Akan tetapi, diam-diam Hwe-thian Mo-li dan dua orang pemuda perkasa, Sim Tek Kun dan Chang Hong Bu, tiga para perwira tinggi yang memimpin pasukan pemerintah, kecewa karena mereka tidak menemukan para pembunuh yang dicari-cari oleh Jenderal Chang.
Tadinya Siang Lan menduga bahwa dua orang Thian-te Lo-mo adalah pembunuh-pembunuh itu, akan tetapi setelah ia bersama Tek Kun dan Hong Bu menewaskan mereka, ia menduga bahwa para pembunuh itu bukan mereka dan agaknya tidak ikut dalam gerombolan yang telah dibasmi itu.
Biarpun demikian, Jenderal Chang Ku Cing merasa gembira akan keberhasilan operasi pembasmian gerombolan pemberontak itu. Hal ini setidaknya membuat para pemberontak menjadi jerih dan tidak berani main-main di kota raja. Dan dia pun tetap meningkatkan penjagaan karena siapa tahu, para pemberontak akan melakukan kekacauan seperti itu pula, ialah membunuhi para pejabat tinggi.
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan ditahan oleh Ong Lian Hong untuk sementara agar tinggal di rumah mereka. Selain Lian Hong merasa rindu kepada enci angkatnya itu, iapun mempunyai niat yang kuat untuk mendekatkan dan menjodohkan Nyo Siang Lan dengan Chang Hong Bu. Ia merasa bahwa pemuda keponakan Jenderal Chang itu merupakan jodoh yang tepat sekali bagi Nyo Siang Lan.
Maka ia membujuk suaminya untuk menyetujui kalau mereka mengundang Hong Bu untuk datang bertamu dan bermain di rumah mereka agar memberi kesempatan sebanyaknya kepada dua orang muda itu untuk saling berkenalan lebih akrab lagi.
Bahkan Sim Tek Kun terpaksa memenuhi permintaan yang sangat dari isterinya untuk diam-diam menghubungi Jenderal Chang Ku Cing dan mengajukan usul mereka untuk menjodohkan Chang Hong Bu dengan Nyo Siang Lan.
Jenderal Chang Ku Cing dengan sendirinya merasa setuju sekali karena dia memang pengagum besar Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan. Dia menyatakan persetujuannya dan berjanji untuk membicarakan hal itu kepada keponakannya.
“Enci Lan, aku ingin mengajakmu untuk mengunjungi Ibu kandungku dan kakek serta Nenekku. Maukah engkau?” Pada pagi hari itu Lian Hong berkata kepada Siang Lan setelah mereka sarapan pagi.
“Kalian berdua pergilah, aku sendiri harus menghadap Paman Jenderal Chang yang kemarin memesan agar aku pagi ini berkunjung kepadanya karena ada urusan penting yang akan dibicarakan.”
Lian Hong tersenyum, maklum bahwa yang akan dibicarakan suaminya dan Jenderal Chang Ku Cing adalah urusan perjodohan antara Chang Hong Bu dan Nyo Siang Lan seperti yang mereka rencanakan. Akan tetapi ia diam saja karena hal itu masih mereka rahasiakan terhadap Siang Lan sendiri. Mereka masih khawatir kalau-kalau Siang Lan akan merasa tersinggung dan marah.
Mereka menghendaki agar hubungan antara Siang Lan dan Hong Bu terjadi secara wajar dan timbul keakraban dan kasih sayang di antara mereka. Kalau sudah begitu keadaannya, maka mudahlah bagi mereka untuk mengusulkan perjodohan tanpa menyinggung perasaan gadis yang keras hati itu.
Siang Lan terkejut akan tetapi juga gembira dan tegang hatinya mendengar disebutnya ibu kandung Lian Hong. Ibu kandung Lian Hong berarti isteri mendiang gurunya, Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri!
“Ah, aku akan merasa senang dan terhormat sekali bertemu dengan ibu kandungmu atau isteri mendiang Guruku, Hong-moi!” katanya. “Di mana beliau tinggal?”
“Ibuku tinggal di rumah Kakekku, yaitu Jaksa Ciok Gun. Dahulu Kakekku adalah Jaksa di Hun-lam, akan tetapi sudah lama beliau pindah ke kota raja dan menjadi jaksa di daerah bagian selatan kota raja.”
Demikianlah, dengan gembira dua orang wanita itu lalu menuju ke bagian selatan kota raja, ke rumah Jaksa Ciok yang menjadi kakek Ong Lian Hong. Seperti kita ketahui, Ciok Bwe Kim, yaitu ibu kandung Ong Lian Hong, kini tinggal bersama ayahnya, Jaksa Ciok Gun itu. Mereka naik kereta karena Ong Lian Hong adalah mantu Pangeran Sim Liok Ong.
Jadi ia kini termasuk seorang wanita bangsawan yang tentu saja tidak pantas kalau melakukan perjalanan dengan jalan kaki. Dua orang wanita cantik itu disambut dengan gembira bukan main oleh keluarga Ciok. Jaksa Ciok sudah lama mendengar dan mengagumi nama besar Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan.
Apalagi gadis perkasa itu adalah murid mantunya, mendiang Ong Han Cu. Juga Nyonya Ciok Bwe Kim yang kini telah berusia empatpuluh tahun lebih dan masih tampak cantik itu, merasa girang dan terharu sekali. Ia pun sudah banyak mendengar tentang Nyo Siang Lan, sebagai murid tersayang mendiang suaminya.
Siang Lan dihormati dan disanjung, diterima dengan pesta makan keluarga sehingga gadis itu merasa senang dan berterima kasih. Ternyata bukan hanya mendiang gurunya saja yang baik terhadap dirinya, melainkan juga isteri gurunya dan keluarganya. Baru lewat tengah hari mereka berdua naik kereta meninggalkan gedung tempat tinggal Jaksa Ciok Gun untuk kembali ke rumah Pangeran Sim Liok Ong.
Ketika kereta tiba di dekat lapangan terbuka di depan pasar, di seberang jembatan besar, Siang Lan melihat banyak orang berkerumun dan terdengar suara tambur dan canang dipukul seperti biasa dilakukan para penjual obat yang biasa mendemonstrasikan ilmu silat untuk menarik minat penonton agar suka membeli obat yang mereka tawarkan.
Mendengar pukulan tambur dan canang yang berirama gagah dan mengandung tenaga, Siang Lan tertarik dan menyuruh kusir kereta menghentikan keretanya. Lian Hong tertawa melihat encinya seperti kanak-kanak hendak menonton penjual obat, akan tetapi ia pun ikut turun dan bergembira bersama Siang Lan menghampiri kerumunan orang banyak itu.
Beberapa orang penonton memberi tempat kepada dua orang gadis itu di depan. Mereka menyingkir dengan sopan ketika melihat bahwa dua orang gadis jelita yang hendak menonton itu turun dari kereta dan melihat sikap mereka seperti gadis-gadis bangsawan.
Siang Lan dan Lian Hong kini melihat dengan hati tertarik. Ternyata yang dijadikan tontonan itu adalah seorang gadis muda belia dan seorang kakek yang rambutnya sudah putih. Gadis itu cantik manis, usianya kitar tujuhbelas atau delapanbelas tahun, pakaiannya sederhana dan rapi serba ketat sehingga menonjolkan lekuk lengkung tubuhnya yang laksana bunga sedang mulai mekar.
Adapun kakek tentu sudah berusia sekitar enampuluh tiga tahun, wajahnya tampak ada garis-garis penderitaan, rambutnya putih semua, tampaknya lemah dan pakaiannya juga sederhana seperti pakaian petani. Kakek itulah yang menabuh canang, sedangkan gadis itu dengan gerakan gagah dan mengandung tenaga, menabuh tambur yang bunyinya seperti derap kaki pasukan atau seperti permainan barongsai.
Setelah melihat betapa banyak orang mengerumuninya, kakek itu memberi isyarat kepada si Gadis dan mereka menghentikan bunyi-bunyian itu. Kakek itu lalu memberi hormat sambil membungkuk ke empat penjuru.
Mulailah orang-orang ramai bicara sendiri dan terdengar suara, “Mana obat yang dijualnya?”
