22. Pengeroyokan Pengikut Pek-lian-kauw
Ketika dia diajak makan malam di ruangan makan, muncul seorang gadis manis yang kulitnya putih mulus, bertubuh tinggi ramping dengan sepasang mata lebar. Wajahnya yang bulat dan manis itu seolah mengandung kesedihan yang tersembunyi.
“Bu-ko, mari kuperkenalkan. Ini adalah adik angkatku, namanya Kui Li Ai. Li Ai, ini adalah Kakak Chang Hong Bu, murid Siauw-lim-pai yang malam ini menjadi tamu kita.”
Li Ai memberi hormat dengan gaya yang lembut dan sopan. “Chang Taihiap (Pendekar Chang),” katanya sopan dan lirih.
“Kui Siocia, saya senang mendapat kehormatan berkenalan denganmu,” kata Hong Bu yang merasa heran karena sikap gadis ini bukan seperti gadis gunung, melainkan penuh tata susila seperti gadis bangsawan!
“Aih, kalian tidak perlu bersungkan-sungkan,” kata Siang Lan. “Bu-ko, Li Ai ini adalah adik angkatku sendiri, sebut saja namanya. Dan Li Ai, tidak perlu menyebut Taihiap (Pendekar Besar) kepada Bu-ko, sebut saja Bu-ko seperti aku.”
“Siauw-moi, (Adik Muda), maafkan kelancanganku, aku hanya menaati usul Lan-moi,” kata Hong Bu.
Setelah mereka bertiga duduk, dua orang wanita anggauta Ban-hwa-pang segera menghidangkan makanan. Mereka makan minum tanpa banyak bicara karena bagaimanapun juga, Hong Bu merasa sungkan juga makan minum bersama dua orang gadis yang demikian cantik. Baru sekarang dia mengalami hal seperti ini dan membuatnya menjadi canggung sekali.
Dia melihat di bawah sinar lampu betapa Kui Li Ai memang cantik manis dan lembut sekali. Akan tetapi tetap saja dia lebih kagum melihat Siang Lan yang lebih matang, juga penuh wibawa dan semangat. Dia merasa betapa dia jatuh cinta kepada Hwe-thian Mo-li!
Selesai makan, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan mengajak Kui Li Ai yang sekarang telah menjadi adik angkatnya dan Chang Hong Bu yang menjadi tamu mereka untuk duduk bercakap-cakap di serambi depan. Bulan purnama tampak menjenguk melalui jendela, menambah semarak cahaya lampu gantung di serambi itu. Mereka bertiga duduk mengelilingi sebuah meja bundar yang besar.
“Ah, aku tadi lupa menceritakan keadaan kalian masing-masing. Sekarang aku teringat bahwa sesungguhnya kalian berdua bukanlah asing sama sekali satu terhadap yang lain karena sama-sama berasal dari kota raja dan sama-sama menjadi keluarga perwira tinggi yang setia dan berjasa terhadap Kerajaan! Bu-ko, ketahuilah bahwa adikku Li Ai ini adalah puteri dari mendiang Kui Ciang-kun (Perwira Kui), seorang perwira yang gagah perkasa dan setia, dan kalau tidak salah, dia dahulu merupakan tangan kanan atau orang kepercayaan dari panglima Chang Ku Cing. Tentu engkau pernah mengenalnya.”
Chang Hong Bu mengingat-ingat dan menggelengkan kepalanya, lalu berkata. “Maaf, aku tidak pernah mendapat kehormatan mengenal Kui Ciang-kun seperti yang kusebutkan tadi, Lan-moi. Ketahuilah bahwa sejak berusia sepuluh tahun aku telah meninggalkan kota raja, oleh Paman aku dikirim ke Siauw-lim-pai untuk mempelajari ilmu selama limabelas tahun. Kemudian baru beberapa minggu aku kembali ke kota raja dan langsung menerima tugas mengunjungimu ini. Akan tetapi aku merasa girang mendengar bahwa Adik Li Ai adalah puteri seorang perwira tinggi di kota raja.”
Diam-diam dia berkata kepada dirinya sendiri bahwa tidak aneh kalau tadi dia melihat sikap gadis itu begitu anggun seperti sikap seorang gadis bangsawan. Kiranya puteri seorang perwira tinggi! Tentu saja dalam hatinya dia merasa heran mengapa puteri seorang perwira tinggi sekarang tinggal di Lembah Selaksa Bunga, menjadi adik angkat Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan. Akan tetapi keheranan ini tidak dia tanyakan karena dia khawatir akan menyinggung perasaan orang.
“Li Ai, ketahuilah bahwa Kakak Chang Hong Bu ini adalah keponakan dari panglima Chang Ku Cing.”
Tiba-tiba muka gadis itu menjadi merah sekali dan hati Hong Bu terkejut bukan main ketika dia memandang, dia melihat betapa sepasang mata indah yang memandangnya itu mengeluarkan kilatan sinar berapi penuh kemarahan dan kebencian! Li Ai bangkit berdiri dan berkata kepada Siang Lan.
“Enci Lan, maaf, aku masuk kamar dulu, kepalaku agak pusing.” Tanpa menanti jawaban dan sama sekali tidak menoleh kepada Hong Bu, Li Ai lalu meninggalkan serambi itu dengan cepat.
Siang Lan menghela napas panjang. Hong Bu merasakan sesuatu yang tidak enak, maka dia segera bertanya. “Lan-moi, mungkin keliru penglihatanku, akan tetapi aku melihat agaknya Adik Li Ai berubah sikap dan menjadi marah ketika mendengar bahwa aku adalah keponakan Paman Panglima Chang. Benarkah dugaanku itu?”
Siang Lan nnenganggu-anggukan kepalanya, dan menghela napas lagi. “Kasihan Adikku itu, aku tidak dapat menyalahkannya kalau ia bersikap seperti itu, walaupun tadinya aku mengira ia sudah mulai melupakannya. Ia agaknya masih menganggap bahwa Panglima Chang yang menyebabkan kematian ayahnya dan agaknya sukar ia untuk dapat melupakan hal itu, maka mendengar bahwa engkau keponakan Panglima Chang, ia merasa tidak enak dan pergi.”
Hong Bu terkejut sekali. “Paman Panglima menjadi penyebab kematian Kui Ciang-kun, ayah Adik Li Ai? Bagaimana ini? Bukankah engkau ceritakan tadi bahwa ayahnya adalah pembantu setia dari paman Panglima?”
“Riwayat Li Ai memang menyedihkan sekali, Bu-ko. Ibu kandungnya telah meninggal dunia dan ia hidup bersama ayahnya, Perwira Kui Seng, dan ibu tirinya yang galak dan tidak suka kepadanya. Kui Ciang-kun yang menjadi pembantu setia Panglima Chang, setahun lebih yang lalu telah berjasa membasmi gerombolan Pek-lian-kauw sehingga tujuh orang tokoh Pek-lian-kauw dapat ditawan. Empat orang di antara mereka telah dihukum mati, akan tetapi yang tiga orang masih ditahan di penjara. Pada suatu hari, Li Ai diculik orang-orang Pek-lian-kauw dan Kui Ciang-kun dipaksa untuk membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu. Kalau dia menolak, Li Ai akan dibunuh.”
“Hemm, jahat orang-orang Pek-lian-kauw itu!” kata Hong Bu gemas.
“Karena sayang kepada puteri tunggalnya, Kui Ciang-kun terpaksa membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu. Hal ini diketahui panglima Chang yang menjadi marah dan menuduh Kui Ciang-kun berkhianat. Dengan malu dan sedih Kui Ciangkun bunuh diri tanpa dapat dicegah lagi.”
“Ahh....!” Hong Bu terkejut sekali.
“Sebelum mati, Kui Ciang-kun minta tolong padaku agar aku suka menolong Li Ai. Aku lalu pergi ke sarang Pek-lian-kauw di Liauw-ning dan di dalam perjalanan aku melihat Li Ai bersama dua orang Pek-lian-kauw. Aku segera menyerang dan dengan bantuan Paman Bu-beng-cu aku berhasil membunuh mereka berdua. Aku ajak Li Ai pulang dan tentu saja ia terkejut dan sedih melihat ayahnya telah meninggal dunia. Ibu tirinya dengan galak menyalahkannya sehingga terpaksa aku menghajarnya. Li Ai lalu minta kepadaku untuk ikut ke sini karena ia tidak mau tinggal dengan ibu tirinya yang galak dan membencinya. Demikianlah, Bu-ko, maka maafkan ia kalau tadi bersikap marah mendengar bahwa engkau keponakan Panglima Chang yang ia anggap penyebab kematian Ayahnya.”
