Lembah Selaksa Bunga Jilid 04

Cerita Silat Mandarin Serial Iblis dan Bidadari seri kedua, Lembah Selaksa Bunga Jilid 04 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

10. Mengapa Engkau Menangis?

Siang Lan yang telah melompat mundur, memandang penuh perhatian dan ia merasa heran sekali bagaimana orang itu dapat mengenal julukannya. Ia belum pernah melihat orang ini dan dari beberapa gebrakan saja tahulah ia bahwa orang itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi!

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S.P

Baru tiga jurus saja dua orang tosu itu sudah terdorong mundur! Ia menoleh dan melihat bahwa Li Ai sudah terbebas dari pegangan dua orang anak buah Perwira Can yang kini sudah menggeletak tak bergerak. Perwira Can yang memang sudah gentar terhadap Siang Lan, kini mengerahkan sisa anak buahnya untuk membantu dua orang tosu mengeroyok laki-laki yang menolong Siang Lan itu.

“Mari, Li Ai!” Ia berseru dan menyambar tubuh gadis itu, dibawanya lari ke arah dua ekor kuda mereka. Tak lama kemudian mereka berdua sudah melarikan kuda dengan cepat melanjutkan perjalanan menuju Lembah Selaksa Bunga.

Laki-laki yang menolong Siang Lan itu bukan lain adalah Sie Bun Liong! Peristiwa di malam jahanam di mana dalam keadaan setengah mabok dan terpengaruh racun perangsang, secara hampir tidak sadar dia telah melakukan perkosaan terhadap Hwe-thian Mo-li. Dia merasa amat menyesal dan duka.

Dan dia mengambil keputusan untuk menebus dosanya dengan melindungi Siang Lan dan menurunkan ilmunya kepada gadis itu agar kelak gadis itu dapat membalas dendam dan membunuh musuh besar yang telah menodainya, yaitu Thian-te Mo-ong atau dia sendiri!

Untuk dapat mencapai keputusannya ini dengan baik, dia harus menyamar menjadi dua orang, yaitu pertama menyamar sebagai Thian-te Mo-ong yang memakai topeng kayu dan kedua menyamar sebagai pelindung dengan nama Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama)! Nama aselinya, Sie Bun Liong, tidak dipakainya lagi!

Melihat kehebatan lawan yang membela Hwe-thian Mo-li, dua orang tosu Pek-lian-kauw menjadi penasaran. “Tahan!” seru tosu berwajah pucat.

Mendengar ini, semua orang menghentikan perkelahian dan tosu itu memandang tajam penuh selidik kepada lawannya.

“Siapakah engkau dan mengapa engkau mencampuri urusan kami? Kami sedang membantu pasukan yang hendak menangkap dua orang gadis yang mencuri harta milik keluarga Kui!”

Sie Bun Liong yang kini menggunakan nama julukan Bu-beng-cu, tersenyum menjawab terang. “Hwa Hwa, engkau seorang datuk masih suka memutar-balikkan fakta.”

“Engkau mengenal kami?” bentak tosu berwajah pucat yang bernama Hwa Hwa Hoat-su, datuk sesat yang jarang turun tangan sendiri karena sudah banyak saudara dan murid yang lebih muda mengurus semua masalah di Pek-lian-kauw.

“Tentu saja aku mengenal kalian, Hwa Hwa Hoat-su dan Hoat Hwa Cin-jin. Seperti kukatakan tadi, kalian memutar-balikkan kenyataan. Nona Kui Li Ai membawa hartanya sendiri, peninggalan Ayahnya, yang hendak merampok harta keluarga Kui adalah kalian orang-orang Pek-lian-kauw yang agaknya bekerja sama dengan pasukan yang menyamar ini!”

“Keparat, siapa engkau?” bentak Hoat Hwa Cin-jin, marah dan terkejut karena kerja sama Pek-lian-kauw dengan Perwira Can telah diketahui.

“Namaku tidak ada, sebut saja aku Bu-beng-cu!”

“Manusia sombong!” Tiba-tiba Hwa Hwa Hoat-su melemparkan kebutannya ke atas dan... kebutan berbulu putih itu terbang melayang ke arah Bu-beng-cu dan seperti hidup kebutan itu menyerang ke arah mukanya.

“Hemm, permainan kanak-kanak ini kau pamerkan?” bentak Bu-beng-cu dan, sekali tangannya didorongkan ke arah kebutan itu, senjata itu terpental dan terbang kembali ke tangan kiri Hwa Hwa Hoat-su!

Hwa Hwa Hoat-su marah dan sambil mengeluarkan gerengan, seperti seekor biruang dia sudah menerjang maju, menggerakkan pedang di tangan kanan dan kebutan tangan kiri. Hoat Hwa Cin-jin tidak tinggal diam. Dia sudah menerjang pula dengan siang-to (sepasang golok) di tangannya.

Bu-beng-cu menggerakkan tubuhnya yang seolah berubah menjadi bayang-bayang yang cepat sekali gerakannya. Bayangan tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar senjata kedua orang pengeroyoknya yang amat lihai itu. Niat Bu-beng-cu hanya untuk menyelamatkan Hwe-thian Mo-li dan Kui Li Ai. Dia tidak ingin bermusuhan dengan Pek-lian-kauw atau dengan siapapun juga.

Selama bertahun-tahun dia hanya memperdalam ilmu dan bersembunyi di Pegunungan Himalaya. Sungguh tak disangka-sangkanya bahwa rasa rindunya kepada adik tirinya, yaitu Siangkoan Leng yang menjadi Ban-hwa-pang-cu (Ketua Ban-hwa-pang) akan mendatangkan malapetaka baginya.

Pertama-tama, dalam keadaan tak sadar dikuasai pengaruh racun perangsang dia telah memperkosa Hwe-thian Mo-li yang disusul dengan dendam sakit hati gadis itu kepadanya dan sekarang, karena dia harus melindungi Hwe-thian Mo-li, dia harus bermusuhan dengan orang-orang kang-ouw, hal yang sama sekali tidak dikehendakinya. Dia menyadari bahwa peristiwa malam jahanam itu akan membawa akibat panjang yang akan merusak ketenteraman hidupnya.

Setelah dia merasa bahwa tentu Hwe-thian Mo-li dan Li Ai telah pergi jauh dan bebas dari ancaman orang-orang ini, maka setelah melawan dan selalu menghindarkan diri dari serangan dua orang tosu Pek-lian-kauw itu. Bu-beng-cu menggunakan gin-kangnya untuk melompat jauh ke belakang dan dengan beberapa lompatan saja dia sudah meninggalkan tempat itu dan menghilang di balik pohon-pohon!

Dua orang tosu itu tidak mengejar karena keduanya maklum betapa tingginya gin-kang dari orang berjuluk Bu-beng-cu yang tidak mereka kenal itu. Bahkan nama Bu-beng-cu juga tak pernah terdengar di dunia kang-ouw.

Perwira Can yang gagal merampas harta benda keluarga Kui yang dibawa Li Ai walaupun sudah dibantu dua orang tokoh Pek-lian-kauw, terpaksa mengajak anak buahnya kembali ke kota raja dengan tangan hampa. Bahkan beberapa orang anak buahnya tewas dan terluka!


Kui Li Ai merasa kagum ketika ia mengikuti Siang Lan tiba di Lembah Selaksa Bunga. Sebagai seorang gadis bangsawan yang sejak kecil hidup mewah, tentu saja ia sudah banyak melihat taman-taman yang indah milik para bangsawan di kota raja, bahkan pernah satu kali ayahnya mengajak ia melihat taman istana kaisar yang megah. Namun, dibandingkan lembah ini, taman bunga itu bukan apa-apa.

Lembah ini demikian luas dan alami, penuh dengan beraneka bunga, terbuka dan bebas, tidak seperti taman-taman bunga yang terkurung pagar tembok tinggi, membuat orang merasa seperti dalam tahanan atau penjara. Sedangkan di Lembah Selaksa Bunga ini, ia merasa demikian bebas merdeka, dapat melihat jauh ke bawah bukit dan merasa seperti burung yang terbang bebas lepas melayang di udara!

