Lembah Selaksa Bunga Jilid 14

Cerita Silat Mandarin Serial Iblis dan Bidadari seri kedua, Lembah Selaksa Bunga Jilid 14 karya Kho Ping Hoo

Lamaran Panglima Kerajaan Beng

“Apa sekarang sudah tidak nyeri lagi?” Dia bertanya.

“Sekarang sudah sembuh karena kau pijit dan urut, Paman. Terima kasih....” kata Siang Lan menyembunyikan kegirangannya.

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong Karya Stevanus S.P

Tentu saja ia tadi hanya berpura-pura untuk melihat bagaimana reaksi pria itu kalau ia merintih kesakitan. Ternyata Bu-beng-cu memperhatikan dengan penuh kekhawatiran dan ini membuatnya bahagia sekali. Ingin rasanya ia bangkit dan merangkul pria itu yang tidak ia ragukan lagi cintanya. Akan tetapi ia tidak mau melakukannya.

Pertama, ia tidak mau membuat Bu-beng-cu menjadi malu karena rahasianya ketahuan olehnya dan kedua, ia masih mempunyai ganjalan dalam hatinya, yaitu belum dapat membunuh musuh besarnya, yaitu Thian-te Mo-ong. Kalau ia sudah dapat membunuh jahanam itu, baru ia akan mencurahkan seluruh perhatiannya akan hubungan cintanya dengan Bu-beng-cu!

Bu-beng-cu menurunkan lagi gulungan celana Siang Lan itu dan karena dia merasa penasaran, sekali lagi dia memeriksa keadaan tubuh Siang Lan akan tetapi dia mendapat kenyataan bahwa kesehatan tubuh gadis itu sudah pulih dan tidak ada lagi gangguan apa pun kecuali masih lemah. Bu-beng-cu merasa aneh akan tetapi sedikit pun dia tidak menaruh curiga atau menduga gadis itu berpura-pura.

Biarpun terkadang Siang Lan memperlihatkan perhatian kepadanya dan terkadang ada terpancar dalam matanya kekaguman dan rasa suka, dia tetap tidak percaya dan tidak dapat menerima dalam akalnya bahwa gadis itu dapat jatuh cinta kepadanya.

“Tunggu, aku masakkan obat ini untukmu, Siang Lan,” kata Bu-beng-cu, lalu dia pergi ke dapur rumah penginapan itu untuk minta kepada pelayan memasakkan obat yang dibelinya dari toko obat.

Setelah dia meninggalkan kamar, Siang Lan rebah telentang sambil tersenyum bahagia. Pria itu sungguh amat sayang kepadanya, begitu penuh perhatian dan tampak khawatir sekali ketika ia beraksi pura-pura merasa sakit di kepalanya dan di kakinya. Pijatan dan belaiannya masih terasa olehnya, begitu lembut dan hangat!

Ketika Bu-beng-cu memasuki kamar membawa semangkok obat, dengan taat Siang Lan meminumnya sampai habis. Selama dua hari Siang Lan tinggal di kamar itu memulihkan tenaganya. Kalau malam Bu-beng-cu tidur di atas lantai bertilam tikar sehingga Siang Lan merasa tidak enak sekali. Diam-diam ia semakin kagum karena Bu-beng-cu sedikit pun tidak memperlihatkan sikap kurang sopan terhadap dirinya. Padahal ia sudah tidur sekamar selama lima malam!

Pada keesokan harinya setelah selama dua hari minum obat penguat dan merasa kekuatannya pulih kembali, Bu-beng-cu tahu-tahu tidak berada dalam kamarnya. Sepucuk suratnya berada di atas meja dengan pemberitahuan bahwa dia hendak pulang lebih dulu karena Siang Lan sudah sembuh dan tidak ada urusan lagi baginya di kota raja.

Siang Lan termenung duduk di atas kursi sambil memegangi surat itu. Tiba-tiba saja ia merasa begitu kesepian sehingga rasanya ingin ia berteriak dan menangis! Segala sesuatu tampak demikian hambar dan tidak menyenangkan setelah Bu-beng-cu tidak berada didekatnya!

Ia pun mengambil keputusan tegas. Hari itu juga ia harus pulang agar dapat berada di tempat yang dekat dengan Bu-beng-cu. Apalagi Bu-beng-cu sudah berjanji akan menurunkan ilmunya yang terakhir, memperkuat tenaga sakti dan mengajarkan pukulan Thai-lek-sin-ciang (Tenaga Sakti Tenaga besar).

Menurut keterangan Bu-beng-cu, kalau ia sudah menguasainya, besar kemungkinan ia akan mampu mengalahkan musuh besarnya, yaitu Thian-te Mo-ong. Ia harus segera pulang ke Ban-hwa-kok, Lembah Selaksa Bunga yang menjadi tempat tinggalnya itu dan mempelajari ilmu yang dijanjikan Bu-beng-cu kepadanya.

Setelah berkemas dan mendapat penjelasan pelayan rumah penginapan bahwa sewa kamar telah dibayar oleh Bu-beng-cu, Siang Lan lalu pergi ke rumah gedung Pangeran Sim Liok Ong, ayah Sim Tek Kun. Ia berpamit kepada Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong yang merasa gembira melihat gadis itu dalam keadaan sehat dan selamat.

Setelah berpamit, Siang Lan lalu berangkat pulang, meninggalkan kota raja menuju ke Lembah Selaksa Bunga. Akan tetapi, di tengah perjalanan sebelum meninggalkan kota raja, Panglima besar Chang Ku Cing menghadangnya dan menyampaikan perintah kaisar yang mengundang Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan agar datang menghadap Sribaginda Kaisar!

Biarpun tidak ingin menghadap, terpaksa Siang Lan tidak berani menolak dan ia ditemani panglima Chang menuju ke istana menghadap Sribaginda Kaisar Wan Li.

Kaisar menerimanya dengan ramah dan memuji-muji kegagahan Siang Lan yang begitu berani berusaha menyelamatkan Sribaginda dari sekapan Cui-beng Kui-ong sehingga mengorbankan diri sendiri roboh dan terluka oleh kakek iblis itu. Juga Kaisar berterima kasih dan hendak memberi hadiah yang boleh dipilih sendiri oleh Siang Lan, yaitu pangkat tinggi atau harta benda.

Siang Lan yang cerdik tidak menginginkan hadiah pangkat tinggi atau harta benda. Ia hanya mohon kepada Kaisar agar diberi hak memiliki Bukit Ban-hwa-san di daerah Pegunungan Lu-liang-san. Kaisar memenuhi permintaannya dan memerintahkan Menteri Urusan Tanah untuk membuatkan pernyataan hal milik itu kepada Siang Lan. Di samping itu, juga Kaisar memberi sekantung emas yang tidak dapat ditolak oleh Siang Lan.

Setelah meninggalkan istana, Panglima Chang Ku Cing minta kepada Siang Lan untuk singgah di gedungnya dan di sini panglima Chang bersama isterinya secara langsung meminang Siang Lan untuk dijodohkan dengan keponakan panglima itu, ialah Chang Hong Bu.

“Keponakan kami itu, Chang Hong Bu. sudah berusia duapuluh lima tahun dan sudah cukup dewasa untuk berumah tangga. Kami lihat engkau juga sudah cukup dewasa dan engkau sudah mengenal baik keponakan kami itu. Hong Bu juga dengan terus terang mengaku kepada kami bahwa dia mencintamu, Siang Lan. Karena itu, dalam kesempatan ini kami berani mengajukan usul perjodohan ini kepadamu, sekiranya engkau belum....”

“Thai-ciangkun, saya sudah mempunyai seorang calon suami!” Siang Lan memotong singkat.

“Ah....?” Suami isteri itu terkejut dan kecewa. “Mengapa Hong Bu tidak menceritakan kepada kami?”

“Dia memang tidak mengetahui, Paman.”

“Hemm, kalau boleh kami mengetahui, siapakah calon suamimu yang berbahagia itu?”

“Dia... dia adalah Bu-beng-cu.” Siang Lan berkata demikian bukan hanya karena memang benar ia dan Bu-beng-cu saling mencinta, akan tetapi terutama sekali agar panglima dan isterinya tidak bicara lagi tentang perjodohan yang mereka usulkan itu.

Panglima Chang Ku Cing dan isterinya tampak kecewa sekali, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani lagi menyinggung urusan pinangan mereka yang otomatis tidak mungkin dilanjutkan.

Setelah meninggalkan kota raja, Siang Lan melakukan perjalanan cepat. Dalam perjalanan itu ia melamun. Ia memang sudah tahu bahwa Chang Hong Bu jatuh cinta kepadanya. Sebetulnya, memiliki calon suami seperti Chang Hong Bu amatlah menyenangkan dan membanggakan.

Pemuda itu tampan gagah dan berbudi baik, seorang pendekar sejati. Selain itu, juga dia keponakan Panglima Chang Ku Cing yang terkenal bijaksana. Gadis mana yang tidak akan bangga mempunyai suami seperti Chang Hong Bu? Akan tetapi kalau ia mengingat keadaan dirinya yang sudah bukan perawan lagi, ia merasa ngeri membayangkan Hong Bu menolaknya setelah mengetahui keadaan dirinya!

Dan penolakan itu akan membuat ia merasa terhina dan mungkin ia akan membunuh Hong Bu kalau pemuda itu menolaknya karena ia bukan perawan lagi! Lebih baik dari sekarang menolak pinangan itu daripada kelak ada kemungkinan terjadi hal itu.

Sebaliknya, Bu-beng-cu telah tahu bahwa ia bukan perawan lagi. Ia telah menceritakan kepadanya, namun biarpun sudah mengetahui keadaan dirinya, tetap saja Bu-beng-cu mencintainya. Dia melindunginya, membelanya, mengajarkan ilmu-ilmunya kepadanya.

Bahkan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Ia tidak meragukan lagi cinta Bu-beng-cu kepadanya, bukan hanya terbukti dari sikapnya, melainkan juga dari gambarnya yang dibawa ke mana pun dia pergi!

“Paman Bu-beng-cu...!” Ia berbisik, sama sekali tidak merasa janggal bahwa ia jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang jauh lebih tua daripadanya sehingga ia menyebutnya paman. Ia segera mempercepat larinya agar dapat segera tiba di Ban-hwa-san atau lebih tepat lagi, agar dapat segera bertemu dengan Bu-beng-cu.


Kui Li Ai duduk seorang diri di antara ratusan bunga di taman yang diatur dan dipeliharanya sendiri di bagian belakang rumah induk di perkampungan Ban-hwa-kok. Biasanya, kalau ia duduk seorang diri sambil menikmati keindahan bunga-bunga itu, ia merasa berbahagia sekali. Akan tetapi pagi hari ini ia tampak tidak gembira, bahkan sejak tadi termenung.

Ia teringat akan keadaan dirinya dan merasa betapa kesialan menimpa dirinya secara bertubi-tubi. Gadis yang usianya baru kurang dari duapuluh tahun itu, yang tubuhnya tinggi ramping, dengan kulit putih mulus, wajahnya manis sekali dengan bentuk bulat dan sepasang matanya lebar bersinar seperti sepasang bintang, kini tampak agak murung.

