Lembah Selaksa Bunga Jilid 05

Cerita Silat Mandarin Serial Iblis dan Bidadari seri kedua, Lembah Selaksa Bunga Jilid 05 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

13. Persyaratan Belajar Ilmu Silat

“AKAN kulaksanakan syarat itu, Paman, sungguhpun syaratmu ini aneh. Baik, aku akan selalu menyebutmu Paman Bu-beng-cu.”

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S.P

“Syarat kedua, aku tidak mau tinggal di dalam perkampungan Ban-hwa-pang karena sebagai seorang laki-laki, tidak pantas tinggal di perkampungan wanita. Aku tinggal di dalam guha di lereng sebelah utara sana. Kalau engkau belajar ilmu, engkaulah yang harus datang ke sana setiap hari di waktu matahari mulai bersinar. Engkau akan kuberi pelajaran dan latihan sampai siang hari.”

“Baik, Paman. Syarat kedua ini pun akan kutaati dan kulaksanakan dengan baik.”

“Sekarang syarat ketiga dan terakhir, namun aku merasa sangsi apakah engkau akan dapat memenuhi syarat ini ataukah tidak.”

“Apakah syarat itu, Paman. Kedua syarat pertama amat mudah kulaksanakan dan betapa pun berat syarat yang terakhir, pasti akan kutaati dan kulaksankan!” kata Siang Lan penuh semangat karena hatinya merasa girang sekali bahwa laki-laki yang amat lihai ini sudah mau mengajarinya ilmu silat tinggi.

“Syarat terakhir ini harus kau janjikan dengan sumpah.”

“Baik, Paman! Aku akan bersumpah. Katakan apa syarat itu!”

“Syaratnya adalah, setelah engkau mempelajari ilmu-ilmu dariku, engkau harus bersumpah kelak tidak akan melakukan pembunuhan lagi. Selama hidupmu engkau tidak boleh lagi bersikap ganas dan kejam, mudah membunuh orang!”

Wajah Siang Lan berubah agak pucat alisnya berkerut dan mukanya muram. Ia segera teringat kepada Thian-te Mo-ong. Justeru ia ingin memperdalam ilmu silatnya agar kelak dapat membunuh musuh besar yang telah merusak kebahagiaan hidupnya! Biarlah ia selamanya tidak boleh membunuh orang, asalkan ia mencapatkan ilmu-ilmu untuk membunuh Thian-te Mo-ong!

“Paman, bagaimana kalau aku diserang orang dan terancam bahaya maut di tangan musuh itu?”

“Kalau terpaksa sekali untuk membela diri, tentu saja itu bukan merupakan kekejaman membunuh. Maksudku kalau masih ada jalan lain engkau sama sekali tidak boleh membunuh orang. Cukup dengan mengalahkan, merobohkan dan melukai ringan saja. Bagaimana, apakah engkau sanggup? Kalau sanggup, bersumpahlah sekarang juga!”

Karena merasa tersudut, Siang Lan lalu nekat. Ia berlutut dan mengucapkan sumpahnya. “Aku bersumpah untuk tidak membunuh orang lagi kecuali membela diri karena terancam bahaya. Sumpah ini berlaku untuk semua orang di dunia, kecuali satu orang, yaitu Thian-te Mo-ong. Aku bersumpah untuk membunuhnya karena membalas sakit hati dan membunuhnya merupakan satu-satunya keinginanku dalam hidup ini!”

Mendengar sumpah itu, Bu-beng-cu memandang dengan wajah pucat, alisnya berkerut, matanya tampak gelisah dan dia menghela napas panjang. “Hwe-thian Mo-li, agaknya engkau tidak dapat mengampuni musuhmu yang satu itu....”

“Mengampuninya? Hemm, mau rasanya aku membunuhnya sampai seribu kali untuk menebus dosanya terhadap diriku! Aku menggunakan sisa hidupku ini hanya untuk membalas dendam kepadanya, Paman. Apa pun akan kujalani untuk dapat berhasil membunuhnya!”

“Baiklah, Hwe-thian Mo-li. Harap engkau memegang sumpahmu, yaitu tidak akan membunuh siapa-siapa lagi kecuali musuh besarmu yang satu itu.” Dia menghela napas lagi.

Memang sejak terjadi peristiwa jahanam di malam itu, dia sudah mengambil keputusan. Untuk menebus dosanya, dia harus mati di tangan gadis ini. Akan tetapi sebagai seorang gagah, baik dia sendiri maupun Hwe-thian Mo-li, kematiannya harus terjadi sewajarnya, yaitu dalam perkelahian. Dan dia sendiri yang akan melatih gadis ini agar tingkat kepandaiannya cukup kuat untuk mengalahkan dan membunuhnya!

Dengan cara ini, bukan saja dia dapat menebus dosanya, juga dia dapat membuat Hwe-thian Mo-li tidak putus asa dan memiliki semangat untuk terus hidup dan berjuang. Selain itu, dia juga dapat mengubah sifat gadis yang tadinya liar dan ganas, mudah membunuh orang itu dengan ikatan sumpahnya.

Dengan mengorbankan dirinya kelak, dia dapat membuat banyak kebaikan, bagi dirinya sendiri, bagi Hwe-thian Mo-li, juga bagi rakyat karena mereka kini terbebas dari ancaman maut di tangan Si Iblis Betina Terbang ini.

“Sekarang aku hendak kembali ke guhaku. Mulai besok pagi, setelah matahari tampak bersinar, datanglah ke sana dan kita mulai latihan.”

Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Siang Lan, sekali berkelebat Bu-beng-cu telah lenyap dari situ. Melihat gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang demikian hebatnya, Siang Lan merasa kagum dan juga girang sekali. Ia tahu bahwa dalam hal gin-kang ia masih kalah jauh.

Siang Lan kembali ke dalam perkampungan, terus memasuki rumahnya dan ia mendapatkan Li Ai tengah menangis tanpa suara sambil membenamkan muka pada bantal. Melihat kedua pundaknya yang tergoyang-goyang itu Siang Lan tahu bahwa gadis itu sedang menangis. Ia duduk di tepi pembaringan dan menyentuh pundak Li Ai.

“Li Ai, hentikan tangismu. Tiada gunanya menangis. Engkau masih beruntung tidak jadi berjodoh dengan pemuda macam itu.”

Li Ai bangkit dan merangkul Siang Lan, kini tangisnya mengguguk. “Enci Lan... ahh, kenapa aku tidak mati saja......??” rintihnya memelas.

Siang Lan dapat merasakan kepedihan di hati Li Ai, maka teringat akan keadaan dirinya sendiri, tak terasa lagi ia pun balas merangkul dan sepasang matanya basah. “Tenang, dan sabarlah, Li Ai, jangan putus asa. Engkau tidak menderita seorang diri. Aku pun pernah ingin mati saja seperti engkau sekarang ini, aku pun pernah menjadi korban kebiadaban laki-laki.”

Li Ai tiba-tiba menghentikan tangisnya saking terkejut dan heran mendengar ucapan Siang Lan itu. “Kau...? Maksudmu... engkau juga pernah diperkosa orang, Enci?”

Siang Lan mengangguk dan menghela napas panjang. “Benar, Li Ai. Dalam keadaan tertotok dan tidak mampu bergerak, aku telah diperkosa seorang manusia iblis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.”

“Akan tetapi, engkau begini lihai, bagaimana sampai dapat terjadi hal itu?”

“Aku tertotok, dan orang itu memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi dariku. Tadinya aku pun sudah putus asa dan ingin bunuh diri saja. Akan tetapi aku teringat bahwa aku tidak boleh mati sebelum membalas dendam, sebelum membunuh musuh besarku itu! Bangkit kembali semangatku dan aku harus memperdalam ilmuku sehingga dapat mengalahkan musuh besarku.”

“Aih, Enci, sungguh tidak pernah kusangka bahwa engkau pun pernah mengalami malapetaka seperti aku. Siapakah musuh besarmu itu, Enci?”

“Dia seorang pengecut benar, tidak berani memperlihatkan wajahnya yang selalu mengenakan sebuah topeng kayu dan dia mengaku berjuluk Thian-te Mo-ong. Belum pernah aku mendengar nama julukan itu di dunia kang-ouw. Aku tidak dapat mencarinya karena dia tidak mau memberitahukan di mana tempat tinggalnya. Akan tetapi dia berjanji dengan penuh kesombongan bahwa setiap tahun dia akan datang mencariku untuk mengadu ilmu.