Segala bentuk kesenangan yang dapat kita rasakan melalui indera kita, merupakan anugerah Tuhan kepada kita. Dengan adanya nafsu dalam diri kita yang telah disertakan kita sejak lahir, mendatangkan kenikmatan bagi kita. Demikian besar kasih Tuhan kepada kita. Nafsu yang terkandung dalam penglihatan mata membuat kita dapat menikmati pemandangan yang indah-indah, bentuk dan warna yang menyenangkan hati kita.

Melalui pendengaran telinga, nafsu mendatangkan kenikmatan kepada kita kalau kita mendengar suara-suara merdu yang sesuai dengan selera kita. Demikian pula, melalui penciuman hidung, kita dapat menikmati keharuman. Melalui mulut, kita dapat menikmati makanan dan selanjutnya.

Namun, justeru kenikmatan-kenikmatan yang kita rasakan melalui anggauta-anggauta badan kita ini yang sering kali menjerumuskan kita. Nafsu yang menimbulkan kenikmatan dalam kehidupan, yang semestinya menjadi peserta dan pelayan kita, kalau terlalu dibiarkan dan dimanja, dapat merajalela dan berbalik akan memperbudak kita. Kalau sudah demikian, akan celakalah kita.

Keinginan memperoleh kenikmatan-kenikmatan itu membuat kita selalu mengejar dan dalam pengejaran itu, seringkali terjadilah pelanggaran-pelanggaran, menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang amat diinginkan. Padahal, kalau sesuatu yang kita kejar, yang kita anggap akan mendatangkan kesenangan itu, telah terdapat, maka biasanya hanya akan mendatangkan kebosanan, cepat atau lambat.

Nafsu mendorong kita untuk mencari yang lain lagi, yang kita anggap akan lebih menyenangkan daripada apa yang telah kita dapatkan. Demikianlah, kita menjadi budak pengejar kesenangan yang tak pernah mengenal puas sampai akhirnya kita terjatuh sendiri karena pelanggaran yang kita lakuan dalam pengejaran itu.

Berbahagialah orang yang selalu merasa puas dengan apa yang diperoleh dari hasil usahanya dan mensyukuri perolehan itu sebagai berkat dari Tuhan, kemudian dapat menyalurkan berkat dari Tuhan itu untuk sebagian diberikan kepada orang-orang lain yang membutuhkan.

Penyalur berkat Tuhan berupa kepandaian, kekuatan, ataupun kelebihan materi, adalah orang-orang yang mengagungkan namanya sehingga orang-orang yang menerima penyaluran berkat itu juga akan memuja dan mengagungkan nama Tuhan.

Kesenangan yang dirasakan Li Ai ketika ia tiba di Lembah Selaksa Bunga dan melihat keindahan lembah itu, juga tidak bertahan lama. Beberapa waktu kemudian, sudah timbul perasaan bosan melihat taman bunga alami itu. Karena sering melihat, maka lembah itu pun tampak “biasa” saja, tidak ada keanehannya, tidak ada keunikannya, tidak ada daya tariknya lagi.

Tidak heran kalau kita mendengar betapa orang-orang gunung merindukan pantai laut dan orang-orang pantai laut merindukan pegunungan. Orang-orang kota menyukai dusun yang hening menyejukkan, dan orang-orang dusun menyukai kota yang ramai menggembirakan! Orang selalu menghendaki yang belum dia miliki dan merasa bosan dengan apa yang telah mereka punyai.

Demikian pula dengan Li Ai. Kalau mula-mula ia merasa senang dan kagum melihat Lembah Selaksa Bunga dan senang tinggal bersama Hwe-thian Mo-li di lembah itu, beberapa pekan kemudian ia sudah merasa bosan. Apalagi kalau ia teringat akan penghidupannya yang lalu di kota raja ketika ayahnya masih hidup.

Ia kini merasa kehilangan segala-galanya. Kehilangan kehormatan diri karena peristiwa perkosaan itu selalu menghantuinya, terutama di waktu malam. Mimpi-mimpi menakutkan tentang peristiwa itu seringkali membuat ia menjerit-jerit dan terbangun. Dahulu ia menjadi seorang gadis bangsawan yang selalu riang, dihormati, disayang banyak orang, dan terutama sekali digandrungi banyak pemuda!

Pada sore hari itu pemandangan di Lembah Selaksa Bunga sungguh indah sekali. Matahari senja dengan sinarnya yang lembut kemerahan memandikan lembah itu sehingga tampak kemerah-merahan dan matahari sendiri sudah mulai turun bagaikan wajah seorang dara yang malu-malu dan hendak menyembunyikan diri di balik tirai awan sutera putih.

Namun Kui Li Ai yang sedang termenung dan tenggelam dalam lamunannya itu, tidak lagi dapat menyadari akan semua keindahan itu. Bahkan suasana senja seperti itu mengingatkan ia akan pertemuannya dengan seorang pemuda yang baginya merupakan seorang laki-laki yang amat menarik, tampan dan gagah. Pemuda itu bernama Bong Kin, putera dari hartawan Bong yang selain kaya raya, juga dekat hubungannya dengan para pejabat.

Beberapa bulan yang lalu sebelum Panglima Kui wafat, hartawan Bong datang berkunjung, ditemani puteranya, yaitu Bong Kin yang biasa disebut Bong Kongcu (Tuan Muda Bong). Karena tidak ingin mengganggu percakapan antara ayahnya dan Panglima Kui, Bong Kongcu pamit untuk berjalan-jalan dalam taman bunga yang terdapat di samping gedung Panglima Kui.

Pada sore hari yang hawanya panas itu, kebetulan Kui Li Ai sedang mencari angin dalam taman. Tanpa disengaja, dara dan pemuda itu saling jumpa dan Bong Kin yang pandai bergaul itu segera memperkenalkan diri. Karena sikapnya yang sopan dan ramah, Li Ai menyambut perkenalan itu. Perkenalan itu disambut baik dan berlanjut menjadi persahabatan di antara mereka.

Ketika Bong Kin menyatakan cinta, Li Ai belum berani menerimanya. Ia sudah banyak menolak pernyataan cinta dan pinangan pemuda-pemuda yang menggandrunginya. Biarpun ia belum menerima Bong Kin yang menyatakan cinta itu sebagai pria pilihannya, namun ia sungguh tertarik kepada Bong Kin. Pemuda itu selain sopan dan ramah, juga kata-katanya penuh madu penuh rayuan yang menggetarkan hatinya.

Li Ai menghela napas panjang. Ketika teringat kepada Bong Kin yang menjadi sahabatnya, ia semakin terpukul dan merasa kehilangan. Ingatan akan pemuda yang telah menyatakan cinta kepadanya itu membuat ia teringat akan keadaan dirinya yang telah ternoda. Maka tak dapat ditahannya lagi Li Ai menangis tersedu-sedu tanpa suara karena ia menahan agar tangisnya tidak terdengar oleh orang lain.

Sebuah tangan dengan lembut memegang pundaknya. Li Ai terkejut dan mengangkat muka memandang. Kiranya Siang Lan sudah berdiri di belakangnya.

“Li Ai, mengapa engkau menangis? Apakah engkau masih berduka karena nasibmu dahulu itu?” Li Ai menggelengkan kepala. “Hemm, apakah engkau merasa menyesal meninggalkan rumahmu dan tinggal di tempat sunyi ini?”

Li Ai cepat menggelengkan kepala dan menjawab. “Tidak, Enci, aku senang sekali tinggal di sini bersamamu. Aku hanya... sedih teringat kepada.... seorang sahabat baikku....”

“Sahabat baikmu? Siapakah itu, Li Ai?”

“Dia.... dia putera Bong Wan-gwe (Hartawan Bong) sahabat mendiang Ayahku yang tinggal di kota raja.”

“Hemm, seorang pemuda?”

Wajah ayu itu menjadi kemerahan. “Dia bernama Bong Kin dan sebelum terjadi malapetaka menimpa keluargaku, Bong Kongcu itu telah menyatakan bahwa dia.... cinta padaku dan akan meminangku....”

“Ah, dan engkau juga cinta padanya?”

Li Ai hanya mengangguk perlahan dan menundukkan mukanya.

“Kalau begitu, biar aku mencarinya dan kuberitahuan bahwa engkau berada di sini. Kalau memang dia mencintamu, tentu dia akan datang dan meminang ke sini.”

“Tapi... tapi, Enci, keadaanku sekarang... aku sudah ternoda.... bagaimana mungkin aku menjadi isterinya?” Li Ai terisak sedih.

