28. Mengapa Tergesa-Gesa, Masih Pagi?
Cu An merasa kasihan sekali dan dia tidak tega untuk menjawab bahwa dia mendengar akan aib yang menimpa keluarga gadis itu. Dia hanya mengangguk sambil menundukkan pandang matanya, tidak tega menentang pandang mata yang penuh kesedihan itu.
“Ya, kurasa semua orang mengetahui apa yang menyebabkan Ayahku membunuh diri di depan Jenderal Chang Ku Cing. Benar sekali, Ayah membunuh diri karena merasa telah berbuat salah melanggar hukum, yaitu ayah telah membebaskan tiga orang pimpinan Pek-lian-kauw yang tertawan ketika orang-orang Pek-lian-kauw memberontak dan menyerbu kota raja.
"Memang Ayahku telah melakukan kesalahan besar itu, akan tetapi sekarang aku bertanya kepadamu, Bouw Kongcu. Apakah engkau mengetahui mengapa ayah yang terkenal setia kepada Kaisar melakukan hal itu? Mengapa Ayahku membebaskan tiga orang tawanan penting itu?”
Cu An yang merasa iba sekali kepada Li Ai, menggelengkan kepala karena dia benar-benar tidak dapat menjawab pertanyaan ini. Baru sekarang dia teringat bahwa seorang perwira tinggi yang setia seperti Kui Ciang-kun sampai melakukan perbuatan yang demikian besar kesalahannya, pasti juga mempunyai alasan yang amat memaksanya. Apakah dia memang seorang pengkhianat yang berpihak kepada Pek-lian-kauw? Rasanya tidak mungkin!
Tiba-tiba dia teringat. Jangan-jangan Perwira Kui itu masih ada hubungan persekutuan dengan ayahnya sendiri yang dia tahu juga mengusahakan pemberontakan yang amat tidak disetujuinya! Akan tetapi dia tidak berani menyatakan jalan pikirannya ini dan seperti tadi ketika menjawab “ya” dia hanya mengangguk, kini untuk menjawab “tidak” dia pun hanya menggeleng sambil kini menatap wajah gadis itu.
Dia terkejut karena melihat perubahan hebat pada wajah yang jelita itu. Kalau tadi sebelum membicarakan hal ayahnya wajah Li Ai segar dan ceria seperti seekor bunga yang sedang mekar, kini wajah itu seperti bunga yang mulai layu! Pucat dan matanya kehilangan sinar gairah hidup!
“Benar dugaanku, mungkin jarang ada orang mengetahui alasan Ayahku melepaskan tiga orang tawanan itu. Akan tetapi engkau boleh mengetahui, Bouw Kongcu. Terserah engkau mau percaya atau akan menganggap alasan ini hanya dicari-cari untuk membela Ayahku saja. Ketahuilah bahwa dalam pembasmian dan penangkapan para pemberontak Pek-lian-kauw itu, yang berjasa besar adalah mendiang Ayahku yang dibantu oleh banyak pendekar.
"Diantaranya Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan. Nah, pada suatu hari, seorang tokoh besar Pek-lian-kauw berhasil menculik diriku. Aku dijadikan sandera, dan mereka lalu mengirim pesan kepada mendiang Ayahku agar Ayah suka membebaskan tiga orang pimpinan Pek-lian-kauw yang ditangkap dan dipenjara itu. Kalau Ayah tidak melaksanakan permintaan itu, aku akan dibunuh mereka.
“Bouw Kongcu, Ayah hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu aku, maka mendapatkan surat itu, dia lalu nekat dan membebaskan tiga orang tawanan itu. Kemudian Jenderal Chang Ku Cing dan pasukannya datang kepada Ayah setelah mendengar bahwa Ayah membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw dan menuduh Ayah berkhianat.
“Ayah sudah memberitahu alasannya membebaskan para pimpinan Pek-lian-kauw demi menyelamatkan aku, akan tetapi Ayah tidak menyangkal kesalahannya dan untuk menebus kesalahannya, Ayah lalu membunuh diri di depan kaki Jenderal Chang Ku Cing! Nah, Bouw Kongcu, demikianlah kejadiannya, terserah engkau percaya ataukah tidak.”
Li Ai menghentikan ceritanya dan setelah menceritakan hal itu, hatinya terasa agak lega seperti telah memuntahkan sesuatu yang tidak enak dari dalam perutnya.
Bouw Cu An percaya sepenuhnya kepada gadis ini. Dia pun mendengar bahwa mendiang Kui Ciang-kun adalah seorang perwira tinggi yang gagah perkasa dan amat setia kepada pemerintah. Bahkan dia yang memimpin pasukan sehingga berhasil membasmi para pemberontak Pek-lian-kauw dan menangkap para pemimpinnya.
Maka mustahil kiranya kalau kemudian dia malah nekat meloloskan mereka dengan terang-terangan sehingga semua orang mengetahui bahwa dia yang melepaskan mereka! Perbuatan itu pasti memiliki alasan yang kuat, dan alasan apa yang lebih kuat daripada melihat puterinya diculik orang Pek-lian-kauw?
“Aku percaya sepenuhnya kepadamu, Nona, dan sungguh sengsara sekali nasibmu, kehilangan ayah yang bijaksana seperti itu. Akan tetapi, maafkan pertanyaanku ini, Nona, akan tetapi mengapa engkau sekarang berada di sini, menjadi murid Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, tidak berada di rumah tempat tinggal mendiang Ayahmu?”
Li Ai hampir menangis mendengar pertanyaan ini karena ia teringat akan nasib dirinya yang menjadi korban perkosaan dan akan sikap ibu tirinya. Tidak mungkin ia menceritakan aib yang menimpa dirinya. Satu-satunya manusia di dunia ini yang mengetahui akan nasibnya itu hanyalah Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan! Akan tetapi ia mengeraskan hatinya dan menjawab.
“Ayah telah meninggal dan aku sudah tidak mempunyai ibu kandung sejak kecil. Ibu tiriku membenciku dan bahkan menyalahkan aku karena kematian Ayahku adalah untuk membela diriku. Maka aku lalu ikut Enci Siang Lan dan hidup bersamanya di sini.”
“Aduh, sungguh buruk nasibmu, Nona, sungguh mengenaskan. Aku ikut merasa prihatin, Kui Siocia...” kata Bouw Cu An dengan suara mengandung keharuan. Puteri seorang perwira tinggi yang terkenal, kiranya sekarang hidup seorang diri di pegunungan seperti ini!
Li Ai memaksa diri tersenyum dan menghela napas panjang. “Aih, Bouw Kongcu, jangan mengembalikan perasaan iba diri yang sudah lama berhasil kuusir keluar dari ingatanku. Akan tetapi bagaimana dengan engkau sendiri, Kongcu? Engkau adalah putera seorang pangeran, mengapa engkau bersusah payah menjadi murid Locianpwe Ouw-yang Sianjin dan tidak memegang kedudukan tinggi di pemerintahan? Malah engkau sekarang agaknya hidup sebagai seorang pemuda kang-ouw?!”
Pertanyaan ini juga mendatangkan pesaan sedih dalam hati pemuda itu. Bagaimana mungkin dia dapat mengaku bahwa ayahnya adalah seorang pengkhianat, seorang yang merencanakan pemberontakan terhadap Kaisar? Bahkan dia hampir saja dibunuh oleh para tokoh yang menjadi sekutu ayahnya sendiri untuk memberontak? Kalau tidak diselamatkan Ouw-yang Sianjin, dia tentu telah tewas di tangan Hongbacu, tokoh bangsa Mancu yang bersekongkol dengan Ayahnya itu.
“Ah, aku tidak suka menjadi seorang pembesar, Nona. Kulihat di kota raja selalu berada dalam keadaan kacau, terjadi pemberontakan dan perebutan kekuasaan. Saling jegal, saling fitnah, menjatuhkan lawan masing-masing yang dianggap menghalangi kehendaknya memperoleh kedudukan lebih tinggi. Persaingan yang tidak sehat.
"Aku melihat hal-hal yang kotor di antara para pejabat tinggi yang hanya mementingkan diri sendiri dengan cara melakukan korupsi, pemerasan, kecurangan dan lain-lain. Aku merasa muak maka aku lebih senang meninggalkan kota raja dan hidup dengan tenang tenteram mempelajari ilmu ikut Suhu Ouw-yang Sianjin.”