Betapa ia tidak akan sedih kalau mengingat masa lalunya. Ayahnya membunuh diri untuk menebus kesalahan telah membebaskan orang-orang Pek-lian-kauw yang ditawan pemerintah. Baru saja ayahnya membunuh diri karena kesalahan yang terpaksa dilakukan untuk membebaskan dirinya yang ditawan orang-orang Pek-lian-kauw, ia sendiri diperkosa oleh dua orang Pek-lian-kauw.

Peristiwa kedua ini saja sudah membuat ia putus asa dan tentu ia telah membunuh diri kalau tidak dicegah oleh Hwe-thian Mo-li yang menolongnya dan yang membunuh dua orang Pek-lian-kauw yang memperkosanya. Kemudian, dua peristiwa yang menghancurkan hatinya ini disambung dengan sikap ibu tirinya yang menghina dan menyalahkannya, dikatakan bahwa ia penyebab kematian ayahnya.

Sikap ibu tirinya ini yang kemudian dihajar oleh Hwe-thian Mo-li membuat ia tidak mungkin dapat tinggal di rumah ayahnya yang kini dikuasai oleh ibu tirinya. Ia lalu ikut Hwe-thian Mo-li dan tinggal di Ban-hwa-kok. Kemudian menyusul lagi peristiwa yang menyakitkan hatinya.

Bong Kongcu atau nama lengkapnya Bong Kim, pemuda hartawan di kota raja, yang sejak dulu tampak mencintanya, oleh Hwe-thian Mo-li didesak untuk melamarnya. Biarpun ia tidak bisa mengatakan cinta kepada pemuda itu, hanya rasa suka karena pemuda itu amat memperhatikannya, bersedia menerima lamarannya.

Ketika Bong Kim datang melamar dan ia mengaku bahwa dirinya telah diperkosa orang, pemuda itu berbalik menghinanya dan hanya akan mengambilnya sebagai selir. Hwe-thian Mo-li menghajar pemuda itu dan kembali Li Ai menderita tekanan batin yang hebat. Berturut-turut dan bertubi-tubi kesialan hidup menimpa dirinya.

Sekarang ia merasa terhibur dan senang hidup di Ban-hwa-san bersama Hwe-thian Mo-li dan anak buah Ban-hwa-pang. Akan tetapi muncul Bouw Cu An, putera seorang pangeran yang jatuh cinta kepadanya. Dan, baru sekali ini selama hidupnya Li Ai juga jatuh cinta kepada seorang pemuda. Ia mencinta Bouw Cu An dan mereka berdua sudah saling mengetahui bahwa mereka saling mencinta.

Bahkan ketika Bouw Cu An hendak meninggalkan Lembah Selaksa Bunga, mereka sudah saling menukar tanda mata. Bouw Cu An memberi sebuah kantung bersulam kupu-kupu yang indah, sedangkan pemuda itu memilih tusuk sanggul rambutnya berupa bunga teratai sebagai tanda mata.

Biarpun tidak terucapkan, pemberian tanda mata itu bagi mereka mempunyai arti yang khusus, yaitu bahwa mereka saling mencinta dan secara batiniah saling terikat satu sama lain! Li Ai menghela napas panjang dan membelai kantung bersulam kupu-kupu indah yang sejak tadi dipegangnya.

Bagaimana mungkin ia dapat berjodoh dengan putera pangeran itu? Ia sudah ternoda. Kalau kelak Bouw Cu An mendengar bahwa ia bukan perawan lagi, apakah pemuda itu dapat menerimanya? Apakah dia tidak akan memandangnya rendah dan menghinanya seperti yang pernah dilakukan Bong Kim, pemuda hartawan dari kota raja itu?

Penghinaan dari Bong Kim itu hanya membuatnya marah, akan tetapi kalau sampai Bouw Cu An menolak dan menghinanya, ia tidak akan sanggup menerimanya. Hatinya akan hancur dan hidup tidak ada artinya lagi baginya karena ia sungguh mencinta pemuda itu!

Tidak, lebih baik hubungan itu diputuskan sekarang yang hanya mengakibatkan kecewa dan duka. Kalau putus karena pemuda itu mengetahui keadaannya, menolak dan menghinanya, akibatnya akan terlalu berat dan hebat baginya.

“Tidak ini tidak boleh terjadi. Tidaaakk....!” Ucapan “tidak” yang terakhir itu keluar sebagai jeritan hati yang terucapkan oleh mulutnya.

“Heii, apanya yang tidak, Moi-moi?” tiba-tiba terdengar suara laki-laki.

Li Ai terkejut dan cepat menoleh kebelakang dan... ia melihat Bouw Cu An melangkah menghampirinya! Cepat ia menyelipkan kantung bersulam itu ke ikat pinggangnya dan bangkit berdiri, menyongsong kedatangan pemuda itu.

“Koko!” Li Ai berseru dan girang bukan main. “Eh, bagaimana engkau dapat tiba-tiba muncul di sini? Bagaimana dapat melalui jebakan-jebakan rahasia kami?”

Cu An tersenyum. “Untung sekali di bawah sana aku bertemu dengan seorang anggauta Ban-hwa-pang yang telah mengenal aku maka ia mau menjadi penunjuk jalan sehingga aku dapat naik ke sini, Ai-moi.”

“Mari kita masuk dan bicara di dalam rumah, An-ko.”

“Tidak, Moi-moi. Keadaan di sini sungguh indah dan hawanya begini sejuk dan cerah. Aku ingin bicara denganmu di sini saja.”

“Duduklah, An-ko.” Li Ai mempersilakan pemuda itu duduk di atas bangku panjang dan ia duduk di sebelahnya, agak jauh. “Ada apakah, An-ko? Aku melihat ada sesuatu yang membuatmu seperti orang bersedih.” Memang gadis itu melihat biarpun mulut pemuda itu tersenyum namun pandang matanya seperti orang sedang berduka, sinar mata itu sayu.

Cu An menghela napas panjang. Dia lalu dengan terus terang menceritakan tentang pemberontakan ayahnya sampai akhirnya ayahnya berhasil dibujuknya dan berbalik menjebak para sekutunya sehingga pemberontakan itu dapat dihancurkan.

“Aku merasa malu sekali, Moi-moi, mengapa Ayahku sampai melakukan pengkhianatan dan pemberontakan, padahal dia sudah mendapatkan kedudukan tinggi sebagai penasihat Kaisar dalam hubungan pemerintah dengan suku-suku asing dan luar negeri.”

Suasana menjadi hening setelah Cu An menceritakan keadaan ayahnya dengan panjang lebar. Ketika Li Ai memandang wajah pemuda itu yang kini tampak sedih sekali, ia merasa terharu dan berkata menghibur.

“An-ko, sudahlah jangan terlalu bersedih. Setidaknya ayahmu telah menyesal dan menyadari kesalahannya, bahkan memperlihatkan penyesalannya dengan membantu pemerintah menjebak para sekutu pemberontak sehingga dapat dihancurkan. Hal itu merupakan hiburan besar bagimu, Koko.”

“Benar memang, Moi-moi. Akan tetapi apa artinya perbuatan Ayahku itu kalau dibandingkan dengan dosa-dosanya? Dialah yang mendalangi terbunuhnya enam orang pembesar yang baik dan setia kepada Sribaginda Kaisar. Ah, aku malu sekali, Moi-moi.''

“Sudahlah, An-ko. Setelah Ayahmu berhasil membantu pemerintah menumpas pemberontak dan seperti kauceritakan tadi, engkau dan gurumu Ouw-yang Sian-jin membantu pula, mengapa sekarang engkau meninggalkan kota raja dan datang ke sini? Bukan aku tidak senang engkau datang berkunjung, akan tetapi kenapa Enci Siang Lan belum pulang?”

“Hwe-thian Mo-li tentu masih banyak urusan di sana dan aku sengaja datang ke sini untuk menemuimu, Ai-moi. Aku ingin menceritakan semua ini kepadamu dan sekalian mengucapkan selamat tinggal dan selamat berpisah untuk selamanya....” suaranya gemetar.

Mendengar ini, saking kagetnya, wajah Li Ai menjadi pucat dan tanpa disadarinya ia memegang lengan pemuda itu erat-erat sambil menatap wajahnya.

“Koko, mengapa engkau mengucapkan selamat tinggal? Apa maksudmu...?” Gadis itu memandang dengan khawatir sekali.

Bouw Cu An diam sejenak, agaknya seperti mengumpulkan kekuatannya karena dia tenggelam dalam kesedihan. Kemudian dengan suara lirih dan gemetar dia berkata. “Moi-moi... aku.... aku sungguh malu sekali kepadamu. Engkau puteri seorang pahlawan yang patriotik sedangkan aku... aku hanya anak seorang pengkhianat, seorang pemberontak...”

Cu An bangkit berdiri dan memutar tubuhnya untuk menyembunyikan air matanya yang menitik turun keatas pipinya. “Aku... aku... tidak pantas berdekatan denganmu, tidak pantas menjadi sahabatmu... apalagi.... menjadi.... ah, aku tidak boleh mencintaimu....”

Li Ai merasa terharu sekali. Ia maklum bahwa pemuda itu menangis dan hendak menyembunyikan tangisnya. Hal dapat ia ketahui dari suaranya dan pemuda itu mengangkat tangan ke muka, tentu untuk menghapus air matanya. Li Ai merasa terharu dan tanpa terasa lagi ia pun mencucurkan air mata.

“Tidak, Koko... mendiang Ayahku juga melakukan kesalahan! Ayahku juga pernah membebaskan tawanan....”

“Akan tetapi beliau melakukannya untuk menyelamatkanmu dan telah ditebusnya dengan nyawanya. Sedangkan Ayahku... dia memberontak untuk mencari kedudukan, untuk dirinya sendiri....”

“Akan tetapi Ayahmu juga sudah insaf dan membantu pemerintah membasmi para pemberontak.”

“Jangan membela Ayahku, Moi-moi, aku... aku merasa rendah dan hina sebagai anak pengkhianat yang akan selalu dikutuk. Aku tidak berhak dan tidak boleh mendekatimu... engkau akan ikut tercemar... aku tidak layak menjadi.... menjadi....” Cu An tidak dapat melanjutkan, lalu menjatuhkan diri duduk di atas bangku dengan tubuh lemas dan dia menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya.

Li Ai tidak dapat menahan keharuan dan kesedihannya mendengar ucapan itu. Ia memegang lengan pemuda itu dan memaksanya berputar sehingga mereka saling berhadapan. Dengan air mata membasahi sepasang matanya dan mengalir menuruni sepasang pipinya yang agak pucat, Li Ai berkata.

“Koko, jangan berkata begitu. Aku tetap menghormatimu karena engkau memang layak dihormati. Jangan bilang engkau tidak pantas. Akulah yang tidak pantas mendekati. Akulah gadis yang hina...”