“Mengapa tidak mungkin? Kalau memang Bong Kongcu itu mencintamu, Li Ai, hal itu pasti bukan merupakan halangan. Kau tunggu saja di sini, aku akan ke kota raja mencarinya dan memberitahu padanya bahwa engkau sekarang tinggal di sini. Kalau dia mencintamu tentu dia akan datang menjemputmu di sini.”

“Akan tetapi.... kalau dia datang, apa yang harus kuperbuat? Apa yang harus kukatakan padanya? Apakah aku harus berterus terang mengatakan bahwa aku telah.... telah.... dinodai dua orang tokoh Pek-lian-kauw jahanam keji itu? Enci aku takut....”

“Li Ai, kalau engkau memang mencintanya, engkau tidak perlu takut dan kalau dia memang mencintamu, dia akan memaklumi keadaanmu yang tidak berdaya dan menaruh kasihan kepadamu. Memang sebaiknya berterus terang, karena kalau engkau sembunyikan dan kemudian dia mengetahui, hal itu sungguh tidak baik jadinya. Nah, kautunggu saja di sini!”

Siang Lan lalu pergi meninggalkan Lembah Selaksa Bunga menuju ke kota raja. Dalam perjalanan yang dilakukannya dengan cepat ini, Siang Lan banyak melamun. Ia tidak dapat melupakan pria yang telah menolongnya ketika ia dikeroyok tokoh-tokoh Pek-lian-kauw yang lihai.

Bagaimana mungkin ia dapat melupakan orang itu? Tanpa pertolongannya, tentu ia dan Li Ai telah tewas atau terjatuh ke tangan orang-orang Pek-lian-kauw. Ia merasa menyesal sekali tidak sempat berkenalan dengan penolongnya itu. Sudah dua kali ia ditolong orang tanpa mengenal penolongnya.

Yang pertama ketika ia dikeroyok oleh Cin Kok Tosu dan Cia Kun Tosu, dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang memperkosa Li Ai, ia dibantu orang yang tidak memperlihatkan diri dengan sambitan batu ke arah dua orang lawannya itu, kemudian ketika ia roboh pingsan, ada yang mengobatinya sehingga ia terbebas dari racun. Ia tidak sempat melihat siapa penolongnya yang pertama itu.

Kemudian, untuk kedua kalinya ia ditolong, bahkan diselamatkan orang dan ia masih sempat melihat penolongnya walaupun ia tidak sempat mengetahui siapa nama penolongnya itu. Apakah dia juga yang dulu pernah menolongnya tanpa ia lihat orangnya? Ia tidak dapat melupakan wajah laki-laki penolongnya itu dan ingin sekali ia bertemu untuk sekadar mengucapkan terima kasihnya.

Bahkan ada harapan yang lebih dari sekadar mengucapkan terima kasih, yaitu ia ingin sekali memperdalam ilmu silatnya, berguru kepada laki-laki itu. Dari gerakan orang itu, ia tahu benar bahwa dia memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan kalau ia dapat berguru kepadanya.

Mungkin ia akan mampu kelak membalas dendamnya kepada Thian-te Mo-ong, jahanam berkedok setan yang telah memperkosanya dan menghancurkan kebahagiaan hidupnya. Akan tetapi, ke mana ia harus mencari penolongnya itu? Ia hanya pernah melihatnya, mengenal wajahnya akan tetapi tidak tahu siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya.

Teringat akan kenyataan ini, hatinya merasa kecewa dan murung. Ia lalu mengerahkan gin-kangnya dan berlari cepat sekali menuju ke kota raja. Kalau ia sendiri tidak mungkin membangun penghidupannya yang sudah runtuh dan mustahil dapat hidup berbahagia, setidaknya ia dapat membantu Li Ai untuk mulai hidup baru, berbahagia bersama pria yang dicintanya!

Bong Kin atau yang biasa dipanggil Bong Kongcu (Tuan Muda Bong) adalah putera tunggal Bong Wan-gwe (Hartawan Bong), seorang pedagang rempah-rempah yang kaya raya di kota raja. Seperti sudah lajim terjadi, baik di kota-kota daerah atau di ibu kota (kota raja), para hartawan selalu berhubungan dekat dan akrab dengan para pembesar atau pejabat tinggi. Dua golongan masyarakat ini memang saling membutuhkan dan saling bantu.

Si Pembesar membantu dengan kekuasaan jabatan yang dipegangnya, sebaliknya Si Hartawan membantu dengan harta yang dimilikinya. Kerja sama ini mendatangkan keuntungan kedua pihak. Yang kaya menjadi semakin kaya dan Sang Pembesar pun memperoleh hasil yang ribuan kali lipat besarnya daripada gajinya yang dia dapatkan dari pemerintah.

Demikian pula dengan Hartawan Bong. Perusahaannya, yaitu berdagang rempah-rempah menjadi semakin besar karena dengan perlindungan pembesar yang berwenang, dia memiliki monopoli atas bermacam-macam rempah-rempah terpenting sehingga dia dapat mengendalikan harga hasil bumi itu dan memperoleh keuntungan yang berlipat ganda. Tentu saja sebagian keuntungan itu lari ke dalam kantung pembesar yang melindunginya.

Siapa yang menderita rugi? Tentu saja pertama adalah rakyat kecil, terutama para petani yang menanam rempah-rempah itu karena harganya ditekan serendah-rendahnya oleh Hartawan Bong sebagai pembeli tunggalnya.

11. Motivasi Cinta Seorang Pemuda

Hubungan Hartawan Bong dengan para pembesar di kota raja amat dekat. Dia tidak sayang menghamburkan uang untuk dapat mengikat persahabatan dengan para pembesar. Maka, Hartawan Bong mengenal hampir seluruh pejabat sipil maupun militer yang berkuasa waktu itu di kota raja, termasuk mendiang Panglima Kui Seng.

Biarpun dia tidak membutuhkan bantuan dari panglima ini, juga sebaliknya Panglima Kui tidak pernah menerima semacam “upeti” darinya, namun tetap saja Hartawan Bong mendekatinya dengan cara mengirimkan hadiah barang atau makanan pada waktu-waktu tertentu, seperti hari raya dan sebagainya. Bahkan dia sering pula datang berkunjung sekadar untuk bercakap-cakap.

Dalam kesempatan ini, Bong Kongcu bertemu dan berkenalan dengan Kui Li Ai dan pemuda hartawan itu jatuh cinta kepada Li Ai. Bong Kongcu bukan seorang pemuda alim. Pemuda berusia duapuluh lima tahun yang tampan gagah, pesolek dan perayu ini terkenal di rumah-rumah pelesir termahal di kota raja. Dia sudah banyak pengalaman dan bergaul dengan banyak wanita cantik.

Akan tetapi baru sekali ini dia benar-benar jatuh cinta kepada Kui Li Ai. Dia memang belum menikah dengan resmi walaupun sejak berusia duapuluh tahun dia telah mempunyai beberapa orang gadis simpanan sebagai selirnya. Dia melihat keuntungan besar kalau dapat menikahi Kui Li Ai sebagai isterinya.

Pertama, Kui Li Ai memiliki kecantikan yang memang menggairahkan di samping memiliki pendidikan tinggi dan juga sebagai puteri panglima tentu saja namanya terhormat. Kedua, kalau dia menjadi mantu Panglima Kui, tentu saja diapun memiliki perlindungan yang kuat dan martabatnya akan naik di mata penduduk kota raja. Bahkan ayahnya juga sudah merasa setuju sekali dan mendukungnya kalau dia ingin berjodoh dengan puteri Panglima Kui.

Akan tetapi walaupun dia sudah menyatakan cintanya kepada Li Ai, gadis itu belum menjawab, maka dia belum berani mengajukan pinangan. Kemudian, datang malapetaka menimpa keluarga Kui dengan diculiknya Li Ai dan berakibat kematian Panglima Kui Seng. Kemudian, Bong Kongcu mendengar bahwa Kui Li Ai pergi bersama seorang pendekar wanita yang terkenal liar dan ganas bernama Hwe-thian Mo-li.