Li Ai menghela napas panjang dan perasaan sukanya kepada pemuda itu bertambah. Bouw Cu An ini tidak seperti para pemuda bangsawan yang pernah dia jumpai dan kenal di kota raja. Sama sekali berbeda!
“Aih, memang sukar dipercaya kalau kita ceritakan kepada orang lain, Bouw Kongcu. Semua orang tentu akan menganggap bahwa kehidupan seorang anggauta keluarga para bangsawan yang berpangkat tinggi dan kaya raya di kotaraja pasti enak dan menyenangkan. Akan tetapi apa yang telah kita alami? Kepahitan dan ketidak-tenteraman, sungguh menyedihkan.”
Dua orang muda itu saling tertarik, bahkan mungkin saja mereka itu telah jatuh cinta pada pertemuan pertama ini. Akan tetapi diam-diam keduanya merasa tidak berharga bagi yang lain.
Bouw Cu An merasa tidak berharga untuk menjadi pasangan Li Ai mengingat bahwa kalau Li Ai puteri seorang perwira tinggi yang jelas amat setia kepada negara dan sudah banyak dan besar jasanya, maka sebaliknya dia adalah putera seorang pangeran yang hendak mengkhianati dan memberontak kepada pemerintah!
Sebaliknya, Li Ai sendiri juga merasa tidak pantas menjadi pasangan Cu An mengingat bahwa kalau Cu An putera seorang pangeran, bahkan masih keponakan kaisar, ia sendiri hanya puteri seorang perwira yang dianggap pengkhianat dan dirinya sendiri telah ternoda, bukan perawan lagi! Hampir saja ia tidak dapat menahan runtuhnya air matanya ketika ia ingat akan hal ini.
Pada saat itu, tiba-tiba Bwe Kiok Hwa memasuki ruangan tamu itu dengan muka pucat dan suaranya terdengar gemetar.
“Nona, celaka, Nona! Dari bagian utara datang segerombolan orang bekas anak buah Ban-hwa-pang yang lama menyerbu dan mereka sudah membakar tanaman di sana dan merobohkan beberapa orang anak buah! Tentu orang ini yang menjadi mata-mata mereka!” Bwe Kiok Hwa dengan marah lalu menerjang Cu An dengan pedangnya!
Tentu saja Cu An cepat mengelak dan dari samping dia menendang lutut kiri Bwe Kiok Hwa. Hampir saja tendangannya mengenai sasaran, akan tetapi Bwe Kiok Hwa yang sudah memperoleh latihan yang lumayan dari Hwe-thian Mo-li dapat melompat ke belakang walaupun tubuhnya terhuyung. Sebelum ia nekat menyerang lagi, Li Ai sudah membentaknya.
“Enci Bwe, hentikan itu! Jangan menyerang orang secara sembarangan dan menuduh membabi-buta! Bouw Kongcu adalah adik seperguruan Enci Siang Lan, dan engkau berani menyerangnya?”
Ditegur begitu, Bwe Kiok Hwa menghentikan serangannya dan memandang bingung. Tadi ia memang memiliki kecurigaan dan dugaan keras bahwa kedatangan pemuda itu tentu ada hubungannya dengan gerombolan Ban-hwa-pang lama yang tiba-tiba pagi itu datang menyerbu, membakari tanaman untuk menghalau semua jebakan yang dipasang di bagian itu.
“Mari, Kongcu, kita lihat keadaannya!” Li Ai mengajak Cu An dan mereka berdua lalu berlari cepat keluar dari bangunan induk itu, diikuti oleh Bwe Kiok Hwa yang masih memegang pedang. Tidak sukar mencari tempat yang dimaksudkan karena dari atas sudah tampak lereng di bagian utara yang mengepulkan asap tanda kebakaran. Semua anak buah Ban-hwa-pang tampak berlari-larian ke arah itu.
“Bawa peralatan untuk memadamkan kebakaran!” teriak Li Ai.
“Bawa kayu-kayu pemukul dan air!” teriak pula Cu An.
Para anggauta Ban-hwa-pang itu mentaati perintah ini dan ramai-ramai mereka lari ke lereng utara sambil membawa alat-alat untuk memadamkan kebakaran. Setelah mereka berdua menuruni lereng itu, Li Ai dan Cu An melihat sekitar duapuluh orang laki-laki, dipimpin seorang laki-laki tua bermuka penuh berewok yang memegang sepasang golok, sedang berkelahi melawan puluhan orang wanita anggauta Ban-hwa-pang.
Karena para anggauta wanita Ban-hwa-pang baru sekitar setahun lebih belajar ilmu silat, mereka tampak kewalahan menghadapi serbukan gerombolan laki-laki yang tampak buas itu. Namun, karena yang menggembleng mereka adalah Hwe-thian Mo-li.
Maka dalam setahun itu mereka telah memperoleh tenaga dan kegesitan yang lumayan sehingga walaupun terdesak hebat, mereka masih mampu melakukan perlawanan. Sementara itu, para anggauta lain sibuk memadamkan api agar jangan menjalar ke atas.
“Kongcu, mari kita hajar mereka!” kata Li Ai dan tanpa menanti jawaban gadis ini sudah mencabut pedangnya dan menerjang para penyerbu, diikuti Cu An yang juga sudah mencabut pedangnya.
Dua orang muda ini menerjang dan mengamuk dengan hebatnya. Biarpun Li Ai tidaklah sehebat Cu An ilmu pedangnya, namun karena marah dan penuh semangat, gerakan Li Ai amat ganas. Pedangnya berkelebatan seperti halilintar menyambar-nyambar. Juga gerakan pedang Cu An amat kuat sehingga sebentar saja enam orang penyerbu telah roboh oleh pedang sepasang orang muda ini.
Hal ini membakar semangat para anggauta wanita Ban-hwa-pang dan mereka melawan dengan lebih gigih. Sebaliknya, para penyerbu menjadi terkejut bukan main. Memang sebagian besar dari mereka sudah jerih terhadap nama Hwe-thian Mo-li. Mereka baru berani diajak menyerbu oleh pemimpin baru mereka setelah mendengar bahwa Hwe-thian Mo-li sedang tidak berada di Ban-hwa-kok.
Akan tetapi ternyata sekarang muncul sepasang orang muda yang demikian ganas dan lihai ilmu pedangnya! Hal ini membuat nyali mereka menjadi semakin mengecil. Li Ai dan Cu An kini menerjang ke arah pemimpin gerombolan yang mukanya penuh berewok itu. Dia ini dahulunya merupakan pembantu utama Siangkoan Leng, Ketua Ban-hwa-pang yang telah terbunuh oleh Hwe-thian Mo-li.
Semua anggauta Ban-hwa-pang berikut ketuanya telah dibasmi dan dibunuh habis oleh Hwe-thian Mo-li yang menjadi seperti gila dan mengamuk setelah merasa dirinya dinodai dan Si Berewok ini adalah salah satu di antara beberapa orang saja yang sempat melarikan diri, walaupun terluka parah.
Kini, dia mengumpulkan teman-teman para perampok untuk membalas dendam, membakar dan mencoba untuk menguasai kembali Ban-hwa-pang. Akan tetapi tidak disangkanya bahwa di situ terdapat Li Ai dan Cu An yang cukup lihai sehingga pihak mereka yang kini terdesak hebat.
Si Berewok cukup lihai. Andaikata yang melawannya hanya Li Ai atau Cu An sendiri, kiranya dia tidak akan mudah dikalahkan. Akan tetapi kini dua orang muda itu maju bersama dan mereka saling melindungi dan saling bantu karena memang ada perasaan yang dekat dan saling menyayang di antara keduanya.
Maka pertahanan maupun penyerangan mereka dapat disatukan dan menjadi terlalu kuat bagi Si Berewok. Setelah melawan mati-matian selama duapuluh jurus, akhirnya Si Berewok roboh terkena sabetan pedang Li Ai dan tusukan pedang Cu An. Dia roboh dan tewas.
Melihat ini, sisa para gerombolan menjadi panik, sebaliknya para wanita anggauta Ban-hwa-pang menjadi semakin bersemangat. Bagaikan harimau-harimau betina mereka berteriak-teriak menerjang sisa gerombolan, dipimpin Li Ai dan Cu An sehingga akhirnya semua anggauta gerombolan yang menyerbu telah dapat dirobohkan dan ditewaskan!