“Moi-moi!” Cu An berseru kaget.

“Benar, Koko... dengarlah baik-baik, akulah yang tidak layak mendapat cintamu, tidak pantas mencintamu... aku sama sekali tidak berharga untuk menjadi sisihanmu... aku adalah seorang gadis yang sudah ternoda, aku... aku bukan perawan lagi... aku telah diperkosa orang...”

Tiba-tiba Cu An bangkit berdiri, mukanya merah karena marah sehingga Li Ai merasa hancur hatinya karena ia mengira bahwa seperti juga Bong Kim dahulu, pemuda itu pun akan memandang rendah dan menghinanya, maka ia menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu.

“Siapa dia? Katakan, Ai-moi, siapa laki-laki yang melakukan perbuatan biadab itu? Cepat katakan, sekarang juga akan kuhancurkan kepalanya si jahanam terkutuk itu!!”

Mendengar betapa pemuda itu marah kepada si pemerkosa dan tidak memandang rendah atau menghinanya, Li Ai menahan tangisnya dan berani memandang muka pemuda itu dengan muka pucat yang basah air mata, lalu berkata lirih diseling isak.

“Mereka... adalah dua orang.... Pek-lian-kauw.... akan tetapi mereka... sudah dibunuh oleh Enci Siang Lan....”

Cu An menarik napas panjang, tampak lega mendengar ini. “Aah, kalau begitu, dendam sakit hatimu telah terbalas impas, Ai-moi. Mengapa engkau masih juga bersedih?”

“....akan tetapi... aku... aku sudah ternoda... terlalu hina untukmu, An-ko....”

“Uhh, siapa bilang? Engkau sama sekali tidak bersalah. Engkau dipaksa dan engkau sama sekali tidak hina bagiku!”

“Tapi... tapi... aku... bukan perawan lagi....” Li Ai menangis. Cu An bergerak maju dan merangkul gadis itu. Meledaklah tangis gadis itu sehingga terisak-isak dan ia tidak mampu bicara lagi. Cu An mendekap muka gadis itu ke dadanya sehingga air mata Li Ai membasahi dada bajunya, menembus baju bahkan seolah menembus kulit dadanya dan menyejukan hatinya.

“Li Ai, kau kira aku ini laki-laki macam apa? Aku bukan hanya mencintai keperawananmu. Aku sayang kamu, aku cinta kamu lahir batin, bukan hanya mencinta badanmu melainkan engkau seluruhnya. Engkau sama sekali tidak hina bagiku, engkau tetap bersih, tetap murni dan aku bahkan semakin mencintamu. Li Ai, jawablah, maukah engkau menjadi teman hidupku selamanya, menjadi isteriku, isteri seorang anak pangeran pemberontak?”

“Koko Bouw Cu An...!” Saking bahagia dan terharunya mendengar ucapan itu, Li Ai tiba-tiba terkulai dan cepat ia merangkul pinggang pemuda itu. Kalau Cu An tidak memeluknya erat, mungkin ia akan jatuh terguling. Ia hampir pingsan dan menjadi lemas dalam pelukan Cu An.

“Moi-moi, jangan khawatir, aku akan melindungimu dan menyayangmu selamanya,” bisik Cu An sambil mendekap kepala itu erat-erat seolah hendak memasukan gadis itu ke dalam dirinya sehingga mereka tidak akan dapat saling berpisah lagi.

Cinta sejati memang indah karena cinta seperti ini merupakan kasih sayang yang murni, sebagai pijar dari api kasih yang datang dari Tuhan. Cinta kasih seperti ini bebas dari keinginan untuk menyenangkan diri sendiri. Semua diperuntukkan orang yang dikasihi, demi kebahagiaan orang yang dikasihi, dan cinta seperti ini baru dapat dirasakan kalau diri sendiri tidak diperbudak oleh nafsu dan pementingan diri sendiri.

Sebaliknya, cinta yang sepenuhnya didorong oleh nafsu hanya mementingkan diri sendiri, hanya bertujuan untuk menyenangkan diri sendiri. Kalau diri sendiri tidak lagi mendapat kesenangan dari orang yang dicintai, maka cinta itu akan berubah, lenyap atau bahkan berbalik menjadi benci.

Bukan berarti bahwa cinta sejati tidak mengenal nafsu berahi. Seperti juga nafsu-nafsu lain, nafsu berahi sudah ada pada setiap orang manusia yang sehat dan wajar. Hanya bedanya, dalam cinta kasih sejati itu nafsu berahi menjadi pelayan kita. Sebaliknya dalam cinta nafsu, nafsu berahi menjadi majikan kita.

Cinta kasih yang berada dalam diri Bouw Cu An dan Kui Li Ai adalah contoh cinta sejati. Cinta seperti ini adanya hanya keinginan untuk saling membahagiakan.

Sampai lama mereka saling rangkul dengan ketat seolah telah menjadi satu, lupa tempat dan waktu, bahkan lupa akan diri sendiri.

Tiba-tiba terdengar suara batuk seorang wanita. Suara ini cukup untuk menarik kedua orang yang sedang asyik-masyuk itu ke dalam sadar. Mereka menengok dan melihat bahwa di situ telah berdiri seorang wanita dengan sikap hormat dan ragu. Wanita itu adalah Bwe Kiok Hwa, kepala pembantu dan murid tertua di Ban-hwa-kok yang usianya sudah tigapuluh satu tahun.

Melihat Bwe Kiok Hwa, kedua orang muda itu saling melepaskan rangkulan dan wajah keduanya berubah kemerahan.

“Eh, Enci Bwe Kiok Hwa....” kata Li Ai.

Bwe Kiok Hwa tampak ragu dan sungkan. “Nona Kui Li Ai... saya kira engkau sudah tahu akan peraturannya...”

Li Ai mengangguk. “Aku tahu dan mengerti, Enci kiok Hwa. Jangan khawatir, aku yang akan laporkan kepada Enci Nyo Siang Lan kalau ia pulang.”

Bwe Kiok Hwa mengangguk. “Maaf, bukan maksud saya untuk mengganggu.” Setelah memberi hormat kepada sepasang orang muda itu, ia lalu pergi.

“Ai-moi, apa sih artinya ucapanmu kepadanya tadi?” tanya Bouw Cu An.

“Begini, An-ko. Setelah Enci Siang Lan menjadi pemimpin Ban-hwa-pang yang anggautanya semua wanita, yang tidak menikah, ia mengadakan peraturan bahwa siapa yang menikah harus keluar dari Ban-hwa-kok. Setiap orang anggauta Ban-hwa-kok tidak boleh bergaul dengan pria kalau tidak akan menjadi suami isteri, dan kalau ada pria yang berani mempermainkan anggauta Ban-hwa-pang, akan dibunuh. Maka setelah tadi Enci Bwe Kiok Hwa melihat kita, ia peringatkan padaku tentang peraturan itu. Akan tetapi, kita tidak perlu khawatir, bukan, An-ko?”

Cu An tersenyum dan memegang kedua tangan kekasihnya. “Tentu saja tidak, Moi-moi. Kita berdua tidak main-main, dan aku akan memberitahu orang tuaku agar mengajukan pinangan secara resmi. Akan tetapi, karena... Ayah dan Ibu kandungmu telah tiada, kepada siapakah orang tuaku harus mengajukan lamaran? Menurut ceritamu, tentu engkau tidak ingin orang tuaku melamar kepada ibu tirimu, bukan?”

“Aih, jangan! Aku tidak sudi dinikahkan oleh wanita berengsek itu! Kalau orang tuamu datang melamar, kuminta agar melamar kepada Enci Nyo Siang Lan, karena ialah yang kini menjadi waliku, kakak angkatku, juga guruku.”

“Bagus, kalau begitu, aku akan menanti di sini sampai ia datang. Bolehkah aku bermalam di sini, Ai-moi?”

“Tentu saja boleh, An-ko, akan tetapi di kamar tersendiri, kamar tamu.”

“Tentu saja! Aku belum gila untuk minta sekamar denganmu, Moi-moi!”

“Aih, bukan begitu maksudku.” Li Ai tertawa senang karena kelakar itu menunjukkan penghormatan dan penghargaan yang tersembunyi. “Akan tetapi sebetulnya ini melanggar peraturan, akan tetapi...”

“Kalau begitu, biar aku bermalam di kaki bukit saja, Ai-moi. Jangan sampai engkau mendapat marah dari Hwe-thian Mo-li!”

“Tidak, An-ko. Kalau aku membiarkanmu bermalam di kaki bukit, di tempat terbuka, aku malah pasti akan ditegur Enci Siang Lan. Engkau boleh bermalam di sini atas tanggunganku, hanya saja, engkau tidak boleh keluar dari rumah induk, paling jauh engkau hanya boleh memasuki tempat ini.”

Cu An tersenyum. “Baiklah, aku akan menaati peraturan Ban-hwa-pang. Tidak apa dikeram dalam rumah asal setiap hari dapat melihatmu!”

Demikianlah, dengan hati berbunga-bunga sepasang kekasih itu lalu memasuki rumah induk dan Li Ai lalu mempersiapkan kamar tamu yang berada di bagian belakang untuk Bouw Cu An. Kepada Bwe Kiok Hwa dan para anggauta Ban-hwa-pang lainnya Li Ai mengaku terus terang bahwa pemuda itu adalah tunangannya calon suaminya yang menanti kembalinya ketua mereka dan akan sementara tinggal di situ sampai Hwe-thian Mo-li pulang.

Ia yang akan bertanggung jawab kalau ketua mereka marah. Karena baik Li Ai maupun Cu An bersikap wajar dan sopan, menjaga sikap mereka satu sama lain tetap sopan dan tidak memperlihatkan cinta mereka secara mencolok, maka para anggauta Ban-hwa-pang merasa tenang dan tetap menghormati sepasang kekasih ini.

Kasih yang mendasari satu saja keinginan yaitu membahagiakan orang yang dikasihi sungguh mendatangkan perasaan yang luar biasa. Melihat kebahagiaan terpancar pada sinar mata dan senyum di wajah kekasihnya membuat mereka merasa luar biasa senang dan bahagianya.

Karena itu, dengan hanya saling pandang tanpa ungkapan dengan sentuhan atau kata-kata cinta karena hendak menjaga kesopanan dalam pandangan para anggauta Ban-hwa-pang, bagi mereka berdua lebih dari cukup.

Senyum di bibir sang kekasih seolah menambah keindahan segala sesuatu yang tampak, menambah hangat dan cerahnya sinar matahari, menambah indah dan harum bunga-bunga di taman dan hati mereka diliputi kebahagiaan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.

Dua minggu kemudian Siang Lan pulang. Ketika para anggauta Ban-hwa-pang menyambut di lereng bukit, tak seorang pun dari mereka berani memberitahu akan kehadiran Cu An yang sudah dua minggu menjadi tamu di rumah induk yang menjadi tempat tinggal Ketua Ban-hwa-pang itu.

