Lembah Selaksa Bunga Jilid 13

Cerita Silat Mandarin Serial Iblis dan Bidadari seri kedua, Lembah Selaksa Bunga Jilid 13 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

37. Rahasia Penculikan Kaisar Beng

Hwa Hwa Hoat-su sedang duduk bersamadhi dalam kamar tahanan itu. Sebuah lampu yang cukup terang tergantung dalam kamar yang tidak memiliki perabotan lain kecuali sebuah bangku panjang yang menjadi tempat duduk dan tempat tidur. Dindingnya tebal dan dilapisi baja, bagian depannya merupakan jeruji baja yang sebesar lengan orang, amat kokoh.

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S.P

Biasanya, di depan kamar tahanan ini masih terdapat lima orang perajurit jaga yang menjaga secara bergiliran, siap dengan senjata tombak dan panah. Akan tetapi malam ini, para penjaga itu pun menjauhkan diri atas permintaan Bu-beng-cu.

Suara terbukanya pintu membuat Hwa Hwa Hoat-su membuka mata dan memandang ke arah pintu. Pintu kamar tahanannya terbuka dan di ambang pintu tampak seorang laki-laki yang dengan sinar mata mencorong menatapnya.

Mula-mula Hwa Hwa Hoat-su merasa girang sekali karena dia mengira bahwa tentu Pek-lian-kauw telah mengirim seseorang untuk membebaskannya dari tahanan. Akan tetapi dia mengerutkan alisnya karena tidak mengenal laki-laki itu.

Bagaimanapun dia melihat kesempatan meloloskan diri. Kalau yang datang ini bukan kawan yang hendak membebaskannya, mudah saja baginya untuk membunuhnya dan menggunakan kesempatan selagi kamar tahanan terbuka dan tidak tampak ada penjaga, untuk melarikan diri.

Maka dia cepat melompat turun dari atas bangku panjang dan kini berdiri berhadapan dengan Bu-beng-cu yang sudah melangkah masuk. Sejenak kedua orang ini saling berpandangan dan Bu-beng-cu berkata tenang.

“Hwa Hwa Hoat-su, apakah keadaanmu baik-baik saja di tempat ini?”

Hwa Hwa Hoat-su memandang penuh selidik, lalu bertanya. “Siapakah engkau dan apa perlumu memasuki kamar tahanan ini?”

“Siapa adanya aku tidaklah penting, Hwa Hwa Hoat-su. Aku datang mewakili panglima besar Chang Ku Cing dan minta agar engkau mau berterus terang mengaku siapa yang melakukan penculikan atas diri Sribaginda Kaisar!”

Sepasang mata Hwa Hwa Hoat-su, terbelalak, lalu dia tertawa bergelak. “Kaisar diculik? Ha-ha-ha-ha! Bagus, bagus sekali!”

“Hwa Hwa Hoat-su, dengarlah baik-baik. Kalau penculikan itu dilakukan seorang temanmu, hal itu sama sekali tidak menguntungkan engkau atau Pek-lian-kauw. Seratus orang kaisar boleh kalian culik dan binasakan, akan tetapi seratus orang kaisar lain akan bermunculan dan pemerintah Kerajaan Beng akan masih tetap berdiri teguh. Akibatnya, engkau dan teman-temanmu tidak mungkin akan mendapatkan pengampunan lagi, bahkan pemerintah pasti akan berusaha keras untuk membasmi Pek-lian-kauw. Karena itu, katakan saja siapa yang telah menculik Sribaginda Kaisar!”

“Ha-ha-ha, orang macam engkau dapat memaksa aku mengaku?” Tiba-tiba tokoh Pek-lian-kauw itu menyerang dengan dorongan kedua telapak tangannya.

Sejak tadi dia memang diam-diam sudah mengumpulkan sin-kang (tenaga sakti) dan kini dia bermaksud sekali serang membuat orang di depannya itu tewas agar dia dapat melarikan diri keluar dari tempat tahanan. Angin bagaikan badai menyambar ketika dia menyerang Bu-beng-cu dengan pukulan jarak jauh yang dahsyat itu.

Akan tetapi tentu saja Bu-beng-cu bukan seorang yang bodoh dan lengah. Sejak semula dia sudah tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang yang selain lihai, juga terkenal licik. Maka sejak masuk kamar tahanan itu, dia sudah membekali dirinya dengan pengerahan sin-kang. Maka begitu lawan menyerang, dia sudah siap dan dia pun mendorongkan kedua telapak tangannya menyambut serangan dahsyat itu.

“Syuuuuttt... blaarrrr....!”

Tubuh Hwa Hwa Hoat-su terlempar ke belakang dan membentur dinding lalu terjatuh. Dia terbelalak dan cepat bangkit berdiri, heran dan terkejut bukan main. Dipandangnya lawannya. Hanya seorang laki-laki yang belum tua benar, baru sekitar empatpuluh dua tahun usianya, akan tetapi bagaimana mungkin dia bukan hanya mampu menandingi tenaga saktinya, bahkan membuat dia terlempar? Kemudian teringatlah Hwa Hwa Hoat-su.

“Keparat! Kiranya engkau yang dulu membantu dan melindungi Hwe-thian Mo-li!” Dia merasa penasaran sekali dan menyesal bahwa kedua senjatanya, yaitu pedang dan kebutan putih, telah dirampas sehingga dia tidak dapat menggunakan senjata untuk melawan orang yang dia tahu amat tangguh ini. “Siapakah engkau?”

Bu-beng-cu tersenyum. “Hwa Hwa Hoat-su, bukan baru sekali itu saja kita bertemu. Lupakah engkau ketika sekitar enam-tujuh tahun yang lalu kita saling bertemu di See-ouw dan ketika itu engkau tidak kubunuh dan kubebaskan setelah engkau bersumpah untuk tidak melakukan kejahatan lagi?”

Tiba-tiba wajah Hwa Hwa Hoat-su yang biasanya pucat itu menjadi semakin pucat sehingga kehijauan dan sinar matanya menjadi redup kehilangan semangat. “Kau... kau... Thai-lek-sian (Dewa bertenaga besar) Sie Bun Liong?”

Sie Bun Liong atau Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama) mengangguk. “Sekarang terserah kepadamu, Hwa Hwa Hoat-su. Kaukatakan siapa penculik Sribaginda Kaisar dan aku tidak akan mengganggumu, atau kalau engkau tidak mau mengaku, terpaksa aku tidak akan mengampunimu lagi.”

Terbayanglah dalam benak Hwa Hwa Hoat-su akan peristiwa enam tahun lebih yang lalu. Ketika itu dia atas nama Pek-lian-kauw bersama belasan orang anak buahnya mengadakan kegiatan di sekitar See-ouw (Telaga barat), seperti biasa membujuk rakyat untuk mendukung gerakan Pek-lian-kauw.

Lalu minta kepada rakyat di dusun-dusun untuk menyerahkan sumbangan untuk biaya “perjuangan”. Mereka yang membantah atau tidak menaati lalu disiksa, bahkan ada yang dibunuh.

Pada waktu itu, Sie Bu Liong yang mendengar akan hal ini, apalagi mendengar betapa beberapa orang pendekar yang mencoba menentang Hwa Hwa Hoat-su semua dikalahkan datuk Pek-lian-kauw itu, segera datang ke tempat itu. Dia mengobrak-abrik semua anak buah Pek-lian-kauw dan akhirnya bertanding dengan Hwa Hwa Hoat-su.

Akhirnya Hwa Hwa Hoat-su roboh dan dia tertotok dengan Ilmu Penghancur Tulang yang membuat dia menderita kesakitan yang amat hebat. Seluruh isi tubuhnya seperti ditusuk-tusuk pisau, nyeri, panas dan pedih yang hampir tak tertahankan. Celakanya, dia tidak pingsan atau tewas sehingga siksaan itu membuat dia mohon ampun dan bersumpah untuk tidak melakukan kejahatan lagi.

Demikianlah kenangan itu dan kini kembali dia berhadapan dengan Thai-lek-sian Sie Bun Liong yang tadi sudah membuktikan bahwa tingkat kepandaian pendekar itu masih tetap lebih tinggi daripada tingkatnya. Dia merasa ngeri sekali.

“Thai-lek-sian, aku tidak mungkin dapat memenuhi permintaanmu, lebih baik kau bunuh saja aku!” katanya.