Tentu saja dia merasa kecewa sekali karena keinginannya untuk menikah dengan Li Ai dan menjadi mantu Panglima Kui telah gagal! Dia tidak tahu ke mana harus mencari gadis yang dicintanya itu dan biarpun dia telah menghamburkan uang untuk membiayai pencariannya terhadap Li Ai dengan mengerahkan orang-orangnya, tetap saja tidak berhasil menemukan gadis itu.

Bong Kongcu mencoba untuk menghibur hatinya dengan bersenang-senang dengan banyak gadis penghibur yang cantik, namun tetap saja dia setiap hari murung teringat kepada Li Ai yang membuatnya tergila-gila. Bagi seorang pemuda yang sedang kasmaran, tergila-gila seperti dia, tidak ada wanita lain yang lebih cantik menarik dan menggairahkan selain gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu.

Pada suatu pagi, ketika Bong Kin sedang duduk termenung dan teringat kepada Kui Li Ai, wajahnya muram dan hidangan makanan kecil yang sejak tadi ditaruh oleh pelayan di depannya, di atas meja, tak disentuhnya, muncullah seorang pelayan wanita.

“Kongcu, di luar ada seorang gadis ingin bertemu dengan Kongcu.”

Bong Kongcu memandang pelayannya itu dengan mata bersinar. “Seorang gadis? Ia.... Nona Kui Li Ai....?”

“Bukan, Kongcu. Ia seorang gadis yang cantik dan di punggungnya tergantung sebatang pedang. Ia tidak memperkenalkan nama, hanya bilang bahwa ia mempunyai urusan yang amat penting dan katanya Kongcu tentu akan senang mendengarnya.”

Mendengar ini, Bong Kin lalu bangkit dan melangkah keluar dengan heran dan ingin sekali melihat siapa gadis itu. Setelah tiba di luar dia merasa heran sekali melihat seorang gadis yang cantik jelita dan belum pernah dilihatnya. Yang menarik hatinya, gadis ini bukan seperti gadis cantik lainnya yang pernah dikenalnya. Gadis ini selain cantik jelita juga memiliki sikap gagah, dengan sinar mata tajam dan terutama yang membuat ia gagah berwibawa adalah sikapnya ketika berdiri tegak memandangnya.

Sebatang pedang yang tergantung di belakang punggungnya menambah kegagahannya. Harus dia akui bahwa selama dia bertualang di antara para gadis cantik, belum pernah dia bergaul dengan gadis cantik yang begini gagah sehingga memiliki daya tarik yang lain daripada gadis lain yang pernah dikenalnya.

“Nona, siapakah dan ada keperluan apa mencariku?” tanya Bong Kin dengan senyum ramah dan sikapnya yang sopan. Dia memang pandai membawa diri, pandai pula bersikap untuk mendatangkan kesan baik dalam hati para wanita.

“Apakah engkau yang bernama Bong Kin, putera Bong Wan-gwe?” tanya gadis itu yang bukan lain adalah Hwe-thian Mo-li.

Pertanyaannya yang dijawab dengan pertanyaan pula itu tidak membuat Bong Kongcu menjadi marah. Dia tetap tersenyum. “Benar sekali, Nona. Aku bernama Bong Kin dan kalau Nona memiliki keperluan denganku, silakan masuk dan duduk di kamar tamu di mana kita dapat bicara dengan baik, tidak berdiri saja di sini. Silakan, Nona.”

Senang juga hati Siang Lan melihat sikap dan penyambutan yang ramah dan sopan ini. Ia mengangguk dan mengikuti pemuda itu memasuki sebuah ruangan tamu. Setelah duduk berhadapan terhalang meja besar Siang Lan berkata.

“Bong Kongcu, aku datang sebagai utusan Nona Kui Li Ai....” Siang Lan menghentikan ucapannya ketika melihat betapa wajah pemuda itu tampak berseri, sepasang matanya terbelalak dan dia tampak girang sekali.

“Aih, berita ini sungguh membahagiakan sekali, Nona! Tolong katakan di mana kini Nona Kui Li Ai dan berita apa yang engkau bawa darinya?”

Hati Siang Lan senang melihat sikap pemuda ini yang ternyata tampak girang sekali mendengar tentang Li Ai, menandakan bahwa dia memang mencinta puteri mendiang Panglima Kui itu.

“Nona Kui Li Ai sekarang tinggal bersamaku di Lembah Selaksa Bunga, Bong Kongcu, dalam keadaan sehat dan selamat.”

Dengan singkat Siang Lan lalu menceritakan tentang Li Ai yang meninggalkan rumah keluarga Kui karena tidak suka tinggal bersama ibu tirinya yang galak. Bagaimana Li Ai kini berada di Lembah Selaksa Bunga bersamanya.

Setelah menceritakan keadaan Li Ai, Siang Lan menatap tajam wajah pemuda yang tampan itu dan bertanya. “Kedatanganku ini untuk bertanya kepadamu, Bong Kongcu, apakah benar seperti yang kudengar dari Adik Kui Li Ai bahwa engkau cinta padanya?”

Wajah Bong Kin berubah kemerahan, akan tetapi dengan sungguh-sungguh dia berkata, “Sesungguhnya, Nona. Aku amat mencinta Nona Kui Li Ai dan aku merasa sedih sekali akan kematian Ayahnya dan semakin sedih ketika mendengar ia pergi meninggalkan rumahnya. Aku telah bersusah payah berusaha untuk mencarinya selama ini, namun tidak berhasil. Maka, sungguh girang sekali hatiku mendengar bahwa ia berada di tempat tinggalmu dalam keadaan sehat dan selamat.”

“Kedatanganku ini hendak menegaskan, apakah sampai sekarang engkau masih tetap mencintanya, Kongcu?”

“Tentu saja, bahkan semakin mencintanya karena aku merasa iba kepadanya.”

“Dan engkau menginginkan agar ia menjadi isterimu, Kongcu?”

“Benar, Nona.”

“Kalau begitu, sekarang engkau boleh meminangnya, Kongcu, karena Adik Li Ai yang merasa hidup sebatang kara telah menyatakan kepadaku bahwa kalau engkau meminangnya, ia akan menerimanya dan kini siap untuk menjadi isterimu.”

Pemuda itu tampak semakin girang. “Aih, kedatanganmu membawa berkat bagiku, Nona! Kalau boleh aku mengetahui, siapakah engkau, Nona? Aku pernah mendengar bahwa Adik Kui Li Ai pergi bersama seorang pendekar berjuluk Hwe-thian Mo-li. Apakah... apakah engkau pendekar itu, Nona?”

“Tidak salah, Kongcu. Akulah Hwe-thian Mo-li yang melindungi Nona Kui Li Ai dan ia sekarang tinggal bersamaku di Lembah Selaksa Bunga. Setelah berunding dengannya, maka hari ini aku datang untuk minta ketegasan darimu. Setelah kini engkau menyatakan masih mencintanya dan ingin meminangnya, maka kuharap engkau suka berkunjung ke tempat kami agar dapat bertemu dan bicara sendiri dengannya.”

“Wah, aku senang sekali, Li-hiap (Pendekar Wanita)! Aku akan segera mengunjunginya di Lembah Selaksa Bunga. Di manakah lembah itu?”

Siang Lan menerangkan di bukit mana lembah itu terletak. Kemudian ia berpamit. “Nah, tugasku telah selesai, aku hendak kembali ke Lembah Selaksa Bunga, menceritakan hal ini kepada adik Kui Li Ai. Kami akan siap menyambut kunjunganmu, Bong Kongcu.”

Bong Kin mengucapkan terima kasih dan mengantar kepergian Siang Lan sampai ke depan gedungnya. Setelah gadis itu pergi, dengan girang dia mengabarkan hal itu kepada ayah ibunya. Bong Wan-gwe, seorang laki-laki setengah tua berusia sekitar limapuluh tahun yang bertubuh gendut berwajah ramah.

Mendengar pemberitahuan puteranya dan dia mengerutkan alisnya. Dulu, hartawan ini tentu saja merasa senang dan bangga ketika puteranya menyatakan bahwa puteranya jatuh cinta dan memilih Kui Li Ai untuk menjadi calon isterinya. Pada waktu itu, Bong Wan-gwe merasa bangga kalau memiliki mantu puteri Panglima Kui itu. Akan tetapi sekarang keadaannya sudah lain.