Para wanita itu bersorak gembira karena kemenangan ini, kemenangan dalam pertempuran yang pertama kali mempertahankan tempat kediaman mereka! Hanya ada enam orang wanita rekan mereka yang terluka. Mereka segera dirawat dan atas perintah Li Ai, semua mayat para gerombolan itu dikubur dalam beberapa lubang, jauh di kaki bukit Ban-hwa-san.
Li Ai dan Cu An berjalan berdampingan naik kembali ke puncak Ban-hwa-kok. Sejak itu, mereka merasa semakin dekat satu kepada yang lain. Terasa suatu kemesraan yang amat membahagiakan hati mereka. Wajah mereka cerah penuh senyum, terutama setiap kali pandang mata mereka saling bertemu dan bertaut. Walaupun mulut mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Namun sinar mata mereka telah mengutarakan seluruh isi hati mereka yang dapat mereka tangkap dan mengerti sedalam-dalamnya. Mereka saling jatuh cinta! Ada perasaan bahagia yang mendalam, namun kebahagiaan yang mendatangkan duka apabila mereka mengingat akan keadaan diri masing-masing. Li Ai teringat akan keadaan dirinya yang sudah ternoda, dan Cu An teringat akan keadaan dirinya sebagai putera seorang pengkhianat dan pemberontak!
Akan tetapi peristiwa penyerbuan gerombolan itu membuat Cu An mendapatkan alasan dan kesempatan untuk bermalam satu malam lagi di Ban-hwa-kok, dalam waktu itu membuka peluang bagi mereka untuk saling memperlihatkan perasaan hati masing-masing, walaupun hanya melalui pandang mata dan senyum penuh madu. Tanpa bicara pun mereka yakin bahwa mereka saling mencinta. Mereka makan siang, lalu makan malam bersama.
Pada keesokan harinya, setelah mandi dan makan pagi, suasananya diliputi keharuan dan kesedihan karena saatnya telah tiba bagi mereka untuk saling berpisah. Pagi itu setelah sarapan, Cu An harus meninggalkan Ban-hwa-pang, menyusul gurunya ke kota raja! Mereka berdua sarapan, akan tetapi tidaklah senikmat biasanya. Bahkan rasanya sukar menelan makanan menghadapi perpisahan di depan mata.
Setelah selesai makan, Cu An berkata lirih. “Sekarang aku harus berkemas....”
“....Kongcu... mengapa tergesa-gesa? Hari masih amat pagi.”
Cu An memandang wajah gadis itu dengan sinar mata tajam. “Nona Kui, setelah apa yang kita alami bersama, rasanya kaku dan tidak enak mendengar engkau masih menyebut aku Kongcu.”
“Engkau pun menyebut aku Siocia...” bantah Li Ai.
Cu An tersenyum dan gadis itu pun ikut tersenyum pula. Tanpa bicara lagi mereka sudah saling mengetahui isi hati masing-masing yang ingin mendapatkan sebutan yang lebih akrab lagi, bukan sebutan bersopan-sopan seperti dua orang yang asing satu sama lain.
“Baiklah mulai sekarang, aku akan menyebutmu Moi-moi (Adik Perempuan), bolehkah, Ai-moi?”
“Tentu saja, dan aku akan senang kalau boleh menyebutmu An-ko (Kakak Laki-laki An).”
Keduanya saling tersenyum lagi dan kini pandang mata mereka lebih leluasa mengirim sinar-sinar kasih.
“Sekarang aku harus berkemas dan siap untuk turun dari sini, Ai-moi.”
“Baiklah, silakan An-ko.”
Cu An lalu memasuki kamarnya dan mengemasi buntalan pakaiannya. Setelah dia keluar, dia melihat Li Ai sudah menunggunya dan ketika dia menuruni puncak bukit itu, Li Ai mengantarnya dan berjalan di sampingnya, sebagai pengantar dan penunjuk jalan karena jalan menurun itu penuh jebakan dan perangkap. Mereka berjalan berdampingan sambil bercakap-cakap.
“Aku merasa senang dan berbahagia sekali dapat berkenalan denganmu, Ai-moi.”
“Aku pun merasa senang dan terhormat dapat bertemu dan berkenalan denganmu, An-ko. Engkau seorang putera pangeran yang terhormat dan berkedudukan tinggi, sedangkan aku....”
“Hushh, jangan berkata begitu, Ai-moi,” kata Cu An sambil memegang tangan kiri gadis itu yang berjalan di samping kanannya.
Merasa betapa tangan kirinya dipegang erat, Li Ai terkejut akan tetapi biarpun hatinya menolak, jari-jari tangannya dengan hangat membalas genggaman tangan pemuda yang kokoh kuat itu. “Aku bicara sejujurya, An-ko. Bahkan berjalan berdua begini saja sebetulnya tidak pantas bagiku...”
29. Pertemuan Dua Saudara Perguruan
“Ai-moi....!” Cu An berhenti melangkah dan menarik gadis itu sehingga mereka berdiri berhadapan, dekat sekali dan ketika mereka saling pandang, Cu An agak menunduk dan Li Ai agak berdongak, mereka dapat merasakan hembusan napas masing-masing di muka mereka.
“Jangan engkau sekali lagi berkata seperti itu, Ai-moi. Ucapan itu amat menyakitkan hatiku. Engkau lebih dari pantas berjalan dalam kehidupan ini di sampingku, akulah yang tidak pantas bagimu. Ai-moi, aku... aku sayang kamu, aku cinta kamu....”
“An-ko...!”
Kini kedua tangan mereka saling bertemu dan jari-jari tangan mereka saling remas. Sejenak Li Ai yang, merasa tubuhnya lunglai, menyandarkan mukanya di dada pemuda itu yang merangkul pundaknya. Biarpun tidak lama mereka berada dalam keadaan seperti ini, namun rasanya hati mereka telah menjadi satu dan sukar untuk dipisahkan lagi. Akan tetapi Li Ai segera menyadari keadaan dirinya. Ia menjauhkan diri dan berkata lirih.
“Dari sini ke bawah sudah tidak ada perangkap lagi, An-ko. Selamat jalan, An-ko dan terima kasih, engkau baik sekali. Nanti kalau Enci Siang Lan kembali, akan kuceritakan padanya tentang kunjunganmu.” Li Ai menguatkan hatinya, akan tetapi tetap saja suaranya terdengar agak gemetar karena haru dan sedih akan berpisah dari pemuda itu.
“Baik, Ai-moi. Kurasa aku akan dapat bertemu dengannya di kota raja. Kalau aku bertemu dengannya, akan kuceritakan pembelaanmu kepada Ban-hwa-pang dari serbuan pengacau.”
Cu An mengambil sebuah kantung kecil yang biasa dia pergunakan untuk menyimpan uang emas, sebuah kantung kecil dari kain disulam indah dengan gambar sepasang kupu-kupu dan memberikannya kepada Li Ai.
“Ai-moi, aku tidak mempunyai apa-apa yang berharga. Harap engkau suka menerima hadiah dariku ini sebagai tanda mata atas persahabatan kita.”
Li Ai menerimanya dengan tangan gemetar, lalu berkata, “Aku pun tidak mempunyai apa-apa, An-ko, akan tetapi silakan ambil apa saja yang kau suka.”
Cu An mengamati gadis itu, lalu mengelus rambutnya yang hitam panjang lebat dan agak berikal itu. “Bolehkah aku mengambil hiasan rambutmu ini, Ai-moi?”
“Tentu saja boleh, An-ko,” jawab gadis itu dengan muka berubah kemerahan.
Cu An mengambil tusuk sanggul yang berupa bunga teratai itu dan begitu dicabut sanggulnya terlepas dan rambut yang panjang itu terurai menutupi kedua pundak Li Ai. “Alangkah indah rambutmu, Ai-moi,”
Cu An mengelus rambut itu dengan mesra. Selama hidupnya baru sekali ini Li Ai merasa dicinta pria, sebaliknya juga Cu An baru sekali ini merasa dekat sekali dengan wanita. Keduanya salah tingkah dan merasa canggung, jantung berdebar tegang dan tidak tahu harus berkata dan berbuat apa.
“Nah, selamat tinggal, Adikku sayang.”
“Selamat jalan, An-ko.”
Kedua tangan yang saling berpegang itu merenggang dan perlahan-lahan terlepas ketika Cu An mulai melangkah meninggalkan Li Ai. Setelah mengikuti bayangan pemuda yang menuruni lereng terakhir itu sampai bayangan itu lenyap barulah Li Ai tidak dapat menahan tangisnya. Ia menangis sedih, berjalan mendaki bukit sambil menangis.
