Dewa Linglung - Nanjar baru saja srlesai melatih tenaga dalam menyatukan hawa Inti Es, kemudian menebarkan ke sekelilingnya, menariknya kembali dan mengumpulkan di kedua telapak tangan yang menyilang di depan dada. Lalu merobah hawa Inti Es menjadi hawa Inti Api, kemudian menebarkan ke sekelilingnya. Dan menyedot lagi hawa Inti Api itu untuk disatukan pada sepasang lengannya.
Kalau tadi sekujur tubuh pemuda itu mengepulkan uap putih tipis, kini sebaliknya tubuh pemuda itu bercucuran keringat karena perobahan hawa dingin menjadi hawa panas. Namun tak lama hawa panas di sekitar tempat itupun lenyap ketika dia menyedotnya kembali ke kedua lengannya. Dan sepasang lengan yang tadi memerah bagai bara api itu kini kembali memutih kecoklatan seperti sediakala.
Di saat Nanjar baru saja membuka mata setelah menghembuskan napas melalui mulutnya sebagai akhir dari latihannya, tiba-tiba saja tujuh sosok bayangan hijau telah berkelebatan mengurung pemuda ini. Nanjar tersentak kaget ketika melihat tujuh orang gadis berbaju serba hijau telah mengelilingi batu besar dimana dia duduk.
Nanjar putar kepalanya menatap ketujuh gadis yang mengelilinginya. Ternyata mereka tujuh dara yang berparas cantik-cantik, dengan dandanan yang sama. Rata-rata mengenakan sepasang anting-anting besar dan rambut terikat macam bun-tut kuda.
“Heh? Siapa kalian?” tanya Nanjar terheran.
Seorang gadis maju dua langkah ke depan Nanjar, seraya menyahut. “Kami orang-orang dari Pulau Naga Jelita! Sudah sejak pagi shubuh kami menantikan anda selesai berlatih...”
Nanjar naikkan alisnya menjungkat, sepasang matanya membesar menatap heran dara baju hijau di hadapannya. “Pulau Naga Jelita? Pulau apa itu...? Dan ada maksud apakah kalian terhadap diriku?” tanya Nanjar.
“Kami hanya menjalankan tugas dari pimpinan kami untuk mencari anda. Lebih dari sebulan kami melakukan pencarian melacak jejak anda, akhirnya kami berhasil menemukan anda. Bukankah anda yang bergelar si Dewa Linglung Pendekar Naga Merah?” Ujar gadis itu.
Lagi-lagi Nanjar melengak. Kali ini mengernyitkan keningnya. “Aneh! dari mana kalian bisa mengetahui?”
“Tidak aneh, sobat gagah! Kami bisa mengenali dari guratan bergambar Naga di dadamu...” menyahut si dara dengan tersenyum.
“Wah, wah, wah...! Kalian salah melihat orang! Untuk merancah kulit membuat gambar seekor Naga bisa saja dilakukan setiap orang. Bahkan bukan gambar Naga saja, gambar seekor belutpun bisa dibuat orang!” sahut Nanjar sambil menjumput pedangnya yang diletakkan di atas batu di sampingnya, kemudian bangkit berdiri dan melompat turun dari atas batu besar itu.
Kata-kata Nanjar membuat gadis-gadis itu jadi tertegun saling tatap. Tapi gadis yang tadi bicara segera berkata. “Alasanmu benar juga sobat gagah! Tapi bolehkan kami melihat pedangmu?”
Mendengar demikian Nanjar jadi garuk-garuk tengkuknya. “Wah, wah! Dari gambar Naga kini merembet ke pedang...? Sudahlah! Baik aku mengaku kalah debat denganmu, nona! Tapi tak usah menyebutku dengan segala gelar, sebut saja namaku,... Nanjar!” kata si Dewa Linglung dengan muka bersemu merah.
Ketujuh dara itu sama tersenyum, tapi Nanjar segera menyambung dengan pertanyaan. “Sekarang katakan apa maksud kalian mencariku, dan tugas apa yang kalian sandang dari pimpinan ka-lian. Lalu siapa pula pimpinan kalian itu?”
“Kau baca sajalah surat dari pimpinan kami, dan setelah itu segera ikut kami...!” kata dara itu sambil memberikan segulung kain yang di ambil dari sela bajunya.
Nanjar tak banyak bicara lagi, segera membuka gulungan kain yang diterimanya. Dalam surat yang ditulis rapi di atas kain itu tertera tulisan yang berbunyi;
DENGAN SEGALA KERENDAHAN HATI. AKU MENGUNDANG KEDATANGAN ANDA KEPULAU NAGA JELITA! GELAR DEWA LINGLUNG PENDEKAR PEDANG NAGA MERAH, MEMBUAT AKU PENASARAN UNTUK MELIHAT SENDIRI ORANGNYA! LEBIH CEPAT DATANG LEBIH BAIK! RATU PULAU NAGA JELITA.
Sehabis membaca, Nanjar jadi tertawa geli sendiri. Lalu gulung kain surat itu dan berikan lagi pada gadis itu.
“Surat aneh...! Ratu kalian juga aneh ! Ada-ada saja!” kata Nanjar sambil geleng-gelengkan kepala.
Gadis itu cepat simpan kain surat itu dibalik baju, lalu berkata. “Sekarang ikut kami!”
“Eh, apakah ini termasuk paksaan?” tanya Nanjar.
“Kami bukan memaksa, tapi kami hanya menjalankan perintah! Kami harap sobat Nanjar tak menolak, karena kami terlalu lama berada di wilayah ini, dan harus secepatnya kembali...!” sahut si gadis.
“Hm, bagaimana kalau kalian tunjukkan saja dimana adanya pulau Naga Jelita itu. Aku bisa datang sendiri, dan kalian bisa segera kembali untuk memberi khabar pada Ratu kalian!” tukas Nanjar.
Sesaat ketujuh gadis itu saling pandang dengan kawannya. Kemudian mereka berbisik-bisik merundingkan usul itu dengan agak menjauh sedikit dari si Dewa Linglung. Tak lama dua orang melompat mendekati Nanjar. Salah seorang kawan gadis yang bicara tadi berkata.
“Usul anda bisa diterima! Tapi kami tak langsung kembali ke pulau Naga Jelita. Kami menunggu anda di pesisir laut utara, jelasnya ditanjung KELELAWAR Disana kami telah menyediakan sebuah perahu untuk membawa anda ke pulau Naga Jelita!”
“Dan kami beri waktu sepekan. Anda harus sudah berada disana!” sambung gadis tadi.
Sejenak Nanjar tercenung, tapi segera manggut-manggut. “Baiklah! Mudah-mudahan aku dapat menemukan tempat itu... Eh, siapakah nama kalian berdua?”
“Aku Ande Pulut dan ini adikku Giwang...!” sahut dara yang pertama kali buka suara tadi. “Apakah anda perlu mengetahui nama yang lainnya?” sambung Ande Pulut.
“Cukuplah!” sahut Nanjar sambil tersenyum. Diantara semua gadis, Ande Pulutlah yang tampak paling cantik. Gadis ini punya dua buah lesung pipit di kedua belah pipinya. Tapi adiknya yang bernama Giwang juga tak kalah cantik.
Setelah menjura, Ande Pulut lalu beri isyarat kawan-kawannya untuk segera tinggalkan lembah batu itu. Nanjar hanya terpaku memandang berkelebatnya sosok-sosok tubuh dara baju hijau itu dengan gesit melompat diantara batu-batu, dan lenyap dimulut lembah.
Lembah berbatu-batu dimana Nanjar berlatih tenaga dalam itu tak seberapa besar. Sudah dua hari dua malam dia berada di dalam lembah itu yang digunakan selain untuk beristirahat, juga melatih ilmu-ilmu pukulan dan tenaga dalamnya. Entah bagaimana sampai ketujuh orang gadis itu bisa menjumpai Nanjar berada di tempat itu.
Beberapa lama Nanjar terpaku disitu menatap ke mulut lembah. Selain terkejut karena didatangi ketujuh dara-dara pulau Naga Jelita, dia juga merasa aneh tak hujan tak angin tahu-tahu ada orang yang mengundangnya datang ke sebuah pulau asing yang baru didengar namanya. Selain merasa heran, tapi juga timbul rasa penasaran untuk mengetahui orang macam apakah yang mengaku Ratu pulau Naga Jelita itu?
KETIKA KETUJUH GADIS BAJU HIJAU ITU berjalan cepat merambas hutan, tiga sosok bayangan telah membuntuti. Siapa adanya ketiga orang itu, ternyata tiga orang laki-laki bertampang kasar. Seorang bermuka lancip dengan kumis bisa dihitung, rambut kucai kecoklatan. Matanya setengah mengantuk, memegang buli-buli berisi arak.
Orang kedua bermuka segi empat, kulit mukanya penuh jerawat besar-besar, mata sipit agak bintit, hidungnya besar gepeng. Orang ketiga mata juling, gigi tonggos, dipipi kiri ada bejolan sebesar telur angsa.
Sesaat mereka berhenti dibalik semak, dengan mata terus mengawasi ke arah berkelebatnya tu-juh gadis baju hijau itu, yang lenyap dibalik hu-tan bambu. Merekalah yang menggelari diri si TIGA SILUMAN KALI KENDIL. Gelarnya sudah tercatat didunia persilatan sebagai tiga tokoh golongan hitam.
“Ssst...! untung besar kita kali ini. Kau lihat, kalau rejeki sudah di depan mata apakah akan kita tolak?” kata si laki-laki muka segi empat berkulit kasar yang didadanya terdapat cacahan ber-gambar Naga ini.
“Apa rencanamu, kakang Bagor?” tanya kedua laki-laki kawannya hampir berbareng.
“Kita bekerja sambil menyelam minum air! Ta-hukah kalian maksudku? Jelasnya begini... Kita tangkap dua gadis yang paling cantik, lalu kita serahkan pada Raden SUTRIAJI! Bukankah kita akan mendapatkan uang? Kemudian... hehehe...” Laki-laki bernama BAGOR ini berbisik-bisik pada kedua kawannya yang tampak manggut-manggut sambil tertawa menyeringai.
“Cepat kita kejar mereka sebelum pergi jauh!” Keduanya mengangguk.
Tapi salah seorang berkata. “Kelihatannya mereka berilmu tinggi, kakang! Apakah kita mampu menghadapi mereka?”
“Cuih! Apakah kau meragukan ilmu kepandaian kita? Percuma saja kita bergelar Tiga Siluman Kali Kendil kalau tak mampu menangkap tujuh orang perempuan! Tak perduli mereka orang-orang dari pulau Naga Jelita atau Naga Setan!” mendelik mata Bagor melihat keragu-raguan kawannya.
“Baik, kakang Bagor! Aku sengaja bergurau. Tapi kita memang tak boleh bertindak gegabah dan terlalu memandang rendah, bukankah begitu Canggik?” Yang ditoleh cuma menyengirkan mulutnya.
“Sudah! cepatlah! Aku tak ingin rencana kita gagal!” bentak Bagor dengan suara mendesis. Tanpa mengangguk lagi kedua laki-laki itu segera berkelebat dari situ. Sebentar saja lenyap ditelan semak rimbun. Betet tersenyum menyeringai. Tapi segera enjot tubuhnya untuk memburu mangsa-mangsanya yang cantik-cantik itu...
Gerakan ketujuh gadis berbaju hijau itu me-mang sangat cekatan. Mereka berkelebat cepat menuju ke arah barat, merambas hutan. Gadis paling depan adalah gadis yang bernama Ande Pulut. Tampaknya dia yang menjadi kepala dari keenam gadis lainnya.
Selama mencari jejak si Dewa Linglung, tak sedikit mereka mengalami rintangan. Tapi berkat kerja sama yang kuat diantara mereka, sampai saat ini mereka masih tetap bertujuh. Nyatalah kalau ketujuh gadis itu telah tergembleng kuat oleh latihan yang matang. Dan pantas kalau mereka diutus untuk mencari jejak si Dewa Linglung oleh sang Ratu mereka.
Tapi sepandai-pandai tupai meloncat, akhirnya jatuh juga ke tanah. Kalau beberapa waktu yang lalu mereka bisa mengelakkan rintangan, tampaknya kali ini belum tentu. Karena yang tengah membuntuti adalah tiga orang tokoh sangat licik yang terkenal dengan gelar si Tiga Siluman Kali Kendil.
Selain ketiga tokoh ini berilmu tinggi juga sangat licik dan sudah banyak pengalaman didunia persilatan. Bahkan secara diam-diam mereka telah diperalat oleh seseorang yang bernama Raden SUTRIAJI. Entah siapa adanya Raden Sutriaji itu. Yang jelas saat ini kita tengah mengikuti langkah-langkah ketiga manusia tersebut.
Sementara itu Nanjar telah berada dimulut lembah, dan masih berdiri termangu-mangu. Benaknya masih tertuju pada ketujuh dara cantik baju hijau yang membawa pesan melalui surat dari pemimpin mereka.
“Ratu Pulau Naga Jelita...” bibir Nanjar bergerak-gerak mengeluarkan suara menggumam.