Bu-beng-cu menggelengkan kepala. “Kalau engkau tidak mau mengaku, terpaksa aku akan memukulmu dengan Ilmu Penghancur Tulang lalu meninggalkanmu di sini. Engkau akan tersiksa selama empatpuluh hari baru akan mati.”

Ancaman itu membuat Hwa Hwa Hoat-su mati kutu. Dia merasa ngeri sekali dan akhirnya dia mengaku setelah menghela napas berulang-ulang.

“Biarpun aku sendiri tidak dapat membuktikan, namun aku yakin bahwa satu-satunya orang yang mampu melakukan penculikan terhadap Kaisar, kalau orang itu dari Pek-lian-kauw, adalah suhengku (kakak seperguruanku) Cui-beng Kui-ong (Raja Setan Pengejar Arwah). Dialah yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di antara kami.”

“Hemm, bagus engkau mau mengaku. Sekarang katakan di mana dia berada dan di mana pula dia menyembunyikan Sribaginda Kaisar!”

Hwa Hwa Hoat-su menggelengkan kepalanya. “Thai-lek-sian, aku telah tertawan dan ditahan di sini, sama sekali tidak mendapatkan hubungan luar penjara. Bagaimana aku dapat mengetahui di mana dia berada dan di mana pula Kaisar disembunyikan? Tadinya pun aku hanya menduga saja bahwa Suhengku yang melakukannya. Biar engkau paksa bagaimana pun, mana mungkin aku dapat mengetahui keadaan yang sebenarnya?”

Bu-beng-cu berpikir sejenak. Alasan Hwa Hwa Hoat-su ini tak dapat disangkal kebenarannya. Bagaimana dia bisa tahu kalau dia berada dalam tahanan? Tentu sebelum dia tertawan, tidak ada rencana untuk menculik kaisar karena Pek-lian-kauw tadinya hanya mendukung dan membantu pemberontakan Pangeran Bouw Ji Kong!

Pangeran Bouw! Agaknya dia mengetahui akan rahasia ini maka dia menghilang. Mudah-mudahan Siang Lan dapat menemukan sesuatu, demikian Bu-beng-cu berpikir.

“Baiklah, Hwa Hwa Hoat-su. Aku percaya keteranganmu!” Setelah berkata demikian, Bu-beng-cu keluar dari kamar itu dan mengunci lagi pintu tahanan lalu memanggil para penjaga. Dia pun keluar dari penjara itu.

Bagaimanapun juga, dia tidak gagal sama sekali. Dia dapat mengetahui siapa kiranya yang menculik kaisar. Cui-beng Kui-ong, datuk terbesar Pek-lian-kauw. Dia belum pernah bertemu dengan datuk itu, akan tetapi pernah mendengar kebesaran namanya dan kehebatan ilmu kepandaiannya.

Dia harus segera lapor kepada Panglima Chang Ku Cing. Dia kembali ke rumah penginapan menanti datangnya pagi. Dia akan menanti sampai Siang Lan datang berkunjung, baru bersama gadis itu akan mengunjungi panglima Chang.


Malam itu, sesuai dengan hasil perundingan dengan Bu-beng-cu, Siang Lan mengunjungi gedung Pangeran Bouw Ji Kong. Ia menanti sampai lewat tengah malam. Setelah suasana amat sepi ia melompati pagar tembok gedung yang mewah seperti istana itu, lalu dengan gerakan ringan ia melompat ke wuwungan rumah. Ia mulai mengintai dari atas genteng, berpindah-pindah, mendengarkan mereka yang masih belum tidur bicara.

Akan tetapi ia hanya dapat mendengar mereka yang sedang melakukan penjagaan saja, dan para penjaga itu tidak membicarakan sesuatu yang penting mengenai Pangeran Bouw Ji Kong, juga tidak ada yang bicara tentang hilangnya kaisar yang terculik orang.

Sampai menjelang fajar ia menyelidiki namun tidak berhasil menemukan sesuatu yang penting. Ketika ia mengambil keputusan untuk meninggalkan atap gedung itu, tiba-tiba ia mendengar suara wanita menangis. Cepat ia melayang turun dan menghampiri kamar dari mana terdengar suara tangis itu.

Cuaca masih gelap sehingga ia dapat bersembunyi di balik jendela, melubangi daun jendela dan mengintai ke dalam kamar. Ia melihat Nyonya Bouw, isteri pangeran Bouw Ji Kong sedang duduk di kursi dan menangis tersedu-sedu. Ia merasa tertarik sekali. Pasti nyonya ini mengetahui sesuatu, mungkin mengetahui di mana suaminya berada dan mengapa suaminya menghilang.

Ia ingin masuk dan mendesak agar nyonya itu mau mengaku. Akan tetapi ia menahan gerakannya karena tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dengan suara keras, agaknya didorong dari luar dan masuklah seorang kakek tua yang kurus berpakaian pelayan.

Kakek tua itu adalah kakek pelayan yang pernah ia lihat dan menurut Nyonya Bouw bernama A-kui, seorang kakek yang tampak lemah. Akan tetapi sekarang ia sama sekali tidak tampak sebagai pelayan yang taat dan lembut karena ia membentak dengan suara bengis.

“Sudah berapa kali aku melarang engkau menangis! Apa kau ingin melihat kepala suamimu kupenggal dan kubawa di depanmu?”

Wanita itu menahan jeritnya dan ia meratap. “Ampuni aku... ampuni suamiku... ah, jangan bunuh suamiku...!”

“Kalau begitu, diam dan jangan menangis. Sekali lagi aku mendengar engkau menangis, kepala suamimu akan kulempar di depan kakimu!”

Setelah berkata demikian, “pelayan” itu keluar dari kamar meninggalkan Nyonya Bouw yang menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menyembunyikan mukanya di bantal untuk menahan suara tangisnya. Cepat sekali Siang Lan lalu melompat dan memasuki kamar itu melalui pintu yang terbuka tanpa mengeluarkan suara.

Ia menepuk tengkuk Nyonya Bouw sehingga wanita itu terkejut dan mengangkat mukanya memandang Siang Lan akan tetapi tidak dapat mengeluarkan suara karena Siang Lan telah menotoknya. Ia memberi isyarat agar wanita itu tidak terkejut dan mengeluarkan suara, kemudian setelah membantu wanita itu duduk, ia membebaskan totokannya dan berkata lirih.

“Bouw Hujin, cepat katakan di mana suamimu berada?”

Dengan tubuh gemetar nyonya itu menuding ke arah bagian belakang rumah. “Di ruangan bawah tanah... ruangan rahasia suamiku...”

“Di mana letaknya?”

“Di kamar suamiku, dua pintu dari sini... akan tetapi ruangan itu tersembunyi... putar arca singa di sudut kamar dan ada pintu rahasia di belakang almari terbuka....”

“Jangan khawatir, aku akan menolong suamimu. Apakah Sribaginda Kaisar juga berada di situ?”

Wanita itu mengangguk dan Siang Lan segera meninggalkan kamar itu. Hatinya berdebar tegang karena selain merasa girang sekali telah menemukan di mana Kaisar disembunyikan, juga amat khawatir akan keselamatan Sribaginda Kaisar. Ia segera mencari kamar Pangeran Bouw Ji Kong seperti yang ditunjukkan Nyonya Bouw tadi dan mudah saja menemukan kamar yang besar itu. Melihat pintunya saja sudah lain karena pintunya terhias ukir-ukiran indah. Akan tetapi tiba-tiba daun pintu itu terbuka dari dalam.

Secepat kilat Siang Lan menyusup ke belakang pot tanaman yang besar dan bersembunyi sambil mengintai. Ia melihat kakek kurus tadi memegang sapu dan di pundaknya tersampir sehelai kain yang biasa dipergunakan untuk membersihkan perabotan rumah. Kakek itu berjalan dengan langkah terseok lemah menuju ke bagian depan sambil menyeret sapunya.

“Jahanam busuk!” Siang Lan mengutuk dalam hatinya. Siapa dapat menyangka kakek yang tampak seperti seorang pelayan tua lemah itu yang telah menculik kaisar, bahkan telah menyekap Pangeran Bouw Ji Kong ke dalam ruangan bawah tanah!

Kalau menurutkan kemarahannya, ingin Siang Lan langsung menyerangnya. Akan tetapi ia bukan seorang gadis yang bodoh. Sebelum menghajar penculik itu, ia harus lebih dulu melihat keadaan kaisar dan menolongnya. Menyelamatkan Sribaginda Kaisar harus didahulukan dan ini lebih penting daripada menghajar penculik itu.

