Lembah Selaksa Bunga Jilid 09

Cerita Silat Mandarin Serial Iblis dan Bidadari seri kedua, Lembah Selaksa Bunga Jilid 09 karya Kho Ping Hoo

25. Pasangan Muda Pangeran Sim

“Saya kira tidak lama lagi ia akan datang, Paman. Ia akan membangun taman di Lembah Selaksa Bunga lebih dulu, kemudian ia akan segera ke sini menghadap Paman.”

“Baiklah, kalau begitu kita tunggu saja. Sekarang sebaiknya engkau obat luka di tanganmu itu dan pergi tidur.”

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S.P

Setelah menerima permintaan bantuan Panglima Chang, Sim Tek Kun dan isterinya, Ong Lian Hong mulai melakukan penyelidikan. Mereka berdua mengunjungi tempat-tempat rawan di kota raja, yaitu di beberapa rumah judi dan rumah pelesir di mana biasanya menjadi tempat para golongan penjahat bersenang-senang.

Bahkan mereka berdua sempat ribut dan berkelahi dengan para penjahat yang belum mengenal mereka sehingga ada yang berani bersikap tidak sopan kepada Lian Hong. Tentu saja para penjahat yang kurang ajar itu kecelik dan menerima hajaran keras dari Lian Hong dan Tek Kun sehingga dalam beberapa hari saja mereka menjadi gempar dan ketakutan.

Akan tetapi para orang kang-ouw yang mengenal suami isteri pendekar itu, tidak berani mencari perkara, bahkan mereka siap membantu dengan keterangan yang diminta oleh suami isteri itu. Namun, para penjahat atau golongan hitam yang berkeliaran di kota raja itu tidak ada yang mengetahui tentang pembunuhan-pembunuhan rahasia itu. Maka, setelah menyelidiki selama hampir dua bulan, Tek Kun dan Lian Hong belum juga mendapat keterangan.

Pada suatu hari, kota raja meriah sekali. Pada hari itu, di semua kota besar di mana terdapat Kwan-im-bio (Kuil Dewi kwan Im) penduduk mengadakan pesta besar untuk memperingati hari ulang tahun kwan Im Po-sat (Dewi kwan Im), yang jatuh pada Lak-gwe Cap-kau (Bulan Enam Tanggal Sembilanbelas).

Sebetulnya pesta meriah hanya diadakan di kuil-kuil, namun karena pada masa itu hampir seluruh rakyat memuja Dewi kwan Im sebagai Dewi Welas Asih, maka seluruh penduduk ikut merayakan. Mereka berbondong-bondong mengunjungi Kwan-im-bio untuk bersembahyang dengan permohonan masing-masing.

Ada yang mohon kesembuhan dari penyakitnya, ada yang mohon tambah rejeki, kenaikan pangkat, kemajuan perusahaannya, bahkan ada yang mohon agar segera mendapatkan jodoh, dan banyak pula suami isteri mohon diberi karunia anak laki-laki!

Yang namanya kepercayaan memang tidak mungkin diperbantahkan atau dipersoalkan karena kepercayaan akan hal-hal yang abstrak tidak dapat diraba ataupun diselidiki melalui akal dan penalaran. Karena inilah maka di dunia muncul banyak macam agama dan kepercayaan dan masing-masing pemeluknya mempercaya semua agama masing-masing dengan sepenuh imannya.

Kalau diperdebatkan maka akan terjadi pertentangan yang dapat mengakibatkan permusuhan. Sayang sekali, yang dipersoalkan adalah perbedaan kepercayaan mengenai upacara-upacaranya dan peraturan-peraturannya.

Padahal, pada hakekatnya, semua agama dan kepercayaan memiliki inti yang tiada bedanya. lntinya adalah pemujaan dan keinginan untuk kembali kepada Sumber Kehidupan yang abadi, yaitu Yang Maha Kuasa, Yang Maha Esa, Yang Maha Pencipta, Maha Kasih dan selanjutnya.

Untuk mencapai tujuan itu, ada agama atau kepercayaan yang mengharapkan pertolongan para perantara, seperti manusia di dunia yang ingin menghadap kaisar, raja, atau kepala pemerintahan, pendeknya orang nomor satu dalam negara, selalu melalui perantara atau para “pembantu” Sang Raja. Dan kesemuanya itu baik-baik saja asalkan mengambil jalan yang satu, yaitu jalan kebenaran, jalan kebajikan dan menjauhi jalan yang sesat dan jahat.

Pada masa itu, banyak para dewa dipuja di Cina sejak ribuan tahun, para dewa yang dianggap dapat membantu mereka menyampaikan permohonan mereka kepada Yang Maha Kuasa. Para dewa yang dianggap memiliki kebajikan sempurna sehingga mau dan suka menolong mereka. Terutama sekali, pada waktu itu, Dewi kwan Im!

Kwan Im Po-sat tidak akan menolak permohonan manusia yang membutuhkan pertolongan. Akan tetapi tetap saja ada syaratnya hakiki, yaitu si pemohon haruslah bersih, dalam arti kata, tidak melakukan perbuatan jahat. Juga semua permohonan harus bersifat bersih, bukan untuk mencelakai orang lain.

Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong yang memperoleh pendidikan sastra, dan masa itu sastra berarti hafal akan isi kitab-kitab agama dan menjadikan mereka orang-orang yang beribadat, tidak terkecuali mereka pun percaya sekali dan memuja Kwan Im Po-sat sebagai penolong yang penuh kasih sayang.

Mereka berdua juga ikut berjubel dengan orang banyak untuk mendapat kesempatan sembahyang lalu mereka menonton pertunjukan yang selalu diadakan di pekarangan depan kuil Kwan-im-hio setiap tahun sekali.

Pertunjukan menginjak bara api, mandi minyak mendidih, tusuk dan potong lidah dan sebagainya yang sesungguhnya merupakan pertunjukan yang amat aneh dan tidak wajar, namun karena hal itu sudah merupakan tradisi dan kebiasaan, maka para penonton tidak merasa heran lagi.

Sejumlah orang melakukan upacara yang amat aneh dan menyeramkan itu. Mereka sama sekali bukan pendeta, bukan orang-orang terpelajar, bahkan mereka itu terdiri dari para petani atau kuli yang tingkat keadaan hidupnya rendah. Mereka bahkan sebagian besar buta huruf dan bodoh. Justeru kebodohan dan kesederhanaan itulah yang membuat mereka dapat memiliki kepercayaan yang tebal, mutlak, dan membuta.

Selain itu, juga mereka harus memiliki apa yang biasa disebut oleh para pendeta sebagai “orang bertulang baik” atau memiliki bakat untuk menjadi Tang-sin. Demikianlah orang-orang yang melakukan upacara itu disebut. Yang berarti kemasukan atau kesurupan dan Sin berarti badan. Tang-sin berarti badan yang kemasukan atau kesurupan roh (in trance).

Di halaman kuil yang luas itu para pengurus perayaan telah menata arang membara sepanjang dua-tiga tombak. Arang itu membara dan panasnya terasa oleh penonton yang berdiri empat-lima tombak dari situ. Lima orang Tang-sin sudah berada dalam keadaan kesurupan setelah mereka bersembahyang, dipimpin seorang pendeta.

Para Tang-sin itu berpakaian sederhana, dan celana mereka pendek sebatas lutut, bertelanjang kaki dan masing-masing memegang sebuah bendera. Kemudian, diiringi pukulan tambur dan canang yang riuh rendah, mereka keluar dari kuil dan berlari menuju halaman di mana terdapat arang membara itu.

Dengan enaknya, mereka berjalan dengan kaki telanjang di atas arang membara itu, bolak-balik beberapa kali lalu kembali ke dalam kuil di mana mereka ramai bicara satu sama lain, dan anehnya, mereka bicara bukan dengan dialek mereka sendiri, melainkan dialek dari suku dari mana para roh yang memasuki mereka itu berasal!

Kemudian ada pula pertunjukan mandi minyak mendidih. Sebuah kuali besar diisi penuh minyak lalu direbus sampai minyaknya mendidih. Para Tang-sin lalu mencelupkan kain ke dalam minyak panas itu dan digunakan untuk menggosok-gosok muka dan badan mereka. Sedikit pun mereka tidak kelihatan kepanasan, malah kelihatan segar seolah-olah mandi air yang dingin!