“Hm, jelas kata-kata RATU itu mengungkapkan arti seorang pemimpin atau Raja perempuan...” desis pemuda ini. “Aneh benar isi surat itu. Apa maksudnya Ratu Pulau Naga Jelita itu mau bertemu denganku?” berkata Nanjar dalam hati. Tapi mendadak dia tersenyum sendiri. Hatinya berkata.
“Hehe... perduli dengan Ratu atau Raja yang mengundangku. Kalau tak ada asap tentu tak ada api. Baik dan jahatnya tujuan Ratu Pulau Naga Jelita aku tak mengetahui. Kalau dia penasaran ingin bertemu denganku, justru akupun penasa-ran ingin bertemu muka dengannya. Entah ma-cam hantu perempuan ataukah macam kuntila-nak dari kuburan, yang pasti aku akan datang menemuinya...”
Sesaat Nanjar menatap ke arah barat. Lalu mendongak melihat ke langit. Matahari baru sejengkal lebih, belum terlalu siang untuk melakukan perjalanan ke PAMINGGARAN. Nanjar memang telah merencanakan ke kota itu menyambangi salah seorang sahabatnya.
Dari sana dia bisa terus ke arah utara menuju ke pesi-sir pantai untuk mencari letak tanjung KELELAWAR dimana ketujuh gadis baju hijau bakal menantikan kedatangannya. Waktu masih cukup panjang. Perjalanan ke Paminggaran selain tujuan Nanjar mengunjungi sahabatnya, juga se-kalian mau menginap beberapa malam di kota itu.
Setelah memikir-mikir sejenak, Nanjar segera beranjak meninggalkan mulut lembah batu. Tapi baru beberapa tindak dia berhenti.
“Eh... bajuku...” Nanjar teringat kalau dia telah melemparkan baju gombrongnya yang lusuh di dekat batu besar dimana dia duduk berlatih, dan terlupa mengenakannya. “Haiih! LINGLUNGKU kambuh lagi...” gumamnya sambil garuk-garuk tengkuk yang tidak gatal. Malas rasanya untuk turun mengambil, Nanjar langsung berkelebat meninggalkan tempat itu.
TUJUH dara baju hijau berjalan cepat. Selewat gelincir Matahari mereka telah tiba di satu pedusunan. Ande Pulut mengangkat sebelah lengannya. “Kita beristirahat di dusun ini...!” katanya. Lalu memberi isyarat pada yang lainnya untuk menunggu disitu.
Seperti yang biasa dia lakukan, Ande Pulut akan memeriksa terlebih dulu tempat yang akan didikan tempat beristirahat. Tubuh dara ini berkelebat dari tempat berdirinya. Sebentar saja bayangan tubuhnya telah lenyap dibalik belukar.
Ternyata Ande Pulut mengambil jalan memutar untuk memeriksa dusun kecil yang akan disinggahi itu. Keenam gadis ini duduk beristirahat. Akan tetapi selalu waspada dengan tak menganggurkan mata untuk menga-wasi keadaan sekitarnya.
Seorang gadis berbisik pada kawan didekatnya. Dia adalah gadis yang berada dibagian paling belakang ketika melakukan perjalanan tadi.
”Ssst! Apakah kau tadi mendengar suara mencurigakan dibelakang kita?” tanyanya.
Yang ditanya menggeleng. “Aku tak mendengar suara apa-apa? Hm, kau selalu dibayangi perasaan jelek saja bibi gembul...”
“Aku merasa ada orang-orang yang membayangi kita...” kata gadis bernama Wenah ini. Dia merupakan gadis yang paling gemuk, hingga di juluki kawan-kawannya si BIBI GEMBUL, karena kalau soal makan dialah yang paling gembul.
“Curiga itu perlu, dan sangat diperlukan, sobat!” menukas dia dengan sikap seperti seorang guru menasihati muridnya.
“Ya! Bu guru...!” Eh, suara mencurigakan bagaimanakah yang kau dengar, bibi gembul?”
Tiba-tiba Wenah tempelkan jari telunjuknya dibibir. “Sssst... dengar, suara aneh itu terdengar lagi..” Tentu saja gadis ini jadi tercekat hatinya, dan pasang telinga untuk mendengarkan lebih jelas. Dan terdengarlah suara dari sela pantat si bibi gembul.
“Pssssssss... pret!... pret!”
Melotot seketika mata gadis ini dengan muka berubah merah. “Sialan ! Kau...kau... uuuh...!” teriaknya dengan serta merta melompat sambil menutup hidung, karena sekonyong-konyong tercium bau tak sedap.
Meledaklah seketika suara tertawa si gembrot terpingkal-pingkal hingga buah dadanya yang besar itu bergoyang-goyang.
Sambil memaki-maki panjang pendek gadis bernama Suri ini menghambur lari ke arah kawan-kawannya.
“Ada apa, Suri?” tanya salah seorang kawan.
“Hihihi...hihi... dia terkena serangan uap beracun!” teriak Wenah sambil tertawa tiada henti.
“Awas kau bibi gembul! Akan kubalas nanti!” teriak Suri dengan mulut monyong.
Yang lainnya cuma tersenyum setelah mengetahui apa yang terjadi. Pada saat itulah Ande Pulut kembali muncul. “Sudah, jangan banyak bergurau! Mari kita singgah dan beristirahat di dusun ini!” kata Ande Pulut.
“Bagaimana keadaannya, kak?” tanya Giwang.
“Aman! Dusun ini kosong. Kita bisa menginap malam ini ditempat ini...!” Tanpa menunggu waktu lagi mereka segera berlarian menuju kedusun kosong itu.
Ande Pulut memerintahkan kawan-kawannya berkumpul untuk membagi tugas. Akan tetapi melengak karena ditunggu sampai agak lama si gadis bernama Wenah tak kunjung muncul.
“Hm, kemana si bibi gembul?” tanya Ande Pulut.
Semua menggeleng. Terlebih Suri, dia sama sekali tak memperhatikan kemana gerangan gadis kawannya itu. Apalagi saat itu dia masih mendongkol hatinya karena, dipermainkan gadis itu.
“Cepat periksa tempat ini, dan cari dia!” perintah Ande Pulut.
Kelima gadis itu mengangguk, la-lu berkelebatan mencari kawan yang satu itu. Suri mencari ketempat dimana tadi gadis itu duduk bersama dia, akan tetapi tak dijumpai berada di-tempat itu.
“Heh? Kemana si gembrot itu?” sentak hati gadis” ini. Mendadak dia teringat pada kata-kata Wenah tadi. Hatinya syok, jangan-jangan apa yang dikhawatirkan gadis itu benar. Siapa menyangka kalau memang ada yang membayangi mereka.
Pencarian berjalan terus hingga hari menjadi gelap. Ketika mereka hampir putus asa karena tak menemukan jejak gadis itu, mendadak salah seorang gadis berteriak tertahan seperti suara orang terkejut.
Beberapa orang segera berlompatan memburu kesana, diantaranya terdapat juga Suri. Membelalak seketika mata mereka melihat gadis itu dalam keadaan terlentang disemak belukar. Tak terkirakan terkejutnya mereka karena menemukan si bibi gembul dalam keadaan tertotok.
Pucatlah seketika wajah Suri. Walaupun tadi hatinya mendongkol, tapi dia tidak marah. Hal seperti itu sudah biasa, dan bercanda di perjalanan memang membuat hati terhibur. Apalagi adanya Wenah diantara mereka membuat mereka sering tertawa.
Tak dinyana gurauan si bibi gembul benar-benar jadi kenyataan. Jelas mereka telah dibuntuti orang, bahkan telah menotok gadis itu. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh diiringi berkelebatnya sesosok tubuh muncul ditempat itu. Seorang laki-laki bertampang mengantuk telah berdiri diantara mereka.
“Siapa kau?” bentak empat gadis ini hampir se-rempak. “Haha..hehe... perkenalkan namaku Raden CANGGIK!”
Sesaat mereka saling pandang sesama kawannya, tapi Suri telah membentak. “Heh! Kau pasti yang telah menotok kawan kami!”
Mendengar tuduhan itu, Canggik yang memang salah satu dari Tiga Siluman Kali Kendil ini pura-pura melengak. “Walah.! Jangan sembarang menuduh orang, nona...! Aku tak tahu menahu apa-apa. Kedatanganku kedusun ini secara kebetulan saja...!”
“Kentut busuk! bunuh mampus manusia itu!” Suara bentakan keras menggeledak membuat semua yang berada disitu terlonjak kaget. Karena secara tiba-tiba saja si bibi gembul yang disangka pingsan dalam keadaan tertotok itu telah melompat dari semak belukar dimana dia terkapar menelentang.
Tentu saja membuat mereka terlongong. Terlebih-lebih laki-laki itu, karena memang dialah yang telah menotok gadis itu lalu menyeretnya kebalik semak belukar. Terkejut dan girang seketika merona wajah keempat gadis itu. Serentak mereka berlompatan mengurung laki-laki itu.
“Jahanam sialan! Kau telah menotokku lalu menyeret tubuhku kesemak itu, apakah kau kira totokanmu mempan? Siang-siang aku sudah tahu kau membuntuti kami!” berkata Wenah.
“Celaka betul aku hari ini? Aku kena dikibuli si gadis gembrot! Rupanya dia telah gunakan cara menutup jalan darah!” berkata Canggik dalam hati. Seketika wajahnya berubah pucat. Akan tetapi dia tak dapat berpikir lebih jauh, karena kelima gadis itu telah menyerangnya.
APA yang dialami kelima gadis itu ternyata tak jauh berbeda dengan yang dialami dua gadis lainnya. Yaitu Ande Pulut dan Giwang. Disisi lain dari hutan kecil itu Ande Pulut tengah bertarung sengit dengan seorang laki-laki bertampang kasar. Siapa adanya lawannya itu tak lain dari Bagor.
Sementara ditempat yang tak berapa jauh dari pertarungan tampak Giwang bertarung seru dengan si muka lancip kumis tikus. Ande Pulut gunakan sepasang pedang pendek menyerang laki-laki itu. Sedangkan lawannya mencekal sebuah cambuk yang bagian ujungnya berduri. Sambil mengelakkan serangan, mulutnya tiada berhenti berceloteh.
“Hehe... haha... gadis ayu! Lebih baik kau serahkan dirimu. Sayang kalau kulitmu yang mulus itu tergores duri cambukku!”
“Setan jelek! Tutup mulut Bagormu!” bentak Ande Pulut dengan geram. Sepasang pedangnya menyambar diiringi bentakan keras.
Tapi dengan gesit Bagor mengelak sambil menyeringai. Makin lama tanpa disadari pertarungan mereka semakin menjauh dari tempat dimana Giwang bertarung. Sementara itu Giwang dengan semangat tinggi terus mencecar lawannya dengan sambaran-sambaran pedang. Seperti halnya Bagor laki-laki bernama Warok inipun bertarung sambil terus mundur ke arah hutan lebat.
Dalam cuaca yang semakin gelap itu sangat mengganggu pandangan mata Giwang, karena lawan berpakaian serba hitam. Mendadak laki-laki itu lemparkan sesuatu ke depan gadis lawannya. Benda itu menimbulkan ledakan yang mengeluarkan asap.
Tersentak Giwang, karena hidungnya mencium bau yang membuat kepala menjadi berat. Sebelum dia menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu tubuhnya telah kena totok. Pedangnya terlepas dari cekalnya. Dengan sebat laki-laki itu menyambar tubuh dara itu, dan memondongnya. Kemudian membawanya berkelebat masuk hutan.
Suara suitan dari dalam hutan adalah tanda bahwa kawannya telah bekerja dengan baik, membuat Bagor segera mulai menggunakan cambuk untuk membuat terlepas pedang lawan. Walau demikian tampaknya Bagor sangat khawatir melukai tubuh Ande Pulut yang mulus, hingga kembali dia terdesak hebat.
Bret!
Tabasan pedang gadis itu telah membuat sobek bajunya, dan dadanya tergores. “Sial kuda!” maki Bagor mendesis.
Whut! Whut!
Pedang lawan telah kembali meluncur untuk menabas leher. Bergulingan laki-laki ini menghindarkan diri. Tapi saat itu telah dipergunakan untuk melemparkan benda itu ke arah si gadis.
Diiringi suara teriakan kaget Ande Pulut, asap putih mengepul memenuhi sekitar tempat itu. Akan tetapi sebelum dia sempat mengendus asap mengandung obat bius itu segelombang angin telah menerpa asap itu hingga buyar. Dan seiring dengan itu terdengarlah bentakan keras.
“Manusia jahil! Perbuatanmu sungguh licik!”
Alangkah terkejutnya ketika Bagor melihat munculnya seorang pemuda gondrong tahu-tahu telah berdiri dihadapannya. Tanpa ayal cambuk berdurinya menyambar diiringi bentakan keras. “Sial kuda! siapa kau berani turut campur urusanku?”
Whut! Whut!
Dua kali dia mengayunkan cambuknya, tapi dua kali serangan lolos karena dengan terhuyung orang dihadapannya itu dapat menghindari serangan. Bagor makin penasaran. Kali ini dia memba-rengi serangan cambuknya dengan sambaran-sambaran pukulannya. Beberapa batang pohon sebesar betis patah-patah terkena angin pukulan. Ternyata Bagor memiliki tenaga dalam cukup tinggi.
Sayang tak menemui sasaran. Pada saat itulah terdengar bentakan si pemuda gondrong. “Cukup!”