Tentu saja Siang Lan tidak mau menceritakan bahwa Li Ai diperkosa oleh tokoh-tokoh Pek-lian-kauw yang dibunuhnya itu. Rahasia Li Ai takkan ia ceritakan kepada siapapun juga.
Hong Bu mengerutkan alisnya. “Aduh, kasihan sekali Adik Li Ai! Pantas ia tadi memandangku seperti orang marah dan penuh kebencian! Akan tetapi engkau... ah, Lan-moi, engkau sungguh bijaksana dan mulia. Engkau telah menyelamatkan Li Ai dan menampungnya di sini, bahkan menjadikan adik angkatmu. Selain itu engkau tidak ikut marah kepada Paman Panglima Chang, sehingga engkau masih mau membantunya untuk mencari para pembunuh itu. Ah, di dunia ini agaknya tidak akan mudah menemukan seorang gadis seperti engkau, Lan-moi.”
Siang Lan tersenyum. Bagaimana kerasnya hati Siang Lan, ia adalah seorang gadis, seorang wanita. Mendengar pujian dari seorang pemuda yang tampan gagah, seorang pendekar budinnan seperti Hong Bu, jantungnya berdebar, perasaannya senang sekali, dan ia pun menjadi malu sehingga kedua pipinya yang halus mulus itu menjadi kemerahan.
“Ah, Bu-ko, engkau membuat aku malu. Jangan memuji terlalu berlebihan, Bu-ko. Aku hanya seorang gadis kang-ouw, sebatang kara di dunia ini, seorang gadis kasar dan liar!” Ia menghela napas panjang. “Aku bahkan dijuluki Iblis Betina Terbang!”
“Hemm, mungkin yang memberi julukan itu adalah para penjahat yang pernah kau tentang dan kaubasmi, Lan-moi. Aku tidak memujimu secara berlebihan. Engkau seorang gadis yang masih muda, engkau cantik jelita, engkau memiliki ilmu yang tinggi dan lihai sekali, dan di balik sikapmu yang keras itu engkau memiliki hati yang mulia, engkau bijaksana dan aku... aku amat kagum padamu, Lan-moi.”
Ketika mengucapkan kata-kata terakhir ini, suara pemuda itu agak gemetar dan pandang matanya tampak oleh Siang Lan demikian mesra sehingga seketika itu juga gadis itu tahu benar bahwa Chang Hong Bu jatuh cinta padanya! Pujian pemuda itu benar-benar meresap dalam hati sanubari gadis itu, terdengar begitu merdu bagaikan nyanyian dari sorga.
Belum pernah selama hidupnya ia mendengar pujian seorang laki-laki seindah itu. Terdengar amat merdu dan indah karena ia tahu bahwa pujian itu diucapkan seorang pemuda yang baik budi, pujian yang keluar dari hati yang tulus, bukan seperti banyak pujian yang didengarnya dari mulut para pria yang mengucapkannya terdorong nafsu rendahnya.
Pemuda ini mengucapkan pujian yang keluar dari hatinya, bukan sekedar merayu, melainkan muncul dari perasaan hati yang jatuh cinta! Betapa indahnya! Akan tetapi, Siang Lan tak dapat menipu perasaan hatinya sendiri.
Ia memang merasa senang sekali, merasa bangga mendengar pujian itu. Ia tidak dapat menyangkal bahwa ia merasa kagum kepada pemuda yang tampan dan gagah serta baik budi ini, akan tetapi ia tidak merasakan cinta kasih seperti yang pernah ia rasakan terhadap Sim Tek Kun yang kini menjadi suami Ong Lian Hong!
Tentu saja sudah lama ia membuang perasaan ini dari lubuk hatinya dan menggantikan rasa cinta dari seorang wanita terhadap pria itu dengan rasa cinta persahabatan atau lebih dari itu, cinta persaudaraan karena Sim Tek Kun kini telah menjadi suami adik angkatnya, menjadi adik iparnya!
Terhadap pemuda yang duduk di depannya ini, Chang Hong Bu, ia hanya merasa kagum dan suka untuk menjadi sahabat baik, bukan sebagai kekasih atau calon suami. Maka untuk menghilangkan suasana amat romantis yang mendebarkan hati setelah pemuda itu memuji-mujinya, Siang Lan tertawa lepas dengan gembira.
“He-he-he, Bu-ko! Sudahlah aku bisa mabok oleh pujian dan kepalaku menjadi besar sekali nanti! Sekarang, mari kita bicara tentang surat Paman Chang kepadaku. Kukira, tidak perlu aku memberi balasan surat karena yang menjadi utusan adalah engkau, keponakan Panglima Chang sendiri. Besok pagi, kalau engkau pulang ke kota raja, tolong sampaikan jawabanku kepadanya bahwa aku siap untuk membantunya. Setelah aku menyelesaikan urusan Ban-hwa-pang di sini, aku pasti akan pergi ke kota raja, menghadap Paman Panglima Chang dan sekalian mengunjungi adikku Lian Hong.”
Malam itu, Hong Bu tidak dapat tidur, gelisah di dalam kamar yang disediakan untuknya. Akan tetapi sebaliknya, Siang Lan dapat tidur nyenyak. Di atas pembaringan lain di kamar Siang Lan, Li Ai juga tidak dapat pulas. Ia masih merasa penasaran dan sakit hati, teringat akan kematian ayahnya yang disebabkan oleh Panglima Chang Ku Cing yang menuduhnya sebagai pengkhianat.
Biarpun sebelum tidur tadi Siang Lan telah menghiburnya dan mengatakan bahwa Panglima Chang hanya bertindak menurut hukum militer, dan Panglima itu merasa menyesal bahwa Kui Ciang-kun membunuh diri, namun hati Li Ai masih tetap tidak tenang dan ia gelisah di atas pembaringannya.
Pada keesokan harinya, setelah dijamu makan pagi, Hong Bu meninggalkan Ban-hwa-pang, dan Siang Lan lalu menemui Bu-beng-cu di tempat tinggal sementara pria itu untuk berlatih silat seperti biasa. Selain berlatih silat, ia juga memperbincangkan dan merencanakan pembuatan perangkap dan jebakan di Lembah Selaksa Bunga untuk menjaga keselamatan Ban-hwa-pang dari serbuan musuh.
Karena pembuatan jebakan itu harus dirahasia dari orang luar, maka pembangunannya dilakukan sepenuhnya oleh para wanita anggauta Ban-hwa-pang, dipimpin oleh Siang Lan dan Li Ai. Bu-beng-cu sendiri tidak pernah muncul, dan kalaupun dia datang memeriksa, hal itu dilakukan pada malam hari atau sewaktu para anggauta Ban-hwa-pang sudah kembali ke perkampungan. Dia memang tidak ingin banyak terlihat di Lembah Selaksa Bunga.
Li Ai yang cerdik, dapat mengatur pembangunan itu dari gambar yang dibuat oleh Bu-beng-cu. Alat-alatnya dibeli dari kota yang berada di kaki pegunungan Lu-liang-san. Beberapa orang anggauta Ban-hwa-pang sengaja belajar membakar baja, menempa dan membentuknya sesuai dengan yang digambar Bu-beng-cu untuk dipasang dan diatur sebagai perangkap dan jebakan.
Hampir sebulan kemudian, setelah pembangunan taman yang penuh jebakan itu berjalan lancar, Siang Lan lalu menyerahkan pimpinan pekerjaan itu kepada Kui Li Ai dan ia minta kepada Bu-beng-cu agar ikut mengawasinya secara diam-diam. Setelah kesemuanya beres diaturnya, ia pun meninggalkan Lembah Selaksa Bunga dan berangkat turun gunung menuju ke kota raja.
Beberapa hari kemudian, pada suatu hari menjelang tengah hari Siang Lan berjalan seorang diri dalam sebuah hutan lebat. Jalan umum yang memasuki hutan itu kasar berbatu-batu dan di situ amat sepi. Siang Lan berjalan biasa, wajahnya cerah karena ia gembira dan bersemangat membayangkan betapa ia akan bertemu dengan Ong Lian Hong dan Sim Tek Kun.