Setelah memberi hormat ke empat penjuru, terdengar suara kakek itu, suaranya lemah dan tidak lantang. “Cu-wi (Saudara Sekalian) yang terhormat. Sebelumnya kami berdua kakek dan cucu mohon maaf kepada Cu-wi. Kami bukan penjual obat, kami tidak mempunyai sesuatu untuk ditawarkan dan dijual. Akan tetapi karena dalam melakukan perjalanan ini kami kehabisan bekal, maka kami hanya mohon kedermawanan Cu-wi untuk memberi sumbangan dan kami hanya dapat menyuguhkan beberapa permainan silat dari cucu kami yang masih bodoh. Sekali lagi, kalau pertunjukan cucu kami tidak berharga, mohon Cu-wi memaafkan kami.”
Setelah berkata demikian, kakek itu mengambil tambur dari tangan cucunya, lalu mulai menabuh tambur itu dengan pukulan yang lemah. Siang Lan dan Lian Hong melihat bahwa pukulan tambur kakek itu sama sekali berbeda dengan pukulan cucunya yang mengandung tenaga cukup kuat sehingga mereka berdua sudah mengetahui bahwa agaknya hanya Sang Cucu itu yang mahir ilmu silat sedangkan sang Kakek adalah seorang petani biasa yang lemah.
Kini gadis manis itu berdiri tegak lalu memberi hormat keempat penjuru dengan merangkap kedua tangan depan dada. Setelah itu ia mulai bersilat. Gerakannya cukup ringan, cepat dan mengandung tenaga.
Bagi Siang Lan dan Lian Hong, gerakan silat gadis itu biasa saja dan belum cukup tinggi, akan tetapi keduanya terkejut dan tertarik sekali karena mengenal bahwa ilmu silat yang dimainkan gadis itu adalah ilmu silat Kun-lun-pai! Gadis itu memiliki ilmu silat aliran Kun-lun-pai, satu perguruan dengan Sim Tek Kun!
Tentu saja hal ini amat menarik perhatian mereka, terutama sekali perhatian Lian Hong karena gadis itu masih memiliki hubungan seperguruan dengan suaminya. Akan tetapi ketika ia hendak menyapa, lengannya dipegang Siang Lan dan Hwe-thian Mo-li memberi isyarat agar adik angkatnya itu diam dan melihat saja perkembangannya.
Setelah gadis itu selesai bersilat selama belasan jurus dan berhenti bergerak, terdengar tepuk tangan memuji dari para penonton. Bagi para penonton, terutama yang tidak mahir ilmu silat, permainan silat itu cukup mengagumkan, apalagi karena memang gadis itu cukup cantik dan terutama sekali memiliki bentuk tubuh yang denok menggairahkan hati pria, terutama yang memiliki watak mata keranjang.
Pada saat itu Sang Kakek membawa sebuah caping lebar yang ditelentangkan dan dia berjalan menghampiri para penonton dan mengelilingi tempat itu sambil mengacungkan caping mohon sumbangan. Hampir semua orang melemparkan sepotong atau sekeping uang ke dalam caping, yang diterima dengan wajah berseri dan muka mengangguk-angguk oleh kakek itu.
Setelah berputar sekeliling dan sudah cukup banyak uang terkumpul dalam caping, kakek itu lalu melangkah ke tengah lapangan, meletakkan capingnya di atas tanah lalu dia memberi hormat lagi ke empat penjuru.
“Banyak terima kasih atas sumbangan Cu-wi. Sudah sering kami mendengar bahwa para penghuni kota raja adalah orang-orang dermawan, dan baru siang hari ini kami melihat buktinya. Terima kasih banyak, sumbangan Cu-wi dapat menyambung hidup kami selama beberapa hari.”
Tiba-tiba muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dari kerumunan penonton. Dia seorang laki-laki berusia sedikitnya tigapuluh lima tahun, wajahnya bopeng (bekas cacar) dan matanya lebar, tubuhnya kokoh kuat dan wajahnya bengis. Dia sudah berdiri dekat kakek itu dan berkata dengan suaranya yang lantang.
“Enak saja engkau orang tua mengumpulkan uang orang tanpa memberi sesuatu! Ini namanya penipuan! Orang menerima uang harus memberi sesuatu, akan tetapi kalian tidak memberi apa-apa, obat juga tidak. Bagaimana mau enaknya saja mengambil uang orang-orang? Engkau penipu!”
Kakek itu memandang dengan kaget. “Tuan, maaf, kami memang tidak mempunyai apa-apa untuk diberikan. Akan tetapi cucu saya tadi sudah menghibur dengan permainan silatnya...”
“Huh, apa artinya menonton gerakan silat yang begitu saja? Biasanya untuk menghibur orang-orang diadakan pertunjukan yang lebih ramai, setidaknya untuk permainan silat diadakan pertunjukan pi-bu (adu ilmu silat). Kalau ada pi-bu, nah, itu baru namanya pertunjukan dan kami semua akan senang mengeluarkan uang. Akan tetapi kalian ini tidak memberi pertunjukan apa-apa. Kalau mau mengemis, lakukan saja seperti biasa, duduk berjongkok di tepi jalan dan mengacungkan tangan mohon sedekah!”
Di antara para penonton, terdapat pula banyak orang muda yang biasa bersikap berandalan. Mendengar ucapan itu mereka bersorak dan mentertawakan kakek yang tampak bengong ketakutan itu. Lian Hong sudah hendak maju, akan tetapi kembali Siang Lan menahan lengannya dan menggelengkan kepalanya.
Kini gadis manis itu menghampiri kakeknya dan berkata. “Kong-kong, minggirlah, biarkan aku yang bicara dengan Tuan ini.”
Mendengar ini, kakek itu minggir dengan wajah pucat dan tampaknya dia gelisah sekali akan keselamatan cucunya.
“Tuan, kami tidak mengenal Tuan, juga kami tidak mempunyai urusan denganmu, apalagi mengganggumu. Akan tetapi mengapa sekarang engkau hendak mengganggu kami yang hanya sekedar minta bantuan kepada para budiman ini karena bekal kami telah habis. Apa sih kesalahan kami kepadamu?”
Si Tinggi Besar muka bopeng itu kini memandang kepada gadis itu sambil menyeringai. Mulutnya yang lebar terbuka dan dia memperlihatkan giginya yang besar-besar dan banyak yang rusak hitam, seperti seekor orang utan menyeringai.
“Nona, engkau seorang gadis yang masih muda dan begini cantik, sungguh sayang Kakekmu membiarkan engkau mencari uang dengan menjadi tontonan. Akan tetapi karena engkau sudah memperlihatkan ilmu silatmu, aku menjadi tertarik dan aku menantangmu untuk melakukan pi-bu.”
“Tuan, kami datang di sini bukan untuk mencari permusuhan, juga bukan untuk pamer kepandaian apalagi untuk pi-bu. Aku tidak mau melakukan pi-bu dengan siapapun juga,” jawab gadis itu dengan sikap tenang.
“Ha-ha, kalau engkau yang sudah berani memperlihatkan ilmu silat menolak pi-bu, maka berarti engkau mengaku kalah. Sekarang begini saja, aku juga bukan orang yang mau menang sendiri. Disaksikan oleh semua penonton di sini, mari kita membuat pertaruhan begini. Kita bertanding pi-bu dengan tangan kosong.
“Kalau aku kalah, maka uang sumbangan dalam caping itu akan kutambah lagi dengan lima tail perak dan engkau boleh bebas mencari sumbangan di sini. Akan tetapi kalau engkau kalah, uang dan ditambah lima tail perak tetap kuberikan kepadamu, akan tetapi engkau harus mau menjadi kekasihku selama satu bulan! Ha-ha, adil sekali, bukan?”
Wajah gadis itu berubah merah sekali, akan tetapi ia masih tenang walaupun kakeknya tampak pucat dan gemetaran. “Hemm, begitukah keinginanmu? Dan bagaimana tandanya kalah atau menang?” tanya si gadis.
Sedangkan para penonton menjadi tegang dan memandang penuh perhatian. Sudah biasa bagi penonton, suka sekali mereka menyaksikan ketegangan, apalagi akan menyaksikan pi-bu dan di antara mereka bahkan sudah banyak yang diam-diam ikut bertaruh!
“Tentu saja siapa yang roboh dianggap kalah!” kata laki-laki itu. “Ha-ha-ha, aku Si Tinju Maut Koan Sek kalau sampai kalah oleh Nona manis ini, mau mencium kakimu yang mungil, Nona!” Dia tertawa diikuti banyak pemuda yang tertawa secara kurang ajar.
Melihat Lian Hong marah-marah, Siang Lan berbisik. “Kita lihat saja dulu. Simpan marahmu, kalau engkau marah dan benci, jangan-jangan anakmu kelak bisa seperti dia.”
Diingatkan demikian, Lian Hong terkejut dan segera menenangkan diri karena ia merasa ngeri kalau sampai anaknya kelak keluar seperti si Bopeng itu. Diam-diam ia mengelus perutnya!