Diiringi bentakan itu terdengar suara....BUK! Terdengar lengking kesakitan laki-laki itu. Tubuhnya terlempar kena hantaman kepalan pemuda gondrong itu, dan terbanting keras. Bagor meringis kesakitan. Tulang punggungnya serasa patah. Dadanya serasa remuk.
Melihat situasi tak mengizinkan, dengan menahan sakit Bagor angkat langkah seribu merambas masuk ke dalam hutan. Tentu saja kaget dan girang Ande Pulut bukan kepalang, karena yang telah menolongnya adalah si Dewa Linglung. Tapi mendadak wajahnya berubah pucat.
“Celaka! Adikku...!” detik itu juga dia telah berkelebat melompat mencari Giwang yang tadi tengah bertarung dengan salah seorang kawan laki-laki tadi. Nanjar ikut mencari dengan berkelebatan diantara semak hutan kecil itu.
Sementara itu kawan Bagor yang berhasil menawan Giwang tak sabar menunggu. Kembali dia beri tanda isyarat dengan suitan panjang dua kali. Bagor yang tengah lari lintang pukang dengan meringis-ringis berteriak. “Jero....! Dimana kau?”
“Cepatlah! aku disini...! Apakah kau berhasil?” terdengar suara sahutan dari arah depan. Bagor cepat memburu kesana.
“Lho? Mana gadis itu?” tanya laki-laki ini melihat kawannya bukan hanya tak memanggul tubuh seorang wanita, bahkan meringis-ringis me-nahan sakit.
“Gadis matamu picak! Seseorang telah muncul dan menyerangku....!” maki Bagor dengan mata mendelik.
“Heh! Tak apalah, hari ini aku mengalah. Toh kau sudah dapat! Eh, mana Canggik?” tanya laki-laki ini.
“Entahlah! Bukankah tugas dia hanya mengecohkan kawan-kawan dua gadis yang kita incar?” sahut Jero.
“Hm, kau beri tanda isyarat lagi, lalu kita menantinya beberapa saat. Kalau dia belum muncul juga kita tinggal saja... Toh dia akan menyusul nanti ketempat Raden Sutriaji...!” kata Bagor.
Baru saja dia selesai berkata mendadak terdengar suara bentakan disusul oleh berkelebatnya sesosok tubuh. “Lepaskan gadis itu!”
Mendelik mata Bagor melihat tahu-tahu si pemuda gondrong yang tadi bertarung dengannya muncul dihadapan mereka. “Bangsat! Dialah yang tadi telah menggagalkan aku...” bisik Bagor dengan wajah pucat.
Jero sipitkan mata melihat pemuda gondrong itu. Tapi cepat turunkan gadis itu ditanah, dan mencabut clurit dari belakang punggung. “Heh! Masakan dengan berdua kita tak sanggup menghadapi monyet ini?”
“Bagus! Tadi aku sengaja mengalah, tapi kini takkan kuberi hati lagi!” kata Bagor. Lalu beri isyarat pada kawannya. Serentak kedua laki-laki ini mengurung.
Whuk! Whuk! Whuk!
Bagor memutar pecutnya menimbulkan suara bersuitan membias udara. Jero membuka jurus dengan lengan terkembang, kemudian bergerak menyilangkan Clurit.
“Serang!” teriak Jero sambil melompat. Senjatanya membabat ke arah leher lawan. Sementara Bagor melecut ke arah kaki pemuda itu.
Pemuda gondrong yang tak lain dari si Dewa Linglung itu melompat kesamping. Ujung kakinya menyambar kelambung Jero. Tentu saja Jero tak membiarkan lambungnya kena sasaran. Dia mengegos dengan melompat setombak kebelakang.
Untuk mengelakkan sambaran kaki itu terpaksa dia menahan serangan. Tapi terkesiap laki-laki ini, karena angin sambaran kaki itu terasa dingin menyentuh kulit lambung. Tahulah dia kalau lawan tak dapat dipandang enteng.
Kembali dia menerjang ganas. Clurit diarahkan kepinggang sambil membarenginya dengan puku-lan tangan kirinya. Sementara Bagor menanti saat yang tepat untuk menyerang dengan cambuknya. Untuk menghindari serangan itu Nanjar telah gunakan jurus-jurus Langkah dewa mabuk.
Tampak tubuhnya terhuyung kekanan dan kekiri. Serangan clurit lolos kekiri cepat dipergunakan Bagor untuk menyambarkan ujung cambuknya, lalu dibarengi dengan pukulan tenaga dalam ke arah kepala lawan.
Mendadak pemuda itu merundukkan kepala, dan cepat sekali gerakan lengan Nanjar menghantam dengan jurus Tinju Dewa Mabuk. Angin pukulan menderu menyambar lengan Bagor yang memegang cambuk. Terkesiapnya laki-laki ini bukan main-main karena tahu-tahu rasakan lengannya seperti terbakar. Dengan menjerit dia lepaskan cambuknya, lalu melompat kebelakang sambil berjingkrakan memegangi lengannya.
Tentu saja membuat kawannya jadi terkejut. Tapi dia sudah kepalang membuka jurus. Dengan membentak keras. Cluritnya menyambar laksana kilat membabat punggung si pemuda gondrong. Akan tetapi sukar untuk diduga gerakan lawan. Tubuh yang membelakangi itu mendadak membalik, dan....
Whuut!
Tabasan clurit lolos, karena pemuda itu menggeser tubuh kesamping. Selanjutnya... BUK! Jero merasa punggungnya dihantam palu ketika dengan kecepatan kilat siku lengan pemuda itu menghantam dengan telak. Tak ampun dia jatuh berdebam ditanah tepat didekat kaki lawan. Sebelum ujung kaki pemuda itu menghantamnya dia telah menggelindingkan tubuhnya, lalu melompat berdiri dengan terhuyung.
Jero menyeringai menahan sakit, serasa tulang punggungnya seperti patah-patah. Sesaat mereka saling pandang dengan kawannya dengan muka berubah pias. Mengetahui tak ada harapan menang, kedu-anya segera berkelebatan melompat dari situ, dan lenyap dalam keremangan hutan.
Sementara itu lima orang gadis termasuk si gadis gemuk alias bibi gembul telah kehilangan jejak laki-laki lawannya. Tak lama muncul Ande Pulut ditempat itu. Disaat mereka mencari-cari Giwang yang tak ada diantara mereka, muncullah si Dewa Linglung. Pemuda ini memondong tubuh gadis yang tengah mereka cari itu.
“Aku telah membuka totokannya, tapi dia tampak masih lemah karena telah menghisap asap yang memabukkan itu!” kata Nanjar seraya membaringkan tubuh dara itu direrumputan.
Enam orang gadis lainnya serentak mengerumuni. “Terimakasih atas pertolongan anda, tuan pendekar...!” kata Ande Pulut. “Ah, kalau tak ada kau entah apa jadinya nasib kami? Mungkin kami telah bercerai berai...” sambung Ande Pulut.
“Merekalah yang menamakan dirinya si Tiga Siluman Kali Kendil!” Kata Nanjar. “Aku telah memberi sedikit pelajaran pada mereka. Tapi saat beberapa bulan yang lalu itu aku dalam penyamaran, sehingga mereka tak mengenali diriku. Kali kedua inilah kebetulan aku menjumpai lagi. Ternyata mereka telah minggat ke wilayah utara ini. Ilmunya tak seberapa tinggi, tapi kelicikannya itulah yang harus kita berhati-hati. Suatu saat di pertemuan ketiga barulah aku bertindak tak kepalang tanggung...!” kata Nanjar.
Ketujuh orang gadis itu memohon Nanjar berangkat bersama-sama saja dengan mereka. Nanjar tak dapat menolak untuk menginap malam itu di dusun tersebut. Tapi besoknya pagi-pagi sekali si Dewa Linglung telah tak kelihatan batang hidungnya. Ande Pulut maklum watak pendekar muda yang aneh itu.
Apalagi dia telah mendengar kalau si Dewa Linglung akan menyambangi dulu sahabatnya. Dan dia telah berjanji akan berada dipantai Tan-jung Kelelawar sebelum waktu sepekan. Ande Pulut segera membangunkan anak buahnya, lalu menyuruh bersiap-siap untuk segera melanjutkan perjalanan.
PERAHU BESAR ITU MELUNCUR perlahan-lahan meninggalkan pantai karang Tanjung Kelelawar. Enam buah layar terpancang kuat ditiang perahu. Empat belas gadis berbaju hijau itu membawa tetamu undangan sang pemimpin me-reka. Siapa adanya tetamu undangan itu tak lain dari si Dewa Linglung adanya. Tampak pemuda itu duduk diatas geladak paling depan.
Berdiri disebelah kirinya adalah Ande Pulut. Dan disebelah belakang tak jauh dari situ berdiri Giwang, Suri dan Wenah si bibi gembul. Sedangkan yang lainnya ada yang berdiri ditiang layar paling besar paling atas. Ada pula yang berada diburitan, dan sebagian lagi berkumpul diperut perahu melakukan tugas masing-masing.
Tak diceritakan lamanya pelayaran... singkatnya sudah dua hari dua malam perahu besar itu terapung-apung ditengah gelombang. Persediaan dalam perahu seperti makanan dan lain-lain cukup banyak. Adanya tujuh orang gadis lagi yang menunggui perahu di tanjung Kelelawar memang tak diceritakan oleh Ande Pulut.
Tentu saja semua itu membuat dia terheran, karena sedemikian cukupnya perlengkapan orang-orang pulau Naga Jelita yang kesemuanya itu adalah cuma untuk urusan mencari dan menjemput dirinya.
Nanjar diperlakukan didalam perahu besar itu bagaikan Pangeran Muda saja layaknya. Dalam kamar yang berkasur empuk dan kain seprei warna hijau berbau harum minyak wangi. Bahkan herannya sampai-sampai Nanjar tak bisa tidur pulas memikirkan hal itu. Semakin tak sabar rasa hati Nanjar untuk cepat-cepat tiba ditempat tujuan.
Dihari keempat belas bulan kedelapan perahu mendarat disebuah pulau. Girangnya Nanjar tak alang-kepalang. Rasanya hampir bosan dia bera-da didalam perahu terombang-ambing ditengah lautan. Mendadak pintu kamarnya diketuk dari luar.
“Masuklah!” kata Nanjar.
Seorang gadis muncul dipintu membawa seperangkat pakaian warna putih dari kain sutera tebal. “Kita sudah sampai, Raden...! Dan Raden dipersilahkan mengenakan pakaian yang telah disediakan ini...!” kata gadis itu seraya menjura. Lalu setelah meletakkan diatas meja kecil, kemudian keluar lagi.
Nanjar cuma geleng-geleng kepala dengan bibir tersenyum. Belum sempat dia ucapkan terimakasih, gadis baju hijau itu telah lenyap diluar pintu. Ketika si Dewa Linglung keluar dari pintu kamarnya, tujuh gadis baju hijau telah siap menanti dimuka pintu.
“Penyambutan apa lagi ini?” tanya Nanjar dalam hati.
“Tuan pendekar Naga Merah dipersilahkan turun dari perahu!” kata mereka dengan suara serempak.
Nanjar mengangguk. “Haha... aku memang mau turun dari perahu ini. Bosan rasanya aku berlayar!” kata Nanjar sambil tertawa. Sementara matanya menatap ketujuh dara baju hijau.
“Eh, tak kulihat Ande Pulut dan Giwang di antara kalian?” tanya Nanjar.
“Kami bertujuh menggantikan tujuh gadis di bawah pimpinan Ande Pulut!” menyahut salah seorang gadis paling depan.
Nanjar manggut-manggut. Tiga gadis balikkan tubuh dan berjalan terlebih dulu kesisi geladak, kemudian dengan gesit melompat turun dari atas perahu. Kemudian disusul oleh si Dewa Linglung. Terakhir keempat gadis yang mengawal dibelakang.
“Mari ikut kami!” kata tiga gadis yang lebih dulu melompat. Tadinya Nanjar mau melihat-lihat dulu keadaan dipelabuhan. Ada beberapa perahu lainnya yang berada dipelabuhan itu, tapi tak tampak ada seorang pun disekitar pelabuhan sunyi itu. Terpaksa Nanjar ikuti tiga orang gadis itu dengan dikawal oleh empat orang dibelakangnya.
Ketika tubuh si Dewa Linglung dan ketujuh gadis yang mengawalnya lenyap dibalik tebing di-pulau itu, dua sosok tubuh melompat dari perahu lain ke perahu yang ditumpangi Nanjar tadi. Ternyata dua orang laki-laki berpakaian warna gelap yang membungkus wajahnya dengan topeng.
Dan salah seorang menemukan apa yang tengah dicarinya. Mata laki-laki ini liar memandang kebarak dibagian belakang buritan. Tampak dua gadis baju hijau tergolek dalam keadaan terikat dan mulut disumpal kain. Laki-laki ini kembali melompat keatas geladak, lalu memberi isyarat pada kawannya. Tak lama kedua laki-laki itu telah berlompatan ketempat dimana kedua gadis baju hijau itu terikat.
Siapa adanya kedua gadis itu tiada lain dari Ande Pulut dan Giwang. Apakah sebenarnya yang terjadi? Kalau saja Nanjar mengetahui kejadian tadi malam sebelum mendarat dipulau itu tentu akan mengetahui siapa ketujuh gadis yang telah mengawalnya itu.