“Aku akan memperdalam ilmuku dan aku sudah menemukan seorang guru, Li Ai, yaitu laki-laki setengah tua yang dulu menolong kita melarikan diri ketika dikepung orang-orang Pek-lian-kauw. Dia itu lihai sekali dan kuharap setelah mendapat gemblengannya, aku akan berhasil membunuh si keparat jahanam pengecut Thian-te Mo-ong!” Siang Lan bicara penuh semangat sambil mengepal tinju.

Li Ai yang sudah menghentikan tangisnya karena tertarik oleh keterangan Siang Lan tadi, menghela napas panjang. “Enci, bagaimana pun engkau masih mempunyai semangat hidup karena masih memiliki tujuan, yaitu membalas sakit hatimu terhadap orang-orang yang telah memperkosamu. Akan tetapi aku, apa artinya hidup ini? Dua orang yang menghinaku itu telah kaubunuh, dan namaku juga tentu akan tercemar karena Bong Kin itu tentu akan menyiarkan tentang keadaanku yang sudah ternoda. Semua orang di kota raja akan mendengarnya. Ah, apa gunanya aku hidup lebih lama?”

“Dia tidak akan berani, Li Ai. Aku sudah menghajarnya habis-habisan, bahkan nyaris membunuhnya. Juga selosin orang anak buahnya telah kuberi pelajaran keras. Seandainya dia belum jera dan masih menyiarkan berita tentang dirimu, kelak engkau masih mempunyai banyak kesempatan untuk membalas penghinaannya!”

“Akan tetapi, apa yang dapat kulakukan terhadap orang she Bong itu, Enci? Aku seorang gadis lemah dan tak berdaya....”

“Hemm, bukankah aku sudah berjanji untuk mengajarkan ilmu silat kepadamu? Jangan putus asa dan buang jauh-jauh keinginanmu untuk mati itu. Hidupmu masih kau butuhkan dan dibutuhkan banyak orang. Kelak, kalau engkau sudah memiliki ilmu silat yang tinggi, engkau dapat membantuku untuk memberi hajaran keras kepada para pria yang jahat dan yang menghina kaum wanita.

"Kita berdua akan malang melintang di dunia kang-ouw, menjadi pembela kaum wanita dan penentang pria yang suka menghina wanita. Bagaimana pendapatmu? Bukankah itu merupakan tujuan sisa hidup kita yang amat baik?

Kita perangi para pria yang jahat dan kita bangun Ban-hwa-pang menjadi perkumpulan wanita gagah yang melindungi kaum wanita dari kejahatan laki-laki berengsek seperti Thian-te Mo-ong, dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang sudah mati di tanganku, juga orang-orang macam Bong Kin itu!”

Mendengar ini, bangkit semangat hidup Li Ai. Ia harus dapat melupakan apa yang telah terjadi kepadanya. Dua orang jahanam yang memperkosanya itu sudah dibunuh Siang Lan, sakit hatinya telah terbalas impas dan ia tidak perlu memikirkan dua orang musuh besar itu lagi.

Adapun tentang kegagalannya berjodoh dengan Bong Kongcu, hal itu sama sekali tidak membuat ia berduka atau kecewa karena kenyataannya, ia belum mempunyai perasaan cinta kepada pemuda itu. Hanya sikap dan kata-kata pemuda itu yang membuat ia merasa terhina. Biarpun Bong Kongcu telah dihajar oleh Siang Lan, namun pemuda yang menghinanya itu masih hidup.

Siang Lan benar, harus mempelajari ilmu silat. Kalau ia sudah kuat dan tangguh ia akan menghajar semua laki-laki macam dua orang tosu Pek-lian-kauw, Bong Kin, dan semua hidung belang mata keranjang yang menjadi jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga atau pemerkosa)! Sisa hidupnya kini mempunyai tujuan!

Demikianlah, mulai hari itu, setiap pagi sekali Siang Lan keluar dari perkampungan Ban-hwa-pang untuk menerima gemblengan ilmu dari Bu-beng-cu. Pertama-tama, Bu-beng-cu mengajarkan ilmu untuk memperkuat gin-kangnya hingga gerakannya menjadi semakin ringan dan makin cepat.

Setelah pada siang harinya ia kembali ke perkampungan, Siang Lan melatih ilmu silat kepada Li Ai yang belajar dengan tekun sekali. Juga para anak buah Ban-hwa-pang menerima latihan agar mereka menjadi lebih kuat. Pekerjaan semua wanita di Ban-hwa-pang mulai dari ketuanya sampai kepada anak buahnya yang tingkatnya paling rendah, setiap hari hanya berlatih ilmu silat.

Harta yang dibawa Li Ai dari rumah ayahnya amat bermanfaat bagi Ban-hwa-pang. Perkampungan itu dibangun, dan atas petunjuk Siang Lan dan Li Ai lembah itu ditata dan diperbaiki, tumbuh-tumbuhan bunga beraneka macam itu diatur rapi sehingga lembah itu tampak semakin asri dan pantaslah kalau dinamakan Lembah Selaksa Bunga.

Lembah yang luas itu dibentuk seperti sebuah taman bunga yang indah, dengan bangunan kecil-kecil mungil, beranda-beranda yang dicat beraneka warna di dekat empang-empang ikan dan bunga teratai. Di beranda-beranda itu digantungi lampu-lampu sehingga kalau malam tiba.

Lampu-lampu dengan selubung beraneka warna itu menambah indah taman atau lembah itu. Di bagian lain dari lembah itu ditanami tumbuh-tumbuhan obat dan ada pula bagian taman yang-liu (semacam cemara) yang mendatangkan suasana sejuk.


Karena setiap hari hanya berlatih ilmu silat dan juga melatih Li Ai dan para anak buah Ban-hwa-pang, maka Siang Lan lupa akan waktu. Apalagi karena Bu-beng-cu setiap hari melatih gin-kang sehingga setelah lewat kurang lebih setengah tahun, gin-kangnya sudah maju pesat dan kini ia bahkan mampu mengimbangi kecepatan gerakan Bu-beng-cu.

Pada pagi itu, seperti biasa Siang Lan datang ke depan guha yang menjadi tempat tinggal Bu-beng-cu. Laki-laki itu menyambutnya dengan senyum cerah. Begitu berhadapan, Siang Lan seperti terpesona. Laki-laki yang melatihnya akan tetapi tidak mau disebut guru itu tampak segar karena rambutnya yang hitam panjang itu masih basah dan digelung ke atas, diikat pita kuning.

Mukanya yang dicukur bersih itu tampak lebih muda dari usianya yang sudah empatpuluh dua tahun. Pakaiannya yang sederhana namun bersih tidak menyembunyikan tubuhnya yang sedang namun tegap. Sepasang matanya bersinar lembut mulutnya tersenyum.

Dalam penglihatan Siang Lan pada saat itu, Bu-beng-cu tampak amat gagah dan menarik hati. Apalagi mengingat betapa laki-laki ini selain menyelamatkannya dari bahaya juga telah menggemblengnya dengan sungguh-sungguh walaupun tidak mau disebut sebagai guru. Sikapnya selalu lembut, pandang matanya mendatangkan ketenangan dalam hatinya dan senyum serta sikapnya terkadang jelas menunjukkan bahwa Bu-beng-cu menghormati dan menyayangnya.

Dan anehnya, selama setengah tahun lebih ini Bu-beng-cu sama sekali tidak pernah mengajak ia bicara tentang keadaan diri masing-masing, seolah dia tidak suka menceritakan riwayat hidupnya dan tidak pula ingin tahu riwayat hidup Hwe-thian Mo-li. Kalau dia bicara, yang dibicarakan tentu soal ilmu mempertinggi gin-kang yang sedang dilatih Siang Lan!

Pagi ini, Siang Lan sengaja datang lebih pagi daripada biasanya karena ia mengambil keputusan untuk mengajak Bu-beng-cu bicara tentang riwayat mereka masing-masing agar mereka dapat saling mengenal lebih baik. Ia merasa berhutang budi kepada Bu-beng-cu dan ingin mempererat persahabatan karena laki-laki itu tidak mau dianggap guru. Biarlah hubungan guru dan murid ini menjadi hubungan persahabatan yang lebih akrab, demikian pikirnya.

Akan tetapi begitu mereka berhadapan, sebelum ia dapat mengeluarkan kata-kata, Bu-beng-cu sudah mendahului menegurnya dengan suara ramah dan senyum tenang dan sabar. “Hwe-thian Mo-li, engkau datang pagi benar, lebih pagi dari biasanya.”

