedang yang ampuh dan amat kuat sehingga setelah bertanding hampir seratus jurus, ujung pedang kedua orang pengeroyok itu telah buntung terbabat Lui-kong-kiam!
Akan tetapi karena mereka berdua juga lihai, dapat menggunakan pedang mereka yang ujungnya buntung itu untuk menyerang dibantu jarum-jarum mereka, maka tetap saja Siang Lan terdesak dan keadaannya mulai gawat! Gerakan memutar pedang untuk melindungi seluruh tubuhnya itu menguras tenaganya dan gerakannya mulai melambat.
Karena kelambatan ini, tiba-tiba Siang Lan merasa pundak kirinya nyeri seperti digigit semut. Ia terkejut ketika melihat bahwa pundak kirinya terkena sebatang jarum yang menancap menembus baju mengenai pundak. Seketika ia merasa betapa pundak kirinya ngilu dan lengan kirinya seperti setengah lumpuh, sukar digerakkan.
“Ha-ha-ha, Suheng. Ia terkena jarumku. Kita tangkap ia hidup-hidup, sayang gadis secantik ini dibunuh begitu saja!” kata Cin Kun Tosu sambil tertawa-tawa. Mereka lalu menyerang dengan pedang dan mencari kesempatan untuk menotok tubuh Siang Lan yang sudah mulai limbung. Tiba-tiba ada dua buah batu sebesar kepalan tangan menyambar.
“Trangg...! Tranggg...!!”
Dua orang tosu itu terkejut sekali karena pedang mereka terpukul batu sedemikian kuatnya sehingga mereka tidak mampu mempertahankannya lagi. Pedang itu terlepas dari tangan mereka dan terpental jauh!
Ketika mereka sedang terkejut, Siang Lan yang melihat kesempatan baik ini segera menerjang. Dua kali Lui-kong-kiam berkelebat dan dua orang yang sedang tertegun itu tidak sempat mengelak atau berteriak karena leher mereka sudah terbabat buntung oleh pedang Lui-kong-kiam yang digerakkan oleh Siang Lan dengan sekuat tenaga!
08. Jatuh, Ditimpa Tangga Pula!
Setelah membunuh dua orang tosu itu, Siang Lan merasa kepalanya pening. Pedang itu terlepas dari tangannya, tubuhnya terasa lunglai dan ia masih dapat melihat wajah seorang laki-laki berpakaian sederhana, berwajah lembut dan tampan, berusia sekitar empatpuluh tahun. Ia masih teringat akan pertolongan tadi dan dapat menduga bahwa inilah orang yang tadi telah menolongnya.
Akan tetapi kepalanya semakin pening, pandang matanya kabur dan ia pun tidak ingat apa-apa lagi. Ia tidak tahu bahwa sebelum tubuhnya terjatuh, sepasang lengan yang kuat menangkapnya lalu merebahkannya di atas rumput, tak jauh dari tempat di mana ia tadi berkelahi dan di mana terdapat dua mayat tosu yang telah terpenggal kepala mereka.
Tak lama kemudian Siang Lan sadar dari pingsannya. Ia teringat akan perkelahiannya tadi dan cepat ia melompat bangkit berdiri. Pundak kirinya terasa perih dan ketika ia merabanya, ternyata jarum itu telah tercabut dan lukanya telah ditempel ko-yo (obat tempel). Rasa nyerinya hilang tinggal sedikit rasa perih dan lengan kirinya dapat ia gerakkan kembali seperti biasa!
Juga pedang yang tadi terlepas kini telah berada kembali dalam sarung pedang yang tergantung di pinggangnya! Akan tetapi mayat dua orang tosu tadi tidak tampak pula di situ, hanya tinggal bekas darah mereka yang membasahi rumput dan tanah.
Siang Lan dapat menduga bahwa agaknya laki-laki yang dilihatnya sebelum ia tidak sadar tadi, laki-laki yang menolongnya mengalahkan dua orang pengeroyoknya, telah mengobatinya, menyimpankan kembali pedangnya, dan pergi dari situ sambil membawa dua mayat tosu Pek-lian-kauw!
Ia merasa heran sekali. Laki-laki itu tentu lihai bukan main karena mampu membuat dua orang tosu melepaskan pedang mereka sehingga ia dapat membunuh mereka. Melihat laki-laki itu membantunya, jelas bahwa dia bukanlah orang Pek-lian-kauw. Akan tetapi mengapa ia membawa pergi dua mayat tosu Pek-lian-kauw?
Ia sama sekali tidak mengerti dan merasa penasaran. Orang dengan kepandaian sehebat itu dapat ia jadikan gurunya agar ilmu silatnya meningkat sehingga kelak ia dapat membalas dendam kepada Thian-te Mo-ong!
Tiba-tiba ia teringat akan Kui Li Ai, puteri Kui Ciang-kun yang ia tinggalkan di tempat ia menemukannya, yaitu di tengah hutan. Cepat Siang Lan berlari menuju ke tempat itu. Gadis itu ternyata masih berada di situ, duduk menangis di bawah pohon.
Dapat dibayangkan betapa hancur hati Kui Li Ai. Ia seorang gadis bangsawan dan baru saja ia mengalami musibah yang amat hebat bagi seorang gadis. Ia diperkosa dua orang biadab dan kini ia ditinggalkan seorang diri di tengah hutan. Tentu saja ia tidak berani pergi karena ia tidak mengenal jalan.
Begitu mendengar Siang Lan yang menghampirinya, Kui Li Ai mengangkat mukanya yang pucat dan basah air mata.
“Li Ai, tenangkanlah hatimu. Dua orang manusia iblis itu telah mampus di tanganku!” kata Siang Lan sambil mendekati gadis yang malang itu.