Dua laki-laki itu memanggul tubuh kedua dara tersebut, dan membawanya kesuatu tempat tersembunyi. Ande Pulut hanya dapat mengutuk panjang pendek pada dua manusia itu yang secara bergantian memperkosanya. Nasib dirinya tak berbeda dengan nasib Giwang.
Setelah puas men-gumbar napsu iblis, kedua laki-laki itu mencekokkan sesuatu kemulut mereka. Lalu mereka mengembalikan kedua gadis itu ke dalam perahu besar dan melepaskan ikatan.
Apa yang terjadi kemudian dengan Ande Pulut dan Giwang? Tampak mereka seperti dua orang tolol yang tak mampu berpikir apa-apa lagi. Bahkan kejadian tadi malam di mana tujuh orang gadis secara curang telah melakukan pembokongan gelap membunuh lima gadis kawannya, termasuk si bibi gembul Wenah.
Kemudian melemparkan mayat-mayat kawan-kawan mereka itu sendiri ke dalam laut. Ande Pulut tak dapat berbuat apa-apa karena dia dalam keadaan tertotok. Demikian ju-ga adiknya, Giwang. Tapi dia mengetahui sabo-tase itu adalah dibawah pimpinan seorang wanita jangkung. Siapa adanya wanita itu adalah tangan kiri merangkap kekasih Panglima WADULATA.
Panglima Wadulata adalah orang yang cukup besar pengaruhnya, karena merupakan singa jantan sang Ratu pulau Naga Jelita. Siapa adanya dua laki-laki yang membungkus mukanya dengan topeng itu adalah tangan kanan Panglima itu.
Ande Pulut tak akan pernah melupakan dua manusia yang telah memperkosa dirinya dan adiknya itu. Akan tetapi dalam keadaan demikian dia sudah tak mampu berpikir apa-apa lagi. Akan tetapi satu hal yang diluar dugaan, si bibi gembul alias Wenah tahu-tahu muncul disamping geladak.
Tubuhnya basah kuyup. Diantara lima orang yang dilemparkan kelaut, cuma dialah seorang yang masih hidup, dan mampu merayap naik kepinggiran perahu, setelah semalam-malaman dia menempel diperut perahu. Untung ada segumpal tambang yang menempel disisi lambung perahu. Dengan berpegang pada belitan tambang itulah dia mampu menyelamatkan nyawanya.
Melihat keadaan Ande Pulut dan Giwang, terheran gadis ini. Dilihatnya kedua kawan itu su-dah tak selayaknya manusia wajar. Seperti orang yang tolol atau dungu. Bahkan dia melihat sesuatu yang membuat jantungnya tersentak.
"Keparat! Ini pasti perbuatan Gempo dan Joman! Tampaknya dia bekerja sama dengan si jangkung, kuntilanak perempuan itu. Entah apakah perbuatan keji membunuh dan menganiaya ketujuh gadis rombongan kami ini adalah atas perintah Panglima Wadulata?” berkata Wenah dalam hati.
Tapi cepat menarik lengan Ande Pulut dan Giwang untuk bersembunyi dibalik onggokan tambang dan terpal layar, karena mendengar suara langkah orang mendatangi. Hati Wenah berdebar, karena mengkhawatirkan yang muncul adalah orang-orangnya Panglima Wadulata. Untunglah suara langkah itu terhenti, kemudian menjauh lagi.
Wenah menotok Ande Pulut dan Giwang yang sudah menjadi orang dungu. Lalu berkelebat ke arah dapur. Setelah menyikat makanan, menangsal perutnya yang kosong karena semalam-malam terus berjuang melawan hantaman deburan ombak, dia kembali lagi ketempat onggokan kain terpal.
Lengannya bergerak membebaskan totokannya yang digunakan agar keduanya tak membuat kegaduhan hingga orang mengetahui tempat persembunyian itu. Beberapa saat lama Wenah tercenung mencari jalan untuk meloloskan diri dan melaporkan kejadian itu pada Ratu...
MAU DIBAWA KEMANAKAH AKU....?” tanya Nanjar setelah dia dibawa memutari tebing disisi pantai. Rasanya tanpa adanya Ande Pulut, dia tak leluasa bercakap-cakap. Para gadis yang mengawalnya kali ini rata-rata menutup mulut. Setiap Nanjar bertanya selalu dijawab dengan tanda isyarat. Akhirnya tak tahan untuk berdiam diri, Nanjar bertanya seraya hentikan langkah kakinya.
Mendadak mereka berkelebatan melompat dan lenyap. Saat itulah terdengar suara tertawa terbahak-bahak, disusul munculnya sesosok tubuh mengenakan jubah hitam dan mantel hijau. Nanjar perhatian wajah pendatang ini. Ternya-ta dia seorang laki-laki bertampang angker dengan kumis tebal, berambut lebat. Hidungnya melengkung bagai paruh burung betet. Dialah Panglima WADULATA.
“Haha... selamat datang dipulau Naga Jelita, pendekar Dewa Linglung! Aku adalah Panglima Wadulata yang ditugaskan menyambut kedatangan anda dipulau ini!” katanya seraya menjura. Nanjar balas menjura sambil tersenyum, lalu menyahut.
“Namaku Nanjar! Dimanakah tempat tinggal Ratu?”
“Sebentar anda akan kami bawa menghadap...!” kata Panglima ini, lalu bertepuk tangan tiga kali. Dari balik tebing muncul seorang gadis baju hijau membawa sebuah nampan berisi dua buah cawan berisi arak. Lalu menyuguhkan diha-dapan Panglima. “Silahkan, sobat pendekar ga-gah! Arak ini merupakan minuman khusus bagi setiap tetamu yang diundang datang oleh Ratu kami....” kata Panglima, seraya menjumput sebuah cawan.
Sedang secawan lagi diberikan gadis itu pada Nanjar. “Mari minum...” kata Panglima selesai Nanjar menerima cawan yang diperuntukkannya.
Nanjar mengangguk, seraya mendekatkan cawan kebibirnya. Akan tetapi pada saat itulah terdengar suara berbisik ditelinga Nanjar.
“Anak muda! Singkirkan minuman berbahaya itu, kalau kau tak mau berubah jadi dungu...”
Nanjar tersentak kaget. Diam-diam dia membathin dalam hati. “He? Siapa yang telah membisiki telingaku dengan mempergunakan ilmu mengirim suara jarak jauh?”
Prang....!
Mangkuk berisi arak itu mendadak terlepas dari tangan Nanjar seperti tak sengaja. Sejenak Nanjar tertegun, tapi cepat-cepat berkata; “Maafkan aku, sobat Panglima...! Aku tak sengaja menumpahkan arak penghormatan ini...”
Berubahlah seketika wajah Panglima. Mendadak dia berkata dingin. “Hm, anda berperasangka buruk rupanya terhadapku? Tapi tak mengapa...” Panglima ini membanting cawan yang berada ditangannya. Tampaknya arak itupun belum sempat diminumnya. Kemudian berpaling pada si pembawa minuman. “Bawalah tetamu kita ini kehadapan Ratu!”
Pelayan mengangguk. Kemudian beri isyarat pada Nanjar agar segera mengikuti. Sementara itu Panglima Wadulata berkelebat pergi dari tempat itu, dan lenyap diujung lorong sebelah barat. Baru saja injakkan kaki dipulau Naga Jelita, Nanjar sudah menemukan banyak kejanggalan. Tentu saja membuat dia harus berhati-hati. Bahkan dalam kejadian barusan sudah tertanam sikap tak bersahabat dari Panglima Wadulata.
Entah siapa adanya Panglima Wadulata itu, apakah kedudukannya disamping Ratu belumlah diketahui dengan jelas oleh Nanjar. Bahkan tampang Ratu pulau Naga Jelita saja sampai saat itu dia belum mengetahui. Dengan sikap penuh kewaspadaan, Nanjar mengikuti dibelakang gadis pembawa nampan itu memasuki lorong yang berbelok-belok.
DITENGAH PULAU, dikelilingi tebing batu-batu karang tampak sebuah bangunan berbentuk kepala Naga mengangakan mulutnya. Pada mulut Naga itulah terletak pintu masuk ke istana. Belasan penjaga terdiri dari para wanita menatapkan mata melihat kemunculan Nanjar.
Tampaknya sang Ratu telah mengetahui, dan mendapat laporan akan kedatangan pendekar undangannya itu. Ketika Nanjar dibawa oleh dua penjaga wanita berselempang kain kuning ke dalam ruangan, ternyata Ratu pulau Naga Jelita telah menyambutnya dengan berdiri dipintu depan.
Melihat seorang wanita berparas cantik memakai baju bersisik perak bergelimpangan, dengan dandanan yang menyolok, tahulah Nanjar kalau wanita itu adalah Ratu yang dimaksud. Dua pengawal itu segera mengundurkan diri. Nanjar cepat menjura didepan wanita itu.
“Andakah Ratu pulau Naga Jelita?” tanya Nan-jar. Ratu mengangguk sambil tersenyum seraya katanya.
“Benar! Selamat datang dikerajaanku, pendekar gagah! Girang rasa hatiku. Anda pasti si Dewa Linglung, pendekar Naga Merah...!”
“Begitulah menurut kata orang. Tapi gelar itu sangat membuat aku tak enak hati. Baiknya Ratu memanggilku dengan namaku saja ...” kata Nanjar.
“Siapakah namamu, pendekar gagah?” tanya Ratu.
“Nanjar! Lengkapnya Ginanjar...!”
“Oh, nama yang bagus! Silahkan masuk, pendekar gagah. Oh, ya sobat Nanjar, senang sekali aku berjumpa anda. Anda akan menjadi tamu istimewaku dipulau Naga Jelita ini!”
“Ratu sendiri tak punya nama?” tanya Nanjar.
“Hihi... kaulah seorang tamuku yang paling aneh, baru berjumpa sudah menanyakan namaku segala. Tapi tak apalah, namaku... MOURITA...” Ratu memperkenalkan diri dengan senyum dibibir.
Nanjar manggut-manggut seraya melangkah ke dalam mengikuti sang Ratu. “Nama andapun bagus, Ratu...” kata Nanjar.
Ratu tak menjawab, tapi tersenyum, seraya bertepuk dua kali. Dari ruang dalam muncul dua gadis baju hijau dengan selempang kuning. Berbeda dengan gadis yang dua orang tadi. Kalau dua gadis itu berambut dikepang, dua gadis ini rambutnya disanggul. Dihadapan Ratu, kedua pelayan ini membungkuk, seraya salah seorang berkata.
“Apakah perintah Ratu?” tanyanya.
“Hm, bawalah tetamuku ini kekamar istimewa yang telah disediakan. Dan uruslah dengan baik sampai ada perintah dariku untuk bertemu lagi...”
“Siap Ratu!” menyahut dua orang pelayan itu. Kemudian menoleh pada Nanjar. Nanjar menatap sang Ratu. Ratu mengangguk sambil tersenyum.
“Kapan aku bisa bercakap-cakap dengan anda Ratu Mourita?” tanya Nanjar.
“Hm, besok siang aku kirim pengawal untuk memberitahu padamu!”
Nanjar mengangguk. Kemudian balikkan tubuh dan mengikuti dua gadis pelayan itu menuju ruang yang telah diperuntukkan bagi dirinya. Sesaat Ratu masih berdi-ri menatap sampai pemuda itu lenyap dibalik pintu. Kemudian terdengar dia menghela napas, dan balikkan tubuh untuk segera beranjak menuju keruang tengah. Dikursi kebesarannya sang Ratu termangu-mangu. Tak lama dia bangkit berdiri, lalu dengan cepat memasuki ruangan kamarnya.
PANGLIMA WADULATA duduk tak jauh di sebelah kanan Ratu pulau Naga Jelita. Di sebelah kirinya tampak duduk si Dewa Linglung dengan pakaian sutera putih. Pertama-tama yang buka suara adalah Panglima Wadulata.
“Ratu! Untuk menghormati tetamu kita, acara apakah yang akan Ratu adakan pada hari ini?” kata Panglima. Sementara matanya melirik pada Nanjar yang duduk tenang-tenang ditingkat atas ruangan itu.
Matanya menatap kebawah dimana terdapat sebuah arena yang garis tengahnya sekitar dua belas tombak. Disekeliling lingkaran berdiri berjajar puluhan gadis berbaju hijau. Di sebelah utara, tepat diujung pandang mata tampak sebuah rak senjata berisi beberapa macam senjata tajam seperti tombak, pedang, parang, klewang dan alat untuk penangkis atau tameng.
Ketika Panglima Wadulata berbicara tadi bukannya Nanjar tak mendengar, tapi pura-pura tak mengacuhkan kata-kata Panglima itu. Bahkan Nanjar tampak mengedipkan mata pada seorang gadis yang kebetulan menatap kepanggung. Dialah gadis pembawa nampan yang berisi arak ketika Panglima Wadulata menyuguhkan arak penghormatan pada Nanjar kemarin. Apa yang dilakukan Nanjar ternyata tak luput dari mata Panglima. Sebelum Ratu menjawab, cepat-cepat Panglima Wadulata menyambung.