Siang Lan tersenyum. Ia sering merasa heran sendiri mengapa ia yang biasanya mempunyai perasaan tidak senang kepada laki-laki, apalagi semenjak cinta pertama terhadap Sim Tek Kun gagal, ia merasa tidak enak hati dan tidak suka. Rasa suka ini hampir berubah menjadi benci terhadap pria setelah ia mengalami peristiwa terkutuk menjadi korban perkosaan itu.

Akan tetapi mengapa kalau ia bertemu dengan Bu-beng-cu, ia merasa gembira sekali? Hal ini karena ia merasa berhutang budi dan pria yang satu ini memang lain daripada yang lain. Biasanya setiap ia bertemu laki-laki, mata mereka itu pasti memandangnya bagaikan seekor anjing kelaparan melihat daging seolah sinar mata itu menggerayangi seluruh tubuhnya.

Akan tetapi sinar mata Bu-beng-cu ini lain. Selalu lembut tidak pernah terlalu lama mengamati wajahnya, bahkan jarang dapat bertemu pandang karena laki-laki ini selalu mengelak kalau pandang matanya bertemu dengan pandang mata Siang Lan.

“Paman Bu-beng-cu, aku memang sengaja datang lebih pagi karena aku ingin lebih dulu membicarakan sesuatu denganmu sebelum aku mulai terlatih.”

“Hendak membicarakan apakah, Hwe-thian Mo-li? Katakan saja karena hari ini engkau tidak perlu latihan lagi. Hari ini aku akan menguji sampai di mana kemajuan gin-kang mu selama engkau memperdalamnya lebih dari setengah tahun.”

“Setengah tahun lebih?” Siang Lan berseru kaget karena selama ini ia seolah telah melupakan waktu. Setelah ia mengingat-ingat, hari ini tentu sudah setahun lewat sejak musuh besarnya berjanji untuk menemuinya dan mengadu ilmu! “Kalau begitu, sewaktu-waktu tentu musuh besarku akan muncul mencariku untuk membuat perhitungan dan mengadu ilmu!”

“Apakah yang ingin kau bicarakan dengaanku?” Bu-beng-cu menunju ke arah batu-batu sebesar perut kerbau yang terdapat banyak di depan guha besar tempat tinggalnya. Mereka lalu duduk di atas batu, berhadapan dalam jarak dua tombak.

“Begini, Paman. Telah lebih dari setengah tahun kita berhubungan, biarpun bukan sebagai guru dan murid karena engkau tidak mau kusebut guru, setidaknya sebagai sahabat baik. Aku berhutang banyak budi kebaikan darimu, akan tetapi kita tidak saling mengenal riwayat masing-masing. Oleh karena itu, aku harap engkau suka mendengarkan riwayatku kemudian engkau menceritakan riwayatmu kepadaku sehingga perkenalan ini menjadi semakin akrab. Kalau engkau setuju, aku akan menceritakan riwayatku lebih dulu. Bagaimana pendapatmu, Paman?”

Bu-beng-cu menghela napas panjang, akan tetapi wajahnya tetap tenang. “Terserah kepadamu, Nona.”

Siang Lan girang sekali mendengar pria itu tidak merasa keberatan. Maka ia lalu menceritakan riwayatnya dengan singkat tanpa ragu, akan tetapi tentu saja tidak mau bercerita tentang kegagalan cintanya dengan Sim Tek Kun, putera pangeran yang menjadi tokoh Kun-lun-pai itu.

“Sejak kecil aku kehilangan Ayah Ibuku. Aku menjadi yatim piatu dan hidup sebatang kara. Dalam usia sepuluh tahun, aku ditolong dan diambil murid oleh Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu dan dibawa ke Liong-cu-san.”

“Hemm, pantas ilmu silatmu tinggi. Aku pernah mendengar nama besar pahlawan bangsa Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu,” kata Bu-beng-cu kagum. Pat-jiu Kiam-ong (Raja Pedang Tangan Delapan) memang terkenal sekali sebagai seorang pendekar patriot yang amat lihai ilmu pedangnya, gagah perkasa dan berjiwa pahlawan.

“Suhu Pat-jiu Kiam-ong yang memelihara, membesarkan dan mendidikku, maka engkau dapat membayangkan kedukaan dan kemarahanku ketika Suhu dibunuh secara curang oleh lima orang kang-ouw golongan sesat.”

“Hemm, siapakah mereka?”

“Mereka adalah Leng Kok Hosiang berjuluk Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga), Toat-beng Sin-to (Golok Sakti Pencabut Nyawa) Liok Kong, Hek-wan (Lutung hitam) Yap Cin, Shan-tung Tai-hiap (Pendekar Shan-tung) Siong Tat, dan Kim-gan-liong (Naga Mata Emas) Cin Liu Ek. Aku dan Sumoi Ong Lian Hong mencari lima orang pembunuh Suhu itu dan akhirnya kami berdua dapat membunuh mereka. Sumoi Ong Lian Hong adalah puteri mendiang Suhu.”

“Kim-gan-liong Cin Liu Ek? Bukankah dia yang tinggal di kota Lun-cong. Akan tetapi sebelum aku tinggal di sini, aku pernah bertemu dengan pendekar itu dan dia ternyata seorang pendekar bijaksana dan tidak terbunuh....”

“Benar, Paman. Aku tidak membunuhnya karena ternyata di antara lima orang yang kami sangka mengeroyok dan membunuh Suhu, ternyata Kim-gan-liong Cin Lu Ek tidak ikut membunuhnya dan dia tidak bersalah.”

14. Agama, Obor Di Lorong Gelap!

Bu-beng-cu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bagus sekali, kebijaksanaanmu itu sebaiknya ditingkatkan dengan tidak melakukan pembunuhan, Hwe-thian Mo-li. Biarpun ada yang bersalah kepadamu, sebaiknya engkau hanya memberi pelajaran kepadanya agar orang itu menyadari kesalahannya dan bertobat. Orang yang melakukan perbuatan jahat ada seorang yang sedang sakit, bukan jasmaninya melainkan sakit rohaninya. Penyakit itu dapat sembuh dan orang yang sehat pun sewaktu-waktu dapat saja jatuh sakit. Orang sesat mungkin saja bertobat dan menjadi baik, seperti kemungkinan orang baik-baik tergoda dan melakukan perbuatan jahat. Kita sama sekali tidak berhak membunuh orang.”

“Akan tetapi, seperti sumpahku, Paman, aku tidak akan membunuh orang lagi kecuali yang seorang itu, musuh besarku Thian-te Mo-ong.”

Kembali Bu-beng-cu menghela napas panjang. “Terserah kepadamu, engkau tentu memiliki alasan kuat untuk berkeras membunuhnya. Lanjutkan ceritamu.”

“Aku selalu menentang kejahatan dan terhadap para penjahat itu aku tidak pernah memberi ampun dan bertindak tegas dan keras sehingga para kaum sesat di dunia kang-ouw memberi julukan Hwe-thian Mo-li kepadaku. Aku tidak peduli akan julukan Iblis Betina, karena aku memang ganas seperti iblis terhadap kaum sesat.

"Pada suatu hari, aku jatuh pingsan di lereng Ban-hwa-san ini, aku ditangkap oleh Ketua Ban-hwa-pang dan dikeram dalam sebuah kamar dalam keadaan tertotok. Aku tidak berdaya dan pada malam harinya... muncul... Thian-te Mo-ong itu... dia...menghina aku yang sedang tak berdaya! Karena itulah aku mendendam kepadanya dan aku bersumpah untuk membalas membunuhnya!

“Setelah jahanam itu pergi dan aku terbebas dari totokan, aku lalu mengamuk. Kubunuh Ketua Ban-hwa-pang berikut semua anak buahnya dan aku menguasai Ban-hwa-pang. Kini akulah Ketua Ban-hwa-pang dan para anggautanya terdiri dari para wanita bekas anak buah Ban-hwa-pang lama.

"Aku bertemu dengan engkau yang berkali-kali telah menolongku dan melihat kelihaianmu, aku ingin belajar ilmu silat, memperdalam ilmuku agar kelak dapat kupergunakan untuk membalas dendam kepada musuh besarku, dan juga untuk menghadapi Pek-lian-kauw yang jahat dan yang memiliki banyak orang pandai.”

Siang Lan menghentikan ceritanya dan menatap wajah Bu-beng-cu. Ia merasa heran melihat wajah yang biasanya cerah itu kini tampak agak muram. Melihat Bu-beng-cu kini diam saja sambil mengerutkan alis dan menundukkan mukanya, Siang Lan bertanya.