Gadis itu memberi isyarat kepada kakeknya untuk menyingkirkan caping itu ke pinggir, kemudian ia mengikat sabuknya sehingga ketat melingkari pinggangnya yang ramping, menggulung lengan bajunya sampai ke siku. Kemudian ia berdiri dengan tenang, menanti lawannya dan setelah berhadapan, ia lalu menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka orang itu dan berkata dengan suara lantang dan tegas.
“Koan Sek, buka telingamu dan dengarkan baik-baik, disaksikan oleh semua penonton di sini, nonamu she Siauw akan mengucapkan pendirianku! Boleh jadi kakekku dan aku adalah orang-orang miskin berasal dari dusun, tidak memiliki kekayaan dan tidak memiliki kepandaian, melainkan orang-orang sederhana dan bodoh.
"Akan tetapi, ketahuilah, hai orang yang menjadi budak nafsu, kami adalah manusia-manusia yang masih memiliki kesusilaan, kesopanan, jalan kebenaran, yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, tidak sudi melakukan hal-hal yang rendah dan hina!
“Engkau memaksa aku untuk pi-bu, kalau aku menolak tentu aku akan dianggap pengecut. Tidak, aku tidak menolak. Guruku mengajarkan aku selain ilmu silat juga tentang kegagahan dan harga diri. Kalau aku bisa menangkan pertandingan ini, aku tidak butuh uangmu, tidak butuh apa-apa darimu.
"Akan tetapi kalau aku kalah darimu, aku pun tidak sudi menuruti semua keinginanmu yang hina dan rendah. Kalau kau hendak bunuh aku, silakan, aku tidak takut mati membela kehormatan diriku!”
Ucapan itu membuat Siang Lan dan Lian Hong tertegun dan terkagum-kagum. Bukan main gadis remaja ini. Demikian gagahnya seolah ia seorang pendekar besar saja! Dan agaknya banyak pula para penonton yang merasa kagum karena tepuk tangan riuh menyambut ucapan itu, membuat Koan Sek yang berjuluk Si Tinju Maut itu menjadi salah tingkah dan mukanya yang bopeng tampak hitam karena semua darah berkumpul di sana.
“Gadis sombong, rasakan pukulan mautku!” Dia berseru dan mulai menyerang dengan pukulan yang amat kuat ke arah dada yang membusung itu.
Baru pukulan ke arah dada gadis itu saja sudah merupakan cara serangan yang tidak mengenal sopan, padahal pertandingan itu hanyalah sebuah pi-bu. Jelas bahwa Koan Sek ini adalah golongan orang yang kasar dan kejam.
“Wuuttt...!”
Pukulan itu luput ketika gadis yang mengaku she Siauw itu mengelak dengan gerakannya yang cukup ringan. Akan tetapi tamparan ke arah dada yang luput itu dilanjutkan oleh Koan Sek dengan mencengkeram ke arah dada! Gadis itu menggerakkan tangan kanan dari luar dan menangkis.
“Plakk!” Ia berhasil menangkis walaupun ia merasa betapa kuatnya lengan besar laki-laki itu sehingga tubuhnya agak condong ke samping ketika lengan mereka bertemu. Akan tetapi gadis itu dengan sigapnya lalu menggerakkan kakinya menendang ke arah lambung lawan.
“Wuuuttt... plakk!” Koan Sek dapat, menangkis tendangan ini dan mereka segera saling serang dengan seru.
Siang Lan dan Lian Hong melihat betapa gerakan gadis itu sudah baik dan aseli merupakan ilmu silat Kun-lun-pai, akan tetapi agaknya ia masih belum menguasai ilmu silatnya dengan matang. Gerakannya cukup lincah dan tubuhnya ringan, akan tetapi tenaganya masih kurang kuat sehingga tiap kali tangan atau kaki mereka berbenturan, tubuh gadis itu terhuyung mundur.
Melihat ini, Koan Sek sudah tertawa-tawa mengejek. Sikap sombong dan memandang rendah lawan merupakan sikap yang dipantang oleh seorang ahli silat yang sudah mendalami ilmunya karena sikap ini mendatangkan kelengahan kepada dirinya sendiri. Hal ini terbukti ketika perkelahian itu telah berlangsung belasan jurus di mana Koan Sek terus mendesak gadis itu sambil tertawa-tawa dan mengeluarkan ucapan yang tidak senonoh.
Pada saat dia berhenti menyerang untuk tertawa bergelak, tiba-tiba tubuh gadis itu menyambar dengan cepat sekali sambil menendang dengan tubuh melompat tinggi! Koan Sek terkejut dan cepat ia menangkap kaki kiri gadis itu yang menyambar ke arah mukanya.
“Plakk!” Dia berhasil menangkap pergelangan kaki kiri gadis itu, akan tetapi tiba-tiba kaki kanan gadis itu menendang dengan pengerahan seluruh tenaganya bertekankan kepada kaki kirinya yang ditangkap.
“Wuuttt... desss....!”
Sepatu kaki kanan gadis itu tepat mengenai ulu hati Koan Sek sehingga tubuhnya terjengkang dan dia terbanting jatuh demikian kuatnya sehingga sejenak dia menjadi nanar dan matanya melihat segala sesuatu berputar-putar.
Ketika mendengar sorak-sorai dan tepuk tangan penonton, dia menyadari keadaannya. Cepat dia melompat berdiri, menggoyang kepalanya mengusir kepeningan dan di lain saat dia telah mencabut sebatang golok dari pinggangnya!
32. Murid Susiok Kim-gan-liong
Para penonton ada yang menjerit-jerit ketika melihat Koan Sek dengan golok telanjang kini menerjang dan menyerang gadis itu membabi buta! Gadis itu mencoba untuk berloncatan ke kanan kiri mengelak dari sambaran golok, akan tetapi tiba-tiba kaki kiri Koan Sek menendang, mengenai pahanya dan gadis itu pun terpelanting.
Bagaikan binatang buas, Koan Sek yang marah dan malu karena tadi dirobohkan gadis itu, mengejar dengan loncatan dan mengayun goloknya ke atas untuk dibacokkan ke arah gadis itu. Gadis itu sudah terjatuh miring dan agaknya ia tidak akan mampu menghindarkan dirinya dari bacokan, akan tetapi ia sama sekali tidak tampak takut, bahkan memandang kepada penyerangnya dengan mata mencorong penuh kemarahan. Golok di tangan Koan Sek terayun turun dan...
“Desss....!!” tubuh Koan Sek terpental dan dia terbanting jatuh di atas tanah. Dia hanya merasa dirinya disambar halilintar sehingga tidak dapat melihat jelas bahwa sesungguhnya tadi ada seorang pemuda gagah perkasa melompat dan menendangnya sambil melompat.
Pemuda itu bukan lain adalah Chang Hong Bu. Pemuda yang kebetulan sedang lewat di situ dan melihat rame-rame itu lalu datang menonton dan melihat Koan Sek hendak menyerang seorang gadis dengan goloknya, dia menjadi marah dan sekali terjang, tubuh Koan Sek terlempar!
Pada saat itu, muncul dua orang laki-laki yang usianya sekitar empatpuluh tahun. Mereka ini adalah kakak-kakak seperguruan dari Koan Sek. Mereka bertiga pada hari itu memasuki kota raja untuk pelesir dan bersenang-senang. Karena mereka adalah tiga orang seperguruan yang biasa memaksakan kehendak melakukan kekerasan dan merasa diri mereka jagoan.
Maka tadi melihat gadis manis itu, Koan Sek menjadi iseng dan ingin memamerkan kepandaiannya, juga ingin mempermainkannya karena dia termasuk seorang laki-laki hidung belang yang suka mempermainkan wanita.
Kini, melihat adik seperguruan mereka ditendang seorang pemuda, dua orang kakak seperguruan Koan Sek menjadi marah dan mereka sudah melompat memasuki kalangan sambil mencabut golok masing-masing.
“Keparat, jangan main keroyokan!” bentak orang yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya pucat seperti berpenyakitan. Akan tetapi orang kedua, yang bertubuh pendek gemuk dan matanya sipit sekali seperti terpejam, sudah menyerang Chang Hong Bu dengan goloknya.
Permainan golok Si pendek Gendut itu ternyata cepat dan kuat sekali, jauh lebih cepat dibandingkan gerakan Koan Sek. Akan tetapi dengan mudah saja Hong Bu mengelak. Sementara itu, Si Tinggi kurus muka pucat juga sudah menggerakkan goloknya hendak mengeroyok.