Panglima Kui telah tiada, bahkan dia mati dalam keadaan cemar, yaitu dikabarkan bunuh diri setelah mengkhianati negara dengan membebaskan tiga orang tawanan pemberontak Pek-lian-kauw! Tidak ada lagi yang patut dibanggakan kalau dia mempunyai mantu gadis she Kui itu, bahkan akan menurunkan dan merendahkan derajat dan martabatnya!

“Bong Kin, apakah sudah engkau pikir masak-masak sebelum engkau meminang Kui Li Ai? Ingat, keadaan gadis itu tidak seperti dulu lagi. Ayahnya sudah mati dan Panglima Kui yang sudah almarhum itu bukan seorang panglima terhormat lagi, bahkan dianggap pengkhianat. Masih banyak gadis yang ayahnya memiliki kedudukan tinggi dan lebih terhormat untuk menjadi isterimu. Aku sanggup melamarkan!”

“Tidak, Ayah! Hatiku sudah bulat mengambil keputusan untuk menikah dengan Kui Li Ai. Aku amat mencintanya, Ayah. Ia gadis yang paling cantik di dunia ini!”

Hartawan Bong menghela napas panjang. “Jadi sekarang kita akan mengajukan pinangan? Akan tetapi kepada siapa? Siapa yang menjadi pengganti orang tuanya? Siapa yang menjadi walinya?”

“Aku akan pergi dulu mengunjungi di Lembah Selaksa Bunga untuk merundingkan hal ini dengannya, Ayah. Setelah itu baru kita mengajukan pinangan.”

“Kin-ji (Anak Kin), engkau hati-hatilah kalau pergi ke sana!” kata Nyonya Bong khawatir.

“Ibumu benar, Bong Kin!” kata Bong Wan-gwe. “Tempat itu asing bagimu dan aku mendengar bahwa pendekar wanita yang melindungi Nona Kui itu liar dan ganas. Melihat julukannya Si Iblis Betina Terbang, mungkin saja ia itu memiliki watak jahat. Maka engkau harus membawa rombongan pengawal untuk melindungimu.”

Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dengan menunggang kuda, Bong Kin dikawal selosin orang laki-laki yang biasa mengawal kiriman barang-barang berangkat meninggalkan kota raja menuju ke bukit yang telah ditunjukkan Siang Lan. Dua belas orang pengawal itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat dan memang pekerjaan mereka menggunakan kekuatan dan ilmu silat untuk mengawal dan melindungi barang atau orang dalam perjalanan.

Pada tengah hari mereka tiba di kaki bukit yang dimaksudkan dan berhenti. Pimpinan rombongan pengawal, seorang laki-laki tinggi besar bermuka berewok yang usianya sekitar empatpuluh tahun bernama Gu Sam, berkata kepada Bong Kin.

“Bong Kongcu, di bukit yang disebut Ban-hwa-san (Bukit Selaksa Bunga) dulu terdapat sebuah perkumpulan bernama Ban-hwa-pang yang sering melakukan perampasan barang yang dibawa lewat di daerah ini. Akan tetapi sudah beberapa bulan ini tidak ada lagi orang Ban-hwa-san melakukan perampasan dan kabarnya, Ban-hwa-pang telah dibasmi seorang pendekar wanita.”

“Hemm, bukankah yang membasmi itu pendekar wanita berjuluk Hwe-thian Mo-li?” tanya Bong Kin.

Gu Sam tampak terkejut. “Benar sekali, Kongcu! Bagaimana Kongcu dapat mengetahuinya?”

Bong Kin tersenyum bangga. “Hwe-thian Mo-li itu sahabatku! Kemarin ia datang berkunjung ke rumahku.” Dia tidak bicara lebih lanjut, membiarkan Gu Sam dan orang-orangnya terheran-heran.

Dengan kagum Bong Kin dan para pengawalnya kini mendaki bukit dan tiba di Lembah Selaksa Bunga. Daerah perkampungan Ban-hwa-pang yang baru, termasuk lembah yang indah itu kini dikelilingi pagar bambu runcing yang diatur rapi dan dicat warna-warni sehingga tampak nyeni dan indah.

Di pintu gerbang, yang berada di bawah lereng, sudah berjaga belasan orang anggauta Ban-hwa-pang yang semua terdiri dari wanita. Mereka berpakaian gagah dan terdiri dari tiga regu. Regu pertama memegang tombak, regu kedua memegang golok dan regu ketiga memegang pedang, masing-masing terdiri dari lima orang. Sikap mereka gagah dan wajah mereka rata-rata manis.

Melihat sikap para wanita ini, Bong Kin memerintahkan para pengawal untuk turun dari atas kuda masing-masing. Kemudian Gu Sam melangkah maju memberi hormat kepada seorang wanita berpedang yang agaknya memimpin tiga regu itu karena ia berdiri paling depan dan sikapnya berwibawa.

“Nona, Kongcu kami Bong Kin datang memenuhi undangan Hwe-thian Mo-li,” katanya menirukan perintah majikannya tadi.

“Ban-hwa-pang kami pantang menerima tamu laki-laki. Akan tetapi karena Pang-cu kami sudah memesan dan kini menunggu Bong Kongcu datang menghadap, kami persilakan Bong Kongcu masuk. Yang lain tidak boleh masuk!”

“Akan tetapi....!” Gu Sam hendak membantah.

“Tidak ada tapi! Kaum lelaki, tanpa ijin Pang-cu, dilarang masuk perkampungan Ban-hwa-pang!” bentak wanita itu dan limabelas orang rekannya siap meraba gagang senjata mereka.

Bong Kongcu memberi isyarat kepada para pengawalnya untuk menunggu di luar dan dia lalu memasuki pintu gapura yang segera tertutup kembali oleh para penjaga wanita.

“Sialan...!” para pengawal itu mengomel.

“Entah apa yang terjadi dengan Ban-hwa-pang,” kata pula Gu Sam dan dia mengajak para rekannya untuk menunggu dan mengaso di bawah pohon-pohon tidak jauh dari gapura perkampungan Ban-hwa-pang itu.

Sementara itu, Bong Kin diantar dua orang pengawal wanita memasuki ruangan tamu di mana Hwe-thian Mo-li dan Kui Li Ai sudah duduk menanti. Hwe-thian Mo-li berwajah cerah gembira, akan tetapi Li Ai nampak menundukkan mukanya karena jantungnya berdebar penuh ketegangan dan juga merasa rikuh dan tidak enak hati. Ia harus mengakui dalam hatinya bahwa ia memang mengharapkan untuk dapat menjadi isteri pemuda yang biasanya bersikap lembut dan sopan itu.

Begitu Bong Kin memasuki ruangan dan melihat Li Ai sudah duduk di situ, dia segera berseru gembira. “Nona Kui...! Ah, betapa girang hatiku dapat bertemu denganmu di sini...!”

Hwe-thian Mo-li dan Li Ai bangkit berdiri dan membalas penghormatan Bong Kin yang sudah menjura sambil merangkap kedua tangan depan dada. “Bong Kongcu, silakan duduk,” kata Hwe-thian Mo-li.

Pemuda itu mengucapkan terima kasih dan mengambil tempat duduk berhadapan dengan dua orang gadis itu, dengan jarak cukup jauh dan sopan.

“Aku merasa senang bahwa Bong Kongcu benar-benar datang berkunjung, hal ini bagiku merupakan bukti akan kesungguhan hati Kongcu. Sekarang, aku memberi kesempatan kepada Adik Kui Li Ai dan Bong Kongcu untuk membicarakan urusan kalian berdua.” Setelah berkata demikian, Hwe-thian Mo-li bangkit berdiri dan hendak meninggalkan ruangan tamu itu menuju ke dalam.

“Enci....!” Li Ai berseru menahan karena gadis ini merasa malu dan juga takut untuk menceritakan apa yang telah menimpa dirinya seperti yang telah ia sepakati dengan Hwe-thian Mo-li bahwa ia akan berterus terang kepada pemuda itu untuk menguji ketulusan cintanya.

“Li Ai, inilah kesempatan baik bagimu. Jangan sungkan dan malu, di tanganmu sendirilah terletak nasibmu di kemudian hari.” Setelah berkata demikian dengan cepat Hwe-thian Mo-li meninggalkan ruangan itu, menuju ke ruangan dalam di mana ia termenung dan duduk seorang diri.