“Ingin sekali aku melihat kehebatan ilmu pedang Naga Merah tetamu kita ini, Ratu! Bagaimana kalau kita memeriahkan pertemuan ini dengan melihat permainan pendekar gagah yang namanya telah santar didunia Rimba Hijau itu? Rupanya akan merupakan acara yang sangat menarik...!”
Sebelum Ratu pulau Naga Jelita menjawab, mendadak Nanjar mendehem seraya berpaling menatap sang Ratu. Saat itu Ratu justru tengah menatap kearahnya. Cepat Nanjar bangkit berdiri, seraya menjura.
“Ratu Mourita! Apakah Panglimamu mempunyai orang-orang andalan yang berilmu lumayan untuk menghadapiku? Tapi tak perlu bertarung pakai senjata segala. Untuk mereka silahkan saja. Tapi aku akan menghadapi dengan tangan kosong!” berkata Nanjar.
“Bagus! Ratu! ini merupakan tantangan buat kita. Aku memang telah menyiapkan orang-orangku untuk mencoba kehebatan jurus-jurus pukulan tetamu kita yang gagah ini!” kata Panglima Wadulata seraya bangkit berdiri. Dalam berkata itu tampak senyum sinis menyungging di bibirnya.
Ratu pulau Naga Jelita tersenyum menatap Nanjar. Lalu beri isyarat pada Panglima untuk duduk. “Terimakasih atas kesediaan anda sobat, Dewa Linglung! Apa yang akan anda perlihatkan di hadapanku adalah merupakan kehormatan buat Istana Pulau Naga Jelita. Untuk itu sekali lagi aku mengucapkan terimakasih!” kata Ratu.
Selesai berkata dia menoleh pada panglima Wadulata. “Nah! Kau boleh beri isyarat tanda pembukaan untuk acara ini!”
Panglima mengangguk, lalu berdiri menghadap ke arah arena. Sebelah lengannya terangkat. Dan terdengarlah bunyi suara terompet dari tulang. Seorang laki-laki berpakaian kuning meniup terompet sebagai tanda pembukaan acara itu.
“Saudara-saudara. Hari ini adalah hari yang penuh kegembiraan bagi rakyat pulau Naga Jelita. Ratu kita telah mengundang seorang pendekar gagah yang bergelar si Pendekar Dewa Linglung, atau Pendekar Naga Merah! Kesediaannya memenuhi undangan Ratu kita sudah merupakan kegembiraan bagi kita semua. Karena itu Ratu mengharapkan adanya suatu acara yang menarik untuk memeriahkan pertemuan ini...”
Berkata Panglima Wadulata dengan suara lantang. Setelah sesaat berhenti untuk melirik ke arah si Dewa Linglung, lalu melanjutkan pidatonya.
“Nah! untuk itu tamu kita pendekar yang gagah perkasa ini telah berkenan untuk mempertunjukkan kehebatan jurus-jurus pukulannya. Dan setelah kita melihat kehebatan ilmu yang dimiliki, kita akan melihat pula kehebatan pedang mustika Naga Merah yang langka itu. Dan inilah pula saat kesempatan bagi penghuni pulau Naga Jelita untuk memperlihatkan kebolehannya bermain silat. Sebelum acara bebas dimana siapa diantara kalian boleh menjajal kehebatan sang pendekar Naga Merah, maka terlebih dulu akan dipertunjukkan oleh beberapa orang pentolan pulau Naga Jelita untuk menghadapi tetamu kita!”
Ketika Panglima mengangkat tangan sebagai tanda berakhirnya pidato sambutan itu, maka segera terdengar suara tepuk tangan riuh diiringi sorak sorai gegap gempita. Begitu sorak sorai mereda, melompatlah seso-sok tubuh ke dalam arena. Semua mata menatap ke arah orang ini. Ternyata dia seorang laki-laki berkepala botak, bertubuh kekar dan berkulit hi-tam. Kemunculan orang ini disambut oleh tepuk tangan riuh dara-dara baju hijau yang mengelilingi arena.
“Hidup Jaka Podang! Hidup Jaka Podang!” teriak mereka.
Laki-laki ini memang bernama Jaka Podang. Seorang laki-laki yang merupakan algojo, tukang menyiksa siapa yang melakukan kesalahan. Tubuhnya yang tinggi besar dengan urat-urat kekar itu membuat orang akan ngeri jika berhadapan dengannya. Entah berapa nyawa melayang ditangan laki-laki ini selama menjalankan tugas.
Tak perempuan tak laki-laki bila dihadapkan padanya pasti remuk tulang-tulang tubuhnya terkena jepitan kedua lengannya yang bagaikan jepitan baja! Dialah orang andalan Panglima yang telah dipersiapkan untuk menghadapi si Dewa Linglung.
Sejenak Nanjar melihat laki-laki lawannya ini dari atas panggung. Tampak dia agak tertegun. Sementara itu penonton telah tak sabar dan berteriak-teriak menyuruhnya turun ke arena. Nanjar segera bangkit berdiri lalu menjura dihadapan Ratu, seraya berujar, “Mohon dimaafkan kalau permainanku jelek....”
Ratu tersenyum dan sipitkan sebelah mata pada si Dewa Linglung sambil menyahut. “Anda terlalu merendah, sobat Nanjar! Hm apakah anda tak ingin menghadapi dengan permainan senjata?” menukas Ratu.
“Sewaktu-waktu bisa juga Ratu Mourita, kalau aku memang memerlukan penggunaan senjata! Tapi itu hanya akan aku lakukan dengan seizin Ratu tentunya...” sahut Nanjar. Setelah mendapat anggukan sang Ratu yang jelita itu Nanjar segera melompat ke dalam arena.
SUARA TEPUK TANGAN RIUH memenuhi ruangan arena. Melihat lawan bertarung telah berdiri dihadapannya, laki-laki tinggi besar ini tersenyum menyeringai. Tampaknya senyum menganggap rendah, karena lawannya bertubuh kecil dan tingginya cuma lebih sedikit dari pinggangnya.
Diam-diam Nanjar perhatikan lawannya. “Hebat juga potongan tubuh laki-laki ini. Pilihan Panglima benar-benar tidak mengecewakan...!” kata Nanjar dalam hati. Nanjar gerakkan jari telunjuknya memberi isyarat pada lawannya untuk maju menyerang terlebih dulu.
Raksasa pulau Naga Jelita ini melangkah menghampiri. Suara langkah kakinya berdebum menggetarkan tanah. Dan...
Whut! Whut!
Lengannya bergerak menghantam si Dewa Linglung. Tulang dada atau tulang leher tak bisa tidak akan patah-patah bila terkena sambaran pukulan yang beratnya puluhan kati itu. Akan tetapi serangan itu menghantam angin, karena sebat sekali si Dewa Linglung mengelak ke samping seperti terhuyung, lalu mendadak tubuhnya seperti terdorong kebelakang. Walaupun tampaknya seperti orang terhuyung, tapi kenyataannya serangan Algojo itu luput.
“Haha...hehe... hayo, jangan sungkan-sungkan sobat manusia rangkap tiga!” kata Nanjar sambil tertawa.
Dibilang dirinya manusia rangkap tiga Jaka Podang si raksasa pulau Naga Jelita ini mendengus. Wajahnya berubah merah dan kulit muka terasa panas. Kali ini dia menerjang untuk menangkap pinggang lawan. Kedua lengannya terentang, dan terulur menyambar.
Namun hingga napasnya menggeros keletihan dia tak mampu menyentuh tubuh lawannya yang berkelebat gesit, serta sesekali terhuyung bagai orang mabuk, maka semua serangannya menjadi luput. Disuatu saat Nanjar biarkan hantaman tinju yang besarnya hampir sebesar kepala bayi itu mengenai dadanya.
BUK!
Semua mata membelalak, Ratu terperangah kaget. Tapi apa yang terlihat? Si Manusia Raksasa berdiri mematung dengan posisi menghantamkan tinju tanpa bergeming. Yang kena terhantam dadanya malah tersenyum-senyum sambil mengusap-usap dadanya yang mengepulkan uap putih.
“Haha.. pukulannya empuk seperti dicolek gadis...!” Nanjar mengerlingkan mata pada gadis yang berdiri didekatnya. Dialah si gadis pembawa nampan yang mengantarkan Nanjar kemarin sampai di depan istana Naga Jelita. Disaat semua mata sama terbelalak memandang ke dalam arena. Nanjar menggerakkan tangannya memanggil gadis itu. Tanpa disuruh dua kali, gadis itu melompat ke dalam arena.
“Siapa namamu, nona?” tanya Nanjar.
“Aku... Nunik...” sahutnya sambil tersipu.
“Hm, maukah kau membantuku? Aku akan minta sedikit pertolongan pada mu Nunik!”
“Pertolongan apakah yang dapat kubantu?” tanya si gadis terheran.
“Aku cuma mau minta tolong kau menekan dan menggoyang otot dibawah ketiak tuan Jaka Podang ini...!”
Tentu saja disamping terheran si gadis bernama Nunik itu juga tertegun. Tapi segera menyahut. “Hm, baiklah! Kalau cuma itu aku bersedia...”
Selesai berkata Nunik segera mendekati sang raksasa pulau Naga Jelita yang masih berdiri mematung bagai arca. Gadis ini segera julurkan tangannya menekan kulit dibawah ketiak Jaka Podang, dan mengguncang-guncangkan otot yang melekat disitu. Bersamaan dengan gerakan gadis itu menekan otot Jaka Podang, maka terbukalah totokan pada tubuh si Algojo pulau Naga Jelita itu.
Akibatnya semua mata jadi membelalak lebar dengan terperangah heran, karena tiba-tiba saja laki-laki itu perdengarkan suara tertawa terbahak-bahak sambil berjingkrakan. Nunik yang tak mengerti segera melompat keluar arena. Sementara Jaka Podang terus tertawa berkakakan sambil berjingkrakan melompat-lompat.
“Sudah... sudah...! Ampun... hihi... haha... ho-ho...ho... Geli... haha...geli... hoho...hihi...”
Merah seketika muka Panglima Wadulata. Dia tahu kalau si Dewa Linglung sengaja telah mempermainkan lawannya. Bahkan dengan matanya yang tajam dan jeli, dia melihat ketika tinju Jaka Podang menghantam ke arah dada lawannya, dengan tenang pemuda itu gembungkan dada.
Tahulah dia kalau tenaga dalam Nanjar sangat luar biasa tingginya, hingga pukulan lawan akan terasa oleh si pemukulnya bagaikan menghantam kapas. Dan dengan kecepatan kilat jari lengan si Dewa Linglung telah menotok jalan darah dibawah ketiak laki-laki itu.
Jurus totokan si Dewa Linglung adalah jurus totokan yang dipelajari dari seorang kakek bertangan palsu yang dijumpai Nanjar beberapa bulan yang lalu. Kakek yang selalu menyembunyikan mukanya dibalik tudung itu telah mengajari Nanjar cara menotok yang aneh.
Keanehannya adalah bila terbuka totokannya maka orang yang tertotok itu akan tertawa terpingkal-pingkal tanpa bisa berhenti, hingga sampai putus nyawanya. Tujuan Nanjar menggunakan jurus totokan itu adalah untuk memancing keluar orang yang telah membisikinya dengan mengirim suara jarak jauh ketelinganya. Nanjar yakin orang itu ada disekitar arena. Dan Nanjar yakin orang yang membisikinya kemarin itu adalah si kakek bertangan palsu.
Mendadak tiga larik sinar hijau meluncur dari atas panggung ke arah Jaka Podang diiringi bentakan keras. “Manusia tak berguna!” terdengar jeritan parau laki-laki itu. Seketika si manusia raksasa itu terjungkal roboh dengan keadaan tak lebih dari orang yang menghadapi sakaratul maut. Tak lama tubuh laki-laki itu lepaskan nyawa.
Ratu bangkit berdiri. Dia tak menyangka kalau Panglima Wadulata turunkan tangan keji membunuh mati Algojonya. Cepat-cepat Panglima menjura dihadapan Ratu.
“Terpaksa aku membunuhnya, Ratu. Hal itu sangat memalukan kita. Kurasa tugasnya sebagai Algojo tak sesuai lagi! Kita bisa mencari gantinya...!”
Sejenak Ratu pulau Naga Jelita tercenung, lalu mengangguk. “Baiklah! segera kau suruh orang menyingkirkan mayatnya!” ujar Ratu. Panglima mengangguk, kemudian mengangkat tangan seraya memberi isyarat pada orang-orangnya.
Empat orang gadis baju hijau bertubuh kekar muncul dari sebelah kiri arena. Langsung menghampiri mayat Jaka Podang. Kemudian menggotongnya keluar dari arena. Kembali Panglima memberi tanda isyarat. Kali ini muncul dua laki-laki baju hitam, memakai ikat kepala lebar. Siapa adanya dua laki-laki ini adalah orang yang bernama GEMPO dan JOMAN Dua orang tangan kanan Panglima Wadulata.
“Kami akan coba menguji kehebatan ilmu anda, sobat Dewa Linglung. Dan semoga saja anda tak akan linglung dalam pertarungan nanti!” berkata salah seorang yang bernama Joman.
“Mm, aku kadang-kadang suka linglung kalau melihat orang. Apakah kalian ini orang-orang pulau Naga Jelita, ataukah orang endonan?” kata Nanjar sambil tersenyum.