Ia dapat membayangkan betapa akan gembiranya Lian Hong kalau bertemu dengannya. Ia pun tidak akan merasa canggung bertemu Tek Kun karena bagaimanapun juga, ia belum pernah menyatakan cintanya kepada Tek Kun. Perasaan itu hanya terdapat di lubuk hatinya saja dan kini sudah hilang oleh kesadaran bahwa pemuda itu telah menjadi suami Lian Hong dan betapa kedua orang itu selain saling mengasihi juga bahkan sudah bertunangan sejak dulu.
Karena melangkah dengan pikiran melayang-layang, Siang Lan kurang waspada sehingga ia tidak tahu bahwa sejak tadi, sedikitnya tigapuluh pasang mata mengamatinya. Mengamati dengan kagum karena mata laki-laki mana yang tidak akan kagum melihat gadis yang demikian cantik jelita berjalan seorang diri di dalam hutan lebat itu?
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan ketika itu berusia sekitar duapuluh dua tahun dengan tubuh seorang gadis yang sudah mulai matang, tingginya sedang, ramping dan denok dengan lekuk-lengkung yang sempurna menggairahkan hati pria. Rambutnya yang hitam panjang dan berikal mayang itu digelung ke atas, dihias seekor kupu-kupu dari emas permata.
Di dahi dan pelipisnya bergantungan anak rambut yang halus melingkar menambah kemanisan wajahnya yang jelita. Sepasang matanya yang indah itu jeli, dengan sinar yang terkadang mencorong penuh wibawa. Hidungnya Mancung dan mulutnya memiliki bibir yang bentuknya menggairahkan. Di punggungnya tergantung sebatang pedang, yaitu Liu-kong-kiam (Pedang Kilat).
Tiba-tiba Siang Lan sadar dari lamunannya dan cepat ia berhenti melangkah dan seluruh urat syarafnya menegang penuh kewaspadaan karena ia mendengar suara gerakan banyak orang.
“Siapa di sana? Keluarlah kalian, tidak perlu mengintai seperti pengecut-pengecut!” bentaknya.
Terdengar suara tawa dan dari empat penjuru bermunculan sekitar tigapuluh orang, dipimpin oleh dua orang yang membuat Siang Lan terkejut akan tetapi juga marah sekali. Mereka adalah Hwa Hwa Hoat-su datuk Pek-lian-kauw dan Hoat Hwa Cin-jin tokoh besar cabang Pek-lian-kauw di Liauw-ning, musuh-musuh besarnya yang sebulan lalu menyerbu Lembah Selaksa Bunga dan dapat ia usir bersama Chang Hong Bu, dibantu oleh Bu-beng-cu!
“Huh, kalian jahanam Pek-lian-kauw, setan-setan berjubah pendeta! Manusia-manusia pengecut, setelah kami kalahkan, sekarang hendak mengeroyokku dengan banyak orang! Jangan dikira aku, Hwe-thian Mo-li merasa takut!”
Setelah berkata demikian, dara sakti ini mencabut pedangnya dan tampaklah kilat pedang itu menyilauan mata. Tigapuluh orang anggauta Pek-lian-kauw itu gentar juga melihat ini karena mereka sudah mendengar betapa sakti dan ganasnya Hwe-thian Mo-li!
Akan tetapi kembali Hwa Hwa Hoat-su tertawa dan suara tawanya sekali ini terdengar aneh. Kemudian ternyata bahwa tawa ini merupakan isyarat kepada para anggauta Pek-lian-kauw karena mereka segera bergerak mengepung Siang Lan dan menumpuk kayu bakar lalu membakar tumpukan kayu itu di delapan penjuru!
Tigapuluh orang itu lalu berdoa, merupakan nyanyian yang aneh dan suara mereka bergemuruh, mereka melangkah dan mengitari Siang Lan sambil membawa sebatang obor bernyala. Hwa Hwa Hoat-su berdiri dengan rambutnya yang panjang putih itu terurai. Dia mencabut pedangnya dan menudingkan pedang itu ke atas lalu membaca mantera.
Tigapuluh orang yang kini berlari mengelilingi Siang Lan itu ketika tiba dekat Hwa Hwa Hoat-su, menyentuh ujung pedang dengan obor mereka. Tak lama kemudian ujung pedang itu pun terbakar dan bernyala!
Kemudian datuk Pek-lian-kauw itu melontarkan pedangnya yang bernyala itu ke atas dan pedang itu meluncur dan menyerang ke arah Siang Lan seperti hidup! Bukan itu saja, kini api dari obor-obor itu seolah mengikuti pedang, merupakan bola-bola api yang semua menyerang ke arah gadis itu!
Siang Lan terkejut dan maklum bahwa kakek itu menggunakan ilmu sihir yang agaknya telah dipersiapkan lebih dulu. Ia tidak menjadi gentar. Tubuhnya berkelebatan dan sinar kilat pedangnya bergulung-gulung menangkis serangan pedang terbang, sedangkan tangan kirinya dengan tenaga sakti mendorong ke arah bola-bola api yang menyambar-nyambar ke arah tubuhnya.
Akan tetapi Hoat Hwa Cin-jin kini maju mengeroyoknya dengan sepasang goloknya yang lihai. Agaknya gerakannya juga sudah diatur karena tokoh Pek-lian-kauw dari Liauw-ning ini tidak menggunakan goloknya untuk menyerang, melainkan sepasang goloknya berusaha menahan pedang Siang Lan.
Tentu saja gadis itu kini menjadi repot karena dikeroyok banyak bola api, pedang terbang dan sepasang golok Hoat Hwa Cin-jin. Ia masih dapat menggunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) untuk mengelak ke sana-sini sambil memutar pedang sebagai perisai yang menyelimuti dirinya.
23. Kengerian Seorang Pendekar Wanita
Akan tetapi kini Hwa Hwa Hoat-su juga melompat ke depan dan kebutannya menyambar-nyambar melakukan totokan-totokan yang amat cepat. Betapa pun lihainya Siang Lan yang telah menerima gemblengan Bu-beng-cu, namun menghadapi sekian banyak pengeroyok, ia tidak tahan juga.
Akhirnya ujung kebutan di tangan Hwa Hwa Hoat-su yang dapat menjadi lemas atau kaku dengan kekuatan tenaga saktinya itu dapat menotok jalan darahnya di tengkuk dan tubuh gadis itu terkulai roboh dan pingsan!
Hoat Hwa Cin-jin segera mengambil Lui-kong-kiam berikut sarungnya dan menyelipkan pedang itu di pinggangnya sambil tertawa senang. Kemudian dia memondong tubuh Siang Lan dan hendak membawanya pergi.
“Cin-jin, hati-hatilah. Gadis itu lihai sekali, jangan sampai ia sadar lalu membunuhmu. Lebih cepat ia dibunuh lebih baik agar tidak menjadi penghalang kita di kemudian hari,” kata Hwa Hwa Hoat-su.
“Ha-ha-ha, Hoat-su, jangan khawatir! Aku hanya merasa sayang kalau ia dibunuh begitu saja, terlalu enak buat ia dan tidak enak untukku. Jangan khawatir, besok pagi-pagi ia sudah tinggal nama saja, akan kupenggal lehernya dan kepalanya kita pergunakan untuk upacara sembahyang saudara-saudara kita yang terbunuh oleh Hwe-thian Mo-li ini!”
Setelah berkata demikian, Hoat Hwa Cin-jin membawa lari gadis dalam pondongannya itu, memasuki hutan lebat. Air yang dingin menyiram muka dan kepala Siang Lan, membuat gadis itu siuman dari pingsannya. Ia gelagapan dan menggoyang kepala mengusir air yang menutupi kedua matanya.
Ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya dan ia terkejut bukan main melihat dirinya berada dalam sebuah pondok, rebah telentang di atas tanah bertilam rumput kering dengan kaki dan tangan terpentang dan terikat pada tiang-tiang besi yang kokoh.
Ia berusaha merenggut lepas tali-tali itu, namun tenaganya tidak dapat terkumpul semua. Tahulah ia dengan kaget bahwa dirinya telah ditotok untuk melemahkan tenaganya. Ia hanya mampu menggunakan tenaga otot saja dan tidak mampu mengerahkan sin-kang. Yang membuat ia menjadi pucat adalah ketika ia melihat betapa pakaian luarnya telah ditanggalkan dari tubuhnya dan pakaian itu bertumpuk di sudut ruangan pondok itu.
Jantungnya mulai berdebar tegang dan... takut! Hwe-thian Mo-li tidak pernah gentar menghadapi kematian sekalipun, akan tetapi melihat keadaan dirinya, setengah telanjang dan terikat tak berdaya, membuat ia membayangkan malapetaka yang lebih mengerikan daripada maut!