Mendengar ini Li Ai terisak dan merangkul Siang Lan. Hwe-thian Mo-li tak dapat menahan keharuan hatinya dan kedua matanya menjadi basah. Ia teringat akan keadaan dirinya sendiri yang mengalami musibah seperti yang dialami Li Ai. Ia mengelus rambut gadis itu dan membiarkan Li Ai menangis sepuasnya. Setelah tangis itu agak mereda karena Li Ai kelelahan, ia berkata dengan nada menghibur.
“Sudahlah, Li Ai, mari kuantar engkau pulang ke rumah orang tuamu,” katanya dan hatinya terasa seperti diremas kalau ia ingat betapa ayah gadis ini telah tewas membunuh diri.
Ia tidak tega untuk memberitahuan hal ini kepada Li Ai. Gadis yang menderita pukulan batin yang luar biasa hebatnya itu, bagaimana mungkin akan dapat menahan kalau diberi pukulan kedua yaitu berita tentang kematian ayahnya?
Seperti orang kehilangan semangat, Li Ai hanya mengangguk. Siang Lan membantunya bangkit berdiri, membetulkan letak pakaiannya, menyanggul rambutnya, kemudian karena Li Ai merasa lemah dan lemas hampir tidak mampu melangkahkan kakinya, Siang Lan lalu memondongnya dan membawanya lari cepat.
Dalam kedukaannya, Li Ai terkejut dan terheran juga melihat betapa kuatnya gadis penolongnya ini sehingga mampu nemondongnya dan membawanya berlari secepat larinya kuda! Teringat ia akan cerita ayahnya tentang para pendekar wanita, maka sejenak ia melupakan kedukaannya dan bertanya.
“Enci.... apakah engkau.... seorang pendekar wanita?”
Siang Lan tersenyum. Bagus, pikirnya, gadis yang hancur hatinya itu mulai mau bicara, tanda bahwa ia mulai dapat menguasai perasaannya yang tertekan hebat. “Entahlah, Adik Li Ai, aku ini pendekar wanita ataukah iblis wanita karena orang menyebut aku Hwe-thian Mo-li.”
“Hwe-thian Mo-li? Aih, Enci, Ayah pernah menyebut namamu sebagai seorang di antara para pendekar yang membantu pemerintah membasmi Pek-lian-kauw!”
Setelah memasuki kota raja, hari telah menjelang senja. Karena merasa sudah kuat berjalan dan merasa tidak enak kalau memasuki kota raja dilihat orang bahwa ia dipondong, Li Ai minta diturunkan dan mereka berdua lalu menuju ke gedung tempat tinggal Panglima Kui. Setelah memasuki pekarangan, lima orang perajurit pengawal yang berjaga di situ memberi hormat kepada Li Ai, akan tetapi wajah mereka tampak muram.
Li Ai agaknya dapat melihat dan merasakan hal yang tidak wajar ini. Biasanya para perajurit itu selain amat hormat, juga amat ramah kepadanya. “Apa yang terjadi?”
Ia seolah bertanya kepada diri sendiri dan matanya memandang ke arah serambi depan rumahnya di mana terdapat banyak orang. “Apa yang terjadi di sana?” kembali ia bertanya.
Siang Lan merangkulnya. “Adik Li Ai, bersikaplah tenang dan kuatkan hatimu...” Suara pendekar yang gagah perkasa ini tersendat karena ia harus menahan keharuan hatinya.
“Apa....? Mengapa....?” Li Ai seolah mendapatkan tenaga baru dan ia berlari ke arah serambi depan rumahnya. Siang Lan cepat mengikutinya.
Setelah berada di ruangan terbuka di serambi itu, di mana terdapat banyak orang duduk diam, Li Ai melihat dengan mata terbelalak ke sebuah peti mati yang dipasang di tengah. Wajahnya yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat seperti kapur dan ia lari terhuyung-huyung menghampiri peti mati. Ketika ia melihat nama ayahnya tertulis di depan peti mati, ia menjerit dan menubruk ke depan.
“Ayaaaaahhh...!” Tubuh Li Ai terguling roboh dan tentu kepalanya akan terbentur pada peti mati kalau Siang Lan tidak cepat menyambar tubuhnya dan memeluk gadis yang sudah jatuh pingsan itu.
Siang Lan menoleh kepada beberapa orang wanita yang berkumpul dekat peti mati sambil menangis. Melihat pakaian mereka, ia dapat menduga bahwa mereka adalah pelayan-pelayan di gedung panglima itu.
“Di mana kamar Nona Kui? Tolong antarkan aku ke sana,” kata Siang Lan dan pelayan tua itu lalu menunjukkan Siang Lan yang memondong tubuh Li Ai ke sebuah kamar.
Dalam kamar itu, Siang Lan merebahkan tubuh Li Ai ke atas pembaringan. Dua orang pelayan yang agaknya menjadi pelayan pribadi Li Ai ikut masuk dan mereka menangisi nona majikan mereka.
“Siocia... ahh, Siocia... ia mengapa...?” tangis mereka.
“Harap kalian diam, biarkan aku menanganinya,” kata Siang Lan yang mengurut beberapa jalan darah di pusat-pusat jalan darah seperti di telapak tangan dekat ibu jari, di dekat siku dan di pangkal lengan. Li Ai mengeluh lirih dan begitu membua matanya, ia menjerit.
“Ayaaah... Ayahhh, kenapa Ayahku...? Kenapa ia, Enci? Kenapa Ayahku mati....?” tangisnya.
“Tenanglah, Adikku, tenanglah. Sudah kupesan tadi, kuatkan hatimu, Adik Li Ai...” Siang Lan menghibur dengan hati terharu.
“....Enci... engkau sudah tahu....?” Ketika Siang Lan mengangguk, ia melanjutkan, “....mengapa engkau tidak memberitahu padaku tadi...?”