Akan tetapi Lian Hong sudah melompat ke dalam lapangan itu dan membentak. “Jahanam-jahanam busuk dari mana berani mengacau di sini?”
Melihat wanita yang cantik jelita muncul di depannya, Si Tinggi kurus menyeringai. “Ah, kalau harus melukaimu, aku tidak tega, Nona manis! Minggirlah jangan sampai golokku melukai kulitmu yang lembut dan mulus!”
Lian Hong marah sekali. “Keparat busuk!”
Dan ia pun sudah menerjang dengan tamparan tangan kirinya yang mendatangkan angin dahsyat sehingga Si Tinggi kurus terkejut bukan main dan melompat ke belakang. Kini Koan Sek yang melihat kedua suhengnya maju, mendapat hati dan dia pun sudah bangkit berdiri lalu melangkah lebar menghampiri gadis pemain silat tadi dengan golok masih di tangan.
Akan, tetapi tiba-tiba tampak sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan sudah berada di depannya. Koan Sek yang mata keranjang sampai bengong melihat gadis yang cantik ini berdiri di depannya.
“Manusia busuk, mampuslah kau!” Siang Lan berseru, tubuhnya berputar dan kaki kirinya mencuat dalam tendangan berputar.
“Syuuttt.... desss...!”
Tubuh Koan Sek terkena tendangan tepat di dadanya sehingga tubuhnya terlempar dan dia jatuh terbanting dengan keras! Sebelum dia dapat merangkak bangun, sekali tubuh Siang Lan melayang ia sudah tiba di depan laki-laki muka bopeng itu dan kembali kakinya menendang. Kini yang menjadi sasaran adalah pergelangan tangan kanan Koan Sek yang memegang golok.
“Wuuttt... krekk!” Tulang pergelangan tangan itu patah-patah dan goloknya terlempar jauh.
“Aduhh......!” Koan Sek menjerit dan memegangi pergelangan tangan kanan dengan tangan kirinya.
Sementara itu, pertandingan antara si Tinggi kurus melawan Lian Hong juga berat sebelah. Baru tiga kali membacok dan selalu luput, tangan kiri Lian Hong menampar dan tepat mengenai pipi kanan si Tinggi kurus.
“Wuutt... krekk...!” Tulang rahang pipi kanan si Tinggi kurus patah-patah dan tendangan kedua membuat goloknya terlempar. Si Tinggi kurus menjerit kesakitan dan terpelanting keras, memegangi rahangnya yang pecah-pecah berdarah.
Demikian pula, si Gendut Pendek bukan lawan Hong Bu. Baru dua gebrakan saja dia pun sudah roboh tertendang dan goloknya juga terpental jauh. Si Tinggi kurus yang mencoba bangun, kembali harus terbanting oleh tendangan susulan Lian Hong. Demikian pula Si pendek Gendut dijadikan bola ditendang ke sana sini oleh Hong Bu sehingga dia berkaok-kaok kesakitan.
Pada saat itu, banyak orang mengenal tiga orang muda perkasa ini. Melihat Siang Lan, ada yang berteriak. “Ah, ia adalah Hwe-thian Mo-li! Mampuslah orang-orang jahat ini!”
Mendengar disebutnya nama Hwe-thian Mo-li, Koan Sek dan dua orang suhengnya terkejut setengah mampus. Nyali mereka terbang dan mereka bertiga segera menjatuhkan diri berlutut menghadapi tiga orang itu, menyembah-nyembah dan membenturkan dahi mereka ke atas tanah berulang-ulang seperti tiga ekor ayam sedang makan beras.
“Ampunkan hamba.... ampunkan hamba.... ampunkan hamba....” berulang-ulang mereka bergumam dan tentu saja suara si Tinggi kurus muka pucat itu tidak karuan karena rahangnya yang pecah-pecah membuat dia tidak dapat mengeluarkan suara dengan jelas.
Si Pendek Gendut saking takutnya mengeluarkan suara seperti seekor babi gendut disembelih dan yang lucu dan mengherankan adalah Koan Sek sendiri. Orang tinggi besar berwajah menyeramkan ini saking takutnya kini menangis, mengguguk seperti anak kecil dan melihat betapa di bawah tubuh mereka basah, sukar diketahui siapa di antara mereka yang mengompol saking takutnya. Mungkin ke tiganya!
Para penonton melihat betapa jauh bedanya sikap tiga orang ini dengan sikap gadis manis tadi. Dalam keadaan terancam maut, gadis tadi bersikap gagah perkasa dan sama sekali tidak gentar menghadapi ancaman maut, sedangkan tiga orang yang sombong dan tampak gagah ini, begitu terancam maut menjadi ketakutan seperti orang-orang yang berjiwa pengecut!
Kini Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan telah dapat mengenal gadis manis itu. Melihat kakek itu dan gadis ini, ia tidak ragu lagi bahwa gadis itu adalah Siauw Kim, gadis yang pernah ditolongnya dari tangan Hartawan Siong Tat yang hendak memaksa gadis itu menjadi pemainannya.
Ia berhasil membunuh Siong Tat dan menghajar para jagoannya, membebaskan Siauw Kim dan kakeknya itu yang bernama Lim Bun, seorang petani dari dusun Kang-leng.
Siang Lan masih sangsi karena setahunya, tiga-empat tahun yang lalu Siauw Kim adalah gadis remaja yang lemah dan tidak pandai silat. Sekarang, walaupun ilmu silatnya belum matang, namun jelas ia memiliki dasar ilmu silat aliran Kun-lun-pai!
Mengingat akan nasib Siauw Kim dan melihat kegagahannya, hati Siang Lan menjadi panas sekali kepada tiga orang laki-laki jahat itu. Diambilnya golok mereka yang tergeletak di atas tanah, lalu ia berseru.
“Sebetulnya tiga orang jahanam macam kalian tidak berhak hidup di dunia ini karena hanya akan menimbulkan kekacauan dan kejahatan. Akan tetapi aku, Hwe-thian Mo-li tak pernah memberi ampun kepada jahanam laki-laki yang memandang rendah wanita tanpa memberi hukuman yang setimpal.”
Setelah berkata demikian, golok di tangannya berkelebat tiga kali bagaikan halilintar menyambar dan tiga orang penjahat itu menjerit kesakitan, bukit hidung mereka terbabat buntung dan darah muncrat membasahi muka mereka!
“Nah, pergilah kalian anjing-anjing keparat! Kalau aku melihat muka kalian muncul di kota raja lagi, kepalamu yang akan kubuntungi!” Setelah berkata demikian, kaki Siang Lan menendang tiga kali dan tubuh mereka terpental dan jatuh bergulingan.
Sambil menangis kesakitan tiga orang itu lalu terhuyung-huyung setengah merangkak, melarikan diri dari tempat itu. Para penonton merasa senang akan tetapi juga merasa ngeri sehingga satu demi satu mereka membubarkan diri meninggalkan tempat itu.
Ketika Siang Lan memandang dan mencari gadis tadi, ternyata gadis itu bersama kakeknya kini sedang berlutut di depan kaki Chang Hong Bu. Agaknya gadis itu menangis dan terdengar suaranya yang penuh keharuan.
“Kalau tidak ada Tai-hiap yang menolong saya dan kong-kong, kami berdua tentu telah tewas di tangan orang-orang jahat itu. Kami berhutang budi dan nyawa kepada Tai-hiap, dan kami bersedia mengorbankan jiwa raga kami untuk membalas kebaikan Tai-hiap. Kalau kami tidak mampu membalasnya, kami akan bersembahyang setiap hari mohon kepada Thian (Tuhan) agar Dia yang membalas budi kebaikan Tai-hiap kepada kami.”
Melihat gadis itu dan kakeknya berlutut di depan kakinya, Hong Bu menjadi serba salah. Untuk membangunkan gadis itu, dia harus menyentuhnya dan hal ini dia tidak mau melakukannya karena tentu dianggap kurang sopan. Kalau tidak dibangunkan, dia merasa rikuh sekali dua orang kakek dan cucu itu berlutut seperti itu di depan kakinya.
“Nona dan engkau, Kakek yang baik, bangkitlah dan jangan berlutut seperti ini!” katanya, akan tetapi gadis itu tidak mau bangkit dan kakeknya pun agaknya hanya ikut-ikutan tidak mau bangkit berdiri. Melihat Siang Lan dan Lian Hong memandang ke arah mereka, Hong Bu lalu berseru kepada Siang Lan.