“Paman, bagaimana dengan riwayatmu? Sekarang giliranmu untuk menceritakan riwayatmu kepadaku.”

Bu-beng-cu menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya. “Apakah yang dapat kuceritakan? Tidak ada suatu yang menarik tentang diriku. Apa yang ingin kau ketahui?”

Siang Lan maklum bahwa orang tentu hendak menyembunyikan keadaan dirinya, maka namanya pun sudah menunjukkan bahwa dia tidak ingin dikenal orang. Hal ini membuatnya penasaran.

“Paman, dengan menggunakan nama Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama) engkau seperti menyangkal dirimu sendiri. Aku ingin mengetahui apakah Paman mempunyai keluarga, isteri atau anak-anak?”

Bu-beng-cu menggelengkan kepalanya. “Tidak, Hwe-thian Mo-li, aku tidak mempunyai keluarga, aku hidup sebatang kara, hanya hidup berdua dengan bayanganku yang sering kali menggangguku.”

Jawaban yang aneh itu membuat Siang Lan menjadi semakin penasaran. “Apakah Paman tidak pernah beristeri?”

“Tidak, sejak kecil aku merantau jauh ke barat dan selama ini aku hanya mempelajari ilmu silat.”

“Akan tetapi sikap Paman lembut dan kata-kata Paman teratur seperti seorang sastrawan.”

Senyum yang biasanya menghias mulut orang itu kini muncul sehingga hati Siang Lan merasa tenang. “Aku suka mempelajari sastra dan aku sudah membaca kitab-kitab suci dari tiga agama, yaitu Hud-kauw (Buddhism), To-kauw (Taosim), dan Khong-kauw (Confucianism).”

Diam-diam ada perasaan lega dan girang dalam hati Siang Lan mendengar bahwa Bu-beng-cu tidak mempunyai keluarga seperti juga dirinya sendiri, dan ia pun heran akan dirinya sendiri mengapa merasa girang mendengar akan kesendirian laki-laki itu. Kini mendengar bahwa Bu-beng-cu agaknya ahli akan kitab-kitab tiga agama yang waktu itu memiliki pengaruh besar dalam kebudayaan dan kehidupan rakyat, dengan penasaran ia bertanya.

“Paman, aku melihat betapa semua orang agaknya beragama. Akan tetapi mengapa kejahatan merajalela dan bahkan mereka yang sudah mengenakan jubah pendeta, mengaku sebagai ahli agama, masih suka melakukan perbuatan jahat?”

Kini wajah Bu-beng-cu bersinar dan tampak bersemangat setelah Siang Lan bicara tentang agama. “Hwe-thian Mo-li, jangan heran melihat gejala seperti itu. Yang jahat itu bukanlah agamanya, melainkan manusianya. Kalau ada seorang manusia mengaku beragama dan dia melakukan perbuatan jahat.

"Maka dia itu bukanlah seorang beragama, melainkan seorang penjahat yang mengaku-aku beragama. Agamanya hanya dipergunakan sebagai kedok untuk menutupi perbuatannya. Kalau dia benar seorang beragama, pasti dia tidak mau dan tidak berani melakukan kejahatan karena hal itu dilarang oleh semua agama.

“Demikian pula kalau ada seorang pendeta agama melakukan perbuatan jahat, dia hanya seorang manusia yang palsu dan menggunakan pakaian pendeta dan agamanya sebagai kedok belaka. Agama merupakan pelajaran agar manusia menjadi baik dan benar.

"Namun pelajaran itu tidak ada artinya sama sekali kalau tidak dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Api atau inti semua agama itu terbukti dalam sikap dan perbuatan sehari-hari, adapun semua upacaranya itu kalau tidak terbukti apinya, hanya menjadi asap dan abu yang menggelapkan mata dan mengotori keadaan belaka.”

Siang Lan adalah seorang wanita yang cerdas. Biarpun hanya sedikit saja pengetahuannya tentang filsafat dan agama, namun ucapan Bu-beng-cu itu berkesan dalam hatinya dan ia dapat mengerti maksudnya. Akan tetapi, juga mendatangkan rasa penasaran dalam hatinya yang mendorongnya ingin mengetahui lebih banyak lagi.

“Paman, karena demikian banyaknya terdapat orang yang beragama akan tetapi melakukan perbuatan jahat yang dilarang agamanya, apakah tidak lebih baik kalau manusia tidak beragama saja?”

Bu-beng-cu tertawa. “Bukan begitu, Nona. Agama merupakan obor bagi manusia yang hidup di dunia ini, dunia yang bagaikan sebuah lorong yang gelap. Obor itu akan menerangi lorong sehingga kita dapat melihat ke arah mana kita melangkah, karena ada jalan menuju kepada Thian (Tuhan) yang menjadi Sumber kita, akan tetapi juga ada jalan yang membawa kita ke jurang dosa dan kehancuran.

“Agama sebagai obor itu memang amat penting dan setiap orang seyogianya memegang obor masing-masing agar jangan salah jalan. Akan tetapi, apakah artinya obor bernyala di tangan kalau kita tidak mau melangkah ke arah jalan kebenaran. Apa artinya semua pelajaran keagamaan kita pelajari dan kita hafalkan kalau tidak kita laksanakan dalam hidup ini? Jadi, agama baru bermanfaat kalau kita amalkan sesuai dengan ajarannya.

“Sebaliknya, kalau orang tidak beragama, bagaikan berjalan dalam lorong gelap tanpa mempunyai obor penerangan, dia sudah tersesat atau jatuh tersandung. Memiliki obor tanpa melangkah atau tidak memegang obor penerangan sama sekali, sama buruknya. Yang benar adalah membawa obor yang menerangi jalan hidup sambil melangkah atau memiliki agama sambil mengamalkan pelajaran agamanya.”

“Ah, kalau aku tidak keliru berpendapat, seorang penjahat yang beragama itu lebih sesat dibandingkan seorang penjahat yang tidak beragama. Betulkah itu, Paman?”

“Dua-duanya jelas tidak betul karena melakukan kejahatan. Akan tetapi dosa orang yang beragama namun jahat lebih buruk lagi karena dia mencemarkan kebersihan agama itu sendiri. Ah, sudahlah, Hwe-thian Mo-li, sekarang tiba saatnya aku menguji gin-kangmu. Mari kita berlumba lari sampai ke puncak bukit itu mengambil sebuah batu kapur yang hanya terdapat di puncak lalu cepat kembali ke sini.”

Dengan gembira Siang Lan mengangguk dan setelah Bu-beng-cu memberi isyarat, mereka berdua lalu berkelebat sedemikian cepatnya sehingga yang tampak hanya dua sosok bayangan melejit ke arah puncak bukit. Siang Lan mengerahkan gin-kang yang sudah maju pesat dan kini larinya jauh lebih cepat dibandingkan setengah tahun yang lalu. Kalau ada orang melihat mereka, tentu akan terkejut dan mungkin ketakutan, mengira bahwa dua sosok bayangan yang berkelebat itu adalah setan-setan penjaga bukit!

Siang Lan mempergunakan ilmu berlari cepat yang selama ini ia pelajari dan latih atas bimbingan dan petunjuk Bu-beng-cu, yaitu Yan-cu-coan-in (Walet Menembus Awan). Ia mengerahkan seluruh tenaganya karena ia melihat betapa bayangan Bu-beng-cu juga berlari cepat di sampingnya. Setelah tiba di puncak bukit, ia menyambar sepotong batu kapur lalu lari seperti terbang lagi, menuruni puncak menuju ke lereng di mana tadi mereka mulai berlumba lari.

Begitu ia menghentikan gerakannya, ia melihat bahwa Bu-beng-cu juga sudah berhenti dan ternyata mereka berdua tiba di situ dengan berbareng! Masing-masing memegang sepotong batu kapur. Melihat betapa kecepatan mereka berimbang, Siang Lan berkata.

“Ah, engkau sengaja mengalah sehingga tidak mendahului aku, Paman Bu-beng-cu!”

Bu-beng-cu tertawa dan tampak wajahnya cerah gembira. “Sama sekali tidak, Hwe-thian Mo-li. Aku tadi juga sudah mengerahkan seluruh kemampuan, akan tetapi ternyata tidak dapat mendahuluimu, bahkan agak sukar bagiku untuk menjaga agar tidak ketinggalan. Aku girang sekali karena setelah sekian lama engkau berlatih dengan tekun, hari ini tampak hasilnya.