“Hatimu sedang sedih, aku tidak menambahkan kesedihanmu lagi. Biar engkau melihat sendiri...” kata Siang Lan terharu.
“Ayaaahhh...!” Li Ai bangkit, turun dari pembaringan dan berlari lagi. Dua orang pembantunya sambil menangis mencoba untuk menghalanginya.
“Siocia.... Siocia sebaiknya beristirahat di sini saja....”
Akan tetapi Siang Lan mencegah mereka. “Biarlah ia menumpahkan kedukaannya.” Dan ia sendiri lalu mengikuti Li Ai untuk menjaga hal-hal yang tidak baik.
Li Ai berlari terhuyung menuju ke serambi depan dan sambil menjerit-jerit dan menangis mengguguk ia berlutut di depan peti mati ayahnya. Semua orang yang berada di situ menjadi terharu dan semua wanita yang melayat, juga para pembantu rumah tangga, ikut pula menangis. Para tamu laki-laki hanya menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas panjang dengan wajah muram.
Tiba-tiba dari dalam keluar seorang wanita berusia tigapuluh tahun lebih yang mengenakan pakaian berkabung namun rambutnya tersisir rapi dan mukanya yang cukup cantik itu masih dipulas bedak dan gincu, suatu hal yang sebetulnya tidak lazim bagi keluarga yang berkabung.
Agaknya wanita itu keluar karena tertarik oleh suara tangis dan jeritan Li Ai. Ia menghampiri dan sambil berdiri, memandang kepada Li Ai yang berlutut sambil menangis itu, alisnya berkerut tanda tak senang dan begitu tangis Li Ai mereda, ia berkata dengan suara lantang. “Li Ai, engkau baru pulang?”
Li Ai mengangkat muka memandang kepada wanita itu lalu ia berseru. “Ibuuu...!”
Akan tetapi tiba-tiba wanita yang ternyata adalah isteri Pangeran Kui itu berkata dengan sikap dingin dan galak. “Hemm, untuk apa kau tangisi Ayahmu? Kau tahu, Ayahmu mati karena engkau! Engkau anak put-hauw (tidak berbakti), anak durhaka, belum dapat membalas budi orang tua, malah menjadi penyebab kematian Ayahmu!!”
Li Ai terbelalak mendengar ini, lalu ia menjerit panjang dan terkulai lemas dalam rangkulan Siang Lan yang cepat menangkap tubuhnya. Ia pingsan lagi! Siang Lan menjadi marah bukan main. Setelah merebahkan tubuh yang lemas pingsan itu di lantai, ia bangkit berdiri dan sekali tangannya bergerak, ia telah menotok pundak kiri Nyonya Kui. Nyonya itu menjerit-jerit karena tiba-tiba merasa tubuhnya nyeri semua, panas seperti terbakar dari dalam.
“Auuuuww.... aduuuhhh... aduuhhhh.... ia.... ia memukulku...! Pengawal, tangkap perempuan jahat ini....!!”
Lima orang pengawal maju, akan tetapi cepat Siang Lan menggunakan tangan kiri menjambak rambut Nyonya Kui dan mencabut pedang yang ia tempelkan keleher, lalu berkata,
“Siapa yang maju akan kubunuh semua setelah lebih dulu kusembelih leher perempuan ini!” Ia mengancam dan lima orang perajurit itu mundur ketakutan. Siang Lan menotok pundak itu dan membebaskan totokannya, lalu membentak. “Perempuan bermulut lancang dan jahat, siapa engkau berani bicara seperti tadi kepada Nona Kui Li Ai?”
“Aku.... aku isteri Panglima Kui....!” Nyonya Kui mencoba untuk bersikap galak berwibawa setelah tidak merasa kesakitan lagi.
Tangan kiri Siang Lan memperkuat jambakannya sehingga nyonya itu meringis. “Tak mungkin engkau ibu Adik Ai!”
“Aku... aku Ibu tirinya...”
“Pantas! Engkau Ibu tiri keparat!” Siang Lan memaki dan memperkuat lagi jambakannya sehingga wanita itu semakin kesakitan.
Para tamu itu ada yang berpangkat panglima, rekan mendiang Panglima Kui. Seorang dari mereka maju dan berkata kepada Siang Lan dengan sikap hormat. “Kalau kami tidak salah sangka, tentu Nona Hwe-thian Mo-li, bukan? Kami dulu membantu Kui Ciang-kun ketika menangkap para tokoh Pek-lian-kauw dan kami mengenal Nona.”
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan mengangguk. “Benar, aku Hwe-thian Mo-li dan aku mengantarkan Adik Li Ai pulang setelah kubunuh dua orang di antara tiga orang tahanan yang dibebaskan. Adik Li Ai menderita setelah ditawan penjahat dan kini kematian Ayah kandungnya. Kenapa perempuan cerewet jahat ini malah memaki dan memarahinya? He, perempuan busuk, apa engkau sudah bosan hidup? Aku akan membunuhmu agar rohmu menghadap dan mohon ampun kepada Kui Ciang-kun atas kejahatan mulutmu terhadap Adik Li Ai!”
Setelah berkata demikian, Siang Lan menempelkan pedangnya semakin ketat di leher Nyonya Kui. Wanita itu menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil dan ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Siang Lan, membentur-benturkan dahinya di lantai dan berkata dengan suara terputus-putus.
“Ampunkan saya... ampunkan saya.... karena terlalu sedih saya memarahi Li Ai.... ampuni saya, Li-hiap....” Ia meratap dengan tubuh menggigil dan tanpa ia sadari saking takutnya, lantai di bawah tubuhnya menjadi basah karena ia terkencing-kencing saking ngerinya!