“Lan-moi, tolonglah, bangkitkan mereka...” Siang Lan menghampiri dua orang yang masih berlutut itu sedangkan Hong Bu sudah mundur menjauhkan diri sehingga mereka tidak lagi berlutut di depan kakinya.
“Siauw Kim, engkaukah ini? Dan bukankah ini kakek Lim Bun yang dulu tinggal di Kang-leng?”
Gadis itu memang Siauw Kim adanya dan kakeknya adalah Kakek Lim Bun. Tiga empat tahun yang lalu ketika dalam keadaan miskin, terpaksa untuk mengobati cucunya Kakek Lim Bun menggadaikan cucunya, Siauw Kim, kepada Hartawan Siong Tat, hampir saja Siauw Kim menjadi korban kejahatan Siong Tat yang mata keranjang dan hampir Kakek Lim Bun bunuh diri.
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan menolong mereka, bahkan membunuh Hartawan Siong Tat dan menghancurkan rumah tangga gadai, menghajar para anak buah pegadaian itu. Ketika Siauw Kim memandang dan melihat Siang Lan, segera ia teringat maka ia pun menubruk kaki Siang Lan sambil menangis. Juga Kakek Lim mengenal Siang Lan.
“Ah, kiranya engkau juga yang menolong kami, Li-hiap!” katanya.
Siang Lan menarik bangun Siauw Kim dan memandangi gadis itu dengan kagum. Gadis remaja dahulu itu kini telah dewasa dan cukup cantik manis dan gagah. “Bagaimana kalian dapat berada di kota raja dan mengapa kalian tadi mencari sumbangan?”
“Aih, Li-hiap. Panjang ceritanya....” kata Siauw Kim.
“Enci Lan, tidak baik bicara di sini. Mari kita ajak Adik ini dan kakeknya ke rumah dan kita bicara di sana! Kakak Chang Hong Bu, karena sudah saling bertemu di sini secara kebetulan, mari engkau ikut dengan kami.”
Ajakan Lian Hong ini diterima senang oleh Hong Bu karena memang tadinya Hong Bu bermaksud pergi mengunjungi Siang Lan, gadis yang telah memikat hatinya. Setelah tiba di rumah Pangeran Sim Liok Ong, mereka disambut oleh Sim Tek Kun dan mereka semua mengajak Siauw Kim dan kakeknya ke dalam ruangan tamu. Lian Hong menceritakan dengan singkat kepada suaminya tentang Siauw Kim dan kakeknya.
Kemudian tiba giliran Siang Lan untuk bercerita kepada mereka tentang Siauw Kim dan Lim Bun yang ditolongnya sekitar tiga tahun lebih yang lalu di Kang-leng. Setelah itu, Siang Lan memegang tangan Siauw Kim dan bertanya.
“Nah, sekarang tiba giliranmu, Siauw Kim. Ceritakan keadaan dirimu sejak kita saling berpisah. Bagaimana engkau kini dapat menjadi murid Kun-lun-pai dan bagaimana pula engkau sampai tiba di kota raja.”
Siauw Kim lalu menceritakan riwayatnya. Setelah dulu ditolong Siang Lan, gadis remaja itu masih mengalami banyak kesengsaraan lagi. Ibunya dan tiga orang adiknya mati satu demi satu karena wabah penyakit yang mengamuk.
Kakek Lim Bun terpaksa membawa cucunya yang tinggal seorang itu pergi meninggalkan dusun Kang-leng yang diserang wabah. Akan tetapi di tengah perjalanan yang sengsara itu, tiba-tiba Kakek Lim Bun jatuh sakit pula. Agaknya wabah itu telah menular kepadanya juga.
Mujur baginya, dalam keadaan setengah mati di lereng sebuah bukit, mereka berdua bertemu dengan seorang pertapa miskin sederhana yang dapat mengobati kakek Lim Bun sampai sembuh. Mendengar riwayat Siauw Kim yang penuh kesengsaraan, pertapa itu lalu mengijinkan Siauw Kim dan kakeknya tinggal di bukit tempat dia bertapa, hidup sederhana dan Siauw Kim lalu dilatih ilmu silat olehnya.
“Akan tetapi sungguh nasib kami amatlah buruknya, Li-hiap,” kata Siauw Kim dan tiba-tiba gadis itu menangis. Lim Bun juga menundukkan mukanya yang telah keriputan dan menghela napas berulang-ulang.
“Nanti dulu, Nona!” tiba-tiba Sim Tek Kun berkata. “Siapakah pertapa yang melatih silat kepadamu itu? Apakah dia seorang tokoh Kun-lun-pai?” Dia tadi sudah mendengar dari isterinya bahwa Siauw Kim tadi memperlihatkan ilmu silat Kun-lun-pai.
Siauw Kim menyusut air matanya. “Nama Suhu hanya saya ketahui julukannya saja karena beliau tidak pernah menceritakan nama aselinya. Julukannya Kim-gan-liong....”
Tentu saja Tek Kun, Lian Hong, dan Siang Lan terkejut sekali mendengar ini. “Ah, kiranya gurumu itu adalah Susiok Kim-gan-liong!” seru Tek Kun, “Dan di mana beliau sekarang?”
Siauw Kim menangis lagi. “Itulah, nasib kami sungguh selalu buruk. Setelah hidup tenang dan tenteram bersama Suhu, walaupun dalam keadaan sederhana sekali, selama hampir tiga tahun, Suhu.... meninggal dunia....”
“Beliau meninggal...?” Tek Kun berseru kaget. “Akan tetapi kenapa? Bagaimana beliau yang belum tua benar sampai meninggal?”
Siauw Kim menggelengkan kepala dengan sedih. “Sejak hidup bersamanya, kami melihat Suhu seperti hidup dalam timbunan duka. Beliau tidak pernah tampak gembira, bahkan seringkali tampak gelisah dan berduka, dan kesehatannya sering terganggu. Akhir-akhir ini beliau sering batuk-batuk dan... kalau batuk terkadang mengeluarkan darah... dan pada suatu malam, sekitar empat bulan yang lalu, Suhu meninggal dunia....”
“Aih, kasihan susiok....” Sim Tek Kun menghela napas panjang.
Lian Hong dan Siang Lan juga menundukkan muka mereka. Dahulu, mereka menganggap bahwa Kim-gan-liong merupakan seorang di antara musuh besar yang mengeroyok dan membunuh guru mereka, Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu ayah kandung Ong Lian Hong.
Akan tetapi kemudian Siang Lan mengetahui bahwa Kim-gan-liong sama sekali tidak ikut mengeroyok, melainkan dia mengajak pi-bu Pat-jiu Kiam-ong karena memang pi-bu merupakan kesukaan Kim-gan-liong.
Agaknya peristiwa itu, walaupun dia tidak ikut mengeroyok namun menjadi penyebab tewasnya Pat-jiu Kiam-ong yang diracuni dan dikeroyok banyak orang. Hal itu meracuni hatinya sehingga dia sakit-sakitan, menjadi pertapa dan dalam usia yang belum tua, baru sekitar limapuluh empat tahun, telah meninggal karena digerogoti penyakit yang timbul dari penyesalan dan duka!
“Siauw Kim, setelah gurumu meninggal, lalu engkau dan kakekmu pergi ke kota raja?” Siang Lan bertanya.
Seperti yang telah dilakukan sejak tadi dan ini tidak luput dari perhatian Siang Lan, Siauw Kim mengerling ke arah wajah Chang Hong Bu, kerling tajam yang mengandung penuh kekagumanan terima kasih!
“Sebelum meninggal dunia Suhu memesan kepada saya, karena saya sudah tidak mempunyai keluarga lain kecuali kong-kong, Suhu memerintahkan saya untuk pergi ke kota raja. Kami orang miskin, Suhu juga tidak mempunyai apa-apa. Setiap hari kami hanya makan dari tanaman di lereng bukit. Maka ketika kami berangkat kami tidak membawa bekal uang, hanya membawa bahan makanan.
“Akan tetapi setelah bahan makanan habis, terpaksa kami... minta sumbangan dan untuk balas jasa, saya memperlihatkan ilmu silat yang pernah saya pelajari dari Suhu selama tiga tahun ini. Saya dan kong-kong tidak tahu bagaimana harus mencari uang untuk sekedar makan dan kami hanya mengharapkan belas kasihan dan kedermawanan orang.
“Setiba kami di sini, kami kehabisan uang dan terpaksa tadi saya dan kong-kong minta sumbangan sekadarnya. Sama sekali tidak kami sangka akan muncul tiga orang jahat itu. Ah, kalau saja tidak ada... In-kong (Tuan Penolong) ini... ah, tentu kami kakek dan cucu telah menjadi korban....”