"Kiraku sekarang jarang ada orang yang dapat menandingimu dalam hal kecepatan sehingga julukanmu tepat sekali yaitu Hwe-thian (Terbang ke Langit), walaupun julukan Mo-li (Iblis Betina) itu kini tidak cocok lagi bagimu. Engkau bukan iblis betina lagi karena engkau sudah bersumpah untuk tidak sembarangan membunuh orang lagi.”

“Akan tetapi ada kecualinya, Paman, yaitu aku harus membunuh musuh besarku yang satu itu! Paman, setelah sekarang aku mendapat kemajuan dalam gin-kang, tentu aku akan berhasil membunuhnya. Kalau tidak salah perhitunganku sekarang sudah lewat setahun dan jahanam itu tentu akan datang menemuiku sebagaimana yang dia janjikan untuk membuat perhitungan.”

Bu-beng-cu menghela napas panjang. “Aku tidak tahu sampai di mana kelihaian musuhmu itu, Nona. Akan tetapi jangan engkau terlalu yakin dulu. Memang gin-kangmu sudah maju pesat dan kiranya akan sulit bagi musuhmu itu untuk mengalahkan kecepatan gerakanmu. Akan tetapi, dalam sebuah pi-bu (pertandingan silat) bukan hanya kecepatan gerakan yang menentukan walaupun kecepatan itu tentu saja merupakan bagian penting. Selain gin-kang, engkau harus lebih unggul dalam ilmu silat dan tenaga sakti. Berhati-hatilah kalau engkau bertemu dengan musuh besarmu.”

“Akan kuperhatikan nasihat Paman.”

“Nah, hari ini kunyatakan bahwa engkau telah lulus dalam pelajaran memperkuat gin-kangmu, Hwe-thian Mo-li. Mudah-mudahan engkau akan mendapatkan manfaat dari pelajaran ini dan aku akan merasa berbahagia sekali kalau engkau dapat memegang sumpahmu untuk tidak membunuh orang, juga kalau mungkin menghilangkan dendammu dan keinginanmu untuk membunuh orang yang kau anggap sebagai musuh besar itu. Aku sekarang hendak melanjutkan pertapaanku disini dan tidak ingin diganggu. Kecuali kalau ada urusan penting sekali, harap jangan ganggu aku lagi.”

Siang Lan memberi hormat dan berkata dengan nada terharu. “Paman telah mengorbankan waktu pertapaan Paman, sudah berulang kali menolongku, aku mengucapkan banyak terima kasih dan selama hidupku aku tidak akan melupakan kebaikan Paman Bu-beng-cu.”

“Pulanglah, Nona, dan jaga dirimu baik-baik,” kata Bu-beng-cu, suaranya juga tergetar karena dia merasa terharu pula mendengar suara gadis itu begitu menyentuh perasaannya.

“Engkau juga, jaga dirimu baik-baik, Paman. Selamat tinggal.” Setelah berkata demikian, Siang Lan berkelebat dan lenyap dari depan guha tempat pertapaan Bu-beng-cu itu.

Setelah Siang Lan pergi jauh, Bu-beng-cu kini menghela napas panjang dan pandang matanya ditujukan ke langit yang mulai cerah dengan sinar matahari pagi. “Thian, alangkah pahitnya akibat dari kebodohan dan kelemahanku saat itu. Puji syukur kepadamu, Ya Tuhan, bahwa Engkau telah memberi kesempatan kepadaku untuk menebus dosaku itu....”

Setelah mengeluarkan ucapan lirih dan sepasang matanya menjadi basah air mata, Bu-beng-cu atau Thian-te Mo-ong atau nama aselinya Sie Bun Liong melangkah perlahan-lahan memasuki guhanya.


Hati Siang Lan yang merasa girang sekali karena kini ia telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu meringankan tubuh sehingga ia mampu bergerak jauh lebih cepat daripada dahulu sebelum digembleng oleh Bu-beng-cu. Masih teringat ia betapa dulu ia amat mengagumi kecepatan gerakan Bu-beng-cu.

Akan tetapi sekarang ketika berlumba lari, ia dapat mengimbangi gurunya itu! Ia merasa yakin bahwa kini ia pasti akan mampu mengalahkan Thian-te Mo-ong dan membunuhnya untuk membalas dendam atas perbuatan keji yang dilakukan atas dirinya.

Ia merasa lebih gembira lagi karena kini anak buahnya, semua wanita, yang berjumlah kurang lebih limapuluh orang telah memperoleh kemajuan dalam ilmu silat sehingga mereka merupakan anggauta Ban-hwa-pang yang tangguh.

Lebih lagi, ia melihat betapa Li Ai ternyata memiliki bakat yang amat baik. Gadis ini memang cerdik sekali dan didorong oleh sakit hatinya, ia berlatih dengan tekun sehingga setelah lewat hampir setahun di Lembah Selaksa Bunga, tingkat kepandaian silatnya bahkan telah melampaui tingkat semua wanita anggauta Ban-hwa-pang.

Melihat gadis yang dahulunya lemah-lembut itu menyukai senjata sepasang pedang, maka Siang Lan memberi sepasang pedang yang mungil dan indah kepada Li Ai dan mengajarkan Siang-kiam-sut (Ilmu Sepasang Pedang) di samping ilmu silat tangan kosong. Juga Li Ai sudah mulai diberi pelajaran dasar untuk menghimpun tenaga sakti.

Belasan hari kemudian, pada suatu pagi Siang Lan sudah bangun dari tidurnya. Kini ia mempunyai kebiasaan bangun pagi sekali karena biasanya, begitu bangun dan mandi, ia langsung pergi ke lereng di mana terdapat guha tempat bertapa Bu-beng-cu.

Maka, biarpun sekarang ia tidak lagi harus pergi ke sana seperti yang dilakukan tiap hari selama setengah tahun, ia sudah terbiasa dan pagi hari itu ia sudah mandi dan duduk di dalam kamarnya.

Tadi ia melamun dengan hati penasaran karena sejak berhenti latihan di depan guha Bu-beng-cu, ia menunggu-nunggu munculnya Thian-te Mo-ong, musuh besarnya yang dulu pernah berjanji akan mengunjunginya setiap tahun untuk membuat perhitungan. Ia ingat-ingat dan merasa yakin bahwa sekaranglah saatnya, setahun telah lewat sejak ia bertanding melawan Thian-te Mo-ong dan kalah.

Karena kesal dan penasaran, Siang Lan kini duduk bersamadhi untuk menenangkan hati dan pikirannya. Jahanam sombong itu pasti akan muncul, demikian ia menghibur diri sendiri. Segera ia tenggelam ke dalam samadhinya.

Pada waktu itu seperti kebiasaan mereka setiap pagi sebelum melakukan pekerjaan sehari-hari membersihkan rumah, taman dan bekerja di kebun sayur dan buah-buahan, limapuluh orang anggauta Ban-hwa-pang asyik berlatih ilmu silat di pekarangan depan yang luas dari perkampungan mereka.

Li Ai tidak ketinggalan. Gadis ini yang dahulunya seorang gadis yang lembut, ahli seni tari, musik, nyanyi, juga mengenal sastra, kini berpakaian ringkas dan ia berlatih silat pedang. Sepasang pedangnya menyambar-nyambar dan karena gerakannya halus indah saking terbiasa menari, maka gerakan silatnya seperti orang menari.

Para anggauta Ban-hwa-pang juga sibuk latihan sendiri, ada yang berlatih silat tangan kosong, atau dengan berbagai macam senjata. Mereka latihan dengan sungguh-sungguh dan ternyata tidak percuma Hwe-thian Mo-li menggembleng anggauta Ban-hwa-pang karena mereka itu rata-rata cukup gesit.

Tiba-tiba terdengar suara tawa parau dan aneh. Ketika Li Ai dan limapuluh orang lebih anggauta Ban-hwa-pang itu menghentikan gerakan mereka dan memandang, ternyata di situ telah berdiri seorang laki-laki yang mukanya ditutupi sebuah topeng kayu.

Yang tampak hanya empat buah lubang, dua lubang hidung dan dua lagi di atas untuk mata. Di balik dua lubang di atas itu tampak sinar mata yang mencorong. Karena kedok atau topeng itulah maka suara tawanya terdengar parau dan aneh.

“Ha-ha-ha! Ban-hwa-pang yang tersohor itu hanya memiliki para anggauta yang begini lemah dan ilmu silatnya rendah? Sungguh Hwe-thian Mo-li seorang ketua yang tidak becus mendidik, anak buahnya, ha-ha-ha!”