Siang Lan membalikkan tubuhnya, mengangkat tubuh Li Ai yang masih pingsan dan membawanya kembali ke dalam kamar gadis itu. Ia merawat Li Ai sehingga gadis itu siuman kembali, lalu menghiburnya. Dua orang pembantu pribadi Li Ai membantunya dan mereka segera mempersiapkan pakaian pengganti untuk Li Ai.
Setelah Li Ai tenang kembali, Siang Lan membujuknya agar mandi dan berganti pakaian bersih. Lalu mengajaknya makan yang telah dihidangkan oleh dua orang pelayan itu.
“Makanlah, Adik Li Ai, mari kutemani. Ingat kesehatanmu dan sadarlah bahwa semua yang telah terjadi tidak cukup untuk ditangisi saja. Kalau engkau merasa sakit hati, engkau harus tetap hidup sehat agar dapat melampiaskan dendam sakit hatimu kepada mereka yang telah membuat engkau menderita.”
“Enci aku seorang gadis lemah bagaimana mungkin dapat membalas dendam kepada tokoh Pek-lian-kauw yang menculikku? Sedangkan Ayahku saja tidak berdaya ketika aku diculik. Orang-orang Pek-lian-kauw amat lihai. Kalau aku memiliki kepandaian seperti engkau....”
“Jangan khawatir, aku akan mengajarimu ilmu silat.”
“Benarkah, Enci?” terhibur juga perasaan hati Li Ai mendengar ini dan ia mau diajak makan.
Setelah Li Ai tenang kembali dan dihibur oleh Siang Lan yang merasa dekat dengan gadis itu karena senasib, gadis itu lalu keluar bersama Siang Lan untuk melakukan upacara sembahyang di depan peti jenazah ayahnya. Ia tidak menangis dengan suara lagi, hanya air matanya saja menetes-netes ketika bersembahyang.
Nyonya Kui tidak tampak karena setelah peristiwa tadi ia bersembunyi di dalam kamarnya. Setelah melakukan upacara sembahyang, Siang Lan mengajak Li Ai kembali ke dalam kamarnya.
“Adik Li Ai, sekarang engkau telah kembali ke rumahmu dengan selamat. Aku pamit hendak melanjutkan perjalanan,” kata Siang Lan.
Li Ai terkejut, bangkit berdiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan Hwe-thian Mo-li. “Enci, jangan tinggalkan aku...!”
katanya sambil merangkul kedua kaki Siang Lan. “Aku tidak mau tinggal di rumah ini, tidak mau hidup bersama ibu tiri yang membenciku.”
Siang Lan mengangkat bangun gadis itu dan menyuruhnya duduk kembali. “Jangan begini, Adik Li Ai. Mari kita bicara baik-baik. Kalau engkau tidak mau tinggal di sini, lalu bagaimana? Jangan khawatir kepada ibu tirimu, aku sebelum pergi akan mengancamnya bahwa kalau ia berani mengganggumu, aku akan datang memenggal kepalanya!”
“Tidak, Enci, biarpun begitu tetap saja aku akan hidup menderita di sini. Bahkan keadaanku.... sudah begini.... kalau sampai diketahui orang, aku akan semakin dihina dan dicemooh orang. Jangan tinggalkan aku, Enci. Kalau kau tinggalkan, kukira... lebih baik aku bunuh diri daripada hidup menanggung aib dan malu. Aku ingin ikut denganmu, Enci, biar aku menjadi saudaramu, atau sahabatmu, atau.... pembantumu. Aku mau mengerjakan apapun juga untukmu asal boleh ikut denganmu. Ingat, engkau hendak mengajarkan ilmu silat padaku seperti janjimu!”
Siang Lan tersenyum. “Ikut dengan aku? Li Ai, engkau seorang gadis bangsawan, puteri seorang panglima. Bagaimana hendak ikut aku, seorang petualang yang memiliki jalan hidup penuh kekerasan? Apakah tidak lebih baik, kalau engkau tidak mau tinggal bersama Ibu engkau ikut dengan keluarga ayahmu? Engkau tentu mempunyai Paman atau Bibi, saudara Ayahmu.”
“Tidak, Enci. Aku tidak mau tinggal bersama mereka. Aku seorang gadis yatim piatu, sudah kotor ternoda pula, tercemar, aku malu, Enci, aku merasa rendah dan tidak sanggup menghadapi mereka. Kalau engkau kelak mengetahui.... ah, betapa akan malunya aku! Enci, biarlah aku ikut denganmu!” Air mata menetes-netes dari sepasang mata yang sudah merah dan membengkak itu karena terlalu banyak menangis.
Siang Lan merasa terharu sekali. Ia dapat mengerti bahwa kalau ia memaksakan pendiriannya meninggalkan gadis ini, besar sekali kemungkinannya, Li Ai akan bunuh diri!
“Baiklah, Li Ai. Akan tetapi sebagai puteri Ayahmu, engkau tidak boleh pergi sebelum jenazah Ayahmu dimakamkan dengan baik. Aku akan pergi dulu mengunjungi seorang sahabat baikku dan kau tinggal di sini sampai jenazah Ayah dimakamkan.”
“Enci, malam-malam begini engkau hendak pergi? Apakah tidak lebih baik besok pagi saja?”
Siang Lan mengangguk. Benar juga tidak baik rasanya mengunjungi Ong Lian Hong di rumah Jaksa Ciok Gun malam-malam begini. Malam itu ia tidur bersama Li Ai dan kesempatan itu mereka pergunakan untuk saling mengenal lebih akrab.