Gambaran topeng kayu yang menyeramkan itu selalu terbayang di depan matanya dan terkadang tampak bayangan wajah laki-laki setengah tua sederhana dan gagah yang juga penuh rahasia itu, yang telah menolongnya dan yang ingin dia temukan kembali karena ia mempunyai keinginan untuk berguru kepada penolong yang amat lihai itu.

Setelah Hwe-thian Mo-li meninggalkan ruangan tamu, suasana di situ menjadi hening sekali. Li Ai masih menundukkan mukanya, tidak berani ia bertemu pandang dengan pemuda yang duduk di depannya, padahal pemuda ini dulu pernah menjadi kenalan baiknya dan mereka sudah sering beramah tamah dan bercakap-cakap.

Bong Kongcu yang tidak dapat menahan hatinya lagi untuk berdiam diri. “Kui Siocia (Nona Kui), benarkah apa yang kudengar dari Hwe-thian Mo-li?”

Terpaksa Li Ai mengangkat mukanya dan baru pertama kali ini sejak pemuda itu datang ia bertemu pandang yang membuat kedua pipinya berubah merah. Ia melihat betapa sinar mata pemuda itu masih seperti dulu, masih jelas membayangkan rasa kagum dan cinta kepadanya! Hanya sebentar saja sinar mata gadis itu bertemu pandang. Ia segera menundukkan pandang matanya dan bertanya lirih.

“Mendengar apakah Bong Kongcu maksudkan?”

Tentu saja ia sudah mendengar dari Siang Lan tentang pertemuan Hwe-thian Mo-li dengan pemuda itu. Akan tetapi ia tidak ingin mendahului percakapan tentang urusan perjodohan itu.

“Siocia, aku mendengar keterangan dari Hwe-thian Mo-li bahwa engkau sekarang berada di sini, tinggal bersamanya. Aku merasa amat terharu dan iba melihat nasibmu kehilangan Ayahmu dan aku mendengar dari Hwe-thian Mo-li bahwa... bahwa sekarang engkau... bersedia menerima.... cintaku, dan engkau akan setuju kalau aku meminangmu untuk menjadi isteriku. Bagaimana, Kui Siocia benarkah apa yang kudengar dari Hwe-thian Mo-li itu?”

Setelah mendengar ucapan Bong kongcu itu, rasa sungkan dan malu mulai meninggalkan perasaan Li Ai dan kini ia mengangkat mukanya, memandang wajah pemuda itu penuh selidik karena ia ingin sekali mendapat kepastian apakah benar-benar pemuda hartawan ini mencintanya.

12. Penghinaan Terhadap Gadis Muda

“Kongcu, apakah benar dan dapat kupercaya ucapanmu bahwa engkau mencintaku?”

“Aih, Siocia... perlukah engkau tanya lagi hal ini? Sejak dulu aku mencintamu, sudah kunyatakan berulang kali. Sampai saat ini aku tetap mencintamu, dinda Li Ai... aku berani bersumpah bahwa hanya engkau yang kuinginkan menjadi isteriku. Dinda Li Ai, engkau sih belum menjawab. Benarkah keterangan Hwe-thian Mo-li bahwa engkau bersedia menerima cintaku dan akan menyetujui kalau keluargaku datang meminangmu untuk menjadi isteriku?”

Li Ai mengangguk. “Benar, akan tetapi sebelum engkau mengambil keputusan, lebih dulu aku ingin melihat apakah cintamu itu murni, Bong Kongcu.”

“Eh? Apa maksudmu?”

Kini dengan sinar mata tajam penuh selidik Li Ai menatap wajah pemuda dan tanpa dihantui rasa malu dan khawatir lagi ia lalu berkata, “Ketahuilah, Bong Kongcu, bahwa ketika aku diculik oleh orang-orang Pek-lian-kauw, aku telah dinodai oleh dua orang pendeta Pek-lian-kauw.”

Sepasang mata pemuda itu terbelalak, seolah tidak percaya atau tidak mengerti apa yang dimaksudkan Li Ai. “Kau... di... dinodai....?” tanyanya gagap.

“Benar, Kongcu. Dua orang tosu Pek-lian-kauw telah memperkosa aku....”

“Keparat jahanam...!” Wajah pemuda itu menjadi pucat sekali lalu berubah merah dan dia bangkit berdiri sambil mengepal tinju dengan marah sekali.

“Tenanglah, Kongcu. Dua orang keparat jahanam itu telah dibunuh oleh Enci... Hwe-thian Mo-li.”

“Tenang....? Bagaimana aku bisa tenang? Keperawananmu direnggut orang-orang jahat, engkau diperkosa.... engkau bukan perawan lagi. Ahhh....!” Pemuda itu menjatuhkan diri di atas kursi dan tampak lemas, menundukkan muka dan menopang kepalanya dengan kedua tangan.

Li Ai hanya memandang dan keduanya berdiam diri, tenggelam ke dalam suasana yang amat tidak mengenakkan hati. Berulang-ulang pemuda itu menghela napas panjang dan dari kerongkonganya terdengar suara gerengan lirih seperti mengerang atau merintih.

Li Ai mulai tidak sabar melihat pemuda itu hanya berdiam diri saja sambil mengerang dengan wajah muram. Lenyaplah semua sinar kegembiraan yang tadi tampak pada sikap dan wajah Bong kongcu. Maka ia lalu bertanya. “Bagaimana sekarang, Bong Kongcu? Apakah engkau masih mencintaku dan ingin meminangku sebagai isterimu?”

Sampai beberapa saat lamanya Bong kongcu tidak dapat menjawab, hanya mengangkat muka menatap wajah Li Ai dengan muka pucat dan sinar mata muram. Akhirnya dia berkata. “Tentu, aku tetap mencintamu, Li Ai, marilah engkau ikut denganku ke kota raja dan menjadi selirku yang tersayang....”

“Apa...? Selir....?”

Bong Kongcu menghela napas panjang. “Benar, Li Ai, menjadi selirku. Aku tetap mencintamu, akan tetapi untuk meminangmu menjadi isteriku... bagaimana mungkin setelah... setelah engkau....”

“Tidak sudi!” Li Ai berseru lalu berlari keluar dari ruangan itu meninggalkan Bong Kongcu sambil menutupi muka dengan tangan dan menahan suara tangisnya.

Bong Kongcu bangkit mengejar, “Li Ai....!”

Akan tetapi tiba-tiba Hwe-thian Mo-li muncul di pintu sehingga pemuda itu mundur kembali. “Orang she Bong! Engkau telah menghina adikku Kui Li Ai! Engkau memandang rendah Adikku! Engkau bilang hendak datang meminang ia sebagai isterimu, ternyata engkau menghinanya dengan mengatakan hendak mengambilnya menjadi selirmu! Engkau pemuda berengsek, sombong dan cintamu palsu! Engkau bilang mencinta akan tetapi merendahkan dan menghinanya!”

“Nona, aku tidak berbohong, aku memang mencintanya. Akan tetapi bagaimana mungkin ia menjadi isteriku? Ia sudah bukan perawan lagi, hal ini tentu akan mencemarkan nama dan kehormatanku!”

“Omong kosong! Engkau tidak mencinta Li Ai, tidak mencinta orangnya! Yang kaucinta hanya keperawanannya! Engkau munafik, berlagak terhormat akan tetapi sebetulnya engkau rendah dan hina. Engkau kotor berlagak bersih! Engkau menganggap Li Ai yang kehilangan keperawanannya karena dipaksa dan diperkosa orang sebagai hal yang kotor! Dan engkau sendiri bagaimana? Apakah engkau berani mengatakan bahwa engkau tidak kehilangan keperjakaanmu? Engkau menggauli wanita-wanita dengan sadar dan kau sengaja, dan engkau masih menganggap dirimu bersih dan terhormat! Munafik berengsek!”

“Nona, engkau sungguh tidak adil! Aku sama sekali tidak menyalahkan Li Ai karena ia diperkosa dan tidak berdaya. Akan tetapi jelas aku tidak mungkin mengambilnya sebagai isteriku. Ah, kalau saja ia tidak menceritakan tentang perkosaan itu kepadaku, tentu ia akan kupinang sebagai isteriku....”