Ia teringat akan keadaan dirinya, yakin bahwa ia tidak akan mungkin dapat hidup berjodoh dengan Cu An, pemuda yang telah merebut cintanya. Ia teringat akan Bong Kim atau Bong Kongcu, putera Hartawan Bong di kota raja, pria pertama yang mengaku cinta dan melamarnya sebagai isteri. Mula-mula ia memang tertarik, akan tetapi setelah pemuda itu diberitahu bahwa ia bukan perawan lagi.
Bong Kim malah menghinanya dan memandang rendah kepadanya dan hanya ingin mengambilnya sebagai seorang selir. Karena ia tidak mencinta Bong Kim, maka sikap Bong Kim itu tidak begitu menyakitkan hatinya, apalagi pemuda hartawan itu telah menerima hajaran keras dari Hwe-thian Mo-li.
Akan tetapi ia benar-benar jatuh cinta kepada Bouw Cu An. Kalau sampai Bouw Cu An nanti memperlihatkan sikap seperti Bong Kim, ia tidak akan kuat menerimanya. Lebih baik mati saja! Karena itu, sebaiknya kalau ia tidak melanjutkan hubungan cintanya dengan Bouw Cu An. Bahkan, sebaiknya kalau ia tidak saling mencinta dengan pria manapun juga agar jangan sampai tersiksa hatinya kelak.
Pemuda mana yang akan mau menerima jodoh seorang gadis yang bukan perawan lagi? Ah, betapa tololnya dan tidak adilnya laki-laki! Ia bukan perawan lagi bukan karena kesalahannya, bukan karena kehendaknya, melainkan karena terpaksa! Orang bernasib buru sepertinya bukannya dikasihani, malah dihina, direndahkan, dan diejek!
Bagaimana sebaliknya kalau pria? Berapa banyaknya laki-laki yang ketika menikah bukan perjaka lagi, dan hal itu pun terjadi karena dia sengaja, karena kesalahannya, bukan karena ada yang memaksa, akan tetapi kalau laki-laki tidak ada yang menghina atau menyalahkannya! Betapa tidak adilnya ini.
Pikiran seperti ini mengganggu kepalanya ketika ia mendaki pulang ke perkampungan Ban-hwa-pang sehingga setelah tiba di rumah, ia merasa pening dan segera merebahkan diri tidur dengan muka masih ada bekas air mata.
Sementara itu, Bouw Cu An yang menuruni bukit itu pun dilanda perasaan campur aduk. Ada rasa gembira dan bahagia karena dia merasa benar bahwa dia telah jatuh cinta kepada Kui Li Ai dan dia merasa bahwa gadis itu pun membalas cintanya. Mereka berdua saling mencinta dan alangkah akan bahagianya kalau kelak dia dapat menjadi jodoh.
Menjadi suami gadis yang baginya paling cantik menarik di antara semua wanita di dunia ini. Akan tetapi perasaan bahagia ini dinodai ingatannya akan ayahnya. Ayahnya mempunyai niat memberontak berarti ayahnya mempunyai watak khianat terhadap pemerintah.
Sebaliknya, Kui Li Ai adalah puteri tunggal mendiang Kui Ciang-kun, seorang perwira tinggi yang patriotik, seorang pahlawan yang gagah perkasa dan dihormati karena setianya kepada pemerintah. Kalau kemudian Li Ai mengetahui bahwa ayahnya seorang pengkhianat, apakah gadis itu sudi menjadi mantu pengkhianat?
Ingatan ini membuat hati Cu An merasa berat dan sedih sekali. Dia mengambil keputusan untuk menentang ayahnya sendiri, untuk berusaha sekuatnya menyadarkan keinginan ayahnya yang hendak memberontak itu.
Bagaimanapun juga, ayahnya telah mendapatkan kedudukan yang cukup tinggi dari kaisar, diangkat menjadi penasihat Kaisar dalam urusan hubungan dengan para suku lain di luar daerah kekuasaan kerajaan Beng. Dengan keputusan hati yang tetap, pemuda itu lalu mempercepat perjalanannya menuju ke kota raja.
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan memasuki kota raja. Jantungnya berdebar juga ketika ia memasuki kota raja yang sudah dikenalnya dengan baik itu. Sudah lama ia merasa rindu sekali kepada Ong Lian Hong, adik seperguruan atau adik angkatnya sendiri, puteri dari gurunya.
Dulu, ia tidak jadi singgah di rumah adiknya itu karena bagaimanapun juga, ia masih merasa tidak enak untuk bertemu dengan Sim Tek Kun, putera Pangeran Sim Liok Ong yang pendekar Kun-lun-pai dan kini menjadi suami Ong Lian Hong itu. Ia pernah jatuh cinta kepada putera pangeran itu.
Sim Tek Kun merupakan pria pertama yang dicintanya, akan tetapi kemudian dia mengetahui bahwa Sim Tek Kun adalah pemuda yang sudah dijodohkan dengan Ong Lian Hong sejak mereka kecil dan ternyata keduanya juga jatuh cinta setelah bertemu pada saat mereka telah dewasa. Bahkan ia sendiri yang mendorong keduanya dapat saling bertemu dan berjodoh!
Biarpun ia melepas cinta pertamanya itu dengan rela, namun tetap saja ada bekas luka dalam hatinya, walau kini luka itu sudah mengering. Ia merasa amat rindu kepada Ong Lian Hong dan kini ia tidak dapat menahan lagi rasa rindunya.
Ia menekan perasaan tegangnya, lalu setelah mengambil keputusan, pada siang hari itu ia melanjutkan langkahnya langsung saja ke istana Pangeran Sim Liok Ong, di mana tentu saja Ong Lian Hong tinggal bersama suaminya, putera pangeran itu.
Penjaga istana Pangeran Sim tentu saja tidak mengenalnya. Akan tetapi ketika ia memperkenalkan diri sebagai Hwe-thian Mo-li dan ingin bertemu dengan suami isteri Sim Tek Kun, dua orang perajurit itu terkejut dan cepat memberi hormat lalu mempersilakan Siang Lan duduk menanti di dalam gardu penjagaan karena mereka hendak melaporkan ke dalam istana.
Tak lama kemudian, Siang Lan melihat Ong Lian Hong dan Sim Tek Kun berlari-larian keluar dari dalam istana menuju ke gardu penjagaan dekat pintu gerbang. Ia bangkit berdiri dan keluar dari gardu menyambut mereka. Hatinya terharu sekali ketika ia melihat Lian Hong masih tetap cantik dan anggun.
Akan tetapi agak gemuk dan setelah dekat, ia gembira sekali melihat bahwa adiknya itu ternyata agak gendut, tanda bahwa Ong Lian Hong telah mengandung! Mungkin baru beberapa bulan sehingga tidak tampak terlalu besar, namun ia dapat menduga bahwa adiknya itu telah hamil!
“Enci Lan...!!” Lian Hong berlari dan mengembangkan kedua lengannya.
“Hong-moi!” Siang Lan juga menyambut dan keduanya berangkulan, dan Lian Hong menangis terisak-isak.
“Hushh...! Lian Hong, kenapa pertemuan menggembirakan ini kausambut dengan tangis?” kata Siang Lan tersenyum, akan tetapi kedua matanya basah.
“Enci... maafkan aku....”
Tiba-tiba Lian Hong merasa lengannya dipegang suaminya dan tahulah ia bahwa suaminya melarang ia membicarakan urusan lama yang hanya akan menimbulkan singgungan dalam hati, maka ia melanjutkan dengan maksud lain. “....maafkan kami tidak tahu akan kunjunganmu sehingga lambat menyambutmu.”
“Aih, tidak apa-apa, Adikku. Aku pun tidak memberi kabar lebih dulu, bagaimana kalian bisa tahu?”
“Hwe-thian Mo-li, sungguh kami merasa bahagia sekali dapat menerima kunjunganmu!” kata Sim Tek Kun dengan ramah dan gembira.
“Kun-lun Siauw-hiap, bagaimana keadaan kalian? Engkau menjaga Adikku dengan baik-baik, bukan?” kata pula Hwe-thian Mo-li dan suaranya terdengar biasa karena hatinya kini sudah tenteram melihat bahwa mereka berdua agaknya juga tidak ingin bicara tentang masa lalu.