“Enci, bolehkah aku mengetahui siapa namamu yang sebenarnya? Sungguh aku merasa tidak enak kalau harus menyebutmu Enci Hwe-thian Mo-li, terutama sebutan Mo-li (Iblis Betina) itu! Bagiku engkau seorang dewi penolong, Enci, sama sekali bukan Mo-li!” Dalam percakapan mereka itu Li Ai berkata hati-hati agar tidak menyinggung penolongnya yang terkadang bersikap amat ganas.
Siang Lan menghela napas panjang. “Li Ai, yang menyebut aku Iblis Betina adalah golongan sesat karena aku selalu bersikap keras terhadap mereka. Terhadap orang-orang jahat seperti dua orang tosu yang menghinamu itu aku tak pernah memberi ampun. Karena itu mungkin aku dijuluki Hwe-thian Mo-li. Akan tetapi aku tidak peduli. Lebih baik disebut Mo-li akan tetapi membela orang tertindas dan menentang kejahatan daripada disebut Dewi akan tetapi hidupnya bergelimang perbuatan jahat, bukan?”
“Engkau benar, Enci. Akan tetapi aku ingin mengetahui namamu yang sebenarnya. Engkau tentu memiliki she (marga) dan nama bukan? Siapa pula Gurumu? Maukah engkau menceritakan tentang riwayatmu, orang tuamu, sanak keluargamu dan sahabat baikmu yang akan kau kunjungi besok?”
“Baiklah, Li Ai. Karena engkau sudah mengambil keputusan untuk ikut denganku, engkau berhak mengetahuinya. Akan tetapi sebelumnya, engkau harus berjanji tidak akan memperkenalkan atau menyebut namaku di depan orang lain. Bagi orang lain aku ingin dikenal sebagai Hwe-thian Mo-li saja.”
“Baik, Enci. Aku berjanji.”
“Aku adalah seorang yatim piatu. Ayah Ibuku meninggal dunia ketika aku masih kecil. Namaku adalah Nyo Siang Lan.”
“Sejak berusia sepuluh tahun aku di rawat dan dididik oleh mendiang Guruku yaitu Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu. Guruku mempunyai seorang puteri bernama Ong Lian Hong yang selain menjadi adik seperguruan, juga menjadi sahabat baikku. Suhu tewas dibunuh lima orang. Aku dan Adik Ong Lian Hong berhasil membalas dendam kematian Suhu. Sekarang Su-moi Ong Lian Hong tinggal di kota raja, ia bertunangan, mungkin sekarang sudah menikah, dengan Sim Tek Kun, putera Pangeran Sim Liok Ong....”
“Ah, aku sudah mendengar, Enci Siang Lan....!”
“Huss!” Siang Lan memotong. “Di sini jangan sebut namaku, aku tidak ingin terdengar orang lain. Engkau telah mendengar apa, Li Ai?”
“Aku sudah mendengar bahwa Sim Kongcu, putera Pangeran Sim yang terkenal itu menikah dengan seorang gadis yang lihai ilmu silatnya! Kalau tidak salah dengar, ia itu cucu Jaksa Ciok Gun, bukan?”
“Benar sekali! Sumoi Ong Lian Hong adalah cucu Jaksa Ciok. Ibunya puteri Jaksa Ciok dan ayahnya adalah mendiang Suhu Ong Han Cu. Ah, jadi mereka sudah menikah?” Siang Lan termenung, merasa betapa hatinya hampa dan kering. “Hemm, tahukah engkau di mana sekarang Sumoi tinggal?”
“Yang kudengar, sebagai mantu Pangeran Sim tentu saja ia tinggal bersama suaminya di rumah mertuanya itu. Pernikahan mereka menjadi buah bibir masyarakat yang mengagumi mereka, Enci, karena pengantin pria yang tampan, pengantin wanita cantik jelita dan keduanya merupakan pendekar-pendekar yang amat lihai. Begitu yang kudengar dibicarakan orang. Ayah juga bercerita banyak tentang mereka setelah pulang dari menghadiri perayaan pernikahan mereka.”
Siang Lan semakin tenggelam ke dalam lamunannya. Berbagai macam perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa girang dan bahagia membayangkan kebahagiaan Ong Lian Hong, sumoi yang dikasihinya itu, akan tetapi ada pula perasaan haru dan sedih mengingat akan keadaan dirinya sendiri yang sudah ternoda tanpa ia mampu membalas dendamnya kepada musuh besar itu. Awas kamu, hatinya berteriak, akan tiba saatnya aku menghancurkan kepalamu dan membelah dadamu, Thian-te Mo-ong.
“Engkau kenapa, Enci?” Li Ai bertanya melihat perubahan muka pendekar wanita itu.
“Ah, tidak apa-apa, Li Ai. Aku hanya berpikir bahwa sebaiknya aku tidak mengunjungi mereka dulu karena aku tidak sempat hadir dalam perayaan pernikahan mereka. Aku merasa malu dan bersalah bertemu mereka. Setelah Ayahmu diurus pemakamannya, kita pergi meninggalkan kota raja, kalau benar-benar sudah bulat tekadmu untuk ikut dengan aku.”
“Tentu saja aku ikut denganmu, Enci, kemana pun engkau pergi. Akan tetapi kalau boleh aku bertanya, kenapa engkau tidak menghadiri pesta pernikahan Sumoimu itu?”
“Mereka tidak tahu aku berada di mana sehingga tidak dapat mengundangku dan aku pun tidak tahu kapan mereka menikah. Berbulan-bulan ini aku sibuk membenahi tempat tinggalku yang baru saja kudapatkan.”
“Di mana itu, Enci?”
“Di Lembah Selaksa Bunga.”
“Ah, alangkah indah nama itu.”
“Tempatnya pun indah, terletak di bukit kecil. Lembah itu penuh dengan beraneka macam bunga, maka disebut Ban-hwa-san-kok (Lembah Bukit Selaksa Bunga) dan di sana aku memimpin perkumpulan wanita Ban-hwa-pang (Perkumpulan Selaksa Bunga).”