Tentu saja semua anak buah Ban-hwa-pang menjadi marah mendengar suara parau yang mengejek itu. Didahului oleh Li Ai mereka lalu berlari menghampiri dan mengepung orang bertopeng itu. Li Ai menudingkan pedang kirinya ke arah muka bertopeng itu dan membentak, akan tetapi tetap saja suaranya terdengar lembut halus.

“Orang asing yang tidak mengenal aturan! Siapakah engkau yang begini lancang memasuki perkampungan kami yang terlarang bagi kaum pria dan datang-datang menghina ketua kami?”

“Ha-ha-ha, kalian panggil Hwe-thian Mo-li ke sini menemui aku, ia akan mengenal siapa aku!” kata Si Topeng Kayu dengan nada suara sombong.

Akan tetapi Li Ai sudah dapat menduga bahwa orang ini pasti bukan seorang sahabat dan bukan orang baik-baik, maka ia berkata, suaranya lebih tegas. “Engkau sudah melakukan tiga pelanggaran. Pertama, engkau seorang pria berani masuk ke sini tanpa ijin. Kedua, engkau bersikap pengecut dengan menyembunyikan mukamu di balik topeng, dan ketiga, engkau telah bersikap dan bicara dengan kasar menghina ketua kami. Karena itu, kami minta engkau segera pergi meninggalkan perkampungan kami!”

“Hemm, Nona, kalian mau berbuat apa kalau aku tidak mau pergi sebelum bertemu dengan Hwe-thian Mo-li?”

Hati Li Ai menjadi semakin panas karena nada suara orang bertopeng itu jelas mengandung ejekan dan tantangan! “Kalau engkau tidak mau pergi, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan untuk mengusirmu!”

“Ha-ha-ha, begitukah? Ingin aku melihat bagaimana kalian dapat mengusirku!” tantang Si Topeng Kayu.

Karena marah mendengar Siang Lan diejek, Li Ai lalu menggerakkan sepasang pedangnya, menyerang laki-laki bertopeng itu. Laki-laki itu adalah Thian-te Mo-ong dan melihat serangan gadis yang masih dangkal dan mentah ilmu silatnya ini, dia tertawa mengejek dan dengan mudah dia mengelak sehingga serangan sepasang pedang di tangan Li Ai tidak mengenai sasaran.

Akan tetapi kini semua anak buah Ban-hwa-pang maju mengeroyoknya! Thian-te Mo-ong masih tertawa-tawa dan tubuhnya berkelebatan ke sana-sini seperti bayangan iblis. Limapuluh orang anggauta Ban-hwa-pang itu terus mengejarnya sambil berteriak-teriak, seperti sekumpulan anak-anak hendak menangkap seekor burung yang amat gesit.

Kalau saja laki-laki bertopeng itu menghendaki, dengan mudah dia tentu akan dapat merobohkan limapuluh orang lebih anggauta Ban-hwa-pang itu karena kepandaian mereka masih terlalu rendah untuk dapat mengalahkan Thian-te Mo-ong. Akan tetapi agaknya orang bertopeng itu tidak mau mencelakakan mereka.

15. Belajar Lagi Sepuluh Tahun!

Bagaimanapun juga dia merasa kerepotan dikeroyok puluhan wanita muda. Dia merasa ngeri sendiri dan tiba-tiba bayangan tubuhnya melayang ke atas dan tahu-tahu dia telah berada di atas wuwungan rumah! Para anggauta Ban-hwa-pang hanya dapat mengacung-acungkan senjata ke arahnya tanpa dapat melakukan pengejaran.

“Ha-ha-ha-ha! Hayo siapa berani mengejar ke sini?” Thian-te Mo-ong tertawa menantang dengan suara mengejek.

Tiba-tiba terdengar teriakan melengking nyaring disusul berkelebatnya bayangan Hwe-thian Mo-li yang melayang keluar dari dalam rumah. Ia terkejut dan sadar dari samadhinya ketika terdengar teriakan-teriakan anak buahnya di luar.

Ketika ia mendengar tawa dan ejekan Thian-te Mo-ong, segera ia mengenal siapa yang bersuara parau dan aneh itu. Musuh besarnya telah datang! Maka sambil mengeluarkan teriakan melengking ia melompat keluar lalu memandang ke atas wuwungan rumah dengan wajah berubah merah dan sinar matanya mencorong penuh kemarahan dan kebencian.

“Keparat jahanam Thian-te Mo-ong! Bagus kamu datang mengantarkan nyawamu ke sini!” Siang Lan mencabut Lui-kong-kiam yang ditudingkannya ke arah muka bertopeng itu.

“Ha-ha-ha, Hwe-thian Mo-li, apakah engkau hendak mengeroyok aku bersama puluhan orang anak buahmu itu?”

Siang Lan merasa dalam dadanya seperti dibakar. “Iblis busuk! Aku bukan pengecut macam kau!” Lalu ia menoleh dan membentak para anggauta Ban-hwa-pang. “Hayo kalian mundur dan jangan sekali-kali mencampuri pertandingan antara aku dan jahanam busuk bertopeng itu!”

Li Ai memberi isyarat kepada semua orang untuk menjauhkan diri dan menyimpan senjata masing-masing.

“Ha-ha-ha, bagus! Akan tetapi tetap saja aku tidak sudi bertanding di sini. Kalau engkau bukan jago kandang, hayo kejar aku dan kita bertanding mengadu nyawa di luar perkampungan ini!”

Setelah berkata demikian, Thian-te Mo-ong lalu melayang turun dari atas wuwungan langsung saja dia berlari cepat sekali keluar dari perkampungan Ban-hwa-pang.

“Bangsat busuk, engkau hendak lari ke mana?” Siang Lan memaki dan cepat melakukan pengejaran, mengerahkan seluruh kekuatan gin-kangnya yang kini telah meningkat jauh.

Li Ai dan para anak buah Ban-hwa-pang hanya melihat dua bayangan berkelebat cepat ke arah pintu gerbang lalu lenyap. Li Ai yang mengenal watak baik Siang Lan melarang para anggauta Ban-hwa-pang untuk melakukan pengejaran dan hanya menanti saja di situ dengan hati tegang.

Mereka hanya duduk-duduk bergerombol dan tidak ada semangat lagi untuk berlatih. Mereka semua maklum bahwa orang bertopeng itu adalah musuh ketua mereka dan kini tentu ketua mereka sedang bertanding mati-matian dengan musuh yang mereka tahu amat lihai itu.

Siang Lan mengerahkan seluruh kecepatan larinya melakukan pengejaran. Akan tetapi musuh besarnya tetap berada di depannya, dalam jarak sekitar tiga tombak. Ternyata kecepatan lari mereka seimbang dan Thian-te Mo-ong juga tidak mampu memperjauh jarak itu.

Akhirnya Siang Lan yang marah sekali memungut dua buah batu sebesar kepalannya dan setelah memindahkan pedang ke tangan kirinya, ia melontarkan dua buah batu itu ke arah kepala dan punggung Thian-te Mo-ong.

Thian-te Mo-ong ternyata memiliki pendengaran yang amat tajam. Biarpun ditimpuk dari belakang, dia mampu mendengar desir angin timpukan itu dan cepat melompat ke samping sehingga dua buah batu itu tidak mengenai tubuhnya. Dia berhenti dan membalikkan tubuhnya menghadapi Siang Lan sambil tertawa mengejek.

“Ha-ha-ha-ha! Sebaiknya di sini kita mengadu nyawa, Hwe-thian Mo-li. Jangan mengira bahwa dengan kecepatan dan sambitan batumu itu aku menjadi gentar!”

“Jahanam busuk Thian-te Mo-ong, bersiapkah untuk mampus di tanganku.”

Siang Lan yang sudah tak dapat menahan kesabarannya lalu menerjang dan menyerang dengan buas dan dahsyat sekali karena ia menggunakan jurus yang paling ampuh. Ia maklum akan kelihaian lawan maka ia pun begitu menyerang mengerahkan semua tenaganya!

Menghadapi serangan maut itu, Thian-te Mo-ong cepat mengelak dan dia melompat ke atas, menyambar sebatang ranting pohon lalu melawan pedang Lu-kong-kiam dengan ranting sepanjang lengan itu! Mereka saling serang dengan hebatnya karena Siang Lan berusaha mati-matian untuk merobohkan dan membunuh musuh besar yang amat dibencinya ini.