“Kami dalam keadaan baik, terima kasih. Mari kita bicara di dalam saja. Hong-moi, ajak Encimu masuk ke dalam.”
“Mari, Enci Lan!” Lian Hong lalu menggandeng tangan Siang Lan dan mereka berdua lalu berjalan menuju ke istana Pangeran Sim, diikuti oleh Sim Tek Kun dari belakang. Setelah oleh Lian Hong encinya itu dipertemukan dengan Pangeran Sim Liok Ong dan isterinya, Lian Hong dan Sim Tek Kun lalu mengajak Siang Lan masuk ke dalam dan di ruangan dalam mereka bertiga bercakap-cakap dengan gembira.
“Sudah berapa bulan kandunganmu, Lian Hong?”
Lian Hong menundukkan muka memandang ke arah perutnya, mukanya berubah kemerahan dan tangan kirinya mengelus perut, mengerling sambil tersenyum kepada suaminya lalu menjawab, “Dua bulan lebih, Enci Lan.”
“Mudah-mudahan anakmu yang pertama laki-laki, Adik Hong!”
“Nona Nyo Siang Lan, sungguh kami berdua merasa beruntung sekali dapat menerima kunjunganmu ini. Akan tetapi kalau boleh kami mengetahui, apakah selain kunjungan persaudaraan, kedatanganmu ini ada hubungannya dengan undangan Jenderal Chang Ku Cing?”
“Aih, benar sekali! Bagaimana engkau dapat mengetahuinya, Sim Kongcu?”
“Wah, kenapa sih kalian menggunakan sebutan seperti orang asing begitu? Aku jadi merasa tidak enak mendengarnya. Kun-ko, dan Lan-ci, kenapa kalian tidak menyebut seperti kakak dan adik saja?” tegur Lian Hong sambil tertawa.
Wanita muda ini maklum bahwa terdapat kecanggungan di antara dua orang yang dulu saling memiliki hubungan batin itu, maka ia lalu mencairkan kekakuan dan kecanggungan itu. Sim Tek Kun dan Nyo Siang Lan tertawa mendengar ini.
“Nah, kalau engkau sudah ditegur oleh isterimu yang galak ini, lalu bagaimana sikapmu, Kun-ko?” kata Siang Lan, menyebut Kun-ko (Kakak kun) tanpa canggung karena memang ia sudah lama mengenal Sim Tek Kun, bahkan sebelum Lian Hong mengenal putera pangeran itu.
Sim Tek Kun tertawa. “Ha-ha, memang aku yang bersalah, Lan-moi. Sepantasnya memang kita tidak bersikap sungkan dan asing satu sama lain. Bukankah kita telah menjadi lebih akrab daripada sekadar teman, kini dapat dibilang menjadi keluarga? Isteriku adalah adik angkatmu, maka aku pun berarti saudaramu pula.”
Percakapan menjadi lebih ramah dan akrab. Siang Lan lalu menceritakan maksud kunjungannya ke kota raja, menjawab pertanyaan Tek Kun tadi.
“Sesungguhnya memang benar bahwa Paman Jenderal Chang Ku Cing mengutus Saudara Chang Hong Bu berkunjung ke Ban-hwa-kok dan mengundangku agar aku membantu dia melakukan penyelidikan dan menangkap para pembunuh yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap para pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar. Karena kami di Ban-hwa-kok sedang membangun.
"Maka aku minta Bu-ko, maksudku saudara Chang Hong Bu untuk kembali dulu ke kota raja, kemudian aku menyusul setelah pekerjaan di sana selesai. Setelah memasuki kota raja, sebelum menghadap Paman Jenderal Chang Ku Cing, aku ingat kepada kalian, maka aku langsung saja berkunjung ke sini lebih dulu. Kalian tentu lebih tahu apa yang telah terjadi di kota raja sehingga Paman Jenderal Chang perlu untuk mengundang dan minta bantuanku.”
Ong Lian Hong menjawab, “Paman Jenderal Chang Ku Cing juga sudah mengundang kami berdua dan minta bantuan kami, juga menanyakan alamatmu kepada kami. Kami hanya mengira-ngira saja di mana adanya dirimu, Enci Lan, karena kami telah mendengar tentang engkau yang membasmi gerombolan Ban-hwa-kok dan memimpin perkumpulan itu. Ada pun tentang pembunuhan-pembunuhan itu, memang aneh, dan agaknya suamiku dapat bercerita lebih banyak.”
Siang Lan memandang Tek Kun. “Apakah yang telah terjadi, Kun-ko?”
Tek Kun menghela napas panjang sebelum menjawab. “Telah terjadi pembunuhan atas diri enam orang pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar dan melihat cacat yang diderita enam orang itu mudah diketahui bahwa pembunuhnya tentu ada tiga orang. Penyebab kematian itu ada tiga macam, jadi mungkin setiap orang pembunuh telah membunuh dua orang pejabat tinggi.
"Melihat dari cacat yang menyebabkan kematian, dan cara mereka membunuh tanpa diketahui seorang pun petugas jaga, padahal yang dibunuh adalah pejabat-pejabat tinggi yang rumahnya dijaga, maka jelas bahwa mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi.”
“Hemm, apakah bukan orang-orang Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw yang melakukannya? Ingat, dulu pun yang melakukan pemberontakan adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang mempunyai banyak sekali tokoh lihai.”
“Jenderal Chang juga menduga demikian. Akan tetapi anehnya, begitu diadakan pembersihan dan seluruh kota raja digeledah, tidak dapat ditemukan jejak para pembunuh itu. Padahal kalau ada orang-orang Pek-lian-kauw bersembunyi di kota raja, sudah pasti dapat diketahui dan ditangkap karena penggeledahan dilakukan sampai ke pelosok-pelosok.
"Mereka itu seolah menghilang dan setelah melakukan pembunuhan-pembunuhan itu dan pemerintah mengadakan pembersihan dan pencarian, pembunuhan itu pun berhenti tiba-tiba. Kami berdua juga sudah membantu sedapat kami, menyelidiki seluruh tempat.
Bahkan beberapa malam kami bergadang dan meronda secara diam-diam, namun tidak menemukan apapun. Melihat penjagaan yang dilakukan atas perintah Jenderal Chang, tidak mungkin ada orang asing dapat keluar masuk pintu gerbang kota raja seenaknya saja.”
“Hemm, kalau begitu, apakah tidak mungkin kalau ada pengkhianatan di dalam kota raja yang sengaja menyembunyikan para pembunuh itu?” tanya Hwe-thian Mo-li.
“Persis, itu pun telah kami pikirkan. Dan mengingat bahwa hanya rumah-rumah pejabat yang amat tinggi kedudukannya saja yang terbebas dari penggeledahan, maka andaikata ada pengkhianat, dia pasti seorang pejabat tinggi. Akan tetapi siapa? Siapakah pejabat tinggi yang hendak mengkhianati kaisar dan bersekutu dengan pihak pemberontak?”
“Seorang pengkhianat yang bergerak dengan diam-diam dan rahasia jauh lebih berbahaya daripada pemberontakan yang bergerak dengan terang-terangan,” kata Siang Lan. “Apakah setelah pembunuhan enam orang pejabat tinggi itu, lalu berhenti dan tidak terjadi pembunuhan lagi?”
“Itulah masalahnya maka amat sukar menyelidiki siapa dalang pembunuhan-pembunuhan itu. Setelah terjadi pembunuhan enam orang pejabat tinggi itu dan Jenderal Chang melakukan penyelidikan dengan ketat, pembunuhan itu berhenti dan tidak pernah terjadi lagi kerusuhan apalagi pembunuhan,” kata Sim Tek Kun.
“Hemm, agaknya dalangnya memang cerdik. Kalau menurut aku, sebaiknya kalau kita pancing dia keluar, dengan jalan memperlemah penjagaan dan penyelidikan. Kalau para pembunuh itu menganggap penjagaan menjadi lemah kemungkinan besar mereka akan bergerak lagi dan itulah kesempatan bagi kita untuk menangkapnya.”
“Akan tetapi hal itu membahayakan keselamatan para pejabat tinggi!” seru Ong Lian Hong.
“Sebaiknya kalau engkau menghadap Jenderal Chang dan membicarakan hal ini dengan dia, Lan-moi. Hanya dialah yang berhak mengambil keputusan,” kata Tek Kun.