Ketika Siang Lan tiba di rumah dan disambut oleh Li Ai dan Cu An, ia agak terkejut dan merasa heran karena ia mengenal pemuda itu yang telah menjadi murid Ouw-yang Sianjin. Ia pun tahu bahwa pemuda itu adalah putera Pangeran Bouw Ji Kong.

“Hei, bukankah engkau Bouw Cu An putera Pangeran Bouw Ji Kong? Setelah pemberontakan dapat dipadamkan berkat bantuan Ayahmu, mengapa engkau pergi menghilang dan kini tahu-tahu berada di sini?” Siang Lan bertanya, suaranya mengandung teguran karena pemuda itu menjauhkan diri sehingga tidak tahu akan malapetaka yang menimpa keluarga ayahnya.

“Aku.... aku ikut dengan suhu Ouw-yang Sianjin....” kata Cu An, agak canggung mendengar teguran Hwe-thian Mo-li.

“Enci Siang Lan, sebelum engkau nanti mengetahui dan marah-marah kepada Koko Bouw Cu An, sebaiknya aku lebih dulu mengaku kepadamu bahwa dia sudah tinggal di sini selama dua minggu untuk menunggumu pulang dan akulah yang menanggung dan bertanggung jawab, yang minta dia tinggal di sini selama ini, maka akulah yang melanggar peraturan dan aku siap menerima hukuman.”

“Aih-aih, mengapa engkau begini nekat, Li Ai?” Siang Lan bertanya heran karena setelah ia mengalami perkosaan kemudian dihina oleh Bong Kim, Li Ai seolah menjadi pembenci laki-laki.

“Karena.... karena kami berdua ahh...” sukar bagi Li Ai untuk mengaku saling mencinta dengan Cu An.

Melihat kekasihnya kebingungan, Cu An segera membantu. “Pang-cu...”

Siang Lan tidak merasa aneh dipanggil Pang-cu (ketua) karena ia memang merupakan Pang-cu dari Ban-hwa-pang.

“Terus terang saja, Adik Kui Li Ai dan aku saling mencinta dan kita merencanakan perjodohan. Karena yang menjadi walinya, menurut pengakuan Adik Li Ai adalah engkau, maka aku sengaja menanti engkau pulang agar kalau engkau sudah setuju, aku akan minta kepada orang tuaku untuk mengirim lamaran resmi kepadamu.”

Siang Lan membelalakkan kedua matanya, bukan marah melainkan heran dan juga ragu. Ia memandang kepada Li Ai yang menundukkan mukanya sambil tersenyum malu-malu. “Akan tetapi engkau, Li Ai...”

“Jangan khawatir, Enci Siang Lan. Aku telah menceritakan dan mengaku terus terang kepada An-ko tentang malapetaka yang menimpa diriku, bahwa aku telah diperkosa dua orang Pek-lian-kauw yang kau bunuh itu.”

Kini wajah Siang Lan berseri karena ia merasa gembira sekali mendengar keterangan Li Ai itu. Ia memandang kepada pemuda itu dengan kagum dan bertanya. “Bouw Kongcu, benarkah engkau rela dan mau menerima Li Ai sebagai calon isterimu setelah ia...”

“Pang-cu, aku bahkan merasa kasihan dan semakin cinta kepada Li Ai, sama sekali tidak memandang rendah. Yang kucinta adalah manusianya, pribadinya bukan hanya jasmaninya. Cinta itu bagiku urusan hati, bukan sekedar urusan jasmani. Pula, kalau mau bicara tentang kerendahan dan kehinaan, akulah yang rendah dan hina, tidak sepadan dengan Adik Li Ai. Ia puteri seorang pahlawan, sebaliknya aku hanya anak seorang pengkhianat dan pemberontak.”

“Hushh! Jangan sekali-kali kau ulangi kata-katamu itu, Bouw Cu An!” Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan membentak sehingga Cu An dan Li Ai memandang kaget. “Biarpun pernah melakukan kesalahan besar, namun akhirnya mendiang Pangeran Bouw Ji Kong adalah seorang pahlawan besar!”

Wajah Cu An berubah pucat sekali. Biarpun hatinya merasa lega dan ada sinar kegirangan mendengar Siang Lan memuji ayahnya sebagai pahlawan, namun ayahnya disebut mendiang oleh gadis itu.

“Mendiang...? Apa... apa maksudmu... Pang-cu?" tanyanya dengan muka pucat dan suara tergagap.

Baru Siang Lan teringat bahwa pemuda ini belum mengetahui bahwa ayahnya telah tewas, maka ia menghela napas panjang dan mengajak mereka berdua duduk. “Bouw Kongcu, setelah engkau pergi meninggalkan kota raja, terjadi peristiwa yang amat besar dan gawat. Para pemberontak itu, seperti kau ketahui karena yang membujuk Ayahmu adalah engkau dan susiok (Paman Guru) Ouw-yang Sianjin, dapat dibasmi atas bantuan Ayahmu. Akan tetapi urusannya bukan hanya berhenti sampai di situ.

“Tiba-tiba saja Sribaginda Kaisar diculik orang dan banyak pengawal dan pelayan istana terbunuh. Penculiknya tidak ketahuan siapa dan tidak diketahui pula ke mana Sribaginda Kaisar disembunyikan. Kemudian setelah melakukan penyelidikan, kiranya yang menculik Sribaginda dan juga Ayahmu yang hilang pula, adalah seorang pelayan di gedung Ayahmu, seorang pelayan tua yang tampak lemah...”

“Ah... Kakek A-kui?” tanya Cu An yang masih pucat.

“Dia adalah Cui-beng Kui-ong yang menyamar dan berhasil menyusup menjadi pelayan di rumah Pangeran Bouw Ji Kong. Dia menyembunyikan Sribaginda yang diculiknya ke ruangan bawah tanah di bawah kamar tidur Ayahmu. Karena Ayahmu hendak menentangnya, maka dia pun menangkap Ayahmu dan menahannya di ruangan bawah tanah itu.”

“Aduh.... semua ini salahku. Kalau aku tidak meninggalkan rumah, tentu aku dapat mencegahnya...”

“Tidak, Bouw Kongcu, bahkan mungkin engkau pun terancam bahaya maut. Cui-beng Kui-ong itu sakti bukan main. Dengarkan ceritaku selanjutnya. Aku mendengar dari Ibumu bahwa Sribaginda dan Ayahmu disembunyikan di ruangan bawah tanah itu. Aku terlalu memandang rendah Kakek A-kui, maka aku segera menyerbu.

"Akan tetapi A-kui muncul di kamar Ayahmu dan kami berkelahi. Akibatnya, aku sendiri tertawan olehya, tertotok dan dimasukkan dalam ruangan bawah tanah itu. Ibumu lalu melarikan diri dari rumah dan melapor kepada Panglima Chang Ku Cing tentang A-kui. Kebetulan ketika itu panglima Chang kedatangan Paman Bu-beng-cu. Paman Bu-beng-cu segera menuju ke rumah Ibumu dan Panglima Chang mengerahkan pasukan mengepung rumah itu.

“Ketika itu, Cui-beng Kui-ong alias A-kui tahu bahwa Ibumu pergi meninggalkan rumah. Dia menjadi marah dan tahu bahwa tentu tempat persembunyian itu akan ketahuan dan akan diserbu, maka dia membunuh tujuh orang pelayan di rumahmu dan pada saat itu terdengar teriakan Paman Bu-beng-cu dari luar yang minta kepada Cui-beng Kui-ong untuk menyerah.

“Cui-beng Kui-ong menjawab dan berteriak minta agar para tawanan pemberontak dibebaskan. Kalau tidak dia akan membunuh Sribaginda Kaisar. Ketika permintaannya ditolak, dia hendak membunuh Sribaginda, akan tetapi Ayahmu, Pangeran Bouw Ji Kong yang memungut pedangku yang terjatuh, membela Sribaginda Kaisar dengan gagah berani. Akan tetapi Cui-beng Kui-ong terlalu lihai sehingga Ayahmu kalah dan tewas di tangan Cui-beng Kui-ong.

“Setelah membunuh Ayahmu, kakek sakti itu juga hendak membunuh aku yang tidak mampu bergerak karena tertotok dan luka dalam. Untung pada saat yang amat gawat bagi keselamatanku itu muncul Paman Bu-beng-cu dan setelah melalui perkelahian yang amat hebat, akhirnya Cui-beng Kui-ong roboh dan tewas.

“Nah, bukankah Ayahmu telah menebus kesalahannya dengan dua hal yang amat hebat. Pertama, membantu pemerintah membasmi para pemberontak dan kedua, telah mengorbankan nyawa demi melindungi Sribaginda Kaisar? Maka jangan kau berani mencaci Ayahmu dengan kata-kata yang keji, Bouw Kongcu!”

“Ayah....!” Bouw Cu An lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis! “Maafkan aku, Ayah!”

“An-ko, jangan terlalu bersedih...!” Li Ai juga berlutut di dekat pemuda itu dan memegang pundaknya, akan tetapi kedua matanya juga basah air mata. Ia ikut merasa terharu dan sedih melihat kekasihnya menangis.

Melihat ini, Siang Lan tersenyum, diam-diam merasa berbahagia sekali bahwa Li Ai telah menemukan laki-laki yang benar-benar mencintainya walaupun dia sudah tahu akan keadaan Li Ai yang telah ternoda. Cu An merupakan calon suami yang baik sekali bagi Li Ai dan ia merasa ikut berbahagia! Maka, melihat keduanya bertangisan, ia lalu meninggalkannya, memasuki kamarnya.

Dalam kamar, Siang Lan termenung. Ia teringat kepada Bu-beng-cu. Bu-beng-cu juga amat mencintanya, seperti cinta Cu An kepada Li Ai. Bu-beng-cu juga sudah tahu bahwa ia telah dinodai orang, akan tetapi tetap mencintanya! Akan tetapi, sebelum ia membuka perasaan hatinya kepada pria yang juga menjadi gurunya itu.

Ia harus menyelesaikan dulu masalah yang teramat penting bagi hidupnya, yaitu membalas dendam kepada Thian-te Mo-ong (Raja Iblis Langit Bumi) yang telah memperkosanya itu. Setelah ia berhasil membunuh Thian-te Mo-ong, barulah ia akan menyatakan hubungan cintanya dengan Bu-beng-cu?

42. Akhirnya Thian-te Mo-ong Kalah!

Pinangan terhadap Kui Li Ai yang dilakukan oleh utusan Nyonya Bouw Ji Kong kepada Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan segera tiba setelah Bouw Cu An kembali ke kota raja. Pinangan itu diterima dengan baik dan tiga bulan kemudian, pernikahan antara Bouw Cu An dan Kui Li Ai dirayakan di kota raja dengan meriah, dihadiri para perwira dan pejabat tinggi, dan juga hadir pula Nyo Siang Lan, Ong Lian Hong dan suaminya, Sim Tek Kun. Panglima Chang Ku Cing juga hadir bersama keponakannya, Chang Hong Bu.