Maka ia diam saja sampai kakek itu memasuki ruangan lain yang cukup jauh dan tidak tampak lagi. Baru ia memasuki kamar tidur Pangeran Bouw. Mudah saja menemukan arca singa di atas meja di sudut kamar. Cepat didekati meja itu lalu diputarnya arca itu. Terdengar bunyi berderit perlahan dan sebuah almari yang menempel pada dinding tiba-tiba bergerak dan bergeser. Di belakang almari itu kini terbuka pintu menuju tangga ke bawah!

Dengan jantung berdebar tegang namun penuh kewaspadaan Siang Lan menuruni tangga itu. Setelah tiba di bawah ia memasuki lorong dan tiba di sebuah ruangan bawah tanah. Dilihatnya Sribaginda Kaisar dan Pangeran Bouw Ji Kong duduk di atas lantai dalam keadaan terikat kaki tangan mereka. Mereka berdua tampak pucat namun dalam keadaan sehat dan masih hidup!

“Yang Mulia!” Siang Lan berseru dengan gembira dan terharu. Cepat ia melepaskan ikatan kaki tangan kaisar, lalu melepaskan pula ikatan kaki tangan Pangeran Bouw karena kini ia yakin bahwa pangeran itu tidak bersalah dalam hal penculikan kaisar, bahkan dia sendiri juga ditawan.

Sementara itu, setelah Siang Lan meninggalkannya, Nyonya Bouw Ji Kong menjadi khawatir sekali. Ia lalu menyelinap keluar gedung melalui pintu belakang, membangunkan kusir dan memerintahkan kusir cepat menyiapkan kereta. Kemudian, Nyonya ini menunggang kereta dan minta kusirnya membalapkan kereta keluar halaman gedung.

“Bawa aku cepat ke rumah Panglima Chang Ku Cing!” perintahnya dengan tubuh dan suara gemetar.

Para pelayan yang terbangun tidak ada yang berani bertanya dan kusir itu biarpun menjadi keheranan tidak berani bertanya pula. Setelah tiba di pintu gerbang halaman gedung Panglima Chang, para penjaga menghentikan kereta itu. Akan tetapi mereka mengenal Nyonya Bouw dan ketika wanita itu mengatakan hendak menghadap Panglima Chang karena urusan penting sekali mereka membuka jalan.

Pada waktu itu, hari masih pagi sekali. Akan tetapi sepagi itu, Panglima Chang Ku Cing sudah bangun dan bahkan pada saat itu sudah menerima seorang pengunjung yang diterima di kamar tamunya. Pengunjung itu bukan lain adalah Bu-beng-cu.

Seperti kita ketahui, Bu-beng-cu berhasil memaksa Hwa Hwa Hoat-su mengaku bahwa mungkin sekali yang menculik kaisar adalah seorang datuk Pek-lian-kauw bernama julukan Cui-beng Kui-ong, akan tetapi Hwa Hwa Hoat-su tidak tahu di mana datuk itu menyembuyikan kaisar.

Bu-beng-cu menceritakan kepada Panglima Chang betapa lihai dan berbahayanya datuk berjuluk Cui-beng Kui-ong itu. Dia juga menceritakan bahwa dia berbagi tugas dengan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan yang kini menyelidiki gedung Pangeran Bouw.

Tiba-tiba percakapan mereka terhenti ketika seorang pengawal melaporkan bahwa Nyonya Bouw datang berkunjung. Ketika wanita itu diijinkan masuk, ia lari memasuki ruangan tamu dan menjatuhkan diri di atas lantai sambil terengah-engah dan tubuhnya menggigil saking tegang dan takutnya.

Panglima Chang segera menghampiri dan membantu nyonya itu bangkit dan dipersilakan duduk. “Bouw Hujin, apakah yang terjadi:...?” tanyanya.

“Celaka, Chang Thai-ciangkun.... celaka....” Nyonya Bouw bicara gemetar dan bercampur tangis. “...suamiku... Sribaginda Kaisar.... mereka... mereka ditawan...” Wanita itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena tangisnya mengguguk.

Panglima Chang berkata penuh wibawa. “Tenanglah, Nyonya. Katakan, di mana Sribaginda Kaisar ditahan? Dan oleh siapa?”

“Yang menculik Sribaginda.... dan menawan suamiku.... dia adalah.... pelayan kami.... kakek A-kui.... mereka ditawan dalam ruangan bawah tanah.... di bawah... kamar suamiku....”

suaranya semakin lemah dan nyonya itu mengerahkan seluruh kekuatannya untuk terus memberi keterangan. “....tadi... tadi... ada seorang nona.... ia hendak menolong... akan tetapi.... ahh, saya... saya.... khawatir sekali....” Ia pun terkulai lemas dan pingsan!

“Thai-ciangkun, saya pergi menyusul Hwe-thian Mo-li!” Bu-beng-cu berpamit dan sekali berkelebat tubuhnya lenyap dari ruangan tamu itu.

Panglima Chang cepat memanggil perwira pembantu dan memerintahkannya agar segera mempersiapkan pasukan dan mengepung rumah gedung Pangeran Bouw Ji Kong. Perwira itu cepat melaksanakan perintah dan sebentar saja sepasukan perajurit terdiri dari duaratus orang sudah berlari-larian dalam barisan menuju rumah Pangeran Bouw.

38. Pembelaan Maut Pangeran Bouw

Panglima Chang Ku Cing memanggil pelayan setelah mereka menyadarkan kembali Nyonya Bouw, wanita itu diminta untuk bercerita kepada Panglima Chang. Nyonya Bouw bercerita dengan suara gemetar. Ternyata tiga hari yang lalu, pada suatu malam A-kui, pelayan tua mereka itu memasuki kamar tidur suami isteri ini.

Ketika Pangeran Bouw terbangun dan melihat A-kui dalam kamar memutar arca singa sehingga pintu rahasia terbuka, dia terkejut. Apalagi ketika melihat A-kui memanggul tubuh Kaisar di pundak kirinya. Tentu saja dia merasa heran dan terkejut bukan main.

“Mengapa Pangeran Bouw terkejut dan heran? Apakah dia tidak tahu bahwa kakek itu seorang yang lihai dan telah menculik kaisar?” tanya Panglima Chang.

“Dia tidak tahu, Panglima, kami semua dahulu menerima A-kui sebagai pelayan, sama sekali tidak tahu bahwa dia seorang yang demikian sakti dan jahat. Suamiku mencoba untuk merampas Sribaginda Kaisar, akan tetapi dengan sebelah tangan saja A-kui telah mendorong dan memukul suamiku sehingga roboh dan pingsan.

“Kemudian dia membawa Sribaginda Kaisar dan suamiku ke dalam ruangan bawah tanah dan mengancam bahwa kalau saya membuka rahasianya, dia akan membunuh Kaisar dan suamiku. Karena itulah, Thai-ciangkun, saya sama sekali tidak berani menceritakan hal itu kepada siapapun juga, bahkan seisi rumah selain saya tidak ada yang mengetahuinya.

“Akan tetapi ketika Nona pendekar tadi datang dan bilang hendak menolong, saya memberitahu kepadanya di mana Sribaginda Kaisar disembunyikan.. Setelah ia pergi, saya menjadi ketakutan. Bagaimana ia, seorang gadis muda, akan dapat mengalahkan A-kui? Sedangkan suami saya sendiri begitu mudah dirobohkan!”

Panglima Chang lalu menyuruh isteri dan para pelayan untuk mengurus Nyonya Bouw dan menghiburnya, sedangkan dia sendiri segera membawa pasukan pengawal menyusul ke gedung Pangeran Bouw Ji Kong.


“Yang Mulia, harap Paduka tenang dan menanti di sini dulu. Pangeran Bouw Ji Kong, harap engkau suka menjaga Sribaginda Kaisar di sini, aku akan mencari dan menangkap penculik jahanam itu!” kata Siang Lan.

Kaisar mengangguk, akan tetapi pangeran Bouw berkata. “Nona, berhati-hatilah. A-kui itu ternyata adalah seorang yang amat sakti sekali.”

“Jangan khawatir!” kata Siang Lan. Tidak bisa terlalu disalahkan kalau Siang Lan memandang ringan A-kui karena memang penampilan kakek itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bahkan sebaliknya, dia tampak lemah dan lugu.