“Perkumpulan wanita, Enci? Anggautanya semua wanita?”
“Benar, semua wanita yang tidak berkeluarga, jumlah mereka ada tigapuluh lima orang. Baru beberapa bulan aku merampas Lembah Selaksa Bunga dari tangan orang-orang jahat.”
“Ah, aku akan senang tinggal di sana dan belajar ilmu silat darimu, Enci!”
Siang Lan tinggal di gedung keluarga Kui itu sampai tiga hari lamanya. Setelah jenazah Kui Seng dimakamkan, ia mengajak Li Ai bercakap-cakap dalam kamarnya.
“Li Ai, engkau merupakan ahli waris tunggal dari mendiang Ayahmu. Biarpun ada Ibu tirimu, akan tetapi yang lebih berhak adalah engkau karena engkau puterinya dan Nyonya Kui itu hanya ibu tirimu. Maka engkaulah ahli-waris Ayahmu dan berhak menguasai semua harta ayahmu. Engkau di sini tinggal di rumah gedung dan memiliki harta yang banyak, sedangkan kalau engkau ikut denganku, engkau akan tinggal di sebuah bukit sunyi dan aku bukanlah orang kaya.”
“Enci, apa maksudmu dengan kata-kata ini? Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau tidak jadi dan tidak ingin mengajakku?” tanya Li Ai dengan mata terbelalak penuh kegelisahan.
“Bukan begitu, Li Ai. Aku hanya sangsi apakah engkau akan betah tinggal di tempatku, meninggalkan semua kemewahan ini.”
“Kenapa engkau masih merasa sangsi, enci? Bagaimanapun juga, aku tidak mau tinggal di sini bersama Ibu tiriku. Kalau andaikata engkau tidak mau mengajakku, aku pun pasti akan pergi meninggalkan rumah ini.”
“Aku sama sekali tidak keberatan kalau engkau ikut aku, bahkan aku merasa senang. Baiklah, kalau engkau merelakan semua harta warisanmu terjatuh ke tangan Ibu tirimu yang sikapnya terhadapmu amat buruk itu. Kalau begitu, kemasi barangmu dan mari kita berangkat.”
“Nanti dulu, Enci!”
“Ada apalagi, Li Ai?”
“Mendengar ucapanmu tadi, seperti dibangkitkan semangatku. Ibu tiriku memang selalu membenciku, biarpun hal itu ia sembunyikan dari mendiang Ayahku. Engkau benar, harta warisan Ayahku, tidak boleh semuanya jatuh ke tangannya. Biarlah gedung ini karena gedung ini merupakan pemberian pemerintah yang tentu akan diambil kembali. Akan tetapi uang Ayah, perhiasan peninggalan Ibu kandungku, semua itu harus kubawa. Tentu kita dapat mempergunakannya di Lembah Selaksa Bunga!”
“Hemm, terserah, bukan aku yang menyuruhmu, akan tetapi aku mendukungmu, Li Ai.”
“Sebaiknya begitu, Enci, karena aku yakin Ibu tiriku tidak rela kalau aku membawa harta benda Ayah.”
Li Ai lalu pergi ke kamar pribadi ayahnya, akan tetapi ternyata kamar itu terkunci, “Hemm, kamar ini tentu dikunci oleh Ibu tiriku. Enci, kita dobrak saja pintunya.”
“Jangan, Li Ai, lebih baik kita minta kunci itu dari Ibu tirimu. Engkau berhak memegang kunci itu.”
Mereka lalu mencari Nyonya Kui yang berada di kamarnya sendiri. Mereka melihat Nyonya Kui sedang bicara dengan seorang laki-laki setengah tua berpakaian perwira dan ketika dua orang gadis itu memasuki ruangan dalam, perwira itu buru-buru pergi meninggalkan ruangan. Nyonya Kui bangkit berdiri dengan alis berkerut akan tetapi tampak jerih melihat Li Ai muncul bersama Hwe-thian Mo-li yang ia takuti.
“Ibu, aku ingin minta kunci kamar pribadi mendiang Ayahku,” kata Li Ai.
“Aku.... tidak tahu....” jawab Nyonya Kui dengan alis berkerut.
“Ibu, jangan berbohong. Hanya mendiang Ayah, engkau dan aku yang boleh membuka kamar itu, dan aku berhak untuk memasuki kamar Ayahku.”
“Nyonya, harap engkau tidak membuat ulah, Kui Li Ai berhak atas rumah dan semua harta benda Ayahnya. Sebaiknya engkau serahkan kunci itu kepadanya agar aku tidak perlu menggunakan kekerasan untuk membela Adik Kui Li Ai!” kata Hwe-thian Mo-li.
Dengan jari-jari tangan gemetar wanita itu mengambil sebuah kunci dari balik ikat pinggangnya dan menyerahkannya kepada Li Ai dengan cemberut tanpa bicara apa pun.
Li Ai menerima kunci dan bersama Hwe-thian Mo-li lalu membuka pintu kamar mendiang Panglima Kui yang cukup luas itu. Karena sudah mengetahui di mana ayahnya menyimpan harta benda berupa uang emas dan juga perhiasan yang dulu menjadi milik ibu kandungnya, maka langsung saja Li Ai menuju ke sebuah almari besar dan karena ia tidak menemukan kuncinya, ia minta kepada Siang Lan untuk membukanya dengan paksa.
Dengan mudah Siang Lan membuka pintu almari itu dan Li Ai lalu mengambil harta benda yang banyak dari almari, membungkusnya dengan kain. Karena harta benda itu cukup banyak dan berat, maka Siang Lan membantu membawanya dengan menggantung bungkusan kain itu punggungnya. Li Ai sendiri menggendong buntalan berisi pakaiannya.