Ia sudah bersumpah di depan Bu-beng-cu bahwa ia tidak akan membunuh orang lain kecuali Thian-te Mo-ong, maka seluruh kebencian yang beada dalam hatinya terhadap golongan sesat kini ditimpakan seluruhnya kepada Thian-te Mo-ong.

“Singgg....!” Pedang Lui-kong-kiam meluncur dan berdesing membuat gerakan melingkar-lingkar amat dahsyatnya. Gadis itu menggunakan jurus Liong-ong-lo-hai (Raja Naga Kacau Lautan). Lui-kong-kiam berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan mengeluarkan bunyi berdesing-desing menyilauan mata dan menyakitkan telinga.

“Bagus!” Thian-te Mo-ong yang lihai itu memuji karena memang jurus Liong-ong-lo-hai ciptaan mendiang Ong Han Cu yang dijului Pat-jiu Kiam-ong (Raja Pedang Tangan Delapan) itu dahsyat bukan main.

Thian-te Mo-ong yang memang memiliki tingkat ilmu silat yang sudah tinggi sekali hanya merasa kagum akan tetapi sama sekali tidak merasa gentar. Dia menghindarkan diri dari serangan maut itu dengan jurus Sian-jin-hoan-eng (Dewa Menukar Bayangan), kemudian membalas dengan totokan-totokan berbahaya dengan ujung rantingnya.

Mereka bertanding tanpa ada orang lain yang mengetahuinya itu berlangsung selama limapuluh jurus lebih dan mereka saling serang tanpa ada yang tampak terdesak. Siang Lan merasa penasaran sekali. Selama setengah tahun lebih ia sudah mendapatkan kemajuan pesat dalam ilmu meringankan tubuh sehingga gerakannya jauh lebih cepat dibandingkan dahulu sebelum digembleng Bu-beng-cu.

Dulu saja ia sudah terkenal memiliki gin-kang yang hebat. Gerakannya amat cepat sehingga dunia kang-ouw memberinya julukan Iblis Betina Terbang. Setelah kini gin-kangnya meningkat banyak, tetap saja ia tidak mampu mendesak musuh besarnya.

Dalam pertandingan itu, ia melihat jelas bahwa lawannya juga dapat bergerak cepat sekali dan agaknya dalam ilmu gin-kang, Thian-te Mo-ong tidak kalah dan dapat mengimbanginya! Gin-kang mereka seimbang, akan tetapi ia harus mengakui bahwa dalam hal tenaga sakti ia masih kalah kuat, bahkan jauh kalah. Hal ini terbukti dari senjata mereka.

Ia sendiri memegang Lui-kong-kiam (Pedang Kilat), sebuah pedang pusaka yang terbuat dari baja langka, biasanya mudah mematahkan senjata-senjata lawan dari besi atau baja. Akan tetapi sekarang, menghadapi sebatang ranting di tangan musuhnya, pedang itu sama sekali tidak berdaya.

Apalagi mematahkannya, bahkan kalau pedangnya dan ranting itu bertemu keras, telapak tangannya terasa pedas dan pedih. Hal ini membuktikan bahwa tenaga sakti yang tersalur dalam ranting sungguh amat kuat! Biarpun ia mulai ragu apakah ia akan mampu mengalahkan dan membunuh musuh besar ini, Siang Lan tidak menjadi putus asa dan ia mengamuk seperti harimau terluka.

Tiba-tiba Thian-te Mo-ong berseru, “Hwe-thian Mo-li, kalau hanya sebegini kepandaianmu, jangan harap engkau akan dapat mengalahkan aku, ha-ha-ha!” Tiba-tiba orang berkedok itu berseru nyaring. “Haiiittt...!” Tangan kirinya, dengan telapak tangan terbuka didorongkan ke arah Siang Lan. Gadis ini cepat mendorong dengan tangan kiri menyambut pukulan jarak jauh itu.

“Wuuuttt... desss...!!”

Tubuh Siang Lan terpental sekitar dua meter ke belakang, akan tetapi ia dapat berjungkir balik membuat salto sehingga tubuhnya tidak sampai terbanting. Ia terkejut dan semakin marah. Dengan nekat ia menyerang lagi dengan pedangnya.

“Hyaaaahh...!” Pedang itu menyambar ke arah leher Thian-te Mo-ong. Orang berkedok itu menggerakkan rantingnya menyambut.

“Tuk!” Pedang bertemu ranting dan melekat. Ketika Siang Lan mencoba untuk menarik pedangnya, ternyata pedang itu tertahan dan melekat pada ranting dan pada saat itu, kembali Thian-te Mo-ong menyerang dengan dorongan tangan kirinya. Siang Lan terkejut dan menyambut dengan tangan kirinya pula.

“Plakk...!” Tubuh Siang Lan terjengkang dan pedangnya terlepas dari pegangannya. Ia terbanting roboh dan menggulingkan tubuhnya, lalu melompat berdiri lagi. Dadanya terasa sesak dan pedangnya sudah berada di tangan kiri Thian-te Mo-ong. Hampir saja Siang Lan menjerit dan menangis saking marah, kecewa, dan malu. Ia menjadi semakin nekat dan dengan tangan kosong ia menerjang lagi!

“Hemm, belajarlah lagi selama sepuluh tahun, baru engkau akan mampu menandingiku, Hwe-thian Mo-li!” kata orang bertopeng itu dan dia melemparkan pedang Lui-kong-kiam ke atas tanah di depan Siang Lan. Pedang menancap sampai dalam dan dia melompat ke belakang sambil tertawa.

“Ha-ha-ha, setahun lagi aku akan datang menemuimu dan kita boleh bertanding lagi, kalau kau berani!” Kemudian tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ.

Siang Lan yang maklum bahwa ia tidak mampu mengejar karena dalam dadanya masih terasa nyeri, menjatuhkan diri di dekat pedangnya dan ia menangis! Marah, benci, kecewa, malu, dan penasaran mengadu dalam hatinya, membuatnya merasa sedih sekali dan ia menangis mengguguk seperti anak kecil sambil memukul-mukul tanah dengan kedua tangannya.

“Jahanam Thian-te Mo-ong, kubunuh kau... kubunuh kau... kubunuh kau...!” Ia berteriak-teriak dan menangis lagi tersedu-sedu. Ia tidak terluka, hanya benturan tenaga dalam tadi mengguncang isi dadanya karena ia kalah kuat.

Jelaslah bahwa ia kalah karena tenaga sin-kangnya masih jauh dibandingkan lawannya. Tanpa memiliki tenaga sakti yang lebih kuat, tidak mungkin ia dapat menang melawan Thian-te Mo-ong. Akan tetapi sekali ini ia tidak putus asa walaupun ia menyesal dan kecewa sekali. Ia bahkan semakin bersemangat. Ia harus memperdalam ilmunya lagi sampai ia mampu mengalahkan dan membunuh musuh besarnya.

Sementara itu, agak jauh dari situ, Thian-te Mo-ong bersembunyi di balik batang pohon besar dan mengintai ke arah Siang Lan yang menangis tersedu-sedu sambil memukuli tanah. Dia menghela napas berulang-ulang, lalu melepaskan topengnya dan menyembunyikan topeng kayu itu di balik bajunya.

Kini tampak wajah Bu-beng-cu, wajah yang tampak muram dan sedih ketika dia memandang ke arah Siang Lan. Sepasang matanya dikejap-kejapkan dan dua tetes air mata melompat keluar dari pelupuk matanya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya lalu perlahan-lahan berbisik kepada diri sendiri.

“Aku harus membangkitkan semangatnya, harus mengembalikan harga dirinya. Suatu hari ia akan mengalahkan aku dan membunuhku. Tidak ada lain jalan untuk membangkitkan semangatnya dan memulihkan harga dirinya.”

Dia terus mengamati Hwe-thian Mo-li sampai gadis itu menghentikan tangisnya dan pergi dari tempat itu, kembali ke perkampungan Ban-hwa-pang. Setelah Siang Lan pergi, barulah Bu-beng-cu mengganti pakaiannya dengan pakaian yang biasa dipakai oleh Bu-beng-cu. Pakaian yang longgar dengan jubah lebar yang tadi dipakai Thian-te Mo-ong dia gulung dan dia lalu pergi perlahan-lahan meninggalkan tempat itu.

Setibanya di perkampungan Ban-hwa-pang, Siang Lan disambut oleh Li Ai dan para anggauta perkumpulan itu. Melihat wajah Siang Lan yang muram, para anggauta tidak ada yang berani bertanya walaupun pandang mata mereka kepada Siang Lan mengandung keinginan tahu tentang laki-laki bertopeng yang dikejar ketua mereka tadi.