Setelah mencabut Lui-kong-kiam, Siang Lan lalu berlari keluar dari ruangan bawah tanah melalui tangga yang menembus kamar tidur Pangeran Bouw Ji Kong. Akan tetapi begitu keluar dari pintu rahasia di balik almari yang terbuka sejak tadi, dia melihat A-kui memasuki kamar itu dan sekali ini wajah A-kui tidak lagi lemah dan lugu, melainkan beringas dan sepasang matanya mencorong seperti mata setan, mengeluarkan sinar yang mengejutkan.

“Jahanam busuk!!” Siang Lan memaki dan tanpa banyak bicara lagi ia sudah menyerang dengan dahsyat, menusukkan Lui-kong-kiam yang berubah menjadi sinar kilat itu ke dada kakek yang hanya dikenalnya sebagai A-kui. Serangan Siang Lan ini hebat sekali, serangan mematikan karena ia langsung menyerang dengan jurus Kiam-sian-sia-ciok (Dewa Pedang Memanah Batu).

Pedangnya meluncur seperti anak panah menuju ulu hati kakek itu. Akan tetapi kakek yang tampak lemah itu ternyata lihai bukan main. Dia memutar tubuh, mengelak sambil membalikkan tubuhnya dan tangan kanannya bergerak memutar dari samping, dengan jari terbuka menangkis pedang dengan jurus Sin-liong-kian-wi (Naga Sakti Sabetkan Ekor).

Tangkisan dengan tangan kosong seperti ini terhadap sebatang pedang pusaka seperti Lui-kong-kiam, apalagi yang dimainkan oleh seorang gadis yang memiliki sin-kang luar biasa kuatnya seperti Siang Lan, amatlah berbahaya. Kalau Si penangkis tidak memiliki tenaga amat dahsyat, mungkin saja tangannya akan terbabat putus.

“Tinggg....!” Pedang Lui-kong-kiam itu berbunyi seperti dipukul baja. Siang Lan terkejut karena tangkisan itu membuat tangannya tergetar hebat. Namun, gadis yang tak mengenal takut ini sudah siap menyerang lagi.

“Tahan, agaknya engkau ini yang berjuluk Hwe-thian Mo-li?” tiba-tiba A-kui berseru.

Siang Lan menahan pedangnya. “Benar, aku orangnya!”

“Jadi, engkau yang telah membunuh murid keponakanku Hoat Hwa Cin-jin?”

“Benar pula! Dan kalau engkau tidak menyerah, engkau pun akan kupenggal batang lehermu!”

“Heh-heh, gadis sombong dan liar! Justeru engkau yang akan kutawan menambah jumlah sandera!”

“Kalau begitu mampuslah kau!” Siang Lan menyerang lagi dengan bacokan dari samping ke arah leher lawan dengan jurus Hun-in-toan-san (Awan Melintang Memotong Gunung). Pedangnya yang menjadi sinar kilat saking cepatnya digerakkan itu menyambar dahsyat.

Akan tetapi tahu-tahu di tangan kiri kakek itu telah terpegang seuntai tasbeh hitam dan tasbeh itu berubah menjadi gulungan sinar hitam ketika menangkis sabetan pedang Lui-kong-kiam yang mengarah lehernya.

“Cringgg!” Kembali Siang Lan merasa tangannya tergetar ketika tasbeh hitam itu menangkis pedangnya.

Tiba-tiba ada sinar merah menyambar dari depan ke arah matanya. Itu adalah sehelai kain merah di tangan kakek itu yang meluncur ke arah mukanya sehingga membuat pandang matanya silau. Akan tetapi Siang Lan tidak menjadi gugup. Gerakannya yang amat ringan karena kini gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang dikuasainya sudah mencapai tingkat tinggi berkat bimbingan Bu-beng-cu, membuat gadis itu dapat menghindar dengan lompatan ke belakang.

Kemudian tanpa melewatkan sedetik pun, tubuhnya sudah berkelebat lagi ke depan, pedangnya menyerang dengan gerakan Liu-seng-kan-goat (Bintang Cemara Mengejar Bulan). Jurus ini amat dahsyat karena terdapat serangan beruntun enam kali yang amat berbahaya dan susul-menyusul.

Namun kakek itu benar-benar sakti. Kini bukan hanya tasbehnya yang menangkis sehingga mengeluarkan bunyi berkencringan berulang-ulang, akan tetapi juga sabuk merahnya menangkis dan sekaligus berusaha membelit pedang Lui-kong-kiam.

Siang Lan tentu saja tidak membiarkan pedangnya terampas, maka ia membantu pedangnya dengan pukulan telapak tangannya yang membuat sabuk merah itu tertiup dan tidak dapat membelit pedang.

Serang menyerang terjadi dalam kamar tidur Pangeran Bouw yang luas itu. Meja kursi terlempar oleh tendangan kedua orang yang sedang bertanding. Ternyata dalam hal ilmu silat, kedua orang ini memiliki tingkat berimbang. Siang Lan memang sedikit lebih menang dalam hal kecepatan gerakan.

Namun ia kalah kuat dalam penggunaan tenaga sakti. Apalagi karena kakek itu mencampur sin-kang dengan Hoat-sut (sihir), maka sering kali Siang Lan terhuyung oleh pengaruh sihir melalui bentakan kakek itu.

Bagaimanapun juga, kakek itu merasa penasaran sekali. Dia adalah datuk nomor satu di Pek-lian-kauw dan mungkin tingkat kepandaiannya hanya kalah sedikit dibandingkan para pemimpin jajaran tingkat atas dari Pek-lian-kauw pusat. Masa kini melawan seorang gadis saja dia tidak mampu mengalahkannya?

Setelah bertanding lebih dari tigapuluh jurus dan mereka saling menyerang dan belum ada yang tampak terdesak, tiba-tiba kakek itu berteriak seperti bunyi seekor burung gagak dan kain merah di tangan kanannya melayang dan ujungnya menyambar ke arah ubun-ubun kepala Siang Lan.

Serangan ini berbahaya sekali karena kalau sampai ubun-ubun kepala terkena patukan atau totokan ujung kain merah, Siang Lan pasti akan tewas. Gadis ini cepat mengelak ke kiri sambil menyabetkan pedangnya ke arah ujung kain merah itu.

“Pratt!” Ujung kain merah itu putus, akan tetapi tiba-tiba ujung itu mengeluarkan uap berwarna merah yang menyerang dan mengenai muka Siang Lan.

Gadis itu tidak keburu menahan napasnya sehingga ada uap merah yang terhisap olehnya. Seketika kepalanya pening, pandang matanya kabur dan ia pun terhuyung ke belakang, ke arah pintu rahasia terbuka!

Cui-beng Kui-ong atau A-kui, kakek itu, tertawa dan dia sudah menyambar tubuh Siang Lan yang pingsan, lalu membawanya turun ke ruangan bawah tanah. Dia marah sekali karena rahasianya ketahuan. Dia teringat kepada Nyonya Bouw dan memaki.

“Anjing perempuan itu pasti yang membocorkannya. Ia pantas mampus!” Dia lalu menotok punggung Siang Lan dan melemparkan tubuh gadis itu ke atas lantai, tidak mempedulikan pedang Lui-kong-kiam yang ikut terlempar, dan seolah tidak melihat bahwa Kaisar dan Pangeran Bouw telah lepas dari ikat mereka.

Dia terlalu memandang rendah tiga orang tawanannya, apalagi setelah Siang Lan dia buat tidak berdaya dengan totokannya. Nafsu amarah membuat dia lengah dan kakek itu cepat melompat keluar dari ruangan bawah tanah, lalu menutupkan kembali pintu rahasia yang hanya dapat dibuka dengan memutar arca singa itu.

Setelah pintu tertutup, dia lari mencari Nyonya Bouw. Akan tetapi dia tidak dapat menemukannya, maka bagaikan gila dengan kejam dia membunuhi siapa saja yang ditemukannya. Kegilaannya itu membuat tujuh orang pelayan, lima wanita dan dua pria, yang bertahan di situ ketika yang lainnya sudah pergi meninggalkan keluarga Pangeran Bouw, dibantai Cui-beng Kui-ong!

Dengan kemarahan masih meluap-luap, kini Cui-beng Kui-ong yang kedua tangannya berlepotan darah karena membantai para pelayan dengan tangan kosong, memecahkan kepala, menusuk dada dengan tangan dan jarinya, berlari memasuki kamar tidur Pangeran Bouw Ji Kong.