“Akan tetapi nanti dulu, Enci Lan. Jangan tergesa-gesa meninggalkan aku. Aku masih rindu. Biarlah engkau tinggal dulu barang sehari dua hari di sini. Aku ingin mengadakan pesta keluarga untuk menyambutmu. Setelah itu baru engkau pergi menemui Jenderal Chang dan mulai bekerja!” kata Lian Hong dan atas permintaan adik angkatnya ini tentu saja Siang Lan tidak mampu menolak.
Ketika berada berdua saja di dalam kamar mereka, Lian Hong berkata kepada suaminya. “Kun-ko, aku ingin mengadakan pesta keluarga dan mengundang Chang Hong Bu untuk datang dan ikut dalam pesta makan untuk menyambut kunjungan Enci Lan.”
Mendengar sesuatu yang agak aneh dalam nada suara isterinya, Tek Kun memandang wajah Lian Hong dan alisnya berkerut. “Eh, Hong-moi, apa artinya ini? Apa maksudmu mengundang Chang Hong Bu ke dalam pesta keluarga kita? Dia itu tidak mempunyai hubungan keluarga dengan kita atau dengan Siang Lan!”
Isterinya tersenyum manis. “Aih, suamiku! Apakah engkau tidak dapat menduga apa maksudku? Kita sudah tahu bahwa Chang Hong Bu adalah seorang pemuda yang gagah perkasa. Dia keponakan Jenderal Chang, murid Siauw-lim-pai yang tinggi ilmu silatnya, juga seorang pemuda terpelajar dan baik budi, tampan pula. Tidakkah engkau pikir dia itu cocok sekali kalau menjadi pasangan hidup Enci Lan?”
“Oh-oh...! Maksudmu, engkau hendak main menjadi comblang? Isteriku, jangan kau gegabah. Bagaimana kalau Siang Lan tidak setuju? Ingat, ia galak sekali, jangan-jangan ia akan marah kepadamu karena ulahmu yang nakal ini!”
30. Penyerangan Sarang Pemberontak
“Kun-ko, apakah engkau tidak melihat wajah Enci Lan ketika ia bercerita tentang pertemuannya dengan Chang Hong Bu di Lembah Selaksa Bunga? Kemudian ia menceritakan betapa bersama Chang Hong Bu ia dikeroyok orang-orang lihai dari Pek-lian-kauw. Ketika menceritakan tentang kegagahan Chang Hong Bu.
"Kulihat wajahnya berseri dan sinar matanya masih membayangkan kekaguman terhadap pemuda pendekar Siauw-lim-pai itu! Nah, berdasarkan kenyataan ini, salahkah aku kalau aku sekarang berusaha untuk saling mendekatkan mereka? Siapa tahu mereka akan dapat menjadi jodoh yang serasi dan bahagia, seperti kita, suamiku!”
Melihat pandang mata Lian Hong membayangkan keharuan dan kesedihan hati, Tek Kun maklum apa yang dipikirkan isterinya. Isterinya sudah dia beritahu bahwa dahulu, sebelum dia bertemu dengannya, dia telah mempunyai hubungan batin dengan Siang Lan. Hwe-thian Mo-li mencintanya, akan tetapi sengaja mengalah ketika mengetahui bahwa selain dia tunangan Lian Hong, juga saling mencinta dengan tunangannya itu.
Mendengar itu, hati Lian Hong terharu dan sedih sekali. Ia merasa iba kepada Siang Lan yang amat dikasihinya seperti kakaknya sendiri. Maka kalau kini ia berusaha untuk membahagiakan hati Siang Lan dan mencoba mencarikan jodohnya yang setimpal, apa salahnya hal itu dicobanya?
Dia merangkul isterinya. “Baiklah, isteriku, lakukanlah semua rencana baikmu itu.”
Lian Hong merasa girang dan mencium pipi suaminya. “Engkau memang suami yang paling baik, Kun-ko!”
Demikianlah, malam itu diadakan pesta makan keluarga. Karena yang berpesta itu orang-orang muda dan di situ hadir pula Chang Hong Bu, maka Pangeran Sim Liok Ong dan isterinya setelah selesai makan lalu masuk ke dalam, tidak ingin mengganggu kegembiraan pertemuan orang-orang muda itu.
Kini tinggal Sim Tek Kun, Ong Lian Hong, Chang Hong Bu, dan Nyo Siang Lan berempat yang bercakap-cakap. Setelah makan selesai mereka pindah duduk di ruangan tamu dan melanjutkan percakapan di situ. Siang Lan juga terkejut namun gembira ketika melihat kedatangan Hong Bu yang diundang untuk ikut berpesta.
Akan tetapi ia tidak berprasangka karena ia tahu bahwa hubungan antara keponakan Jenderal Chang dan Sim Tek Kun tentu akrab, maka undangan itu pun dianggapnya wajar saja. Sebaliknya, Hong Bu gembira sekali karena memang dia telah jatuh cinta kepada Hwe-thian Mo-li sejak pertama kali berjumpa.
“Wah, kalau aku tahu engkau sudah berada di kota raja, Lan-moi, aku tentu segera menemuinya di sini! Paman Jenderal Chang sudah amat menanti-nanti kedatanganmu,” demikian Hong Bu berkata sambil menatap wajah yang jelita itu.
“Sebetulnya begitu tiba di kota raja, aku ingin segera menghadap Paman Jenderal Chang, Bu-ko, akan tetapi ini, Hong-moi dan Kun-ko menahan aku.”
“Habis, kami sudah amat kangen sih!” kata Lian Hong dan mereka berempat bercakap-cakap tentang keadaan di kota raja.
“Keadaan di kota raja memang aman-aman saja akan tetapi paman Jenderal Chang masih tetap merasa penasaran. Setelah melakukan penggeledahan dengan cermat di kota raja dan hasilnya tidak ada, kini penyelidikan mulai diarahkan keluar kota raja dan agaknya Paman Chang telah mempunyai rencana untuk melakukan gerakan pembersihan di tempat-tempat tertentu. Agaknya Paman Chang hanya menanti kedatanganmu, Lan-moi, untuk mulai dengan gerakan pembersihan itu. Oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau segera menghadap ke sana.”
Mereka lalu memutuskan untuk besok pagi pergi menghadap Jenderal Chang. Hong Bu berjanji untuk menyampaikan dulu kepada pamannya akan kedatangan Siang Lan dan besok pagi dia akan datang menjemput dan mereka berempat akan bersama-sama menghadap Jenderal Chang.
Pertemuan ramah tamah dan akrab itu membuat hati Chang Hong Bu semakin tertarik kepada Siang Lan. Hal ini diketahui oleh Lian Hong dan suaminya yang menjadi girang sekali, juga dirasakan oleh Siang Lan sendiri. Sebetulnya ia merasa bersyukur bahwa seorang pemuda perkasa seperti Chang Hong Bu menaruh perhatian terhadap dirinya, akan tetapi ia masih sangsi. Dapatkah ia menjalin asmara dengan seorang pria?
Sesungguhnya, pada saat itu hatinya sudah lebih condong kepada Paman Bu-beng-cu, laki-laki yang telah melepas banyak sekali budi kebaikan kepadanya, laki-laki yang telah menumbuhkan semangat hidupnya, dan satu-satunya laki-laki yang amat dikaguminya. Akan tetapi, kalau mengingat keadaan dirinya yang sudah ternoda, ia takut untuk menyatakan cinta kepada seorang pria.
Bagaimana kalau laki-laki seperti Chang Hong Bu mengetahui bahwa ia bukan perawan lagi? Akan berubahkan sikapnya, berbalik merasa jijik dan tidak cinta lagi? Ah, betapa dia akan merasa terhina, marah, dan mungkin saja ia berbalik menjadi amat benci kepada Hong Bu!
Panglima besar Jenderal Chang Ku Cing menerima kedatangan Nyo Siang Lan yang ditemani Chang Hong Bu, Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong dengan wajah berseri gembira. Jenderal yang usianya sudah limapuluh dua tahun itu masih tampak gagah perkasa, dengan tubuh tinggi tegap.
Wajahnya penuh wibawa dengan kumis dan jenggot pendek dibentuk rapi, sepasang matanya yang tajam mengandung keteguhan seorang pemimpin. Akan tetapi dia tampak ramah ketika menyambut kedatangan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan yang memang dia kagumi.