Para penonton yang tebal kepercayaan mereka sudah siap dengan botol untuk diisi minyak yang dipakai mandi itu, lalu mereka bawa pulang dan dipergunakan sebagai obat! Ada pula pertunjukan atau upacara membagi Hu (Huruf Jimat). Untuk upacara ini dipilih beberapa orang Tang-sin yang biasa melakukan upacara yang aneh dan mengerikan ini.

Dalam keadaan kesurupan mereka menggunakan pisau tajam untuk mengerat lidah mereka yang dijulurkan keluar. Tidak sampai putus, akan tetapi terluka dan darah mengucur dari luka di lidah mereka itu. Darah ini oleh para Tang-sin dipergunakan untuk menulis huruf di atas sehelai kain yang sudah dipersiapkan para penonton yang membutuhkan.

Kain yang ditulis dengan tinta darah inilah yang dinamakan Hu dan biasanya mereka pergunakan untuk penangkal penyakit, penolak bala, dan sebagainya. Kembali semua ini hanya berdasarkan kepercayaan yang tebal kepada dewa yang mereka puja, yang terdapat dalam kuil itu sebagai pendamping atau pengiring Dewi Kwan Im.

Para dewa yang dipuja dan memasuki para Tang-sin itu disebut sebagai hulubalang Dewi Kwan Im dan mereka mempunyai nama julukan masing-masing. Masih ada beberapa macam upacara yang dipertunjukkan lagi, seperti berjalan di atas tangga dari pedang tajam, tidur di atas pedang-pedang tajam, dan berbagai keajaiban lagi.

Semua itu dilakukan oleh para Tang-sin dalam keadaan kesurupan sehingga setelah selesai pertunjukan, mereka sadar kembali dan sama sekali tidak ingat akan apa yang mereka lakukan dalam keadaan kesurupan tadi. Mereka menjadi orang biasa kembali dan seandainya kulit tubuh mereka terkena api sedikit saja pasti akan melepuh!

Selain pertunjukan yang merupakan upacara dan mengandung keajaiban ini, terdapat pula pertunjukan biasa yang sifatnya hanya sebagai hiburan kesenian seperti permainan Barong-sai (Tarian Singa), tarian kilin, atau tarian Naga, juga pertunjukan wayang.

Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong ikut dalam suasana pesta, nonton semua pertunjukan itu. Setelah merasa lelah, mereka lalu pergi ke rumah makan Thai Lok, sebuah rumah makan yang cukup besar di kota raja.

Dalam suasana pesta itu, kota raja menjadi ramai karena banyak sekali tamu berdatangan untuk nonton keramaian pesta ulang tahun di Kwan-im-bio, terutama sekali dari penduduk yang tinggal di kota di mana tidak ada kuil Kwan Im. Rumah makan itu pun penuh dengan tamu yang makan siang.

Suami isteri itu mendapatkan tempat di bagian luar karena di sebelah dalam sudah penuh tamu. Di ruangan bagian luar itu terdapat empat buah meja yang dikelilingi empat bangku. Tiga meja sudah ditempati tamu, tinggal satu yang kosong dan Sim Tek Kun berdua isterinya segera duduk di situ memesan makanan, kepada pelayan yang menghampiri mereka.

Dekat mereka terdapat meja yang dikelilingi tiga orang tamu. Mereka itu agaknya sudah setengah mabok karena mereka tertawa-tawa dengan ribut. Di meja lain sebelah sana juga terdapat empat orang laki-laki yang setengah mabok. Ketika Tek Kun dan Lian Hong duduk di meja mereka, tiga orang laki-laki yang duduk di meja terdekat itu menoleh dan memandang Lian Hong sambil tersenyum-senyum.

Bahkan seorang dari mereka, yang berusia sekitar empatpuluh tahun dengan sebatang pedang tergantung di punggung, pakaiannya mewah dan wajahnya cukup tampan dan gagah, memandang Lian Hong terus-terusan dengan sikap kurang ajar. Diam-diam Tek Kun memperhatikan tiga orang ini. Mereka itu jelas merupakan orang-orang kang-ouw karena ketiganya mempunyai senjata.

Si Tampan itu mempunyai pedang, lalu orang kedua yang usianya sekitar empatpuluh dua tahun, bertubuh sedang, mukanya penuh bopeng (bekas cacar), juga memiliki sebatang pedang tergantung di punggungnya. Orang ketiga berusia sebaya, mukanya seperti muka monyet dan di punggungnya ada sepasang golok. Pakaian mereka serba mewah.

Tek Kun melihat betapa wajah isterinya yang jelita itu menjadi agak kemerahan. Dia mengerti bahwa perasaan isterinya agak tersinggung melihat sikap tiga orang itu yang tadi memandangnya dengan lahap, terutama sekali yang berwajah tampan dan sampai sekarang masih menatapnya sambil cengar-cengir. Pelayan datang mengantarkan kecap dan saus dalam mangkok, mendahului hidangan yang belum siap.

Tek Kun berkedip kepada isterinya sebagai isyarat agar isterinya dapat menahan sabar dan Lian Hong mengangguk, lalu membuang muka, tidak mau berhadapan muka dengan laki-laki yang tersenyum-senyum kurang ajar itu. Akan tetapi agaknya laki-laki itu memang memiliki watak mata keranjang dan sewenang-wenang mengandalkan kepandaian dan kekuatan sendiri dan kawan-kawannya.

Kecantikan Lian Hong yang memang memiliki banyak kelebihan dan mengandung daya tarik luar biasa itu membuat laki-laki yang sudah setengah mabok menjadi tergila-gila dan dia tidak mampu lagi menahan gairah hatinya. Dia lalu bangkit berdiri dan dengan langkah gontai menghampiri meja suami isteri itu.

Setelah dekat, dia berdiri di sisi meja berhadapan dengan Lian Hong sambil menyeringai dan berkata. “Nona yang cantik jelita seperti Dewi, kalau tidak keliru dugaanku, engkau tentu Kwan Im Po-sat sendiri yang menjelma. Mari silakan, kuundang engkau untuk bersama-sama makan di mejaku. Di sana penuh hidangan dan engkau dapat makan semewahnya, daripada hanya menghadapi saus dan kecap seperti ini. Heh-heh-heh!”

Muka Lian Hong sudah merah sekali. Tek Kun menyentuh lengan isterinya untuk mencegahnya turun tangan menghajar orang itu, lalu dia berkata dengan halus. “Sobat, engkau sudah mabok, lebih baik kembalilah ke meja teman-temanmu dan lanjutkan berpesta. Terima kasih atas penawaranmu dan harap jangan mengganggu isteriku.”

“Aih, apa salahnya kalau aku mengajak isterimu? Ia cantik jelita dan penjelmaan Kwan Im Po-sat yang selalu memenuhi permintaan orang. Sekarang aku minta agar ia menemaniku makan minum, tentu ia mau memenuhi permintaanku ini. Bukankah begitu, manis tersayang?” Laki-laki itu mendekatkan mukanya yang menghamburkan bau arak kepada Lian Hong.

“Kwan Im Po-sat hanya memenuhi permintaan orang yang baik dan benar! Jahanam macam engkau ini hanya akan dipenuhi permintaanmu oleh setan dan iblis! Nih, makanlah!” Cepat bagaikan kilat tangan Lian Hong menyambar mangkok berisi saus dan menuangkan isinya dengan gerakan cepat ke arah muka laki-laki itu. Laki-laki itu sama sekali tidak pernah menyangka, maka dia tidak sempat mengelak.

“Prattt...!” Mukanya penuh saus yang merah seperti darah! Yang celaka baginya, saus yang mengandung tomat, merica, cuka dan jahe itu memasuki mata dan hidungnya. Dia gelagapan, lalu mengaduh-aduh, menjatuhkan diri berjongkok dan berusaha membersihkan kedua matanya dengan tangan.

Akan tetapi jari-jari tangannya bahkan menekan saus itu lebih merata dan dalam di matanya. Dia mengeluh dan berkaok-kaok karena kedua matanya terasa panas dan pedih luar biasa. Semua kepandaian silatnya, semua kekuatannya, ternyata tidak ada gunanya sama sekali setelah kedua matanya dimasuki saus itu!

“Keparat...!” Dua orang temannya Si Tampan, yang bermuka bopeng dan bermuka monyet, melompat marah hendak menangkap Lian Hong. Yang seorang mencengkeram ke arah pundak Lian Hong dan Si muka monyet menampar ke arah Tek Kun untuk mencegah orang itu membantu isterinya.