Sementara itu, melihat Siang Lan roboh dan tidak mampu bergerak, Pangeran Bouw Ji Kong yang memiliki tingkat ilmu silat cukup tinggi, segera memeriksanya. Dia tahu bahwa gadis itu masih pingsan dan dalam keadaan tertotok. Cepat ia mengambil air yang disediakan untuk minum di ruangan itu dan membasahi muka Siang Lan dengan air. Gadis itu mengeluh dan siuman, akan tetapi tidak mampu menggerakkan kaki tangannya. Pangeran Bouw berusaha untuk membuka totokan itu, akan tetapi dia selalu gagal.

“Nona, tahukah engkau bagaimana membuka totokan pada tubuhmu ini?”

“Totokan ini rasanya aneh, aku sendiri tidak tahu,” jawab Siang Lan lirih.

Pada saat itu, terdengar suara gerengan dan kakek A-kui yang kini tampak menyeramkan seperti orang gila, sudah menuruni tangga. Melihat ini, Pangeran Bouw cepat memungut pedang Lui-kong-kiam milik Siang Lan yang ikut terlempar ke lantai dan dia sudah berdiri melindungi kaisar.

Dengan pedang di tangan Pangeran Bouw menghadang lalu berkata dengan suara garang. “Kakek A-kui, siapakah sebenarnya engkau dan mengapa engkau menculik Sribaginda Kaisar?”

“Heh-heh-heh, mau tahu aku siapa? Aku adalah Cui-beng Kui-ong, datuk dari Pek-lian-kauw! Aku memang diselundupkan menjadi pelayanmu untuk bertindak kalau-kalau pemberontakanmu gagal. Siapa kira, engkau malah mengkhianati perjuangan sendiri sehingga suteku Hwa Hwa Hoat-su terjebak dan tertawan. Kalian semua akan kubunuh, kucincang agar dendam kami Pek-lian-kauw terbalas....”

Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring memasuki ruangan bawah tanah itu. “Cui-beng Kui-ong...!”

Suara itu terdengar jelas sekali, menandakan bahwa suara itu diteriakkan orang yang menggunakan tenaga khi-kang sehingga mengandung getaran yang amat kuat, dapat terdengar dari jauh. “Rumah ini sudah terkepung ratusan perajurit! Engkau menyerahlah dan bebaskan Sribaginda Kaisar!!”

Kakek itu terkejut dan sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah meluncur seperti terbang keluar dari ruangan bawah tanah, kemudian dari dalam kamar tidur Pangeran Bouw Ji Kong dia menjawab dengan suara yang sama nyaringnya karena dia juga mengerahkan tenaga dari dalam pusarnya.

“Hai kalian yang berada di luar! Bebaskan dulu Hwa Hwa Hoat-su dan semua kawan kami yang tertawan, baru kami akan membebaskan kaisar!”

Beberapa saat lamanya tidak terdengar jawaban karena Bu-beng-cu yang tadi mengeluarkan teriakan itu berunding dengan Panglima Chang Ku Cing lebih dulu sebelum menjawab. Kemudian dia mengerahkan khi-kang dan menjawab dengan suara melengking.

“Cui-beng Kui-ong, dengar baik-baik! Kalau engkau sekarang membebaskan Sribaginda Kaisar dan mempersilakan beliau keluar menemui kami, maka kami berjanji akan membebaskan Hwa Hwa Hoat-su dan teman-temannya yang kami tawan.”

“Tidak? Harus kalian yang lebih dulu membebaskan Hwa Hwa Hoat-su dan teman-temannya, baru Kaisar akan kubebaskan!” terdengar jawaban kakek itu.

“Dengar, Cui-beng Kui-ong! Syarat kami tidak dapat ditawar lagi! Kalau engkau mengganggu Sribaginda Kaisar apalagi sampai membunuhnya, kami akan menyiksa semua temanmu di penjara sampai mati dan engkau juga akan kami hukum mati dan kepalamu akan kami gantung di depan pintu gerbang agar semua orang dapat melihat dan menghinamu!”

“Ha-ha-ha? Kalian kira aku takut akan ancaman itu? Aku akan membawa Kaisar keluar dan siapa berani menentangku dan tidak mau membebaskan kawan-kawanku, aku akan membunuh Kaisar di depan hidung kalian!!”

Setelah berkata demikian, Cui-beng Kui-ong lalu memasuki pintu rahasia dengan niat membawa Kaisar keluar sebagai sandera. Dia percaya bahwa kalau dia mengancam nyawa kaisar di depan semua panglima itu, pasti tidak ada yang berani menyerangnya dan dia dapat memaksa mereka membebaskan semua tawanan.

Akan tetapi begitu dia menuruni anak tangga untuk membawa kaisar keluar, Pangeran Bouw Ji Kong sudah menghadangnya dengan pedang Lui-kong-kiam di tangannya! Siang Lan masih dalam keadaan tertotok dan ia merasa lemah sekali.

Gadis perkasa ini maklum bahwa ia telah keracunan berat oleh uap merah dan juga totokan yang dilakukan kakek itu bukan totokan biasa, melainkan sejenis pukulan yang membuat ia terluka oleh hawa beracun yang amat berbahaya.

“Hemm, Pangeran Bouw, aku hendak membawa Kaisar keluar. Engkau berani mencegah aku?” seru Cui-beng Kui-ong dengan marah dan juga heran akan sikap pangeran ini. Seorang yang tadinya hendak memberontak, hendak membunuh kaisar dan merampas tahta kerajaan, kini berbalik malah hendak melindungi kaisar!

“Jangan engkau berani menyentuh Sribaginda Kaisar! Aku siap membelanya dengan taruhan nyawaku untuk menebus dosa-dosaku!” kata Pangeran Bouw Ji Kong dengan sikap tegas.

Siang Lan hanya dapat memandang dengan hati panas dan khawatir, akan tetapi tidak mampu menggerakkan kaki tangannya.

“Heh-heh-heh, pangeran tolol, memang engkau akan mampus lebih dulu!”

“Hyaaatt!!” Pangeran Bouw Ji Kong menyerang dengan pedang Lui-kong-kiam sambil mengerahkan seluruh tenaganya dan menggunakan jurus paling ampuh. Begitu menyerang, dia menggunakan ilmu silat pedang simpanannya, yaitu Kan-seng-sin-kiam-hoat (Ilmu Pedang Sakti mengejar Bintang).

Namun, tingkat ilmu pedangnya masih jauh di bawah tingkat kepandaian kakek itu. Cui-beng Kui-ong hanya mengelak dan menangkis dengan tangan dari samping sambil berusaha menangkap pedang dan merampasnya. Akan tetapi dia tahu bahwa pedang Lui-kong-kiam adalah sebatang pedang pusaka yang ampuh.

Maka dia juga berhati-hati agar tangannya jangan sampai terluka. Hal ini membuat Pangeran Bouw dapat bertahan sampai belasan jurus. Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan tasbehnya dan melontarkan ke atas. Tasbeh itu bagaikan hidup berputar-putar dan melayang di udara, mengeluarkan suara berkeritikan dan menyambar ke arah kepala Pangeran Bouw.

Pangeran ini berusaha membacok dengan pedangnya, akan tetapi tasbeh itu seperti seekor burung hidup, dapat mengelak dan menyambar-nyambar, membuat Pangeran Bouw mencurahkan perhatiannya ke atas untuk menangkis serangan tasbeh.

Pada saat itu, Cui-beng Kui-ong mengeluarkan sabuk merahnya dan sekali sabuk itu meluncur seperti sinar merah, leher Pangeran Bouw tepat tertotok oleh ujung sabuk. Pangeran itu roboh seketika, pedangnya terlepas dari tangannya dan dia tewas karena totokan ujung kain merah itu selain dahsyat sekali mengenai tenggorokannya, juga dari ujungnya keluar hawa atau uap beracun.

Kaisar yang juga melihat perkelahian itu duduk dengan sikap tenang di atas lantai sambil bersila. Agaknya dia memang pantas menjadi seorang kaisar, sama sekali tidak tampak takut biarpun dia tahu bahwa kini dirinya tidak mempunyai pelindung lagi.