Ia pernah diperkosa Thian-te Mo-ong. Peristiwa itu saja sudah membuat ia hampir membunuh diri, sudah membuat hancur makna hidup ini baginya. Bagaimana mungkin ia dapat mengalami malapetaka itu untuk kedua kalinya?
“Ha-ha-ha, engkau sudah bangun, Hwe-thian Mo-li?” terdengar suara dari luar dan masuklah Hoat Hwa Cin-jin. Kakek tinggi besar muka hitam ini tampak mengerikan sekali bagi Siang Lan, terutama karena sepasang matanya itu memandang kepadanya penuh nafsu, seolah hendak menelannya bulat-bulat dan mulutnya yang lebar menyeringai penuh ejekan.
“Keparat Hoat Hwa Cin-jin, manusia licik, curang! Kalau engkau memang laki-laki, mari kita bertanding sampai seorang dari kita mampus!”
“He-he-he, sebentar lagi aku akan membuktikan bahwa aku memang laki-laki sejati, Mo-li. Setelah engkau melayani aku bersenang-senang sampai sepuasku dan aku menjadi bosan, barulah engkau akan kubunuh.”
Siang Lan bergidik. Apa yang dikhawatirkannya ternyata benar. Pendeta palsu ini hendak berbuat keji kepadanya, hendak memperkosanya! Ia terbelalak, matanya seperti mata kelinci menghadapi auman harimau yang hendak menerkamnya.
“Bunuh saja aku!” teriaknya.
“Ha-ha-ha, sayang engkau begini cantik, begini mulus dibunuh begitu saja. Engkau harus melayani aku dulu... heh-heh-heh!” Hoat Hwa Cin-jin berjongkok dekat Siang Lan dan kedua tangannya mulai meraba-raba.
“Bunuh aku! Penggal leherku, cincang tubuhku, akan tetapi jangan memperkosaku....! Kumohon, jangan perkosa.... bunuhlah aku sekarang juga...!” Hwe-thian Mo-li menjerit-jerit dan meronta-ronta, memutar kepala ke kanan kiri untuk menghindar ketika muka yang besar hitam menyeramkan itu berusaha menciumnya.
Hoat Hwa Cin-jin membelalakkan mata mendengar jeritan ini dan dia mengangkat mukanya yang tidak berhasil mencium. “Ha-ha! Inikah Si Iblis Betina Terbang? Ini...? Perempuan lemah yang menjerit-jerit ketakutan? Inikah Hwe-thian Mo-li yang biasanya membunuh orang tanpa berkedip mata? Yang membunuhi banyak anggauta perkumpulan kami?”
Dengan napas terengah dan suara gemetar Siang Lan berkata. “Hoat Hwa Cin-jin, bunuhlah aku... kumohon padamu, bunuhlah aku, jangan hina aku dengan perkosaan....”
Dan Siang Lan mencucurkan air mata! Kalau saja ia mampu bergerak, tentu ia akan melawan mati-matian, atau kalau tidak dapat melawan, ia akan dapat membunuh diri. Akan tetapi ia tidak berdaya, kaki tangannya terikat kuat.
Ia lalu teringat. Ah, masih ada satu cara membunuh diri biarpun kini kaki tangannya terikat. Ia dapat menggigit lidahnya sendiri sampai putus dan ini pun dapat mendatangkan kematian! Ia akan membunuh diri dengan menggigit putus lidahnya sebelum dirinya dihina dan diperkosa!
Hoat Hwa Cin-jin pada saat itu sedang dikuasai nafsu binatang yang berkobar-kobar, akan tetapi dia tetap saja tertegun karena herannya melihat wanita yang menggegerkan dunia kang-ouw ini menangis! “Hwe-thian Mo-li menangis? Ha-ha-ha, alangkah baiknya kalau semua orang dapat menyaksikan ini. Ha-ha-ha-ha...!”
“Brakkkkk......!!” Tiba-tiba pondok yang tidak besar itu jebol dan roboh, terlempar seperti diterjang badai!
Hoat Hwa Cin-jin terkejut sekali dan dia cepat melompat untuk menghindarkan dirinya ikut diterjang kekuatan yang dahsyat itu. Bayangan orang yang cepat sekali gerakannya melompat dekat Siang Lan yang masih rebah telentang sehingga ia tidak sampai diterjang kekuatan dahsyat itu. Bayangan itu ternyata adalah Bu-beng-cu.
Akan tetapi sebelum dia dapat melepaskan ikatan kaki tangan Siang Lan, Hoat Hwa Cin-jin yang menjadi marah sekali telah menerjangnya dengan hebat. Saking marahnya karena niatnya membalas dendam kepada Siang Lan yang sudah hampir terlaksana itu gagal, dia tidak ingat lagi bahwa Bu-beng-cu yang pernah dilawannya memiliki ilmu kepandaian tinggi, jauh lebih tangguh daripada Hwe-thian Mo-li sendiri. Kemarahan membuat dia menjadi nekat dan kini dia menyerang dengan sepasang goloknya.
“Manusia jahanam!” Bu-beng-cu membentak dan cepat mengelak dari sambaran sepasang golok tokoh Pek-lian-kauw itu. Bu-beng-cu juga marah sekali dan dia berkelebatan di antara dua gulungan sinar golok itu. Kemudian, dengan penyaluran tenaga sakti yang amat kuat dia membalas.
“Wuuuttt.... desss!!”
Tubuh Hoat Hwa Cin-jin seperti disambar petir dan dia terlempar sampai tiga tombak lebih, jatuh terbanting dan pingsan. Hantaman tenaga yang amat dahsyat itu telah mengguncang isi dadanya sehingga dia terluka dalam yang cukup parah.
Bu-beng-cu tidak peduli lagi kepada lawannya yang sudah roboh dan pingsan. Dia cepat melompat dekat Siang Lan, merenggut ikatan kedua kaki tangan gadis itu lalu membebaskan totokan yang membuat Siang Lan tidak mampu mengerahkan tenaga sin-kangnya.
Sementara itu, ketika Bu-beng-cu melepaskan ikatan kaki tangannya, Siang Lan yang tadinya sudah bercucuran air mata, kini bagaikan air dibendung dan pecah bendungannya. Tadinya, kengerian dan ketakutan membuat ia menangis dan kini, saking lega, gembira yang amat sangat, dia menangis, mengguguk dan segera merangkul leher Bu-beng-cu!
Bu-beng-cu memejamkan kedua matanya. Laki-laki yang merasa amat berdosa kepada Siang Lan ini, yang juga merasakan iba yang mendalam, tanpa disadarinya sendiri, telah jatuh cinta kepada Siang Lan. Dia siap melakukan apa saja, kalau perlu bahkan berkorban nyawa, untuk membahagiakan gadis ini.
Biarpun usianya sudah empatpuluh dua tahun, sejak muda Bu-beng-cu atau Sie Bun Liong ini tekun mempelajari ilmu dan biasa hidup di puncak-puncak gunung yang sunyi. Belum pernah dia bergaul dekat dengan wanita, belum pernah bersentuhan, apalagi berpelukan seperti sekarang ini. Ketika dia menggauli atau memperkosa Siang Lan, hal itu dilakukan dalam keadaan terbius, hampir tidak menyadari apa yang dia lakukan.
Sekarang Siang Lan merangkulnya sambil menangis. Dia dapat merasakan air mata gadis itu menembus bajunya, membasahi kulit dadanya dan terasa seolah menembus kulit dan menyiram hatinya. Dia merasakan kelunakan tubuh Siang Lan yang hangat ketika gadis itu merangkulnya dengan tubuh bergoyang-goyang karena isaknya. Dia dapat mencium keharuman yang khas dari tubuh yang mendekapnya itu.
Kehangatan tubuh yang hanya terbungkus pakaian dalam yang tipis itu menjalar, membuat dia merasakan kehangatan yang mesra. Tanpa disadarinya, kedua lengannya yang kokoh kuat itu merangkul dan dia menekan kepala yang rapat dengan dadanya itu, seolah ingin membenamkan dan memasukkan kepala gadis itu ke dalam dadanya.
Siang Lan merasa demikian lega dan bahagia setelah terbebas dari rasa ngeri dan takut yang hebat. Ia bahkan merasa seolah Bu-beng-cu memberi kehidupan baru padanya karena tadinya ia sudah yakin bahwa ia pasti akan mati. Ia tadinya sudah mengambil keputusan akan menggigit putus lidahnya sendiri sebelum Hoat Hwa Cin-jin dapat memperkosanya.