Kini Tek Kun tidak dapat bersabar lagi. Dia menggerakkan tangan menangkis sambil mengerahkan tenaga, sedangkan Lian Hong juga menangkis sambil mendorong.

“Duk....!”

Dua orang itu terpental kebelakang dan menabrak meja mereka sendiri sehingga meja itu roboh dan semua hidangan tumpah dan jatuh ke bawah. Dua orang itu terkejut dan marah sekali. Si muka bopeng mencabut pedangnya dan Si muka monyet mencabut siang-to (sepasang golok). Bahkan empat orang laki-laki lain yang duduk di meja sebelah mereka kini bangkit dan tampak jelas hendak mengeroyok suami isteri itu.

“Keluar!” Tek Kun berseru kepada isterinya sambil menendang meja di depannya. Meja itu melayang dan menghantam enam orang yang hendak mengeroyok itu. Akan tetapi mereka dapat memukul pecah meja itu. Tek Kun dan Lian Hong sudah berlompatan keluar dari rumah makan dan menanti di jalan raya.

Tentu saja para tamu rumah makan itu menjadi panik dan ketakutan. Mereka segera melarikan diri dari samping dan menjauhkan diri. Tujuh orang itu kini juga keluar. Enam di antara mereka sudah memegang senjata, sedangkan yang seorang tadi masih mencoba membersihkan kedua matanya menggunakan kain yang dicelup air. Akan tetapi tetap saja matanya masih sukar dibuka dan dia berjalan seperti orang buta meraba-raba menuju keluar mengikuti enam orang temannya.

Lian Hong melihat suaminya tidak membawa senjata, maka ia lalu melolos pedang tipis yang tadinya ia pakai sebagai sabuk, lalu menyerahkannya kepada suaminya. “Pakai pedangku ini!” kata Lian Hong.

Tek Kun menerimanya karena dia tahu benar bahwa selain pedang tipis itu, isterinya memiliki senjata yang tidak kalah ampuhnya, yaitu sehelai selendang merahnya yang kini telah dilolos pula dan berada di tangan Lian Hong.

Setelah enam orang itu berhadapan dengan mereka, yang tertua, berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh tinggi besar muka berewok yang memegang sebatang tombak kepala naga, bersikap gagah dan galak lalu berseru kepada suami isteri itu.

“Kalian berani memukul rekan kami! Kami adalah petugas-petugas negara. Menyerahlah kalian untuk kami tangkap!”

Tek Kun tersenyum. “Kalianlah yang membuat kekacauan dan kalian yang sepatutnya ditangkap dan dihukum!”

“Kalian bosan hidup!” bentak Si pemegang Tombak dan bersama seorang temannya yang bersenjatakan sebatang golok besar, dia menerjang ke depan.

“Tar-tarrrr...!!” Sinar merah melecut dan meledak-ledak diatas kepala dua orang itu, membuat mereka terkejut dan cepat melompat ke belakang. Enam orang itu segera mengepung suami isteri yang sudah siap siaga dan Lian Hong berkata kepada suaminya.

“Hemm, mari kita hajar manusia-manusia tak tahu diri ini!”

Sebelum kedua pihak saling serang, terdengar suara nyaring membentak. “Tahan...!”

Seorang yang bertubuh tinggi dan gemuk, berwajah angker dan mengenakan pakaian pembesar muncul. Melihat Pangeran Bouw Ji Kong, tujuh orang itu tampak jerih dan mereka segera mundur dan berdiri bergerombol walaupun wajah mereka masih muram dan mata mereka melotot ke arah Tek Kun dan Lian Hong. Melihat bahwa yang hendak dikeroyok itu adalah Sim Tek Kun dan isterinya, Pangeran Bouw Ji Kong segera menghampiri.

“Aih, ternyata Sim Tek Kun dan isterinya yang akan dikeroyok! Kesalahpahaman apakah ini? Ketahuilah kalian berdua bahwa mereka ini adalah Kang-lam Jit-sian, para pengawal pribadiku.”

Sim Tek Kun memberi hormat, akan tetapi Lian Hong berkata kepada pangeran itu. “Paman Pangeran Bouw Ji Kong, mengapa Paman memelihara Kang-lam Jit-kauw (Tujuh Anjing Kang-lam) yang menjemukan ini?” Ia sengaja mengganti julukan Jit-sian (Tujuh Dewa) menjadi Jit-kauw (Tujuh Anjing).

Mendengar ucapan isterinya yang penuh ejekan ini, Sim Tek Kun segera berkata dengan nada menghormat, “Paman Pangeran, mereka agaknya telah mabok dan seorang di antara mereka mengeluarkan ucapan yang kurang ajar terhadap isteri saya yang lalu menghajarnya. Akan tetapi yang lain maju dan mereka hendak mengeroyok kami.”

Pangeran Bouw Ji Kong adalah seorang cerdik. Biarpun hatinya merasa panas melihat tujuh orang jagoannya dihina bahkan Gu Mo Ek, yang termuda di antara Kang-lam Jit-sian masih “menangis” karena kedua matanya pedih dan sukar dibuka.

Namun dia maklum bahwa tidak menguntungkan baginya untuk membela para jagoannya dan menyalahkan Sim Tek Kun, putera dari pangeran Sim Liok Ong yang masih keponakannya sendiri. Dia menoleh kepada tujuh orang pembantunya itu dan berkata dengan marah.

26. Jebakan Lembah Ban-hwa-kok

“Kalian bertujuh memang bodoh dan bandel! Sudah kularang untuk mabok-mabokan di luar akan tetapi masih nekat dan dalam keadaan mabok membuat onar di luar. Kalian tahu siapa yang kalian hadapi ini? Dia adalah Kongcu (Tuan Muda) Sim Tek Kun putera Pangeran Sim Liok Ong, dan isterinya. Mereka berdua adalah pendekar-pendekar yang amat lihai! Kalian membikin malu saja! Hayo cepat kembali ke tempat kalian!”

Tujuh orang itu segera pergi seperti segerombolan anjing yang ketakutan. Gu Mo Ek yang masih memejamkan kedua matanya, dituntun oleh saudara-saudaranya. Pangeran Bouw Ji Kong lalu menghadapi suami isteri itu. Dia menggelengkan kepalanya dan menghela napas panjang.

“Nanda Sim Tek Kun berdua, maafkanlah para pengawalku tadi. Mereka itu orang-orang kasar dan sedang mabok. Aku akan membuat teguran keras pada mereka.”

“Tidak mengapa, Paman Pangeran. Untung isteri saya yang digoda, kalau wanita lain tentu akan ada wanita terhina. Maafkan kami.” Tek Kun lalu mengajak isterinya keluar dari rumah makan itu.

Pangeran Bouw Ji Kong berkata kepada pengurus rumah makan. “Hitung berapa jumlah semua kerugian kalian, akan kubayar semua!”

Peristiwa itu tidak berekor panjang, namun setidaknya mendatangkan perasaan saling tidak suka kepada kedua pihak. Tek Kun dan Lian Hong semakin menaruh perhatian kepada Pangeran Bouw Ji Kong. Pangeran itu memelihara orang-orang golongan sesat dan hal ini saja sudah patut menimbulkan kecurigaan.


Tosu yang bertubuh tinggi kurus dan berpakaian serba kuning itu menghela napas panjang. Dia duduk bersila di atas batu dan memandang kepada pemuda berpakaian sastrawan yang tampan lembut yang duduk berlutut di depannya. Pemuda itu tampak berduka, bahkan ada dua tetes air mata di atas kedua pipinya. Dia menangis tanpa suara! Tosu itu adalah Ouw-yang Sianjin dan pemuda itu adalah Bouw Cu An.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Bouw Cu An putera Pangeran Bouw Ji Kong yang tidak setuju dengan niat ayahnya yang hendak memberontak dan telah bersekutu dengan utusan Mancu, utusan Suku Hui, dan Pek-lian-kauw, melarikan diri meninggalkan gedung ayahnya.

Diam-diam dia diikuti dan dihadang oleh Hongbacu, tokoh Mancu itu yang hendak membunuhnya. Akan tetapi dia kebetulan bertemu dan ditolong Ouw-yang Sianjin, kemudian menjadi muridnya. Kepada Ouw-yang Sian-jin, Cu An menceritakan keadaan ayahnya yang hendak memberontak.