Mengingat akan pembelaan terakhir Pangeran Bouw Ji Kong terhadap Sribaginda Kaisar, maka keluarganya selain mendapat pengampunan juga mendapatkan kehormatan dari para pejabat tinggi. Bahkan Menteri Yang Ting Ho juga memerlukan hadir dalam pesta pernikahan itu.

Setelah tinggal di kota raja selama beberapa hari, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan segera kembali ke Ban-hwa-kok dan langsung saja ia menemui Bu-beng-cu yang tinggal di guhanya, tak jauh dari Bukit Ban-hwa-pang.

Bu-beng-cu bersikap biasa saja seperti biasa, namun kini tampak jelas oleh Siang Lan betapa besar kasih sayang laki-laki itu kepadanya yang dapat ia rasakan melalui pandang matanya, kata-kata yang keluar dari mulutnya, dan gerak geriknya. Akan tetapi ia pura-pura tidak tahu dan ia sendiri juga bersikap biasa.

Bahkan ia kini berlatih semakin tekun karena hari yang ditentukan oleh Thian-te Mo-ong yang akan datang mengunjungi setahun sekali untuk mengadu kepandaian tinggal beberapa bulan lagi. Sekali ini ia harus dapat membunuh musuh besar itu. Setelah musuh besar dapat dibunuhnya untuk membalas dendam, barulah ia akan mengaku kepada Bu beng-cu bahwa ia sudah tahu dan yakin benar akan rasa cinta pria itu terhadap dirinya!

Demikian tekun, rajin dan keras Siang Lan berlatih sehingga diam-diam Bu-beng-cu merasa terharu. Dia maklum benar betapa besar semangat dan keinginan Siang Lan untuk mengalahkan dan membunuh musuh besarnya yang bukan lain adalah dirinya sendiri! Dapat dibayangkan betapa hal ini menghancurkan perasaan hatinya.

Bu-beng-cu bukanlah seorang bodoh. Dia pun dapat merasakan bahwa sesungguhnya Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan mencintainya, seperti juga dia mencinta gadis itu, cinta yang timbul mula-mula karena penyesalan dan kasihan.

Kemudian setelah bergaul dengan gadis itu, dia benar-benar jatuh cinta secara mendalam. Akan tetapi dia tidak tega untuk mengakui cintanya walaupun dia tahu benar cintanya sudah pasti akan diterima oleh Siang Lan yang juga jelas mencintainya.

Ngeri dia membayangkan betapa hati gadis yang dicintanya itu akan hancur kalau kemudian mengetahui bahwa pria yang saling mencinta dengannya itu adalah juga musuh besarnya, laki-laki yang amat dibencinya karena telah memperkosanya? Tidak, dia akan menebus kesalahannya yang membuat hancur kebahagiaan gadis itu dengan nyawanya.

Biarlah gadis itu berhasil membalas dendam dengan adil dan sesungguhnya, bukan karena dia mengalah. Karena itu, dia pun menurunkan semua ilmunya kepada Siang Lan dan tidak akan berhenti sebelum gadis itu mampu mengalahkannya.

Setelah dengan tekun penuh perhatian menurunkan semua ilmunya kepada Siang Lan, pada suatu sore setelah mereka berlatih dan bertanding selama puluhan jurus, Bu-beng-cu menghentikannya dan mereka duduk di bawah pohon depan guha melepaskan lelah dan menyusut keringat. Siang Lan memandang Bu-beng-cu dengan pandang mata penuh rasa syukur dan mesra.

Bu-beng-cu semula juga menatap wajahnya dan biarpun mulut mereka tidak mengucapkan sesuatu, sinar mata mereka seperti mengandung seribu bahasa menyinarkan kasih sayang yang mendalam. Akan tetapi Bu-beng-cu segera menundukkan mukanya, menghela napas panjang lalu berkata dengan suara lirih dan tenang.

“Siang Lan, semua yang kuketahui tentang ilmu silat telah kuajarkan kepadamu. Dalam latihan bertanding tadi aku mendapat kenyataan bahwa aku tidak lagi dapat mengalahkanmu. Karena itu, hari ini merupakan hari terakhir. Aku tidak dapat mengajarkan apa-apa lagi kepadamu dan kuharap dengan kepandaianmu sekarang, engkau akan mampu mengalahkan musuh besarmu.”

Diingatkan tentang musuh besarnya, bangkit semangat Siang Lan dan pandang matanya yang tadinya mengandung kasih sayang seketika berubah. Dia memandang ke atas, membayangkan wajah bertopeng Thian-te Mo-ong dan matanya mengeluarkan sinar kebencian yang mendalam.

“Hemm, sekali ini akan kulawan dia mati-matian, Paman! Karena aku tidak mungkin mendapatkan tambahan ilmu lagi, maka pertandingan nanti merupakan yang terakhir. Dia atau aku yang akan mati! Biasanya, dia muncul di hari ke limabelas, pada saat bulan purnama di waktu malam. Dan hari itu kalau tidak salah tinggal tiga hari lagi. Aku akan menantinya!” Ia berkata dengan kedua tangan dikepal dengan marah.

“Semoga sekali ini engkau akan menang dan dapat membalas dendammu kepada musuh besarmu, Siang Lan. Akan tetapi apakah engkau tidak bisa memaafkan perbuatannya kepadamu itu?”

“Tidak mungkin, Paman! Jahanam itu telah merusak hidupku dan hanya kematiannya yang akan dapat mencuci bersih aib yang dijatuhkan kepadaku. Noda itu harus dicuci dengan darahnya!”

“Terserah kepadamu, Siang Lan. Sekarang aku hendak mengucapkan selamat berpisah....”

“Selamat berpisah....?” Siang Lan terkejut dan menatap wajah Bu-beng-cu dengan pandang mata penuh selidik. “Apa maksudmu, Paman? Engkau... hendak pergi ke mana?”

“Aku berada di sini hanya untuk memenuhi janjiku mengajarkan ilmu silat kepadamu, Siang Lan. Sekarang, semua ilmuku sudah kuajarkan, maka aku hendak pergi merantau.”

“Ke manakah engkau hendak pergi, Paman?” tanya Siang Lan dengan gelisah.

“Ke mana...?” Bu-beng-cu menerawang ke arah langit. “Kemana saja nasib membawa diriku....”

Hening sejenak. Siang Lan merasa betapa jantungnya berdebar. Ia ingin sekali menahan Bu-beng-cu dan mengatakan apa yang berada di dalam hatinya, apa yang dirasakannya terhadap pria itu. Akan tetapi ia menahan diri. Ia sudah mengambil keputusan untuk tidak membicarakan urusan itu sebelum ia dapat membunuh musuh besarnya, yaitu Thian-te Mo-ong.

Kalau hal itu belum terlaksana, maka dendamnya akan selalu menjadi penghalang kebahagiaannya. Tidak mungkin ia dapat hidup tenang dan bahagia apabila ia masih dihimpit dendam sakit hati yang teramat besar itu. Ia akan membunuh dulu musuh besarnya, barulah ia akan memikirkan hidup selanjutnya dan kebahagiaannya.

“Paman Bu-beng-cu...”

“Ya....?”

“Paman, kuharap engkau jangan meninggalkan tempat ini dulu, Paman. Tunggu sampai tiga hari lagi! Berjanjilah padaku bahwa engkau tidak akan pergi sebelum aku bertemu dan bertanding melawan musuh besarku. Aku ingin Paman melihat hasil pertandingan itu, baik kalau aku menang dan berhasil membunuhnya atau sebaliknya aku mati di tangannya. Biarlah kalau aku sampai kalah, aku yang mengucapkan selamat tinggal padamu, Paman, bukan engkau yang meninggalkan aku.”

Ucapan itu keluar dari mulut Siang Lan dengan suara gemetar mengandung keharuan dan kesedihan. Bu-beng-cu dapat merasakan ini dan dia pun menundukkan kepalanya, menghela napas panjang dan menjawab.

“Baiklah, Siang Lan. Aku akan menunggu sampai engkau berhasil membalas dendammu.”

Setelah meninggalkan Bu-beng-cu, Siang Lan membuat persiapan di Ban-hwa-kok. Setiap hari ia tekun berlatih menghimpun tenaga saktinya untuk menjaga agar tubuhnya tetap dalam keadaan sehat dan siap. Ia yakin bahwa Thian-te Mo-ong pasti akan muncul.

Jahanam itu amat sakti sehingga jebakan-jebakan yang menghalangi orang luar naik ke puncak Ban-hwa-san tidak akan mampu mengganggunya. Jahanam itu pasti akan muncul di Ban-hwa-kok seperti tahun-tahun yang lalu. Maka ia pun selalu siap siaga dan pedang Lui-kong-kiam tidak pernah terpisah darinya. Ia pun sudah berpesan kepada semua anggauta Ban-hwa-pang agar jangan ada yang menyerang apabila musuh besar yang bertopeng itu muncul di Ban-hwa-kok.

Selain itu ia tahu bahwa para anggauta Ban-hwa-kok sama sekali bukan lawan Thian-te Mo-ong dan kalau menyerangnya sama dengan bunuh diri karena jahanam itu tentu dengan mudah akan mampu membunuh mereka semua, juga ia memang tidak ingin orang lain mencampuri urusannya dengan Thian-te Mo-ong.

Bahkan kepada Bu-beng-cu saja ia tidak mau minta bantuannya untuk menghadapi musuh besar itu. Urusannya dengan Thian-te Mo-ong adalah urusan pribadi, orang lain tidak boleh mencampuri. Para anggauta Ban-hwa-pang juga mengetahui akan saktinya musuh ketua mereka. Mereka tahu bahwa beberapa kali ketua mereka kalah melawan orang bertopeng itu.

Maka, maklum bahwa sewaktu-waktu musuh besar itu akan muncul, hati mereka semua diliputi ketegangan dan kekhawatiran. Apalagi ketika pagi hari tadi ketua mereka mengumpulkan mereka semua dan berkata dengan suara tegas.

“Dengarkan baik-baik kalian semua! Sekali lagi kutegaskan, kalau terjadi perkelahian antara aku dan musuh besarku, jangan ada di antara kalian yang mencampuri. Syukurlah kalau aku mampu merobohkan dan membunuh musuh besarku. Akan tetapi seandainya terjadi sebaliknya, aku yang kalah dan tewas, maka Ban-hwa-pang harus dibubarkan. Kalian boleh membagi-bagi semua harta milik kita di antara kalian dan boleh hidup dan tinggal di mana pun sesuka kalian.”

Demikianlah pesan ketua mereka dan tentu saja mereka menjadi gelisah karena pesan itu seolah merupakan pesan terakhir orang yang akan mati!


Malam itu bulan purnama bersinar dengan indahnya karena udara bersih dan langit tidak tertutup awan. Siang Lan menanti sampai tengah malam, namun musuh besarnya tidak muncul. Ia lalu tidur untuk menyimpan tenaga karena ia merasa yakin bahwa besok pagi musuhnya tentu akan muncul.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi ia sudah mandi dan bertukar pakaian. Hari itu merupakan hari yang amat penting baginya, maka ia mengenakan pakaian baru yang indah walaupun ringkas dan ketat membungkus badannya agar ia dapat bergerak dengan leluasa. Rambutnya yang telah dicuci bersih itu disisir dan digelung rapi. Pedang Lui- kong-kiam tergantung di punggungnya.