Tentu saja membuat dua laki-laki ini bersemu merah wajahnya. Bahkan dalam hati Gempo berkata. “Sialan! Apakah dia mengetahui kalau aku orang endonan dipulau ini?” Tapi cepat dia menyahut sambil tertawa. “Haha.. ilmu totokmu sangat luar biasa, sobat Dewa Linglung! Sayang kalau dipergunakan untuk menghadapi orang tak berkepandaian macam Jaka Podang. Untuk menghadapi anda biarlah kami berdua menggunakan senjata! Dan tentu saja kamipun tak melarang anda untuk menggunakan pedang mustika Naga Merah. Sekalian kami ingin mengetahui kehebatannya!” kata Gempo sambil tertawa dingin.
Nanjar telah waspada dan mengetahui siapa adanya dua laki-laki ini dengan melihat isyarat gadis bernama Nunik. Bahkan dia telah waspada sejak berada dalam kamar mewah diperahu besar yang membawanya kepulau ini. Nanjar teringat ada suara kasak-kusuk dari dua orang gadis, yang satu jangkung dan satu lagi agak pendek kekar.
Dalam bisik-bisik itu terdengar ada menyebut-nyebut pedang Naga Merah. Oleh karena itu sejak masih berada didalam perahu besar, Nanjar sudah waspada. Benar saja, ketika dia meninggalkan tempat tidur untuk pergi kebelakang buritan, pembaringannya tampak seperti bekas diperiksa orang.
Akan tetapi Nanjar bersyukur karena pedang mustikanya tidak hilang, dan masih berada di tempatnya dibawah kasur. Waktu itu Nanjar terkejut karena merasa penasaran untuk memeriksa. Barulah dia menyadari kalau pedang itu telah ditukar. Walaupun sarung pedangnya masih utuh, tapi isinya sudah ditukar orang.
Nanjar berpura-pura tak mengetahui, dan bersikap biasa saja. Namun dua gadis itu tak luput dari pengintaiannya secara tersembunyi. Sayang Nanjar tak mengetahui kejadian pada malam sebelum mendarat dipulau Naga Jelita. Karena dia telah dicekok oleh obat tidur yang dibubuhkan dalam makanan.
Hingga tak diketahui kalau beberapa orang dari tujuh gadis yang mengawal kepulau itu telah dibokong, dan dilemparkan kelaut. Cuma bersisa dua orang, yaitu Ande Pulut dan Giwang. Namun disisakannya kedua gadis itu adalah sudah direncanakan, akan diumpankan pada Gempo dan Joman.
Ketika mengikuti si gadis pembawa nampan bernama Nunik, Nanjar berhasil mengorek adanya niat jahat didalam undangan terhadap dirinya yang didalangi oleh panglima Wadulata bersama dua orang laki-laki bernama Joman dan Gempo.
Bahkan dalam istana pulau Naga Jelita telah terjadi perpecahan dua pihak. Satu kelompok berada dipihak Ratu, dan sekelompok lagi dipihak Panglima Wadulata. Bahkan nyaris saja Nanjar terkena tipu daya panglima itu yang menyuguhkan arak yang bisa merubah orang menjadi dungu.
NANJAR MENENGADAHKAN KEPALA MENATAP PADA RATU. Tampak Ratu pulau Naga Jelita mengangguk sambil tersenyum. Nanjar alihkan tatapan pada dua orang dihadapannya.
“Baiklah, sobat-sobat! Aku akan mempergunakan pedang mustika Naga Merah. Akan tetapi sebelum aku mencabut senjataku, cabutlah terlebih dulu senjata kalian!” kata Nanjar. Lalu sambungnya. “Aku akan mempergunakannya kelak kalau memang aku memerlukan penggunaannya!”
“Bagus! Berarti kau telah menganggap remeh kami, pendekar Dewa Linglung. Dan jangan salahkan kami kalau anda terluka!” desis Gempo. Dan sebaik mereka meraba kebalik pakaian, maka secara berbareng dua kilatan menyambar ke arah lambung dan leher si Dewa Linglung.
Terkesiap Nanjar tak olah-olah. Gerakan menyerang dua orang ini sangat licik dan mengejutkan. Nyaris saja dua golok tipis lawan menabas sapat leher dan pinggangnya. Untunglah dia cukup waspada. Dengan pergunakan lompatan Kera digabung jurus langkah Dewa Mabuk, dia berhasil menghindari dirinya dari bahaya maut. Tapi tak urung bajunya terkoyak oleh senjata lawan.
Ternyata Nanjar tak diberi kesempatan sedikit pun untuk bernapas karena kedua orang ini terus mendesak dengan serangan-serangan gencar yang berbahaya. Kilatan perak seperti berubah menjadi berpuluh-puluh banyaknya mengurung si Dewa Linglung dari setiap penjuru. Pasangan kedua orang ini ternyata merupakan pasangan yang sangat hebat.
Disaat pertarungan telah berlangsung belasan jurus, tiba-tiba Nanjar perdengarkan bentakan keras. Tahu-tahu kedua tubuh lawannya terhuyung kebelakang. Ternyata Nanjar telah gunakan jurus Dewa Naga Menggoyang Tubuh.
Kalau tadi tampaknya Nanjar terkepung tanpa dapat meloloskan diri dari kilatan pedang lawan, dengan jurus ini Nanjar berhasil mendobrak kepungan maut itu. Bahkan ketika selarik cahaya merah membias udara, terdengarlah teriakan kaget kedua lawannya diiringi suara berdenting keras.
TRANGNG...!
Tahu-tahu kedua pedang lawan telah terlepas dari masing-masing cekalan tangan mereka, dan terpapas menjadi empat potong. Panglima Wadulata terlompat dari tempat duduknya saking terkejut melihat pedang yang bercahaya merah ditangan si Dewa Linglung. Dengan wajah berubah merah karena terkejut.
Demikian juga para penonton disekitar arena pertarungan. Yang terlebih-lebih kaget adalah Gempo dan Joman. Dengan wajah berubah pucat dan tubuh gemetar serta nyali yang tinggal seujung kuku matanya membelalak ke arah pedang mustika Naga Merah ditangan si Dewa Linglung.
“Ah....? Bukankah... pedang itu sudah...” sentak hati Gempo dan Joman.
Disaat itulah tiba-tiba terdengar teriakan Ratu dari atas panggung. “Cukup! Acara ini ditutup, dan hanya sampai disini saja!” Ratu mengangkat sebelah tangan memberi isyarat tanda semua penonton segera bubar.
Dewa Linglung segera menyimpan pedangnya, memasukkan dalam serangka di balik punggung. Kemudian melompat keatas panggung. Gempo dan Joman sejak tadi sudah menghilang dari arena bersama hamburan para penonton yang meninggalkan arena.
“Maafkan kebodohanku, Ratu... Sebenarnya aku tak akan menggunakan senjata. Tapi lawanku sangat hebat. Ilmu pedang mereka benar-benar membuat aku terkurung tak bisa keluar dari lingkaran pedang!” kata Nanjar. Sambil menjura sempat pula dia melirik sang Panglima.
Laki-laki Panglima itu bertepuk tangan dengan seruan kagum pada Nanjar, seraya berkata setelah didahului dengan menjura. “Pedang mustika Naga Merah memang sangat luar biasa! Untunglah Ratu kami cepat menghentikan acara. Kami khawatir terjadi pertumpahan darah...!” kata Panglima ini. Ratu manggut-manggutkan kepala.
“Benar, dipihak kami telah tewas seorang, walaupun bukan ditangan anda, sobat Nanjar! Tapi aku khawatir panglimaku yang gagah ini main hakim seenaknya saja membunuh anak buah!” tukas Ratu sambil tersenyum sinis menoleh pada sang Panglima.
Panglima Wadulata tersipu dengan wajah merah. Tapi segera menjura. “Semua itu karena aku merasa malu pada kegagahan tamu kita, Ratu. Untuk itu aku mohon maaf...!” ujar laki-laki ini.
“Yang sudah ya sudahlah, paman panglima....! Acara sudah selesai. Aku ingin bercakap-cakap dengan tamu kita. Kumohon kau tak keberatan untuk meninggalkan kami berdua!” kata Ratu pulau Naga Jelita.
“Kalau begitu saya mohon diri, Ratu!” berkata Panglima dengan sikap seperti orang kikuk, karena merasa sudah tak diperlukan. Selesai menjura dia beranjak dengan cepat meninggalkan ruangan itu.
Sepeninggal Panglima Wadulata, Ratu Mourita mempersilahkan Nanjar duduk dikursi yang bekas diduduki Panglimanya. Diam-diam dalam hati Nanjar berkata. “Tampaknya Ratu akan membicarakan sesuatu yang serius denganku. Tentang masalah apakah?”
Ratu menatap si Dewa Linglung dengan tatapan mata tajam. Kemudian berkata dengan suara lirih. “Sobat Nanjar! Aku merasa bahwa kemunculan anda kepulau ini akan membuahkan suatu hal yang menentukan masih tetap atau tidaknya kekuasaanku sebagai Ratu dipulau ini...!”
“Apakah maksud Ratu?” tanya Nanjar.
“Sukar aku mengatakannya padamu, sobat Dewa Linglung. Yang jelas semakin terasa saat-saat kehancuran Istana dan kekuasaanku. Untuk itulah aku mengharapkan kau berhati-hati, karena setiap saat bukan saja nyawamu, tapi juga nyawaku berada diujung tanduk!” sahut Ratu Mourita.
“Jangan khawatir, Ratu Mourita! Aku sudah menyadari hal ini sejak masih berada dalam perahu yang membawaku kemari! Beberapa orang dari anak buah Ratu ada yang membelot, dan berpihak pada Panglima Wadulata, dan secara diam-diam telah menukar pedang mustika Naga Merah dengan pedang palsu! Tapi seseorang dari anak buah Ratu sendiri telah mengembalikan pedang yang asli. sebelum pedang asli yang disembunyikan dua orang gadis itu di serahkan pada Panglima Wadulata!” bisik Nanjar.
Kemudian Nanjar menceritakan secara singkat kejadian dalam perahu besar yang ditumpangi dan digunakan mengawal dirinya sampai kepulau ini. Dan siapa adanya gadis yang telah berpihak menolong dirinya itu. Yaitu Nunik, si gadis pembawa nampan.
Apa yang terjadi pada hari kemarin tatkala Nanjar disuguhi arak penghormatan oleh seorang gadis pembawa nampan kemudian diceritakan pada Ratu. Ternyata Nunik telah memboikot keenam gadis kawannya dengan melalui jalan rahasia kembali kekapal. Lalu mengambil pedang asli yang disembunyikan oleh si gadis jangkung bernama MEILANI yang bekerja sama dengan gadis bertubuh kekar kawannya.
Pedang asli disembunyikan diperahu. Setelah membungkus pedang dengan kain dan menyembunyikan di belakang punggung, lalu berindap-indap memasuki jalan rahasia. Saat mana Nanjar tengah mengikuti si gadis pembawa nampan yang menjadi penunjuk jalan menuju keruang depan Istana Naga Jelita. Nanjar terkejut, karena tahu-tahu gadis pembawa nampan itu terjungkal roboh. Dan sesosok tubuh muncul dari lubang rahasia. Dialah Nunik.
Gadis itu asalnya berada dalam komplotan tujuh gadis yang diutus Panglima Wadulata, sedangkan dipihak tujuh gadis yang dikepalai oleh Ande Pulut terlihat seorang gadis bernama SURI yang menjadi mata-mata orang-orangnya Panglima Wadulata. Disaat ketujuh gadis itu mengawal Nanjar, dia menyusup ke dalam perahu dan mengambil pedang asli milik Nanjar yang di sembunyikan.
“Pantas aku melihat perubahan muka Panglima Wadulata ketika melihat kau mengeluarkan pedang mustika Naga Merah yang asli...!” kata Ratu dengan mendesis.
“Jangan khawatir, Ratu Mourita. Aku akan melindungi anda! Dan kita tak sendiri. Ada seseorang yang telah membantuku, entah siapa. Tapi dia telah mengirim suara jarak jauh ketelingaku...” kata Nanjar dengan suara perlahan. Lalu ceritakan yang dirinya nyaris meminum arak yang dapat membuat orang menjadi dungu.
Wajah Ratu tampak berubah mendengar keterangan Nanjar. Dia mendesis dengan wajah tegang. “Keparat! Arak itu berada dikamar penyiksaan. Hanya Jaka Podang yang mengetahui tempat penyimpanannya. Arak itu cuma digunakan untuk para terhukum yang bersalah, untuk menjalani hukuman mati. Sebelum dibunuh Jaka Podang mencekok dulu orang hukuman dengan arak pembuat dungu itu. Pantaslah jika Jaka Podang dibunuh, karena untuk menutup mulut laki-laki itu. Jelaslah kalau diam-diam Panglima Wadulata telah merencanakan pemberontakan, dan mau merebut kekuasaanku!”
Nanjar mengangguk-angguk, kemudian berkata. “Cukuplah Ratu! Selanjutnya kau harus berhati-hati. Dan... aku pasti akan melindungi dirimu!” Nanjar menjura lalu beranjak masuk keruangan untuk kembali kekamarnya.