Pagi hari itu, Ouw-yang Sianjin menceritakan kepada muridnya bahwa kemarin ketika dia turun dari puncak bukit, dia bertemu dengan utusan Panglima besar Chang Ku Cing yang minta kepadanya untuk membantu panglima itu mencari para pembunuh yang mengacaukan kota raja. Tosu itu memberitahu bahwa kini Cu An sudah cukup belajar ilmu dan sudah memiliki bekal yang cukup kuat.

Mereka harus saling berpisah karena dia hendak memenuhi panggilan Jenderal Chang. Mendengar ini, Cu An menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya dan menahan tangisnya sehingga kedua pipinya basah air mata namun tangisnya tidak bersuara.

“Cu An, engkau yang memiliki semangat besar dan tahan menderita sehingga aku suka menerimamu menjadi murid, mengapa sekarang mengeluarkan air mata seperti seorang wanita cengeng? Ada waktunya bertemu dan berkumpul, ada pula waktunya berpisah, mengapa harus disesali perpisahan yang sudah semestinya terjadi?”

“Suhu, teecu sama sekali tidak sedih atau menyesali perpisahan ini, teecu tidak peduli akan penderitaan teecu sendiri, akan tetapi teecu berduka akan nasib yang mengancam Ayah teecu....”

“Apa maksudmu, Cu An?”

“Teecu sudah menceritakan kepada Suhu tentang rencana pemberontakan Ayah. Teecu hampir yakin bahwa kekacauan di kota raja itu pasti ada hubungannya dengan rencana Ayah. Sekarang Suhu hendak ke kota raja membantu Jenderal Chang menangkap pembunuh. Bagaimana teecu tidak akan merasa sedih melihat nasib buruk yang mengancam orang tua teecu, sedangkan teecu sama sekali tidak berdaya untuk menolongnya? Teecu memang tidak setuju dengan perbuatan Ayah, akan tetapi bagaimanapun juga dia adalah orang tua teecu!”

Ouw-yang Sianjin mengangguk-angguk. “Hemm, lalu sekarang apa yang akan kau lakukan?”

“Teecu tidak mungkin membantu Ayah melakukan pemberontakan, akan tetapi teecu juga tidak mungkin menentang orang tua sendiri. Teecu sedih dan bingung, Suhu, mohon petunjuk Suhu apa yang harus teecu lakukan dalam keadaan seperti ini.”

“Pinto (Aku) bangga mendapat kenyataan bahwa engkau seorang anak yang berbakti kepada orang tua akan tetapi juga engkau menentang perbuatan yang sesat. Memang engkau berada dalam keadaan yang sulit dan membingungkan, Cu An. Sekarang begini saja. Pinto akan membantumu menyadarkan Pangeran Bouw Ji Kong.

"Kalau ternyata benar bahwa dia terlibat dalam pembunuhan-pembunuhan itu, pinto akan menyadarkan kesalahannya dengan menceritakan bahwa engkau pernah hampir dibunuh oleh Hongbacu utusan dari Mancu itu. Dan engkau sendiri, pinto beri tugas untuk menemui Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan.

"Ia adalah keponakan muridku. Sampaikan pesanku kepadanya agar ia suka pergi ke kota raja membantu pemerintah seperti yang pernah ia lakukan. Pinto juga akan menghubungi murid pinto Ong Lian Hong dan suaminya di kota raja agar membantu.”

Cu An mengenal siapa Ong Lian Hong dan suaminya, Sim Tek Kun yang masih merupakan saudara misannya. Akan tetapi dia tidak mengenal Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan yang harus dia jumpai. “Suhu, di mana teecu dapat menemukan Hwee-thian Mo-li Nyo Siang Lan itu?”

“Pinto pernah mendengar bahwa ia kini telah menjadi ketua dari Ban-hwa-pang yang berada di puncak Bukit Selaksa Bunga (Ban-hwa-san) yang merupakan satu di antara bukit-bukit di pegunungan Lu-liang-san. Kaupergilah ke sana. Kalau ia mengetahui bahwa engkau muridku, ia pasti akan mendengarkan semua pesanku darimu.”

Demikianlah, guru dan murid itu berpisah dan mengambil jalan masing-masing. Ouw-yang Sianjin pergi ke kota raja dan Bouw Cu An pergi ke Lu-liang-san. Hati pemuda ini sudah agak lega karena gurunya berjanji untuk membujuk dan menyadarkan ayahnya agar tidak melanjutkan keinginannya untuk memberontak.

Sebetulnya, perintah Ouw-yang Sianjin agar muridnya ini pergi menemui Hwe-thian Mo-li di Lembah Selaksa Bunga hanya untuk menghibur hati pemuda itu dan untuk mencegah agar pemuda itu tidak kembali ke kota raja. Dia tahu betapa bingung hati Cu An kalau di kota raja dia melihat ayahnya masih melakukan usaha pemberontakan yang sama sekali tidak disetujuinya itu.

Setelah mendapat gemblengan dari Ouw-yang Sianjin, kini Bouw Cu An telah memiliki ilmu silat yang lumayan tinggi. Dia telah dapat menghimpun tenaga sakti yang cukup kuat sehingga dia mampu melakukan perjalanan yang cepat menuju ke Pegunungan Lu-liang-san. Sekarang dia hanya mengenakan pakaian biasa, seperti pakaian pemuda dusun.

Tak seorang pun akan menyangka bahwa dia putera seorang pangeran yang memiliki kedudukan tinggi di kota raja. Kulitnya pun tidak terlalu putih seperti dulu karena selama berguru dan tinggal bersama Ouw-yang Sianjin, pemuda bangsawan ini mengerjakan pencangkulan dan penanaman di kebun mereka sehingga dia sering mandi sinar matahari yang membuat kulitnya menjadi agak gelap.

Karena penampilannya yang biasa dan sederhana ini maka perjalanannya lancar dan tidak mendapatkan gangguan. Mereka yang biasa menghadang orang lewat dan melakukan perampokan juga tidak ada niat untuk merampok pemuda dusun yang kelihatan sederhana dan miskin ini!

Pada suatu siang Bouw Cu An tiba di kaki pegunungan Lu-liang-san. Dari para penduduk dusun di sekitarnya, dia mendapatkan petunjuk di mana adanya bukit Selaksa Bunga. Dia lalu menuju bukit itu dan mulai pendakian. Sementara itu, matahari mulai condong ke barat dan ketika akhirnya dia tiba di lereng yang menjadi perbatasan Lembah Selaksa Bunga, cuaca mulai remang-remang.

Akan tetapi Cu An masih dapat menikmati keindahan lembah itu. Dalam cuaca remang itu dia masih dapat menyaksikan ribuan bunga beraneka bentuk dan warna memenuhi seluruh lereng dari tempat itu sampai ke puncak. Keharuman yang semerbak dan aneh karena merupakan campuran ribuan bunga itu terbawa angin dan terasa nyaman dan segar.

Cu An mulai agak ragu. Kalau dia mendaki terus, tentu dia akan sampai di puncak setelah malam tiba. Sopankah berkunjung di waktu malam? Akan tetapi kalau dia berhenti di situ melewatkan malam, sungguh tidak menyenangkan karena di lereng itu dia tidak melihat adanya pohon di bawah mana dia dapat berlindung.

Kemudian dia melihat sebuah pondok seperti gubuk kecil yang dicat merah indah di lereng sebelah atas. Sebaiknya aku melewatkan malam di gubuk itu, pikirnya. Hanya naik mendaki dua lereng saja. Mulailah dia melangkah dan mendaki naik.

Ketika dia mulai memasuki daerah lembah dengan bunga-bunga di kanan kiri, dia melalui jalan setapak yang diatur rapi, dengan batu-batu yang ditata sambung-menyambung sehingga mudah dilalui dan tidak perlu mencari-cari jalan karena agaknya memang jalan itu sengaja dipasang untuk memudahkan orang naik ke puncak.

Dia melangkah dengan senang, seolah seperti sedang berjalan-jalan dalam sebuah taman yang indah. Akan tetapi tiba-tiba kakinya melanggar semacam tali melintang di jalan setapak itu. Tali itu tidak tampak karena warnanya gelap dan tiba-tiba dari kanan kiri meluncur sebatang anak panah menyerang ke arah kedua kakinya!