Ia tampak cantik jelita. Setelah rambutnya yang panjang ikal mayang itu digelung, anak rambut yang halus lembut melingkar dan berjuntai di kedua pelipis dan di dahinya. Matanya bersinar-sinar penuh semangat.

Tak seorang pun akan menyangka bahwa gadis ini sedang menghadapi sebuah perkelahian mati-matian menyabung nyawa melawan musuh yang amat sakti. Kalau mereka melihatnya seperti itu, ia lebih pantas sebagai seorang gadis yang menyongsong kedatangan kekasihnya, demikian cantik, rapi dan penuh semangat!

Suasana di Ban-hwa-pang sunyi sekali. Padahal hari itu, tidak ada seorang pun anggauta Ban-hwa-pang yang keluar dari perkampungan mereka. Tidak ada yang bekerja seperti biasa. Mereka semua berkumpul, duduk di lapangan tempat berlatih tak jauh dari rumah induk, memandang ke arah halaman depan rumah itu dengan hati tegang.

Tak seorang pun mengeluarkan suara sehingga suasana menjadi sunyi. Bunyi yang ada hanya gemercik air di belakang perkampungan, desah angin membelai daun-daun pohon, dan ayam biang berkotek memanggil anak-anaknya. Bahkan burung-burung tidak berbunyi lagi karena karena mereka semua telah pergi menuju ke sawah ladang mencari makan.

Setelah sinar matahari mulai mengusir sisa kabut di puncak Ban-hwa-san itu, sinarnya yang hangat seakan membangunkan bumi yang tidur semalam, menggugah ribuan bunga di lembah itu, datanglah orang yang dinanti-nanti oleh Siang Lan, dan juga oleh para anggauta Ban-hwa-pang. Kedatangannya saja membuat para anggauta Ban-hwa-pang merasa ngeri. Mula-mula berhembus angin lalu disusul suara yang menggelegar.

“Hwe-thian Mo-li, aku datang....!!”

Sesosok bayangan berkelebat dan Thian-te Mo-ong sudah tampak di pekarangan depan rumah induk yang menjadi tempat tinggal Siang Lan. Pakaiannya yang dari kain kasar dan agak terlalu besar itu membuat tubuhnya tampak besar menyeramkan.

Mukanya tertutup sebuah topeng dari kulit batang pohon, bentuknya seperti muka setan. Muka itu sama sekali tertutup dan yang tampak hanya sepasang mata mencorong yang sinarnya keluar dari lubang di depan kedua mata itu.

Mendengar suara itu, Siang Lan melompat dari dalam rumah. Hanya tampak bayangan berkelebat dan gadis itu sudah berhadapan dengan musuh besarnya. Sepasang mata yang indah itu seolah menyinarkan api ketika ia menatap wajah bertopeng itu, topeng yang selalu muncul mengganggu dalam mimpi, topeng yang amat dibencinya.

“Thian-te Mo-ong, hari ini kalau tidak engkau, akulah yang menggeletak kehilangan nyawa. Aku tidak akan berhenti berkelahi sebelum salah seorang di antara kita mati!” Setelah berkata demikian, Siang Lan lalu mengerahkan seluruh tenaga saktinya, menekuk kedua lututnya dan mendorongkan ke arah lawan.

“Hyaaaattt....!” Pukulan ini hebat sekali. Angin dahsyat menyambar ke arah Thian-te Mo-ong. Orang bertopeng itu menyambut dengan dorongan kedua tangannya pula.

“Wuuuuttt... blaarrr...!”

Keduanya terpental ke belakang sejauh tiga langkah! Ternyata tenaga mereka seimbang dan Siang Lan merasa girang sekali. Timbul semangatnya karena kini ia sudah mampu mengimbangi sin-kang lawan yang dulu membuatnya kewalahan. Ia lalu nencabut Lui-kong-kiam dan jiwa kependekarannya membuat ia menahan serangannya melihat lawan bertangan kosong.

“Cabut senjatamu! Aku tidak mau menyerang orang yang tak memegang senjata, tidak sudi menjadi pengecut macam engkau!” Siang Lan memaki, teringat betapa orang ini dulu memperkosanya selagi ia tidak berdaya.

Thian-te Mo-ong tidak menjawab, hanya tertawa bergelak lalu tubuhnya melompat ke atas, ke arah pohon. Terdengar suara dahan patah dan ketika dia turun, tangannya sudah memegang sebatang ranting pohon sebesar lengan dan panjangnya seperti sebatang pedang. Sekali dia menggetarkan ranting itu, daun-daunnya terlepas dan meluncur jauh!

Hal ini saja sudah menunjukkan betapa dia mampu menyalurkan tenaga saktinya kepada ranting itu sehingga daun-daun yang menempel pada ranting itu terlepas dan bahkan terpental kuat sehingga meluncur jauh!

Akan tetapi Siang Lan tidak menjadi gentar. Setelah kini musuh besarnya memegang tongkat ranting pohon, ia lalu mengeluarkan pekik melengking dan menyerang dengan dahsyatnya. Pedang Lui-kong-kiam itu berubah menjadi sinar kilat menyambar ke arah dada lawan. Thian-te Mo-ong menggerakkan ranting itu menangkis.

“Trangg...!” Pertemuan antara pedang pusaka dan pedang kayu itu menimbulkan suara nyaring seolah Lui-kong-kiam itu bertemu dengan pedang lain yang sama ampuhnya! Kemudian terjadi perkelahian ilmu silat pedang yang amat hebat. Gerakan nnereka sama gesitnya dan dalam gin-kang (ilmu meringankan tubuh) mereka memiliki tingkat seimbang.

Juga agaknya sin-kang (tenaga sakti) mereka tidak berselisih jauh, mungkin tenaga Thian-te Mo-ong lebih kuat sedikit, namun hampir tidak terasa oleh Siang Lan. Kini mereka mengadu ilmu silat dan dalam hal ini ternyata Siang Lan lebih untung.

Perlu diingat bahwa Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan adalah murid terkasih dari Pat-jiu Kiam-ong (Dewa Pedang Lengan delapan) Ong Han Cu dan dewa Pedang yang kini telah tiada itu telah menurunkan semua ilmu pedangnya kepada Siang Lan yang amat dikasihinya. Maka, setelah kini Siang Lan mendapat gemblengan dari Bu-beng-cu sehingga gin-kang dan sin-kangnya maju pesat, ilmu pedangnya menjadi semakin dahsyat.

Para anggauta Ban-hwa-pang hanya berani menonton. Biarpun mereka merasa gelisah sekali dan juga tegang, namun mereka tidak berani mendekat, apalagi membantu ketua mereka. Kalau saja Siang Lan tidak memesan kepada mereka, tentu mereka sudah maju mengeroyok dan mereka tidak takut kalau sampai roboh dan tewas.

Mereka rela berkorban nyawa demi ketua mereka yang mereka sayang dan hormati. Akan tetapi Siang Lan telah melarang mereka sehingga kini mereka hanya berani menonton dari jauh dengan jantung berdebar-debar.

Perkelahian itu sudah berlangsung delapanpuluh jurus lebih! Akan tetapi belum juga ada yang terdesak. Mereka masih saling serang dan matahari mulai naik tinggi sehingga panasnya mulai menyengat, tubuh kedua orang yang bertanding mati-matian itu mulai basah oleh keringat.

Tubuh Siang Lan melompat ke atas, berjungkir balik di udara lalu meluncur turun, pedangnya menyambar ke arah kepala Thian-te Mo-ong. Thian-te Mo-ong menggerakkan ranting menangkis, akan tetapi tanpa diduga, tangan kiri Siang Lan menghantam dengan pukulan tenaga sakti ke arah muka. Ini merupakan serangan yang amat dahsyat dan berbahaya sekali.

Thian-te Mo-ong menggeser tubuh ke kanan sehingga dia dapat menyambut dorongan tangan kiri gadis itu dengan tangan kirinya pula dan begitu kedua telapak tangan bertemu, Siang Lan menggunakan kesempatan itu untuk menggerakkan pedangnya menusuk dada. Thian-te Mo-ong mengelak ke kiri, akan tetapi agak kurang cepat sehingga Lui-kong-kiam sempat menusuk pundaknya.

“Cappp....!!” Siang Lan cepat mencabut pedangnya yang menembus pundak dari depan ke belakang. Tubuh Thian-te Mo-ong terpelanting dan dia rebah telentang, rantingnya terlepas dari tangan kanan yang terasa lumpuh karena pundaknya terluka parah.

Bagaikan seekor burung cepatnya, tubuh Siang Lan sudah turun di depan tubuh lawan dan pedangnya sudah menodong leher lawan. Ujung pedang Lui-kong-kiam yang runcing tajam itu menempel pada kulit leher bagian tenggorokan.

“Hwe-thian Mo-li, aku sudah kalah. Bunuhlah aku untuk menebus kesalahanku!” terdengar Thian-te Mo-ong berkata.

Siang Lan meragu, karena ia merasa heran. Thian-te Mo-ong yang biasanya bersikap sombong dan tekebur, akan tetapi sekarang sikapnya berubah, tidak sombong lagi, juga tidak ketakutan, melainkan dengan tenang dan gagahnya minta dibunuh untuk menebus kesalahannya! Timbul keinginan tahunya dan ia berseru.

“Sebelum kubunuh engkau, ingin aku melihat macam apa rupanya jahanam keji seperti engkau ini!” Pedangnya digerakkan ke atas dan topeng kayu itu terbuka dan terlempar. Pedang itu sudah diangkat, siap untuk memenggal leher.

Tiba-tiba Siang Lan melepaskan pedangnya yang jatuh ke atas tanah, sepasang matanya terbelalak lebar, mukanya pucat sekali. Ia kini menatap muka yang tidak lagi tertutup topeng itu, muka yang dagu bawahnya robek oleh ujung pedangnya ketika ia membuka topeng dan yang pundaknya bercucuran darah, muka yang memandang kepadanya dengan sedih dan pasrah, muka yang pucat karena kehilangan banyak darah.

43. Apa Artinya Semua Ini...?

“Paman Bu-beng-cu...!” Ia menjerit sambil berlutut dekat tubuh Thian-te Mo-ong yang kini telah kehilangan topengnya dan berubah menjadi Bu-beng-cu itu. “Paman... ahhh... apa artinya ini...? Mengapa begini...?”

Akan tetapi Bu-beng-cu terkulai lemas tak sadarkan diri, bukan hanya karena lukanya melainkan terutama sekali karena kesedihan dan terguncangnya hatinya.

“Paman....!!” Siang Lan lalu mengangkat tubuh pria itu, mengerahkan tenaga dan memondongnya, lalu membawanya lari memasuki rumahnya.