Kini ia tiba-tiba terbebas dan hidup! Ia teringat betapa besar budi kebaikan yang telah dilakukan Bu-beng-cu kepadanya. Laki-laki itu bukan hanya mencegah ia membunuh diri, juga telah bersusah payah melatih ilmu silat tinggi dengan sungguh-sungguh kepadanya dan entah sudah berapa kali Bu-beng-cu menyelamatkannya dari bahaya maut.
Laki-laki ini selalu muncul apabila ia berada dalam kesulitan dan ancaman bahaya. Kini, ketika ia merangkul dan merasakan betapa dirinya didekap, ia merasakan kehangatan dan merasa dalam keadaan demikian ia seperti terayun dan penuh kedamaian dan ketenangannya. Ah, betapa nikmat dan senangnya!
Dan tiba-tiba ia merasa bahwa Bu-beng-cu adalah satu-satunya pria di dunia ini yang mempedulikannya, bahkan menjaga dan menyayangnya. Menyayangnya! Mencintanya! Baru sekarang ia menyadari hal itu. Bu-beng-cu sungguh mencintanya, cinta seorang pria terhadap wanita, cinta kasih yang demikian murni dan suci karena belum pernah sedikit pun Bu-beng-cu memperlihatkan keinginannya untuk bertindak tidak sopan kepadanya.
Dan ia merasa begitu aman dalam dekapannya. Baru sekarang ia merasakan bahwa biarpun Bu-beng-cu tidak pernah memperlihatkan sikap mencintanya sebagai seorang pria, namun kini sentuhan-sentuhan jari pria itu, dekapannya yang demikian mesra, terasa hangat oleh api cinta yang hanya ia yang dapat merasakannya.
“Paman Bu-beng-cu....” Suaranya seperti merintih namun penuh kemesraan dan kepasrahan menyelingi isak tangisnya.
“....Siang Lan....” Suara ini lirih sekali, menggetar penuh perasaan seperti bisikan yang keluar dari hati laki-laki itu.
Siang Lan tidak merasa heran kalau Bu-beng-cu mengerti namanya karena mungkin laki-laki yang berilmu tinggi itu mendengar ketika Li Ai atau Hong Bu menyebut namanya. Akan tetapi yang membuat ia merasa heran adalah bahwa belum pernah Bu-beng-cu menyebutkan namanya, biasanya ia menyebut Nona atau Hwe-thian Mo-li.
Ia merasa betapa sebutan namanya dengan suara seperti merintih itu seolah menggambarkan dengan jelas cinta kasih yang terkandung di dalamnya. Ia merasa terharu dan juga berbahagia dan pada saat itu ia seolah seperti seekor burung yang terbang berkeliaran tanpa tujuan kini hinggap di atas sebuah ranting yang kokoh dan yang melindunginya dari segala ancaman dan kesengsaraan hidup. Ia merasa amat senang dan ingin tinggal dalam dekapan laki-laki itu untuk selamanya!
“Paman....” la berbisik penuh kemesraan. Ketika ia mendengar suara seperti terisak tertahan, Siang Lan membuka matanya yang basah dan ia melihat betapa Bu-beng-cu menangis! Dia menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja ada isak meluncur keluar dari mulutnya bersama beberapa tetes air mata yang melompat turun ke atas kedua pipinya!
Akan tetapi keheranan dan keharuan hati Siang Lan itu segera terganti rasa kaget. Siang Lan mendorong tubuh Bu-beng-cu sehingga terpental ke belakang dan pada saat itu, sepasang golok yang menyambar. Tadinya sepasang golok itu menyambar ke arah kepala Bu-beng-cu yang agaknya seperti kehilangan kewaspadaannya sehingga kalau saja dia tidak didorong Siang Lan, agaknya dia akan menjadi korban bacokan yang dahsyat itu.
Kiranya Hoat Hwa Cin-jin yang tadinya terpukul pingsan telah siuman. Ketika dia melihat betapa Bu-beng-cu berangkulan dengan Hwe-thian Mo-li dan keduanya menangis, dia melihat kesempatan baik sekali untuk melampiaskan dendam dan kebenciannya. Berindap-indap dia menghampiri mereka dengan sepasang golok siap di tangannya.
Dia merasa gentar terhadap Bu-beng-cu, maka dia menghampiri mereka dari arah belakang Bu-beng-cu. Setelah jaraknya tidak jauh lagi, dia segera meloncat dan mengayun sepasang goloknya membacok kepala Bu-beng-cu!
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Bu-beng-cu itu, kebetulan sekali Siang Lan membuka mata untuk memandang wajah Bu-beng-cu sehingga ia melihat datangnya serangan dan cepat ia mendorong dada Bu-beng-cu sehingga terpental dan terhindar dari serangan maut itu.
Begitu kedua tangan Hoat Hwa Cin-jin yang memegang golok itu menyambar lewat karena bacokannya luput, Siang Lan menggerakkan tangan yang dimiringkan dan “membacok” ke arah pergelangan tangan kiri Hoat Hwa Cin-jin. Tokoh Pek-lian-kauw yang sudah menderita luka dalam itu berteriak dan golok kirinya terlepas. Siang Lan cepat menyambar golok itu dan menyerang dengan dahsyat.
Hoat Hwa Cin-jin mencoba untuk menangkis dengan golok kanannya, akan tetapi tenaganya sudah melemah sehingga goloknya terpental dan sebelum dia mampu menghindarkan diri, golok di tangan Siang Lan sudah menyambar ke arah lehernya. Hoat Hwa Cin-jin tidak sempat mengeluarkan suara lagi. Dia roboh dengan leher hampir putus dan tewas seketika.
Siang Lan melampiaskan kebenciannya dengan membacoki tubuh pendeta palsu itu dengan golok rampasannya! Kepala Hoat Hwa Cin-jin hancur oleh bacokan-bacokan yang gencar itu.
“Nona, hentikanlah!” Bu-beng-cu berseru.
Akan tetapi Siang Lan seperti kesetanan dan membacok terus. Tiba-tiba sepasang lengan merangkul tubuh berikut kedua lengannya dari belakang sehingga ia tidak dapat menggerakkan lagi tangannya yang memegang golok. Ketika melihat bahwa yang mendekapnya dari belakang itu Bu-beng-cu, Siang Lan melepaskan golok itu, membalik dan terkulai pingsan dalam pelukan Bu-beng-cu.
“Siang Lan... ahh, Siang Lan....!” Bu-beng-cu merasa demikian terharu dan rasa kasihnya terhadap Siang Lan membakar seluruh tubuhnya. Tanpa dapat dia pertahankan lagi, dia memondong tubuh Siang Lan lalu menunduk dan menciumi muka gadis itu penuh kasih sayang.
Akan tetapi dia segera menyadari perbuatannya yang sebagian terdorong pula oleh gairahnya sebagai seorang laki-laki, maka cepat dia menghampiri mayat Hoat Hwa Cin-jin, mengambil pedang Lui-kong-kiam milik Siang Lan yang dirampas oleh Hoat Hwa Cin-jin.
Kemudian dia membawa gadis yang pingsan dalam pondongannya itu meninggalkan tempat di mana terdapat mayat Hoat Hwa Cin-jin yang mengerikan itu. Tidak lupa sebelum pergi dia menyambar pakaian luar Siang Lan yang bertumpuk di dalam pondok yang sudah roboh.
Setelah agak jauh dari tempat itu, Siang Lan siuman dan mengeluh. Mendengar ini, Bu-beng-cu berhenti berlari dan menurunkan Siang Lan sehingga terduduk di atas tanah. Ia membuka matanya dan Bu-beng-cu segera menyerahkan pakaian dan pedang Lui-kong-kiam kepadanya.
“Paman....”
“Kenakan dulu pakaianmu, Nona,” kata Bu-beng-cu, suaranya sudah seperti biasa sehingga diam-diam Siang Lan merasa kecewa.
Ia tidak merasakan kemesraan dalam suara laki-laki yang menjadi guru dan penolongnya itu. Akan tetapi ucapan itu pun seketika mengingatkannya bahwa sejak tadi ia hanya mengenakan pakaian dalam yang serba terbuka dan tipis!
Hal ini tentu saja membuat Siang Lan tersipu malu, juga terkejut mengapa ia tadi seolah tidak menyadari keadaan dirinya yang setengah telanjang itu. Dan kalau ia mengingat kembali ketika ia berangkulan dengan Bu-beng-cu... ahh... wajahnya berubah kemerahan dan jantungnya berdebar. Cepat ia mengenakan pakaian dan menggantungkan pedangnya.