Cu An terkejut akan tetapi tidak percuma dia mendapat gemblengan dari Ouw-yang Sianjin. Dia sudah memiliki kepekaan, kewaspadaan dan keringanan tubuh sehingga menghadapi serangan mendadak ke arah kakinya itu, dia dapat mendengar berdesirnya dua batang anak panah dari kanan kiri itu.

Cepat dia melompat tinggi ke depan sehingga terhindar dari sambaran dua batang anak panah itu. Dia membuat pok-sai (salto) dua kali di udara dan turun agak jauh dari tempat jebakan tadi. Akan tetapi ketika kedua kakinya hinggap di atas jalan setapak itu, batu yang diinjaknya terbuka dan dia terjeblos ke dalam sebuah lubang!

Akan tetapi sekali ini Cu An sudah lebih waspada setelah tadi dia mendapat serangan anak panah. Tubuhnya memang sudah terlanjur terjeblos, akan tetapi kedua tangannya dapat menekan tanah di kiri kanan lubang dan dengan mengerahkan tenaganya dia dapat mengenjot dengan kedua tangan itu sehingga tubuhnya meloncat ke atas dan dapat hinggap di atas tanah.

Diam-diam Bouw Cu An terkejut juga. Tak disangkanya tempat seindah itu mengandung perangkap dan jebakan yang berbahaya! Dia harus berhati-hati dan semakin tetap keputusannya untuk berhenti di pondok kecil itu dan melewatkan malam di situ.

Besok pagi baru dia akan melanjutkan perjalanannya. Pondok itu tidak begitu jauh dan dia mulai melangkah satu-satu dan hati-hati sekali menuju pondok. Hatinya lega karena ternyata tidak ada lagi rintangan dan dia dapat tiba di pondok itu dengan selamat. Pondok itu kecil akan tetapi bersih, merupakan beranda tanpa dinding. Atapnya tinggi dan lantainya dari papan.

Beranda itu dicat merah dan di situ terdapat sebuah dipan dengan kasur bantal bertilam sutera kuning bersulamkan bunga-bunga merah. Dipan itu seperti menantang Cu An yang sudah kelelahan. Sungguh merupakan tempat yang nyaman sekali untuk duduk atau tidur. Letaknya di tengah ruangan beranda itu.

Dengan girang Cu An lalu memasuki beranda melalui undak-undakan (tangga), lalu melangkah menuju dipan yang menantang itu. Pondok yang bersih, dengan hiasan gambar-gambar indah di dinding, dipan yang menantang, seolah menarik Cu An dan pemuda itu lalu menjatuhkan dirinya duduk di atas dipan.

Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terangkat dan dia sudah tergantung dengan kedua kaki di atas. Kiranya ketika dia duduk tadi, sehelai tali lasso telah terpasang di atas lantai dengan warna yang sama dengan lantainya sehingga tidak tampak. Kebetulan sekali kedua kaki Cu An berada di tengah lingkaran.

Dan begitu dia duduk, lingkaran itu bergerak, mengikat kedua kakinya dan terangkat ke atas dengan kecepatan luar biasa sehingga Bouw Cu An tidak sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu tubuhnya sudah tergantung di tengah-tengah ruangan itu. Atap itu tinggi dan kini kedua kakinya berada dekat langit-langit dan kepalanya tergantung di bawah.

Pada saat itu juga, tali itu ujungnya sudah membelit-belit tubuhnya sehingga bukan hanya kedua kakinya yang terikat, akan tetapi juga kedua lengannya yang terbelit-belit tali pada tubuhnya. Dia tidak mampu menggerakkan kedua lengannya dan ketika dia berusaha untuk meronta, melepaskan kedua lengan dan kakinya, ternyata tali itu kuat dan lentur sehingga sia-sia saja dia meronta.

Dia tergantung seperti seekor kelelawar dengan kepala di bawah! Setelah segala usahanya untuk melepaskan diri gagal dan merasa sama sekali tidak berdaya, Cu An tidak merasa malu-malu lagi untuk berteriak-teriak!

“Heiii. Aku bukan orang jahat, melainkan tamu yang berkunjung di Lembah Selaksa Bunga! Kalau aku dianggap bersalah, maafkanlah aku, akan tetapi harap lepaskan aku lebih dulu. Tolong... tolong... toloooooonnnggg...!!”

Akan tetapi betapa kuat pun dia berteriak-teriak, tak seorang pun tampak datang dan dia tetap saja tergantung-gantung di tengah ruangan itu. Akhirnya dia mengerti bahwa, entah ada yang mendengar ataukah tidak, tidak akan ada orang menolongnya malam itu dan Cu An tidak mau berteriak-teriak lagi. Dia menenangkan hatinya dan dia malah melakukan siu-lian (samadhi) dalam keadaan jungkir balik.

Keadaan seperti ini memang bukan asing baginya. Oleh gurunya, Ouw-yang Sianjin, dia pernah dilatih melakukan samadhi dengan cara tubuh tergantung jungkir balik seperti ini. Maka dia kini juga melakukan samadhi jungkir balik, walaupun sekali ini dia melakukannya dalam keadaan terpaksa! Setelah dia tergantung jungkir balik dalam keadaan samadhi, dia tidak menderita lagi, bahkan dapat beristirahat. Malam itu lewat tanpa terjadi sesuatu.

Pada keesokan harinya, Cu An yang berada dalam keadaan samadhi seperti orang tidur nyenyak, terbangun oleh suara burung-burung berkicau di sekeliling pondok. Dalam keadaan jungkir balik itu dia membuka matanya dan melihat keindahan luar biasa di luar pondok.

Sinar matahari muda yang hangat dan masih lemah keemasan menghidupkan segala sesuatu di sekitar situ. Bunga-bunga bermekaran, dan kupu-kupu beraneka warna dan macam beterbangan di atas bunga-bunga. Mereka itu seperti menari-nari dengan riang gembira, hinggap dari satu kembang ke lain kembang, bermandikan cahaya matahari pagi dan memilih madu di antara bunga-bunga.

Betapa bahagianya kupu-kupu itu, begitu indah menciptakan pemandangan yang luar biasa, indah tanpa suara. Pencipta keindahan suara adalah burung-burung yang sukar ditangkap pandang mata karena mereka lebih suka bersembunyi di pohon-pohon, akan tetapi kicauan mereka merupakan musik yang merdu, sambung-menyambung dan mengandung kegembiraan yang membuat suasana menjadi riang gembira.

Bouw Cu An, dalam keadaan tergantung jungkir balik, merasa betapa seluruh dirinya seolah berada dalam kebahagiaan yang luar biasa, bukan kesenangan akan sesuatu, melainkan perasaan kebahagiaan yang menyeluruh, terasa oleh semua inderanya! Semua inderanya merasakan berkat yang berlimpahan.

Melalui matanya dia dapat menikmati pemandangan indah, kecerahan sinar matahari keemasan bunga-bunga beraneka warna dan bentuk, mekar berseri dengan kupu-kupu beterbangan di atasnya. Melalui hidungnya dia dapat menikmati keharuman bunga-bunga, daun-daun, rumput dan tanah yang sedap menyegarkan, menggugah semangat dan gairah hidup.

Melalui telinganya dia dapat menikmati suara musik kicau burung-burung di antara desau angin mempermainkan daun-daunan menyeling gemercik air terjun yang berada tidak jauh dari pondok. Suara merdu dan indah itu membuat sukma terasa melayang-layang! Dan semua itu seolah dihidangkan kepadanya dengan cuma-cuma dan lengkap. Perasaan hati pemuda itu berbahagia dan bersyukur sehingga dia memuji kebesaran Tuhan Yang Maha Kasih.

Suara wanita membuat dia sadar dari lamunannya dan menyeretnya kembali ke alam kenyataan. Betapa pahitnya kenyataannya! Dia masih tergantung seperti seekor kelelawar, ah bukan, keadaannya mengingatkan dia akan ikan-ikan besar yang setelah digarami oleh para nelayan lalu diikat ekornya dan digantung dengan kepala di bawah agar menjadi ikan asin!

Sialan! Dia tidak berteriak lagi karena empat orang wanita yang berjalan di luar itu kini menghampiri pondok. Mereka mengenakan pakaian berpotongan sederhana namun berkembang-kembang sehingga seperti pot bunga berjalan. Usia mereka antara duapuluh lima dan tigapuluh tahun dan wajah mereka lumayan cantik. Akan tetapi sikap mereka gagah, atau galak?