Para anggauta Ban-hwa-pang terkejut sekali melihat bahwa laki-laki bertopeng yang menakutkan itu ternyata adalah Bu-beng-cu yang telah mereka kenal sebagai guru ketua mereka. Mereka ikut kebingungan karena sama sekali tidak tahu mengapa guru ketua mereka itu menyamar sebagai orang bertopeng dan menjadi musuh besar ketua mereka.

Melihat Siang Lan membuang pedangnya dan juga melepaskan ikatan sarung pedang, Bwe Kiok Hwa lalu mengambil pedang Lui-kong-kiam dan sarung pedangnya, memasukan pedang itu ke sarungnya lalu membawanya ke dalam rumah induk.

Hanya Bwe Kiok Hwa yang berani memasuki rumah itu akan tetapi ia pun hanya menunggu di ruangan luar, tidak berani memasuki ruangan dalam di mana Siang Lan membawa Bu-beng-cu, bahkan gadis itu merebahkan Bu-beng-cu di atas pembaringannya dalam kamar.

Siang Lan benar-benar terpukul. Hatinya diliputi keresahan dan kebingungan akan kenyataan yang sama sekali tidak pernah disangkanya ini. Ia memang membenci setengah mati kepada Thian-te Mo-ong yang telah memperkosanya dan menantangnya bertanding setiap tahun.

Akan tetapi bagaimana mungkin ia membenci Bu-beng-cu, pria yang dicintanya, pria yang dengan tekun melatih silat kepadanya selama ini dan berulang-ulang menyelamatkannya dari ancaman maut, yang selalu membela dan melindunginya?

Akan tetapi mengapa Bu-beng-cu menjadi Thian-te Mo-ong? Ia tidak percaya kalau laki-laki sebijaksana Bu-beng-cu melakukan perkosaan atas dirinya itu?

Melihat luka pada pundak kanan yang cukup parah dan terus mengeluarkan darah, juga bawah dagunya berlepotan darah, Siang Lan menjadi panik dan cepat ia mengambil obat luka. Setelah menotok jalan darah di dekat pundak untuk menghentikan terbuangnya darah, ia lalu mengoleskan obat luka berupa bubukan itu kemudian ia membalut luka di pundak Bu-beng-cu.

Kemudian ia mengenakan lagi baju pada tubuh bagian atas laki-laki itu menggunakan sehelai jubahnya berlengan panjang karena baju Bu-beng-cu tadi robek dan berlepotan darah. Ia melakukan semua ini dengan air mata terkadang menetes dari kedua matanya karena merasa terharu dan kasihan. Akan tetapi ia tidak khawatir karena setelah diperiksanya, maka luka tusukan pedangnya yang menembus pundak itu tidak merusak otot besar dan tidak mematahkan tulang.

Setelah mengobati luka dan mengganti pakaian atas Bu-beng-cu dan melihat pria itu masih pingsan, sepasang matanya terpejam dan mulutnya terkatup, pernapasannya agak lemas. Siang Lan lalu duduk bersila di atas pembaringan, menempelkan kedua telapak tangannya di dada Bu-beng-cu lalu mengerahkan tenaga sakti untuk membantu pria itu memulihkan tenaganya.

Akhirnya setelah beberapa lamanya pernapasan Bu-beng-cu mulai normal kembali, hanya mukanya masih agak pucat dan dia masih belum siuman. Siang Lan lalu mengambil saputangan yang bersih, mencelupkannya ke dalam air minum dan memberi minum Bu-beng-cu melalui perahan air di saputangannya.

Akhirnya Bu-beng-cu membuka kedua matanya dan begitu dia siuman dan melihat dirinya di atas pembaringan dan Siang Lan duduk di dekatnya, dia segera bangkit duduk. Akan tetapi Siang Lan memegang pundaknya dan dengan lembut mendorongnya agar rebah kembali.

“Paman, jangan bangkit dulu. Engkau masih lemah dan perlu beristirahat dulu. Engkau kehilangan banyak darah... ah, Paman, mengapa semua ini harus terjadi...?”

Siang Lan tak dapat menahan tangisnya. Ia tidak tahu harus berkata apa, bahkan tidak tahu harus berpikir bagaimana. Semua serba membingungkan. Bu-beng-cu memejamkan kedua matanya dan ketika membukanya kembali, kedua matanya itu basah.

“Siang Lan... kenapa.... kenapa engkau tidak... membunuhku...?”

“Paman....!”

Bu-beng-cu menjadi semakin sedih melihat gadis itu kini menangis tersedu-sedu. “Jangan menangis, Siang Lan. Engkau membikin hatiku semakin pedih dan hancur...”

Siang Lan menguatkan hatinya dan memandang wajah pria itu melalui genangan air matanya. “Paman Bu-beng-cu, apa artinya semua ini? Benarkah Paman ini Thian-te Mo-ong yang telah... ah, aku tidak percaya! Dan mengapa Paman menyamar sebagai Thian-te Mo-ong? Berilah penjelasan, Paman, aku bingung sekali dan hal ini bisa membuat aku menjadi gila!

"Kalau paman ini Thian-te Mo-ong, mengapa Paman selalu membela dan melindungiku, bahkan menurunkan ilmu paman kepadaku agar aku dapat mengalahkan dan membunuh Thian-te Mo-ong? Akan tetapi kalau paman ini benar-benar Bu-beng-cu seperti yang kukenal, bagaimana mungkin menjadi Thian-te Mo-ong yang demikian jahat?”

Bu-beng-cu menghela napas panjang. “Ahh... aku telah melakukan dosa besar kepadamu, dosa yang akan menggangguku seumur hidup dan yang hanya dapat ditebus kalau aku tewas di tanganmu. Akan tetapi ternyata Thian (Tuhan) agaknya tidak menghendaki aku mati di tanganmu. Sekarang dengarkanlah pengakuanku yang akan menjelaskan semua pertanyaanmu tadi.

“Sesungguhnya, Thian-te Mo-ong dan Bu-beng-cu bukanlah namaku. Namaku adalah Sie Bun Liong yang sejak muda merantau di barat dan selatan dan dijuluki orang sebagai Thai-lek-sian (Dewa bertenaga besar). Aku adalah kakak tiri dari Siangkoan Leng, Ketua Ban-hwa-pang yang menyeleweng dan yang telah kaubunuh itu.”

“Kakak tiri Siangkoan Leng yang jahat itu...?” Siang Lan bertanya heran.

“Benar, telah bertahun-tahun aku tidak pernah berhubungan dengan adik tiriku itu sehingga tidak tahu bahwa dia telah mengambil jalan sesat. Ketika aku datang berkunjung, engkau menjadi tawanannya dan dia hendak memaksa engkau menjadi isterinya. Agaknya dia takut melihat kedatanganku karena kalau aku tahu tentang dirimu yang ditawan, pasti dia akan kularang dan kumarahi.

"Maka, ketika dia menjamu aku dalam pesta, agaknya dia mencampurkan obat perangsang yang amat kuat dalam minumanku. Aku seperti terbius dan dalam keadaan mabok kehilangan kesadarannya dia merebahkan aku di dekatmu, maka... terjadilah hal terkutuk itu di luar kesadaran dan kemampuanku untuk mencegahnya.

"Setelah sadar aku merasa menyesal sekali dan pergi seperti telah menjadi gila. Kemudian aku baru tahu bahwa engkau mengamuk, membunuh Siangkoan Leng dan anak buahnya. Memang hal itu patut kusesalkan, akan tetapi semua itu terjadi karena kesalahannya sendiri telah mengambil jalan sesat.”

Siang Lan memejamkan matanya, mengenang kembali semua peristiwa itu dan ia masih kadang-kadang terisak.

“Aku lalu membayangimu dan melihat betapa kesedihanmu membuat engkau putus asa, aku mengambil keputusan untuk berbuat sesuatu agar engkau tidak bunuh diri, agar engkau dapat memuaskan hatimu untuk balas dendam dan agar aku dapat menebus dosaku. Maka aku lalu memakai topeng menemuimu, mengaku bahwa aku sebagai Thian-te Mo-ong yang melakukan perbuatan terkutuk atas dirimu.

“Sengaja engkau kukalahkan dan kutantang untuk bertanding setiap tahun agar engkau menjadi penasaran dan marah, memberimu semangat untuk memperdalam ilmu silatmu agar dapat mengalahkan Thian-te Mo-ong. Kemudian aku muncul sebagai Bu-beng-cu untuk memberikan semua ilmuku kepadamu.

“Akhirnya terjadi seperti yang kuharapkan, engkau dapat mengalahkan Thian-te Mo-ong, akan tetapi sayang, engkau tidak jadi membunuhnya, tidak membunuhku sehingga dendammu belum impas dan aku pun belum dapat menebus dosaku.

"Karena itu, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, inilah aku, Sie Bu Liong yang dulu telah melakukan perbuatan keji dan terkutuk kepadamu. Sekarang bunuhlah aku untuk membalas dendam sakit hatimu dan untuk memberi kesempatan kepadaku menebus dosaku padamu....”

Tangis Siang Lan kini mengguguk kembali. Ia menutupi mukanya dengan kedua tangannya, tubuhnya bergoyang-goyang karena sedu-sedannya.

“Paman... bagaimana... bagaimana aku... dapat membunuh orang... yang mencintaku demikian mendalam.... sepertimu...?”

“Apa maksudmu? Aku... aku tidak....”

“Tidak perlu menyangkal lagi, Paman. Aku sudah melihat lukisan wanita yang selalu kau bawa-bawa itu?” Kini suara Siang Lan lancar walaupun masih parau karena tangisnya. “Engkau membawa lukisan diriku kemana-mana...”

“Ah... engkau melihatnya...”

“Paman, bagaimana aku dapat membunuhmu? Kalau sejak dulu aku tahu bahwa engkau yang melakukan hal itu, kau lakukan di luar kesadaranmu, aku... aku tidak mungkin akan menaruh dendam....”

“Akan tetapi aku telah merusak kebahagiaan dan harapan hidupmu, Siang Lan.”

“Tidak, Paman. Engkau bukan hanya dapat menebusnya dengan membiarkan aku membunuhmu, akan tetapi engkau dapat menebusnya dengan.... dengan cintamu. Paman, belum yakinkah hati paman bahwa, aku juga... mencintamu? Kalau kita saling mencinta, peristiwa yang lalu itu tidak ada artinya lagi, bukan? Kalau kita menjadi suami isteri.... maka tidak ada masalah lagi. Apalagi aku tidak dapat menyalahkanmu karena apa yang kau lakukan itu terjadi di luar kesadaranmu.”

“Siang Lan.... kau... kau benarkah engkau bersedia menjadi jodohku?”

“....Sudah lama aku mengharapkannya, Paman....”

“Paman? Bagaimana mungkin seorang paman berjodoh dengan keponakannya? Jangan menyebutku paman, Lan-moi (Dinda Lan)!”

“Kanda Sie Bun Liong.... Liong-ko...!”