“Selamat datang, Hwe-thian Mo-li! Kami sudah lama menunggu kedatanganmu!”
“Maafkan saya, Paman. Karena masih harus membenahi Lembah Selaksa Bunga, maka kedatangan saya agak terlambat,” kata Siang Lan.
“Kami kira, kalian tentu sudah mendengar dengan jelas akan peristiwa pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi kerajaan sekitar sebulan lebih yang lalu. Sejak terjadinya pembunuhan terhadap enam orang pejabat itu, sampai kini tidak ada lagi pembunuhan. Kami sudah mengerahkan semua tenaga untuk membongkar dan mencari pembunuhnya. Namun selama ini kami gagal dan belum dapat menangkap para pembunuhnya.
"Tiga orang pembunuh itu jelas merupakan orang-orang yang amat tinggi ilmu silatnya, dan tentu mereka itu mempunyai hubungan dengan pihak yang berkhianat terhadap kerajaan. Sayang sampai sekarang kami belum berhasil membongkar rahasia itu. Agaknya pihak mereka juga ketakutan dan berdiam diri tidak membuat gerakan sehingga sulit untuk dilacak.”
“Paman, seperti telah saya laporkan kemarin, bagaimana pendapat Paman tentang usul Hwe-thian Mo-li untuk mengendurkan penjagaan dan memberi kesempatan serta memancing para pembunuh agar mereka berani beraksi kembali? Dengan demikian kita dapat melacaknya,” kata Hong Bu kepada pamannya.
Jenderal Chang mengangguk-angguk. “Usul yang dikemukakan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan memang cukup baik. Akan tetapi kami kira hasilnya tidaklah sepadan dengan resikonya. Kalau kita menggunakan siasat mengendurkan penjagaan, hal ini mungkin saja mudah diketahui mereka karena seperti kami katakan tadi, para pembunuh itu tentu mempunyai hubungan persekutuan dengan orang dalam yang akan mengetahui pula tentang siasat kita mengendurkan penjagaan.
"Padahal resikonya cukup berat. Bagaimana kalau mereka itu serentak bergerak melakukan pernbunuhan-pembunuhan lagi? Tidak, kami kira siasat itu terlalu berbahaya untuk dilakukan. Akan tetapi kami telah mendapatkan titik-titik terang. Penyelidikan kami telah dapat menemukan tempat persembunyian gerombolan yang mencurigakan.
"Mungkin saja mereka itu adalah gerombolan Pek-lian-kauw atau Ngo-lian-kauw yang memperkuat diri dan siap di dalam hutan luar kota raja untuk sewaktu-waktu apabila saatnya tiba, akan mengadakan penyerbuan besar-besaran ke kota raja.
“Nah, penemuan inilah yang lebih penting! Kita harus mendahului mereka, memukul mereka dan menghancurkan mereka sebelum mereka sempat bergerak. Dan untuk membantu para perwira tinggi memimpin pasukannya menyerbu dan membasmi gerombolan itu, kami minta agar kalian berempat membantu.”
Tentu saja empat orang muda itu menyatakan kesanggupan mereka untuk membantu. Mereka berlima lalu mempelajari kedudukan gerombolan yang diketahui bermarkas dalam hutan di sebelah barat kota raja, di sebuah bukit yang berhutan lebat.
Mereka mempelajari gambaran peta yang telah dipersiapkan oleh Jenderal Chang dan menurut Jenderal Chang, para penyelidiknya menaksir bahwa kekuatan gerombolan itu terdiri dari sekitar empatratus orang yang telah terlatih dengan baik dan rata-rata menguasai ilmu silat.
“Mereka adalah sisa-sisa para anggauta Ngo-lian-kauw. Para pemimpin Ngo-lian-kauw, yaitu Ngo-lian Heng-te yang dahulu berkedudukan di Poa-teng, Hopak, telah dibasmi oleh Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan! Kini agaknya sisa para anggauta dan pimpinan Ngo-lian-kauw mengadakan gerakan pemberontakan, bergabung dan diperkuat oleh Pek-lian-kauw.”
Setelah mereka mempelajari peta itu dengan seksama, Jenderal Chang Ku Cing lalu memanggil para perwira tinggi yang menjadi pembantunya. Mereka semua juga sudah diberi penjelasan tentang rencana penyerbuan itu dan semua perwira merasa gembira sekali dan berbesar hati ketika mendengar bahwa mereka, dalam penyerbuan itu akan dibantu oleh dua pasang orang muda yang sudah mereka ketahui kehebatannya.
Terutama sekali dengan adanya Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan di pihak mereka, hati mereka menjadi lega dan bersemangat. Tadinya mereka memang agak merasa khawatir mendengar bahwa gerombolan yang akan mereka serbu dipimpin oleh orang-orang Ngo-lian-kauw dan terutama Pek-lian-kauw yang sudah terkenal amat lihai itu.
Siang Lan membantu Sim Tek Kun membujuk Lian Hong agar wanita yang sedang mengandung, walaupun baru dua bulan lebih itu, tidak usah ikut membantu penyerbuan pasukan ke hutan tempat bermarkas gerombolan. Akhirnya Lian Hong mau mengalah dan tinggal di rumah, sedangkan mereka bertiga, Siang Lan, Tek Kun, dan Hong Bu, menemani lima orang perwira tinggi memimpin sekitar tujuhratus orang perajurit melakukan penyerbuan ke hutan itu pada pagi-pagi sekali.
Setelah berhasil melakukan pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar, Pangeran Bouw Ji Kong menghentikan aksi itu, bahkan segera menyelundupkan tiga orang sakti yang menjadi sekutunya dan yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu keluar dari kota raja.
Mereka adalah Hwa Hwa Hoat-su, datuk Pek-lian-kauw, Hongbacu, tokoh Mancu utusan Nurhacu pemimpin bangsa Mancu, dan Tarmalan, datuk atau dukun bangsa Hui yang menjadi utusan bangsa Hui yang mendukung gerakan Pangeran Bouw Ji Kong yang ibunya juga puteri kepala suku bangsa Hui.
Pangeran Bouw Ji Kong tidak mengadakan gerakan, maklum bahwa Jenderal Chang yang diserahi tugas menangkap para pembunuh mengadakan penjagaan yang amat ketat. Akan tetapi diam-diam Pangeran Bouw masih mengadakan hubungan dengan pihak Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw, dan persekutuan ini mengadakan pemusatan kekuatan baru di dalam hutan di Bukit Cemara yang terletak di sebelah barat kota raja.
Bukit Cemara itu penuh dengan hutan lebat, maka amat baik dijadikan markas dan tempat persembunyian. Apalagi di bukit itu terdapat banyak guha-guha yang oleh para anggauta Pek-lian-kauw telah dibuat terowongan-terowongan. Juga di situ dibuat perangkap dan jebakan yang berbahaya karena para anggauta Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw memang ahli dalam membuat jebakan-jebakan dan penyebaran racun.
Menurut Pangeran Bouw Ji Kong, pihak Pek-lian-kauw sudah dipesan agar jangan membuat gerakan lebih dulu karena pertahanan di kota raja amat kuat. Dianjurkan agar pihak pemberontak itu menanti tanda darinya karena dia hendak menyusun siasat baru agar keadaan di kota raja kacau dan dalam keadaan kacau di mana pertahanannya melemah, barulah pasukan Pek-lian-kauw akan melakukan penyerbuan.
Akan tetapi pangeran Bouw Ji kong terlalu memandang remeh kecerdikan Jenderal Chang Ku Cing. Secara diam-diam jenderal yang pandai dan berpengalaman ini mengalihkan perhatiannya ke luar kota raja, menyebar para penyelidik yang pilihan sehingga akhirnya dia mendapatkan keterangan bahwa bukit Cemara menjadi sarang para gerombolan pemberontak.
Bahkan tanpa adanya kebocoran gerakan pembersihan yang dilakukan pagi hari itu berjalan dengan sempurna. Para pemberontak baru tahu setelah bukit itu dikepung pasukan kerajaan! Bukit Cemara itupun geger! Terjadi pertempuran di seluruh permukaan bukit.
Pertempuran mati-matian yang amat dahsyat, campur aduk sehingga kedua pihak tidak mungkin dapat mempergunakan senjata anak panah karena besar kemungkinan akan mengenai kawan sendiri. Banyak perajurit kerajaan terjebak perangkap dan berjatuhan, ada pula yang terkena ledakan dari alat-alat peledak yang dipasang orang-orang Ngo-lian-kauw.