Benar saja dugaan dan harapannya. Empat orang wanita itu memasuki pondok dan kini mereka berada di bawah mengelilingi Cu An sambil menengadah mengamati pemuda yang tergantung dengan kepala di bawah itu seperti orang-orang mengamati seekor binatang aneh yang tertangkap jebakan yang memang banyak dipasang di daerah kekuasaan Lembah Selaksa Bunga yang kini diketuai Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan.

Tentu saja sejak pemuda itu mendaki Ban-hwa-kok, para anggauta Ban-hwa-pang sebanyak kurang lebih limapuluh orang wanita telah mengetahui dan diam-diam mengikuti gerak-geriknya. Para anggauta Ban-hwa-pang itu tentu saja kagum melihat betapa pemuda tampan itu dapat menghindarkan diri dari jebakan anak panah dan lubang.

Agaknya pemuda itu sudah lelah sekali maka dengan mudah dia dapat terjebak ketika hendak tidur. Karena pada waktu itu, Sang Ketua, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan tidak berada di Ban-hwa-kok, maka yang bertugas sebagai pengganti pimpinan adalah Kui Li Ai, dibantu oleh Bwe Kiok Hwa, yang dianggap murid pertama di antara para anggauta Ban-hwa-pang.

Melihat empat orang wanita itu kini hanya menonton dia sambil bicara lirih dan tertawa cekikikan dengan suara tertahan, Cu An merasa mendongkol sekali. Sialan! Gadis-gadis ini menjebaknya, semalam suntuk membiarkan dia tergantung seperti ikan asin dijemur, dan sekarang mereka datang menonton seperti nonton seekor binatang hutan yang terjebak sambil cekikikan!

Akan tetapi pemuda yang cerdik itu maklum bahwa kalau dia hanya menurutkan nafsu amarahnya, hal itu sama sekali tidak akan menguntungkan. Semalam dia sudah membolak-balik pikirannya dan dia sudah mempertimbangkan dan mengakui bahwa sesungguhnya pihaknyalah yang bersalah.

Dia telah memasuki daerah orang, telah melanggar dan memasuki Lembah Selaksa Bunga tanpa ijin lebih dulu. Bisa saja dia dianggap maling karena para penghuni lembah itu tidak mengenalnya.

“Enci-enci yang baik, harap lepaskan jala ini dan turunkan aku. Ketahuilah aku bukan orang jahat, bukan maling bukan rampok. Aku ini datang sebagai tamu dan hendak bertemu dengan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan! Tolong lepaskan aku!”

Empat orang anggauta Ban-hwa-pang itu saling pandang, tidak berani mengambil keputusan. Mereka semalam memang bertugas jaga di bagian ini dan setelah melihat ada seorang pemuda berani memasuki daerah mereka, mereka segera siap dengan jebakan mereka dalam pondok itu.

Setelah berhasil menjebak dan menangkap pemuda itu mereka pun mendiamkannya saja, dengan maksud menghukum pelanggar itu sesuai dengan ketentuan dan tugas mereka. Kini mendengar pemuda itu datang sebagai tamu, tentu saja mereka merasa khawatir dan untuk membela diri seorang dari mereka membantah.

“Tidak ada tamu datang berkeliaran di sini pada malam hari. Kalau engkau seorang tamu, mengapa tidak datang pada siang hari secara berterang? Kami tidak dapat membebaskanmu, harus menanti datangnya pimpinan kami.” Kata-kata ini disusul tawa mereka dan keempatnya kini duduk di atas bangku dan tidak lagi mempedulikan Cu An.

27. Di Sini Terpasang Banyak Jebakan!

Cu An semakin mendongkol. Dia seorang pemuda yang mempelajari kesusastraan dan bahkan pandai pula membuat sajak yang dinyanyikannya dengan suara yang cukup merdu. Melihat sikap empat orang wanita itu, dia pun lalu merangkai sajak dan dinyanyikannya dengan suara lantang.

Nyanyian itu isinya menyindir empat orang wanita yang mula-mula mendengarkan dengan gembira dan merasa lucu, akan tetapi akhirnya wajah mereka berubah merah setelah mengerti isi nyanyian.

“Wanita itu bagaikan bunga. Keindahan bunga adalah kecantikannya, keharuman bunga adalah sifatnya, kehalusan bunga adalah wataknya. Sayang empat tangkai bunga di lembah ini, cantiknya sih cantik, akan tetapi sifatnya sama sekali tidak harum, dan wataknya tidak lembut. Bodoh-bodoh lagi, tidak mengenal bahwa yang mereka jebak adalah seorang pangeran dan seorang adik seperguruan dari Hwe-thian Mo-li sendiri! Aih, jangan-jangan tempat yang dikenal sebagai Ban-hwa-kok ini hanya dipenuhi bunga-bunga seperti itu!”

Empat orang itu merasa tersindir, akan tetapi diam-diam mereka juga terkejut dan heran mendengar bahwa pemuda itu seorang pangeran, bahkan masih sute (adik seperguruan) dari Hwe-thian Mo-li! Mereka merasa tegang dan khawatir. Tentu saja mereka tidak perlu percaya akan obrolan pemuda itu, akan tetapi bagaimana kalau ucapannya itu sungguh-sungguh?

Kalau dia seorang pangeran masih belum berapa hebat, akan tetapi bagaimana kalau dia itu benar-benar sute dari Hwe-thian Mo-li ketua mereka? Biarpun ketua mereka tidak jahat, namun keras hati dan mereka bisa dihukum berat kalau menjebak dan menangkap seorang sutenya.

Tiba-tiba masuk dua orang wanita ke dalam ruangan itu. Yang seorang adalah seorang gadis muda berusia sekitar sembilanbelas tahun, berkulit putih mulus, tinggi ramping berwajah manis sekali, sepasang matanya lebar dan wajahnya berbentuk bulat. Gadis ini bukan lain adalah Kui Li Ai yang kini menjadi murid dan juga mewakili Hwe-thian Mo-li memimpin anak buah di Lembah Selaksa Bunga.

Adapun wanita kedua adalah Bwe Kiok Hwa, berusia sekitar tigapuluh tahun lebih yang juga berwajah cukup cantik dan bersikap keras. Ialah murid pertama dan anggauta yang diberi kekuasaan untuk mengepalai para murid dan agaknya kedudukannya ini yang membuat Bwe Kiok Hwa memiliki sikap yang agak kaku dan keras, memegang teguh peraturan sehingga ia ditakuti para anggauta lainnya.

Begitu tiba di situ, Kui Li Ai menatap wajah Cu An yang tergantung membalik itu. Dua pasang mata bertemu dan mata Cu An terbelalak kagum.

“Nona manis yang cantik jelita, kasihanilah aku yang tidak berdosa, disiksa seperti ini selama semalam suntuk oleh bunga-bunga yang baunya tidak enak ini,” katanya.

Tentu saja Li Ai menjadi bingung. “Apa maksudmu bunga-bunga yang baunya tidak enak?” bentaknya.

“Gadis-gadis cantik ini seperti bunga akan tetapi sikap mereka sungguh tidak enak,” kata Cu An.

“Enci Bwe Kiok Hwa, bebaskan dia dari jala!” Kui Li Ai berkata kepada Bwe Kiok Hwa.

“Akan tetapi, Kui Siocia (Nona Kui), orang ini telah melanggar wilayah kita dan sudah sepatutnya dia dihukum. Biarkan dia tergantung di sana menunggu sampai pang-cu pulang dan memberi keputusan apa yang harus kita lakukan kepadanya!”

“Wah, bunga yang ini baunya malah lebih busuk lagi!” kata Cu An dengan hati mendongkol. “Baik, kita sama lihat saja apa yang akan dikatakan Suci Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan kalau ia pulang dan melihat sutenya disiksa seperti ini!”

Mendengar ini, Kui Li Ai berkata lagi, kini lebih tegas memerintah kepada Bwe Kiok Hwa. “Enci Bwe, cepat bebaskan dia, biar aku yang bertanggungjawab terhadap Enci Siang Lan!”

Mendengar ucapan dan melihat sikap Li Ai yang bersungguh-sungguh, Bwe Kiok Hwa tidak berani membantah lagi, hanya mengomel kepada diri sendiri. “Hemm, laki-laki tidak sepatutnya diberi hati....”