“Nanti dulu, Siauw Kim. Kenapa gurumu menyuruh engkau dan kakekmu pergi ke kota raja? Apa tujuan kalian datang ke kota raja ini?” tanya Siang Lan.
“Suhu berpesan agar kami mencari seorang murid keponakan suhu yang berada di kota raja dan suhu mengharapkan agar murid keponakannya itu dapat membantu dan memberi jalan demi kebaikan hidup kami kakek dan Cucu.”
“Siapakah murid keponakan Gurumu itu, Siauw Kim?” tanya Siang Lan sambil mengerling kepada Sim Tek Kun.
Sim Tek Kun dan isterinya juga memandang Siauw Kim dengan hati tegang karena mereka berdua sudah menduga siapa yang dimaksudkan Siauw Kim sebagai murid keponakan Kim-gan-liong itu.
“Kata Suhu, murid keponakannya itu adalah putera seorang pangeran dan bernama Sim Tek Kun,” kata Siauw Kim yang sama sekali tidak pernah mengira bahwa orang yang disebut namanya itu berada di depannya.
33. Kegelisahan Hati Pangeran Bouw
“Hemm, Siauw Kim, apakah engkau pernah bertemu dengan murid keponakan Gurumu itu?” desak Siang Lan.
Siauw Kim menggelengkan kepalanya dan lagi-lagi ia mengerling kepada Chang Hong Bu yang ikut mendengarkan.
“Nah, kalau begitu kuperkenalkan. Dia inilah putera pangeran yang bernama Sim Tek Kun dan ini adalah isterinya, Ong Lian Hong adikku,” kata Siang Lan sambil menudingkan telunjuknya kepada Tek Kun.
Tentu saja Siauw Kim terkejut bukan main dan ia pun cepat menjura dengan hormat kapada Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong. “Ah... kiranya Paduka....”
“Hushh, jangan menyebut Paduka kepada suamiku, Siauw Kim,” kata Lian Hong. “Bagaimanapun juga, engkau masih merupakan adik misan seperguruan dari suamiku. Engkau dan suamiku satu perguruan, sama-sama murid Kun-lun-pai, maka engkau adalah Sumoinya (Adik Perempuan seperguruan) dan suamiku adalah Suhengmu (Kakak laki-laki Seperguruanmu).”
“Ah, mana saya pantas menjadi adik seperguruan beliau...?” bantah Siauw Kim dengan sungkan.
“Sumoi Siauw Kim, jangan bersikap begitu. Isteriku benar, bagaimanapun juga engkau adalah murid mendiang Susiok Kim-gan-liong, berarti engkau adalah Sumoiku dan aku adalah Suhengmu.”
Siauw Kim merasa terharu bukan main. Sambil mengusap air matanya, ia berkata. “Ah, engkau sungguh seorang yang berbudi mulia dan isterimu juga seorang yang baik sekali, Suheng. Ternyata benar seperti yang diceritakan mendiang Suhu, bahwa Suheng seorang bangsawan tinggi akan tetapi berwatak seorang pendekar sejati.”
“Pangeran.... terimalah hormat dan terima kasih kami!” kata Kakek Lim Bun sambil menjura dengan hormat.
“Cukup, Kakek Lim Bun, tidak perlu memakai banyak peradatan,” kata Sim Tek Kun. “Akan tetapi, Sumoi, aku masih merasa heran dan tidak mengerti, apa maksud mendiang Susiok Kim-gan-liong menyuruh engkau dan kakekmu datang kepadaku. Apa yang dapat kami lakukan untukmu?”
Mendengar pertanyaan ini, Siauw Kim tampak bingung dan ia saling berpandangan dengan kakeknya, lalu dengan suara lirih ia berkata. “Suheng... Suhu hanya berpesan agar kami menghadap suheng dan.... dan mohon petunjuk dan menolong kami.... ah, saya.... saya tidak tahu harus bilang apa....”
Kakek Lim Bun segera membantu cucunya. “Pangeran, saya mohon dapat diberi pekerjaan. Pekerjaan apa saja, yang penting kami berdua mendapatkan tempat tinggal dan dapat makan setiap hari....”
Siauw Kim memotong ucapan kakeknya. “Suheng, kami berdua tidak membutuhkan yang berlebihan. Kami hanya butuh pekerjaan yang tetap agar kami berdua tidak perlu lagi merantau tanpa tempat tinggal yang tetap dan minta-minta sumbangan untuk biaya hidup kami sehari-hari. Saya siap untuk membantu keluarga dan rumah tangga Suheng, menjadi pelayan misalnya... dan kakek saya juga dapat membantu, menjadi tukang kebun atau apa saja. Kami tidak takut bekerja keras....”
Semua orang terharu mendengar ucapan gadis yang lugu dan bersemangat itu. Chang Hong Bu yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh perhatian merasa kasihan akan tetapi juga kagum. Baru sekali ini dia bertemu seorang gadis dusun sederhana yang demikian gagah berani, jujur dan bersemangat tinggi menjaga nama dan kehormatannya.
Juga tidak segan untuk bekerja keras agar dapat menghidupi dirinya sendiri dan kakeknya. Benar-benar seorang gadis yang walaupun belum terlalu tinggi ilmunya, namun sudah memiliki jiwa pendekar!
“Aih, kebetulan sekali!” tiba-tiba Siang Lan berseru. “Hong-moi, sebentar lagi engkau akan membutuhkan bantuan orang yang dapat kau percaya sepenuhnya. Tiga-empat bulan lagi saja engkau sudah harus menjaga dirimu baik-baik. Bagaimana kalau kalian menerima Siauw Kim membantumu di sini? Adapun kakek Lim Bun tentu saja dapat membantu mengawasi para pelayan di gedung ini!”
Lian Hong tersenyum dan memandang suaminya. “Bagaimana pendapatmu dengan usul Enci Siang Lan, Kun-ko?”
Sim Tek Kun tersenyum. “Terserah kepadamu, aku sih setuju saja dan kurasa Ayah dan Ibu akan menyetujuinya pula.”
Mendengar ini, Siauw Kim dengan girang menjatuhkan diri berlutut lagi di depan Tek Kun dan isterinya. “Terima kasih, Suheng berdua sungguh telah membangkitkan gairah hidup baru kepada kami!”
Kakek Lim Bun juga berlutut, akan tetapi Tek Kun cepat membangunkannya dan Lian Hong juga mengangkat bangun Siauw Kim yang berlutut di depannya.
“Sumoi, kami menerima bantuanmu untuk mengatur rumah tangga di sini dan membantu pekerjaan isteriku, akan tetapi kami tidak suka kalau engkau bersikap sebagai seorang pelayan. Engkau kuterima sebagai Sumoiku, maka kalau engkau bersikap merendahkan diri sebagai seorang pelayan, hal itu berarti merendahkan kehormatanku sebagai Suhengmu. Mengertikah engkau?” kata Sim Tek Kun dengan suara tegas.
“Baik Suheng dan maafkan sikap kami tadi,” kata Siauw Kim.
“Bagus, urusan ini sudah dapat diselesaikan dengan baik. Engkau bekerjalah dengan baik, Siauw Kim, dan kakek Lim Bun, kalian berdua menerima budi kebaikan adikku Ong Lian Hong dan suaminya, maka kuharap kalian berdua mampu membalas budi kebaikan mereka itu dengan menjadi orang-orang yang dapat dipercaya dan setia.
"Seandainya kelak engkau tidak ingin bekerja di sini, engkau boleh ikut denganku ke Lembah Selaksa Bunga dan membantu aku di sana. Akan tetapi karena lembah Selaksa Bunga merupakan tempat tinggal khusus untuk wanita, maka tentu saja Kakekmu tidak mungkin dapat ikut tinggal di sana.”
Tiba-tiba Siang Lan teringat akan sesuatu dan ia berkata kepada Siauw Kim. “Siauw Kim, tahukah engkau siapa penolongmu ini?” Ia menuding kepada Chang Hong Bu.
Siauw Kim memandang wajah Hong Bu dan menggelengkan kepalanya. “Saya tidak berani menanyakan nama In-kong,” katanya lirih.
“Ketahuilah bahwa dia ini bernama Chang Hong Bu, pendekar muda murid Siauw-lim-pai yang amat lihai dan dia adalah keponakan dari Jenderal Chang Ku Cing yang terkenal.”