“Paman Bu-beng-cu!” ia memanggil dan laki-laki itu segera membalikkan tubuhnya dan menghadapinya. Siang Lan melihat betapa wajah Bu-beng-cu tampak muram dan agak pucat. “Paman, kembali paman telah menyelamatkanku. Bagaimana aku harus membalas budi kebaikan yang berlimpahan itu?” kata Siang Lan terharu.
Bu-beng-cu menghela napas panjang. Dia merasa semakin sedih melihat betapa kini sinar mata gadis itu ketika memandangnya berbeda dari biasanya. Kalau biasanya pandang mata itu mengandung kekaguman dan terima kasih, kini ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang mengandung kemesraan!
Dan inilah yang membuat dia bersedih. Kenyataan bahwa dia jatuh cinta kepada Hwe-thian Mo-li sudah merupakan hal yang mendatangkan kesedihan dalam hatinya walaupun kesedihan itu akan ditanggungnya dengan tabah. Dia akan menganggap hal itu sebagai tambahan penderitaannya dan sudah semestinya untuk memberi hukuman kepadanya atas dosa yang dia lakukan kepada Siang Lan.
Dia rela binasa dan menderita asalkan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan hidup berbahagia. Akan tetapi sekarang, melihat bahwa agaknya gadis itu pun mencintanya, membuat dia semakin berduka. Cinta gadis itu kelak hanya akan menghancurkan kebahagiaan hidup Siang Lan.
Alangkah akan hancur hatinya kalau kelak melihat bahwa jahanam yang dibencinya, yang merupakan musuh besar dan ia telah bersumpah akan membunuhnya, ternyata adalah pria yang dicintanya! Ah, dia tidak ingin melihat Siang Lan kelak menderita karena itu. Tidak, Siang Lan tidak boleh jatuh cinta padanya!
“Hwe-thian Mo-li, tidak perlu berterima kasih. Kalau aku membantumu, hal itu sudah merupakan suatu kewajaran, bukan karena budi kebaikanku. Ketahuilah, bahwa engkau bagiku seperti keponakan sendiri, atau anak sendiri, maka sudah sepatutnya kalau aku membantumu. Sudahlah, hal itu tidak perlu kita bicarakan lagi. Yang penting kita bicarakan adalah kekejamanmu tadi yang telah mencincang mayat Hoat Hwa Cin-jin. Perbuatanmu itu sungguh kejam dan sama sekali tidak berprikemanusiaan!” Suara Bu-beng-cu menjadi keras mengandung teguran.
24. Pelayan Tua Pangeran Bouw
Diam-diam Siang Lan terkejut dan kecewa. Tadinya, ia mengira bahwa laki-laki ini mencintanya, seperti dirasakannya tadi. Akan tetapi ternyata dugaannya keliru. Bu-beng-cu hanya sayang padanya seperti sayang keluarganya.
Diam-diam ia memaki dirinya sendiri. Engkau tak tahu malu! Demikian ia berpikir dan gemas kepada pikirannya sendiri. Bagaimana mungkin ia mengharapkan seorang pendekar yang demikian gagah perkasa, berkepandaian tinggi, berbudi mulia dan penuh wibawa, dapat jatuh cinta kepadanya?
Ia seorang gadis yatim piatu yang namanya dikutuk banyak orang sebagai Iblis Betina walaupun yang mengutuk dan membencinya itu mereka yang disebut golongan sesat. Yang lebih daripada semua itu, ia bukan gadis yang perawan lagi.
Kehormatannya telah ternoda lagi! Ia telah diperkosa orang. Ia telah ternoda dan kotor. Bagaimana mungkin mengharapkan menjadi isteri seorang yang hebat seperti Bu-beng-cu? Tak terasa lagi, wajahnya menjadi pucat dan tak dapat ditahannya, beberapa tetes air mata terjatuh keluar dari pelupuk matanya, mengalir di kedua pipinya yang pucat.
“Hwe-thian Mo-li... Nona... kau menangis? Kenapa?” tanya Bu-beng-cu, khawatir kalau-kalau ucapannya tadi menyinggung dan menyakitkan hati gadis itu.
Siang Lan menghapus air matanya dengan punggung tangan, lalu menggelengkan kepalanya dan memaksa diri tersenyum. “Aih, tidak apa-apa, Paman. Aku hanya merasa sedih tadi teringat betapa engkau begitu baik budi, sedangkan aku... begini... jahat...”
“Siapa bilang begitu? Aku bukan manusia baik, aku juga jahat, bahkan jauh lebih jahat daripada engkau. Hanya aku ingin mengingatkan engkau, cobalah hilangkan semua kebencian dari hatimu. Jangan terlalu membiarkan dendam kebencian bersarang di hatimu karena hal itu akan meracuni dirimu sendiri.”
“Akan tetapi manusia-manusia jahat dan keji seperti iblis macam Hoat Hwa Cin-jin itu, apakah tidak sepatutnya kita benci, Paman?”
“Membenci kejahatan berarti tidak mau melakukan kejahatan itu, Nona. Kita tidak suka melihat orang berbuat kejam, tentu saja kita sendiri harus menjaga agar kita tidak berbuat kejam. Yang kita tentang adalah tindak kejahatannya, bukan manusianya. Mendendam dan membenci seseorang dapat memberi peluang kepada nafsu setan untuk mendorong kita untuk melakukan perbuatan yang kejam.”
“Akan tetapi hati yang disakitkan tidak akan dapat sembuh tanpa pelampiasan dalam bentuk balas dendam, Paman.”
“Kalau melampiaskan dendam dengan cara melakukan kekejaman, lalu apa bedanya antara kita dan orang yang melakukan kekejaman kepada kita, Nona? Kita lalu akan menjadi sama kejamnya yang berarti sama jahatnya dengan orang yang melakukan kejahatan terhadap diri kita.”
Siang Lan menghela napas panjang. Ia merasa seperti kehilangan dan merasa menyesal. Percakapan dengan Bu-beng-cu sekarang menjadi kering, tidak ada lagi bekas-bekas kemesraan yang ia rasakan dan nikmati tadi. Akan tetapi ia harus tahu diri. Bu-beng-cu ini terlalu tinggi untuknya dan memang tidak masuk di akal kalau seorang sepandai dan semulia Bu-beng-cu dapat jatuh cinta kepadanya!
“Paman Bu-beng-cu, aku mengerti akan maksud dari semua nasihatmu, namun aku juga merasa bahwa kiranya tidak mungkin bagiku untuk menghilangkan dendamku kepada orang-orang yang telah berbuat teramat jahat kepadaku seperti apa yang dilakukan Hoat Hwa Cin-jin tadi. Juga aku masih ada dendam yang belum juga dapat kubalas, yaitu dendamku setinggi gunung sedalam lautan kepada si jahanam busuk Thian-te Mo-ong!”
“Sudahlah, Hwe-thian Mo-li, aku tidak menyalahkan engkau membunuh Hoat Hwa Cin-jin karena dia memang amat jahat dan kematiannya merupakan akibat dari kejahatannya sendiri. Yang kusesalkan adalah caramu melampiaskan kebencian dengan mencincang mayatnya. Kuharap lain kali engkau tidak akan melakukan kekejaman seperti itu lagi.”
Siang Lan merasa bahwa ia tadi memang lupa diri saking marahnya kepada Hoat Hwa Cin-jin. Ia menghela napas lagi dan berkata. “Maafkan aku, Paman. Tadi aku memang telah lupa diri dan mata gelap karena marah terhadap tokoh Pek-lian-kauw yang nyaris melakukan kekejian yang lebih mengerikan daripada maut kepadaku. Aku berjanji akan lebih bersabar dan menguasai diri, Paman.
"Akan tetapi bagaimana dengan tugas yang akan kulaksanakan untuk membantu Paman Panglima Chang di kota raja? Aku sedang dalam perjalanan ke sana dan aku kira di sana aku pasti akan berhadapan dengan musuh-musuh negara yang melakukan pembunuhan dan pengacauan itu. Apakah aku juga pantang membunuh mereka?”
“Hwe-thian Mo-li, ketika engkau hendak belajar silat untuk memperdalam kepandaianmu, engkau telah berjanji, bahkan bersumpah untuk tidak membunuh orang. Tentu saja ada kecualinya, yaitu kalau engkau terpaksa melakukannya untuk membela diri. Tugas yang hendak kau lakukan sekarang adalah tugas membela negara. Kalau engkau bertemu dan melawan musuh, berarti engkau bukan melawan musuh pribadi, melainkan musuh negara.