Bu-beng-cu atau Sie Bun Liong mengangkat kedua lengannya merangkul. Siang Lan membalas dan kedua orang itu berangkulan. Mata mereka basah karena mereka menangis karena haru dan bahagia.

Sampai lama Siang Lan merebahkan kepalanya di dada Sie Bun Liong. Mereka tidak bicara karena kata-kata pada saat yang asyik masyuk seperti itu memang tidak ada gunanya lagi. Detak jantung masing-masing seolah telah bicara dalam seribu bahasa.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar. Mendengar ini, keduanya seperti baru tersentak sadar dari pesona yang membahagiakan dan membuat mereka lupa segala itu. Siang Lan bangkit duduk dan ia cepat mencegah Sie Bun Liong yang hendak bangkit pula.

“Kau rebahlah saja di sini, Liong-ko. Biar aku yang melihat apa yang terjadi di luar.” Setelah berkata demikian, dengan gerakan ringan dan cepat, seringan hatinya yang penuh bahagia, Siang Lan berkelebat keluar dari dalam kamarnya.

Setibanya di luar, Bwe Kiok Hwa menyambutnya sambil menyerahkan Lui-kong-kiam dengan sarung pedangnya. “Pang-cu, di luar ada seorang kakek mengamuk dan menantang Pang-cu!”

Siang Lan menerima pedangnya dan segera berkelebat keluar dari rumahnya. Di halaman rumah itu ia melihat seorang kakek sedang dikeroyok puluhan orang anak buahnya. Sai-kong itu membawa sebatang tongkat ular, akan tetapi ia hanya mengebut-ngebutkan tangan kirinya ke sekelilingnya dan para anggauta Ban-hwa-pang yang mengepung dan mengeroyoknya itu roboh berpelantingan seperti sekumpulan daun kering dihempas angin badai.

“Berhenti berkelahi!” Siang Lan berseru. “Kalian semua mundurlah!” Ia memerintahkan anak buahnya.

Para wanita Ban-hwa-pang itu pun menjauhkan diri, saling tolong dengan mereka yang tadi terbanting roboh. Melihat tidak ada di antara mereka yang tewas atau terluka parah, dapat diketahui bahwa kakek itu bukan seorang yang ganas dan kejam. Siang Lan cepat melompat dan berdiri berhadapan dengan kakek itu.

Kakek itu tentu sudah sekitar tujuhpuluh tahun usianya. Rambut, jenggot dan kumisnya sudah putih semua. Rambutnya digelung ke atas dan diikat kain. Baju di dadanya bergambar simbol Im-yang. Pakaiannya gaun panjang berwarna putih dengan sabuk merah, berlengan panjang.

Di bagian luarnya dia memakai jubah kebiruan dengan renda kuning emas di tepinya. Pakaian yang cukup mewah bagi seorang pertapa atau pendeta. Matanya mencorong tajam dan tangan kanannya memegang sebuah tongkat ular kering. Kakek itu pun memandang dengan penuh perhatian.

Gadis yang muncul di depannya sungguh cantik. Mukanya kemerahan dan sepasang matanya masih agak sembab oleh tangis. Hidungnya kecil mancung dan bibirnya merah sekali, juga sebagai akibat tangisnya tadi. Kedua pipinya kemerahan. Rambut yang hitam panjang itu digelung ke atas dan diikat dengan pita sutera merah.

Baju dan celananya dari sutera putih dan jubahnya berwarna biru dengan ikat pinggang kuning. Gadis cantik jelita itu memegang sebuah pedang bersarung di tangan kirinya dan memandang kepadanya dengan alis berkerut.

“Hemm, kulihat engkau orang tua berpakaian sebagai seorang pendeta. Mengapa seorang pendeta yang sepatutnya hidup bersih kini datang membuat kekacauan di tempat kami perkumpulan wanita Ban-hwa-pang? Siapakah engkau?” tanya Siang Lan, tidak begitu galak karena ia melihat bahwa tidak ada anak buahnya yang terluka parah atau tewas.

Kakek itu tersenyum lebar. “Heh-heh, pinto (aku) adalah Im Yang Hoat-su. Pinto datang hendak mencari Hwe-thian Mo-li, akan tetapi anak-anak perempuan tadi menghalangi pinto!”

“Akulah Hwe-thian Mo-li! Im Yang Hoat-su, ada keperluan apakah engkau mencariku?”

“Bagus! Kiranya Hwe-thian Mo-li adalah seorang gadis cantik yang masih muda. Sungguh mengherankan bagaimana sahabatku Cui-beng Kui-ong dapat terbunuh oleh seorang anak perempuan sepertimu?”

“Hemm, kiranya engkau sahabat Si Jahat Cui-beng Kui-ong? Jadi kedatanganmu ini hendak membalaskan kematiannya?” Siang Lan bertanya dengan suara menantang.

“Hemm, kiranya tidak pantas kalau pinto seorang tua menantang engkau yang sepatutnya menjadi cucuku. Akan tetapi karena pinto adalah sahabat baik Cui-beng Kui-ong dan karena engkau telah membunuhnya, pinto tentu akan dikecam dunia kang-ouw kalau pinto tidak membela kematiannya oleh seorang gadis muda yang sudah dapat membunuh sahabatku itu.”

“Im Yang Hoat-su, sahabat dari Cui-beng Kui-ong yang jahat sudah tentu bukan manusia baik-baik. Sambut pedangku!”

Siang Lan mencabut Lui-kong-kiam dengan tangan kanannya lalu ia maju menyerang kakek itu dengan sarung pedang di tangan kiri dan pedang Lui-kong-kiam di tangan kanan. Serangannya hebat sekali karena sarung pedang itu pun bukan benda lemah, apalagi digerakkan dengan tangan kiri yang mengandung tenaga sakti.

Ketika sarung pedang itu menyambar ke arah dadanya, kakek itu mundur dan miringkan tubuhnya sambil mengangkat tongkat ular kering lurus di belakang lengan kanannya ke atas.

“Trakk!” Tongkat ular kering itu menangkis sarung pedang. Akan tetapi Siang Lan dengan cepat menusukkan Lui-kong-kiam ke lambung kanan lawan.

“Wuuutt....tranggg!” Kembali tongkat ular menangkis pedang dan tangkisan itu membuat tangan Siang Lan tergetar dan dari pertemuan tongkat dan pedang tampak bunga api berpijar.

Mereka segera bertanding, saling serang dengan dahsyat. Kakek itu ternyata lihai bukan main. Sebetulnya Siang Lan tidak kalah lihai, akan tetapi karena gadis itu baru saja menghamburkan banyak tenaga sakti untuk mengobati Sie Bun Liong, maka ia menjadi jauh lebih lemah daripada biasanya. Ia segera terdesak ketika Im Yang Hoat-su memainkan tongkatnya secara dahsyat sekali.

Pada saat itu terdengar bentakan dari depan rumah. Bentakan yang menggelegar dan menggetarkan tempat itu. “Im Yang Hoat-su! Apa yang kau lakukan di sini?”

Kakek itu terkejut dan cepat melompat kebelakang. Siang Lan juga kaget dan khawatir melihat Sie Bun Liong yang ia tahu masih lemah itu telah keluar dari rumah. Im Yang Hoat-su kini memandang kepada Sie Bun Liong dan dia terbelalak.

“Thai-lek-sian Sie Bun Liong! Engkau di sini? Aku... aku menantang bertanding Hwe-thian Mo-li karena ia telah membunuh sahabatku Cui-beng Kui-ong!”

“Kalau engkau membela Cui-beng Kui-ong, berarti engkau membela penjahat besar!”

“Dia bukan penjahat. Dia hanya berusaha untuk membebaskan para sahabatnya yang ditawan di kota raja.”

“Ya, dan dia menculik Sribaginda Kaisar, bahkan hendak membunuh Beliau!”

“Ahh...!” Im Yang Hoat-su terkejut sekali mendengar ini.

“Pula, bukan Hwe-thian Mo-li yang membunuhnya, melainkan aku! Akulah yang membunuh Cui-beng Kui-ong untuk melindungi Sribaginda Kaisar! Nah, engkau hendak menuntut balas? Tuntutlah aku!”

Hati Im Yang Hoat-su menjadi gentar. Dia sudah mengenal Thai-lek-sian dan tahu benar akan kelihaian pendekar ini. Tadi, melawan Hwe-thian Mo-li saja dia sudah menemukan lawan seimbang. Kalau kini Thai-lek-sian maju, berarti dia mencari penyakit atau bahkan mencari kematiannya.

Apalagi dia tadi mendengar bahwa Cui-beng Kui-ong menculik dan hendak membunuh Kaisar, ini merupakan dosa tak berampun dan yang membunuhnya adalah Thai-lek-sian.

“Aih, kalau begitu persoalannya, sudahlah, pinto tidak akan menimbulkan permusuhan Akan tetapi, Thai-lek-sian, mengapa engkau mati-matian membela Hwe-thian Mo-li? Apamukah gadis ini?”

Sie Bun Liong tersenyum. “Engkau ingin mengetahui, Im Yang Hoat-su? Perkenalkan, ini adalah Nyo Siang Lan, calon isteriku!”

Sambil berkata demikian, dengan tangan kirinya Sie Bun Liong merangkul pundak Siang Lan yang berdiri di sebelah kirinya. Siang Lan juga tersenyum penuh kebahagiaan.

“Ah, begitukah? Kalau begitu, kiong-hi (selamat) untuk kalian berdua! Pinto mohon pamit!” Tosu itu lalu berlari cepat menuruni puncak Bukit Selaksa Bunga.

Dengan hati dipenuhi kebahagiaan, Nyo Siang Lan dan sie Bun Liong bergandeng tangan memasuki rumah induk di mana Sie Bun Liong tinggal selama beberapa hari dalam perawatan Siang Lan sampai dia sembuh benar dan tenaganya pulih kembali.

Beberapa bulan kemudian, sepasang kekasih ini melangsungkan pernikahannya di Lembah Selaksa Bunga, mengundang semua kenalan para pendekar. Bahkan Panglima Chang sendiri juga menghadiri perayaan pernikahan itu. Selama perayaan, semua jebakan yang menghalangi orang naik ke puncak bukit itu disingkirkan.

Ban-hwa-kok yang indah penuh bunga itu dikagumi semua tamu dan nama Ban-hwa-pang menjadi semakin terkenal. Apalagi setelah menjadi suami isteri, Sie Bun Liong dan Nyo Siang Lan memperbesar Ban-hwa-pang yang menjadi perkumpulan besar.

Bukan hanya mempunyai anak buah kaum wanita, akan tetapi juga kaum pria. Ban-hwa-pang menjadi sebuah perkumpulan besar dan terkenal karena para anggautanya mendapat pendidikan silat yang khas dari suami isteri itu.

Sekianlah, pengarang mengakhiri. kisah ini dengan harapan semoga selain merupakan bacaan hiburan, juga mengandung manfaat bagi para pembaca sekalian.

TAMAT

Pilih Jilid
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.