Setelah itu mereka berdua keluar dari gedung tanpa pamit lagi kepada ibu tiri Li Ai. Beberapa orang wanita pelayan yang setia dan sayang kepada gadis itu, sambil menangis mengikuti Li Ai sampai di luar gedung. Li Ai memberi beberapa potong uang emas kepada mereka karena mereka menyatakan bahwa setelah Li Ai pergi, mereka pun akan meninggalkan gedung itu. Nyonya Kui adalah seorang wanita yang galak dan membenci Li Ai sehingga para pelayan yang sayang kepada Li Ai juga ikut pula dibencinya.
Tadinya Siang Lan menduga bahwa mereka berdua akan menghadapi gangguan dan halangan keluar dari gedung itu. Akan tetapi ternyata tidak terjadi sesuatu. Mereka keluar dari gedung dan terus menuntun dua ekor kuda yang diambil oleh Li Ai dari dalam kandang kuda sampai ke jalan raya di depan gedung.
Mereka berdua menunggang kuda dan menjalankan kuda mereka perlahan-lahan keluar dari kota raja. Ternyata bahwa biarpun Li Ai tidak pernah belajar ilmu silat secara mendalam, sebagai seorang puteri panglima ia cukup pandai dan sudah biasa menunggang kuda.
Akan tetapi, belum terlalu jauh mereka meninggalkan pintu gerbang kota raja dan tiba di jalan yang sepi, mereka melihat segerombolan orang berdiri menghadang di jalan. Li Ai segera berkata kepada Siang Lan dengan lirih dan tampak gelisah.
“Enci, yang di depan itu adalah Perwira Can yang masih ada hubungan keluarga dengan Ibu tiriku. Mau apa mereka....?”
“Biar aku yang menghadapi mereka!” kata Siang Lan tenang saja. Ia juga mengenal perwira yang kini berpakaian preman itu karena dia adalah perwira yang tadi ia lihat sedang bercakap-cakap dengan Nyonya Kui dan segera pergi setelah ia dan Li Ai memasuki ruangan itu.
Perwira setengah tua itu bertubuh tinggi dan tampak kokoh kuat, juga sinar matanya yang tajam menunjukkan bahwa dia tentu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Yang berada di belakang Perwira Can adalah orang-orang yang dari sikapnya yang tegak dapat diduga bahwa merekapun tentu para perajurit yang berpakaian preman.
Biarpun mereka tidak mengenakan pakaian seragam perajurit, namun limabelas orang itu mempunyai golok yang sama dan sikap mereka adalah sikap orang-orang yang biasa berbaris dalam pasukan.
Setelah memberi isyarat kepada Li Ai untuk berhenti dan memegangi kendali kudanya sendiri, Siang Lan melompat turun dari atas punggung kuda dan melangkah menghampiri rombongan orang itu. Dengan tenang ia berhadapan dengan Perwira Can dan berkata dengan suara tenang dan mengejek.
“Apakah kehendak kalian, belasan orang laki-laki menghadang perjalanan dua orang wanita?”
Perwira Can yang mempunyai sebatang pedang yang tergantung di pinggangnya, menjawab dengan suara galak. “Kami tidak ingin mengganggu kalian berdua, hanya minta agar kalian menyerahkan harta benda yang kalian rampas dari dalam gedung Panglima Kui agar dapat kami serahkan kembali kepada keluarganya!”
Siang Lan tersenyum. “Maksudmu diserahkan kepada keluargamu, yang menjadi isteri mendiang Panglima itu? Ketahuilah, harta itu menjadi hak milik Nona Kui Li Ai, maka ia membawanya pergi. Kami bukan merampas, akan tetapi kulihat kalian ini perajurit-perajurit yang agaknya ingin menjadi perampok! Perwira Can, kalau engkau masih ingin hidup, bawa pasukanmu pergi dan jangan ganggu kami!”
“Heh, Hwe-thian Mo-li, siapa tidak tahu bahwa engkau adalah seorang Iblis Betina yang jahat? Nona Kui Li Ai adalah seorang gadis bangsawan yang lembut, pasti engkau yang membujuknya untuk melarikan diri dan merampas harta benda keluarga Kui!” bentak perwira itu.
Siang Lan marah sekali. Tanpa banyak cakap lagi ia sudah mencabut pedangnya dan menyerang perwira itu dengan gerakan cepat.
“Sing-tranggg....!”
Perwira Can juga sudah mencabut pedangnya dan menangkis. Ternyata perwira itu cukup tangguh dan Siang Lan segera dikepung dan dikeroyok belasan orang!
“Kalian sudah bosan hidup!” bentaknya dan begitu ia mempercepat gerakan pedangnya, dua orang pengeroyok telah roboh mandi darah! Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar dua ekor kuda itu meringkik dan begitu ia menoleh, ia terkejut sekali melihat Li Ai sudah ditangkap! Dua orang anak buah Perwira Can memegangi kedua lengannya dan seorang lagi menempelkan golok di leher gadis bangsawan yang meronta-ronta itu.
“Lepaskan, kalian orang-orang jahat! Lepaskan aku!” Li Ai meronta-ronta namun apa dayanya seorang gadis lembut seperti ia menghadapi dua orang laki-laki yang kuat itu. Kedua lengannya telah ditekuk ke belakang oleh dua orang itu.
“Ha-ha, Hwe-thian Mo-li, menyerahlah kalau tidak ingin melihat Nona Kui kami bunuh lebih dulu!” bentak Perwira Can sambil menahan serangan, diikuti oleh para anak buahnya.
Sejenak Siang Lan tertegun dan merasa tak berdaya. Jelas bahwa kalau ia bergerak hendak menyerang tiga orang yang menawan Li Ai itu, gadis itu pasti akan tewas karena sekali golok yang menempel di leher itu digerakkan, kematian Li Ai tak dapat dihindarkan lagi!