Siang Lan diam saja dan terus memasuki rumah, diikuti oleh Li Ai. Gadis ini juga dapat melihat keadaan maka ia tidak bertanya apa-apa ketika Siang Lan datang. Akan tetapi setelah mereka berdua memasuki kamar, Li Ai bertanya dengan hati tegang.

“Bagaimana, Enci? Berhasilkah engkau mengejar penjahat bertopeng tadi? Engkau tentu telah dapat membunuhnya, bukan?”

Pertanyaan itu dirasakan Siang Lan seperti menusuk hatinya. Ia menahan tangisnya dan menggelengkan kepalanya. “Ia masih terlalu kuat bagiku, Li Ai. Aku harus memperdalam lagi ilmuku sampai akhirnya aku mampu mengalahkannya dan membalas dendam.”

Melihat wajah Hwe-thian Mo-li yang muram dan mendengar bahwa gadis itu gagal membunuh musuh besarnya, Li Ai tidak berani bertanya lagi.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Siang Lan sudah keluar dari perkampungan menuju ke lereng di mana Bu-beng-cu tinggal dalam guha. Ketika ia tiba di situ, ia melihat Bu-beng-cu sudah duduk di depan guha, di atas batu datar, bersila dan kedua matanya terpejam.

“Paman Bu-beng-cu...” Sian Lan menghampiri dan berlutut di depan gurunya itu.

Bu-beng-cu membuka matanya sejenak dia memandang kepada wajah gadis itu. Kemudian, dia berkata suaranya terdengar lembut mesra. “Hwe-thian Mo-li, engkau datang...?”

Mendegar suara laki-laki itu, suara yang menggetar dan penuh keakraban, bahkan terdengar begitu penuh perhatian dan mesra, Hwe-thian Mo-li tiba-tiba tak dapat menahan isaknya. Ia menangis, menutupi muka dengan kedua tangannya. Biarpun ia menahan suara tangisnya, namun ia terisak, kedua pundaknya bergoyang-goyang dan air mata menetes melalui celah-celah jari kedua tangannya.

Bu-beng-cu tentu saja maklum akan penderitaan hati gadis itu. Dia memandang penuh keharuan dan rasanya ingin dia merangkul dan menghibur gadis itu. Akan tetapi ada perasaan lega dan girang bahwa Hwe-thian Mo-li tidak putus asa dan kedatangan gadis itu kepadanya menunjukkan bahwa ia tentu ingin minta bimbingan lebih lanjut dalam ilmu silat.

Dia membiarkan gadis itu menumpahkan perasaannya dalam tangis. Setelah tangis Siang Lan mereda, barulah dia berkata dengan lembut. “Hemm, inikah gadis perkasa yang disebut Hwe-thian Mo-li? Sekarang menjadi seorang gadis cengeng seperti kanak-kanak? Nona, bukan begini sikap seorang gagah. Hapuslah air matamu, hentikan tangismu dan kita bicarakan permasalahan apa yang membuat engkau sampai menangis seperti ini. Tidak ada masalah yang tidak dapat dipecahkan dan diatasi!”

Mendengar ucapan itu, bangkit semangat Siang Lan. Ia mengusap air mata di pipi dengan kedua tangannya, lalu memandang Bu-beng-cu dengan mata agak kemerahan. “Paman Bu-beng-cu, aku datang untuk sekali lagi mohon pertolonganmu.”

Bu-beng-cu mengamati wajah itu dengan tajam, lalu berkata. “Engkau tentu tahu bahwa aku selalu siap untuk membantumu, Nona. Katakan, bantuan apa yang dapat kulakukan untukmu?”

“Paman, kemarin musuh besarku datang memenuhi janjinya. Kami bertanding, aku memang dapat mengimbangi kecepatannya. Akan tetapi akhirnya aku kalah, Paman. Aku masih jauh kalah kuat dalam sin-kang (tenaga sakti) dan juga ketika dia bersenjata sebatang ranting, dia memainkan ranting itu dengan ilmu pedang yang aneh dan aku pun tidak mampu menandingi senjatanya yang hanya ranting pohon itu. Paman, hanya engkaulah yang dapat menolongku. Bimbinglah aku agar ilmu pedang dan tenaga sin-kangku meningkat sehingga kelak aku akan mampu mengalahkannya. Aku malu, Paman, dan rasanya aku hampir putus asa....”

“Hwe-thian Mo-li, tidak ada kata „putus asa‟ bagi seorang gagah! Kalau engkau sungguh-sungguh mau belajar dengan tekun, bukan hal mustahil engkau akan mampu mengalahkan musuh yang bagaimana tangguhpun. Akan tetapi, Nona, benar-benarkah engkau hendak membunuh orang yang satu itu? Mengapa kau mendendam kepadanya? Dendam apakah itu yang membuat engkau ingin membunuhnya?”

Mendapat pertanyaan ini, Hwe-thian Mo-li menundukkan mukanya yang berubah merah. Apa yang harus dikatakannya? Bagaimana mungkin ia menceritakan tentang aib yang dideritanya kepada orang yang ia kagumi dan yang telah menolongku berulang kali ini? Ia takut kalau-kalau Bu-beng-cu akan berubah pandangan terhadap dirinya, akan memandang rendah dan menganggap dirinya kotor.

Bukankah Bong Kin yang tadinya mencinta Li Ai juga berubah pandangan dan menganggap gadis itu tidak pantas menjadi isterinya setelah Li Ai mengaku bahwa ia telah diperkosa orang? Baru sekali ini seumur hidupnya Hwe-thi mo-li merasa takut kalau-kalau dipandang rendah dan kotor oleh seorang laki-laki.

Hal ini adalah karena ia menganggap Bu-beng-cu sebagai gurunya, sebagai pembimbingnya dan sebagai satu-satunya pria yang dikaguminya, terutama sekali sebagai sumber harapannya. Akan tetapi, iapun tidak mau berbohong kepada Bu-beng-cu.

Ia harus jujur dan terbuka, tidak peduli bagaimana nanti penilaian Bu-beng-cu terhadap dirinya! Ia yang mengajarkan Li Ai untuk berterus terang mengaku bahwa ia bukan gadis lagi. Apakah sekarang ia sendiri tidak berani mengakui hal yang sama?

“Paman, Thian-te Mo-ong adalah musuh besarku. Aku mempunyai dendam sakit hati sebesar gunung sedalam lautan kepadanya dan aku harus dapat membalas dendam ini dengan membunuhnya!”

“Hemm, Hwe-thian Mo-li, dendam sakit hati itu hanya akan merusak hatimu sendiri, bagaikan api yang akan membakar perasaanmu. Dosa apakah yang dilakukan Thian-te Mo-ong maka engkau demikian membencinya dan hendak membunuhnya?”

Bu-beng-cu kini menatap tajam wajah Siang Lan. Pandang mata mereka bertemu dan dengan nekat tanpa menundukkan pandang matanya Siang Lan menjawab.

“Dia telah memperkosaku!”

Bu-beng-cu yang mengelakkan pandang mata itu. Dia menunduk. “Hemm, begitukah....?” katanya lirih.

“Paman Bu-beng-cu, setelah Paman mendengar aib yang menimpa diriku, apakah Paman masih mau menolongku? Apakah Paman masih mau mengajarkan ilmu untuk memperkuat tenaga sakti dan memperdalam ilmu pedangku?”

“Kenapa engkau bertanya begitu?”

“Karena... kukira... Paman akan memandang rendah diriku, menganggap aku kotor dan... tidak patut menerima pelajaran dari paman....”

“Ah, mengapa engkau berpikir demikian, Nona? Peristiwa itu terjadi bukan karena engkau sengaja, bukan kesalahanmu, engkau tidak berdaya. Aku sama sekali tidak memandang rendah padamu, Hwe-thian Mo-li. Aku.. aku merasa kasihan padamu dan tentu saja aku mau memberikan seluruh kepandaianku kepadamu kalau hal itu ada artinya bagimu.”

“Ada artinya....? Setelah terjadi peristiwa itu, aku tadinya ingin bunuh diri saja, Paman. Akan tetapi setelah aku mengetahui siapa pemerkosa itu, aku bersumpah untuk membalas dendam dan membunuhnya. Kemudian aku berjumpa denganmu, Paman, dan muncul harapan baru dalam hatiku. Aku tidak ingin mati dulu sebelum dapat membunuh jahanam itu dan agaknya di dunia ini hanya Paman yang akan mampu membantu aku memenuhi sumpahku....”

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.