“Bohong! Aku mengenal laki-laki macam kamu ini! Kalau ia tidak menceritakan dan kemudian engkau mengetahui hal itu, pasti engkau akan menceraikannya karena ia tidak berterus terang, engkau tentu akan mengatakan ia berbohong dan menipumu. Engkau akan makin menghinanya! Jahanam busuk macam engkau ini patut dihajar!”

“Hwe-thian Mo-li, engkau sungguh keterlaluan!” teriak Bong Kongcu dengan marah.

“Keterlaluan? Huh, kau manusia kotor bersembunyi di balik hartamu. Kau kira harta dan keadaanmu yang terhormat itu dapat menutupi kekotoranmu? Harta, kedudukan, kepandaian, hanya pakaian saja. Kalau dikenakan orang yang memang kotor, tetap saja tampak kekotorannya yang menjijikkan! Pergi kau, sebelum aku kehilangan kesabaran dan kuajar engkau!”

“Hwe-thian Mo-li, aku akan mengerahkan orang-orangku untuk menghukummu karena engkau berani menghinaku!” teriak Bong Kongcu.

“Wuut.... plak-plak....!”

“Aduhh....!! Bong Kin terhuyung kebelakang. Ke dua tangannya menutupi ke dua pipinya yang bengkak-bengkak dan darah mengalir dari ke dua ujung bibirnya yang pecah-pecah. Dia lalu berlari keluar, diikuti Hwe-thian Mo-li yang marah-marah.

“Pergi, kau anjing Bong!” bentaknya sambil mendorong-dorong punggung Bong Kin sehingga terhuyung-huyung menuju ke pintu gerbang perkampungan Ban-hwa-pang.

Setelah keluar dari pintu gerbang, duabelas orang pengawal segera menyambut dan mereka merasa kaget dan heran melihat Bong Kongcu keluar terhuyung-huyung, mukanya bengkak-bengkak dan kedua ujung mulutnya berlepotan darah. Mereka juga melihat betapa seorang gadis cantik dengan mata mencorong muncul dan memaki Bong Kongcu, mengusirnya.

“Pergi kamu, jahanam busuk!”

Melihat selosin orang pengawalnya, bangkit semangat Bong Kongcu. Dia bukan seorang pemuda hartawan yang biasa bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi baru saja dia dihina dan ditampar Hwe-thian Mo-li padahal dia tidak merasa bersalah. Maka tentu saja hatinya menjadi panas dan sakit. Kini dia berkata kepada para pengawalnya.

“Perempuan itu telah menghina dan memukulku. Kalian balaskan sakit hatiku ini!”

Mendengar perintah Bong Kongcu, selosin orang pengawal tukang pukul itu serentak maju mengepung Siang Lan. Mereka tadi memang sudah mendongkol karena tidak diperbolehkan memasuki perkampungan itu. Kini melihat majikan mereka disakiti dan mereka menerima perintah untuk membalaskan, kemarahan mereka ditumpahkan kepada gadis yang memaki dan mengusir Bong Kongcu.

Akan tetapi karena yang mereka hadapi itu seorang gadis cantik, mereka kini berlumba untuk meringkusnya agar dapat mereka serahkan kepada Bong Kongcu, biar majikan mereka itu sendiri yang menghukumnya.

Melihat betapa selosin orang itu mengepungnya lalu menjulurkan tangan seolah hendak berlumba menangkapnya, Siang Lan menjadi marah sekali. Tubuhnya berkelebat, kedua tangannya menampar-nampar dan kedua kakinya menendang-nendang. Akibatnya, selosin orang itu mengaduh dan tubuh mereka berpelantingan disambar tamparan atau tendangan.

Dua belas orang tukang pukul itu terkejut bukan main, akan tetapi juga marah dan penasaran sekali. Sambil meringis kesakitan mereka bangkit dan mencabut senjata golok mereka. Pada saat itu, belasan orang wanita anggauta Ban-hwa-pang keluar dari pintu gerbang dengan senjata di tangan. Mereka adalah tiga regu yang bersenjata tombak, golok, dan pedang masing-masing lima orang.

Agaknya mereka hendak maju menghadapi selosin tukang pukul yang sudah mencabut golok mereka itu. Akan tetapi Siang Lan yang tahu benar bahwa para anggautanya belum pandai dan kuat benar, tidak ingin melihat mereka terluka. Maka ia dengan nyaring berseru. “Kalian diam dan... lihat saja betapa aku menghajar anjing-anjing jantan ini!”

Mendengar seruan ini, tentu saja limabelas orang anggauta Ban-hwa-pang itu tidak berani membantah dan mereka lalu berdiri di luar pintu gerbang dengan tertib.

Siang Lan yang sudah menjadi marah sekali mengingat akan nasib Li Ai yang ditolak dan dipermalukan Bong Kin, melihat betapa duabelas orang anak buah pemuda hartawan itu mengepungnya dengan golok di tangan, ia cepat mencabut Lui-kong-kiam yang mengeluarkan sinar kilat mengerikan.

Akan tetapi sebelum ia bergerak, pada saat itu ia mendengar suara berbisik. “Hwe-thian Mo-li, tidak baik membunuhi mereka yang hanya melakukan perintah majikan mereka!”

Siang Lan terkejut. Suara itu berbisik dekat sekali dengan telinga kirinya. Ia cepat menengok ke kiri namun tidak tampak ada orang yang berbisik itu!

Melihat gadis yang sudah mgncabut pedang itu kini tampak seperti bimbang atau bingung, duabelas orang tukang pukul mengira bahwa ia merasa jerih menghadapi mereka. Hal ini membesarkan hati mereka dan sambil berteriak-teriak mereka pun langsung menyerang dari sekeliling Siang Lan.

Belasan golok itu menyambar-nyambar ke arah seluruh tubuh Siang Lan sehingga limabelas orang anak buah Ban-hwa-pang yang menonton merasa ngeri karena bagaimana mungkin ketua mereka dapat lobos dari serangan duabelas batang golok itu?

Akan tetapi, tentu saja bagi Siang Lan, serangan selosin batang golok itu bukan merupakan bahaya karena ia melihat betapa golok-golok itu digerakkan oleh tenaga kasar yang hanya mengandalkan otot. Ia segera memutar pedangnya dengan putaran yang luar biasa cepatnya sehingga yang tampak hanya sinar kilat bergulung-gulung menyelimuti tubuh Siang Lan.

Segera terdengar bunyi berdencingan ketika golok-golok yang menyerang itu, bertemu dengan sinar kilat, disusul teriakan mereka yang tiba-tiba kehilangan golok mereka yang patah-patah dan terpental lepas dari tangan mereka. Hwe-thian Mo-li sudah menggerakkan pedang dan kalau saja pada saat itu tidak terdengar lagi bisikan.

“Jangan bunuh!?' tentu pedangnya sudah membuat buntung leher selosin orang pengeroyok itu.

Entah mengapa, suara bisikan itu amat berwibawa baginya dan Siang Lan menahan serangan pedangnya, kemudian hanya menggerakkan tangan kiri dan kaki berulang-ulang. Untuk kedua kalinya, kini lebih kuat lagi, mereka terpelanting roboh disambar tamparan atau tendangan!

Duabelas orang itu kini kehilangan nyali mereka. Selain tamparan atau tendangan yang mereka terima untuk kedua kalinya ini membuat mereka patah tulang atau bengkak-bengkak, juga mereka kini baru menyadari benar bahwa mereka berhadapan dengan seorang wanita yang amat lihai. Mereka lalu teringat akan kabar bahwa Ban-hwa-pang telah terbasmi dan dikuasai oleh seorang wanita lihai yang berjuluk Hwe-thian Mo-li. Tentu inilah orangnya!

Kini Siang Lan dengan pedang di tangan menghampiri Bong Kongcu yang berdiri dengan wajah pucat. Pemuda ini maklum bahwa nyawanya terancam maut, akan tetapi dia tidak takut.

“Hwe-thian Mo-li, engkau mengandalkan kepandaian silatmu untuk menghina kami yang datang sebagai tamu!”

“Jahanam Bong! Engkau masih berani mengeluarkan ucapan menyalahkan aku? Engkau yang telah menghina Li Ai dan engkau yang harus minta ampun, atau aku akan memenggal batang lehermu!”

“Aku tidak bersalah apa-apa!”

“Tidak mengaku salah? Engkau telah menghina Li Ai!”