“Enci, jangan pedulikan mereka! Mereka hanya menggertak! Mereka tidak berani membunuhku karena keluarga Ayah tentu akan menuntut. Perwira Can, manusia busuk, hayo bunuh aku kalau kau berani! Enci, teruskan hajar mereka, aku tidak takut mati!” teriak Li Ai.
Mendengar ini, Siang Lan tersenyum dan kembali sinar kilat pedangnya berkelebat menyambar dan dua orang lagi pengeroyok roboh dibabat pedangnya.
Tiba-tiba tampak bayangan dua orang berkelebat dan di depan Siang Lan telah muncul dua orang yang berpakaian seperti tosu. Yang seorang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, kedua tangannya memegang siang-to (sepasang golok) sedangkan orang kedua yang berusia sekitar enampuluh lima, beberapa tahun lebih tua daripada tosu pertama, berwajah pucat bermata sipit, rambutnya sudah putih semua dan tubuhnya tinggi kurus, memegang pedang di tangan kanan dan sebuah kebutan di tangan kiri.
Tosu pertama yang bermuka hitam membentak, “Hwe-thian Mo-li, iblis betina, engkau harus menebus kematian dua orang suteku dengan nyawamu!” Sepasang golok di tangannya menyambar dengan gerakan menggunting dari kanan kiri. Siang Lan cepat menggerakkan pedangnya menangkis ke kanan kiri.
“Trang-trangg....!” Gadis itu merasa betapa tenaga tosu muka hitam ini jauh lebih kuat dari tenaga Perwira Can sehingga akan merupakan seorang lawan yang cukup tangguh.
“Awas, Enci. Pendeta siluman muka hitam itulah yang menculikku!” teriak Li Ai yang masih dipegangi kedua lengannya oleh dua orang anak buah Perwira Can.
Memang Li Ai benar. Perwira Can tidak berani membunuhnya karena Li Ai mempunyai dua orang paman, adik-adik ayahnya, yang menjadi pembesar di kota raja dan kedudukan mereka lebih tinggi daripada kedudukan Perwira Can, maka kini ia hanya dipegangi dua orang anak buah tanpa diancam golok lagi.
Melihat betapa tangkisan pedang Siang Lan dapat membuat sepasang golok di tangan tosu muka hitam itu terpental, tosu kedua yang bermuka pucat berseru.
“Siancai! Tenaga saktimu boleh juga, Hwe-thian Mo-li!” Dan dia pun menyerang dengan pedang di tangan kanan yang menyambar ke arah leher Siang Lan disusul ujung bulu kebutan yang tiba-tiba menjadi kaku itu menotok ke arah ulu hati!
Sungguh berbahaya sekali serangan tosu bermua pucat itu. Cepat ia menggerakkan pedangnya untuk menangkis pedang lawan dan tangan kirinya dengan tenaga sin-kang menangkis bulu kebutan berwarna putih itu.
“Cringg.... plakk!” Siang Lan berhasil menangkis pedang dan kebutan, akan tetapi ia terdorong ke belakang oleh tenaga yang amat kuat!
Tahulah ia bahwa tosu berwajah pucat ini memiliki tenaga sakti yang kuat bukan main dan merupakan lawan yang amat tangguh. Menghadapi dua orang lawan seperti itu dapat membahayakan dirinya. Akan tetapi gadis perkasa yang tidak pernah mengenal takut ini sama sekali tidak merasa gentar, bahkan ia lalu mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua jurus-jurus simpanannya untuk mengamuk melawan dua orang tosu yang lihai itu.
Sementara itu, Perwira Can dan anak buahnya yang merasa agak gentar terhadap Siang Lan, hanya mengepung dari jarak aman seolah hendak menutup jalan keluar gadis itu agar tidak mampu melarikan diri!
Siang Lan mengamuk mati-matian, namun ia segera terdesak karena kedua orang lawannya, terutama tosu muka pucat, memang memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Melawan tosu muka pucat itu saja belum tentu ia dapat menang, apalagi kini dikeroyok dua, padahal kepandaian tosu muka hitam itu juga hebat sekali.
Biarpun terdesak hebat, Siang Lan tidak mempunyai niat sedikit pun juga untuk melarikan diri. Tak mungkin ia melarikan diri dan meninggalkan Li Ai. Ia akan melindungi Li Ai sampai tidak mampu melawan lagi! Tekadnya yang besar ini membuat ia masih mampu bertahan, walaupun lebih banyak mengelak dan menangkis daripada balas menyerang.
Tiba-tiba terdengar suara berdebukan dan dua orang anak buah perajurit yang tadinya memegangi kedua lengan Li Ai, berteriak dan roboh tak dapat bergerak lagi!
Ternyata yang merobohkan mereka adalah seorang laki-laki setengah tua, berusia empatpuluh dua tahun, bertubuh sedang dan wajahnya tampan dan lembut, pakaiannya sederhana. Dia merobohkan dua orang yang tadi meringkus Li Ai hanya dengan tamparan dari jarak jauh dan kini dia melompat dengan ringannya ke sebelah Siang Lan.
“Hwe-thian Mo-li, lindungi dan larikan gadis itu dari sini, biar aku yang akan menghadapi dua orang sesat Pek-lian-kauw ini!” katanya lembut namun berwibawa.
Setelah berkata demikian, dia bergerak maju dan dengan hanya menggunakan ujung lengan bajunya yang panjang, dia menyambut serangan dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu! Namun, tangkisan kain ujung lengan baju itu membuat senjata dua orang tosu itu terpental dan mereka merasa betapa tangan mereka tergetar hebat...!