Dan ia lalu melompat dan sekali ia menggerakkan pedangnya, tali jala itu putus dan tubuh Cu An jatuh ke bawah. Biarpun berada dalam lipatan dan belitan tali jala, akan tetapi ketika tubuhnya terjatuh ke bawah Cu An dapat bergerak jungkir balik sehingga dapat hinggap di atas lantai dengan kedua kakinya lebih dulu. Cepat dia bergerak membuka libatan jala dan tali dan setelah membuang jala itu ke sudut ruangan, kini dia berdiri berhadapan dengan enam orang wanita itu.

Hanya sekelebatan saja dia memandang Bwe Kiok Hwa dan empat orang anak buah Ban-hwa-pang, akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Kui Li Ai, dia tertegun dan terpesona. Tadi memang dia sudah tertarik sekali ketika pandang matanya bertemu dengan wajah gadis remaja yang memerintahkan agar dia dibebaskan.

Akan tetapi pertemuan itu terjadi ketika kepalanya tergantung ke bawah sehingga dia tidak dapat melihat dengan jelas. Kini, setelah mereka berdua berdiri berhadapan barulah dia tertegun dan sekali gus terpesona. Bouw Cu An adalah putera tunggal Pangeran Bouw Ji Kong.

Sebagai seorang putera pangeran keponakan kaisar, pemuda bangsawan yang sastrawan dan telah digembleng ilmu silat pula oleh Ouw-yang Sianjin, sudah barang tentu Cu An tidak asing dengan puteri-puteri bangsawan yang anggun dan cantik, yang lebih pandai dan lebih banyak waktu untuk merawat dan mempercantik diri dibandingkan para gadis biasa yang lebih banyak harus bekerja.

Biarpun selama ini dia tekun mempelajari Bun (Sastra) dan sedikit Bu (Silat) kemudian selama setahun digembleng dengan keras dalam ilmu silat oleh Ouw-yang Sianjin sehingga dia tidak banyak bergaul dengan para gadis bangsawan, namun dia banyak sudah melihat gadis bangsawan yang cantik.

Akan tetapi sekali ini, begitu berhadapan dengan Kui Li Ai yang berpakaian baju berkembang-kembang dengan potongan sederhana, ia terpesona sampai hanya membuka mata dan mulut tanpa dapat mengeluarkan kata-kata.

Di lain pihak, Kui Li Ai juga tertegun. Tak disangkanya bahwa “laki-laki kurang ajar” seperti yang dilaporkan anak buah Ban-hwa-pang, yang katanya malam-malam naik ke lembah seperti maling yang tertawan, setelah kini berhadapan dengannya, adalah seorang pemuda yang masih muda, berpakaian bersih namun tidak terlalu mewah, lembut dan ramah, wajahnya tampan, bentuk tubuhnya tegap sedang, sepasang matanya jernih agak lebar dan sepasang mata dan senyumnya menunjukkan kelembutan hatinya.

Sebagai seorang puteri panglima yang sejak kecil hidup di kota raja dan banyak bertemu dengan orang-orang bangsawan, sekali pandang saja ia dapat menduga bahwa pemuda ini tentu seorang pemuda bangsawan. Dan tadi dia mendengar sendiri pemuda itu mengaku putera seorang pangeran atau bahkan seorang pangeran seperti yang ia dengar laporan anak buah yang simpang-siur.

“Hemm, sobat, kalau benar engkau tidak mempunyai niat buruk terhadap kami, mengapa engkau malam-malam mencoba untuk menyusup ke lembah kami? Siapakah engkau dan apa artinya semua pengakuanmu tadi, terutama bahwa engkau adik seperguruan ketua kami Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan? Sobat, jangan kau main-main dengan kami! Ketahuilah bahwa lembah kami Ban-hwa-kok merupakan tempat terlarang bagi kaum pria dan apa yang telah kaulakukan ini merupakan sebuah pelanggaran besar!”

Melihat sikap yang anggun berwibawa namun tidak kasar, dan mendengar ucapan yang teratur, bukan seperti ucapan para anggauta Ban-hwa-pang tadi yang kasar, Cu An tidak berani main-main dan ada perasaan heran dalam hatinya. Yang dia tahu dari cerita orang-orang, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan adalah seorang tokoh kang-ouw yang tentu saja bersikap tegas dan kasar, dan terbukti tadi ucapan para gadis yang menjadi anak buahnya juga kasar.

Akan tetapi mengapa gadis ini memiliki sikap yang demikian lembut, dan ucapannya terdengar teratur seperti seorang gadis berpendidikan? Dia lalu cepat mengangkat kedua tangan depan dada, menjura dengan hormat.

“Harap maafkan aku, Nona. Sesungguhnya aku sama sekali tidak mempunyai niat buruk terhadap Ban-hwa-pang. Namaku adalah Bouw Cu An dan aku tidak berbohong ketika memperkenalkan diri sebagai putera Pangeran Bouw Ji Kong yang kini menjadi penasihat Pamanda Kaisar Wan Li di kota raja.

"Juga aku tidak berbohong ketika mengaku sebagai sute (adik seperguruan) dari Suci Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan karena aku menjadi murid Suhu Ouw-yang Sianjin yang menjadi sute dari mendiang Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu, guru Suci Nyo Siang Lan. Biarpun aku belum pernah bertemu dengan Suci Nyo Siang Lan, akan tetapi hubungan itu membuat aku menjadi sutenya, bukan?”

Mendengar penjelasan yang rinci itu, Bwe Kiok Hwa dan empat orang anak buah Ban-hwa-pang menjadi terkejut sekali dan tanpa dapat dicegah lagi wajah mereka menjadi pucat dan mereka segera memberi hormat kepada pemuda itu dan Bwe Kiok Hwa berkata dengan sikap hormat.

“Bouw Kongcu (Tuan Muda Bouw), harap engkau suka maafkan kami, karena kami tidak mengenal Kongcu dan menganggap Kongcu seorang pelanggar daerah kami dan... dan... kami tadi tidak percaya kepada Kongcu lalu bersikap kasar.”

Bouw Cu An tersenyum dengan tulus. “Wah, sikap kalian mengakui kesalahan ini saja sudah cukup membuka mataku bahwa kalian adalah para anggauta perkumpulan yang ditangani pemimpin yang baik. Tentu saja aku melupakan peristiwa semalam dan sekarang aku bisa mengatakan bahwa bunga-bunga di lembah ini memang indah dan harum!”

Mendengar ini, wajah pucat lima orang wanita itu berubah kemerahan dan bibir mereka berlumba senyum manis! Li Ai juga senang mendengar ucapan Cu An dan tidak keliru dugaannya bahwa pemuda ini bukan orang jahat maka tadi memerintahkan untuk membebaskannya. Ia membalas penghormatan Cu An dan berkata.

“Bouw Kongcu, kalau begitu, engkau bukanlah orang lain, melainkan seorang tamu terhormat. Aku bernama Kui Li Ai, dan mari kita menuju perkampungan kami di atas, di mana kita dapat bicara dengan leluasa.”

Li Ai lalu mendahului pemuda itu berlari ke arah puncak dan agaknya ia sengaja hendak menguji kepandaian Cu An dengan menggunakan keringanan tubuhnya berlari cepat melalui berbagai rintangan dan jebakan.

“Hati-hati, Bouw Kongcu, di sini memang dipasangi banyak jebakan,” katanya.

Cu An mengerti dan melihat gerakan ringan itu dia pun mengerahkan gin-kang agar selalu dapat menginjak bekas injakan gadis itu dan tidak sampai terperangkap. “Baiklah, Kui Siocia!” katanya.

Lima orang wanita tadi memandang kagum, kemudian empat orang kembali ke tempat penjagaan masing-masing menanti rekan-rekan yang akan menggantikan mereka. Bwe Kiok Hwa mengikuti Li Ai dan Cu An naik ke puncak di mana perkampungan Ban-hwa-pang berada.

Setelah tiba di rumah induk, Cu An dipersilakan duduk di ruangan tamu, akan tetapi sebelum pihak nona rumah mengajaknya bicara, dengan sikap ramah Li Ai berkata. “Bouw Kongcu, mengingat bahwa semalam engkau tidak tidur dan berada di dalam keadaan yang tidak menyenangkan, kami persilakan kongcu untuk mandi dulu dan berganti pakaian. Kemudian kita sarapan, baru kita akan bicara tentang maksud kunjunganmu ini. Bagaimana pendapatmu, Kongcu?”