Mendengar ini, Siauw Kim terkejut sekali dan cepat ia memberi hormat sambil menjura kepada pemuda yang amat dikaguminya itu. “Maaf kalau saya bersikap kurang hormat kepadamu, Chang In-kong!”
Disebut Chang In-kong (Tuan Penolong Chang) Hong Bu menjadi merah mukanya dan dia cepat berkata. “Nona, jangan sebut aku In-kong karena bukan aku saja yang tadi mengusir tiga orang jahat itu, akan tetapi terutama sekali Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan dan Adik Ong Lian Hong. Pula tentu sebagai murid Kun-lun-pai engkau juga mengetahui bahwa menentang orang-orang jahat merupakan kewajiban bagi seorang murid perguruan silat yang baik. Jadi, dalam peristiwa tadi tidak ada hutang budi maupun tuan penolong.”
“Terima kasih dan maafkan saya, Chang Tai-hiap,” kata Siauw Kim.
Dengan hati merasa bahagia sekali Siauw Kim lalu dengan rajin mulai membantu pekerjaan rumah tangga di gedung Pangeran Sim Liok Ong. Pangeran itu dan isterinya menerima Siauw Kim dan kakeknya dengan senang hati karena dua orang itu sungguh merupakan orang-orang yang tahu diri dan rajin bekerja.
Malam itu, Nyo Siang Lan tak dapat tidur. Ia gelisah rebah di atas pembaringan dalam kamarnya, memikirkan tentang dirinya. Ia sungguh merasa bingung dan gelisah. Keadaan dirinya sendiri sudah ternoda dan ia merasa dirinya tidak berharga dan membawa aib.
Ia merasa benar bahwa Chang Hong Bu jatuh cinta kepadanya. Rasanya tidak akan sukar untuk jatuh cinta kepada seorang pendekar muda seperti Chang Hong Bu. Masih muda, gagah dan tampan, keponakan seorang jenderal besar yang terkenal bijaksana dan pandai, memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Ah, tidak banyak pemuda sehebat Hong Bu.
Ia merasa kagum dan suka kepada pemuda yang sopan itu. Akan tetapi cinta? Ia meragukan dirinya sendiri. Rasanya sulit ia dapat jatuh cinta kepada seorang laki-laki setelah ia menjadi korban kebuasan dan kekejian laki-laki, yaitu Thian-te Mo-ong!
Tiba-tiba wajah Bu-beng-cu terbayang depan matanya. Wajah seorang laki-laki yang matang dan sudah dewasa benar. Usia Bu-beng-cu tentu sudah sekitar empatpuluh empat tahun. Wajah yang lembut penuh pengertian, sinar mata yang mengandung kebijaksanaan dan senyumnya yang penuh kesabaran.
Kepada Bu-beng-cu ia menaruh kepercayaan besar sekali, bahkan Bu-beng-cu merupakan satu-satunya orang di samping Kui Li Ai yang telah ia ceritakan tentang dirinya yang sudah dinodai orang. Dan apa kata Bu-beng-cu? Bahwa kalau dapat ia harus memaafkan pemerkosanya atau kalau tidak dapat mengampuninya, bunuh saja!
Siang Lan terkenang akan pengalamannya yang aneh. Ketika dia ditangkap Hoat Hwa Cin-jin dan nyaris diperkosa orang lagi, muncul Bu-beng-cu menyelamatkannya bahkan ia berhasil membunuh Hoat Hwa Cin-jin. Pada saat itu, rasa haru dan juga lega karena terhindar dari nasib diperkosa orang lagi, ia merangkul gurunya dan pada saat itulah ia merasa betapa perasaan hatinya dekat sekali dengan Bu-beng-cu.
Baru ia menyadari bahwa tanpa ia ketahui ia telah jatuh cinta kepada Bu-beng-cu. Sungguh aneh dan mengherankan hatinya. Mengapa bertemu dengan pemuda-pemuda yang tampan dan gagah perkasa ia tidak jatuh cinta? Bahkan cintanya kepada Sim Tek Kun dahulu tidaklah sedalam apa yang ia rasakan terhadap Bu-beng-cu!
Apakah karena laki-laki itu teramat baik kepadanya, berkali-kali membela dan menolongnya, melindunginya bahkan dengan sungguh-sungguh menurunkan ilmu-ilmunya kepadanya agar kelak dapat membalas dendam sakit hatinya kepada Thian-te Mo-ong?
Ia sendiri tidak tahu. Akan tetapi awan gelap menyelubungi hati gadis itu ketika ia teringat betapa sikap Bu-beng-cu seolah tidak menyambut cintanya! Hal ini memang juga dapat diterimanya karena bagaimana mungkin seorang gadis yang sudah ternoda seperti dirinya pantas menjadi pasangan hidup seorang pendekar besar yang bijaksana seperti Bu-beng-cu?
Siang Lan teringat lagi kepada Chang Hong Bu. Tidak, ia tidak akan membiarkan dirinya terjerat cinta dengan pemuda itu! Tidak mungkin! Kalau ia menerima dan membalas cinta pemuda itu, ia harus bersikap jujur, harus berani mengaku kepadanya bahwa dirinya bukan perawan lagi, bahwa ia telah diperkosa seorang penjahat.
Dan ia sudah dapat membayangkan. Bibir pemuda yang murah senyum itu akan berjebi mengejeknya, sedangkan matanya yang bersinar tajam berwibawa itu tentu akan memandang rendah! Ah, kalau sampai demikian, ia tentu akan berubah amat membenci pemuda itu! Ah, tidak!
Lebih baik ia tidak melibatkan diri dalam cinta dengan seorang laki-laki. Ia sudah tidak layak untuk menjadi isteri orang karena tidak akan tahan melihat suaminya kelak memandang rendah dan hina kepadanya! Ia lalu teringat akan Siauw Kim! Gadis itu jauh lebih layak menjadi jodoh Chang Hong Bu.
Biarpun gadis itu seorang gadis dusun namun ia memiliki watak gagah seorang pendekar tabah dan berani menjaga kehormatannya yang lebih dihargainya daripada nyawa. Dan ia melihat sinar mata penuh kagum dari sepasang mata gadis itu kepada Chang Hong Bu!
Lebih baik ia segera kembali ke Lembah Selaksa Bunga. Mendadak saja hatinya merasa rindu kepada gurunya? Bu-beng-cu, gurunya pernah mengatakan bahwa setahun lagi belajar dengan tekun, ia pasti akan mampu menandingi Thian-te Mo-ong!
Baru sekarang ia merasa betapa setelah berada di kota raja, jauh dari Bu-beng-cu, ia merasa kehilangan dan hidupnya terasa tidak lengkap! Dengan pikiran mengambil keputusan ini akhirnya Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan dapat tidur pulas.
Malam hari itu terjadi peristiwa yang penting di istana Pangeran Bouw Ji Kong. Pangeran itu telah menyuruh para datuk yang membantunya, yaitu Hongbacu tokoh Mancu, Tarmalan tokoh suku bangsa Hui, dan Hwa Hwa Hoat-su datuk Pek-lian-kauw, untuk sementara keluar dari kota raja dan bersembunyi.
Sejak malam itu, Pangeran Bouw Ji Kong lebih banyak termenung dalam kamarnya dalam keadaan murung. Dia melihat betapa perkembangan usahanya untuk merebut tahta kerajaan tidak berjalan mulus.
Pihak pemerintah terlampau kuat, bukan saja di sana ada Jenderal Chang Ku Cing yang gagah perkasa dan pandai, juga masih ada Menteri Yang Ting Ho yang bijaksana dan yang merupakan pembantu terpercaya dari kaisar Wan Li selain itu juga dihormati dan disegani para pejabat tinggi.
Bukan kenyataan ini saja yang membuat hati pangeran Bouw Ji Kong menjadi risau, akan tetapi juga melihat betapa para sekutunya dari Mancu dan Pek-lian-kauw, terutama sekali para pendukungnya, merupakan orang-orang yang memerasnya.
Banyak sekali permintaan mereka berupa uang dan harta benda lain sehingga dia sudah mengeluarkan banyak harta simpanannya untuk menyenangkan hati mereka agar mereka tetap mendukungnya. Adapun hal yang paling menyakitkan hatinya adalah lenyapnya putera tunggalnya, Bouw Cu An! Puteranya hanya seorang itu, anak-anaknya yang lain adalah perempuan.
Tentu saja dia merasa amat sayang kepada puteranya itu yang sejak kecil sudah dia panggilkan ahli-ahli sastra dan tata negara, dia persiapkan agar kelak puteranya itu pantas menjadi seorang pangeran mahkota calon kaisar! Bahkan juga puteranya telah dilatih ilmu silat yang cukup memadai.