Sementara itu, Siang Lan sudah hampir tidak dapat menahan rasa nyeri di dadanya dan pernapasannya juga sesak terengah-engah. Ia menyadari bahwa semakin ia berusaha untuk mengerahkan sin-kang (tenaga sakti), rasa nyeri dalam dadanya makin menghebat. Maka kini ia hanya diam menahan diri menenangkan hatinya namun ia masih dapat melihat sikap kaisar dan diam-diam ia merasa kagum dan juga terharu.

“Hayo, engkau ikut denganku keluar dan perintahkan mereka untuk membebaskan semua temanku yang ditawan!” kata Cui-beng Kui-ong sambil melangkah menghampiri kaisar.

Siang Lan memaksa diri berseru. “Keparat busuk, jangan ganggu Sribaginda!”

“Heh-heh, engkau iblis betina Hwe-thian Mo-li! Engkau juga harus mati untuk menebus dosamu membunuhi banyak orang Pek-lian-kauw. Terimalah ini!” Kakek itu melemparkan tasbehya yang berputar dan melayang ke arah kepala Siang Lan.

“Wirrr... pyarrrr...!!”

Tiba-tiba sebuah benda sebesar kepala orang menyambar ke arah tasbeh dan begitu bertemu dengan tasbeh, benda itu pecah berkeping-keping, akan tetapi tasbeh itu sendiri juga putus untaiannya dan biji-biji tasbeh jatuh berhamburan di atas lantai.

“Paman....!” Sian Lan berseru gembira akan tetapi segera terkulai pingsan lagi. Ia tadi menggunakan terlalu banyak tenaga sehingga lukanya di dalam dada semakin parah.

Sementara itu, Cui-beng Kui-ong marah dan terkejut bukan main melihat tasbehnya putus berhamburan. Dia melihat bahwa benda yang dilontarkan orang menangkis tasbehnya adalah arca singa di dalam kamar tidur Pangeran Bouw yang kalau diputar menjadi pembuka pintu rahasia ruangan bawah tanah itu. Cepat dia memutar tubuhnya dan berhadapan dengan Bu-beng-cu.

“Keparat, siapa engkau?” Cui-beng Kui-ong bertanya dengan suara galak karena dia marah sekali telah kehilangan tasbehnya.

39. Kemesraan Hati Bu-beng-cu

“Cui-beng Kui-ong, engkau tidak perlu tahu aku siapa. Yang jelas aku adalah orang yang menentang perbuatanmu yang kejam dan jahat! Karena itu, engkau lebih baik menyerah agar diadili, daripada engkau mati konyol. Engkau tidak mungkin dapat melarikan diri keluar dari gedung ini!”

Diam-diam Bu-beng-cu menjadi terkejut dan merasa khawatir sekali ketika dia melihat Siang Lan rebah di atas lantai, dekat tubuh Pangeran Bouw Ji Kong yang biarpun tidak kelihatan terluka namun melihat keadaan wajahnya jelas sudah tewas.

Dia melihat Siang Lan masih bernapas, akan tetapi pernapasannya tersendat-sendat dan wajahnya pucat sekali. Bu-beng-cu yang sudah lama dapat menguasai nafsu-nafsunya itu, melihat keadaan Siang Lan, tidak dapat menahan kemarahannya.

“Jahanam busuk engkau, Cui-beng Kui-ong!” bentaknya dan bagaikan seekor naga mengamuk, Bu-beng-cu menerjang dengan pukulan tangan kanannya.

Angin menyambar seperti badai ke arah Cui-beng Kui-ong, membuat kakek itu terkejut bukan main karena dari pukulan ini saja maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang yang lihai bukan main, yang memiliki pukulan seperti halilintar menyambar dan mengandung tenaga yang amat kuat. Dia tidak berani menyambut pukulan dahsyat ini dan cepat melompat ke belakang mengelak.

“Blarrr...!” Dinding di belakangnya yang disambar angin pukulan itu tergetar hebat dan kalau tidak dilapisi baja, tentu akan jebol. Demikian hebatnya pukulan yang dilontarkan Bu-beng-cu!

Karena ruangan bawah tanah itu kurang luas, Cui-beng Kui-ong yang mulai merasa gentar, cepat melompat ke anak tangga dan melesat keluar, ke dalam kamar tidur Pangeran Bouw Ji Kong yang lebih luas. Niatnya kalau ada kesempatan, dia akan meloloskan diri.

Akan tetapi begitu tiba di dalam kamar, dari daun pintu dan jendela yang telah terbuka, dia melihat ratusan orang perajurit dipimpin belasan orang perwira tinggi sudah mengepung kamar itu. Tidak mungkin dapat melewati barisan yang demikian banyak.

Maka dia menjadi nekat. Ketika mendengar gerakan Bu-beng-cu yang sudah mengejarnya, dia membalik dan sinar merah meluncur dari tangannya ketika dia menggerakkan kain merah yang ujungnya sudah terbabat putus oleh pedang Siang Lan tadi.

Bu-beng-cu dapat menduga bahwa seorang datuk besar golongan sesat seperti Cui-beng Kui-ong pasti tidak menggunakan senjata sembarangan seperti sehelai kain merah biasa. Tentu kain itu mengandung racun. Akan tetapi dia tidak merasa gentar dan dia bahkan menyambut serangan itu dengan menggerakkan tangannya secepat kilat dan tahu-tahu kain merah itu telah dapat dia cengkeram!

Bu-beng-cu mempertahankan ketika Cui-beng Kui-ong berusaha menarik lepas kain itu. Terjadi tarik menarik dan adu tenaga sakti melalui kain merah yang panjangnya tinggal sekitar lima kaki itu.

“Prettt...!!” Tiba-tiba kain merah itu putus bagian tengahnya dan uap merah mengepul. Akan tetapi Bu-beng-cu yang sudah waspada meniup dengan mulutnya sehingga uap merah itu menyambar ke arah muka Cui-beng Kui-ong sendiri! Akan tetapi tentu saja Raja Iblis ini sudah menggunakan obat anti racun sehingga uap merah yang mengenai mukanya tidak mempengaruhinya. Dia semakin marah. Kedua senjatanya telah rusak.

Setelah membuang potongan kain merah itu, dia lalu menerjang ke arah lawan dengan kedua tangan kosong. Bu-beng-cu menyambut dan kini kedua orang yang sama-sama lihainya itu bertanding dengan tangan kosong. Seru dan hebat bukan main perkelahian di antara mereka.

Para perwira tinggi yang nonton dari luar, termasuk Panglima besar Chang Ku Cing yang datang kemudian, terbelalak menyaksikan perkelahian tingkat tinggi yang membuat gedung itu seolah tergetar hebat. Biarpun kedua orang itu memiliki tingkat kepandaian yang sama, Cui-beng Kui-ong memiliki kelemahan dibandingkan dengan lawannya.

Dia sudah berusia hampir tujuhpuluh tahun sedangkan lawannya baru berusia empatpuluh dua tahun, dan selama ini, Cui-beng Kui-ong hidup lebih banyak menuruti hawa nafsunya, berbeda dengan Bu-beng-cu yang hidup bersih mengendalikan nafsunya sehingga keadaan jiwanya lebih bersih daripada Cui-beng Kui-ong.

Hal ini didukung oleh tenaga saktinya yang murni dan datang dari kekuasaan Tuhan, tidak seperti Cui-beng Kui-ong yang telah banyak mengandalkan tenaga sihir atau ilmu hitam yang datang dari kekuasaan setan atau daya-daya rendah yang memperhambanya. Kekejaman dan pembunuhan yang sering dia lakukan membuat jiwanya semakin bergelimang kekotoran.

Maka, setelah mereka bertanding sekitar limapuluh jurus, Cui-beng Kui-ong semakin panik. Dia tahu benar bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan lawannya, maka timbul akalnya yang memang selalu siap untuk bertindak curang dan licik.

“Tahan dulu, aku mau bicara!” Cui-beng Kui-ong berseru.

Mendengar ini, untuk tidak melanggar etika dunia persilatan, Bu-beng-cu menahan gerakannya, siap mendengarkan. Akan tetapi tiba-tiba, begitu dia menghentikan gerakan dan menahan tenaga saktinya, tanpa diduganya, Cui-beng Kui-ong menerjang dengan amat cepat dan kuat!

Bu-beng-cu terkejut dan berusaha mengelak, akan tetapi sebuah pukulan telapak tangan kiri Cui-beng Kui-ong tetap mengenai pundaknya sehingga tubuhnya terjengkang. Dia masih dapat mencegah tubuhnya terbanting, dengan berjungkir balik dan dia dapat berdiri, walaupun terhuyung ke belakang.