"Tentu saja bunuh-membunuh dalam perang tidak termasuk urusan pribadi, dilakukan untuk berbakti kepada negara dan dilakukan tanpa kebencian pribadi. Betapapun juga, sebaiknya kalau mungkin, robohkan dan tawan musuh negara itu hidup-hidup daripada membunuhnya. Kukira engkau mengerti apa yang kumaksudkan. Sekarang lanjutkanlah perjalananmu dan baik-baiklah menjaga dirimu.”
“Terima kasih, Paman.”
Mereka saling berpisah. Siang Lan melanjutkan perjalanannya menuju kota raja dan kini ia menggunakan ilmu berlari cepat. Bu-beng-cu cepat berlari kembali ke tempat di mana Hoat Hwa Cin-jin tewas. Dia menggali lubang dan menguburkan mayat tokoh Pek-lian-kauw itu baik-baik, lalu memberi tanda di depan gundukan tanah kuburan itu dengan sebuah batu besar yang dia ukir empat huruf berbunyi “HOAT HWA CIN-JIN”.
Setelah terjadi pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi yang menggegerkan kota raja sehingga Kaisar sendiri turun tangan memerintahkan para pembantunya untuk menyelidiki dan menangkap pembunuhnya, kota raja kini tampak aman. Tidak ada lagi kerusuhan, atau pembunuhan.
Pangeran Bouw Ji Kong memang cerdik. Maklum bahwa kalau dia melanjutkan gerakannya melakukan pembersihan dengan membunuh para pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar akan membahayakan dirinya karena kini panglima Chang sudah diserahi tugas oleh Kaisar untuk menyelidiki dan menangkap pembunuh, maka dia menghentikan aksi pembunuhan itu.
Dia bahkan menyuruh para sekutunya yang melakukan pembunuhan itu, Hwa Hwa Hoat-su, Hongbacu, jagoan Mancu, dan Tarmalan jagoan suku Hui, untuk meninggalkan kota raja, dan bersembunyi di markas Jenderal Su Lok Ti yang menjadi komandan pasukan yang bertugas di perbatasan Utara.
Panglima Chang bukan orang yang lengah dan bodoh. Diam-diam dia menaruh curiga kepada Pangeran Bouw Ji Kong yang pernah memberontak itu. Walaupun kini dia menduduki pangkat cukup tinggi sebagai penasihat Kaisar mengenai hubungan dengan suku-suku liar di Barat dan Utara, namun Panglima Chang meraguan kesetiaan pangeran yang berdarah Hui ini.
Kelihatan sekali betapa Pangeran Bouw melindungi para suku yang berhubungan dekat dengannya. Maka, Panglima Chang diam-diam mengirim para penyelidiknya untuk menyelidiki keadaan Pangeran Bouw Ji Kong. Dulu pernah Pangeran Bouw terlibat hubungan dekat dengan pihak Pek-lian-kauw yang sejak dulu menjadi pemberontak.
Akan tetapi kaisar memaafkannya setelah dia berdalih bahwa dia mendekati Pek-lian-kauw agar mereka sadar dan menghentikan pemberontakan mereka. Bahkan Pangeran Bouw pula yang menganjurkan kaisar menerima utusan Pek-lian-kauw, yaitu Leng Kok Ho-siang yang menyatakan kemauan baik Pek-lian-kauw untuk menghentikan pemberontakan itu.
Kaisar masih memaafkan adik tiri yang lahir dari selir yang berbangsa Hui itu, karena anjuran itu dianggapnya sebagai kelengahan dan kebodohan Pangeran Bouw yang dapat dibohongi pihak Pek-lian-kauw. Akan tetapi para penyelidik itu melaporkan bahwa tidak ada yang mencurigakan dalam gedung Pangeran Bouw.
Bahkan para penyelidik melaporkan bahwa Bouw-kongcu, putera tunggal pangeran Bouw adalah seorang pemuda yang baik budi dan ramah kepada semua orang. Mereka melaporkan bahwa tidak tampak ada persekutuan di rumah Pangeran Bouw.
Di sana hanya ada pelayan-pelayan wanita dan pelayan pria yang sudah tua, dan pangeran itu mempunyai pengawal yang terdiri dari pendekar-pendekar terkenal, yaitu Kang-lam Jit-sian (Tujuh Dewa Kang-lam). Tidak ada tanda-tanda bahwa Pangeran Bouw mempunyai keinginan untuk memberontak, juga tidak ada tanda bahwa dia mempunyai hubungan atau terlibat dengan para pembunuh pejabat tinggi itu.
Pada suatu malam yang gelap, sesosok bayangan berkelebat dan melayang ke atas wuwungan rumah gedung Pangeran Bouw. Bayangan ini adalah Chang Hong Bu. Seperti kita ketahui, Chang Hong Bu memenuhi perintah pamannya, Panglima besar Chang Ku Cing untuk menyampaikan permintaan bantuannya kepada Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan dan tugas itu telah dilaksanakan dengan baik.
Setelah dia kembali ke kota raja dan melaporkan hasil pertemuan dengan Nyo Siang Lan, pemuda murid Siauw-lim-pai yang lihai itu mendapat tugas khusus dari pamannya.
“Para penyelidik yang kukirim untuk menyelidiki keadaan Pangeran Bouw tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan,” demikian Panglima Chang memberitahu keponakannya setelah menceritakan tentang Pangeran Bouw.
“Akan tetapi aku tetap curiga kepadanya. Karena itu, coba engkau selidiki sendiri, Hong Bu. Akan tetapi hati-hatilah karena di sana terdapat Kang-lam Jit-sian yang lihai. Sebaiknya engkau mengenakan penutup muka agar kalau ketahuan tidak akan dikenal. Aku mengutusmu karena para penyelidik itu hanya menyelidiki dari luar, tidak ada yang berani masuk.
"Engkau harus dapat menyelidiki dalam gedungnya untuk melihat apakah tidak ada orang luar yang bersembunyi di sana. Sebaiknya malam ini engkau melakukan penyelidikan karena malam ini kebetulan mendung dan gelap.”
Chang Hong Bu malam itu mengenakan pakaian serba hitam dan menutupi mukanya dan kepalanya dengan kain sutera hitam, hanya melubangi bagian kedua matanya. Dengan gerakan ringan dia dapat melompati pagar tembok di belakang yang menembus taman. Sejenak dia mendekam dan bersembunyi di balik pohon-pohon di taman itu.
Setelah merasa yakin bahwa di sana tidak terdapat orang, dia lalu bergerak mendekati gedung dan sekali tubuhnya melompat, dia sudah melayang ke atas wuwungan gedung. Bagaikan seekor kucing dia berjalan di atas genteng dan mengintai ke bawah.
Ketika tiba di atas sebuah ruangan luas di bagian belakang gedung, Hong Bu mendekam dan memperhatikan keadaan ruangan itu. Dia melihat tujuh orang laki-laki duduk mengelilingi sebuah meja besar sambil makan kue kering dan minum arak. Mereka tertawa-tawa dan bersendau-gurau.
Hong Bu memperhatikan mereka. Mereka adalah laki-laki yang berusia sekitar empatpuluh sampai limapuluh tahun, bertubuh tegap, bahkan yang kurus pun tampak kokoh dan melihat betapa mereka itu gagah dan di situ terdapat bermacam-macam senjata, ada tombak, golok, pedang, mudah diketahui bahwa tujuh orang itu tentu golongan ahli silat.
Teringat dia akan keterangan pamannya tentang Kang-lam Jit-sian yang menjadi pengawal Pangeran Bouw dan dia merasa yakin bahwa mereka inilah tujuh Dewa Kang-lam itu. Melihat betapa tujuh orang yang sedang minum-minum itu tidak dapat mengetahui akan kedatangannya, Hong Bu dapat menilai bahwa ilmu kepandaian mereka belumlah terlalu tinggi walaupun kalau tujuh orang itu maju bersama tentu merupakan lawan yang berat juga.
Dia segera melanjutkan penyelidikannya ke sebelah depan dan berhenti di bagian tengah. Di ruangan tengah tidak nampak ada orang, bahkan tidak ada pelayan. Agaknya semua orang sudah berada di kamar masing-masing karena malam itu selain mendung dan di luar gelap, juga hawanya cukup dingin membuat orang lebih suka berada di dalam kamar yang tertutup rapat dan hangat.