Akan tetapi karena jumlah pasukan kerajaan hampir dua kali lipat besarnya maka di pihak pemberontak lebih banyak lagi yang jatuh korban. Apalagi di situ ada Hwe-thian Mo-li, Sim Tek Kun, Chang Hong Bu yang membantu para perwira, mengamuk seperti tiga ekor naga sakti.
Pangeran Bouw Ji Kong terkejut mendengar bahwa pasukan kerajaan menyerbu tempat yang dijadikan sarang kaum Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw di Bukit Cemara. Dia tentu saja mengetahui bahwa mereka itu adalah sisa para anak buah Pek-lian-kauw cabang Liauw-ning yang berada di sebelah timur Peking, dan sebagian lagi sisa anak buah Ngo-lian-kauw di Po-teng.
Dia cukup cerdik sehingga pangeran itu tidak menaruh orang-orangnya di hutan itu, sehingga tidak perlu khawatir rahasianya bersekutu dengan mereka akan diketahui pemerintah. Kang-lam Jit-sian yang menjadi para jagoannya hanya dikenal sebagai para pengawal pribadinya.
Bagaimanapun juga, Pangeran Bouw Ji Kong masih mengharapkan pertempuran itu akan merugikan pasukan kerajaan karena dia tahu bahwa di antara para pimpinan Pek-lian-kauw, terdapat beberapa orang pendeta Pek-lian-kauw yang sakti, di antaranya terdapat dua orang tokoh yang dikirim dari pusat Pek-lian-kauw, yang berjuluk Thian-te Lo-mo (Iblis Tua langit dan Bumi) terdiri dari dua orang kakek pendeta Pek-lian-kauw.
Seorang berjuluk Thian Lo-mo (Iblis Tua langit) yang bermuka putih seperti kapur dan Tee Lo-mo (Iblis Tua bumi) yang bermuka hitam seperti arang. Sepasang kakek berusia sekitar enampuluh tahun ini merupakan pasangan yang amat hebat, selain memiliki ilmu silat tinggi juga mereka berdua mahir menggunakan ilmu sihir.
Memang dua orang pendeta Pek-lian-kauw ini lihai bukan main. Ketika pasukan kerajaan datang menyerbu, mereka berdua mengamuk dan sepak terjang mereka menggiriskan semua orang. Bukan saja golok besar mereka itu bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk di angkasa, akan tetapi juga mereka berdua dapat mengadakan awan dan halilintar dari sihir mereka yang membuat para perajurit gentar dan banyak yang roboh oleh mereka.
Akan tetapi tiba-tiba muncul tiga orang muda itu! Hwe-thian Mo-li sudah berkelebat dan pedang Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) di tangannya menyambar bagaikan halilintar, menangkis golok besar di tangan Thian Lo-mo.
“Tranggg......!”
Thian Lo-mo yang sedang mengamuk dan sudah membunuh delapan orang perajurit itu terkejut bukan main ketika tiba-tiba ada halilintar menyambar dan goloknya terpental, tangan kanannya terasa panas sehingga hampir saja dia melepaskan gagang golok yang dipegangnya itu. Ketika dia melompat ke samping dan cepat memutar tubuh, dia berhadapan dengan seorang gadis cantik yang gagah perkasa.
Gadis berusia sekitar duapuluh tiga tahun, tubuhnya padat ramping dan indah menggairahkan, rambutnya hitam panjang ikal mayang dengan anak rambut berjuntai lembut di dahi dan kedua pelipisnya. Matanya bagaikan sepasang bintang kejora. Hidungnya mancung kecil dan mulutnya merupakan daya tarik yang amat menggairahkan. Seorang gadis yang benar-benar jelita namun juga tampak gagah berwibawa.
Thian Lo-mo sudah mendengar akan nama besar Hwe-thian Mo-li, maka begitu berhadapan dengan Siang Lan dan merasakan tangkisan pedang Lui-kong-kiam tadi, dia membentak. “Engkaukah yang berjuluk Hwe-thian Mo-li?”
“Benar, aku Hwe-thian Mo-li yang telah datang untuk membasmi pemberontak jahat macam kalian!”
“Perempuan hina! Engkau telah membunuh sahabat-sahabat kami Ngo-lian Heng-te dan beberapa orang saudara kami dari Pek-lian-kauw sekarang rasakan pembalasan kami! Tee Lo-mo, ini musuh kita Hwe-thian Mo-li!” teriak Thian Lo-mo dengan marah sekali.
Pada saat itu, seorang kakek lain yang bermuka hitam arang datang menerjang dengan golok besarnya. Hwe-thian Mo-li cepat mengelak dan ia pun segera menggerakkan pedangnya, menghadapi pengeroyokan dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu. Ternyata mereka berdua itu tangguh sekali setelah maju bersama.
Bukan hanya ilmu golok mereka yang amat kuat, namun juga tangan kiri mereka seringkali melancarkan pukulan dorongan jarak jauh yang mendatangkan angin kuat dan menghembuskan uap. Uap putih keluar dari telapak tangan Thian Lo-mo dan uap hitam keluar dari tangan Tee Lo-mo! Betapa pun lihainya, Siang Lan terdesak oleh pengeroyokan dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan dua orang pemuda sudah menerjang maju membantu Siang Lan. Mereka adalah Sim Tek Kun dan Chang Hong Bu yang tadi mengamuk merobohkan banyak anak buah Pek-lian-kauw dan melihat betapa Siang Lan menghadapi pengeroyokan dua orang pendeta Pek-lian-kauw yang lihai, mereka berdua menerjang maju dan menyerang Thian Lo-mo!
“Trang-cringgg...!”
Thian Lo-mo terhuyung ke belakang ketika dia menangkis dua sinar pedang itu dengan goloknya. Dia terkejut sekali akan tetapi segera menghadapi serangan dua orang pemuda yang memiliki gerakan pedang amat hebat. Diam-diam dia mengeluh karena dia benar-benar menghadapi dua orang lawan yang amat tangguh. Melawan seorang saja dari mereka sudah cukup berat apalagi mereka itu maju bersama.
Sim Tek Kun adalah seorang murid Kun-lun-pai, sedangkan Chang Hong Bu adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai! Tentu saja Thian Lo-mo terdesak hebat dan hanya dapat melindungi diri dengan putaran golok besarnya sambil terus bergerak mundur.
Sementara itu, ditinggalkan seorang diri melawan Hwe-thian Mo-li yang memiliki ilmu pedang amat dahsyat itu, Tee Lo-mo juga segera terdesak hebat. Pengerahan tenaga sihir dan permainan goloknya semua dikeluarkan namun sia-sia belaka, dia tidak mampu menghindarkan semua sambaran kilat halilintar dari pedang gadis itu dan setelah lewat duapuluh jurus, pedang Siang Lan menyambar lehernya dan Tee Lo-mo roboh dan tewas seketika!
Siang Lan tidak mempedulikannya lagi dan cepat ia mencari dua orang pemuda yang tadi bertanding mengeroyok Thian Lo-mo. Tak jauh dari situ ia melihat dua orang itu baru saja merobohkan Thian Lo-mo yang tewas terkena sambaran pedang jago-jago muda dari Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai itu.
Pertempuran berlangsung seru, akan tetapi setelah dua orang tokoh besar Pek-lian-kauw itu tewas, semangat para pemberontak menjadi lemah. Mereka masih melawan mati-matian dan bertahan sampai tengah hari, akan tetapi ketika satu demi satu para pimpinan mereka roboh dan banyak rekan-rekan mereka berjatuhan, mereka menjadi panik.
Akhirnya, tak dapat mereka pertahankan lagi dan mulailah mereka melarikan diri cerai-berai. Ada yang mencoba untuk bertahan dalam terowongan-terowongan, ada pula yang melarikan diri menggunakan alat peledak yang mengeluarkan asap tebal. Akan tetapi, akhirnya paling banyak hanya seratus orang saja dari mereka yang berhasil lolos dan melarikan diri. Lainnya roboh tewas atau luka dan tertawan.
Biarpun di pihak pasukan pemerintah ada pula yang gugur, namun pasukan pemerintah memperoleh kemenangan dalam pertempuran itu dan mereka bersorak gembira ketika membakar bekas-bekas sarang gerombolan di Bukit Cemara itu. Hampir semua pemimpin gerombolan tewas dalam pertempuran itu.