Cui-beng Kui-ong tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Lawannya sudah terluka, maka dia pun menubruk maju sambil mendorongkan kedua telapak tangannya. “Mampus kau!”

Bu-beng-cu menyambut dengan kedua telapak tangannya dan kini kedua telapak tangan mereka bertemu dan melekat. Mereka saling dorong dan saling serang melalui kedua tangan mereka dengan mengerahkan tenaga sakti mereka.

Kalau dilihat begitu, seolah-olah dua orang itu sedang main-main. Mereka berdiri dengan kedua lutut agak ditekuk, kedua tangan dijulurkan ke depan dan dua pasang telapak tangan itu saling menempel, mata mereka mencorong saling pandang dan tubuh mereka sama sekali tidak bergerak.

Dua orang perwira tinggi yang berdiri paling dekat di ambang pintu, melihat keadaan demikian itu, segera melompat maju dan menyerang Cui-beng Kui-ong dari belakang. Seorang menusukkan pedangnya ke punggung dan seorang lagi membacokkan pedangnya ke tengkuk kakek itu.

“Trak-trakkk!” Pedang-pedang itu seperti bertemu baja yang amat kuat dan bukan hanya dua batang pedang itu patah, akan tetapi dua orang perwira itu terpental ke belakang dan roboh pingsan!

Kiranya pada saat itu, Cui-beng Kui-ong sedang mengerahkan seluruh tenaga sin-kang (tenaga sakti) sehingga ketika dua orang perwira itu menyerangnya, tenaga dua orang perwira itu membalik dan selain pedang mereka patah, juga tenaga mereka yang membalik itu menghantam diri mereka sendiri sebelah dalam, membuat mereka roboh pingsan.

Masih baik bahwa mereka memiliki tenaga yang tidak begitu besar karena semakin besar tenaga serangan itu, semakin parah pula kalau tenaga itu membalik dan menghantam diri sendiri! Akan tetapi, gangguan ini membuat perhatian Cui-beng Kui-ong terbagi dan pada saat yang bersamaan, Bu-beng-cu mengerahkan seluruh tenaga dan serangannya.

“Wuuuttt... desss...!!”

Tubuh Cui-beng Kui-ong terdorong ke belakang seperti disambar angin badai, menabrak dinding kamar itu yang menjadi jebol dan dia pun roboh dan tewas!

Tanpa mempedulikan orang lain Bu-beng-cu segera melompat masuk ke pintu rahasia, menuruni tangga dan tak lama kemudian dia sudah keluar lagi sambil memondong tubuh Siang Lan yang pingsan. Dia tidak lupa membawa pedang Lui-kong-kiam milik gadis itu.

“Bu-beng-cu Tai-hiap (Pendekar Besar), kenapa Siang Lan itu dan hendak kau bawa ke mana?” Panglima Chang Ku Cing bertanya dengan khawatir melihat keadaan Siang Lan terkulai lemas dengan muka sepucat muka mayat.

“Thai-ciangkun, ia terluka parah dan akan saya bawa untuk saya obati. Maafkan saya!” Dia melompat sambil memondong tubuh gadis itu dan cepat menghilang.

Panglima Chang diikuti para perwira tinggi lalu memasuki ruangan bawah tanah dan menemukan kaisar dalam keadaan selamat dan sehat. Dengan girang mereka lalu memberi hormat dan mengantarkan kaisar kembali ke istana. Tinggal keluarga Pangeran Bouw Ji Kong yang setelah tahu bahwa sang pangeran itu tewas dalam ruangan bawah tanah, menangis sedih dan berkabung.


Siang Lan membuka kedua matanya. Ia agak bingung melihat betapa ia rebah di atas sebuah pembaringan, dalam sebuah kamar yang tidak dikenalnya. Ia hendak bangkit walaupun tubuhnya terasa lemas.

“Jangan bangkit dulu, engkau masih lemah, Siang Lan.” terdengar suara yang amat dikenalnya.

Ia menoleh dan melihat Bu-beng-cu duduk bersila di atas lantai, yang ditilami tikar. Ada bantal pula di situ, menunjukkan bahwa gurunya itu agaknya tidur di situ karena pembaringannya ia pakai tidur.

“Paman... dimana aku? Apa yang telah terjadi...?” Ia bertanya, masih bingung.

“Tenanglah, Siang Lan. Bahaya maut yang mengancam dirimu telah lewat. Hawa beracun dalam tubuhmu telah lenyap, hanya engkau masih lemah. Engkau berada dalam kamar penginapan Hok An yang kusewa, ingat?”

Siang Lan teringat. Ia pernah berkunjung ke kamar ini. “Akan tetapi, apa yang terjadi, Paman? Seingatku, aku rebah tertotok oleh A-kui, kakek setan yang lihai itu, dalam ruangan bawah tanah gedung Pangeran Bouw Ji Kong. Ahh, kasihan Pangeran Bouw! Dia telah mengorbankan nyawa demi membela Sribaginda Kaisar....”

“Benar, Siang Lan. Engkau terluka yang mengandung hawa beracun dan engkau pingsan ketika kubawa ke sini. Tiga hari engkau tidak sadarkan diri di sini dan baru pagi ini engkau sadar.”

“Tiga hari? Aih, setelah aku pingsan di ruangan bawah tanah itu, lalu apa yang terjadi, Paman? Bagaimana engkau dapat menemukan aku di sana dan membawaku ke sini? Ceritakanlah, Paman!”

“Baiklah, aku akan bercerita lebih dulu, nanti giliranmu menceritakan pengalamanmu. Tiga hari yang lalu, kita berpencar. Engkau menyelidiki gedung Pangeran Bouw Ji Kong dan aku akan menemui Hwa Hwa Hoat-su di penjara membawa surat perintah Panglima Chang yang kaudapatkan untukku.

“Nah, aku menemui Hwa Hwa Hoat-su dan aku berhasil memaksanya untuk mengaku siapa yang telah menculik Sribaginda Kaisar. Dia tidak tahu pasti akan tetapi dapat memastikan bahwa yang dapat melakukannya tentu Cui-beng Kui-ong, datuk paling terkenal di antara para tokoh Pek-lian-kauw. Akan tetapi dia tidak tahu di mana Cui-beng Kui-ong bersembunyi dan di mana pula Sribaginda disembunyikan.

“Aku lalu cepat pergi menjelang pagi itu ke gedung Panglima Chang dan membicarakan hasil penyelidikanku. Selagi kami berdua bicara, datang Nyonya Bouw yang menceritakan bahwa yang menculik Sribaginda Kaisar adalah pelayannya yang bernama A-kui dan bahwa suaminya, Pangeran Bouw, juga ditawannya. Ia menceritakan bahwa engkau datang pula hendak menolong Sribaginda. Mendengar itu, aku segera menyusulmu ke sini karena aku tahu bahwa yang disebut A-kui itu tentu Cui-beng Kui-ong yang amat lihai dan aku mengkhawatirkan dirimu.”

“Hemm, jadi setan tua yang mengaku A-kui itu adalah Cui-beng Kui-ong?” kata Siang Lan.

“Benar, dengan cerdiknya orang-orang Pek-lian-kauw dapat menyelundupkan dia ke kota raja, bukan itu saja, bahkan berhasil membuat dia diterima sebagai seorang pelayan yang kelihatan setia kepada Pangeran Bouw Ji Kong. Ketika aku tiba di sana, aku melihat dia hendak membunuhmu dengan senjata tasbehnya....”

“Ah, aku ingat sekarang! Seperti dalam mimpi saja! Aku melihatmu datang, Paman, aku memanggilmu dan... selanjutnya entah aku tidak ingat lagi.”

“Agaknya engkau jatuh pingsan, Siang Lan. Lukamu parah karena mengandung hawa beracun yang amat jahat. Aku lalu berkelahi dengan Cui-beng Kui-ong. Dia lari keluar dari ruangan bawah tanah, kukejar dan kami berkelahi di kamar Pangeran Bouw. Akhirnya dengan susah payah aku berhasil merobohkannya. Dia tewas terkena pukulannya sendiri yang membalik.

“Aku lalu memasuki ruangan bawah tanah dan membawamu ke sini. Kudorong keluar hawa beracun dari dalam dadamu dengan pengerahan sin-kang dan setelah dua hari dua malam, barulah aku berhasil membersihkan hawa beracun dari dalam tubuhmu. Begitulah ceritanya, Siang Lan.”