“Siapa menghina? Aku tetap mencintanya dan mau membawanya ke rumahku sebagai selir tersayang. Aku tidak dapat memperisterinya karena keadaannya. Aku tidak menghinanya, akan tetapi engkau yang telah menghinaku, memukul aku dan orang-orangku. Engkau sewenang-wenang hwe-thian Mo-li!”

“Jahanam busuk!” Siang Lan marah sekali dan ia mengangkat pedangnya untuk membacokkan ke leher pemuda hartawan itu.

Akan tetapi tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang laki-laki telah berdiri di dekat Siang Lan dan dia menahan lengan Siang Lan yang memegang pedang sehingga gadis itu tidak dapat membacokkan pedangnya ke arah leher Bong Kongcu.

Siang Lan terkejut sekali dan diam-diam ada perasaan girang dan juga penasaran ketika mengenal bahwa laki-laki itu adalah orang yang telah menolong ia dan Li Ai ketika dikeroyok orang-orang Pek-lian-kauw!

Ia merasa girang karena memang ia ingin berguru kepada orang ini, dan ia merasa penasaran karena orang itu kini menahan lengannya yang hendak membunuh Bong Kongcu. Ia mengerahkan tenaga saktinya dan menggerakkan lagi lengan kanannya, akan tetapi tetap saja ia tidak mampu membacokkan pedangnya karena tangan kiri orang yang menahan lengannya itu kuat bukan main!

Siang Lan adalah seorang gadis yang tidak pernah takut menghadapi siapapun juga. Kini ia merasa amat penasaran dan marah. Tangan kirinya lalu bergerak mendorong ke arah dada laki-laki yang menghalangi niatnya membunuh Bong Kin.

“Wuut.... plakk!”

Telapak tangannya bertemu dada orang itu dan menempel, akan tetapi yang didorongnya itu sama sekali tidak terdorong dan ia bahkan merasakan betapa telapak tangan kirinya menjadi panas seperti dibakar!

“Tidak perlu membunuh, dia tidak cukup pantas untuk dibunuh!” kata laki-laki itu dan kini dia melepaskan tangannya dari lengan Siang Lan, lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Bong Kin.

“Engkau pemuda yang tidak menghargai wanita, memandang rendah wanita yang tidak berdaya. Pergilah dan bawa semua anak buahmu dari sini!”

Orang itu mendorong dari jarak jauh dan tubuh Bong Kin melayang bagaikan sehelai daun kering tertiup angin, lalu terbanting jatuh terguling-guling. Beberapa orang anak buahnya yang tidak begitu parah segera menolong dan memapahnya, lalu mereka semua meninggalkan tempat itu dengan terpincang-pincang dan saling menolong untuk naik menunggangi kuda mereka.

Kini Siang Lan berhadapan dengan laki-laki itu yang bukan lain adalah Sie Bun Liong. Semenjak terjadi peristiwa di Ban-hwa-pang, yaitu setelah di luar kesadarannya dia memperkosa Hwe-thian Mo-li, Sie Bun Liong yang merasa berdosa dan amat menyesal itu tidak pernah meninggalkan Hwe-thian Mo-li.

Mula-mula dia menggunakan topeng, mengaku bernama Thian-te Mo-ong, memberi semangat hidup kepada gadis itu agar tetap hidup dan memperdalam ilmunya sehingga kelak dapat membalas dendam dan membunuh Thian-te Mo-ong yang mengaku sebagai pelaku pemerkosaan itu.

Kemudian, Sie Bun Liong tidak pernah meninggalkan Hwe-thian Mo-li, selalu membayanginya dan dia selalu menolong kalau gadis itu terancam bahaya. Sekarang pun dia muncul, bukan untuk melindunginya, melainkan untuk mencegah gadis itu melakukan pembunuhan dengan kejam.

“Kenapa engkau dulu menolong aku dari pengeroyokan orang-orang Pek-lian-kauw? Bukankah engkau pula yang dulu mengobatiku ketika aku pingsan?”

Sie Bun Liong menjawab tenang. “Sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk menolong sesamanya yang terancam bahaya dan menderita kesusahan.”

“Akan tetapi mengapa engkau sekarang menentangku dan menghalangi aku membunuh pemuda Bong yang berengsek bersama anak buahnya itu?”

“Yang kutentang adalah kekejamanmu akan membunuh orang-orang yang sudah tidak berdaya, dan sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk mengingatkan sesamanya yang tersesat.”

Siang Lan merasa heran terhadap dirinya sendiri mengapa ia tidak menjadi marah dan tidak merasa benci terhadap orang yang telah menghalangi niatnya membunuh Bong Kongcu dan anak buahnya tadi. Mungkin karena aku mengharapkan dia akan membantunya memperdalam ilmu silatku, pikirnya menghibur diri sendiri.

“Aku telah berhutang budi kepadamu, Paman. Bolehkah aku mengetahui namamu?” tanya Siang Lan.

Sie Bun Liong tersenyum mendengar gadis itu menyebutnya paman. Memang sudah sepatutnya kalau dia menjadi paman gadis itu. Usianya sudah empatpuluh dua tahun sedangkan Hwee-thian Mo-li yang liar dan ganas itu paling banyak berusia duapuluh dua atau duapuluh satu tahun!

“Tentu saja boleh, Nona. Namaku sendiri aku sudah lupa karena tidak kupergunakan lagi. Maka engkau boleh mengenalku sebagai Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama).”

“Paman Bu-beng-cu, aku adalah Hwe-thian Mo-li, ketua dari Ban-hwa-pang. Karena Paman sudah berkali-kali menolongku, maka kupersilakan Paman memasuki perkampungan kami karena aku ingin membicarakan sesuatu denganmu. Silakan, Paman.”

Bu-beng-cu menggelengkan kepalanya. “Tidak, Nona. Ban-hwa-pang kini merupakan perkumpulan wanita, bagaimana aku boleh memasukinya? Kalau engkau mempunyai kepentingan untuk dibicarakan denganku, kita dapat bicara di sini saja.”

Siang Lan menoleh kepada belasan orang anak buah Ban-hwa-pang yang masih berdiri di depan pintu gerbang dan memberi isyarat kepada mereka agar masuk kembali ke dalam perkampungan Ban-hwa-pang. Setelah mereka semua masuk, ia menghadapi lagi Bu-beng-cu dan berkata sambil menatap wajah laki-laki itu.

“Begini, Paman Bu-beng-cu. Aku telah melihat ilmu kepandaian silat Paman yang amat tinggi. Karena itu, sejak Paman membantuku, telah timbul niat dalam hatiku untuk dapat belajar ilmu silat darimu. Demikianlah, Paman, aku ingin berguru padamu jika Paman tidak berkeberatan.”

Bu-beng-cu mengangguk-angguk. “Hwe-thian Mo-li, engkau adalah seorang wanita yang telah memiliki ilmu kepandaian silat yang amat tinggi dan kukira jarang ada musuh yang dapat mengalahkanmu. Kenapa engkau masih hendak belajar silat lagi?”

“Paman Bu-beng-cu, aku harus memperdalam ilmu silatku karena aku mempunyai seorang musuh besar yang tinggi sekali ilmu silatnya. Tanpa memperdalam ilmuku, tak mungkin aku dapat membalas dendam terhadap musuh besarku itu. Karena itu, Paman, janganlah kepalang menolongku. Terimalah aku sebagai muridmu dan aku selamanya akan merasa berterima kasih sekali kepadamu!”

“Hemm, Hwe-thian Mo-li, melihat kesungguhan hatimu, aku tidak keberatan untuk mengajarkan ilmu silat untuk memperdalam ilmumu. Akan tetapi aku baru mau mengajarmu kalau engkau dapat memenuhi syarat-syaratnya.”

“Aku akan melakukan apa pun yang menjadi syaratnya, Paman Bu-beng-cu!” kata Hwe-thian Mo-li dengan sungguh-sungguh karena baginya, tujuan utama sisa hidupnya hanya untuk membalas dendam dan membunuh Thian-te Mo-ong!

“Syarat pertama adalah bahwa aku tidak mau kau sebut guru karena aku sejak dulu tidak berkeinginan mengambil murid. Sebut saja aku Bu-beng-cu, tanpa embel-embel Suhu, dan engkau tidak boleh memberitahukan siapa pun bahwa engkau muridku....”

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.