Ketika dia hendak melanjutkan penyelidikannya ke bagian lain, tiba-tiba terdengar daun pintu terbuka sehingga Hong Bu tidak jadi bergerak dan mengintai lagi. Dia kini melihat seorang laki-laki tua, usianya hampir tujuhpuluh tahun dan melihat pakaiannya dia tentu seorang pelayan, keluar dari pintu yang terbuka itu. Dia melangkah, berdiri ditengah ruangan itu, menoleh ke kanan kiri seperti orang bingung.
Seorang laki-laki yang gagah dan berpakaian indah muncul dari sebuah pintu lain. Biarpun dia belum mengenal laki-laki itu karena sejak kecil Hong Bu sudah meninggalkan kota raja, dia dapat menduga bahwa tentu inilah yang bernama Pangeran Bouw Ji Kong. Dia melihat betapa pelayan tua itu memberi hormat dengan membungkukkan tubuhnya amat dalam sambil berkata dengan suara merendah.
“Ampunkan hamba, Pangeran, kalau hamba telah mengganggu Paduka dari tidur.”
“Ah, tidak mengapa, Paman A-kui. Aku tadi mendengar bunyi daun pintu dibuka. Apakah ada sesuatu yang membuat engkau keluar dari kamarmu?”
“Tidak ada apa-apa, Pangeran. Harap Paduka suka istirahat kembali. Hamba hanya keluar hendak memeriksa apakah hamba tidak lupa menutupkan semua jendela di ruangan ini.”
Pangeran Bouw mengangguk dan masuk kembali ke dalam kamarnya. Kakek pelayan itu menghampiri semua jendela dan memeriksanya, lalu dia pun masuk kembali melalui pintu yang tadi dibukanya.
Hong Bu tidak merasa perlu untuk menyelidiki bagian itu karena di situ agaknya merupakan kamar-kamar keluarga pangeran dan para pelayan. Dia lalu bergerak lagi melakukan pemeriksaan ke bagian samping dan depan.
Akan tetapi ternyata di samping hanya merupakan tempat tinggal para pembantu rumah tangga. Bahkan di bagian kamar tamu yang berjumlah sepuluh kamar itu semua kosong, berarti pada waktu itu Pangeran Bouw tidak mempunyai tamu yang bermalam di situ.
Selagi Hong Bu hendak meninggalkan wuwungan gedung karena tidak ada lagi yang perlu diselidiki, tiba-tiba terdengar suara bersiut dan sebuah benda hitam sebesar kepalan tangan menyambar ke arah kepalanya! Sambaran benda itu cepat bukan main sehingga untuk mengelak Hong Bu tidak sempat lagi. Maka dia segera menggerakkan tangannya untuk menangkis benda itu dengan tamparan tangan kanannya.
“Plakk!!” Benda itu tertangkis dan terpental jauh, akan tetapi Hong Bu terkejut sekali karena merasa betapa tangannya nyeri, panas dan pedih. Bahkan ketika dia meraba dengan tangan kirinya, ternyata tangannya terluka dan berdarah!
Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan tujuh orang yang tadi minum-minum di ruangan belakang itu berlompatan ke atas genteng. Melihat ini, Hong Bu maklum bahwa keadaannya akan berbahaya, maka cepat sekali dia melayang turun dari atas genteng ke dalam taman yang gelap lalu berlari dan melompati pagar tembok di belakang. Tujuh orang Kang-lam Jit-sian tidak mampu mengejar karena malam itu memang gelap bukan main.
Hong Bu cepat pulang ke gedung Panglima Chang. Begitu memasuki gedung, ternyata pamannya telah menantinya. Bagaimanapun juga, Panglima Chang Ku Cing tetap saja agak gelisah menanti kembalinya keponakannya. Dia yakin akan kelihaian Hong Bu, akan tetapi dia juga maklum bahwa tidak mudah menyelidiki keadaan rumah gedung Pangeran Bouw Ji Kong yang tentu memelihara orang-orang pandai untuk menjaga keselamatannya.
Ketika menyambut Hong Bu dan melihat tangan kanan keponakannya berdarah, dia terkejut. “Apa yang terjadi?” tanyanya khawatir.
Hong Bu duduk di atas kursi dan memeriksa tangannya. Ternyata punggung tangannya terluka, kulitnya terobek. Akan tetapi luka itu tidak beracun dan melihat lukanya, agaknya seperti terkena benda yang tak runcing atau tajam. Mungkin hanya sekepal batu yang disambitkan kepadanya.
Diam-diam Hong Bu terkejut karena orang yang mampu melukai tangannya hanya dengan sambitan sepotong batu sungguh memiliki tenaga sakti yang amat kuat! Dia lalu menceritakan kepada pamannya apa yang telah dia alami ketika melakukan penyelidikan di gedung Pangeran Bouw Ji Kong.
“Saya tidak melihat hal-hal yang mencurigakan, Paman. Yang berada di sana hanya Kang-lam Jit-sian dan para pelayan dan pembantu rumah tangga. Di kamar-kamar tamu juga tidak ada tamunya. Akan tetapi agaknya Kang-lam Jit-sian itu merupakan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.”
Panglima Chang mengerutkan alisnya dan memeriksa luka di tangan keponakannya. “Menurut keterangan yang sudah lama kudapatkan ketika pertama kali pangeran Bouw menerima Kang-lam Jit-sian sebagai pengawalnya, kepandaian mereka itu tidaklah terlalu tinggi. Bagaimana engkau dapat menduga bahwa ilmu mereka amat tinggi? Luka di tanganmu ini juga tidak parah.”
“Begini, Paman. Sebelum tujuh orang itu bermunculan, ada benda kecil hitam menyambar ke arah kepala saya. Saya menangkis sambil mengerahkan tenaga, akan tetapi ternyata sambitan itu amat kuat sehingga benda itu dapat membuat kulit tangan saya pecah terluka. Hal ini membuktikan bahwa benda yang saya kira hanya sepotong batu itu disambitkan oleh orang yang memiliki sin-kang kuat sekali.”
“Hemm, begitukah? Akan tetapi siapa tahu sambitan itu mungkin tidak dilakukan oleh seorang di antara Kang-lam Jit-sian, melainkan oleh orang lain.”
“Saya kira tidak, Paman, karena setelah sambitan itu, yang muncul adalah Kang-lam Jit-sian. Saya lalu meloncat dan melarikan diri.”
Panglima Chang Ku Cing menghela napas panjang. “Kalau memang Pangeran Bouw tidak perlu dicurigai, sebaiknya kita arahkan penyelidikan kepada para pejabat lain yang kesetiaannya terhadap Sribaginda Kaisar boleh diraguan.”
“Paman, apakah Paman tetap menduga bahwa pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan oleh para pejabat yang tidak setia?”
Panglima itu mengangguk. “Kukira begitulah. Biarpun para pembunuh itu jelas memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak mungkin mereka dapat berkeliaran di kota raja tanpa ketahuan. Pasti ada yang membantu mereka, yang memberi tempat persembunyian bagi mereka. Yang dibunuh adalah enam orang pejabat tinggi yang setia, ini saja sudah jelas merupakan bukti bahwa pelakunya menghendaki lemahnya pemerintah di bawah pimpinan Sribaginda Kaisar.
“Dan yang ingin melihat pemerintah menjadi lemah tentu saja para pemberontak seperti Pek-lian-kauw dan lain-lain, juga para pejabat yang tidak setia kepada Sribaginda Kaisar. Biasanya persekongkolan seperti ini tentu ada yang menjadi pemimpinnya, dan bukan tidak mungkin pemimpinnya adalah seorang pejabat pemerintah sendiri yang bermaksud untuk merampas tahta kerajaan.”
“Hemm, ini seperti mencari musuh dalam selimut, Paman. Kalau tidak dapat segera diketahui orangnya dan ditangkap, akan berbahaya sekali!” kata Chang Hong Bu.
“Karena itulah aku tidak memandang remeh urusan ini. Sribaginda telah menugaskan kepadaku untuk menyelidiki dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membongkar rahasia ini. Untuk itu aku mengundang para pendekar dan orang sakti yang dulu pernah membantu pemerintah, antara lain Sim Tek Kun putera Pangeran Sim Liok Ong dan isterinya, Ong Liang hong. Juga Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan.
"Kalau ada para pendekar lain yang dapat membantu, lebih baik lagi. Juga aku sudah mengirim utusan untuk mencari dan mengundang Lo-cianpwe Ouw-yang Sianjin. Ketika engkau bertemu Hwe-thian Mo-li, kapan ia mengatakan akan datang ke kota raja...?”