Dengan hati terharu Siang Lan memegang kedua tangan Bu-beng-cu yang menghampiri pembaringan ketika ia memberi isyarat agar laki-laki itu mendekat. “Paman, berulang kali engkau menyelamatkan nyawaku. Kalau tidak ada engkau, sudah lama Nyo Siang Lan tidak berada di dunia ini lagi.”

“Hushh, jangan bicara begitu, Siang Lan. Mati hidupnya setiap orang berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan tidak menghendaki seseorang itu mati, siapa dan apa pun tidak mungkin dapat membunuhnya. Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki seseorang mati, siapa dan apa pun tidak akan mampu mencegahnya! Jadi kalau kebetulan aku datang menolongmu, itu adalah kehendak Tuhan.”

“Bukan kebetulan, Paman. Akan tetapi memang engkau selalu membela dan melindungi aku. Aih, budimu sudah bertumpuk-tumpuk, Paman. Entah bagaimana aku akan dapat membalas budi kebaikanmu itu.”

Wajah Bu-beng-cu menjadi merah. “Sudahlah, sekarang ceritakan pengalamanmu ketika menyelidiki gedung Pangeran Bouw.”

Siang Lan lalu menceritakan apa yang dialaminya di gedung itu sampai ia melihat sikap A-kui terhadap Nyonya Bouw sehingga akhirnya Nyonya Bouw memberitahu kepadanya bahwa A-kui telah menawan Sribaginda Kaisar dan Pangeran Bouw di dalam ruangan bawah tanah. Ia menceritakan betapa ia bertanding melawan A-kui dan roboh terkena hawa beracun dan totokan kakek yang amat lihai itu.

“A-kui melihat sendiri betapa Pangeran Bouw membela Sribaginda dengan mati-matian. Dia bukan lawan kakek itu akan tetapi aku tidak dapat bergerak. Aku melihat dia terbunuh.”

“Ah, sudahlah, jangan dipikirkan lagi. Bagaimanapun juga, Pangeran Bouw telah menerima hukuman dari pengkhianatan dan pemberontakannya dan perbuatannya yang terakhir itu sedikit banyak telah menebus dosanya terhadap Sribaginda Kaisar. Aku yakin bahwa setelah peristiwa itu, Sribaginda akan mengampuni keluarganya dan mereka akan dibebaskan dari hukuman akibat pemberontakan Pangeran Bouw.”

“Kuharap begitu, Paman.” Siang Lan hendak bangkit duduk, akan tetapi kembali Bu-beng-cu mencegahnya.

“Jangan bangkit dulu, Siang Lan. Engkau sudah sembuh, akan tetapi badanmu masih lemah. Engkau perlu minum obat penguat badan. Tinggallah di sini dulu, aku akan membelikan obat itu di toko obat.” Setelah berkata demikian, Bu-beng-cu keluar dari kamar itu dan menutupkan daun pintu kamar dari luar.

Siang Lan rebah telentang dan termenung memikirkan Bu-beng-cu. Laki-laki itu terlalu baik kepadanya dan kini ia semakin yakin bahwa ia mencintai Bu-beng-cu. Dan melihat semua perlindungan dan pembelaan yang diberikan pria itu kepadanya, juga pemberian latihan ilmu silat yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, ia hampir yakin bahwa sebenarnya Bu-beng-cu juga mencintanya.

Akan tetapi gambar wanita yang selalu dibawa-bawa Bu-beng-cu itu! Siapakah itu? Pria itu mengakui bahwa itu adalah gambar seorang wanita yang teramat penting baginya. Walaupun dia tidak mengaku bahwa dia mencinta wanita dalam gambar itu, namun Siang Lan sudah dapat menduganya.

Bu-beng-cu tidak pernah menikah, jadi gambar itu bukanlah gambar isterinya. Apakah itu gambar seorang kekasihnya dan dia merasa malu untuk mengaku? Timbul keinginan yang besar sekali dalam hatinya untuk melihat gambar wanita itu.

Ia menenangkan jantungnya yang berdebar, lalu menguatkan hati dan badannya, bangkit dan biarpun dengan lemah, ia menghampiri almari yang berada di sudut kamar. Dibukanya almari itu. Tidak banyak benda yang berada di dalamnya. Hanya buntalan pakaian dan.... gulungan gambar itu!

Dengan jari-jari tangan gemetar karena merasa bahwa ia mencuri, Siang Lan mengambil gambar itu lalu membuka gulungannya. Ia memandang gambar seorang wanita dan sepasang matanya terbelalak, kedua tangan yang memegang gambar menggigil sehingga gambar itu terlepas dari tangannya, bergulung kembali dan menggelinding ke bawah meja.

Ia menjatuhkan diri duduk di atas kursi, jantungnya berdebar penuh kejutan dan perasaan bahagia memenuhi hatinya. Kemudian, setelah ia dapat menenangkan jantungnya yang berdebar, ia memungut lagi gulungan gambar itu dan dibentangkannya, dipandangnya dengan teliti seolah ia belum percaya akan penglihatannya sendiri. Gambar itu adalah lukisan seorang wanita, lukisan dirinya!

“Paman Bu-beng-cu!” Bibirnya berbisik dan senyum penuh kebahagiaan mengembang di bibirnya. Tidak salah dugaannya. Bu-beng-cu mencinta dirinya! Ia adalah wanita yang amat penting itu, wanita yang gambarnya selalu dibawa ke mana pun Bu-beng-cu pergi!

Bu-beng-cu mencintanya! Pengetahuan ini membuat cintanya terhadap pria itu semakin mendalam. Ia lalu teringat bahwa Bu-beng-cu hendak menyembunyikan rahasia hatinya itu. Maka ia segera mengembalikan gulungan gambar itu ke dalam almari, lalu ia merebahkan diri lagi, telentang di atas pembaringan dengan perasaan yang demikian bahagianya sehingga ia lupa akan semua perasaan lemahnya dan ingin rasanya ia menari dan bernyanyi!

Tak lama kemudian Bu-beng-cu membuka daun pintu kamar dari luar dan masuk. Dia melihat Siang Lan merintih lirih, mengaduh sambil memegangi kepala dengan kedua tangannya.

“Aduh... aduh...!” gadis itu mengerang kesakitan.

Bu-beng-cu melompat dekat pembaringan, duduk di tepi pembaringan dengan wajah kaget dan khawatir. “Kenapa Siang Lan?”

“Kepalaku... ah, kepalaku... sakit sekali....”

Bu-beng-cu cepat memeriksa kepala gadis itu dengan kedua tangannya, meraba seluruh kepala, merasakan denyutnya dengan ujung jari-jarinya dan terheran-heran karena dia tidak menemukan sesuatu yang tidak beres.

“Bagaimana rasanya? Di bagian mana yang nyeri?” Bu-beng-cu bertanya penuh perhatian, sambil memijit-mijit kepala itu dengan sentuhan lembut.

“Ah... semua sakit... akan tetapi sekarang mendingan, terasa enak kalau dipijit-pijit....” kata Siang Lan manja, namun suaranya masih terdengar seperti merintih.

Mendengar ini, Bu-beng-cu lalu memijati kepala Siang Lan dengan kedua tangannya, membuat gadis itu membuka dan memejamkan matanya karena nikmat. “Aduhh... aduh...” Siang Lan mengerang dan kini ia menggerak-gerakkan kaki kirinya seolah kaki itu kesakitan.

“Ah, apanya lagi yang nyeri?” Bu-beng-cu bertanya heran.

“Kakiku yang kiri... aduh.... kakiku sakit sekali....” gadis itu merintih.

Bu-beng-cu cepat mengalihkan kedua tangannya, dari kepala kini pindah ke kaki kiri Siang Lan, memeriksa dengan teliti. Akan tetapi, dia tidak menemukan sesuatu yang tidak wajar.

“Maaf, harus kuperiksa dengan teliti!” katanya dan dia menggulung celana kiri itu ke atas sampai lutut.

Jari-jari tangannya memijat dan mengurut, merasakan betapa lembut dan putih mulus betis kaki itu. Akan tetapi lagi-lagi dia tidak menemukan apa-apa yang tidak beres. Dia memijat-mijat dan mengurut dengan lembut dan perlahan-lahan Siang Lan berhenti mengeluh.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.