Biarpun akhirnya Bouw Cu An memperlihatkan sikap menentangnya dalam urusan melaksanakan rencananya merebut tahta kerajaan, namun kemarahannya kepada puteranya hanyalah di luarnya saja agar terlihat oleh para pendukungnya. Di dalam hatinya, tetap saja ayah ini amat sayang kepada puteranya.
Maka, mendengar laporan Hongbacu bahwa puteranya telah diculik Ouw-yang Sianjin dan sampai sekarang belum juga dapat ditemukan, hati pangeran Bouw Ji Kong menjadi gelisah sekali. Dia melihat rencana pemberontakannya, selain kurang maju perkembangannya, juga amat merugikannya.
Tentu saja selama ini, tindakan dan rencana pemberontakan Pangeran Bouw Ji Kong dia anggap sebagai “perjuangan”, demi rakyat demi mengubah pemerintah sang korup menjadi pemerintah yang bersih, dan sebagainya yang muluk-muluk lagi. Akan tetapi sesungguhnya, Pangeran Bouw Ji Kong mempunyai jiwa dan watak pedagang!
Watak pedagang membuat dia dalam segala tindakannya mendasari dengan untung rugi. Kalau tindakannya itu menguntungkan, hal ini memperkuat semangatnya untuk melanjutkan apa yang dia perjuangkan, akan tetapi kalau kenyataannya merugikan, dia kehilangan semangat dan mulai memikirkan tindakan apa yang harus dia lakukan untuk menghindarkan dirinya dari kerugian.
Pemimpin seperti ini, dan sebagian terbesar seperti yang tercatat dalam sejarah memang demikian, selalu akan mabok kemenangan dan menyelam ke dalam lautan kesenangan kalau usahanya berhasil, melupakan rakyat yang tadinya dijadikan tulang punggung untuk mendukung “perjuangannya”.
Malam yang dingin itu Pangeran Bouw Ji Kong duduk termenung seorang diri di dalam kamarnya, tidak dapat tidur memikirkan kegagalannya, terutama sekali dengan hati rindu dan sedih memikirkan puteranya yang hilang.
Semua penghiburan yang diberikan isteri dan para selir ditolaknya dan dia malam itu tidak mau diganggu, duduk termenung seorang diri dalam kamarnya yang besar. Angin malam yang berhembus memasuki kamar melalui celah-celah dinding bagian atas membawa hawa dingin menyusup tulang.
Tiba-tiba daun jendela kamar itu terkuak dari luar, menimbulkan suara berderit. Pangeran Bouw Ji Kong terkejut dari lamunannya, menoleh ke arah jendela dan cepat dia melompat berdiri sambil menyambar pedang yang diletakkan di atas mejanya. Pangeran ini memang memiliki ilmu silat yang cukup tangguh dan ilmu silatnya itulah yang pernah dia ajarkan pula kepada Bouw Cu An, putera tunggalnya.
Jendela itu terbuka dan sesosok tubuh melayang memasuki kamar. Pangeran Bouw Ji Kong siap untuk menyerang, akan tetapi pemuda yang telah berada di depannya itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sang Pangeran.
“Ayah...!”
Pedang yang sudah diangkatnya itu turun kembali dan bahkan dilemparnya di atas meja. Dalam suaranya terkandung kemarahan dan kerinduan serta kegembiraan sekaligus. “Cu An....! Ke mana saja selama ini engkau pergi?”
“Maafkan saya, Ayah. Selama ini saya memperdalam ilmu silat saya. Maafkan saya yang pergi tanpa pamit kepada Ayah.”
“Tidak perlu minta maaf, Anakku. Bangkit dan duduklah, dan ceritakan apa yang terjadi! Apakah pendeta jahanam itu yang telah menculikmu, tidak mengganggumu?”
Bouw Cu An bangkit, duduk di depan ayahnya dan memandang dengan mata terbelalak heran. “Pendeta jahanam yang menculik saya, Ayah? Apa dan siapa yang Ayah maksudkan?”
“Siapa lagi kalau bukan pendeta jahat Ouw-yang Sianjin yang telah menculikmu!”
Cu An menjadi semakin heran. “Ayah, darimana Ayah mendengar bahwa saya diculik oleh Ouw-yang Sianjin?”
“Ketika malam itu engkau pergi, Hongbacu datuk Mancu itu mengejarmu dan dialah yang melaporkan bahwa engkau diculik Ouw-yang Sianjin dan dia tidak berhasil menolongmu.”
“Aduh! Makin ketahuan sekarang betapa Ayah telah bekerja sama dengan orang-orang jahat. Hongbacu menolong saya? Ayah telah dibohongi dan ditipu. Hongbacu bukan menolong saya melainkan mencoba untuk membunuh saya!”
“Hahh....?” Pangeran Bouw Ji Kong terbelalak. “Benarkah? Apa... apa yang terjadi, Cu An...?”
“Ayah agaknya telah mendengarkan fakta yang diputar-balikkan. Begini kejadiannya, Ayah. Malam itu saya merasa kesal dan terus terang saya tidak dapat menyetujui rencana Ayah hendak merebut tahta kerajaan, apalagi Ayah bersekutu dengan orang-orang Mancu dan perkumpulan-perkumpulan pemberontak jahat seperti Pek-lian-kauw, Ngo-lian-kauw dan lain-lain.
"Karena hati saya kesal dan tidak setuju, maka malam itu saya meninggalkan rumah ini dengan hati sedih. Tiba-tiba muncul Hongbacu yang hendak membunuh saya karena saya dianggap merintangi niat Mancu untuk memanfaatkan Ayah dan merebut tahta kerajaan. Saya tentu sudah mati karena tidak mampu melawan Hongbacu, kalau saja pada saat itu tidak muncul Suhu Ouw-yang Sianjin.
"Dialah yang telah menyelamatkan saya, mengalahkan dan membuat Hongbacu melarikan diri. Sungguh saya tidak mengerti, mengapa Ayah begitu tega untuk menyuruh Hongbacu membunuh saya, Ayah....” Suara pemuda itu mengandung isak kesedihan.
“Ah, tidak...! Sama sekali tidak, Cu An! Aku sama sekali tidak menyuruh untuk membunuhmu, hanya menyuruh dia memanggilmu kembali. Dia kembali dan mengatakan bahwa engkau diculik Ouw-yang Sianjin...”
“Karena saya mengira bahwa Ayah benar-benar tega untuk menyuruh membunuh saya, maka saya tidak berani pulang dan saya lalu ikut Suhu Ouw-yang Sianjin, memperdalam ilmu silat saya.”
Pangeran Bouw Ji Kong mengepal tangan kanannya. “Keparat busuk Hongbacu! Dia membohongiku! Berani dia hendak membunuh puteraku!” Sang Pangeran yang marah itu merasa tidak terdaya karena pada saat itu Hongbacu tidak berada di situ, sudah menyembunyikan diri keluar kota raja menanti berita darinya. “Sekarang engkau pulang, lalu apa kehendakmu, Cu An?”
“Ayah, setelah saya menjadi murid Ouw-yang Sianjin, saya semakin menyadari bahwa Ayah telah mengambil jalan yang keliru sama sekali. Saya pulang ini untuk menyadarkan Ayah. Orang-orang yang mendukung niat Ayah memberontak itu semua bukan orang baik-baik dan mereka itu hanya ingin membonceng dan memanfaatkan Ayah demi keuntungan mereka sendiri. Harap Ayah menyadari benar hal ini.”
Tiba-tiba terdengar suara lembut dari luar kamar itu, suara lembut namun beribawa dan terdengar jelas seolah pembicaranya berada di dalam kamar itu. “Semua yang diucapkan Bouw Cu An itu benar dan bijaksana. Masih belum terlambat bagi orang yang bertindak salah untuk memperbaiki tindakannya! Mengubah langkah dan bertaubat sebelum terlambat, itulah tindakan yang bijaksana.”
“Suhu....” kata Bouw Cu An lirih.
Pangeran Bouw Ji Kong menoleh ke arah jendela yang masih terbuka. Wajahnya agak pucat ketika mendengar bahwa Ouw-yang Sianjin berada di luar kamarnya. Tentu saja anggapan bahwa Ouw-yang Sianjin merupakan seorang musuh yang berbahaya masih menguasai perasaannya. Akan tetapi dia percaya kepada puteranya, maka dia berseru ke arah jendela.
“Ouw-yang Sianjin, kalau engkau sudah berada di sini, masuklah dan beri penjelasan kepada kami!”