Bouw Cu An tersenyum, hatinya senang. Nona rumah ini ternyata penuh perhatian terhadap tamunya, ramah dan hormat. Sebetulnya, tanpa mengaso atau mandi juga dia merasa segar karena semalam, biarpun digantung jungkir balik, dia bersamadhi seperti yang diajarkan gurunya dan dia dapat mengaso dengan baik. Hanya saja, tentu dia akan tampak lebih bersih dan “ganteng” kalau diberi kesempatan mandi, menyisir rambut membereskan kuncirnya yang panjang dan tebal, berganti pakaian bersih.

Dan berhadapan untuk bercakap-cakap dengan seorang gadis seperti Kui Li Ai yang sepagi itu sudah mandi segar dan berdandan rapi, memang perlu sekali dia mempertampan dirinya! Maka dengan girang dia lalu menuju ke kamar mandi sambil membawa buntalan pakaiannya, ditunjukkan oleh seorang anggauta Ban-hwa-pang yang sejak tadi mengikuti mereka, yaitu Bwe Kiok Hwa sendiri.

Tak lama kemudian, Cu An sudah duduk berhadapan dengan Li Ai di ruangan makan, menghadapi meja makan di mana telah dihidangkan sarapan pagi yang cukup lengkap dan masih mengepulkan uap yang sedap dan menimbulkan selera. Tidak ada anggauta Ban-hwa-pang yang berada dalam ruangan makan itu untuk melayani.

Sejak berada di situ memang Li Ai menghapuskan cara-cara bangsawan di mana kalau majikan makan harus ada pelayan yang berada di ruangan itu untuk melayani. Ia sendiri yang menuangkan air teh ke dalam cawan di depan Cu An. Mereka makan sarapan dengan santai sambil bercakap-cakap.

“Maaf, Nona. Aku datang berkunjung untuk menghadap Ketua Ban-hwa-pang, yaitu Suci Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan. Akan tetapi mengapa ia belum juga datang menemuiku? Apakah engkau ini...”

Li Ai tersenyum dan menggerakkan tangan menyangkal. “Aih, bukan. Aku adalah Kui Li Ai, seorang... sahabatnya, juga adik angkat dan muridnya. Enci Siang Lan pada saat ini tidak berada di sini, sedang keluar, Kongcu.”

“Wah, ia tidak ada? Kalau begitu sia-sia saja aku datang jauh-jauh mencarinya di sini!”

Mereka selesai makan lalu Li Ai mengajak tamunya duduk kembali di ruangan tamu, meninggalkan meja yang akan dibersihkan para anggauta Ban-hwa-pang. Setelah mereka duduk berhadapan di ruangan tamu, Li Ai bertanya.

“Kongcu, selama Enci Siang Lan tidak berada di sini, yang berwajib menggantikannya adalah aku sendiri, dibantu Enci Bwe Kiok Hwa tadi. Nah, sekarang engkau boleh saja menyampaikan keperluanmu itu kepadaku, siapa tahu kami di sini dapat membantumu atau kelak kalau Enci Siang Lan pulang aku dapat menyampaikan apa yang kaupesan.”

“Terima kasih, Nona. Engkau baik sekali. Sesungguhnya aku menerima perintah Suhu Ouw-yang Sianjin, yaitu Susiok (Paman Guru) dari Suci Nyo Siang Lan untuk mencari dan menemui Suci di sini. Menurut perintah Suhu, Enci Nyo Siang Lan diminta agar suka membantu Jenderal Chang Ku Cing dalam tugasnya menyelidiki dan menangkap pelaku pembunuhan enam orang pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar.

"Aku disuruh mohon kepada Enci Siang Lan agar ia suka pergi ke kota raja dan membantu Jenderal Chang. Sore tadi, ketika tiba di kaki Ban-hwa-san, aku bingung akan tetapi mengambil keputusan untuk mencoba naik karena aku ingin segera menghadap Hwe-thian Mo-li. Siapa tahu, perangkap di sini lihai sekali sehingga aku terjebak.”

“Ah, kalau saja aku mendengar teriakan dan pengakuanmu tentang dirimu, tentu aku dapat mencegah terjadinya peristiwa itu. Sekarang enci Nyo Siang Lan tidak berada di sini, akan tetapi tugasmu memanggil Enci Siang Lan membantu pemerintah untuk menangkap pembunuh para pembesar itu bahkan terlambat, Bouw Kongcu.

"Ketahuilah bahwa Enci Siang Lan sudah pergi ke Kota raja untuk keperluan yang sama. Ada seorang murid Siauw-lim-pai bernama Chang Hong Bu yang datang ke sini dan dia juga disuruh oleh pemerintah untuk mengundang enci Siang Lan membantu pemerintah menghadapi para pemberontak dan pembunuh.”

“Ah, begitukah? Bagus kalau begitu. Aku tinggal memberitahu Suhu bahwa Suci Nyo Siang Lan sudah pergi ke kota raja.”

“Bouw Kongcu, apakah engkau juga merupakan pembantu dari Jenderal Chang Ku Cing?” pertanyaan ini diajukan oleh gadis itu yang tiba-tiba suaranya menjadi tidak manis.

Bouw Cu An dapat menangkap suara yang kering keras ini. Dia menggelengkan kepalanya. “Bukan, Nona. Aku bukan pembantunya atau pembantu siapa pun kecuali membantu Suhu Ouw-yang Sianjin.”

“Akan tetapi engkau tentu mengenal Jenderal Chang Ku Cing itu, bukan?”

“Tentu saja, siapa tidak mengenalnya? Akan tetapi aku tidak mempunyai hubungan dengan dia, aku bahkan tidak pernah berhubungan dengan orang-orang di kalangan bangsawan kota raja.”

“Akan tetapi sebagai putera Pangeran Bouw Ji Kong yang berkedudukan tinggi, engkau tentu memiliki hubungan yang luas. Aku merasa heran mengapa ketika aku masih berada di kota raja tinggal di rumah ayahku, aku tidak pernah mendengar tentang dirimu. Maaf, Bouw Kongcu, terus terang saja, setahun lebih yang lalu aku tinggal di kota raja dan banyak melihat para pemuda dan gadis bangsawan, akan tetapi aku tidak pernah bertemu denganmu.”

Bouw Cu An tertawa. “Ha, memang aku lebih suka bersembunyi dalam kamar untuk belajar sastra atau silat, hampir tidak pernah ikut Ayah dalam pesta-pesta pertemuan sehingga jarang mengenal orang-orang muda di kalangan bangsawan terutama para gadisnya. Nona, aku melihat bahwa engkau seorang gadis yang terpelajar dan sikap serta budi bahasamu menunjukkan bahwa engkau seorang gadis bangsawan pula. Salahkah dugaanku bahwa engkau juga merupakan puteri seorang pejabat tinggi, seorang bangsawan?”

Li Ai menundukkan mukanya. Kesedihan besar menyelimuti perasaannya karena pertanyaan pemuda itu mendatangkan semua kenangan pahit dalam hidupnya. Akan tetapi, pemuda ini sudah dengan terbuka memperkenalkan dirinya, bagaimana ia dapat tidak menceritakan keadaan dirinya. Pemuda ini tampak demikian sopan, jujur dan sejak pertemuan pertama telah membangkitkan rasa suka dalam hatinya, membuat ia tertarik sekali.

“Bouw Kongcu, aku hanya anak seorang perwira yang telah tewas setahun lebih yang lalu. Beliau adalah mendiang Perwira Kui. “Ahh....!” Cu An bangkit berdiri dengan kaget. “Maksudmu... Kui Ciang-kun, perwira tinggi pembantu Jenderal Chang Ku Cing yang... kabarnya... maaf... membunuh diri di depan Jenderal Chang itu?”

Li Ai menghela napas panjang, tidak merasa heran karena tentu saja peristiwa pembunuhan diri ayahnya itu telah tersebar luas di seluruh kota raja, bahkan mungkin di seluruh negeri. Menjadi kewajibannyalah untuk membela nama ayahnya! “Benar sekali, Bouw Kongcu. Apakah engkau mengerti, apa sebabnya Ayahku sampai membunuh diri di depan Jenderal Chang Ku Cing...?”

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.