Ratu pulau Naga jelita masih tercenung duduk dikursinya. Wajahnya berubah sebentar pucat sebentar merah. Tak lama dia bangkit berdiri, lalu bertepuk tangan dua kali. Seorang pelayan masuk sambil membungkuk hormat.
“Ada perintah apakah Ratu memanggil hamba?” tanyanya.
“Panggil kawanmu Nunik, dan suruh menghadapku sekarang juga!” ujar Ratu.
Pelayan itu mengangguk, lalu beranjak pergi dengan cepat. Nanjar mengawasi dari balik pintu kamarnya. Keadaan dalam istana pulau Naga Jelita tampak mulai tegang. Diam-diam Nanjar mengharap kemunculan orang yang telah mengirim suara jarak jauh ketelinganya.
“Siapakah dia?” desis Nanjar dalam hati. Sementara matanya mengawasi sekitar ruangan dari celah pintu. Sang Ratu tampak mondar-mandir seperti tak sabar menanti kedatangan Nunik yang disuruhnya menghadap.
DENGAN WAJAH MERAH PADAM Panglima Wadulata beranjak cepat menuju barak yang digunakan tempat perundingan rahasia. Belasan gadis yang berkumpul diruangan itu serentak bangkit berdiri ketika melihat munculnya Panglima Wadulata diruangan tersebut. Matanya mencari-cari seseorang diantara para wanita itu.
“Dimana Meliani?” tanya Panglima ini.
Seorang gadis maju ke depan seraya membungkuk, dan menyahut. “Dia barusan keluar, tuan Panglima!”
“Hm, cepat cari dia, dan suruh menghadapku!” ujarnya dengan wajah kaku. Kemudian keluar dari ruangan itu, dan menghilang dipintu ruangan dalam.
Dua orang gadis segera beranjak cepat keluar dari ruangan rahasia. Mereka tersembul dilorong yang menuju ke samping disebelah luar istana. Saat mana dua wanita baju hijau, satu jangkung dan satu pendek kekar melangkah tergesa-gesa dilorong itu. Dua gadis itu segera menemui mereka, lalu berbisik-bisik menyampaikan perintah Panglima.
“Habislah aku...! Pasti aku kena damprat dan entah hukuman apa yang akan kuterima dari Panglima...” desah Meliani dengan wajah pucat. “Ini semua gara-gara pengkhianatan Nunik! Aku telah membunuh gadis sialan itu!” sambungnya.
“Nunik?” sentak salah seorang utusan Panglima Wadulata. Gadis yang terkejut ini adalah Suri.
“Benar!” sahut si gadis pendek kekar. Lalu sambungnya. "Dia telah berkhianat, dan mencuri pedang asli yang disembunyikan diperahu, kemudian memberikan pada pendekar Dewa Linglung! Keparat itu telah kami kirim jiwanya ke Neraka!”
Mendadak terdengar bentakan dari lorong sebelah kanan diiringi munculnya tiga sosok tubuh. “Pembunuh-pembunuh licik! Kalian harus tebus kematian beberapa orang kawanku!”
Terkesiap empat gadis ini melihat siapa yang muncul itu. Ternyata mereka adalah Ande Pulut, Giwang dan Wenah si gadis gembrot.
“Dan kau jahanam Meilani! Kau telah mengumpankan aku pada dua manusia keparat JOMAN dan GEMPO! Kalian harus menebusnya dengan darah dan jiwamu!” bentak Ande Pulut dan Giwang hampir berbareng.
Serentak kedua gadis itu langsung menerjang ganas dengan sepasang badik yang dicabut dari masing-masing pinggang kedua dara itu. Tentu saja Meilani si gadis jangkung mau tak mau harus menghadapi kedua gadis yang kalap itu.
Dan, si gadis pendek kekar cepat gunakan sepasang Clurit untuk membantu kawannya. Sedangkan Wenah dengan kemarahan meluap-luap melompat kehadapan Suri, si gadis yang pernah jadi kawan seperjalanan menempuh suka dan duka itu.
“Jahanam tengik! Kiranya kau diam-diam telah jadi mata-mata dirombongan regu kami? Kau harus tebus kelicikanmu dengan nyawa keparatmu, jahanam!” bentak Wenah.
Gadis satunya lagi yang merasa keadaan mendadak jadi berubah gawat, cepat angkat langkah seribu untuk melaporkan kejadian itu. Akan tetapi Ande Pulut telah membentak. Lengannya mengibas. Dua larik sinar hijau menderu. Gadis itu menjerit parau dan terjungkal roboh. Setelah menggelepar sekarat, lalu tubuh itupun diam tak berkutik lagi. Ternyata dua batang jarum telah menembus tengkuknya.
Pertarungan dilorong rahasia itu tak dapat dihindarkan lagi. Meliani mempertahankan diri mati-matian. Seolah-olah dia berhadapan dengan manusia yang telah hidup lagi, karena bukankah Ande Pulut dan Giwang telah diberi minuman perusak otak yang dapat membuat orang menjadi dungu oleh Gempo dan Joman? Dan gadis gembrot yang dijuluki si bibi gembul itu bukankah telah dilemparkan kelaut setelah ditotok olehnya?
Sementara itu... pelayan Ratu dengan tergopoh-gopoh kembali keruang Istana mendapatkan Ratu Mourita. Wajahnya tampak pucat pias. Ratu tak dapat menahan sabar, segera membentak.
“Katakan, apa yang telah terjadi?”
“Ampun, Ratu... hamba menjumpai Nunik telah tewas dilorong sebelah luar Istana...” kata gadis ini dengan suara gemetar.
“Bedebah! Pasti Panglima dan komplotannya yang telah membunuhnya!” teriak Ratu dengan wajah berubah.
“Apa perintah Ratu selanjutnya?” tanya pelayan itu.
Ratu Mourita melangkah dua tindak kepintu ruangan. Matanya mengawasi ke arah bawah di mana arena tempat diadakannya pertarungan tampak sunyi kosong. “Hm, panggillah Panglima, suruh menghadapiku!” kata Ratu.
“Siap Ratu!” kata pelayan itu. Ketika akan beranjak meninggalkan ruangan itu mendadak dia merandek. Lengannya mencabut sebuah badik dari balik lipatan bajunya. Dan secepat kilat dia membalikkan tubuh. Kilatan badik tiba-tiba meluncur ke arah punggung Ratu ketika badik ditangan pelayan itu meluncur deras untuk menghunjam pada sasaran. Akan tetapi didetik itu terdengar bentakan keras, dan....
Whut!
Segelombang angin telah menerpa keras membuat badik ditangan pelayan itu terlepas. Dan tubuh pelayan itu sendiri terjungkal kelantai. Lalu berkelojotan. Namun sesaat segera lepaskan nyawa dengan mata mendelik dan lidah terjulur keluar.
Sesosok tubuh yang tak lain dari si Dewa Linglung telah berada dibelakang Ratu. Sesaat matanya menatap pada Ratu lalu beralih pada gadis pelayan itu. Nanjarlah yang telah menghantam dengan pukulannya hingga badik ditangan pelayan itu terlepas. Akan tetapi dia terkejut, karena melihat dileher si pelayan tampak tertancap dua buah jarum hijau.
“Terimakasih atas pertolonganmu, sobat Nanjar. Aku sudah menduga pelayan keparat inipun sudah terlibat dalam pengkhianatan!” kata Ratu.
Ternyata disaat keritis mengancam jiwanya, Ratu Mourita telah sempat kibaskan lengan untuk menghabisi nyawa pelayan itu dengan jarum maut yang disembunyikan dibawah pergelangan tangan.
“Hebat! Ternyata Ratu lebih cekatan dari aku...” kata Nanjar dengan tersenyum. “Keadaan tak memungkinkan lagi untuk kita berdiam ditempat ini, Ratu! Mari kita tinggalkan ruangan ini!” kata Nanjar.
Telinganya mendengar suara langkah-langkah mendekati ruangan Istana. Sekali gerakkan tangan, si Dewa Linglung telah meraih pinggang Ratu, dan membawanya melompat dari tempat ketinggian ruangan atas ke arah bawah. Dan didetik itu puluhan anak panah meluruk bagai hujan. Nyaris menambus tubuh mereka menjadi sate, kalau Nanjar tak cepat menyingkir...
BARU saja Nanjar dan Ratu Mourita jejakkan kaki ditanah, telah terdengar bentakan-bentakan keras disusul berkelebatnya sosok-sosok tubuh mengurung mereka. Entah dari mana munculnya empat laki-laki baju kuning dengan senjata terhunus mengurung mereka. Ketika Nanjar melihat keatas tampak belasan gadis baju hijau dengan topeng merah siap melepaskan anak panas dari busurnya.
“Haha...haha... kalian telah terkepung, Dewa Linglung...! Lebih baik menyerah, dan berikan pedang mustika Naga Merah padaku!” Terdengar suara orang tertawa diiringi kata-kata bernada parau.
Disebelah kiri ruangan istana tampak berdiri Panglima Wadulata bertolak pinggang. Di sebelahnya berdiri seorang kakek berjubah kuning bermata picak sebelah. Terkejut Nanjar mengenali kakek itu adalah yang berjulukan si Iblis Mata Satu. Tokoh yang sangat ditakuti diperairan utara.
“Iblis Mata Satu! Kiranya kau bergabung dengan Panglima keparat bernama Wadulata itu? Hm, sungguh perbuatan licik! Kiranya hal ini sudah kalian rencanakan sebelumnya!” berkata Nanjar.
“Benar! Aku telah membuat rencana untuk menguburmu dipulau penghasil Emas ini! Perempuan yang bersamamu itu tak ada arti apa-apa bagiku! Dia hanya merupakan boneka saja untuk memancing munculnya kaum hidung belang yang bakal membawa banyak uang untuk mendatangi tempat ini!” berkata si kakek jubah kuning.
“Keparat! Jadi kalian telah mengelabui aku? Oh, kalian sungguh manusia jahanam! Secara tak langsung aku telah dijadikan alat sebagai Ratu ditempat maksiat ini!” membentak wanita ini dengan wajah berubah merah karena geram.
Akan tetapi suara bentakan itu telah disusul dengan serangan empat laki-laki baju kuning dengan bentakan menggeledek. Nanjar cabut senjatanya pedang mustika Naga Merah. Sekali gerakkan pedang mengibas udara, senjata lawan terpental dengan suara berdentingan. Empat laki-laki melompat mundur. Dan detik itu puluhan anak panah menyambar ke arah keduanya.
Dewa Linglung membentak marah. Dengan memutar pedang dia menangkis disertai lompatan dua tombak ke udara. Puluhan anak panah terpental. Tiga anak panah disambar dengan tangkapan. Lalu dilemparkan ke arah penyerang. Tiga sosok tubuh gadis baju hijau bertopeng merah menjerit panjang, lalu terjungkal roboh.
Saat itulah si kakek jubah kuning telah melompat menerjang ke arah Nanjar. Tongkat di tangannya menyambar-nyambar laksana lautan menderu yang mengeluarkan hawa dingin menusuk tulang. Tahulah Nanjar kalau lawannya telah gunakan ilmu tenaga dalam Inti Es.
“Bagus! Boleh juga kita mengadu tenaga dalam!” berkata Nanjar dengan mendengus. Agak keteter juga si Dewa Linglung melayani serangan tongkat si kakek mata satu.
Untuk itu Nanjar mempergunakan jurus Benteng Uap Naga Merah. Pedangnya diputar sedemikian rupa hingga mengepulkan uap merah yang menggidikkan tak kalah dingin dengan serangan tongkat yang menimbulkan hawa dingin, karena Nanjar membarenginya dengan tenaga dalam Inti Es pula. Dingin ditambah dingin, kalau bukan dua tokoh yang memiliki ilmu tinggi, tentu kedua tubuh mereka sudah beku menjadi es.
Diam-diam kakek mata satu terkesiap. Dia tak menyangka kalau lawan justru mengeluarkan jurus Inti Es pula. Padahal tujuannya mendesak lawan dengan jurus itu adalah untuk menahan memancarnya cahaya merah dari pedang pusaka si Dewa Linglung.
Dia mengetahui kehebatan cahaya merah dari pedang mustika ditangan lawan. Tentu saja si Iblis Mata Satu tak mau jantungnya menjadi beku. Dengan menggembor keras dia menggempur pertahanan lawan dengan pukulan Multi Geni. Inilah jurus langka yang diperolehnya dari menggembleng diri didataran tinggi pegunungan DIENG diwilayah utara. Kekuatannya melebihi jurus pukulan Inti Api.
Gumpalan api menyambar ke arah si Dewa Linglung. Disaat itulah tiba-tiba terdengar bentakan keras disusul meluncurnya uap putih seputih salju menyambar ke arah gumpalan api yang dilepas dari tangan si Iblis Mata Satu.
BHRUSSSH...!
Terdengar suara seperti bara tersiram air. Asap hitam mengepul diudara. Didetik itu Nanjar telah melempar tubuhnya sejauh lima-enam tombak. Dan di tempat itu tahu-tahu telah berdiri seorang kakek bertopi capil yang menutupi wajahnya. Nanjar tersentak kaget dan girang. Kakek itulah yang telah memberinya tiga jurus ilmu menotok dari perantaraan pengiriman suara jarak jauh. Dialah si kakek lengan palsu adanya.
“Siapa kau?” bentak si Iblis Mata Satu. Sebelah matanya melotot lebar melihat orang yang muncul dihadapannya.
“Hm, apakah kau pernah mendengar julukan seorang petualang di Rimba Persilatan yang hanya memiliki sebelah lengan?” balik bertanya laki-laki berkumis dan berjanggut lebat memutih itu. Suaranya terdengar dingin dari bawah tudung capil.
“Pendekar Lengan Tunggal, Joko Sangit!?” sentak kakek ini dengan wajah berubah pucat. Tak terasa kakinya melangkah kebelakang dua tindak.
“Bagus! Sebelah matamu masih tajam, iblis tua!” berkata si kakek bertudung capil.
“Sial dangkalan! Kau masih saja selalu turut campur urusan orang!” maki Iblis Mata Satu. Walau hatinya diam-diam merasa jeri dengan kemunculan tokoh yang datang dan perginya bagi bayangan itu, tapi dia masih coba menggertak.
“Bagus! Kali ini kau akan menyesal telah turut campur urusanku dipulau ini. Kau dan si pendekar Linglung itu segera akan terkubur dipulau ini!” bentaknya dengan suara keras dibarengi tertawa terkekeh.
Suara tertawanya mengandung kekuatan tenaga dalam yang menyakitkan gendang telinga. Akan tetapi suara tertawa itu seketika lenyap kakek ini melempar tongkatnya ketanah. Dan...
Bhusss...!
Tongkat itu tiba-tiba menjelma menjadi seekor ular besar bersisik hitam. “Hadapilah tongkat Ular Raksasaku, pendekar lengan buntung!”
Bentak si Iblis Mata Satu. Dan ketika dia berkata itu lengannya bergerak mengibaskan jubah. Terdengar suara angin menggebu disusul dengan uap mengepulnya uap hitam yang menjelma menjadi ratusan kelelawar.
Nanjar terperangah kaget melihat kehebatan si Iblis Mata Satu. Diam-diam mengepal erat gagang pedang mustika Naga Merah. Tiba-tiba Nanjar teringat pada Ratu Mourita. Ketika dia mencari wanita itu ternyata tengah bertarung dengan panglima Wadulata.
Tahu-tahu Nanjar mendengar suara lengkingan wanita itu. Tampak tubuhnya terlempar bergulingan. Panglima itu perdengarkan suara tertawa bergelak. Tombak bermata kapaknya telah menoreh baju pada bagian dada sang Ratu, dan menggores sedikit kulitnya.
Melihat aurat yang mulus serta goresan yang mengeluarkan darah itu, Panglima Wadulata tertawa berkakakan. “Haha...haha.. segeralah kau menyerah dan minta maaf dengan berlutut dikakiku, Mourita! Mungkin aku masih bisa mengampuni jiwamu!”
“Iblis keparat! Kaulah yang harus minta maaf atas kekurang ajaranmu. Dan menebusnya dengan nyawamu!” bentak Ratu dengan wajah menyeringai menahan sakit.
“Haha...hehe.. kau telah dipesan oleh seorang hartawan kaya, dan aku telah mendapat imbalan sebagian. Maka tak apalah kalau aku cuma mencicipi satu kali kehangatan tubuhmu, Mourita!” tukas Panglima Wadulata.
“Manusia terkutuk! Pergilah kau ke Neraka!” Bentakan keras tiba-tiba merobek udara. Kilatan Cahaya merah merambas udara.
Tersentak kaget laki-laki ini melihat kelebatan pedang Naga Merah tiba-tiba menyambar kearahnya. Detik itu dia gulingkan tubuh dengan cepat. Dan sekali lengannya merengkuh, tahu-tahu dia sudah berlindung dibalik tubuh Ratu pulau Naga jelita.
“Haha... Hayo seranglah, pendekar gagah. Kau akan melihat orang yang kau lindungi ini akan melayang jiwanya ke Akhirat!” berkata Panglima Wadulata dengan tertawa mengejek.
“Bunuh mati... manusia keparat ini, sobatku! Jangan perdulikan diriku!” teriak Ratu dengan suara parau tertahan di kerongkongan.
“Kau memang harus mampus!” memaki Panglima Wadulata. Lengannya bergerak, dan Bress! Darah menyemburat dari lambung wanita itu dibarengi menyembulnya ujung tombak Panglima Wadulata. Ternyata laki-laki itu dipengaruhi kecemburuan serta kemarahan yang bukan alang-kepalang akibat kegagalannya memiliki pedang mustika Naga Merah. Kejengkelannya meledak pada Ratu, hingga dengan geram dia menoblos punggung wanita itu dengan tombaknya dari belakang punggung.
Ketika itu juga lengannya mendorong sang Ratu, dan dia berkelebat melompat untuk angkat langkah seribu. Akan tetapi cahaya merah telah menyambar lebih dahulu. Terdengarlah lengkingan panjang laki-laki itu. Lambungnya terkoyak pedang Naga Merah. Ususnya terburai. Robohlah manusia itu dengan merejang-rejang bagai kerbau disembelih. Tak lama nyawanya melayang lepas dari raganya.
Sementara itu pertarungan si Iblis Mata Satu dengan kakek berlengan palsu itu hampir mencapai puncaknya. Ular raksasa ciptaan si kakek itu tak mampu mengelabui mata si Pendekar Lengan Tunggal. Walau tak berubah ujud kembali menjadi tongkat, namun tak bergerak dari tempatnya.
Sedangkan ratusan kelelawar ciptaan itu mendadak meluruk ke arah si penciptanya sendiri. Hal itu membuat terkesiap kakek mata satu. Dengan berteriak ketakutan dia berkelebat melarikan diri.
Namun ratusan kelelawar ciptaan itu telah merecahnya dengan gigitan-gigitan. Menjerit-jerit si kakek setinggi langit. Hanya dalam waktu singkat telah bersimbah darah dengan kulit dan daging terkoyak mengerikan. Wajahnya hampir tak berbentuk lagi. Sesaat setelah laki-laki itu lepaskan nyawanya, kelelawar ciptaan itu lenyap menjadi gumpalan asap, dan hilang tak berbekas.
Kakek bertopi capil masih berdiri tegak. Di tangannya tampak sebuah kitab yang diletakkan diatas dada, dicekal oleh tangan palsunya. Sedangkan sebelah tangannya lagi tampak menghitung biji tasbih dengan mulut berkemak-kemik membaca dzikir yang cuma kedengaran desisnya. Sementara itu ular raksasa ciptaan itu telah berubah menjadi tongkat seperti asalnya.
Nanjar terperangah memandang dengan mata membelalak. Disaat dia berkelebat untuk menghampiri, mendadak tubuh kakek itu lenyap jadi gumpalan asap putih. Ketika asap itu lenyap, tubuh laki-laki bertopi capil itu telah tak berada ditempat berdirinya lagi.
“Ah, jadi dia si Pendekar lengan Tunggal Joko Sangit? Ilmunya sungguh sangat tinggi dan mengagumkan...” berkata Nanjar dalam hati. “Tapi... Cepat benar dia menjadi tua?” berdesis si Dewa Linglung. Nanjar segera mengenali siapa adanya laki-laki itu.
Joko Sangit adalah sahabat Roro Centil si pendekar wanita Pantai Selatan. Setelah beberapa tahun tak ada khabar beritanya ternyata telah berubah menjadi seorang kakek berilmu sangat tinggi. Untuk mengetahui riwayat Joko Sangit, dapat diikuti dalam serial Roro Centil.
Pertarungan di Pulau Naga Jelita tampaknya sudah berakhir... Nanjar menatap sosok tubuh Ratu Mourita dengan tatapan haru. Mendadak dari lorong sebelah kanan Istana tersembul tiga sosok tubuh. Mereka berlari-lari menghampiri si Dewa Linglung.
Ternyata ketiganya adalah gadis yang telah dikenal Nanjar. Yaitu Ande Pulut, Giwang dan si bibi gembul, Wenah. Ketiganya telah berhasil menyelesaikan pertarungan. Meilani gadis kekasih Panglima itu tewas ditangannya. Dan Wenah berhasil membunuh mati Suri si pengkhianat yang diam-diam telah bergabung dengan Panglima Wadulata.
Melihat kematian Panglima itu secara mengerikan mereka tampak girang walau bercampur ngeri. Tapi melihat sosok tubuh Ratu yang terkapar tak jauh didekat mayat laki-laki itu, mereka perdengarkan seruan kaget. Lalu berlarian memburunya.
“Sudahlah, adik-adik manis....! Prahara telah berlalu. Jangan sesali kematian yang sudah digariskan Yang Maha Kuasa. Aku cuma bisa menewaskan manusia berwatak jahat ini, tapi tak dapat menyelamatkan jiwa Ratu...” kata Nanjar dengan suara datar.
“Ya...! Kami sadar akan hal itu, tuan pendekar Dewa Linglung. Sedikit banyak anda telah turut membantu perjuangan hidup dan mati Ratu dan kami para pengikutnya yang setia. Kami bersyukur anda dapat lolos dari kejahatan yang telah direncanakan Panglima Wadulata...” kata Wenah dengan mata berkaca-kaca memandang Ratu, lalu beralih menatap Nanjar.
“Kami berdua juga berhutang budi pada anda, sobat Dewa Linglung” kata Ande Pulut dengan menundukkan wajah. Kedua gadis kakak beradik itu tampak bersikap kaku didepan Nanjar. Dan Nanjar dapat melihat adanya dua titik air mata pada masing-masing kelopak kedua dara itu.
“Kita bersyukur kepada Tuhan. Hanya DIA lah yang telah membuat kita masih panjang umur!” kata Nanjar. Ketiga gadis manggut-manggut.
“Sayang dua manusia keparat yang turut serta dalam rencana busuk ini serta empat orang laki-laki baju kuning, dan beberapa orang kawan yang telah menjadi musuh kami berhasil meloloskan diri. Mereka melarikan diri dengan perahu kecil dipantai. Sedangkan dua perahu termasuk perahu besar yang dipergunakan kita telah dirusak!” kata Wenah.
Rupanya setelah menewaskan lawan-lawan bertarungnya mereka mencari jejak Gempo dan Joman. Dipantai mereka dapatkan perahu besar telah dirusak, juga perahu yang satu lagi. Dan dikejauhan tampak perahu yang masih utuh berlayar cepat meninggalkan perairan pesisir pantai pulau Naga Jelita.
Melihat demikian mereka cepat kembali ke Istana melalui lorong rahasia, dan dapatkan Ratu telah tewas, juga Panglima Wadulata telah menjadi mayat. Namun mereka bersyukur melihat sang pendekar Naga Merah masih berdiri tegak tak kurang suatu apa.
Nanjar temukan jenazah Nunik yang tewas dengan keadaan menyedihkan. Kematiannya sudah diketahui Nanjar dari pemberitaan si pelayan Ratu yang telah berkhianat. Namun gadis pelayan itu sendiri menemui ajal ditangan sang Ratu.
Berempat mereka mengurus jenazah gadis itu, dan menimbunnya di samping kuburan jenazah Ratu Mourita. Selama beberapa hari Nanjar berdiam di Istana pulau Naga Jelita ditemani tiga gadis cantik sambil memperbaiki perahu yang telah dirusakkan komplotan manusia-manusia jahat itu.
Dihari kelima selesailah perbaikan kerusakan perahu. Dan diiringi suara burung-burung camar yang mematuk ikan-ikan kecil dipermukaan laut, perahu kecil berpenumpang tiga gadis dan satu pemuda itu bergerak meninggalkan pantai pulau Naga Jelita. Dari dalam perahu terdengar gurauan si bibi Gembul yang telah menanak nasi. Sambil mulutnya menggayam tak hentinya berceloteh.
“Tuan pendekar Linglung...! Eh, Dewa Linglung, apakah anda tak berniat mencari pendamping? Diantara dua gadis kawanku ini pasti tak keberatan untuk menjadi pendampingmu. Pilihlah salah satu saja...”
Mendengar olok-olok Wenah, merahlah wajah Ande Pulut dan Giwang. Tapi mereka tidak marah. “Eh, bibi Gembul! Kalau kau tak mau diam, nanti aku ceburkan kau kelaut!” kata Ande Pulut sambil tersipu.
“Hihihi... kebetulan! Sekalian aku mau menangkap ikan untuk teman nasiku...”
Karena tertawa akibatnya gadis ini terselak nasi hingga terbatuk-batuk. Tentu saja Ande Pulut dan Giwang tertawa geli menyoraki gadis kawannya yang iseng mulut itu. Terselak-selak si bibi Gembul dan beberapa kali terbangkis-bangkis hingga dia tak dapat menahan pertahanan yang berada dibagian bawah.
Semakin gencarlah suara tertawa kedua gadis hingga meledak-ledak. Akan tetapi segera mereka berlompatan menjauhi sambil menutup hidung. Karena bau uap gas racun segera menyebar.
Nanjar melompat keatas tiang layar, lalu berdiri disana. Bibirnya sunggingkan senyuman. Sementara matanya memandang ke arah pulau Naga Jelita yang telah jadi pulau kosong tak berpenghuni. Dan akan menjadi tempat persinggahan burung-burung camar dan bangau serta binatang-binatang di sekitarnya...